Anda di halaman 1dari 21

TRAUMA AMPUTASI

A. Tinjauan Tentang Traumatik Amputasi


Trauma amputasi adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari kaki, lengan,
atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma. Sebuah amputasi traumatik
dapat melibatkan bagian tubuh, termasuk lengan, tangan, jari tangan, kaki, jari kaki, telinga,
hidung, kelopak mata dan alat kelamin. Anggota tubuh bagian atas termasuk jari-jari (falang),
tangan (metakarpal), pergelangan tangan (carpals), lengan (radius/ulna), lengan atas
(humerus), tulang belikat (tulang belikat) dan tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas
lebih dari 65% dari traumatik amputasi, sementara orang yang dapat terlibat dalam amputasi
korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah laki-laki.
Diperkirakan bahwa satu dari setiap 200 individu di Amerika Serikat telah mengalami
amputasi. Amputasi traumatik tidak direncanakan biasanya terjadi di luar lingkungan rumah
sakit. Lebih dari 30.000 amputasi traumatik terjadi setiap tahun.
Amputasi dapat melibatkan anatomi proksimal atau distal. Amputasi proksimal
melibatkan anatomi yang melekat erat dengan inti tubuh, seperti seluruh lengan pada sendi
bahu atau kaki di sendi pinggul. Distal amputasi melibatkan anatomi yang jauh dari inti
tubuh, seperti jari tangan atau kaki. Distal amputasi lebih umum daripada amputasi
proksimal.
Pada kelompok usia muda amputasi disebabkan karena trauma. Pada anak-anak, 60%
disebabkan oleh amputasi kongenital dan amputasi bedah umumnya disebabkan karena
trauma atau keganasan. Sekitar 75% amputasi terjadi pada pria. Baik amputasi yang terjadi
karena pekerjaan, penyakit dan penyebab lain, insidennya lebih tinggi pada pria, 85%
amputasi terjadi pada ekstremitas bawah.
(www.emsresponder.com.2008)
1. Mekanisme dari Amputasi
Ada banyak penyebab yang dapat melibatkan amputasi traumatik. Contoh umum termasuk
industri, pertanian dan kecelakaan kendaraan bermotor, penggunaan peralatan listrik,
termasuk gergaji listrik, mesin pemotong rumput juga beresiko tinggi. Dalam amputasi
traumatis, mekanisme spesifik dari cedera cenderung terlibat dan mekanisme avulsionbentuk
yang paling umum dari amputasi traumatis, mekanisme lain yang mungkin cedera cenderung
yang paling umum dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang signifikan dan
cedera. Karena cedera yang terkait dengan mekanisme, amputasi akibat dari kekuatan
cenderung akan berhasil disambungkan. Sebaliknya, luka guillotine melibatkan benda tajam,
yang mengakibatkan gangguan jaringan. Akibatnya, bagian tubuh yang diamputasi oleh
kekuatan guillotine cenderung memiliki reattachment lebih baik dan pemulihan.
(www.emsresponder.com.2008)
2. Manajemen Traumatik Amputasi
Yang paling penting di sini adalah meminimalkan perdarahan, shock, dan infeksi. Hasil
jangka panjang untuk diamputasi telah meningkat karena pemahaman yang lebih baik dari
manajemen amputasi traumatik, darurat awal dan manajemen perawatan kritis, teknik bedah
baru, rehabilitasi awal, dan desain palsu baru. Teknik ekstremitas replantation baru telah
cukup berhasil, tapi regenerasi saraf tidak lengkap tetap menjadi faktor pembatas
utama. (www.nlm.nih.gov/medlineplus.com.2010)
B. Konsep Dasar Traumatik Amputasi
1. Pengertian
Menurut para ahli ada beberapa pengertian tentang trauma dan amputasi, antara lain:
a. Menurut Cerney dan Pickett (1998), trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka.
Sementara menurut Stamm (1999) mengatakan bahwa traumatik merupakan suatu reaksi
yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti kekerasan kelompok,
pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan
(seperti kemiskinan, deprivasi, dan lain-lain).
Sedangkan menurut Lonergan (1999) traumatik adalah suatu kejadian yang dialami atau
disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya.
(http://rumahbelajarpsikologi.com)
Jadi, dapat disimpulkan trauma adalah suatu kejadian yang dialami seseorang dan
meninggalkan bekas yang diakibatkan oleh suatu kejadian yang melukai secara fisik,
misalnya kecelakaan, kekerasan atau bencana alam.
b. Menurut (Garrison, 2001:30) amputasi adalah hilangnya suatu bagian tubuh atau bagian dari
tubuh. Kehilangan tersebut bisa sekecil ujung hidung atau seluas keseluruhan tubuh di bawah
vertebra lumbalis bawah.
Sedangkan menurut (Carpenito, 1999:459) amputasi adalah pembedahan memotong dan
mengangkut tungkai dan lengan. Amputasi yang disebabkan kecelakaan (23%), penyakit
(74%) kelainan kongenital (3%).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa traumatik amputasi adalah penghilangan sebuah
ekstremitas tubuh oleh trauma fisik yang dialami individu seperti kecelakaan atau kekerasan.
2. Etiologi
Penyebab utama amputasi ekstremitas atas adalah trauma berat (cedera akut, luka bakar
listrik, luka bakar dingin), tumor ganas, infeksi gas ganggren fulminal, osteomielitis kronis
dan malforasi kongenital. (Smeltzer, 2002: 2387).
Trauma amputasi biasanya hasil langsung dari pabrik, peternakan, atau kecelakaan
perkakas listrik atau dari kecelakaan kendaraan bermotor. Bencana alam, perang, dan
serangan teroris juga bisa menyebabkan amputasi traumatik.
Trauma adalah penyebab paling sering dari suatu amputasi, cedera terkait pekerjaan, aktivitas
di alam bebas, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kendaraan bermotor dan cedera terkait
pekerjaan. Terdapat suatu insiden yang lebih besar dari hilangnya ekstermitas bawah,
meliputi hampir 10% tindakan amputasi, terutama pada kecelakaan kerja.
3. Patofisiologi
Terjadinya amputasi (kehilangan bagian tubuh) pada seseorang dapat disebabkan karena
berbagai faktor antara lain penyakit vaskuler perifer yaitu penyakit pada pembuluh darah,
trauma disebabkan kerena kecelakaan, tumor ganas seperti osteosarkoma (tumor tulang)
serta congenital (bawaan sejak lahir). Amputasi sendiri bisa diartikan sebagai diskontinuitas
jaringan tulang dan otot yang dapat mengakibatkan terputusnya pembuluh darah dan syaraf
serta kehilangan bagian tubuh, dimana pada terputusnya pembuluh darah dan syaraf ini akan
menimbulkan rasa nyeri yang sering kali berdampak pada resiko terjadinya infeksi pada luka
yang ada dan gangguan mobilitas fisik yang dapat menimbulkan resiko kontraktur fleksi
pinggul. Selain disebabkan oleh nyeri, gangguan mobilitas fisik juga bisa disebabkan oleh
kehilangannya bagian tubuh terutama pada ekstremitas bawah. Kehilangan bagian tubuh juga
dapat menimbulkan stress emosional dikarenakan gangguan psikologis yang disebabkan oleh
adanya perubahan dari struktur tubuh yang berdampak pada timbulnya gangguan citra diri
dan penurunan intake oral. Pada penurunan intaka oral ini biasanya akan menimbulkan resiko
kurangnya pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh dan akan terjadi kelemahan fisik
serta resiko penyembuhan luka yang lambat.
4. Jenis-Jenis Amputasi
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi:
a. Amputasi selektif atau terencana, amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang
terdiognosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus.
Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.
b. Amputasi akibat trauma, ini merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan
tidak terencana. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.
c. Amputasi darurat, kegiatan amputasi ini dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan.
Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti trauma dengan
patah tulang multiple dan kerusakan kulit yang luas.
5. Komplikasi
Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit. Karena ada
pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan
infeksi pada semua pembedahan. Dengan peredaran darah yang buruk atau kontaminasi luka
setelah amputasi traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan
iritasi akibat prostesis dapat menyebabkan kerusakan kulit. (Smeltzer, 2002:2389)

6. Dampak Masalah Terhadap Sistem Tubuh


Adapun pengaruhnya meliputi:
a. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada fungsi
simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga menurunkan kecepatan
metabolisme basal.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar
darianabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini menyebabkan
pergeseran cairan intravaskuler ke luar ke ruang interstitial pada bagian tubuh yang rendah
sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas menyebabkan sumber stressor bagi klien
sehingga menyebabkan kecemasan yang akan memberikan rangsangan
ke hypotalamus posterior untuk menghambat pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan
diuresis.
c. Sistem respirasi
1) Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot intercosta relatif
kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
2) Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan rasio ventilasi
dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan terjadi peningkatan metabolisme
(karena latihan atau infeksi) terjadi hipoksia.
3) Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan sehingga sekresi
mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan mengganggu gerakan siliaris
normal.
d. Sistem kardiovaskuler
1) Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan mekanisme pada
keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2) Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini mengakibatkan waktu
pengisian diastolik memendek dan penurunan isi sekuncup.
3) Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana anterior dan venula
tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih panjang dari pada vasokontriksi
sehingga darah banyak berkumpul di ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi
menurun, jumlah darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke
otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun tidur
serta dapat juga merasakan pingsan.

e. Sistem muskuloskeletal
1) Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan suplai O2dan
nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme
akan terganggu sehingga menjadikan kelelahan otot.
2) Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya penurunan fungsi
persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan paralisis otot.
3) Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya keterbatasan gerak.
4) Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan organik dan
anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi keropos.
f. Sistem pencernaan
1) Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi sekresi kelenjar
pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta penurunan kebutuhan kalori yang
menyebabkan menurunnya nafsu makan.

2) Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat peristaltik usus dan spincter anus
menjadi konstriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam colon, menjadikan feces
lebih keras dan orang sulit buang air besar.
g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada dalam
keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis renal banyak
menahan urine sehingga dapat menyebabkan: Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan
mudah membentuk batu ginjal, tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang
biaknya kuman dan dapat menyebabkan ISK (Infeksi Saluran Kemih).
h. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong akan
tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke jaringan. Jika hal
ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal kembali jika tekanan
dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai darah.
7. Penatalaksanaan
Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi, menghasilkan sisa
amputasi (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kulit yang sehat untuk penggunaan
prostesis. Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa amputasi,
pengontrolan edema, dengan balutan kompres lunak atau rigit dan menggunakan teknik
aseptik dalam perawatan luka untuk meghindari infeksi.
a. Balutan rigit tertutup, ini sering digunakan untuk mendapat kompresi yang merata,
menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah kontraktur.
b. Balutan lunak, dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi berkala
sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan. Hematoma (luka)
puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi. (Smeltzer,
2002:2388-2389)

C. Manajemen Asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah faktor penting dalam survival dan dalam aspek-aspek
pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai hal ini, proses
keperawatan telah mengidentifikasi proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen
yang paling diinginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem
teori, dengan menggunakan metoda ilmiah.
Proses keperawatan ini diperkenalkan pada tahun 1950 sebagai proses yang terdiri
atas tiga tahap yaitu pengkajian, perencanaan dan evaluasi yang didasarkan pada metode-
metode ilmiah pengamatan, pengukuran, pengumpulan data, dan penganalisaan temuan.
Kajian selama bertahun-tahun, penggunaan dan perbaikan telah mengarahkan perawat pada
pengembangan proses keperawatan menjadi lima langkah yang kongkrit (pengkajian,
identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan evaluasi) yang memberikan metoda
efisiensi tentang pengorganisasian proses berpikir untuk pembuatan keputusan klinis. Kelima
langkah ini adalah pusat untuk tindakan keperawatan dan memberikan asuhan pasien secara
individual dan kualitas yang lebih tinggi dalam berbagai situasi. (Doenges, 1999:6)
1. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus
memperhatikan data dasar klien. Informasi yang lain didapat dari klien (sumber data primer),
data yang didapat dari orang lain (data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau
laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat, atau anggota tim kesehatan
merupakan pengkajian data dasar. (Hidayat, 2002:12)
Doenges (2000:786-787) menguraikan pengkajian keperawatan pada klien dengan post
amputasi, yaitu sebagai berikut:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: Seperti keterbatasan aktual/antisipasi yang dimungkinkan oleh kondisi/amputasi.
b. Integritas ego
Gejala: Antisipasi pola hidup, situasi finansial, perasaan putus asa, tidak berdaya.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka, marah, menarik diri.
c. Seksualitas
Gejala: Masalah tentang keintiman hubungan
d. Interaksi sosial
Gejala: Masalah sehubungan dengan penyakit/kondisi, peran fungsi.

e. Penyuluhan/pembelajaran
Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 9,7 hari
Rencana pemulangan: Memerlukan bantuan dalam perawatan luka/bahan, adaptasi terhadap
alat bantu ambulatori, transportasi, pemeliharaan rumah, kemungkinan aktivitas parawatan
diri, dan latihan kejuruan.
f. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan tergantung pada kondisi dasar perlunya amputasi dan digunakan untuk
menentukan tingkat yang tepat untuk amputasi.
Foto rontgen: Mengidentifikasi abnormalitas tulang
Skan CT: Mengidentifikasi lesi neoplastik, osteomielitis, pembentukan hematoma
Angiografi dan pemeriksaan aliran darah: Mengevaluasi perubahan sirkulasi/perfusi jaringan
dan membantu memperkirakan potensial penyembuhan jaringan setelah amputasi.
Ultrasound Doppler, flowmetri dopller laser: Dilakukan untuk mengkaji dan mengukur aliran
darah
Tekanan O2 transkutaneus: Memberi peta area perfusi paling besar dan paling kecil dalam
keterlibatan ekstremitas
Termografi: Mengukur perbedaan suhu pada tungkai iskemik pada dua sisi, dari jaringan
kutaneus ke tengah tulang. Perbedaan yang rendah antara dua pembacaan, makin besar
kesempatan untuk sembuh.
Pletismografi: Mengukur TD segmental bahwa terhadap ekstremitas bawah mengevaluasi
aliran darah arterial.
LED: Peninggian mengidentifikasi respon inflamasi.
Kultur luka: Mengidentifikasi adanya infeksi dan organisme penyebab
Biopsi: Mengkonfirmasi diagnosa massa benigna/maligna
Hitung darah lengkap/diferensial: Peninggian dan “perpindahan ke kiri” di duga proses
infeksi.
Smeltzer dan Bare (2000:2390) menguraikan rangkaian sebelum pembedahan, status
neurovaskuler, fungsional ekstremitas harus dievaluasi melalui riwayat dan pengkajian fisik.

2. Diagnosa Keperawatan
Perumusan diagnosa keperawatan adalah bagaimana diagnosa keperawatan digunakan dalam
proses pemecahan masalah. Melalui identifikasi, dapat digambarkan berbagai masalah
keperawatan yang membutuhkan asuhan keperawatan (Hidayat, 2002:24)
Diagnosa keperawatan menurut Doenges (2000:787-793) yang mungkin muncul pada klien
amputasi sebagai berikut:
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan faktor biopsiko atau kehilangan bagian tubuh
b. Nyeri berhubungan dengan cidera fisik/jaringan dan trauma syaraf. Dampak psikologis dari
kehilangan bagian tubuh
c. Perfusi jaringan, perubuhan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah, edema
jaringan
d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan primer
(kulit robek, jaringan traumatik) prosedur invasif, terpajan pada lingkungan
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan tungkai, gangguan perseptual
f. Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar tentang kondisi prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang perpajan/mengingat
3. Perencanaan Keperawatan
Rencana keperawatan merupakan catatan penyusunan “Rencana tindakan keperawatan” yang
dilakukan untuk menanggulangi masalah dengan cara mencegah, mengurangi, dan
menghilangkan masalah. Perawat dapat menggunakan strategi pemecahan masalah untuk
mengatasi masalah klien melalui intervensi, implementasi dan manajemen yang baik.
(Hidayat, 2002:30)
Rencana keperawatan yang dijumpai pada klien dengan amputasi menurut Doenges
(2000:787-794), antara lain:
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan faktor biopsiko atau kehilangan bagian tubuh
Tujuan/kriteria hasil:
Klien menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri (amputasi)
Intervensi:
1) Kaji/pertimbangan persiapan klien dan pandangan terhadap amputasi
Rasional: Memandang amputasi sebagai rekonstruksi akan menerima diri yang baru.
2) Dorong ekspresi ketakutan perasaan negatif, dan kehilangan bagian tubuh.
Rasional: Ekspresi emosi membantu klien menerima kenyataan dan realita hidup tanpa
tungkai
3) Kaji derajat dukungan untuk klien
Rasional: Dukungan yang cukup dari orang terdekat membantu proses ketakutan
4) Dorongan dalam aktivitas sehari-hari, beri kesempatan untuk memandang/merawat puntung
menggunakan waktu untuk menunjukkan tanda positif kesembuhan
Rasional: Meningkatkan kemandirian, meningkatkan perasaan harga diri, membantu dalam
pemecahan masalah.
b. Nyeri berhubungan dengan cidera fisik/jaringan dan trauma syaraf. Dampak psikologis dari
kehilangan bagian tubuh.
Tujuan/kriteria hasil:
Klien menyatakan nyeri hilang/terkontrol.
Klien tampak rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat dan menyatakan pemahaman
nyeri fantom dan metode untuk menghilangkannya.
Intervensi:
1) Catat lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10) selidiki perubahan karakteristik nyeri.
Rasional: Membantu dalam evaluasi dan keefektifan intervensi
2) Terima kenyataan sensasi fantom tungkai yang biasanya hilang dengan sendirinya dan
banyak alat akan dicobakan untuk menghilangkan nyeri.
Rasional: Mengetahui tentang sensasi ini memungkinkan klien memahami fenomena normal
yang terjadi segera atau beberapa minggu pasca operasi.
3) Berikan pijatan lembut pada puntung sesuai toleransi bila balutan telah lepas.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi, menurunkan tegangan otot
4) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, analgesik, relaksan otot
Rasional: Menurunkan nyeri/spasme otot.
c. Perfusi jaringan, perubahan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah, edema
jaringan
Tujuan/kriteria hasil:
Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan nadi perifer teraba, kulit
hangat/kering, penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi:
1) Awasi tanda-tanda vital, palpasi nadi perifer, perhatikan kekuatan dan kesamaan
Rasional: Indikator umum status sirkulasi dan keadekuatan perfusi
2) Inspeksi alat balutan/draine, perhatikan jumlah dan karakteristik balutan
Rasional: Kehilangan darah mengindikasikan kebutuhan untuk cairan, dan evaluasi gangguan
koagulasi.
3) Berikan tekanan langsung pada sisi pendarahan, bila terjadi pendarahan hubungi dokter
segera
Rasional: Tekanan langsung dengan balutan untuk mengamankan pendarahan
4) Kolaborasi berikan cairan IV/produksi darah sesuai indikasi
Rasional: Mempertahankan volume sirkulasi untuk memaksimalkan pefusi jaringan
d. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
Tujuan/kriteria:
Klien mencapai penyembuhan tepat pada waktunya, bebas draine purulen, atau eritema, dan
tidak demam.
Intervensi:
1) Pertahankan tekhnik antiseptik bila merawat luka/ganti balutan
Rasional: Meminimalkan introduksi bakteri
2) Inspeksi puntung yang tepat, mencegah komplikasi
Rasional: Deteksi dini terjadinya infeksi, memberikan kesempatan untuk intervensi yang
tepat, mencegah komplikasi
3) Buka puntung terhadap udara, pencucian dengan sabun ringan dan air setelah balutan
konraindikasi
Rasional: Mempertahankan kebersihan, meningkatkan penyembuhan kulit yang lunak
4) Awasi tanda vital
Rasional: Peningkatan suhu dapat menunjukkan adanya sepsis
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan tungkai, gangguan perseptual
Tujuan/kriteria:
Klien menyatakan situasi individu/pemahaman tindakan keamanan klien menunjukkan
partisipasi dalam aktivitas mempertahankan posisi fungsi
Intervensi:
1) Berikan perawatan puntung secara teratur
Rasional: Memberikan kesempatan untuk mengevaluasi penyembuhan dan komplikasi
2) Bantu latihan tentang gerak khusus untuk area sakit dan yang tak sakit
Rasional: Untuk mencegah kontraktur, perubahan bentuk
3) Instruksi klien untuk berbaring tengkurap sesuai toleransi dengan bantal di bawah abdomen
dan puntung ekstremitas bawah
Rasional: Menguatkan otot untuk mencegah kontraktur fleksi pinggul
4) Tunjukkan/bantu tekhnik pemindahan dan penggunaan alat mobilitas
Rasional: Membantu perawatan diri dan kemandirian klien
f. Kurang pengetahuan/kebutuhan belajar tentang kondisi prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat
Tujuan/kriteria:
Klien mengatakan memahami kondisi/proses penyakit dan pengobatan. Klien melakukan
perubahan pada pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi:
1) Kaji ulang proses penyakit, prosedur bedah dan harapan yang akan datang
Rasional: Memberikan dasar pengetahuan dimana klien dapat membuat pilihan berdasarkan
informasi
2) Instruksikan perawatan puntung/luka pada klien
Rasional: Meningkatkan perawatan diri kompeten
3) Identifikasi tekhnik untuk mengatasi nyeri fantom
Rasional: Menurunkan tekanan otot dan meningkatkan kontrol kemampuan koping.
4. Evaluasi
Dokumentasi evaluasi merupakan catatan tentang indikasi kemajuan klien terhadap tujuan
yang dicapai. Evaluasi bertujuan untuk menilai keefektifan perawatan dan untuk
mengkomunikasi status klien dari hasil tindakan keperawatan. Evaluasi memberikan
informasi, sehingga memungkinkan revisi perawatan. (Hidayat, 2002:41)
Evaluasi hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien dengan amputansi sesuai
dengan tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai. Menurut Doenges (2000:787-793) antara lain:
a. Kriteria Evaluasi Diagnosa I
1) Klien menunjukkan adaptasi dan menyatakan penerimaan pada situasi diri (amputasi)
b. Kriteria Evaluasi Diagnosa II
1) Klien menyatakan nyeri hilang/terkontrol
2) Klien tampak rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat
3) Klien menyatakan pemahaman nyeri fantom dan metode untuk menghilangkannya.
c. Kriteria Evaluasi Diagnosa III
1) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat dibuktikan dengan nadi perifer klien teraba, kulit
hangat
2) Penyembuhan luka tepat waktu
d. Kriteria Evaluasi Diagnosa IV
1) Purulen, atau eritema, demam tidak ada dan penyembuhan tepat waktu.
e. Kriteria Evaluasi Diagnosi V
1) Klien menyatakan situasi/pemahaman tindakan keamanan
2) Klien menunjuk partisipasi dalam aktivitas
3) Klien mampu mempertahankan posisi fungsi
f. Kriteria Evaluasi Diagnosa VI
1) Klien menyatakan memahami kondisi/proses penyakit dan pengobatan
2) Klien melakukan perubahan pola hidup
5. Dokumentasi
Pendokumentasian atau pencatatan merupakan tindakan legal, karena dokumentasi
merupakan media komunikasi. Dokumentasi bukan sekedar menuliskan sesuatu dalam
lembar pencatatan, tetapi harus terlebih dahulu memikirkan dan menganalisis apa yang akan
dan harus dicatat, bagaimana menyusun kalimatnya dan dimana tulisan akan diletakkan.
Dokumentasi keperawatan adalah sesuatu yang ditulis atau dicetak, kemudian diandalkan
sebagai catatan bukti bagi orang yang berwenang dan merupakan bagian dari praktik
profesional. Fungsi dari dokumentasi yaitu penunjang pelaksanaan mutu asuhan keperawatan
sebagai bukti akuntabilitas tentang apa yang telah dilakukan oleh seorang perawat kepada
pasiennya, bukti secara profesional, legal dan dapat dipertanggungjawabkan (Deswani,
2009:111).
Dokumentasi keperawatan suatu catatan yang memuat seluruh informasi yang
dibutuhkan untuk menentukan diagnosis keperawatan, menyusun rencana keperawatan,
melaksanakan dan mengevaluasi tindakan keperawatan yang disusun secara sistematis, valid,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum (Ali, Zaidin, 2001:87). Tujuan
dokumentasi keperawatan menurut (Ali, Zaidin, 2001:88) adalah:
a. Menghindari kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan informasi dalam asuhan
keperawatan.
b. Terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama perawat atau pihak lain melalui
komunikasi tulisan.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas tenaga keperawatan.
d. Terjaminnya kualitas asuhan keperawatan.
e. Perawat mendapat perlindungan secara hukum.
f. Memberikan data bagi penelitian, penulisan karya ilmiah, dan penyempurnaan standar
asuhan keperawatan.

Reactions to Amputation: Recognition and Treatment


Chaya G. Bhuvaneswar, M.D., Lucy A. Epstein, M.D., and Theodore A. Stern, M.D.

Author information ► Copyright and License information ►

Have you ever wondered how your patients will react to the news that an amputation is
required or cope with the functional disability that may result? Have you wondered whether
psychiatric problems (such as depression and posttraumatic stress disorder [PTSD]) are
predictable following amputation? Have you thought about how patients adapt to physical
rehabilitation as they regain function?

If you have, then the following case vignette and discussion should serve as a stimulus for the
management of the psychiatric aspects of amputation and its aftermath.

Go to:

CASE VIGNETTE

Ms. A, a 51-year-old woman with diabetes mellitus (DM) type II and peripheral vascular
disease (PVD), presented with several purulent, nonhealing ulcers of the right medial
malleolus, sepsis, and wet gangrene of the right leg. Blind, as a complication of her DM, she
had been poorly compliant with her care; she arrived at the hospital because she could no
longer walk. Laboratory workup revealed an elevated erythrocyte sedimentation rate and
magnetic resonance imaging (MRI) evidence of advanced osteomyelitis. A surgical consultant
recommended a right-sided below-the-knee amputation.

How Common Is Amputation Among Primary Care Patients?

Amputation is not an infrequent event for primary care patients. Moreover, it is often
preceded by poor compliance with medical care and by complications. Most amputations in
the United States are a consequence of chronic vascular disease: 82% of amputations done in
this country each year are a result of DM or PVD.1Approximately 50,000 lower-limb
amputations are done annually; roughly 300,000 persons living in the United States are
survivors of 1 or more limb amputations. Unfortunately, there is only a 2- to 5-year life
expectancy following amputation for chronic vascular disease for 60% of patients because of
the risk of death from cardiovascular disease.2 Among primary care patients with DM, lower-
limb amputations are required in approximately 1% to 7%,3 and 20% to 50% risk losing the
contralateral leg to vascular disease over the subsequent 4 years.4 Patients with end-stage
renal disease (ESRD) have a 10-fold greater risk of amputation than those with DM without
ESRD.5 Among patients who present to general hospitals with limb ischemia from severe,
chronic PVD, up to one third undergo amputation and require subsequent primary care
follow-up.6 Men sustain amputations more often than do women, and most such surgeries are
done in those over the age of 60 years. Women who undergo amputation are usually more
severely ill and have a poorer prognosis than men.7–9

Up to 30% of patients with soft tissue infections (such as necrotizing fasciitis) undergo partial
or complete limb amputations,10 while extensive limb resections in cancer (i.e., among those
with musculoskeletal tumors) have become increasingly uncommon. Burn victims with deep
tissue burns and ongoing renal failure may require partial amputation; 8% to 10% of trauma
patients who present with arterial injuries require amputation after failed attempts at
revascularization.11 Among military personnel, who are at grave risk for landmine and
shrapnel injuries, amputation (occurring in 10%–16% of wounded soldiers) often results from
contaminated wounds and soft tissue destruction in the field.12 Roughly 3500 traumatic
amputations are performed each year on soldiers, despite multiple preventive programs
instituted by the military and other agencies.12 In Operation Iraqi Freedom alone, 50% to 70%
of all battlefield injuries have involved vascular injuries of the extremities.12

What Conditions Lead to Amputation?

Amputation results from medical, surgical, or psychiatric causes. Each can be devastating and
difficult to manage. Psychiatric conditions (involving substance abuse, character disorders, or
disorders of thought or mood that predispose to suicide attempts with limb injuries) leading to
amputation may be particularly challenging in primary care.13

Medical causes of amputation include DM, osteomyelitis, peripheral embolization (from


septic, fat, amniotic, or paradoxical emboli), PVD, thromboses (from disseminated
intravascular coagulation), thrombocytosis (in hematologic malignancy), necrotizing soft
tissue infections (such as necrotizing fasciitis and clostridial “gas gangrene”), and iatrogenic
events (as from heparin-induced thrombocytopenia with thromboses). Malignancies, such as
malignant sarcomas, may also require amputation.13

Surgical causes can be divided into accidental trauma and intentional or combat-related
amputations. Accidental trauma is associated with subway and train accidents, work-related
construction and factory mishaps, falls, high-voltage electrical burns, and motor vehicle
collisions. Combat-related trauma often involves the explosion of landmines and other
sources of shrapnel. Traumatic amputations are often linked with intense fear, horror, images
of others being injured, and startling sounds that resurface during rehabilitation (even in the
absence of full criteria for PTSD).13

How Do Patients Typically React to News That Amputation Is Required?

Immediate reactions to the prospect of amputation vary; they depend on whether the
amputation was planned, occurred within the context of a chronic medical illness, or was
necessitated by the sudden onset of infection or trauma. The context for amputation affects
the psychological sequelae during the rehabilitation phase as well. When there is time to think
about impending loss, classic stages of grief may be experienced.14 Among these stages are
denial (often manifest as a refusal to engage in discussion or to ask basic questions about the
planned procedure), anger (which may be directed toward the medical team, with expressions
of being “cheated” or “tricked” into agreeing to an amputation), bargaining (by attempting to
forestall the surgery or to delay it indefinitely for a myriad of reasons such as “I'm too tired, I
don't want to go through with any major surgery”), depression (taking the form of “learned
helplessness,” feelings of passivity, and being overwhelmed), and acceptance (which may not
be reached until the patient is well into the rehabilitation process).15

After learning that amputation may be required, anxiety often alternates with depression. This
anxiety may be generalized (e.g., manifest by jitteriness, a decreased ability to sleep, silent
rumination, and social withdrawal) or result in disturbed sleep and irritability. Not
surprisingly, anxiety may be directed toward the fate of the limb that will be removed,16 as
well as about the prospect of phantom limb pain, which many patients (who know of other
amputees) may be familiar with. Intense sensitivity to the perceived negative attitudes of
others toward people with disabilities may also be present, and this may initially be revealed
by help-rejecting behavior or expressions of indifference to questions related to what level of
function to expect.16

Acceptance may be facilitated by contact with a religious figure (such as a hospital chaplain).
For others, visualization (of positive aspects of life after surgery), self-hypnosis, guided
imagery, exercise, postoperative pain relief,17 and a greater sense of autonomy will facilitate
coping during rehabilitation.
For patients whose amputations come in the wake of a sudden trauma or life-threatening
infection, there may be little or no time to pass through these stages or to experience more
than a few hours of semiconscious, fearful awareness before anesthesia, surgery, and
awakening as an amputee. Screening for PTSD and depression should be completed
postoperatively and during primary care follow-up visits.18

Is PTSD Inevitable After Amputation?

Posttraumatic stress disorder appears to be more common in amputees following combat or


accidental injury, whereas general rates of PTSD are 20% to 22% in cohorts without
amputations.19 Residual pain is associated with higher rates of anxiety and depression after
traumatic amputation, with 1 cohort of elderly amputees endorsing a high level of pain
having a 25% prevalence of PTSD symptoms and a 34% prevalence of depressive
symptoms.20 Posttraumatic stress disorder and chronic, intense psychological distress are also
associated with amputations secondary to burns and with traumatic amputations following
suicide attempts or accidents.18,21Hand and digit amputations are associated with high levels of
distress and PTSD symptoms following visualization of the traumatized body part, suggesting
that observation of a patient's initial reactions to looking at the postoperative hand could
identify those who will require ongoing psychiatric care.22 Difficult surgeries and patient
immobility also appear predictive of PTSD following traumatic injuries from war, work-
related tasks, traffic accidents, and recreational activity.23

In contrast, PTSD is relatively rare (< 5%) among amputees whose surgery follows a chronic
illness.24 Therefore, should a patient whose amputation was not the result of trauma report
significant PTSD symptoms, such as re-experiencing (e.g., having nightmares or flashbacks),
avoidance, or numbing (a type of emotional withdrawal that can overlap with the presentation
of depression), a psychiatric referral should be considered for further support.24

Depression following amputation can result from an adjustment reaction to the surgery and to
sudden disability; it typically resolves with supportive treatment, involvement in
rehabilitation, and the short-term use (i.e., several months) of antidepressants. Less
commonly, depression may be secondary to PTSD; there is a 30% chance of comorbidity in
the general population.19 The patient with a pre-existing history of major depressive disorder
(MDD) (which has a 10% lifetime prevalence in the general population and up to a 25%
lifetime prevalence in women) may have MDD triggered by the amputation. Risk factors for
MDD include a young age at time of the amputation,25 pain, neurotic personality style, and
poor coping skills.26

What Does Amputation Mean to a Patient, and What Aspects of a Person's Life Affect That
Meaning?

The meanings of amputation reflect the diversity of patients and their experience. A
previously bed-bound person who sustains an amputation is likely to experience amputation
differently from an elite athlete who requires an amputation; amputation can be experienced
as an absolute loss or as a challenge. The ability to cope with an amputation will be affected
by pain, level of disability, adequacy of cosmesis, cultural issues, presence of social supports,
the reactions of caregivers and other loved ones, and a patient's preamputation coping style.27

Pain is common after amputation, as are phantom limb sensations (as first reported by Silas
Weir Mitchell in 1871).28 Nearly all patients experience some degree of painless phantom
limb sensation, while 55% to 85% experience phantom limb pain. Painless limb sensations
tend to vanish without treatment within 2 to 3 years of the amputation, whereas phantom limb
pain often persists. Multiple hypotheses about the source of the pain have been explored
(from ectopic discharges [from neuromas that form at the site of amputation and conduct
abnormal impulses], to dorsal root ganglion ectopic discharges [that result in more pain under
conditions of sympathetic activation, like psychological distress]).29 Because the use of local
anesthesia does not always relieve the pain, central nervous system alterations, including
opiate receptor down-regulation and reorganization of pain-related processes in the thalamus
and brainstem, have been examined. “Pain memories” (first observed in the somatosensory
cortex in those with chronic back pain) may also play a role in postamputation pain and in
those with neuropathic pain or in those patients undergoing a second amputation.30 Opioid
analgesics are important acutely, while antidepressants, anticonvulsants, benzodiazepines,
and, more recently, N-methyl-D-aspartate antagonists have been tried for chronic pain.
Optimal management (including alternate modalities such as biofeedback, transcutaneous
electrical nerve stimulation, sympathetic blockade, hypnosis, and acupuncture) of severe
amputation-related pain is often delivered by a pain specialist.

The use of well-fitting prosthetics reduces pain31 as well as postamputation


depression.32 However, eligibility for a prosthesis is only 1 factor that determines level of
disability and recovery of function following amputation. Factors that predict poorer function
include a previously low level of function (e.g., hemiparesis following strokes), older age, a
higher level of leg amputation, obesity, poor balance in the unaffected leg, and memory
deficits (affecting the ability to relearn tasks and to gain the most from rehabilitation).33 At
present, it remains unclear whether upper extremity amputations carry greater long-term
functional disability than amputation of the lower extremity.34

Special consideration should be given to the paralyzed patient who must undergo amputation.
Patients who have sustained a spinal cord injury are likely to present with late-stage PVD due
to loss of sensation and immobility, with amputation the only option. They often have
problems healing their amputation stumps and develop severe pressure sores refractory to
reconstructive surgery; these sores often require multiple revascularization along with the
amputation surgery. Indigent patients with spinal cord injuries in nursing homes, without
family involvement, may be less likely to receive optimal health care screening (including
noninvasive vascular studies of peripheral pulses)35 and therefore may be more vulnerable to
feelings of abandonment and anger. These patients may be less prepared to undergo
postamputation training and strengthening of the remaining extremities.

Cosmetic appearance appears to play as great a role in psychological sequelae of amputation


as does the return of physical function. In patients with digital amputations, regardless of the
level of function recovered, those with cosmetic disfigurement are more likely to have
PTSD.36

The cultural and personal meanings of amputation, as well as the concepts of “mutilation
anxiety” and “coping styles,” should also be considered in trying to understand the patient's
point of view. Cultural meanings of amputation vary with ethnicity and religious beliefs. For
example, many Native American tribes hold the physical integrity of the body as sacred and
surgery as taboo.37 Black patients may feel robbed of control over their bodies (even invoking
memories of historical subjects of unethical research).38 These cultural vulnerabilities must
also be viewed in light of cultural resilience. Hispanic patients (in a U.S. study of patients
with ESRD) had a higher rate of amputations attributable to DM than either white or black
patients, but also appeared to have a survival advantage. This finding could not be accounted
for by differences in comorbidities but could be accounted for by cultural and social
supports.39

The social meaning of amputation may reflect inadequate access to care for underserved
Americans. Ethnic variations in amputation rates and outcomes have been observed,
including a higher incidence of proximal amputations for black patients than for white or
Hispanic patients.40 Yet, some studies have found a greater likelihood that whites will undergo
revascularization for infrarenal PVD.41 Native American patients appear to undergo more
amputations than European, Cuban, or East Asian patients with DM.42,43 Inequalities in health
care access may adversely influence the ability of patients to undergo rehabilitation even
when given appropriate services.

Maladaptive coping styles can be classified as overcompensation, surrender, or


avoidance.44 Overcompensation can take the form of hostility, excessive self-assertion (e.g.,
by refusing help that is needed), recognition seeking, manipulation, or obsessiveness (e.g., by
becoming preoccupied with smaller details of care at the expense of regaining whatever
enjoyment of life is still possible). Surrender may take the form of clinging to the sick role
and continuing to demand a high level of nursing care, while refusing to undergo
rehabilitation. Avoidance may result in psychological withdrawal, addictive self-soothing, or
social withdrawal. In contrast, effective coping styles that result from self-efficacy, from
using humor, from making plans and visualizing the future, and from actively seeking help to
solve problems (as measured by the Way of Coping Check-List-Revised by Lazarus and
Folkman, validated by Graziani and coworkers) are correlated with better outcomes following
amputation.45 In clinical practice, there may be a role for using this checklist to screen for
patients at high risk for adjusting poorly to amputation and for having further negative
sequelae.

Mutilation anxiety is closely related to one's coping style and to the experience of pain. Prior
to amputation, as part of the course of prevention (of both chronic vascular disease, as well as
accidental injury), mutilation anxiety can be used to motivate patients for self-care and
medical compliance. After amputation, mutilation anxiety may be a factor in referring a
patient for psychotherapy or treatment of anxiety with medications. Mutilation anxiety may
also affect the sexual function of a patient.46 Men have reported feeling castrated by
amputation, while women are more likely to report feeling sexual guilt and “punished” for
some real or imagined transgression by amputation.47For many patients, there is a threatened
loss of self and an alteration of body image that interferes with intimacy; up to 76% report
decreased sexual function following amputation.48 Medical management of fatigue, pain, and
cosmesis of the stump can further alleviate these difficulties during the rehabilitation process.

What Does Rehabilitation After Amputation Entail, and What Can Be Done to Enhance
Resilience in Patients?

Treatment after amputation involves planning a rehabilitation regimen (even prior to the
surgery), managing the immediate postoperative period, planning for an appropriate level of
care after discharge, and educating the patient and family to prevent complications.

A rehabilitation regimen includes upper extremity strengthening for lower extremity


amputations, transfer training, crutch walking or training in the use of a walker, and
evaluation for equipment that may be needed at home (including a wheelchair and a bench
for bathing safely). Prosthetic training is also given if the patient is eligible for a prosthetic
and has the energy to learn to use it. Such a regimen needs to be tailored to the patient's
motivation and capacity; the more actively engaged the patient can become even prior to the
surgery, the better the post-amputation prognosis he or she may have.49

Discharge planning includes a home safety evaluation by occupational therapy and discussion
with the patient and his or her family about what the patient's living situation can
accommodate. It is important to include a discussion of the timeline of expected discharge in
this process so that the patient is mentally prepared to leave the hospital after surgery and has
activities or social contacts planned.

Management during the immediate postoperative period includes pain management,


psychological support, proper positioning of the residual limb (including elevation to prevent
limb edema), evaluation of the limb dressing and placement of a cast, and inspection of
sutures. The discomfort that can be associated with wearing a cast should be explained to the
patient as necessary in the prevention of contractures, which can ultimately compromise
mobility.49
Education of patients and their families is aimed at the care and prevention of complications;
it includes attention to limb care and inspection, limb wrapping, prosthetic care, stump care,
foot care, and emergency care and monitoring for early signs of infection. Patient inspection
of the limb is particularly important if the patient has a prosthesis, as this should not be done
if there is any possibility of infection.49 Limb wrapping often needs to be done several times a
day. The prosthetic will require daily cleaning and inspection to prevent infection and to
allow for maximal use. Stump socks must be scrupulously maintained to avoid risk to the
site. Finally, preventive foot care (often with involvement of a podiatrist), as well as learning
to recognize indications for emergency care, are important aspects for the prevention of a
second amputation, for which lower extremity unilateral amputees are at high risk.49

Important ways in which the resilience of amputees can be enhanced include building up
social supports and caregiver resilience; individual psychotherapy, psychopharmacologic
treatment, and reinforcement of the positive coping styles; and treatment of preexisting
psychiatric disorders (which carry a poor prognosis for postamputation survival and
function).

In addition to utilizing cultural resilience (involving the patient's ethnic and religious
community), social support may come from national organizations (such as ParaOlympics
and the Amputee Coalition, each of which has support groups for patients and resources for
care-givers to prevent feeling overwhelmed). The patient can be empowered to draw on these
resources through psychiatric referral or treatment of anxiety and depression by primary care
physicians. Employment programs for combat veterans who are amputees may also be an
important resource.

Treatment of psychiatric illness that precedes amputation can carry benefits for the
rehabilitation process. Psychiatric causes of amputation range from the extremely rare to the
common. Rare causes include psychotic disorders (in which autoamputation may occur as the
result of depressed mood or delusional thinking). The emergency department (likely the first
place the patient is evaluated), with an opportunity for interdisciplinary work (between
surgery and psychiatry), can improve outcomes following replantation.50 Rarely,
autoamputation (e.g., secondary to the desire to be an amputee and having a “body integrity
disorder”) occurs; medicolegal evaluations are crucial for these patients, who may request
procedures at general surgery practice clinics.51 Failed suicide attempts with resultant
amputation may present particular challenges for successful rehabilitation, and psychiatric
hospitalization as well as intensive outpatient treatment may be indicated.

More common psychiatric causes of amputation include self-neglect (e.g., from medical
noncompliance). Self-neglect most often results from untreated depression, which has also
been correlated with higher rates and greater severity of cardiovascular disease.52 Progressive
disability, such as Ms. A's blindness, may be viewed as a marker for untreated depression and
addressed through encouraging use of social supports and special services. Health care
prevention of such outcomes (such as amputation in primary care), while appropriately
focused on DM management, smoking cessation, obesity interventions, optimization of
medical management, and other risk reductions through healthy lifestyle changes, should also
include screening of and treatment for depression and anxiety. Through a coordinated
approach that begins in prevention and ends in successful rehabilitation following
amputation, successful coping, good function, and enhanced quality of life are possible and
should be presented to patients as realistic goals.

Go to:

Footnotes

LESSONS LEARNED AT THE INTERFACE OF MEDICINE AND PSYCHIATRY

The Psychiatric Consultation Service at Massachusetts General Hospital (MGH) sees medical and surgical
inpatients with comorbid psychiatric symptoms and conditions. Such consultations require the integration of
medical and psychiatric knowledge. During their twice-weekly rounds, Dr. Stern and other members of the
Consultation Service discuss the diagnosis and management of conditions confronted. These discussions
have given rise to rounds reports that will prove useful for clinicians practicing at the interface of medicine
and psychiatry.

Drs. Bhuvaneswar and Epstein are clinical fellows in psychiatry at Harvard Medical School and residents in
psychiatry at MGH/McLean Hospital. Dr. Epstein also serves as chief resident on the Psychiatric
Consultation Service at MGH. Dr. Stern is chief of the Psychiatric Consultation Service at MGH and a
professor of psychiatry at Harvard Medical School.

Anda mungkin juga menyukai