Anda di halaman 1dari 28

!.r!

r4r

t @,ry-," @r,y/*,t""-
lr

Du tuh. J .Q...M fiagtr lalatuaoa, ,ft.Jb !


I
lJ'fara-nonber
Pcl.tih.n lielompok ftd l.lntrk
"Good lh(ding Pt&.li.._
rndinrnsi rrordnri DG.r (IPID)

dailk ttht@ aema( lnltsrt nd \'iauh"atun r?rur


,j t

J
1
LF'-al
-*,
s*rArJ-ilry
t*re
REPRODUKSI TERNAK DAN KEMAJIRAN
IGNB. Trilaksana
Bagian Reproduksi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
E-mail : lolinglaksana@gmail.com / lolingbagus@yahoo.co.id
HP. 0817556929 / 082144187965

Pendahuluan
Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu mahluk hidup yang dimulai sejak
bersatunya sel telur (ovum) dengan sel mani (spermatozoa) membentuk zygote yang diikuti
dengan terjadinya kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran individu baru. Proses reproduksi
pada hewan dimulai setelah hewan betina dan jantan mencapai fase pubertas. Keberhasilan
proses reproduksi dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal (dari dalam tubuh) maupun
faktor eksternal (dari luar tubuh). Kegagalan atau hambatan pada salah satu atau lebih faktor
yang mempengaruhi proses reproduksi akan menyebabkan terjadinya kemajiran atau gangguan
reproduksi.
Organ reproduksi betina
1. Organ reproduksi primer yaitu ovarium
2. Organ reproduksi sekunder yaitu saluran reproduksi (tuba fallopii, uterus, vagina, vulva)
dan organ kelamin luar (klitoris, vestibulum, vulva)
3. Organ reproduksi tambahan berupa kelenjar susu

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Ovarium
Ovarium berjumlah satu pasang (kiri dan kanan), merupakan organ reproduksi primer
yang bersifat eksokrin karena menghasilkan sel telur (ovum) dan bersifat endokrin karena
menghasilkan hormon reproduksi berupa estrogen dan progesteron. Bentuk dann ukuran ovarium
berbeda tergantung dari jenis (spesies) hewan dan fase dari siklus estrus. Pada sapi, kambing dan
domba ovarium berbentuk oval sedangkan ovarium kuda berbentuk seperti ginjal karena adanya
fossa ovulatoris.
Setelah dewasa kelamin dicapai, pada ovarium terjadi perkembangan folikel sesuai
dengan siklus estrus dari hewan yang bersangkutan. Perkembangan folikel menyebabkan terjadi
produksi hormon estrogen yang menyebabkan perkembangan sel epitel dan sel sekretoris di
sepanjang saluran reproduksi sehingga terjadi peningkatan sekresi kelenjar terutama pada cervix
dan vagina sehingga nampak adanya leleran dari cervix dan vagina yang dapat dijadikan tanda
estrus dari seekor betina. Perkembangan folikel diakhiri dengan terjadinya ovulasi yaitu
terlepasnya sel telur dari folikel yang selanjutnya akan masuk kedalam tuba fallopii untuk
menuju tempat fertilisasi. Pada bekas folikel yang telah mengalami ovulasi selanjutnya akan
terbentuk korpus haemoragikum dan akhirnya akan terbentuk korpus luteum yang menghasilkan
progesteron untuk memelihara ketebalan endometrium bila terjadi implantasi dan kebuntingan.

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Tuba Fallopii (Oviduct)
Tuba Fallopii berfungsi untuk menangkap sel telur yang diovulasikan, media transport
bagi spermatozoa untuk mencapai tempat fertilisasi, tempat pertemuan sel telur dengan
spermatozoa sehingga terbentuk zygote dan tempat perkembangan awal zygote sebelum
mencapai tempat implantasi pada uterus. Tuba Fallopii terdiri dari tiga bagian yaitu,
infundibulum, ampulla dan isthmus.

Infundibulum
Infundibulum merupakan bagian dari tuba Fallopii yang berbentuk menyerupai corong
yang dilengkapi dengan cilia (fimbriae) dipermukaannya yang berfungsi untuk menangkap sel
telur yang diovulasikan dengan bantuan gerakan dari cilia berupa gerakan ovotaxis sehingga sel
telur dapat masuk kedalam tuba Fallopii melalui muara dari infundibulum yang disebut osteum
abdominale yang selanjutnya menuju ke bagian ampulla.
Ampulla
Ampulla merupakan tempat terjadinya pertemuan antara sel telur dengan spermatozoa
(fertilisasi) dan perkembangan awal dari zygote sebelum menuju uterus untuk berimplantasi dan
berkembang pada tahap berikutnya
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Isthmus
Isthmus merupakan tempat seleksi spermatozoa sebelum mencapai tempat fertilisasi di
ampulla. Batas antara bagian ampulla dengan isthmus disebut AIJ (Ampulla Isthmus Junction)
sedangkan bagian isthmus yang berhubungan dengan uterus disebut UTJ (Utero Tubal Junction).
Uterus
Secara umum uterus terdiri dari bagian cornua, corpus dan cervix. Tipe uterus berbeda
tergantung dari jenis hewannya. Pada sapi, domba dan kuda tipe uterus adalah bipartite, pada
babi tipe bicornua, pada primate termasuk manusia tipe uterusnya adalah simpleks. Secara
histologis dinding uterus (bagian corpus dan cornua) terdiri dari tiga bagian yaitu :
a. Membrana Serosa : merupakan lapisan terluar dari uterus yang terdiri dari lapisan vaskuler
dan muskuler longitudinal.
b. Myometrium : merupakan bagian muskulatur uterus yang terdiri dari dua lapis otot licin,
yaitu selapis dalam otot sirkuler yang tebal dan selapis luar otot longitudinal yang tipis,
diantara kedua lapisann otot terdapat terdapat pembuluh darah, lymphe dan saraf.
c. Endometrium : merupakan linding lumen uterus yang terdiri dari lapisan epithel, lapisan
glanduler dan jaringan ikat.
Tipe uterus beberapa jenis hewan

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Fungsi Uterus (corpus dan cornua)
 Transpor dan kapasitasi spermatozoa
 Penghasil PGF2α
 Susu uterus sebagai media perkembangan blastocyt
 Tempat implantasi dan pembentukan placenta
 Tempat perkembangan fetus
 Pengeluaran fetus saat partus
Involusi uteri :
proses kembalinya ukuran dan kondisi uterus seperti keadaan semula setelah partus.
Cervix
 Struktur berupa sphincter yang menonjol ke caudal kedalam vagina
 Pada dindingnya terdapat penonjolan yang disebut cincin annuler
 Dinding cevix terdiri dari : mukosa, muskulatur dan serosa
 Mukosa cervix terdiri dari sel sekretoris (sel goblet) yang menghasilkan lendir cervix
 Muskulatur terdiri dari jaringan kolagen dan jaringan elastik dan serabut otot licin.
Lapisan otot sirkuler dibagian dalam sangat berkembang dan membentuk lipatan annuler.

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Fungsi cervix
 Mencegah mikroorganisme atau benda asing masuk kedalam lumen uterus
 Saat estrus, mukus cervix lebih encer
 Cervix menutup rapat, kecuali saat estrus dan menjelang partus terjadi relaksasi cervix
 Saat bunting mukus cervix akan menjadi sumbat cervix (cervix plug)
Vagina
Vagina merupakan organ kelamin betina yang berupa selubung struktur muskuler yang
berada didalam rongga pelvis dan terletak dibagian dorsal dari vesika urinaria. Dinding vagina
terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan mukosa, muskularis dan serosa. Pada vagina terdapat
legokan yang terbentuk oleh penonjolan cervix kedalam vagina yang disebut dengan fornix
vagina. Pada bagian posterior vagina terdapat lapisan sirkuler yang membentang secara
transversal dan berbatasan dengan vulva, lapisan ini disebut dengan hymen (selaput dara).
Hymen ini akan robek setelah hewan mengalami penetrasi (kopulasi) untuk pertama kali tetapi
dapat pula tidak robek karena tebal atau penis tidak mampu merobek sehingga dikenal dengan
hymen imperforata. Fungsi vagina adalah sebagai organ kopulatoris dan jalan keluar fetus pada
saat partus

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Organ Kelamin Luar (Vestibulum, Vulva dan Clitoris)
 Vulva terdiri dari :
- Labia majora dan minora
- Comissura dorsalis dan ventralis
 Vestibulum dan vulva berasal dari entoderm sinus urogenitalis dan ektoderm embrional
 Orificium urethrae externa : muara dari urethra eksterna tempat pertemuan antara vagina
dengan vestibulum
 Diverticulum suburethralis : suatu kantong buntu pada bagian posterior muara urethra
pada lantai vestibulum yang ditemukan pada sapi, domba dan babi
 Secara embriologik, clitoris homolog dengan penis pada hewan jantan

Organ Reproduksi Jantan


1. Organ reproduksi pimer yaitu testes
2. Organ reproduksi sekunder berupa saluran reproduksi yaitu epididimis, vas deferens dan
urethra, kelenjar pelengkap terdiri dari kelenjar vesikularis (vesica seminalis), kelenjar
prostata dan kelenjar cowper (bulbourethralis)
3. Organ kelamin luar yang merupakan organ kopulatoris yaitu penis dan preputium

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Testes (Jamak : Testis)
Testes berjumlah satu pasang (kiri dan kanan) merupakan organ reproduksi primer dari
hewan jantan karena menghasilkan sel kelamin jantan (spermatozoa). Testes juga menghasilkan
hormon reproduksi yaitu testosteron yang berfungsi untuk perkembangan organ reproduksi
primer dan kontrol terhadap aktivitas kelenjar pelengkap. Testes terdiri dari lobus-lobus berisi
parenkim testes terdiri dari saluran kecil yang berkelok kelok yang disebut tubulus seminiferus
tempat spermatogonia dan sel sertoli. Tubulus seminiferus akan menyatu membentuk rete testes
yang merupakan saluran keluar spermatozoa dari testes menuju ke epididimis. Pada saat hewan
jantan mengalami pubertas, sel spermatogonia akan berkembang menjadi spermatozoa dan sel
sertoli berfungsi untuk mendukung perkembangan spermatozoa. Testis terletak dalam sebuah
kantong yaitu skrotum dan digantung oleh funiculus spermaticus. Suhu testis 4-70 C lebih rendah
dari suhu tubuh. Kontrol terhadap suhu testis diatur oleh mekanisme thermoregulator dari
ligamentum penggantung testis dan skrotum.
Epididimis
Epididimis merupakan saluran spermatozoa yang dihubungkan dengan testis oleh ductus
efferentes. Epididimis terdiri dari 3 bagian yaitu kepala (caput), badan (korpus) dan ekor (cauda).
Bagian kepala merupakan bagian paling besar dari bagian lainnya dengan posisi terletak
diatas testes. Bagian kepala merupakan pertemuan dari rete testes yang terdidiri dari 12-13
duktuli efferentis yang berfungsi menampung pengeluaran spermatozoa dari rete testes. Pada
sapi yang masih hidup, bagian kepala tidak terlihat karena tertutup oleh tenunan pengikat longgar
dan kulit. Namun bagian ini dapat dibedakan dengan bagian lainnya, kerena bagian kepala
mempunyai konsistensi yang lebih kenyal. Biasanya bagian kepala bisa dipakai sebagai patokan
untuk mencari vas deferenss pada saat melakukan vasektomi.
Bagian badan letaknya terlentang lurus ke bawah sejajar dengan vas deferenss, kemudian
berbelok keatas membentuk suatu lipatan yang merupakan bagian ekor atau kauda epididimis.
Bagian ekor epididimis merupakan saluran paling bawah dari epididimis, berupa jendolan
diujung bawah testes dan dapat dilihat serta dipalpasi pada hewan hidup. Lumen kauda
epididimis lebih lebar daripada lumen korpus epididimis. Struktur dari epididimis dan saluran
eksternal lainnya. Vas deferens dan urethra adalah serupa pada saluran reproduksi betina.
Saluran ini terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan tunika serosa di bagian luar, lapisan otot
daging licin di bagian tengah dan lapisan epitel di bagian dalam.
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Fungsi epidimis
1. Transportasi spermatozoa
Spermatozoa yang diproduksi dalam tubuli seminiferi akan menuju epididimis
melalui duktus efferentes sebelum diejakulasikan.
2. Konsentrasi
Konsentrasi spermatozoa yang diproduksi oleh tubuli seminiferi relatif rendah
yaitu sekitar 100 juta sel per milliliter, selanjutnya saat masuk kedalam epididimis terjadi
penyerapan (absorbs) cairan disepanjang epididimis oleh sel epitel yang terdapat pada
lumen epididimis sehingga saat spermatozoa sampai di bagian ekor epididimis
konsentrasinya mencapai sekitar 4 milyar sel per milliliter.
3. Maturasi (pendewasaan) spermatozoa
Saat spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi terdapat butiran sisa sitoplasma
(cytoplasma droplet) pada bagian leher spermatozoa yang menunjukkan spermatozoa
belum mencapai perkembangan yang sempurna. Setelah masuk kedalam epididimis
spermatozoa mengalami pendewasaan yang ditandai dengan perpindahan cytoplasmic
droplet dari bagian leher sampai bagian ujung ekor yang akhirnya terlepas dari
spermatozoa.
4. Penyimpanan (storage)
Spermatozoa yang telah mengalami pendewasaan dan peningkatan konsentrasi
akan berkumpul pada bagian ekor epididimis sebelum terjadi ejakulasi. Spermatozoa
yang telah berada pada bagian ekor epididimis dapat bertahan hidup sampai 60 hari
Vas Deferens
Vas deferens atau ductus deferens merupakan saluran yang terentang dari ekor duktus
epididimis sampai ke urethra. Dindingnya mengandung otot licin yang mempunyai peranan
penting dalam pengangkutan semen waktu ejakulasi. Diameter lumen mencapai 2 mm dan
memasuki ruang abdomen bersamaan dengan pembuluh darah, limpe dan syaraf yang menuju ke
testes dan merupakan suatu kesatuan yang disebut dengan funiculus spermaticus. Vas deferens
dari kedua testes, setelah melalui kanalis inguinalis yang keduanya terletak sebelah menyebelah
diatas kantong kencing (vesika urinaria), lambat laun menebal dan membesar membentuk
ampulae ductus defferentis atau sering disebut dengan ampula. Pembesaran ini disebabkan
karena adanya kelenjar-kelenjar pada dinding ductus defferens, sedangkan pada lumen hanya
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
sidikit terjadi perluasan. Kelenjar ampula bersifat tubuler dan secara histologis hampir sama
dengan struktur kelenjar vesikula seminalis (vesicularis). Kedua ampula pada sapi terletak
dibagian dorsal dari leher vesika urinaria dan bermuara secara bersama pada saluran sekretoris
dari kelenjar vesikula seminalis ke dalam urethra. Pengangkutan sperma dari ekor epididimis ke
ampula dibantu oleh gerakan peristaltik dari vas deferens.
Kelenjar Pelengkap
Kelenjar pelengkap berada di sepanjang bagian urethra yang terletak dirongga pelvis.
Kelenjar pelengkap terdiri dari kelenjar vesikula seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar
bulbourethralis. Cairan kelenjar pelengkap yang dihasilkan merupakan bagian terbesar dari
cairan semen dan mengandung banyak karbohidrat, protein, asam amino, enzim, vitamin yang
larut dalam air, mineral, dan asam sitrat beserta beberapa bahan organik lain yang diperlukan
untuk menjamin motilitas dan fertilitas optimum daripada spermatozoa. Aktivitas kelenjar
pelengkap sangat tergantung daripada hormon testosteron. Hal ini telah dibuktikan pada hewan
yang dikastrasi, akan menyebabkan aktivitas kelenjar pelengkap menjadi menurun dan
mengalami rudimenter (mengecil). Sebaliknya pemberian hormon testosteron pada hewan yang
dikastrasi dapat mengembalikan fungsi kelenjar pelengkap dengan aktivitas yang normal.
Fungsi cairan kelenjar pelengkap adalah untuk meningkatkan volume semen, melicinkan
saluran urethra, menetralkan urine yang tercampur dengan semen, mengaktifkan dan memberi
makanan sel spermatozoa. Kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethralis sekresinya dialirkan
kedalam urethra pada saat ejakulasi dan kemudian akan tercampur dengan sperm dan cairan pada
ampula yang berasal dari saluran vas deferens.

Keterangan : a. Duktus deferen, b.Vesika Urinaria c. Ampula, d. Kelenjar Vesikula seminalis


e. Kelenjar Prostat, f. Pelvis Urethra g. Bulbourethralis, h. Muskulus
Ischiocavernosus, i. Muskulus Retraktor Penis, j. Muskulus Bulbospongiosus,
(Hafez, 2000. Reproduction in Farm Animals )
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Urethra
Urethra merupakan sebuah saluran tunggal yang membentang dari persambungan dengan
ampula sampai ke pangkal penis. Fungsi urethra adalah sebagai saluran kencing dan semen. Pada
sapi selama ejakulasi terjadi, percampuran yang kompleks antara spermatozoa yang padat asal
vas deferens dan epididimis dengan cairan sekresi dari kelenjar tambahan dalam urethra yang
berada di daerah pelvis menjadi semen. Pada kuda dan babi percampuran ini tidak sesempurna
pada sapi. Semen kuda dan babi terdiri dari bagian bebas (tanpa) spermatozoa dan bagian yang
kaya spermatozoa. Urethra membentang dari daerah pelvis ke penis dan berakhir pada ujung
glands penis sebagai orificium urethrale externa.
Menurut bentuk dan letaknya urethra dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu;
1. Bagian pelvis: Bagian ini mulai dari muara ampula dan terletak diatas simpisis pelvis serta
diselubungi oleh urat daging licin. Saluran ini berupa silinder dengan panjang kiri-kira 20 cm
2. Bagian yang melengkung: bagian dimana urethra meninggalkan simpisis pelvis sampai
kepangkal penis. Panjangnya kira-kira 10 cm dan hanya sedikit mengandung unsur urat
daging.
3. Bagian penis: bagian ini mulai dari pangkal penis sampai ke ujung penis.
Sebelum ejakulasi, konsentrasi sperma dari ampula akan bercampur dengan cairan yang
berasal dari kelenjar asesoris pada urethra dibagian pelvis. Di daerah kaudal dari leher vesika
urinaria terdapat suatu penonjolan yang disebut dengan colliculus seminalis yang berfungsi
menutup leher vesika urinaria pada saat ejakulasi sehingga semen tidak tercampur dengan urine.
Penis
Penis merupakan organ kopulatoris pada hewan jantan, mempunyai 2 fungsi yaitu; untuk
pengeluaran urine dan untuk peletakan semen pada saluran alat kelamin betina. Penis pada sapi
berbentuk bulat panjang dan bertipe fibro elastis (selalu dalam keadaan agak kaku dan kenyal
walaupun tidak dalam keadaan ereksi), terbungkus oleh tunika fibrosa yang padat dan berwarna
putih yang disebut dengan tunika albugenea.
Penis dibagi menjadi 3 bagian yaitu;
1. Bagian pangkal; bagian yang melekat langsung pada fascia atau ligamenta yang kuat dan
disebut dengan Crus penis.
2. Bagian badan; bagian yang melipat dan melingkar dibagian tengahnya membentuk huruf S
yang disebut dengan Sigmoid
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
3. Bagian ujung; merupakan bagian ujung dari penis yang disebut dengan Gland Penis.
Ereksi penis disebabkan oleh beberapa faktor yaitu muskulus retraktor penis yang berfungsi
untuk merelaksasi dan mengkerutkan, dan korpus kavernosum yang berfungsi menegangkan
penis. Dalam keadaan tidak ereksi, muskulus. retraktor penis mengkerut dan penis melipat
seperti huruf S sehingga penis dapat tersimpan dalam praeputium.
Praeputium
Kata prepuce atau preputeum mempunyai arti sama dengan sarung adalah invaginatio
dari kulit yang membungkus secara sempurna pada ujung bebas dari penis. Perkembangan
embrionik dari organ ini sama dengan perkembangan dari organ labia minora pada ternak betina.
Preputium dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian prepenile (lipatan luar) dan bagian
penile (lipatan dalam). Sekitar lubang preputium ditumbuhi oleh rambut panjang dan kasar. Pada
saat penampungan semen dalam program inseminasi buatan, perlu diadakan pencukuran
terhadap rambut ini untuk menjaga agar semen tidak tercemar oleh kotoran yang kemungkinan
besar menempel pada rambut tersebut. Pintu luar dari praeputium disebut orificium praeputii

Gangguan Pada Ternak Betina


. Efisiensi reproduksi ditentukan oleh :
1. Angka kebuntingan (conception rate) > 50 %
2. Jarak antar kelahiran (calving interval) < 400 hari
3. Jarak antara melahirkan dengan bunting kembali (service period) < 120 hari
4. Angka perkawinan per kebuntingan (service per conception) <2
5. Angka kelahiran (calving rate) = 100 %
Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan reproduksi baik yang bersifat
sementara maupun permanen adalah :
 Gangguan keseimbangan hormonal
 Pakan
 Penyakit infeksi
 Kelainan congenital (bawaan sejak lahir)
 Patologi alat kelamin

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Repeat breeder (kawin berulang) dan anestrus yang tidak normal merupakan gangguan
reproduksi yang banyak ditemukan pada peternakan rakyat yang menyebabkan terjadinya
kerugian yang cukup besar.
Gangguan keseimbangan hormonal
Hormon reproduksi adalah hormon yang berpengaruh terhadap kelangsungan proses
reproduksi yang dimulai sejak hewan pubertas. Kelenjar endokrin pada hewan betina yang
berpengaruh terhadap kelangsungan proses reproduksi adalah :
 Hipothalamus yang mensekresikan GnRH
 Hipofisa anterior mensekresikan FSH, LH dan LTH. Hipofisa posterior
mensekresikan oksitosin dan vasopressin
 Ovarium mensekresikan estrogen, progesteron dan relaksin
 Endometrium mensekresikan PGF2α. Pada bangsa kuda yang sedang bunting
mensekresikan PMSG dan pada bangsa primate yang sedang bunting
mensekresikan HCG
Gangguan keseimbangan hormonal dapat menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium,
atropi ovarium, kista pada ovarium dan gangguan sekresi steroid oleh ovarium. Hipofungsi
ovarium terjadi karena rendahnya kadar FSH dan LH sehingga tidak terjadi aktivitas pada
ovarium berupa perkembangan folikel dan ovulasi. Atropi ovarium dapat terjadi apabila kondisi
hipofungsi ovarium tidak ditangani dalam jangka waktu yang lama dan disertai dengan kondisi
pakan serta lingkungan yang buruk. Kista ovarium terjadi bila keimbangan FSH, LH dan LTH
terganggu. Kista ovarium dibedakan menjadi :
 Kista folikel, dimana kadar FSH cukup untuk memacu perkembangan folikel
tetapi kadar LH tidak cukup untuk terjadinya ovulasi.
 Kista luteal, terjadi bila pada saat terjadi kista folikel secara bersamaan terjadi
peningkatan kadar LTH (pada sapi perah dengan produksi susu tinggi) sehingga
pada permukaan folikel akan terbentuk sel luteal
 Kista korpus luteum, terbentuk dari folikel yang telah berovulasi namun dalam
perkembangan selanjutnya terdapat rongga yang berisi cairan dalam korpus
luteum yang terbentuk
Korpus luteum persisten adalah korpus luteum yang tidak regresi setelah kelahiran akibat
adanya kelainan pada endometrium dan tingginya kadar LTH terutama pada sapi dengan
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
produksi susu yang tinggi, hal ini menyebabkan kadar progesteron tetap tinggi dan hewan
mengalami anestrus.
Pakan
Kekurangan pakan dalam jangka waktu yang lama disertai dengan kondisi lingkungan
yang buruk akan menyebabkan terjadinya penurunan kesehatan tubuh dan penurunan fungsi
semua kelenjar dalam tubuh termasuk kelenjar yang memproduksi hormon reproduksi.
Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Kekurangan karbohidrat dan lemak dalam ransum dapat menyebabkan terjadinya birahi tenang
(silent heat), birahi pendek (subestrus) dan menekan ovulasi. Kelebihan karbohidrat dan lemak
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kegemukan dan gangguan reproduksi.
Timbunan lemak yang berlebih disekitar ovarium akan mengganggu proses transportasi ovum
yang di ovulasikan menuju ke dalam tuba Fallopii.
Kekurangan protein dalam ransum juga dapat menyebabkan terjadinya birahi tenang,
anestrus, kawin berulang (repeat breeder), kematian embrional, kelahiran pedet dengan kondisi
lemah atau terjadi kelahiran prematur. Pada hewan bunting, kekurangan protein dapat
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan fetus atau kematian fetus. Pada hewan yang baru
melahirkan, kekurangan protein dapat menyebabkan perpanjangan fase anestrus postpartum.
Pada hewan muda, kekurangan protein akan menghambat timbulnya pubertas.
Vitamin sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan hewan. Beberapa
vitamin seperti vitamin A, D dan E sangat dibutuhkan tersedia dalam ransum dalam jumlah yang
cukup. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan terjadinya gangguan reproduksi terutama
pada ternak yang sedang bunting karena dapat menyebabkan terjadinya keratinasi pada epitel
uterus sehingga mengganggu implantasi. Kekurangan vitamin A juga dapat menyebabkan terjadi
kelahiran anak dengan kondisi lemah atau kematian fetus disertai dengan terjadinya retensio
sekundinarum. Kekurangan vitamin D pada hewan betina dapat menghambat munculnya estrus
dan bila dalam keadaan bunting dapat menyebakan terjadinya abortus, distokia dan retensi
sekundinarum. Vitamin E dibutuhkan untuk memacu munculnya estrus, ovulasi, meningkatkan
angka kebuntingan dan mengurangi kejadian retensio sekundinarum. Kekurangan vitamin E
dapat menghambat munculnya estrus.
Mineral seperti phosphor (P), kalsium (Ca), iodium (I), selenium (Se), ferrum (Fe),
cuprum (Cu), kobalt (Co), mangan (Mn) dan magnesium (Mg) berperanan dalam proses
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
reproduksi, sehingga kekurangan mineral ini dapat menyebabkan gangguan reproduksi berupa
hambatan munculnya estrus, kematian embrional, gangguan pertumbuhan fetus, abortus dan
retensio sekundinarum.
Penyakit Infeksi
Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa dan jamur dapat
menyebabkan terjadinya gangguan reproduksi baik yang bersifat sementara maupun permanen.
 Infeksi Bakteri
 Brucellosis
Brucellosis pada sapi disebabkan oleh bakteri Brucella abortus, sampai saat ini
brucellosis merupakan problem utama yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Disamping menyerang hewan ternak, brucellosis juga dapat menyerang manusia sehingga
tergolong penyakit zoonosis yang merupakan problem bagi kesehatan masyarakat. Abortus
akibat brucellosis dapat terjadi pada semua periode kebuntingan, tetapi terutama pada umur
kebuntingan diatas 6 bulan sehingga secara ekonomis hal ini sangat merugikan. Bila tidak terjadi
abortus maka pedet yang dilahirkan dalam kondisi lemah yang diikuti terjadi kematian neonatal.
Retensio sekundinarum dapat terjadi mengikuti abortus.
Cara penularan brucellosis dapat terjadi melalui pakan yang tercemar oleh bakteri, kawin
alami, IB menggunakan semen yang terkontaminasi bakteri. Penularan kepada manusia terjadi
karena minum susu atau daging yang tercemar baktei ini.
Diagnosa terhadap penyakit ini dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap fetus yang
diabortuskan, identifikasi kuman, uji serologis dan uji lainnya (brucellin skin test).
Pengobatan terhadap penyakit ini tidak memberikan hasil yang memuaskan karena
kuman brucella bersifat intraseluler. Pencegahan dapat dilakukakan dengan program vaksinasi
menggunakan Vaksin Strain 19. Penanggulangan terhadap penyakit ini terutama dilakukan
terhadap sanitasi lingkungan dan pengawasan lalu lintas ternak
 Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh leptospira antara lain : L.pomona, L.hardjo,
L.ichterohaemorraghica, leptospirosis juga bersifat zoonosis. Gejala klinis yang nampak adalah
terjadinya hemoglobinuria, ikterus, penurunan produksi susu dan terjadi abortus pada umur
kebuntingan 6 bulan.

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Cara penularan penyakit ini adalah melalui luka pada selaput mukosa yang dicemari oleh
urine, cairan yang keluar dari alat kelamin betina penderita setelah abortus dan placenta yang
terinfeksi dan kawin alami.
Diagnosa terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan terhadap fetus dan
selaput fetus yang diabortuskan, identifikasi kuman dan uji serologis
Pengobatan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika penisilin
dan streptomisin. Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi, tetapi vaksinasi tidak
mengurangi pengeluaran kuman melalui urin hewan penderita.
 Infeksi Virus
 Bovine Viral Diarrhea (BVD)
Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah penyakit yang menyebar hampir diseluruh dunia
yang disebabkan oleh virus famili Flaviviridae genus Pestivirus. Virus BVD (BVDV) dibagi
menjadi 2 genotip berdasarkan perbedaan genetik dan sifat antigeniknya yaitu BVDV-1 dan
BVDV-2. Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis. Gejala klinis yang timbul pada bentuk akut
adalah naiknya suhu tubuh, leukopenia (berkurangnya leukosit dalam darah) disertai diare yang
hebat, terjadi penurunan produksi susu. Pada mukosa mulut dan saluran pencernaan dapat terjadi
erosi dan nekrosa. Pada bentuk kronis, diare terjadi dalam jangka waktu lama. Apabila hewan
dalam keadaan bunting dapat terjadi plasentitis, abortus, fetus lahir dalam keadaan mati
(stillbirth) atau terjadi kelahiran dengan kondisi fetus yang sangat lemah.
Penularan penyakit ini dapat terjadi secara kontak langsung dengan bahan yang tercemar
atau secara vertikal dari induk ke fetus melalui plasenta.
Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis berupa terjadinya
erosi dan nekrosa pada mukosa mulut yang disertai dengan terjadinya diare yang hebat dan uji
serologis.
Pengobatan yang tepat terhadap penyakit ini belum ada, tetapi untuk mengatasi
kehilangan cairan akibat diare dapat dilakukan dengan pemberian calcium boroglukonas secara
intra vena. Untuk pencegahan dapat dilakukan dengan pelaksanaan vaksinasi.
 Infectious Bovine Rhinotracheitis–Infectious Pustular Vulvovaginitis (IBR-IPV)
Penyakit ini dapat menyerang sistem pernafasan dan sistem reproduksi sapi. Gejala klinis
yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan dari hidung, pernafasan yang cepat dan batuk. Pada

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
mukosa alat kelamin (vulva, vagina, penis dan preputium) terjadi lepuh berupa bintik yang
berdinding tipis dan berisi cairan. Pada penderita yang dapat terjadi abortus
Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui makanan yang tercemar oleh virus dan juga
dapat terjadi melalui perkawinan alami.
Diagnosa penyakit ini dapat dilakukan melalui pengamatan gejala klinis dan uji serologis.
Penanganan terhadap penyakit ini hanyalah bersifat untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder
oleh kuman, sehingga pada mukosa yang mengalami lepuh dapat diolesi dengan salep
antibiotika. Pencegahan dapat dilakukan melalui vaksinasi.
 Infeksi Protozoa
 Trichomoniasis
Trichomoniasis adalah penyakit kelamin menular pada sapi yang disebabkan oleh
protozoa yaitu Trichomonas fetus. Gejala klinis dari penyakit ini adalah terjadi abortus pada
kebuntingan trimester pertama (umur 3-4 bulan). Kadang tidak nampak terjadi abortus tetapi
hewan menjadi birahi kembali 30 – 70 hari setelah dikawinkan, hal ini menunjukkan terjadinya
kematian embrional. Terjadi keluarnya cairan mukopurulen dari vagina yang menandakan
terjadinya penimbunan nanah pada uterus (pyometra). Pada hewan jantan terjadi radang pada
penis dan preputium.
Cara penularan penyakit ini adalah melalui kawin alam dari pejantan yang terinfeksi, alat
IB yang tercemar oleh protozoa ini. Selama kebuntingan, parasit ini dijumpai dalam uterus,
cairan amnion dan allantois serta dalam saluran pencernaan fetus. Bila kebuntingan berakhir
maka biasanya parasit ini akan menghilang dalam waktu 48 jam dan akan muncul kembali pada
fase proestrus berikutnya.
Diagnosa terhadap penyakit ini biasanya dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang
terjadi berupa siklus estrus yang tidak teratur, terjadi peningkatan service per conception (S/C),
abortus dan pyometra. Untuk memastikan diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopisterhadap cairan amnion dan allantois dari fetus yang diabortuskan, cairan vagina dan
smegma preputii untuk menemukan adanya Trichomonas sebagai penyebab penyakit ini.
Biakkan pada media hati anak ayam dapat dilakukan terhadap sampel yang diperoleh dari fetus
yang diabortuskan. Beberapa uji serologis dapat pula dilakukan untuk mendiagnosa penyakit ini,
walaupun hasil yang diperoleh tidak terlalu memuaskan.

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Pengobatan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian dimetridazole
secara intra uterin atau secara peroral. Pada pejantan pengobatan dapat dilakukan dengan
mengoleskan salep bovoflavin yang mengandung akriflavin pada mukosa penis dan
preputiumnya serta pemberian dimetridazole secara peroral. Pencegahan dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan yang ketat terhadap pejantan yang akan digunakan sebagai sumber
semen untuk inseminasi buatan. Penghentian kawin secara alami akan membantu pencegahan
penyebaran penyakit ini.
 Kelainan Congenital
Kelainan congenital sebagai penyebab terjadinya gangguan reproduksi disebabkan karena
faktor genetik baik yang diturunkan oleh induk maupun pejantan. Beberapa kelainan congenital
yang dapat terjadi antara lain, aplasia ovarium,hipoplasia ovarium, dan freemartin
 Aplasia Ovarium
Aplasia ovarium adalah kelainan berupa tidak terdapat pertumbuhan salah satu atau
kedua ovarium sejak lahir sampai dewasa. Ovarium dapat ditemukan hanya berupa penebalan
seperti kepala jarum pentul yang lunak. Hewan yang menderita kelainan ini, tidak pernah
menunjukkan birahi dan biasanya menyerupai hewan jantan. Diagnosa dapat dilakukan dengan
palpasi per rektal dimana ovarium tidak ditemukan.
 Hipoplasia Ovarium
Keadaan dimana salah satu atau kedua ovarium tidak berkembang sempurna sehingga
ukurannya lebih kecil dari normal. Pada pemeriksaan secara palpasi per rektal, teraba ovarium
tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dari ukuran normal seperti pada penderita atropi ovarium.
Hal yang membedakan antara hipoplasia ovarium dengan atropi ovarium adalah faktor penyebab
dari kelainan tersebut, dimana hipoplasia ovarium disebabkan karena faktor genetik sedangkan
atropi ovarium disebabkan karena faktor nutrisi sehingga terjadi gangguan hormonal yang
menyebabkan hipofungsi ovarium dan bila tidak dilakukan penanganan dalam jangka waktu
yang lama maka menyebabkan terjadinya atropi ovarium.
 Freemartin
Pedet betina yang lahir kembar dengan pedet jantan disebut freemartin. Sapi betina yang
lahir kembar dengan jantan, lebih dari 90 % adalah freemartin. Penderita freemartin bersifat
majir sehingga tidak dapat berreproduksi. Gejala klinis pada penderita freemartin adalah alat
kelamin tidak tumbuh secara normal; vulva kecil dan klitoris berkembang menjadi lebih besar,
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
vagina kecil dan pada ujung bagian depannya buntu, serviks dan uterus tidak berkembang. Pada
pemeriksaan per rektal, ovarium tidak teraba dan uterus teraba kecil seperti pita.
 Patologi Alat Reproduksi
Sebagian besar patologi alat reproduksi penyebab kemajiran pada ternak disebabkan oleh
faktor mekanik (trauma), genetik dan infeksi oleh mikroorganisme atau gabungan dari faktor
tersebut. Patologi alat reproduksi dapat terjadi pada hewan yang sudah pernah melahirkan atau
dara. Kasus ini lebih sering terjadi setelah kelahiran terutama kelahiran yang tidak normal
(distokia). Pada saat pertolongan distokia, alat yang digunakan dapat melukai mukosa dari
saluran reproduksi sehingga menimbulkan luka yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada
saluran reproduksi. Patologi alat reproduksi dapat juga terjadi akibat adanya pertumbuhan yang
abnormal (tumor) pada alat reproduksi yang dapat menyebabkan kemajiran.
 Repeat Breeder (Kawin berulang)
Repeat breeder atau kawin berulang adalah keadaan dimana seekor betina yang memiliki
siklus estrus yang normal dan kondisi kesehatan yang baik, bila dikawinkan dengan pejantan
atau inseminasi buatan dengan semen dengan kualitas yang baik tetapi tidak menghasilkan
kebuntingan. Repeat breeder dapat disebabkan karena terjadinya kegagalan fertilisasi atau
kematian embrional.
Kegagalan fertilisasi dapat terjadi karena terjadi kelainan saluran reproduksi, kegagalan
ovulasi, kelainan pada ovum atau kesalahan pengelolaan reproduksi (deteksi estrus, pelaksanaan
IB, pakan) sedangkan kematian embrional dapat terjadi karena kelainan genetik (adanya gen
lethal), infeksi pada saluran reproduksi atau kondisi dalam uterus yang tidak sesuai untuk
perkembangan embrional.
Diagnosa penyebab repeat breeder dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan klinis
terhadap saluran reproduksi, pemeriksaan terhadap cairan vagina atau uterus untuk menentukan
macam dan populasi mikroorganisme yang ada dan pemeriksaan hormonal.
Penanggulangan terhadap terjadinya repeat breeder tergantung pada penyebabnya
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara teliti terhadap penyebabnya. Apabila repeat
breeder disebabkan oleh faktor genetik maka induk penderita sebaiknya dikeluarkan dari
peternakan dan bila disebabkan karena terjadi infeksi maka dapat dilakukan pengobatan dengan
antibiotika. Penggunaan preparat hormon GnRH atau gonadotropin dapat dilakukan pada
penderita yang disebabkan karena gangguan hormonal.
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
 Anestrus
Anestrus adalah keadaan dimana hewan betina tidak menunjukkan tanda tanda estrus.
Anestrus dapat bersifat normal (belum pubertas, saat bunting, diluar fase estrus, laktasi, setelah
melahirkan atau pada hewan yang sudah tua).maupun abnormal (infeksi, pakan, gangguan
keseimbangan hormonal).
Diagnosa terhadap kejadian anestrus abnormal dapat dilakukan dengan palpasi per rektal
untuk mengetahui kondisi ovarium sehingga dapat ditentukan cara pengobatan yang tepat.
Penanggulangan Gangguan Reproduksi
Penanggulangan gangguan reproduksi sangat tergantung dari penyebab gangguan
tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya
gangguan reproduksi.
 Perbaikan manajemen pemeliharaan
Kondisi lingkungan dan ketersediaan pakan adalah hal pokok yang perlu diperhatikan
dalam suatu peternakan. Lingkungan yang tidak sesuai (suhu, kebersihan) akan memicu
terjadinya gangguan kesehatan secara umum yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi.
Kekurangan pakan akan semakin memperparah kondisi kesehatan ternak.
 Pemeriksaan rutin kesehatan hewan
Pemeriksaan rutin kesehatan hewan perlu dilakukan untuk mengetahui secara dini
gangguan kesehatan hewan sehingga penanganannya dapat segera dilakukan. Pencegahan
terhadap suatu penyakit dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi. Beberapa penyakit infeksi
dapat menyebabkan terjadinya gangguan reproduksi dan bila terlambat penangannanya dapat
menyebabkan gangguan reproduksi permanen.
 Catatan kesehatan dan reproduksi
Catatan kesehatan dan reproduksi mutlak diperlukan dalam suatu peternakan sehingga
setiap ternak memiliki riwayat kesehatan dan gangguan reproduksi yang pernah dialami. Catatan
reproduksi diperlukan untuk menentukan efiensi reproduksi.
 Pemilihan preparat hormon yang tepat dalam penanganan gangguan reproduksi
Pemilihan preparat terutama hormon yang tepat diperlukan terutama dalam penanganan
gangguan reproduksi berupa anestrus akibat gangguan keseimbangan hormonal. Penanganan
pada kasus anestrus yang disebabkan karena terjadinya hipofungsi ovarium preparat hormon

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
yang dipilih akan berbeda dengan preparat hormon untuk penanganan kasus anestrus akibat
adanya korpus luteum persisten.
 Pengawasan lalu lintas ternak
Pengawasan terhadap lalu lintas ternak sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya
penyebaran penyakit infeksi termasuk penyakit yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi.

Gangguan Reproduksi Pada Ternak Jantan


Dibandingkan hewan betina kasus kemajiran atau penurunan kesuburan pada hewan
jantan pada dasarnya sama banyak maupun variasinya. Demikian juga bahaya terhadap hewan
lain, dan kerugian yang diakibatkannya sama seperti pada hewan betina. Akibat gangguan
reproduksi pada hewan jantan dapat menurunkan efisiensi reproduksi pada kelompok ternak
disuatu kawasan peternakan, akibatnya dapat penurunan produktivitas dan reproduktivitas
kelompok hewan tersebut.
Seekor pejantan yang majir/steril sebenarnya tidak sulit untuk diidentifikasi karena
sepenuhnya pejantan itu tidak mempunyai kemampuan untuk bereproduksi. Hanya pejantan yang
menderita gangguan reproduksi dalam klasifikasi tidak subur dan temporer agak sulit dikenal
kasusnya sehingga menyebabkan persoalan bagi peternak disamping dapat menimbulkan
kerugian ekonomi karena menurunnya produktivitas ternak.
Kesuburan pejantan
Pada ternak derajat kesuburan pejantan dapat diukur dari beberapa aspek seperti :
1. Produksi spermatozoa
2. Libido
3. Kemampuan berkopulasi
4. Kondisi kelenjar asesoris
Produksi spermatozoa
Kemampuan hewan jantan untuk bereproduksi tergantung pada kemampuan untuk
memproduksi semen dalam arti dapat menghasilkan semen yang banyak dengan kualitas dan
kuantitas yang baik. Sel maninya mempunyai kemampuan untuk membuahi sel telur dengan
baik. Produksi semen yang tinggi dinyatakan dengan volume tiap pancaran semen yang tinggi
dengan konsentrasi semen yang tingi pula. Sedangkan kualitas semen yang baik dinyatakan

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
dengan persentase sel yang hidup dan bergerak progresif yang tinggi, sel yang abnormal tidak
melebihi dari 5% serta sel spermatozoa yang mati tidak boleh lebih dari 15%.
Data produksi semen yang normal dari berbagai hewan
Spesies Umur Volume pH Konsentrasi/ml Jumlah Sel
Ternak Pubertas (ml) (Juta/mm3) Spermatozoa
(Bulan) Per Ejakualat
(milyard)
Kuda 10-24 50-125 7,3-7,5 60-3000 6-20
Sapi 7-18 5-6 6.3-6,9 800-1250 4-6
Domba 4-12 0,8-1,25 6,3-6,5 1000-3500 1-2
Kambing 4-12 0,5-1,25 6,3-6,5 1500-4000 1-2
Babi 5-7 200-300 6,8-7,2 100-4000 10-100

Libido Pejantan
Kemampuan reproduksi ditinjau dari libido pejantan dibagi menjadi :
a. Libido tinggi
b. Libido baik
c. Libido yang rendah
Libido seekor pejantan dapat diukur dengan menggunakan waktu reaksi yaitu waktu yang
diperhitungkan sejak pejantan didekatkan pada hewan betina pemancing sampai saatnya kopulasi
terjadi. Pejantan yang mempunyai libido yang sangat baik adalah pejantan yang mempunyai
waktu reaksi kurang dari 1 menit. Pejantan yang mempunyai libido baik adalah yang mempunyai
waktu reaksi antara 1-5 menit, dan pejantan yang mempunyai libido sedang adalah yang
mempunyai waktu reaaksi 5-10 menit. Sedangkan pejantan yang memiliki libido yasng rendah
mempunyai waktu reaksi lebih dari 10-30 menit. Kalau waktu reaksi lebih dari 30 menit,
pejantan dianggap tidak mempunyai libido.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan libido pada hewan jantan menjadi rendah yaitu :
a. Penyakit umum maupun penyakit kelamin
b. Gangguan keseimbangan hormon reproduksi
c. Gangguan pada syaraf lumbal dan sakral
d. Pemakaian pejantan yang berlebihan
e. Kaki belakang yang menderita sakit

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
f. Hewan jantan terlalu gemuk
g. Keracunan
h. Pakan yang kurang atau berlebih
i. Faktor genetis
j. Keadaan lingkungan yang kurang serasi
k. Umur yang terlalu tua atau terlalu muda
Kemampuan Berkopulasi
Kemampuan mengadakan kopulasi pada hewan jantan tidak selalu tergantung pada
tingkat libido hewan jantan tersebut. Libido yang baik tidak selalu diikuti oleh kemampuan
berkopulasi yang tinggi. Bila hewan jantan yang mempunyai libido yang cukup baik tetapi tidak
mampu berkopulasi, dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ereksi penis yang kurang
sempurna. Ereksi dikatakan sempurna bila seluruh penis dapat dikeluarkan dari preputium dan
dapat memasuki alat kelamin betina secara sempurna. Sebaliknya ereksi dikatakan tidak
sempurna bila penis hanya sebagian saja yang dapat dikeluarkan dari preputium, sehingga hanya
sebagian saja dari penis yang dapat memasuki alat kelamin betina.
Ereksi yang tidak sempurna dapat disebabkan oleh alat reproduksi jantan yang tidak
normal seperti :
a. Pimosis suatu kelainan yang penisnya tidak dapat keluar dari pintu gerbang preputium
b. Adanya perlengketan antara dinding preputium dengan penis khususnya pada bagian
pangkal penis
c. Radang preputium (postitis) yang kronis
d. Urolithiasis yaitu suatu keadaan yang terjadi proses pengapuran pada bagian penis diluar
saluran uretra, sehingga bagian yang terjadi pengapuran menjadi membengkak dan tidak
dapat melalui mulut preputium
e. Adanya gangguan pada urat daging (muskulus) retraktor penis pada golongan ruminansia
yang mengatur proses ereksi dengan cara meluruskan tekuk sigmoid penis pada waktu
ereksi
f. Adanya radang pada teracak (Pododermatitis)

Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Kondisi kelenjar pelengkap
Kondisi kelenjar asesoris sangat memegang peranan penting dalam menentukan
kesuburan hewan jantan. Kelenjar asesosris secara fisiologi akan menghasilkan cairan yang
mengandung baik bahan organik maupun anorganik yang penting untuk memelihara kehidupan
sel mani di dalam saluran alat kelamin jantan maupun pada saat setelah dipancarkan.
Diagnosa gangguan reproduksi pada pejantan
Ada beberapa cara untuk mendiagnosa gangguan reproduksi atau kemajiran pada hewan
jantan yaitu :
a. Memperhatikan Catatan Tentang Hasil Perkawinan Dari Pejantan
b. Pemeriksaan Fisik Alat Kelamin Jantan
c. Pengamatan Perilaku Kawin
d. Pemeriksaan Air Mani yang Teleiti Terntang Kualitas dan Kuantitasnya
Memperhatikan Catatan Tentang Hasil Perkawinan Dari Pejantan
Termasuk dalam catatan tentang hasil perkawinan dari pejantan adalah angka
kebuntingan. Adanya gangguan reproduksi pada pejantan ditunjukkan dengan angka kebuntingan
yang rendah. Adanya beberapa ekor hewan betina yang selalu gagal menjadi bunting bila
dikawinlan secara alam dengan pejantan tersebut, padahal betinanya menunjukkan kesuburan
yang baik memberi petunjuk kemungkinan terjadi gangguan reproduksi pada pejantannya.
Pemeriksaan Fisik Alat Kelamin Jantan
Pemeriksaan fisik alat kelamin untuk diagnosa ganguan reproduksi pada hewan jantan,
dilakukan pada beberapa bagain alat kelamin jantan yaitu :
a. Testis dan skrotum dengan palpasi memakai tangan, diperhatikan kondisi dinding
skrotumnya
b. Penis. Penis yang normal adalah mukosanya berwarna merah muda dan tidak ada cacat.
c. Preputium. Preputium yang normal tidak memperlihatkan adanya pembengkakan
mukosa, preputium mengalami prolapsus
d. Kelenjar asesoris. Kondisi dari kelenjar ini dapat diperiksa melalui perabaan rectal.
Pengamatan Perilaku Kawin
Pengamatan perilaku kawin dari hewan jantan didasarkan pada tingkat libido pejantan
tersebut. Pada Pejantan yang libidonya menurun akan ditandai dengan waktu reaksi yang
semakin membesar
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
Pemeriksaan semen pejantan
Pemeriksaan semen yang teliti dipakai untuk menentukan kualitas dan kuantitas semen.
Pemeriksaan semen terdiri dari pemeriksaan makroskopis yang dilakukan dengan mata telanjang
pada semen segera setelah diambil dari seekor pejantan yang meliputi volume, pH, kosistensi,
warna dan bau. Pemeriksaan mikroskopis semen meliputi pemeriksaan konsentrasi semen,
penghitungan persentase sel mani yang hidup, sel mani yang bentuknya abnormal, adanya gerak
sel mani, adanya gerakan masa sel mani.
Pemeriksaan biologis semen meliputi uji daya tahan sel mani (resistensi tes). Uji daya tahan sel
mani dilakukan dengan mencampurkan sel mani dengan larutan NACl 1%.
Kelainan alat kelamin jantan
Kelainan alat kelamin jantan menurut bagian mana dari alat kelamin yang mengalami
kelainan, dapat dikelompokkan dalam 4 bagian
a. Kelainan Testis
b. Kelainan Epididimis dan Vas Deferens
c. Kelainan Kelenjar Asesoris
d. Kelianan Penis dan Preputium
Kelainan Pada Testis
a. Orchitis adalah radang pada testis yang kasusnya termasuk jarang terjadi pada hewan
jantan
b. Degenerasi testis atau atropi testis adalah suatu keadaan pada testis yang karena suatu
sebab mempunyai ukuran lebih kecil dari normal dan konsistensinya keras, tetapi
sebelumnya mempunyai ukuran normal. Sering terjadi pada sapi dan kuda disertaii
penurunan kesuburan.
c. Spermatocele adalah suatu keadaan pada epididimis yang menjadi buntu sehingga
diameternya membesar, terutama pada bagian caudaepididimis, karena terisi oleh sel
mani dan bahan bahan lainnya. Banyak terjadi pada kambing domba dan babi jantan.
d. Hipoplasia testis adalah kelainan anatomi testis bersifat genetik yang ukuran testisnya
menjadi lebih kecil dari ukuran yang normal
e. Kriptorchid. Secara normal testis pada hewan dewasa terletak didalam ronga skrotum
kecuali pada unggas. Selama periode embrional, calon gonad jantan berada pada kiri dan
kanan median tubuh didalam ronga perut, tetapi menjelang dilahirkan terjadi perpindahan
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
gonad jantan atau testis kedalam rongga skrotum melalui saluran inguinalis. Peristiwa
berpindahnya atau menurunnya testis dari rongga perut kedalam rongga skrotom disebut
Descencustesticulorum namun pada pejantan tertentu, dapat terjadi kegagaalan
penurunan testis ini kedalam skrotum, sehingga testis tetap tingal dalam rongga perut
atau terjepit di dalam saluran inguinal. Peristiwa tertingalnya testis dalam rongga perut
atau didalam saluran inguinal setelah dilahirkan disebut kriptorchid.
f. Hernia skrotalis adalah suatu keadaan dimana usus masuk kedalam skrotum atau saluran
inguinal. Biasanya keadaan ini bersifat herediter.
g. Varicocele adalah kelainan pada leher skrotum dalam bentuk pembesaran vena yang ada
didalam kordaspermatika. Varicocele banyak ditemukan pada domba merino khususnya
pejantan merino yang telah berumur tua
Kelainan pada Epididimis dan Vas Deferens
a. Epididimitis adalah radang pada epididimis yang dapat terjadi pada semua hewan jantan.
Pada sapi, epididimitis sering terjadi dibanding dengan orkhitis dan sering berhubungan
dengan kejadian radang pada kelenjar asesoris
b. Ampulitis adalah suatu peradangan pada vasdeferens, khususnya pada bagian ampula
disebut ampulitis. Keadaan ini biasanya berhubungan dengan orkhitis, epididimitis atau
seminal vesikulitis
Kelainan pada kelenjar pelengkap
a. Seminal Vesikulitis. Diantara kelenjar asesoris pada alat kelamin jantan ternyata
vesikulaseminalis merupakan kelenjar yang paling sering menderita radang, bahkan lebih
sering dari pada testis dan epididimis
b. Prostatitis adalah radang pada kelenjar prastata. Kasus prostatitis sangat jarang terjadi
pada ternak kecuali pada anjing.
c. Hiperplasia kelenjar prostata adalah suatu pertumbuhan yang cepat sehingga kelenjar
prostata membengkak. Biasanya terjadi pada anjing yang telah berumur lebih dari 5 tahun
d. Karsinoma kelenjar prostata adalah tomor yang terdapat pada anjing walaupun kasusnya
jarang. Gejala yang muncul adalah adanya ketegangan pada waktu defikasi dan rasa sakit
Kelainan penis dan preputium
a. Balanitis dan Postitis. Balanitis adalah radang glans penis, sedangkan postitis adalah
radang pada mukosa preputium
Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016
b. Pimosis dan Parapimosis. Pimosis adalah suatu keadaan dimana penis tidak dapat keluar
dari preputium pada saat ereksi, disebabkan karena penyempitasn gerbang preputium.
Para pimosis adalah keadaan penis yang tidak dapat masuk kembali ke dalam preputium
setelah ereksi
c. Hematoma penis adalah pecahnya pembuluh darah dibawah mukosa penis disertai
penimbunan darah
d. Prolapsus preputialis adalah suatu keadaan pada dinding bagian dalam atau mukosa dari
preputium tersebut keluar dari gerbang preputium.
e. Ruptura penis adalah adanya persobekan pada mukosa penis yang dapat mengakibatkan
gangguan terhadap proses kopulasi, menyebabkan adanya ketidak sempurnaan penis
dalam mengadakan ereksi atau dapat meyebabkan rasa sakit pada saat ereksi dan kopulasi
f. Deviasi penis adalah bentuk penis yang menyimpang dari bentuk normal. Bentuk yang
menyimpang dari klasifikasi deviasi penis adalah penis yang membengkok, penis yang
berbentuk spiral, penis yang pendek, strangulasi penis.
g. Urolitiasis adalah suatu keadaan yang terjadi proses pengapuran pada batang penis diluar
saluran uretra.
h. Divertikulum praeputiale adalah kelainan yang kadang kadang terlihat pada alat kelamin
jantan khusunya babi, adalah terbentuknya legokan yang berkembang pada bagaian
bawah dari ujung depan preputium
i. Kelanan pada urat daging retraktor penis.

Daftar Pustaka

Bearden HJ., Fuquay JW., 1992. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing Company,
Inc. Reston Virginia.

Hafez ESE., Hafez B., 2002. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Lippincott Williams &
Wilkin, Philadelphia, Pennsylvania 19106-3621 USA.

Hardjo Pranjoto, S., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak.Airlangga University Press. Surabaya.

Partodihardjo, S. 1984. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara,Bandung

Pemayun,TGO., 2010. Reproduksi Ternak Sapi. Penerbit Pelawa Sari

Toelihere, M.T.,1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa Bandung


Disampaikan pada “Pelatihan Kelompok Tani Ternak Sapi Bali Binaan BPTU-HPT Denpasar”,
Denpasar, 3 Maret 2016

Anda mungkin juga menyukai