BUKU
PEMASARAN RITEL
POLBAN
TOPIK KEGIATAN
MODEL PERCEPATAN
PENGEMBANGAN DAERAH TUJUAN
WISATA BELANJA
Ketua : Drs. Dwi Suhartanto, MCM. Ph.D (0003106105)
Anggota : 1. Dr. Ruhadi, SE. ME (0026076004)
2. Dra. Ni Nyoman Triyuni, MM (0031126285)
POLITEKNIK NEGERI
BANDUNG
November 2016
Pemasaran
Ritel
Dwi Suhartanto, Ph.D
Dr. Ruhadi
Ni Nyoman Triyuni, MM
KATA PENGANTAR
Pariwisata belanja merupakan salah satu sub-sektor pariwisata yang strategis untuk
dikembangkan karena besarnya pengeluaran turis digunakan untuk belanja. Dengan
prosentase pengeluaran tersebut, dibandingkan dengan sektor pariwisata lainnya
seperti penginapan dan hiburan, pariwisata belanja memberikan kontribusi paling
besar bagi industri pariwisata. Meskipun sektor pariwisata belanja mempunyai
peranan penting bagi pengembangan industri pariwisata, sampai saat ini, di Indonesia
sektor ini kurang mendapatkan perhatian dan kurang berkembang.
Pemasaran ritel terhadap turis maupun konsumen pada umumnya merupakan suatu
hal yang komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Buku ini memfokuskan pada
aspek-aspek yang paling penting dari pemasaran ritel terhadap turis dalam berbelanja.
Aspek pertama adalah konsep-konsep dasar dalam pemasaran ritel di destinasi wisata,
mulai dari pengantar, perilaku turis dalam berbelanja, sampai dengan aspek ritel mix
untuk ritel di destinasi wisata. Aspek selanjunya yang dibahas adalah operasional dari
ritel didestinasi wisata, meliputi pemilihan produk yang dijual, penentuan harga,
samapai dengan promosi yang perlu dilakukan. Aspek selanjutnya dalah pendukung
keberhasilan dari ritel yang meliputi pengelolaan sumber daya manusia, teknologi di
bisnis ritel dan pengeloaan hubungan pelangan.
Dengan terbitnya buku ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulisa buku ini, khususnya kepada Pemerintah (Cq.
DIKTI) dan para asisten, Lulu Rusdianto dan Regina Agustina yang telah membantu
menyiapkan naskah buku ini. Untuk penyempurnaan buku ini, kritik dan masukan
dari semua pihak sangat diharapkan.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
BAB 1
MANAJEMEN RITEL: RUANG LINGKUP
Tujuan
Bisnis ritel di Indonesia semakin berkembang. Hal ini terlihat dari semakin
maraknya ritel modern, baik yang merupakan peralihan dari ritel tradisonal maupun
ritel baru dengan konsep yang modern. Perkembangan ritel modern ini menuntut
adanya perubahan paradigma para peritel, mulai dari sisi relasi antara produsen dan
pemasok hingga kondisi pasar. Sehingga, para peritel memerlukan pemahaman yang
komprehensif tentang manajemen ritel.
1
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
Pemilihan lokasi merupakan hal yang memerlukan banyak pertimbangan ketika akan
membuka sebuah toko ritel. Hal ini dikarenakan keputusan terhadap lokasi akan
sangat berdampak terhadap investasi dan strategi bisnis (Utami, 2008b). Namun,
seringkali para peritel tradisional mengorbankan keputusan tentang lokasi karena
ketiadaan modal. Ketiadaan modal untuk memilih lokasi strategis menyebabkan
aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi menjadi terabaikan
(Utami, 2008a). Oleh karenanya, para peritel lebih memilih menggunakan lokasi
yang saat itu telah dimilikinya atau lokasi yang secara kebetulan telah tersedia
(Sujana, 2012).
2
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
1. Lokasi strategis
Dalam mengelola ritel modern, pemilihan lokasi merupakan aspek yang sangat
penting. Peritel modern akan mempertimbangkan banyak hal, diantaranya:
akesibilitas lokasi, keamanan, dan fasilitas yang lebih baik. Sehingga, seringkali
mereka memilih tempat seperti mal yang dapat menawarkan pemenuhan kebutuhan
pelanggan dalam satu tempat (one stop shopping) (Utami, 2008b).
3
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
Pergeseran paradigma dari ritel tradisional menuju ritel modern diharapkan menjadi
faktor penunjang kesuksesan para peritel kecil. Walaupun dengan pendanaan yang
4
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
terbatas, peritel kecil diharapkan mampu bertahan dalam jangka panjang dan terus
mengembangkan bisnisnya ke skala yang lebih besar.
Selain karena bertumbuhnya bisnis ritel modern dan tuntutan konsumen terhadap
peningkatan pelayanan dalam bisnis ritel, ada beberapa faktor yang mendorong
industri ritel berubah dengan sangat cepat, yaitu: meningkatnya konsentrasi industri
bisnis ritel, globalisasi, dan penggunaan media dalam interaksi konsumen.
2. Globalisasi
Pada mula nya, ritel merupakan bisnis yang dikelola dan ditujukan untuk orang-
orang yang berada dalam satu lingkungan (Utami, 2008b). Namun, globalisasi telah
mendorong para peritel untuk mengembangkan bisnisnya ke daerah lain. Peritel
menggunakan konsep ritel yang telah berhasil di negara nya untuk diaplikasikan di
negara lain. Menurut Utami (2008b)Berikut terdapat tiga faktor yang mendorong
globalisasi ritel internasional, yaitu :
a. Pasar domestik yang semakin dewasa
Pasar domestik di negara asal peritel telah terpenuhi dengan baik. Hal ini
mendorong para peritel untuk melakukan ekspansi ke luar negeri dan mengisi
kekosongan pasar di negara tujuannya.
b. Keahlian dan sistem (skills and system)
Keahlian peritel modern dalam mengelola system informasi dan distribusi di
negara asalnya, memungkinkan peritel tersebut untuk mengatur toko nya yang
tersebar di berbagai wilayah.
c. Penghalang perdagangan (trade barrier).
Berbagai kebijakan dalam perdagangan internasional telah memudahkan
investasi asing untuk masuk ke negara tujuan peritel. Berbagai hambatan
perdagangan telah dihapuskan, bahkan pemerintah daerah pun telah
mengizinkan pembangunan shopping center dan mal di daerah nya (Sujana,
2012).
5
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
sebagai media interaksi. Namun, banyak peritel menganggap penggunaan satu cara
interaksi saja belum cukup optimal, sehingga mereka mengkombinasikan berbagai
cara untuk dapat berinteraksi dan menjalin relasi dengan konsumennya.
Bisnis ritel terus bertumbuh karena pentingnya fungsi yang dijalankannya. Stanton
(1995) menjelaskan bahwa fungsi dari ritel adalah mengumpulkan dan
mengonsentrasikan beragam produk dari berbagai produsen. Sedangkan menurut
Foster (2008) ritel berfungsi untuk memberikan pelayanan semudah mungkin kepada
konsumen. Adapun Christina (Utami, 2008b) melihat fungsi ritel dari dua sisi, dari
sisi konsumen dan dari sisi produsen . Dari sisi konsumen, peritel berfungsi untuk
meningkatkan nilai produk yang dijual. Sedangkan dari sisi produsen, ritel berfungsi
untuk mendistribusikan produk. Secara lebih lengkap, ritel berfungsi sebagaimana
berikut:
6
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
1. Kesetiaan Konsumen
Konsumen yang setia adalah konsumen yang bersedia untuk terus berbelanja di ritel
tertentu dan enggan untuk beralih kepada ritel pesaing (Utami, 2008b), sekalipun
kompetitornya melakukan berbagai usaha untuk menarik pelanggan. Dengan
memiliki konsumen yang setia, perusahaan tidak perlu bersusah payah dan
menghabiskan banyak biaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Reicheld (1996), bahwa secara umum mendapatkan pelanggan baru
memerlukan biaya lebih mahal dibandingkan dengan mempertahankan pelanggan
yang telah ada. Untuk membangun kesetiaan pelanggan, peritel dapat melakukan
hal-hal berikut:
a) Mengembangkan strategi yang jelas dan tepat
Pengembangan srategi ini dilakukan melalui pembangunan citra di benak
konsumen dengan menerapkan strategi positioning. Peritel meneliti image
seperti apa yang ada di benak konsumen dan mencari tahu keinginan
konsumen terhadap toko ritelnya (Utami, 2008b). Pengembangan citra toko
secara jelas merupakan hal yang sangat penting, karena citra toko ini
menjelaskan dua hal, dari sisi peritel citra merupakan gambaran jiwa atau
kepribadian toko yang ingin disampaikan kepada pelanggan. Sedangkan dari
sisi konsumen citra toko dianggap sebagai sikap individu dari suatu toko
7
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
(Sopiah & Syihabudin, 2008). Sehingga citra toko yang terbentuk dapat
memposisikan toko ritel nya di benak konsumen.
b) Menciptakan hubungan emosional melalui program kesetiaan pelanggan
Program kesetiaan pelanggan merupakan bagian dari konsep CRM
(Customer Relationship Marketing). CRM merupakan paradigma baru
dalam pemasaran (Kotler) yang mengalihkan fokus pemasaran dari
menciptakan transaksi menjadi upaya dalam mempertahankan pelanggan
(Zeithaml, Bitner, & Jo, 2000). Peritel menggunakan CRM sebagai basis
informasi untuk mendapatkan database pelanggan. Dari informasi yang
didapatkan, peritel dapat menyesuiakan aktivitas promosi dan
penawarannya berdasarkan kebutuhan konsumen (Utami, 2008b). Sehingga
pelanggan menjadi puas, loyal, dan menceritakan hal-hal baik tentang
perusahaan kepada kerabatnya (Kotler & Armstrong, 2006)
2. Lokasi
Kotler (2004) menyatakan bahwa kunci sukses dalam bisnis ritel adalah lokasi,
lokasi, dan lokasi. Pernyataan tersebut menyiratkan pentingnya memilih lokasi
dalam berbisnis ritel. Lokasi strategis merupakan keunggulan bersaing yang sangat
sulit ditiru. William (1988) mengatakan bahwa bila semua faktor memiliki bobot
nilai yang sama dalam keputusan pemilihan toko, konsumen akan memilih toko yang
paling dekat karena dapat menghemat waktu dan tenaga yang dimilikinya. Sehingga,
peritel perlu memilih lokasi yang tepat untuk bisnisnya, karena Lokasi merupakan
komitmen jangka panjang terhadap fleksibilitas masa depan ritel yang berimplikasi
secara permanen dan mempengaruhi pertumbuhan bisnis ritel pada masa yang akan
datang.
8
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
6. Hubungan-hubungan pedagang/penjual
Peritel perlu membangun relasi yang kuat dengan para pemasok sehingga mereka
mendapatkan hak-hak ekslusif, antara lain: (1) untuk menjual produk di lokasi
tertentu, (2) mendapatkan hak ekslusif dalam menjual produk yang tidak ditawarkan
kepada pesaing, dan (3) menerima produk bermerek terkenal dengan pengiriman
yang singkat.
9
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
10
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup
Referensi
Dunne, Lusch, & Gable. (1995). Retailing (Second edition ed.). South Western:
International Thomson Publishing Company.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung Alfabeta.
Kotler, P. Marketing Management (11 edition ed.). New Jersey: Prentice Hall
International Inc.
Kotler, P. (2003). Marketing Management (11 th edition ed.). New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Kotler, P., & Amstrong, G. (2004). Principles of Marketing (10th edition ed.). New
Jersey: Prentice Hall Upper Sadle River.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2006). Prinsip-Prinsip Pemasaran (edisi ke-12 ed.).
Jakarta: Erlangga.
Longnecker, Moore, & Petty. (2003). Small Business Management (12-edition ed.):
South Western College Publishing.
Porter, M. E. ( 1991). Competitive Strategy: Technique for Analyzing Industries and
Competitors. New York: Mc Milan Publishing Co.
Prahald, C. K., & Hael, G. (1990). The Core Competence of The Corporation.
Harvard Business Review, 68, 79-91.
Reicheld, F. F. (1996). The Loylaty Effect, The Hidden force Behind Growth, Profits
and Lasting Value: Harvard Business Scholl Press Bain and Company.
Robert, M. J. ( 1990). Retail Merchandising and Control (First edition ed.). Boston:
Richard D Irwin Inc.
Sopiah, & Syihabudin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi.
Stanton, W. J. (1995). Fundamental of Marketing (10th edition ed.). Singapore: Mc
Graw-Hill International.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Ritel. Jakata:
Salemba empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.
William, D. R., Daniel, S. J., & ., S. W. R. (1988). Retailing Management (Sixth
edition ed.). The United States of America: John wiley and Sons.
Zeithaml, V. E., Bitner, & Jo, M. (2000). Service Marketing: Integrating Customer
Focus Across The Firm (2nd edition ed.): Mc Graw Hill Companies Inc.
11
Bab 2: Retail mix dan STP
BAB 2
RETAIL MIX DAN SEGMENTING, TARGETING, DAN
POSISIONING
Tujuan
1. Memahami penggunaan retail mix dalam penciptaan keunggulan kompetitif
dalam bisnis ritel.
2. Mengetahui elemen-elemen retail mix dalam bisnis ritel.
3. Menjelaskan peran strategi ritel dalam meningkatkan produktivitas bisnis
ritel.
4. Memahami strategi STP: Segmenting, Targeting, & Positioning dalam
bisnis ritel.
Pendahuluan
Ritel merupakan salah satu usaha yang paling berkembang saat ini. Salah
satu alasannya adalah ritel atau eceran mudah didirikan, karena ukuran dan
modalnya dapat disesuaikan dengan kemampuan calon peritel. Semakin banyaknya
usaha ritel saat ini, menimbulkan tantangan yang serius terhadap keberlangsungan
usaha ritel tersebut. Para peritel harus mampu meningkatkan kemampuan bersaing
mereka, agar tetap bertahan dan mampu menjadi pilihan utama bagi para
pelanggannya.
Seiring dengan perkembangan tersebut, bisnis ritel saat ini telah menjadi
industri yang menarik banyak pelaku bisnis. Perkembangan ritel saat ini juga karena
didorong oleh terbukanya peluang pasar, usaha manufaktur yang berkembang pesat
sehingga pasokan produk lebh mudah, selain adanya dukungan pemerintah dengan
regulasi yang memudahkan usaha ritel.
Dalam perkembangannya, industri ritel sangat dipengaruhi oleh perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat. Salah satunya adalah peningkatan pendapatan
masyarakat yang merupakan faktor yang paling berpengaruh di dalam
perkembangan industri ritel. Hal tersebut karena peningkatan pendapatan
masyarakat ikut mempengaruhi daya beli dan gaya hidup masyarakat.
Factor lain yang mendorong perkembangan bisnis ritel adalah adanya
perubahan gaya hidup masyarakat. Saat ini perilaku konsumen mengalami
perubahan dalam pola berbelanja yang cenderung menjadi lebih suka berbelanja di
gerai ritel. Pergeseran pola perilaku pada umumnya didorong oleh keinginan
konsumen untuk berbelanja secara nyaman, mendapatkan kepastian harga,
menginginkan layanan ritel yang baik, dan terdapatnya produk yang lengkap dengan
kualitas yang baik. Selian itu, saat ini konsumen juga cenderung menginginkan
lokasi ritel yang strategis sehingga mudah dicapai.
Seiring dengan perkembangan yang ada, maka persaingan antar bisnis ritel
semakin ketat. Sehingga para peritel dituntut untuk dapat menciptakan sebuah
strategi yang mampu menyaingi kompetitornya. Strategi yang ditetapkan harus
12
Bab 2: Retail mix dan STP
sesuai dan relevan dengan perkembangan bisnis ritel yang terjadi. Strategi tersebut
dapat diciptakan melalui penggunaan retail mix.
Retail mix merupakan strategi pemasaran yang terdiri dari kombinasi
beberapa unsur yang digunakan para peritel dalam memenuhi kebutuhan konsumen
dan pada akhirnya mempengaruhi pelanggan dalam mengambil keputusan
pembelian mereka (Levy & Weitz, 2004). Dalam retail mix ada beberapa hal
mendasar yang perlu diperhatikan oleh peritel, yaitu: produk, lokasi, harga, promosi,
pelayanan, dan suasana toko (Ma'ruf, 2005). Strategi bauran pemasaran ritel (retail
mix) ini sangat penting bagi keberlangsungan toko ritel, karena dengan retail mix
yang tepat, peritel dapat menciptakan keunggulan bersaing dan perbedaan
karakteristik antara toko ritelnya dengan toko ritel kompetitornya.
Menurut (Levy & Weitz, 2004) retail mix merupakan media yang
dimanfatkan untuk mendukung pelaksanaan strategi ritel untuk memuaskan
kebutuhan pelanggan yang dituju. Selain sebagai media untuk memuaskan
kebutuhan pelanggan, retail mix juga dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi
perilaku pelanggan dalam pengambilan keputsan pembeliannya (Christine Whidya
Utami, 2006).
a. Usaha Koordinasi
Strategi retail mix yang dibuat harus direncanakan terlebih dahulu dan
disesuaikan dengan tujuan dari ritel tersebut. Setelah itu, peritel menentukan
jenis aktivitas apa saja yang mampu mendukung strategi retail mix yang
telah ditentukan. Jika peritel sudah melakukan itu semua, maka peritel hanya
perlu mengkordinasikan kegiatan yang satu dengan yang lain, agar berjalan
sesuai dengan rencana yang ada dan dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
b. Orientasi Pelanggan
Peritel perlu mampu menentukan kebutuhan dan keinginan pelanggan
terhadap sebuah ritel. Pada umumnya pelanggan menginginkan agar mereka
dapat berbelanja produk dan jasa dengan kualitas yang tinggi, sesuai dengan
jumlah uang yang mereka miliki. Selain itu, pelanggan juga ingin dapat
berbelanja dalam satu tempat dan memenuhi berbagai kebutuhannya dalam
satu waktu. Sehingga, mereka tidak perlu membuang tenaga dan waktu
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Maka dari itu, peritel harus
mampu membuat retail mix yang disesuaikan dengan perilaku
konsumennya. Meskipun perilaku konsumen cenderung terus berubah setiap
waktu, namun peritel tetap harus mampu mengetahui jenis produk apa yang
diinginkan pelanggan, bagaimana mereka membayar, ataupun bagaimana
suatu produk dapat menarik perhatian mereka untuk mau membeli.
13
Bab 2: Retail mix dan STP
14
Bab 2: Retail mix dan STP
Menurut Levy & Weitz (2004), terdapat 5 (lima) persepsi atau parameter
yang digunakan oleh pelanggan untuk mengevaluasi setiap layanan yang diberikan
pihak toko, yaitu dengan menggunakan service quality (SERVQUAL), yang terdiri
dari beberapa elemen berikut:
a. Berwujud (tangible), meliputi konsisi fisik dari peraatan, staf, fasilitas,
dan aspek fisik lainnya.
b. Empati (empathy) yaitu perhatian dan kepedulian staf kepada kepada
pelanggan, misalnya dalam hal melayani secara pribadi, menyebut nama
pelanggan, menyapa pelanggan dsb.
c. Reliabilitas (Reliability), yaitu kemampuan staf ritel untuk melayani
pelanggan dengan terpercaya dan akurat. Misalnya, layanan yang
diberikan kepada pelanggan dalam hal pengiriman produk sesuai
dengan jadwal yang dijanjikan.
d. Daya tanggap (Responsiveness), yaitu, kemauan taf ritel dalam
membantu konsumen dengan melayani secaa cepat.
e. Kepastian (Assurance), yaitu kesoanan dan pengetahuan staf sehingga
meniimbulkan rasa percaya pelanggan bahwa mereka dilayani dengan
adil dan mendapatkan kepastian layanan.
15
Bab 2: Retail mix dan STP
Selain itu, peritel juga harus memperhatikan ketepatan desain toko. Desain
toko yang dibuat harus strategis, memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk
mengeksplorasi toko dan membuat arus lalu lintas berbelanja nyaman untuk
dilewati. Dengan begitu, maka pelanggan akan merasa nyaman dan tertarik untuk
datang lagi ke toko tersebut (Christina Whidya Utami, 2008).
Suasana didalam toko juga harus dibuat senyaman mungkin, karena suasana
tersebut menggambarkan perusahaan ritel secara keseluruhan (Thoyib, 1998).
Suasana tersebut dapat dibentuk melalui tata letak ruangan, dekorasi yang dipajang,
serta pendesainan lingkungan-lingkungan yang ada disekitar toko. Desain toko yang
baik akan menarik banyak pelanggan untuk datang, karena desain toko merupakan
strategi penting untuk menciptakan suasana yang mampu membuat konsumen
merasa ingin berlama-lama dalam suatu toko.
Dalam pendesainan toko, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
peritel, yaitu:
1. Membangun kesan yang baik.
Tujuan pertama dari pendesainan toko adalah untuk memberikan kesan
pertama yang baik sehingga menarik perhatian konsumen untuk datang dan
berbelanja di toko (Berman & Evans, 2001). Tetapi, karena setiap ritel memiliki
segmen pasar yang berbeda, sehingga jenis produk yang dijual dan ditawarkan
akan bervariasi sesuai dengan konsumen yang menjadi targetnya. Sehingga,
lingkungan dalam toko harus dibuat sesuai serta produk yang dijual harus sesuai
dengan konsumen yang menjadi target (Sujana, 2012). Setelah desain toko,
lingkungan dalam, dan produk sesuai dengan konsumen yang ditarget, maka
toko tersebut akan membuat konsumen nyaman berbelanja dan akhirnya
terbentuk citra yang baik.
3. Mengefisienkan biaya
Prinsip dara mengefienkan biaya dalam pendesainan toko yang tepat adalah
bahwa desain yang menarik akan meningkatkan penjualan dengan cepat. Desain
toko yang baik akan mampu menempatkan produk sedemikian rupa sehingga
memudahkan pelanggan untuk melihat dan mengambilnya. Sehingga, meletakan
barang dagangan yang akan ditawarkan yang dipanjang pada posisi tertentu
disesuaikan dengan nilai jual barang tersebut merupakan hal yang penting
(Christina Whidya Utami, 2008). Dengan penataan tersebut barang tersebut
cenderung akan terlihat dan dibeli oleh konsumen. Akibatnya, biaya yang
16
Bab 2: Retail mix dan STP
Adapun strategi retail didalamnya menurut Levy & Weitz (2004), meliputi:
a. Store design
Layout, penataan bagian dalam toko yang menarik sehingga membuat
konsumen nyaman berbelanja.
Signage and Graphics, merupakan papan penanda dan gambar agar
lingkungan toko menjadi menarik dan memudahkan pelanggan
mencari produk.
Feature Areas, bagian toko yang dibuat untuk menarik perhatian
pelanggan.
b. Space management, yaitu pengaturan tata tuang toko untuk melatakna
barang dangan dan melayani pelanggan.
c. Visual merchandising, penempatakn barang sedemikian rupa sehingga
akan mendaptakn perhatian pelanggan untuk melihat dan membelinya.
d. Atmospheric, keseluruhan desain toko yang dibuat agar dapat
terciptanya suasana hanya yang menyenangkan bagi pelanggan yang
dating ketoko. Suasana hati tersebut diharapkan akan membuat mereka
untuk melakukan pembelian. Athosper toko meliputi banyak aspek,
yaitu pencahayaan, pemilihan warna, pemilihan lagu, dan penggunaan
wewangian.
Communication mix
Peritel dituntut untuk dapat mengomunikasikan produknya kepada
pelanggan, dengan tujuan agar pelanggan tersebut dapat mengenal dan mengetahui
17
Bab 2: Retail mix dan STP
kegunaan/manfaat serta nilai dari setiap produk yang dijual oleh peritel. Dengan
mengetahui hal-hal tersebut, maka pelanggan akan tertarik untuk membeli produk
tersebut. Peritel dapat mengomunikasikan produknya melalui berbagai kegiatan atau
aktivitas promosi. Menurut Ma’ruf (2005) communication mix merupakan
kombinasi dari unsur-unsur seperti iklan, promosi, personal selling, sales promotion,
personal selling, publisitas, dan atmosfer toko.
Promosi merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan yang didesain untuk memberikan informasi, membujuk, atau
mengingatkan pihak-pihak lain tentang perusahaan yang bersangkutan, serta barang
dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Promosi adalah arus informasi
atau persuasi satu arah yang dibuat dengan tujuan untuk mengarahkan seseorang atau
organisasi tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menciptakan
pertukaran dalam pemasaran (Dharmmesta & Irawan, 2005). Pertukaran yang
dimaksud disini adalah proses jual beli yang terjadi antara pihak perusahaan dengan
pelanggan. Sehingga dari kegiatan promosi yang dilakukan, diharapkan peritel dapat
mempengaruhi pelanggan untuk mau melakukan transaksi.
Promosi merupakan strategi khusus yang diciptakan oleh perusahaan
melalui iklan pribadi, promosi penjualan, dan hubungan masyarakat yang dibuat
untuk mencapai tujuan pemasaran dari perusahaan ritel tersebut. Selain itu, promosi
juga merupakan semua jenis kegiatan pemasaran yang ditujukan untuk mendorong
tingkat permintaan dari pelanggan atas produk tertentu yang dijual, Bell dalam
(Swastha & Irawan, 2008).
Menurut (Levy & Weitz, 2004) untuk mengomunikasikan informasi kepada
pelanggan, peritel dapat melakukan beberapa metode sebagai berikut:
1. Komunikasi berbayar dan tidak bersifat pribadi (paid impersonal
communication),
a. Iklan (Advertising), meruapakan bentuk komunikasi yang dibayar
ditujukan kepada pelanggan dengan menggunakan media
impersonal, seperti Koran, radio, dan TV, maupun internet.
b. Promosi penjualan (sales promotion), merupakan penawaran yang
memiliki nilai tambah bagi konsumen pelanggan yang datang atau
membeli produk untuk waktu tertentu.
c. Athospher toko (Store atmosphere), kombinasi aspek fisik dari toko,
baik arsitektur, display produk, layout, warna, suhu temperatur,
cahaya, music dan lain-lain yang secara bersama membentuk image
toko di dalam benak konsumen.
d. Web site, merupakan media yang dapat diakses dengan internet yang
untuk berkomunikasi dengan pelanggan mapun masyarakat umum
lainnya. Media ini biasanya digunakan oleh ritel untuk, salah
satunya, membangun brand image. Website toko biasanya berisi
berbagai infomrasi seperti lokasi, jadwal kegiatan yang akan
dilaksanakan, produk yang dijual, promosi dan sebagainya.
e. Community building, kegiatan ini untuk membangun hubungan
yang baik dengan lasyrakat disekitar toko termasuk pelanggannya.
Kegiatan yang dilakukan bisanya melipu pensponsoran kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat atau hobi kelompok masyarakat.
18
Bab 2: Retail mix dan STP
Lokasi Ritel
Lamb, Hair, & Danield (2001) menyatakan bahwa lokasi adalah tempat atau
letak toko dimana produk yang ditawarkan tersebut berada. Lokasi merupakan faktor
yang penting dalam retail mix, karena lokasi yang strategis akan mendatangkan lebih
banyak keuntungan bagi peritel tersebut. Dengan lokasi toko yang strategis, peritel
mampu meraih lebih banyak pelanggan.
Lokasi dimana sebuah toko perlu dipilih dengan hati karena dampaknya
pada minat pelanggan untuk mau mengunjungi dan melakukan pembelian di toko
ritel tersebut. Maka dari itu, menurut Lamb, Hair, & Danield (2001) peritel harus
memperhatikan faktor-faktor penting terkait dengan pemilihan lokasi toko, yaitu:
1. Free standing
2. Urban location / CBD (central business district)
3. Community and neighborhood
4. Power center
5. Lifestyle center
6. Fashion/ specialty center
7. Festival center
Terdapat tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi suatu
toko agar mampu menarik pelanggan, yaitu:
1. Karateristik lingkunagn
a. aspek lalu lintas (traffic flow) yang melewati toko. Aspek ini meliputi
kendaraan umum, pribadi maupun jalan kaki yang melewti lingkungan
19
Bab 2: Retail mix dan STP
toko yang akan dipilih. Selain arus lalu lintas, jumlah atau kepadatan juga
perlu mendapatkan perhatian. Tempat yang ideal adalah yang
mempunyai traffic flow yang padat, tetapi tidak macet. Karena
kemacetan akan cenderung dihindari oleh konsumen.
b. Accesibility, yaitu tingkat kemudahan bagi pelanggan (baik berjalan kaki
atau naik kendaraan) untuk mengunjungi toko. Aspek ini sama
pentingnya dengan traffic flow.
2. Karakteritik Lokasi
a. Meliputi tempat: keamana, kapasitas, kualitas, dan jarak parkir.
b. Visibility, kemudahan konsumen untuk melihat toko dari jaiuh
maupun dekat jalan.
c. Adjacent retailer, yaitu kedekatan toko dengan toko lain baik
pesaing maupun bukan. Kluster toko akan cenderung
menimbulkan traffic kunjungan pelanggan yang baik.
3. Restriction & cost, biaya yang ditimbulkan dengan adanya toko di lokasi,
seperti biasay sewa, biaya pembanguna, dan biaya oprasional lainnya.
Merchandise Assortments
Merchandise merupakan produk-produk yang dijual oleh peritel untuk
memenuhi kebutuhan pelanggannya. Sedangkan kegiatan pengadaan produk
tersebut, disebut merchandising. Produk-produk yang disediakan harus disesuaikan
dengan bisnis yang dijalani. Selain itu, peritel juga harus mampu menentukan berapa
banyak produk yang perlu disediakan pada waktu dan harga yang tepat. Hal tersebut
perlu dilakukan agar peritel mampu mendapatkan keuntungan dari setiap penjualan
produk yang ada dan akhirnya mencapai tujuan dari ritelnya.
Istailah Merchandising mengacu pada proses dimana peritel menentukan jeni
dan jumlah produk yang akan dijual di tokonya. Barang dagangan atau produk
tersebut harus dipilih sesuai dengan kebutuhan dn permintaan pelanggan yang
ditujunya. Termasuk dalam kontek merchandising adalah penempatan produk dalam
benak konsumen (citra), dan kemampuan suplier menyediakan produk tersebut,
biaya yang dibutuhkan, tingkat persaingan, dan faktor-faktor terkait lainnya.
(Berman & Evans, 2004).
Ketepatan dalam pemilihan produk yang akan dijual merupakan hal penting
yang perlu dipertimbangkan oleh peritel, karena pelanggan selalu menilai kinerja
suatu produk, mulai dari kemampuan produk tersebut hingga kualitasnya. Sehingga
untuk mampu menarik perhatian pelanggan agar mau membeli produk yang tersedia,
20
Bab 2: Retail mix dan STP
a. Kualitas produk
Kualitas produk merupakan aspek yang sangat penting bagi ritel karena
unsur ini menjadi salah satu pertimbangan utama bagi konsumen dalam
melakukan pembelian. Ketersedian berbagai kualitas produk dengan
beragam harga yang sesuai merupakan hal penting bagi konsumen dalam
menentukan perilaku mereka dalam berbelanja. Keseuaian antara kualitas
produk dengan harga yang bersiang akan menciptakan nilai yang tinggi
yang dirasakan oleh pelanggan sehingga akan meningkatkan
kemungkinan mereka untuk membeli dan membeli ulang dimasa yang
akan datang.
b. Aspek harga.
Aspek harga khususnya price point yaitu harga yang menjadi ciri kas
suatu ritel merupakan hal yang penting bagi ritel. Suatu ritel yang
menghususkan diri untuk memenuhi kebutuhan pelanggan kelas atas akan
memasang harga yang tinggi untuk produk mereka. Penentuan harga yang
tinggi tersebut harus pula didukung adanya produk yang berkualitas dan
lingkungan/tampilan toko yang menunjukan bahwa toko tersebut memang
ditujukan untuk kalnagan atas. Sebalikny, toko yang memfokuskan
dirinya kepada pelanggan kelas bawah misalnya, aspek harga yang
dipasang sebaiknya sesuai dengan target pasarnya. Penggunaan aspek
harga khususnya price point ini akan membantu konsumen untuk
mengukur sendiri daya beli sebelum memsuki suatu toko.
c. Variasi Produk
Konsumen mempunyai beragam kebutuhan. Sehingga, ritel yang mampu
menyediakan produk yang beranekaragaman dengan harga yang
bervariasi juga cenderung akan mampu menyaknkan pelanggan untuk
datang berbelanja. Tetapi, bagi ritel yang mengkhusukan diri pada produk
untuk kalangan yang terbatas dengan harga mahal, seperti butik khusu
pakaina branded internasional, maka fokus pada jenis produk tersebut
(teteap harus bervariasi) akan lebih tepat.
21
Bab 2: Retail mix dan STP
e. Kebijakan harga
Harga salah satu pertimbangan penting (dan seringkali utama) bagi
pelanggan untuk menentukan pembelianya. Sehingga penetuan harga oleh
peritel harus disertai dengan pertimbangan yang matang. Mislnya, apakah
harga sedikit diatas atau dibawah harga pesaing harus dilakukan dengan
hati-hati. Pertimbanagn utama hal tersebut adalah apakah dengan harga
yang ditentukan konsumen akan tertarik untuk datang, membelu dan
membeli ulang dan apakah harga tersebut akan tetap memberi keuntungan
bagi toko.
Retail pricing
Harga merupakan sejumlah uang yang dibebankan kepada pelanggan
terhadap suatu produk atau jasa, atau jumlah nilai yang ditukar oleh pelanggan atas
manfaat-manfaat yang diberikan oleh suatu produk (Kotler & Armstrong, 2008).
Harga merupakan salah satu atribut penting yang selalu diperhatikan dan
dipertimbangkan oleh pelanggan sebelum membeli suatu produk. Sehingga peritel
perlu benar-benar memahami peran harga dalam mempengaruhi sikap konsumen
(Mowen & Minor, 2002).
Ketika konsumen membayar pada suatu tingkat harga untuk suatu produk,
maka mereka akan membandingkan antara harga yang dibayar dengan kualitas atau
manfaat yang didapat melalui produk yang telah dibeli. Apabila harga yang
ditetapkan dengan manfaat yang dirasakan oleh pelanggan dirasa sama atau sesuai,
maka pelanggan tersebut akan merasa puas.
Harga sangat berhubungan dengan nilai dasar dari persepsi konsumen. Maka
dari itu, harga dianggap sebagai komponen penting yang dapat menentukan posisi
sebuah perusahaan ritel di benak pelanggannya. Tjiptono (2008) mengungkapkan
bahwa harga merujuk pada ukuran barang dan jasa lainnya yang dapat ditukarkan
agar memperoleh kepemilikan atau penggunaan barang atau jasa tersebut.
Penetapan harga adalah yang paling krusial dan sulit diantara unsur – unsur
lain dalam bauran pemasaran ritel. Harga adalah satu-satunya unsur dalam berbagai
unsur bauran pemasaran ritel yang mendatangkan laba bagi peritel. Sedangkan
unsur-unsur lain dalam bauran pemasaran biasanya cenderung lebih menghabiskan
biaya.
Menurut Levy (2004) Ada 4 faktor yang mempengaruhi peritel dalam
pembentukan harga, yaitu:
a. Customer price sensitivity and cost
22
Bab 2: Retail mix dan STP
23
Bab 2: Retail mix dan STP
24
Bab 2: Retail mix dan STP
25
Bab 2: Retail mix dan STP
mana yang sekiranya akan memberikan nilai konsumen terbesar dan dapat dilayani
oleh ritel tersebut dalam jangka waktu yang panjang.
Latar belakang dilakukannya targeting pada dasarnya dilandasi adanya
kesadaran bahwa kebutuhan pasar merupakan suatu hal yang praktis tidak terbatas.
Disisi lain, kemampuan perusahaan ritel untuk memuaskan kebututuhan pasar
tersebut adalah tersbatas. Karena hal tersebut, agara bisnis menjadi optimal
dilakukan targeting, yaitu dipilih target yang mempunyai potensi yang
menguntungkan tidak saja untuk jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang
(Kartajaya, 2009).
Dalam proses targeting, perusahaan ritel dapat memilih dari empat strategi
penentuan sasaran pasar berikut (Siregar, 2015):
a. Undifferentiated targeting strategy, yaitu strategi penentuan sasaran
pasar dengan mengembangkan satu jenis produk tertentu dan dengan
menggunakan bauran pemasaran yang sama untuk melayani semua pasar.
Karena beragamnya karakterik konsumen, perusahaan ritel yang
menggunakan strategi ini harus kerja ekstra melalui produksi, promosi ,
maupun distribusinya.
b. Differentiated targeting strategy, yaitu strategi penentuan sasaran pasar
dengan menydiakan produk yang berbeda pada kelompok pasar yang
mempunyai karakteristik berbeda. Dengan strategi ini maka perusahaan
mempunyai beberapa pola bauran pemasaran sesuai dengan segmen yang
dituju.
c. Concentrated targeting strategy, yaitu strategi perusahaan dengan
mengkonsetrasikan untuk memilih dan melayani suatu kelompok pasar
saja. Strategi ini dipilih jika perushaan dengan segala keterbatasannya
tidak akan mampu melayani beberapa kelompok sekaligus. Pemilihan
satu kelompo tersebut meskipun relative kecil kemungkinan masih akan
menguntungkan juga.
d. Custom targeting strategy, yaitu strategi yang disusun secara sepeifik
untuk konsumen tertentu. Beberapa konsumen mempunyai kebutuhan
khusus, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya diperlukan startegi
pemasaran yang unik khusus untuk dia.
Positioning
Positioning, merupakan tahap terakhir dalam konsep STP, yaitu upaya
pengembangan strategi pemasaran melalui produk, promosi, harga, dan distribusi
untuk memengaruhi kelompok konsumen yang dipilih untuk dilayani. Menurut
Kotler (2008), positioning adalah tindakan yang dirancang untuk menawarkan
produk dengan cara tertentu guna membangun citra perusahaan sehingga menempati
posisi tertentu dibenak konsumen dibanding produk kompetitor. Tujuan akhir dalam
upaya pembentukan citra melalui positioning tersebut adalah keputusan pembelian
konsumen dalam jangka pendek maupun panjang.
Empat langkah dalam mengembangkan positioning strategi (Siregar, 2015):
1. Karena konteknya adalah persaingan produk dalam benak konsumen,
maka tahap awal adalah menganalisis kekuatan dan kelemahan pesaing.
26
Bab 2: Retail mix dan STP
Referensi
Berman, B., & Evans, J. R. (2001). Retail Management: A Strategic Approach. Eight
Editions. New Jersey: Prentice Hall.
Berman, B., & Evans, J. R. (2004). Retail Management A Strategic Approach:
Prentice Hall.
Berman, B., & Evans, J. R. (2010). Retail Management (A Strategic Approach):
Prentice Hall.
Dharmmesta, & Irawan. (2005). Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta:
Liberty.
Dunne, Lusch, & Griffith. (2002). Retailing. New York South-western, a division of
thomson learning.
Effendy, O. U. (2007). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Gunawan, S., Rilantiana, R., & Kusumasondjaja, S. (2009). Pengaruh Persepsi
Desain Toko Terhadap Store Repatronage Intentions Dengan Shopping
Experience Costs Sebagai Intervening Di Toko Elektronik “X” Surabaya.
Jurnal Manajemen Teori dan Terapan.
Kartajaya, H. (2009). Mark Plus Basics. Jakarta: Esensi.
Kasali, R. (1998). Membidik Pasar Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Kotler, P. (2012). Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc. .
Kotler, P., & Armstrong, G. (2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Lamb, C. W., Hair, J. F., & Danield, C. M. (2001). Marketing (Terjemahan oleh
David Octarevia) Jakarta: Salemba Empat.
Lamb, C. W., Jr., J. F. H., & McDaniel, C. (2010). Essentials of Marketing: South-
Western.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Ma'ruf, H. (2005). Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
27
Bab 2: Retail mix dan STP
28
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
BAB 3
PENGELOLAAN BARANG DAGANGAN
Tujuan
1. Memahami pentingnya pengelolaan barag dagangan dalam bisnis ritel.
2. Memahami pengorganisasian proses pembelian menurut kategori barang
dagangan dalam toko.
3. Mengimplementasikan pengaturan objek dalam perencanaan barang
dagangan.
4. Memahami perencanaan keanekaragaman barang dagangan dan
implikasinya terhadap bisnis ritel.
Pendahuluan
Pertimbangan utama yang menjadi tantangan tersendiri bagi peritel adalah
kemampuan mereka dalam mengelola persediaan untuk barang-barang yang harus
mereka jual untuk mendapat keuntungan. Maka dari itu, penting untuk peritel
melakukan perencanaan terhadap barang dagangannya. Peritel harus mampu
menentukan barang dagangan yang tepat, pada tempat, waktu, jumlah dan harga yang
tepat. Dengan kata lain, peritel akan dihadapkan dengan keputusan mengenai apa
yang akan mereka beli (barang dagangan apa), berapa banyak peritel harus membeli
barang dagangan tersebut, dari siapa mereka membelinya dan kapan mereka harus
membelinya.
Peritel harus mampu memprediksi barang dagangan apa yang harus mereka
beli, berdasarkan permintaan konsumennya. Hal tersebut dikarenakan, kesalahan
dalam memperkirakan tingkat permintaan konsumen terhadap suatu barang, akan
memberikan dampak negatif bagi ritel tersebut, seperti kerugian akibat banyaknya
barang yang tidak terjual, overstock, banyaknya barang dagangan yang rusak akibat
penyimpanan yang terlalu lama, dan lain-lain.
29
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
Untuk menggunakan setiap peluang yang ada dalam bisnis ritel, biasanya
peritel menggunakan strategi micromerchandising atau cross merchandising.
Micromerchandising dilakukan dengan cara menyesuaikan alokasi ruang pada rak
untuk produk tertentu, untuk merespon permintaan konsumen terhadap barang
dagangan tersebut dan faktor-faktor lain yang mampu mempengaruhi tingkat
pembelian terhadap barang dagangan tersebut. Pendekatan dengan cara ini
memungkinkan peritel untuk menempatkan barang dagangan yang tepat pada toko
dan untuk konsumen yang tepat. Barang dagangan yang dipajang didalam toko harus
sesuai dengan konsumen toko tersebut atau akhirnya peritel hanya akan memiliki
“dead inventory”. Sedangkan cross-merchandising dilakukan dengan cara
menyediakan barang atau jasa komplementer untuk mendorong konsumen agar mau
membeli lebih. (Berman & Evans, 2004).
30
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
31
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
Kategori
Secara umum, kategori dipahami sebagai kelompok barang, dimana barang
tersebut saling berhubungan dan pemakaiannya dapat saling disubtitusi (Introduction
to Retailing, 2005). Secara umum, Kategori diartikan sebagai keanekaragaman item
yang dilihat pelanggan sebagai pengganti untuk masing-masing kategori yang ada
(Utami, 2008a). Kategori barang dagangan ini biasanya berisi beberapa departemen
produk yang ditentukan oleh peritel untuk ditawarkan kepada pelanggannya (Lamba,
2003). Sehingga, dalam satu kategori barang, bisa saja ada beberapa departemen
produk berbeda yang penggunaannya dapat saling melengkapi. Dengan
pengkategorisasian seperti ini, peritel akan mengetahui jenis barang dagangan mana
yang memiliki tingkat penjualan yang bagus dan berpeluang untuk memberikan
investasi keuntungan di masa yang akan datang (Schroeder, 2007). Sehingga, peritel
tidak perlu menghabiskan biaya dengan menyediakan semua kategori barang
dagangan yang belum tentu akan memberikan keuntungan bagi pelanggan tersebut.
Dalam pengakategorian barang dagangan di toko, setiap kategori tersebut
memegang peran tertentu. Ada 4 (empat) peran yang dimiliki oleh kategori barang
dagangan (Ray, 2010), yaitu:
a. Destination category. Pada kategori ini, peritel berada di posisi sebagai
ritel yang paling dipilih oleh konsumen. Peritel menawarkan nilai-nilai
keunggulan dalam setiap kategori produk yang ada secara konsisten
kepada konsumen. Peran kategori ini membantu peritel untuk meraih
peluang pasar dan mencapai tingkat turnover yang diinginkan. Ketika
berbelanja produk kategori ini, biasanya konsumen tidak mau
menghabiskan banyak waktu untuk mengitari toko atau proses pembelian
lainnya.
32
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
Manajemen Kategori
Manajemen kategori dapat diartikan sebagai “a retailer supplier process of
managing categories as strategic business units, producing enhanced results by
focusing on delivering customer value” (Ray, 2010). Dimana:
a. A retailer supplier process: manajemen kategori merupakan proses yang
mengkolaborasikan antara peritel dan supplier dimana mereka bersama-sama
mengembangkan rencana bisnis kategori, strategi harga, proses
keanekaragaman atau promosi untuk mencapai rencana bisnis dan dasar yang
berkelanjutan untuk sama-sama mengulas kinerja dari kategori tertentu.
b. Managing category as strategic business units producing enhanced result:
setiap kategori perlu dikelola sebagai bisnis yang terpisah. Dimana setiap
kategori tersebut memiliki omset, tingkat pertumbuhan dan target
keuntungan tersendiri. Sehingga hal tersebut nantinya akan memastikan
peritel dan supplier dapat mencapai peningkatan kinerja masing-masing.
c. Focusing on customer value: tujuan utama dari adanya manajemen kategori
ini adalah untuk memberikan nilai lebih kepada konsumen untuk setiap
kategori yang ditentukan berdasarkan perilaku pembelian konsumen tersebut
dan untuk menyediakan banyak pilihan produk yang sesuai dengan keinginan
konsumen dalam rentang harga tertentu.
33
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
Berikut adalah beberapa alasan yang mendasari peritel dalam melakukan manajemen
kategori:
a. Manajer toko akan mudah mengidentifikasi sumber masalah yang terjadi
pada setiap kategori yang sudah dibuat, sehingga masalah yang terjadi
dapat diselesaikan dengan cepat.
b. Adanya manajemen kategori membuat peritel lebih mudah mengatur
keuangan secara maksimal.
34
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
35
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
Rasio Penjualan – Persediaan = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎
36
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
37
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
PREDIKSI PENJUALAN
Salah satu komponen integral dari perencanaan barang dagangan adalah
penentuan prediksi penjualan. Prediksi penjualan dilakukan untuk menentukan
seberapa baik suatu kategori barang dagangan dapat terjual dalam periode waktu
tertentu (Levy & Weitz, 2004). Dengan membuat prediksi penjualan tersebut, peritel
sebenarnya mencari tahu tingkat permintaan pelanggan terhadap suatu barang,
sehingga peritel tersebut dapat merencanakan target penjualan yang perlu dicapai
sesuai dengan permintaan pelanggan tersebut (Mentzer & Moon, 2005). Untuk
mengetahui atau menentukan prediksi penjualan, peritel perlu mengetahui terlebih
dahulu mengenai siklus hidup kategori barang dagangan. Hal tersebut dikarenakan
biasanya penjualan produk ini selalu mengikuti siklus atau pola yang sudah ada
tersebut.
38
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
39
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
40
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
41
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
42
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan
Rao, T. H. (2008). Quantifying The Costs and Benefits of Product Variety On Key
Performance Measures A Simulation Study. University of Louisville,
Louisville.
Ray, R. (2010). Supply Chain Management for Retailling. New Delhi: McGraw Hill
Education Private Limited.
Schroeder, C. L. (2007). Specialty Shop Retailing (Everything You Need To Know To
Run Your Own Store). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Sopiah, S. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Sutardi, A., & Budiasih, E. (2007). Sediakan dan Hitung Stok agar Tak Kehilangan
Konsumen. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Indeks.
Varley, R. Retail Product Management: Routledge.
43
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
BAB 4
PENGELOLAAN HARGA DAN BARANG DAGANGAN
Tujuan
Sekarang keputusan penentuan harga yang diambil oleh para peritel akan mengalami
kondisi yang teramat penting untuk dipertimbangkan. Hal ini disebabkan, karena
konsumen melihat bawa harga merupakan suatu nilai dari apa yang mereka bayar.
Nilai merupakan indikasi dari hubungan antara apa yang konsumen rasakan sebagai
manfaat dengan apa yang mereka korbankan.
Adapun tujuan dari penentuan harga yang ditetapkan oleh unit bisnis ritel,
dimaksudkan untuk mendapatkan marjin dan memberikan kepuasan pada konsumen
(Berman & Evans, 2010). Kendati demikian, tujuan dari panetapan harga, harus pula
diselaraskan dengan sasaran yang mesti diraih oleh perusahaan. Sebagai contoh
sebuah perusahaan ingin memnciptakan kesan bahwa perusahaannya merupakan
penjual yang memberikan harga murah dari produk yang dijualnya. Oleh karenanya
penentuan harga yang diambil tidak untuk meraih laba maksimal tetapi diharapkan
perusahaan dapat mencapai terget jumlah konsumen yang lebih banyak karena kesan
tadi. Dunne mengungkapkan bahwa tujuan dari penentuan harga yang diambil oleh
peritel, mungkin diorientasikan pada raihan keuntungan, pencapaian targey
penjualan atau orientasi lain yang terkait dengan usahanya (Dunne, Lusch, & Gable,
1995).
Harga yang diputuskan oleh peritel bisa berpengaruh jangka panjang untuk
kontinuitas usaha ritel. Harga suatu produk yang dijual bisa mempengaruhi kinerja
keuangan perusahaan dan berpengaruh pada persepsi konsumen tentang produk yang
dijual tersebut, juga dapat menolong perusahaan dalam mengenali posisi merek
produk yang dijual di pasar (Cravens, 1996). Disamping itu penentuan harga dapat
pula membentuk jenis konsumen serta tipe pesaing yang tertarik dengan usaha
ritelnya (Berman & Evans, 2010).
Penentuan harga yang diambil peritel, secara umum dipengaruhi oleh berbagai aspek
yang terkait dengan proses tersebut. Di bawah ini berbagai aspek yang berhubungan
dengan penentuan harga pada suatu bisnis (Cravens, 1996):
a. Strategi pemasaran;
b. Strategi produk;
c. Strategi distribusi;
44
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
Dalam memenangkan persaingan, harga adalah salah satu strategi yang dianggap
penting, khususnya dalam usaha ritel. Indikator kapasitas pelaku bisnis ritel untuk
mengelola operasional bisnisnya secara efisien, salah satunya akan muncul dalam
bentuk menekan biaya, yang kemudian akan memungkinkan peritel tersebut untuk
menentukan harga jual produk yang lebih rendah dari pesaingnya.
45
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
46
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
sehingga pada saat produk tersebut dijual dengan harga rendah, maka peritel akan
tetap meraih marjinkotor yang relatif tetap dan dapat mencapai tingkat
keuntungan yang diharapkan. Levi dan Utami mengungkapkan bahwa ritel dapat
menentukan target volume jual tertentu dalam mencapai laba yang diinginkan
dengan menggunakan analisis pulang pokok (break even point analysis atau
BEP) (Levy & Weitz, 2004) (Utami, 2008b).
47
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
Reputasi harga merupakan aspek penting dalam pembentukan citra ritel dimata
konsumen. Oleh karenanya peritel perlu mempertimbangkan suatu strategi yang
komprehensif dan berkelanjutan untuk membangun reputasi harga tersebut. Berikut
akan dijelaskan lima hal yang bisa digunakan untuk membangun dan
mengembangkan reputasi harga:
a. Everyday shelf prices.
Kegiatan ini mencakup perubahan harga periodik dari produk yang ditampilkan
pada rak pajang. Reputasi harga yang menguntungkan akan terbentuk, pada saat
peritel dengan sungguh-sungguh melakukan kegiatan perubahan harga pada
setiap item dari produk yang dijualnya. Harga yang diubah harus mengikuti
ketentuan yang telah direncanakan oleh peritel.
b. Price communication
Ritel sebaiknya mengapresiasi informasi yang datang dari pelanggan, yang
terkait dengan harga dari setiap item produk yang ditetapkanya. Penyerapan
informasi akan berjalan efektif bila disertai dengan pengawasan khusus untuk
mengontrol agar informasi harga yang nyampe dari konsumen sesuai dengan
harga nyata yang dibayar konsumen tersebut.
c. Promotional Price.
Penetapan harga promosi secara konsisten dapat juga meningkatkan reputasi
harga suatu ritel. Promosi dapat menarik konsumen untuk mengunjungi ritel dan
melalui kunjungan tersebut, sangat mungkin konsumen melakukan pembelian
impulsif (pembelian tanpa rencana). Hal ini terjadi karena, proses penyadaran
adanya kebutuhan terjadi ketika produk tersebut nampak terpajang di rak di depan
matanya.
48
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
EVERYDAY PRICE
SHELF PRICES COMMUNICATI
ON
PRICE
REPUTATIO
PROMOTIONAL PER UNIT PRICES
N
PRICE
KNOW VALUE
ITEM PRICES
Penyesuaian Harga
Penyesuaian harga dapat dilakukan oleh peritel dengan cara menurunkan harga dari
harga awal (markdown). Cara ini merupakan jenis diskriminasi harga level kedua
dengan dasar bahwa harga yang lebih rendah dapat merangsang konsumen yang
sensitif terhadap harga untuk membeli lebih banyak produk, sehingga volume
penjualan menjadi meningkat. Penyesuaian model ini umumnya dilakukan guna
penetapan harga yang lebih rendah dari pesaing, menyiasati persediaan yang
berlebihan, dapat menghabiskan produk yang sudah lama tidak terjual, serta
meningkatkan selera konsumen untuk mengunjungi toko, (Levy & Weitz, 2004).
Cara lain strategi penyesuaian harga yang kerap digunakan peritel adalah merubah
harga jual produ menjadi lebih tinggi dari harga sebelumnya (additional markup).
Kondisi ini dilakukan karena tingkat permintaan terlalu tinggi, sehingga peritel harus
mengeluarkan biaya yang lebih besar (Berman & Evans, 2010). Selanjutnya
penyesuaian harga dengan cara memberikan potongan tertentu bagi pegawai yang
bekerja pada ritel tersebut (employee discount). Potongan harga ini berlaku untuk
semua item produk yang dijual dan memberi kesempatan pada pegawai untuk
membeli produk secara obral sbelum produk tersebut dijual secara umum. Cara
penyesuaian harga seperti ini tidak memberikan efek bagi mekanisme ritel tetapi
akan berdampak pada moral pegawai ritel tersebut (Berman & Evans, 2010).
49
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
Secara umum strategi ini dijalankan pada saat peritel bermaksud memberi beban
yang lebih terhadap konsumen, sesuai dengan kemampuan mereka dalam membayar
produk yang mereka beli. Pelaksanaan diskrimasi harga ini harus berdasarkan pada
segmen pasar yang berbeda. Misal untuk kelompok konsumen golongan atas, ritel
dapat menetapkan harga yang lebih tinggi, sementara untuk golongan konsumen
yang sensitif terhadap harga ritel mngenakan harga yang lebih rendah. Kendati
demikian menurut Levy strategi ini tidak dapat diberlakukan untuk ritel yang
memiliki 20.000 SKU dengan harga yang terpajang pada setiap rak item produk yang
dijual (Levy & Weitz, 2004). Berikut akan dijelaskan beberapa strategi yang umum
digunakan pada penerapan sistem diskriminasi harga:
1. Kupon
Strategi ini dilaksanakan dengan memberikan potongan harga untuk item
tertentu, pada saat konsumen membeli produk. Hal ini diharapkan dapat memberi
insentif tertentu bagi mereka yang snsitif terhadap harga, sehingga mereka
membeli lebih banyak produk. Kupon dapat diberikan kepada konsumen melalui
koran, tertera dalam produk yang dibeli, kasir atau melalui surat elektronik (Levy
& Weitz, 2004)
Berikut adalah beberapa alasan peritel menggunakan kupon:
a. Untuk menstimulasi konsumen agar mau mencoba produk ritelnya untuk
pertama kali.
b. Membuat pengalaman pertama tersebut menjadi hal yang dapat mendorong
konsumen untuk menjadi konsumen regular untuk produk yang diberi kupon
tersebut.
c. Mendorong pembelian dalam jumlah besar.
d. Meningkatkan penggunaan atas barang yang dijual tersebut.
e. Mempertahankan pasar sasaran yang telah ada dari pesaing.
Penggunaan kupon dalam sebuah ritel memberikan dampak positif dan negatif.
Dampak positifnya adalah penggunaan kupon mendorong terciptanya pembelian
dalam jumlah besar. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya biaya lebih
yang dikeluarkan oleh peritel selama proses penukaran kupon.
2. Rabat
Rabat merupakan bagian dari harga pembelian yang dikembalikan kepada
konsumen. Tidak seperti kupon, rabat tidak membebani ritel dengan biaya
penanganan khusus. Sehingga, pemberian rabat ini dianggap lebih
menguntungkan bagi peritel, karena dapat memberikan keuntungan yang sama
dengan penggunaan kupon, tetapi tidak ada biaya penanganan yang perlu
dikeluarkan ritel. (Levy & Weitz, 2004).
3. Price bundling,
Strategi pengkombinasian beberapa produk yang berbeda, untuk dijual dalam
satu paket harga. Misalkan, peritel menjual satu paket kamera dan
perlengkapannya, seperti baterai, lensa kamera, dan tripod untuk harga RP.
50
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
5. Variable pricing
Merupakan strategi diskriminasi harga, dengan merubah harga jual produk,
didasarkan pada perubahan yang terjadi dalam tingkat permintaan dan biaya yang
dikeluarkan pada produk tertentu, (Dunne). Penggunaan strategi ini juga
memungkinkan peritel untuk memberikan promo spesial pada konsumen melalui
penjualan yang dilakukan. Strategi ini biasa digunakan untuk produk yang
bersifat musiman, seperti bunga atau makanan seperti coklat. Produk-produk
tersebut akan lebih laku ketika Hari Ibu atau Hari Kasih Sayang. (Berman &
Evans, 2010).
51
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
2. Price Lining
Dalam strategi ini, peritel menjual beberapa lini produk tertentu, dimana harga
untuk setiap itemnya berbeda-beda, dan untuk setiap harga tersebut, jumlah
produk yang disediakan dibatasi. Misalkan, peritel menjual kemeja dengan harga
Rp. 50.000, Rp. 75.000, dan Rp. 100.000. Dengan begitu, maka konsumen akan
memiliki beberapa pilihan untuk satu produk yang sama. Selain itu, dengan
penerapan strategi tersebut, maka konsumen juga akan dapat membandingkan
kualitas produk, berdasarkan tingkat harga yang ditetapkan. (Morgenstein &
Strongin, 1992).
Rentang harga yang ditentukan dalam strategi ini diusahakan memiliki perbedaan
yang cukup besar, sehingga konsumen akan dengan mudah membandingkan
perbedaan nilai atau kualitas dari produk tersebut. Peritel harus mampu memilih
lini harga yang memiliki tingkat permintaan paling kuat. Dengan membatasi lini
harga yang ada, peritel mampu memperluas keberagaman barang dagangannya,
sehingga dapat meningkatkan penjualan dan mengurangi penurunan harga.
(Dunne et al., 1995).
3. Odd Pricing
Strategi penentuan harga dengan cara menaruh angka ganjil pada bagian akhir
harga. Bagi konsumen yang sensitif terhadap harga biasanya membaca harga dari
depan, sehingga harga produk memberi kesan lebih murah dibanding kalo harga
tersebut dibulatkan ke atas, misal harga Rp.500.000, dibuat dalam harga 499.999
(Cox & Brittain, 2004).
Beberapa peritel beranggapan bahwa penggunaan strategi ini mampu
meningkatkan jumlah penjualan secara signifikan. Hal tersebut karena penetapan
strategi ini membuat konsumen berpersepsi bahwa harga yang ditetapkan lebih
murah dibandingkan harga yang lain. Karena reputasi penetapan harga dengan
strategi harga ganjil ini terkenal dengan harga yang murah, maka penggunaannya
biasa diterapkan pada tingkat harga yang berada dibawah pasaran atau sama
dengan harga pasaran yang ada. (Dunne et al., 1995).
52
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
diskon fungsional sulit dibenarkan. Berikut adalah strategi penetapan harga yang
biasa dilakukan oleh peritel besar:
1. Predatory Pricing
Merupakan bentuk dari diskriminasi harga, dimana peritel besar menetapkan
harga pada tingkat yang sangat rendah atau dibawah biaya. Namun penggunaan
strategi tersebut justru cukup merugikan para peritel kecil. Hal tersebut karena
ritel kecil tidak mampu menyaingi peritel besar yang menggunakan predatory
pricing tersebut. (Berman & Evans, 2010). Di beberapa negara, penggunaan
strategi ini dianggap ilegal, karena perusahaan menjual produknya dengan harga
yang sangat rendah dan tidak masuk akal. Meskipun begitu, pada umumnya
peritel berhak menentukan berapapun harga yang ingin mereka berikan untuk
setiap barang dagangannya, selama penetapan harga tersebut tidak bertujuan
untuk mematikan persaingan. (Levy & Weitz, 2004).
2. Vertical Price-Fixing
Strategi ini dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam penetapan harga
barang dagangan, antara pihak-pihak tertentu yang berada pada level berbeda
dalam sebuah saluran pemasaran yang sama. Misalkan, pembuatan perjanjian
antara peritel dan vendornya. (Utami, 2008b).
Strategi ini biasanya diterapkan dengan cara: membuat daftar harga barang
dagangan, mencetak harga pada produk yang akan dijual, manufaktur atau vendor
menetapkan harga reguler yang dapat diterima oleh konsumen, menggunakan
sistem penjualan konsinyasi ataupun meminjamkan fasilitas tertentu untuk
peritel ketika menjual produk tertentu. (Berman & Evans, 2010).
53
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan
Daftar Pustaka
Berman, B., & Evans, J. R. (2010). Retail Management (A Strategic Approach):
Prentice Hall.
Cox, R., & Brittain, P. (2004). Retailing Introduction. Inggris: Pearson Education.
Cravens, D. W. (1996). Pemasaran Strategis: Erlangga.
Dunne, P., Lusch, R., & Gable, M. (1995). Retailing: South-Western Publishing Co.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Morgenstein, M., & Strongin, H. (1992). Modern Retailing (Management Principles
& Practices). New Jersey: Prentice Hall.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Indeks.
54
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
BAB 5
BAURAN KOMUNIKASI RITEL
Tujuan:
Pendahuluan
Komunikasi yang dilakukan dalam ritel, biasanya berbentuk promosi. Dimana peritel
memberi penjelasan tentang produk dan toko nya untuk meyakinkan pelanggan
(Alma, 2004). Penjelasan tersebut akan menjadi pertimbangan bagi konsumen ketika
akan mengunjungi toko. Konsumen akan mengunjungi toko setelah mengetahui
informasi tentang keberadaan toko, lokasi toko, serta informasi tentang barang yang
dijual, termasuk didalanya informasi tentang harga, pelayanan, dan waktu buka toko.
Semua informasi ini dapat sampai kepada target konsumen melalui program promosi
(Foster, 2008). Promosi penting dilakukan untuk memperlihatkan eksistensi toko
dan menunjukkan kesiapan dalam melayani. Hal ini dapat menunjukkan bahwa toko
proaktif, bukan hanya sekedar memajang barang dagang (Sujana, 2012). Lebih dari
itu, promosi bukan hanya sekedar menginformasikan toko dan produk, namun juga
aktivitas menarik dan membujuk konsumen untuk membeli (Dunne, Lusch, &
Gable, 1995), yang kemudian akan mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku
konsumen terhadap toko ritel (Foster, 2008).
55
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
meningkat (Hermawan, 2012). Sehingga posisi merek ritel di benak konsumen akan
semakin kuat.
Merek merupakan simbol pembeda, yang akan memberi ciri bagi produk ritel dan
membedakannya dengan produk ritel kompetitor (Utami, 2008a). Dalam bisnis ritel,
merek diartikan sebagai merek ritel itu sendiri, yakni merek produk yang ditawarkan
kepada konsumen. Adapun Barry & Evans (1989) mengartikan merek dalam
persepektif ritel sebagai sebuah janji kepada pelanggan atas semua yang konsumen
amati yang juga mewakili banyak hal, termasuk kualitas dan citra pemakainya
(Aaker, 1991).
Ketika merek dapat diterima dengan baik, hal ini akan mendorong kepada loyalitas
konsumen. Yang kemudian akan mengarahkan konsumen untuk merekomendasikan
produk kepada pihak lain dan memunculkan pembelian berulang di waktu
mendatang (Foster, 2008). Namun, untuk membuat konsumen menerima merek
dengan baik, peritel perlu mengkomunikasikan komponen-komponen merek dan
citra perusahaannya secara jelas, konsisten, dan khas (Foster, 2008). Untuk mencapai
hal tersebut, peritel perlu mengadakan berbagai program promosi yang dilakukan
secara incidental dan berkelanjutan (Sujana, 2012).
Nilai yang diberikan oleh citra merek kepada suatu ritel dinamakan ekuitas merek
(brand equity). Citra merek yang kuat sangatlah menguntungkan bagi peritel. Peritel
dapat memposisikan mereknya (Foster, 2008) dalam tempat ceruk (niche) relatif
terhadap pesaing (Barry & Evans, 1989). Sehingga, peritel dapat menetapkan harga
premium dan tidak perlu lagi mengandalkan promosi untuk menarik pelanggan
(Utami, 2008a)
56
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
merek (Foster, 2008) serta menjelaskan aspek deskriptif dalam bentuk simbol,
imagery, atau asosiasi konsumen (Temporal & Trott, 2002). Fungsi nilai dari ekuitas
merek ini, dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu dari sisi pelanggan dan perusahaan.
Untuk pelanggan, ekuitas merek memberikan nilai kepada pelanggannya dengan
memperkuat pemahaman mereka terhadap proses informasi, meningkatkan rasa
percaya diri dan pembelian, serta memperkuat kepuasan mereka. Sedangkan bagi
perusahaan, nilai ekuitas merek dapat meningkatkan program pemasaran untuk
menarik konsumen baru dan mempertahankan konsumen lama (Hermawan, 2012).
Adapun aktivitas yang dapat dilakukan oleh peritel untuk membangun ekuitas
merek, adalah:
Mengembangkan Asosiasi
Untuk membangun ekuitas merek, peritel perlu membangun kesadaran merek
terlebih dahulu. Setelah kesadaran merek muncul, asosiasi antara pelanggan dan
merek pun akan semakin menguat (Hermawan, 2012). Pada dasarnya, nilai yang
mendasari suatu merek disebabkan oleh asosiasi-asosiasi khusus yang berkaitan
dengan merek tersebut, yang kemudian memunculkan sikap positif terhadap suatu
merek (Foster, 2008). Sehingga asosiasi merek dapaat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan merek yang ada dalam ingatan seorang pelanggan
(Utami, 2008a)
Asosiasi yang dapat dikembangkan oleh peritel melalui nama merek diantaranya:
57
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Iklan
Iklan diartikan sebagai semua bentuk presentasi yang bersifat umum dan dibayar
oleh sponsor tertentu (Sopiah & Syihabudin, 2008). Dalam komunikasi pemasaran
ritel, iklan merupakan alat yang paling banyak digunakan, terutama oleh peritel
besar, karena berperan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasar
(Foster, 2008). Selain itu, iklan juga berperan dalam membangun citra secara jangka
panjang dan mempercepat penjualan (Hermawan, 2012). Bahkan, iklan yang efektif
mampu mempengaruhi pembelian produk hingga 6-9 tahun (Sopiah & Syihabudin,
58
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
2008). Kegiatan periklanan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu: poster,
katalog, reklame, spanduk, slide, folder, serta iklan lainnya di media cetak dan media
elektronik. Adapun tujuan peritel untuk mengiklankan produknya, diantaranya:
Menginformasikan, yakni mengumumkan adanya produk baru, layanan
baru, program promosi, serta membangun citra perusahaan dan
memperbaiki kesalahpahaman dengan konsumen.
Membujuk, yakni membangun perasaan positif konsumen terhadap ritel,
membujuk konsumen untuk datang, membeli dan mengkonsumsi produk
yang ada di ritel. Dengan adanya iklan, diharapkan lalu lintas pelanggan
yang berkunjung ke ritel semakin tinggi dan dapat meningkatkan penjualan
jangka pendek dan secara rutin mengunjungi toko (Utami, 2008b)
Promosi Penjualan
Promosi penjualan merupakan alat yang dapat menstimuli konsumen untuk
mempercepat transaksi (Foster, 2008). Bentuk komunikasi ini dilakukan dengan
memberikan insentif jangka pendek untuk mendorong konsumen mencoba dan
membeli suatu produk (Philip Kotler & Amstrong, 2004). Promosi penjualan juga
dapat memberikan nilai tambah atau insentif bagi distributor, tenaga penjual maupun
konsumen akhir serta mampu merangsang penjualan langsung (Belch & Belch,
2001). Namun, promosi penjualan ini merupakan strategi pemasaran yang
berdampak dalam jangka sangat pendek. Pada umumnya, peningkatan penjualan
hanya terjadi ketika program promosi berlangsung. Bahkan, jika terlalu sering
dilakukan, promosi penjualan akan menurunkan citra perusahaan sehingga produk
tergolong dalam kategori murahan (Sopiah & Syihabudin, 2008).
59
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Program ini dilakukan dengan memberi diskon atau poin berdasarkan nilai
pembelanjaan yang dilakukan oleh pelanggan. Ketika telah mencapai jumlah
tertentu, poin dapat ditukarkan dengan hadiah.
7. Hadiah Langsung
Konsumen akan mendapatkan hadiah langsung ketika nilai
pembelanjaannya mencapai jumlah tertentu.
8. Hadiah untuk rujukan (referral gift)
Teknik ini digunakan oleh perusahaan yang menjalankan bisnisnya
berdasarkan keanggotaan. Hadiah akan diberikan jika pelanggan mengajak
dan membawa calon pelanggan baru.
9. Suvenir
Barang souvenir yang menunjukkan nama dan logo ritel dijadikan sebagai
hadiah dan alat promosi penjualan. Bentuknya biasanya berupa pulpen,
kalender, cangkir, tas belanja, dan lainnya.
10. Acara – acara khusus (Special event)
Acara khusus dalam bisnis ritel, biasanya berupa peragaan, pameran,
kegiatan ketika liburan, dan penandatangana buku oleh pengarangnya.
Publisitas
Publisitas merupakan alat komunikasi yang fungsi utama nya adalah untuk
membangun citra positif ritel di mata publik (Utami, 2008a). Publisitas berkaitan erat
dengan public relation yang bertujuan untuk menciptakan “good relation” antara
peritel dan publik nya. Sehingga perusahaan dapat membentuk persepsi yang baik
(corporate image) serta mencegah datangnya berita buruk (unfavorable rumors) dari
masyarakat (Philip Kotler & Amstrong, 2004). Komunikasi ritel melalui publisitas
mampu menarik minat masyarakat karena memiliki kredibiltas yang tinggi dan tidak
melibatkan aktivitas penjualan, serta berfungsi sebagai pemberi informasi saja
(Hermawan, 2012). Adapun bentuk-bentuk dari publisitas, diantaranya: konferensi
pers, hubungan media, pers release, pemberian sponsor dalam acara amal sosial, dan
lain-lain.
Susunan Toko
Susunan toko adalah kombinasi dari karekateristik toko yang terdiri dari arsitektur,
pencahayaan, tata letak, warna, musik, pemajangan dan unsur-unsur lainnya yang
sengaja dibentuk oleh peritel untuk menciptakan kesan tertentu. Kesan tersebut
dibentuk untuk mengkomunikasikan layanan, harga, dan barang dagang yang
terdapat pada ritel (Utami, 2008a)
Situs Web
Situs web digunakan oleh peritel untuk membangun citra dan berkomunikasi dengan
konsumennya. Melalui situs web, peritel dapat menginformasikan lokasi toko, acara
maupun program khusus yang dijalankan oleh ritel, serta kesediaan barang di toko
ritel tersebut.
Penjualan Perorangan
60
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
61
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
62
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Keputusan alokasi merupakan keputusan yang lebih penting dari penetapan anggara
komunikasi. Keputusan yang dibuat pada tahap ini, didasarkan pada analisis
marginal. Dimana anggaran komunikasi dialokasikan pada area yang paling
menguntungkan dan akan menyumbangkan pendapatan terbesar.
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam pengembangan program komunikasi ritel.
Ketika mengevaluasi, peritel sebaiknya berfokus pada dua hal pokok, yaitu: efek
komunikasi dan efek penjualan (Hermawan, 2012). Selain itu, peritel juga perlu
mempertimbangkan hal-hal dibawah ini:
63
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Gambar 12.1
64
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Yang pada akhirnya akan menjadi tempat untuk bersaing dengan produk sejenis “the
real war is in the store” (Sujana, 2012). Mengingat pentingya ritel bagi vendor,
vendor seringkali memberikan iklan kooperatif kepada ritel, yaitu suatu program
periklanan ritel yang biayanya dibayar sebagian oleh vendor, namun vendor
menentukan beberapa syarat. Program ini merupakan upaya vendor untuk
mengahalangi ritel meminta diskon terhadap produk vendor tersebut. Tidak jarang
peritel dan vendor juga bermitra dalam membuat strategi pemasaran. Peritel
dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi tentang perilaku pembelian dan pola
belanja di lokasi ritel. Peritel juga dilibatkan dalam perencanaan program iklan
hingga perancangan iklan (Utami, 2008a).
Banyak peritel besar yang mempersiapkan anggaran komunikasi nya dalam jumlah
yang sangat tinggi hingga miliaran rupiah. Dari anggaran yang dipersiapkannya
tersebut, mereka berharap media komunikasi yang dipilihnya berdampak signifikan
terhadap omzet penjualan secara jangka pendek dan jangka panjang. Media yang
dapat dipilih, yaitu:
Surat kabar
Surat kabar merupakan media komunikasi yang cukup efektif dalam
menginformasikan produk-produk ritel. Di Amerika, 27 persen dari seluruh biaya
iklan nasional berasal dari surat kabar dan merupakan media yang paling diandalkan
oleh para peritel (Sopiah & Syihabudin, 2008). Surat kabar ini banyak digunakan
oleh para peritel karena memberikan respon yang cepat dan dapat menginformasikan
produk ritel secara mendetail. Namun, usia iklan dari surat kabar ini cukup pendek,
sehingga tidak bisa bertahan lama dalam menginformasikan iklan (Utami, 2008a).
65
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Surat Langsung
Melalui surat langsung, pemasar dapat menjadi selektif dan mengandalkan
personalisasi konsumennya. Sehingga pemasar tidak perlu melaksanakan program
promosi nya kepada setiap orang, melainkan hanya kepada individu yang telah
ditargetkan berdasarkan segmentasi yang telah dilakukan (Hermawan, 2012). Untuk
mendapatkan data pelanggannya, peritel menghimpun data dari point of sale. Data
tersebut digunakan untuk menargetkan pelanggan berdasarkan segmentasi
demografi, minat, serta gaya hidup tertentu (Utami, 2008b)
Televisi
Melalui televisi, pemasar bisa mendemonstrasikan produk secara virtual, memiliki
reproduksi yang tinggi yang dapat menyajikan iklan dalam bentuk gambar sekaligus
suara (Utami, 2008b). Sehingga produk terdeskripsi dengan baik dan dijelaskan
lebih detail (Hermawan, 2012). Namun, penggunaan televisi sebagai media iklan
masih sangat terbatas, yaitu hanya pada ritel-ritel yang sudah besar dan memiliki
jaringan yang luas (Foster, 2008). Dengan biaya periklanan yang cukup besar, peritel
dapat memilih stasiun mana yang akan digunakannya, apakah yang berskala nasional
atau skala lokal. Media iklan berskala nasional dapat menjangkau masarakat secara
luas, namun media lokal pun masih bisa menjadi pilihan karena merupakan media
yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan suatu usaha kecil (Sopiah &
Syihabudin, 2008). Pada umumnya, peritel memilih kejadian tertentu untuk
mengiklankan produknya, misalnya pada hari raya idul fitri dan tahun baru.
Radio
Radio menghantarkan pesan iklannya melalui pesan suara dan hanya berfokus pada
segmen pasar tertentu (Utami, 2008a). Dengan hanya menggunakan suara, berarti
pesan iklan harus mengutamakan kata-kata yang didukung oleh efek suara dan musik
(Hermawan, 2012) serta membutuhkan kreativitas yang tinggi untuk
mengkomunikasikan pesannya (Eicoff, 1995). Selain itu, dalam menggunakan radio,
pemilihan stasiun, program, dan waktu penyiaran yang sesuai pun sangat penting
(Sopiah & Syihabudin, 2008). Dari segi biaya, periklanan melalui radio tergolong
murah. Namun efektivitas radio sebagai media iklan masih harus dievaluasi, karena
radio seringkali hanya digunakan untuk latar belakang ketika beraktivitas, sehingga
konsumen tidak mendengar pesan iklan secara utuh.
Internet
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, termasuk
ineternet, seluruh manusia dapat terhubung tanpa adanya hambatan yang berati
(Foster, 2008). Walaupun internet dianggap kurang efektif dalam membangun
kesadaran pelanggan, internet merupakan media yang efektif dalam
menginformasikan pesan kepada pelanggan. Dalam mengkomunikasikan pesan ritel,
internet memmiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1. Aviliasi antara banner dan program iklan untuk menciptakan kesadaran
2. Memberi informasi produk dan peristiwa tertentu
3. Mengumpulkan data pelanggan berupa email yang kemudian akan dikirim
kepada pelanggan.
66
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Panduan Belanja
Panduan belanja (shopping guide) merupakan lembaran yang dikirimkan kepada
penduduk di area tertentu. Cara ini efektif untuk peritel yang ingin melakukan
penetrasi pasar di suatu daerah. Panduan belanja dianggap efektif dari segi biaya dan
menjamin cakupan area tertentu. Perluasan dari panduan belanja berupa majalah dan
buku kupon. Seperti pada beberapa department store yang menerbitkan majalah
informasi tentang produk, harga, dan kegiatan internal toko khusus untuk
konsumennya (Foster, 2008).
Referensi
Aaker, D. (1991). Managing Brand Equity. New York: The Free Press.
Alma, B. (2004). Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa (Edisi Ke-enam ed.):
Alfabeta.
Barry, B., & Evans, J. R. (1989). Retail Management: A strategic Approach (5th
edition ed.). New York.
Belch, G. E., & Belch, M. A. ( 2001). Advertising and Promotion; An Integrated
Marketing Communication Perspective ( 4th Edition ed.). Boston: Mc Graw
Hill.
Dunne, Lusch, & Gable. (1995). Retailing (Second edition ed.). South Western:
International Thomson Publishing Company.
Eicoff, A. (1995). Direct Marketing Through Broadcast Media: TV, Radio, Cable,
Infomercial, Home Shopping, and More. London: NTC Business Books.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung. Alfabeta.
67
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel
Kotler, P. (2003). Marketing Management (11 th edition ed.). New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Kotler, P., & Amstrong, G. (2004). Principles of Marketing (10th edition ed.). New
Jersey: Prentice Hall Upper Sadle River.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2009). Marketing Management (13th edition ed.).
Boston: Pearson.
Munandar, D. (2016). Relationship Marketing: Strategi menciptakan keunggulan
Bersaing. Yogyakarta: Ekuilibria.
Sopiah, & Syihabudin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Temporal, P., & Trott, M. (2002). Memaksimalkan Nilai Merek Melalui Kekuatan
Relationship Management. Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Ritel. Jakata:
Salemba empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.
68
BAB 6: Operasional Toko
BAB 6
OPERASIONAL TOKO
Tujuan
1. Memahami tujuan bisnis ritel dalam melakukan kegiatan operasional toko.
2. Memahami kegiatan operasional toko yang biasa dilakukan dalam bisnis
ritel.
3. Memahami penggunaan dalam analisis kuadran untuk memaksimalkan
keuntungan dalam bisnis ritel
Aktivitas operasional toko hendaknya mendapat perhatian peritel, karena aspek ini
menyangkut layanan yang terkait langsung dengan konsumen. Fokus layanan
konsumen dimanapun merupakan kegiatan yang kerap menimbulkan masalah bila
tidak dikelola dengan baik. Manajemen operasional dalam bisnis ritel secara khas
merupakan proses perencanaan, pengorganisasian dan pengevaluasian dari seluruh
kegiatan yang terjadi pada segmen pelayanan langsung terhadap konsumen. Melalui
manajemen operasional inilah, selanjutnya setiap barang dan jasa yang dibuat dalam
kegiatan operasional dapat disampaikan pada konsumen (Evans, 2007).
Lebih rinci Utami menyampaikan bahwa Manajemen toko sebagai bagian dari
manajemen operasional secara umum mencakup aspek pengaturan tata letak ruang,
desain, penampilan barang dagangan, pemberian layanan yang berkualitas serta
sistem antrian dan penanganan keluhan konsumen (Utami, 2008a).
Aktivitas harian yang dilakukan untuk mempersiapkan toko sebelum toko tersebut
dibuka untuk melayani pelanggan, biasa disebut sebagai proses persiapan toko
(Utami, 2008b). Salah satu aktivitas persiapan toko adalah management by walking
(MBW).
Management by Walking
69
BAB 6: Operasional Toko
ini diharapkan akhirnya dapat menggali informasi yang relevan dan akurat tentang
semua kejadian yang ada di lapangan dari karyawan toko.
70
BAB 6: Operasional Toko
Aktivitas ini diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh aktivitas yang terkait dengan
kegiatan sehari-hari di toko telah berjalan sesuai dengan rencana. Berikut beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan kegiatan operasional ritel:
1. Persediaan
Peritel hendaknya dapat mengawasi dan mengendalikan persediaan untuk
menjamin bahwa setiap transaksi yang berhubungan dengan persediaan telah
dilakukan dengan hati-hati dan kontrol yang efektif, sehingga kerugian yang
mungkin timbul sebagi akibat dari lemahnya pengendalian persediaan dapat
diminimalisasi. Khusus bidang ritel pengendalian persediaan adalah hal yang
sangat krusial, mengingat item barang barang dagangan umumnya sangat
beragam dan jumlahnya sangat banyak, sehingga pengendalianya cukup rumit
dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Ada beberapa aktivitas pengendalian
yang perlu dilakukan diantaranya adalah:
71
BAB 6: Operasional Toko
2. Penetapan Harga
Penetapan harga dijalankan oleh peritel dengan berbagai maksud diantaranya
adalah memberi citra pada toko, mempercepat lakunya barang dagangan dan
promosi serta menarik pelanggan yang sensitif terhadap harga terkait dengan
persaingan. Oleh sebab itulah maka kontrol harga harus dilakukan secara rutin
untuk meyakinkan bahwa barang dagangan telah diberi label harga secara tepat.
Pengawasan rutin terhadap penetapan harga ini juga seyogyanya dilakukan
dengan melihat harga yang ditetapkan oleh pesaing disekitar toko, agar diperoleh
penetapan yang lebih komprehensif dan menguntungkan buat perusahaan.
72
BAB 6: Operasional Toko
6. Penjualan
a. Melakukan analisis penjualan dengan melihat rencana penjualan dengan
capaian penjualan yang sesungguhnya setiap periode yang diperlukan.
b. Membuat strategi promosi yang diperkirakan akan dapat meningkatkan
penjualan yang menguntungkan
c. Melakukan monitoring terhadap kategori produk yang paling besar
menyumbang keuntungan bagi toko.
8. Pemantauan Kasir
Memantau kegiatan kasir setiap saat yang diperlukan selama jam operasional
serta memberikan training bagi para mereka agar memiliki peningkatan
kompetensi yang diperlukan dalam mengoperasikan mesin kasir dan meyakinkan
bahwa kasir mengetahui promo yang sedang berlangsung di toko.
9. Layanan Pelanggan
Layanan pelanggan sebaiknya menjadi prioritas peritel dalam operasi harian
toko. Karena dari situlah awal lahirnya keuntungan bagi peritel. Dengan
demikian peritel harus meyakinkan bahwa layanan yang diberikan adalah sudah
sesuai dengan harapan pelanggan.
10. Keamanan
Keamanan toko harus memberi jaminan pada setiap pelanggan bahwa mereka
akan dapat terhindar dari segala kemungkinan yang merugikanya, tidak saja
73
BAB 6: Operasional Toko
keamanan dari pencurian terhadap pelanggan tetapi juga dari produk yang
mereka dapatkan serta lingkungan toko tempat mereka belanja.
Dengan melakukan pengawasan rutin seperti itu setiap harinya, maka peritel akan
mendapatkan beberapa keuntungan, seperti:
1. Mengurangi kemungkinan adanya permasalahan yang serius, karena adanya
pendeteksian dini terhadap masalah yang mungkin muncul di toko.
2. Membantu bisnis ritel untuk mencapai minimaisasi kesalahan /zero default
melalui komunikasi dua arah dan kerjasama antara pimpinan dan pegawai.
Analisis Kuadran
Peritel hendaknya dapat menganalisis setiap item produk yang ada di tokonya, agar
dapat menciptakan strategi yang tepat dan dapat mengoptimalkan keuntungan.
Karena barang dagangan merupakan elemen yang memberikan sumbangan terbesar
dalam membentuk keuntungan bagi toko. Analisis ini dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis kuadran, berdasarkan pada pertimbangan faktor penjualan
produk dan marjin laba yang diraih.
Analisis ini adalah cara yang umum digunakan untuk membuat strategi dalam
menyiapkan kombinasi merek barang dagangan yang dapat memaksimalkan
keuntungan yang dapat diraih peritel (Utami, 2008b).
Analisis ini terdiri dari 4 kuadran, sebagai berikut:
1. Winner.
Barang dagangan pada posisi ini merupakan barang yang bermerek, dan
diperkirakan dapat menyumbang pendapatan keuntungan yang besar bagi peritel.
2. Trafic.
Barang dagangan pada kuadran ini menyumbang pendapatan keuntungan yang
cukup tinggi, tapi marjinya kecil.
3. Sleeper.
Kelompok barang dagangan ini menyumbang marjin yang cukup tinggi, tetapi
tidak menyumbang pendapatan keuntungan yang cukup besar bagi ritel.
4. Looser.
Kelompok barang dagangan dalam posisi ini memiliki sumbangan marjin yang
rendah dan tingkat penjualan yang dicapai juga kecil
Daftar Pustaka
74
BAB 6: Operasional Toko
75
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
BAB 7
Kualitas Layanan Ritel
Tujuan
1. Mengidentifikasi pentingnya kualitas layanan ritel untuk keberlangsungan
usaha.
2. Mengetahui elemen-elemen kualitas layanan.
3. Memahami aspek kualitas layanan, kepuasan, dan loyalitas pelanggan ritel.
Pendahuluan
Saat ini bisnis ritel dimanfaatkan oleh para pebisnis untuk memenuhi berbagai
keperluan masyarakat, mulai dari produk (barang) hingga jasa. Maka dari itu, untuk
dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, diperlukan adanya beberapa usaha
yang ditujukan untuk mempertahankan setiap kualitas produk dan jasa yang
ditawarkan. Masyarakat seringkali menilai kinerja suatu ritel dari segi harga, kualitas
layanan, dan respon ritel tersebut dalam penanganan keluhan pelanggan. Layanan
kualitas ini memiliki arti yang cukup luas. Layanan kualitas ini dapat mencakup
segala kegiatan yang terjadi dalam ritel, mulai dari bagaimana sebuah ritel
menyediakan produk tertentu, hingga pelayanan setelah penjualan yang dilakukan
oleh ritel tersebut.
Kualitas layanan dipandang sebagai salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian
oleh perusahaan ritel. Hal tersebut karena kualitas layanan memiliki efek untuk
mendatangkan pelanggan ritel yang baru dan secara bersamaan dapat meminimalkan
kemungkinan pelanggan ritel lama untuk berpindah ke ritel lainnya. Kualitas layanan
adalah tingkat keunggulan suatu yang diharapkan dari suatu penyedia layanan dan
kemampuan akan pengendalian atas tingkat keunggulan layanan tersbut untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan (Tjiptono, 2008).
Kondisi persaingan yang terjadi dalam industri ritel saat ini mengalami
perkembangan yang cukup ketat. Sehingga hal tersebut berdampak terhadap
keberlangsungan sebuah bisnis ritel. Para peritel dituntut untuk mampu menciptakan
76
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
sebuah kualitas layanan yang mampu meningkatkan kepuasan pelanggan yang telah
mengkonsumsi produknya. Kualitas layanan ini terdiri dari fitur-fitur dan
karakteristik dari sebuah produk atau jasa yang ditawarkan oleh sebuah ritel kepada
pelanggannya. Dimana fitur dan karakteristik tersebut harus mampu memenuhi
setiap kebutuhan pelanggan. Pengertian lain menyatakan bahwa kualitas layanan
merupakan kemampuan penyedia jasa untuk memberikan layanan yang unggul
dalam memenuhi kebutuhan pelanggan (Sigit & Oktafani, 2014)
Selain dengan meningkatkan kualitas layanan ritelnya, untuk mampu bertahan dalam
persaingan bisnis yang ketat ini, para peritel juga dapat memperluas pasarnya dengan
cara menarik lebih banyak lagi pelanggan. Sehingga, bisnis ritelnya akan terus
berjalan, dan penjualannya akan terus meningkat. Perusahaan ritel harus mampu
bersaing dengan kompetitornya dengan cara menyediakan produk dan jasa yang
berkualitas. Maka dari itu, perbaikan secara terus menerus dalam segi kualitas
produk dan layanan perlu dilakukan oleh perusahaan. Hal tersebut ditujukan agar
seluruh barang dan jasa yang ditawarkan dapat mendapatkan tempat yang baik dalam
benak masyarakat selaku pelanggan ataupun calon pelanggan dari sebuah ritel.
(Sihombing, 2014)
Saat ini kualitas layanan yang diberikan suatu perusahaan memberikan arti tersendiri
bagi peritel. Kualitas layanan suatu perusahaan dapat membantu peritel untuk
menciptakan keunggulan-keunggulan tersendiri yang mampu membuat bisnis ritel
tersebut dapat bersaing dengan perusahaan lain. Sehingga dengan begitu, perusahaan
akan mampu mempertahankan pelanggan mereka dan mampu mendapatkan
pelanggan baru yang lebih banyak lagi.
Semakin tinggi tingkat persaingan yang terjadi, maka akan menyebabkan konsumen
akan memiliki lebih banyak alternatif harga, produk, dan juga kualitas. Sehingga,
konsumen akan selalui nilai yang dianggap paling tinggi, yaitu produk yang mampu
meberikan manfaat yang jauh lebih tinggi disbanding biaya untuk mendapatkannya
(Kotler, 2005). Kualitas yang rendah dan tidak memenuhi harapan pelanggan akan
membuat ketidakpuasan pada pelanggan, dan akan berdampak kepada pelanggan
lain karena efek rekomendasi yang negatif. Hal tersebut dikarenakan pelanggan yang
kecewa akan bercerita paling sedikit kepada 15 pelanggan lainnya. Sehingga
dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan pilihannya kepada pesaing
(Lupiyoadi & Hamdani, 2006). Maka dari itu, upaya perbaikan sistem kualitas
layanan yang dilakukan oleh peritel, akan jauh lebih efektif bagi keberlangsungan
bisnisnya. Upaya perbaikan ini akan menjadikan konsumen makin loyal kepada
perusahaan ritel tersebut (Lupiyoadi & Hamdani, 2006).
Saat ini, kualitas layanan telah menjadi salah satu hal yang sangat
diperhatikan peritel, karena tingkat kualitas layanan tersebut dapat menentukan
tingkat keberhasilan suatu perusahaan. Pengembangan kualitas layanan yang terjadi
saat ini didorong oleh timbulnya persaingan-persaingan yang semakin ketat antar
perusahaan, kemajuan teknologi, tahapan perekonomian dan sosial budaya
masyarakat. Selain itu, saat ini perusahaan lebih menekankan kepada hubungan
77
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
78
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
juga perlu menyesuaikan setiap layanan yang ada dengan tujuan dari perusahaan
tersebut.
Kualitas layanan antara perusahaan jasa dan manufaktur juga cukup
berbeda. Hal tersebut dikarenakan karakteristik kedua perusahaan tersebut berbeda,
sehingga kualitas layanan yang diberikan juga cukup berbeda. Dalam menetapkan
kualitas layanan sebuah ritel, diperlukan pendekatan yang tepat dan sesuai dengan
aspek-aspek yang terdapat dalam kegiatan operasional ritel tersebut. Sehingga
strategi kualitas layanan yang akan dibuat tersebut dapat terimplementasikan dengan
baik oleh perusahaan. Menurut Finn dan Lamb (1991) dalam Utami (2006), kategori
layanan yang digunakan untuk mengembangkan SERVQUAL pada perusahaan ritel
jasa sangat berbeda pada goods retailing. Sehingga untuk mengevaluasi kualitas
layanan yang ada, biasanya pelanggan menggunakan kriteria tertentu.
Kualitas layanan pada suatu perusahaan memiliki karakteristik tertentu,
yaitu tanpa wujud (intangiability), mempunyi banyak variasi (variability), tidak
tahan lama (perishability), dan dihasilkan sekaligus dikonsumsi (inseparitibility)
sebagaimana diidentifikasi oleh Parasuraman dkk. dalam Tjiptono (2005). Menurut
Zeithamal, Berry dan Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono (2005)
berdasarkan karakteristik yang ada, maka untuk mengukur kualitas layanan tersebut,
digunakan 5 (lima) dimensi berikut:
1. Bukti fisik (Tangibles), dimensi ini terdiri atas fasilitas fisik, perlengkapan
toko, staf dan sarana komunikasi yang ada di perusahaan. Dimensi ini
biasanya digunakan oleh para peritel untuk meningkatkan kualitas layanan
ritelnya, sehingga pelanggan dapat merasakan layanan ritel dari perusahaan
tersebut secara lebih nyata.
2. Kehandalan (Reliability), merupakan kemampuan peritel untuk dapat
memberikan layanan yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh ritel
kepada konsumennya. Pemberian layanan tersebut meliputi ketepatan
layanan dengan ekpektasi konsumen yang berarti ketepatan waktu, keadilan
layanan untuk semua pelanggan, layanan yang simpatik dan keakuratan
dalam layanan.
3. Daya tanggap (Responsiveness), keinginan peritel untuk mau memberikan
layanan kepada para pelanggannya dengan tepat dan cepat (responsif), serta
kemampuan staf dalam memberikan informasi yang jelas yang dibutuhkan
oleh pelanggan.
4. Jaminan (Assurance), kemampuan peritel untuk dapat menciptakan
kepercayaan dan keyakinan pada benak pelanggan. Dalam upayanya untuk
mewujudkan dimensi ini, pegawai dituntut untuk memiliki pengetahuan,
kesopansantunan dan kemampuan untuk mampu menimbulkan rasa percaya
dan aman bagi pelanggan ketika sedang menikmati layanan yang diberikan.
5. Empati (Empathy), dalam dimensi ini peritel dituntut untuk dapat
menciptakan komunikasi yang baik dengan pelanggan, memberikan
perhatian yang bersifat personal dan mampu memahami kebutuhan
pelanggan dengan baik. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dimensi
79
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
Selain dimensi tersebut, ada 3 (tiga) dimensi kualitas layanan yang juga
biasa dijadikan indikator untuk mengukur kualitas layanan yang diberikan suatu
perusahaan kepada pelanggannya (Brady & Cronin, 2001), yaitu:
a. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi terjadi ketika adanya kontak langsung antara peritel
dengan pelanggan. Dimensi ini merupakan hal utama yang menjadi
perhatian pelanggan ketika menilai dan mengevaluasi suatu layanan. Karena
saat melakukan kontak langsung, pelanggan dapat benar-benar merasakan
bagaimana suatu layanan memberikan pengaruh untuk pelanggan tersebut.
Sehingga peritel dituntut untuk dapat menciptakan suasana interaksi yang
kondusif yang membuat pelanggan akan merasa nyaman.
b. Kualitas hasil
Kualitas hasil didefinisikan sebagai keseluruhan evaluasi yang
diberikan pelanggan terhadap hasil yang dirasakan dari layanan yang telah
diberikan oleh peritel. Dalam proses ini, pelanggan menilai semua hal yang
berkaitan dengan layanan yang diberikan, seperti ketepatan dan kecepatan
waktu penyediaan layanan, bagaimana peritel memenuhi kebutuhan
pelanggan, hingga fasilitas pendukung apa saja yang digunakan untuk
memudahkan pelanggan dalam memenuhi kebutuhannya.
c. Kualitas lingkungan
Kualitas lingkungan ini berkaitan dengan seberapa baik fasilitas fisik
yang disediakan peritel untuk menunjang kegiatan pemberian layanan dapat
mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap keseluruhan layanan yang
diberikan. Peritel harus mampu menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung
yang benar-benar mampu memudahkan pelanggan ketika akan
mengonsumsi layanan yang diberikan. Jangan sampai fasilitas yang ada
justru membuat pelanggan kesulitan. Sehingga petunjuk teknis tentang
penggunaan fasilitas tertentu juga harus disediakan oleh peritel.
80
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
81
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
82
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
83
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
mengatakan bahwa pelanggan yang setia merupakan mereka yang merasa sangat
puas terhadap barang atau jasa tertentu, sehingga mereka merasa antusias untuk
memperkenalkan produk tersebut kepada orang lain yang mereka kenal.
Menurut Griffin, pelanggan yang setia memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Membeli produk lain yang ditawarkan selain yang biasanya mereka beli.
Pelanggan yang setia biasanya tidak hanya membeli satu barang tertentu
saja, namun membeli beberapa produk dengan jenis yang berbeda, namun
masih pada ritel yang sama.
2. Melakukan repeat buying secara berkelanjutan. Pembelian yang dilakukan
cenderung dilakukan secara berkali-kali dalam waktu yang cukup teratur.
Pembelian yang dilakukan oleh pelanggan tersebut tidak hanya untuk satu
produk, tetapi bisa saja untuk berbagai produk, namun dalam ritel yang
sama.
3. Resisten dari daya tarik produk kompetitor. Ketika seorang pelanggan sudah
setia pada satu ritel tertentu, biasanya mereka tidak akan tergoda untuk
membeli produk di ritel yang lain, meskipun ada promo-promo khusus di
ritel pesaing tersebut.
4. Merekomendasi orang lain untuk mengkonsumsi produk yang dia loyal.
Pelanggan yang loyal terhadap suatu ritel biasanya akan senang untuk
mempromosikan ritel langganannya tersebut kepada teman atau kerabatnya.
Pelanggan cenderung merasa puas dan tidak mau berpindah ke ritel lain,
sehingga ingin mengajak orang lain untuk juga datang ke ritel tersebut.
Ketika seorang pelanggan sudah merasakan kepuasan tertentu terhadap
layanan yang diberikan oleh peritel, maka mereka akan menjadi loyal. Hal tersebut
membuktikan bahwa dengan loyalitas yang timbul dari kepuasan layanan yang
diberikan suatu perusahaan ritel, akan dapat menciptakan hubungan jangka panjang
antara pelanggan dan perusahaan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kualitas layanan
berpengaruh positif secara langsung terhadap loyalitas pelanggan. (Sihombing,
2014).
Loyalitas seorang pelanggan dapat mendorong terciptanya pembelian ulang
dari pelanggan tersebut, sehingga loyalitas pelanggan ini memiliki dampak yang
positif dengan kinerja bisnis suatu ritel. Menurut Castro dan Armario (1999), dengan
mempunyai pelanggan yang loyal selain akan meningkatkan nilai bisnis, tetapi akan
dapat menarik konsumen baru.
Dengan selalu memperhatikan dan melakukan perbaikan-perbaikan
terhadap loyalitas pelanggan akan membawa dampak positif berupa peningkatan
penjualan bagi perusahaan. Keuntungan yang didapatkan suatu perusahaan
menunjukkan adanya konsistensi suatu bisnis, hingga akhirnya bisnis tersebut dapat
terus berkembang dari segi variasi produk dan jasa yang ditawarkannya (Soeling,
2007). Loyalitas pelanggan akan mendorong pelanggan untuk mau membayar lebih
dari harga yang biasa ditetapkan oleh peritel pada umumnya dan bersedia
merekomendasikan produk yang ada, ke pelanggan yang baru secara sukarela
(Aryani & Rosinta, 2010).
84
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
85
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
86
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
87
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
88
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
Referensi
Achmad, N., & Ainaini, M. (2006). Analisis Kualitas Pelayanan pada Pasien
Puskesmas di Surakarta. Empirika, Vol.19.
Amalina, C. H. (2010). Hubungan Antara Kepuasan Konsumen dan Kualitas
Pelayanan dengan Loyalitas Konsumen pada Ritel Modern. Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.
Arief. (2007). Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan. Malang: Bayumedia
Publishing.
Aryani, D., & Rosinta, F. (2010). Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Kepuasan
Pelanggan dalam Membentuk Loyalitas Pelanggan. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Vol. 17.
Brady, M., & Cronin. (2001). Some New Thoughts on Conseptualizing Perceived
Service Quality: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing, Vol. 65.
Fuad, N. (2013). Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Pelayanan, dan Citra Toko
Terhadap Kepuasan Konsumen Toko Ritel. Universitas Dipenogoro,
Semarang.
Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran: Jilid I dan 2. Jakarta: PT Indeks
Kelompok Gramedia.
Kotler, P. (2012). Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc. .
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Lupiyoadi, R., & Hamdani, A. (2006). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta:
Salemba Empat.
Lupiyoadi, R., & Hamdani, A. (2009). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta:
Salemba Empat.
Mowen, J. C., & Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen Edisi 5, Jilid 2. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Prandita, L., & Iriani, S. S. (2013). Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Layanan,
Dan Emosional Terhadap Kepuasan Pelanggan Sogo Departemen Store.
Jurnal Ilmu Manajemen, Vol. 1.
Qin, H., & Prybutok, V. R. (2008). Determinants of Customer – Perceived Service
Quality in Fast-Food Restaurant and Their Relationship to Customer
Satisfaction and Behavioral Intentions. The Quality Management Journal,
Vol. 15.
89
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel
90
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
BAB 8
MANAJEMEN HUBUNGAN PELANGGAN DALAM
RITEL
Tujuan
1. Memahami konsep dasar manajemen hubungan pelanggan (Customer
Relationship Management-CRM).
2. Memahami CRM sebagai strategi membangun kesetiaan pelanggan.
3. Mengimplementasikan program CRM dalam bisnis ritel.
Pendahuluan
Paradigma pemasaran telah bergeser dari pemasaran transaksi (transaction
marketing) kepada pemasaran hubungan (relationship marketing) (Zeithaml, Bitner,
& Jo, 2000). Pergeseran paradigma tersebut telah memperluas aktivitas para
pemasar, pemasar tidak hanya bertugas untuk mencari pelanggan, namun juga
mempertahankan dan menumbuhkan pelanggan yang menguntungkan (Kotler &
Armstrong, 2008). Para pemasar telah menyadari bahwa memiliki produk yang
bagus saja tidak cukup, keputusan pelanggan untuk melakukan transaski dengan
perusahaan lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan pelanggan (Barnes, 2007).
Selain itu, kondisi demografi pasar pun telah berubah, pesaing semakin marak dan
melakukan strategi yang lebih pintar. Alhasil, pelanggan yang diperebutkan semakin
sedikit (Kotler & Armstrong, 2008). Dari fenomena tersebut, dikembangkanlah
konsep CRM (Customer Relationship Marketing) yang berfokus pada hubungan
kerjasama antara perusahaan, pelanggan dan pelaku pemasaran lainnya (Munandar,
2016). CRM dilaksanakan dengan melibatkan seluruh fungsi manajemen, setiap
orang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk menglola dan memuaskan
pelanggan (Rangkuti, 2002). Dengan dikembangkannya hubungan baik dalam CRM,
pengusaha berharap konsumennya menjadi loyal, sehingga berimplikasi terhadap
peningkatan keuntungan bisnis (Utami, 2008b).
91
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
(Parvatiyar & Sheth, 2001). Dilihat dari tujuannya, CRM digunakan untuk
menyesuaikan proses pelanggan dan media jasa (Storbacka, R, & Lehtinen, 2001).
Sedangkan fokus kegiatan CRM itu sendiri adalah untuk meningkatkan kepuasan,
loyalitas, dan meningkatkan pendapatan perusahaan melalui pelanggan yang ada
(Foster, 2008). Dengan diterapkannya CRM, perusahaan memiliki kapabilitas untuk
memahami pelanggan dengan lebih baik, sehingga mampu menentukan tipe
komunikasi yang sebaiknya digunakan untuk menghadapi pelanggan (Foster, 2008).
Lebih dari itu, dengan diterapkannya CRM hubungan jangka panjang yang saling
memuaskan antara pihak yang berkepentingan dalam bisnis dapat terbangun (Kotler,
2003)
Proses CRM
92
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
1. Mengumpulkan
data konsumen
2. Mengidentifikasi
4. Mengimplementasikan
data dan target
program CRM
konsumen
3. Mengembangkan
program CRM
93
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
94
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
akan menjadi loyal dan membantu mempromosikan ritel melalui word of mouth
(Zeithaml et al., 2000).
Piramida pelanggan.
Melalui piramida pelanggan, peritel mengelompokkan konsumennya ke
beberapa segmen, diantaranya:
- Segmen Platinum, merupakan pelanggan setia yang tidak
mempertimbangkan barang dagang dan harga yang diajukan peritel.
- Segmen Emas, pelanggan yang memiliki nilai LTV lebih rendah
dari segmen platinum karena sensitive terhadap harga
- Segmen besi, pelanggan dengan nilai LTV yang rendah, sehingga
tidak memerlukan banyak perhatian dari peritel
- Segmen awal, pelanggan yang banyak menuntut perhatian
perusahaan namun tidak menguntungkan karena pembeliannya yang
jarang dan sedikit.
EMAS
BESI
95
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
Mempertahankan pelanggan
Bisnis ritel sangat marak di masyarakat, sehingga membutuhkan upaya hubungan
(relationship effort) dalam melakukan diferensiasi. Upaya hubungan adalah upaya
peritel dalam menjalin relasi yang berkelanjutan dengan cara memberikan kontribusi
terhadap harapan konsumen. Dengan adanya upaya hubungan tersebut, diharapkan
retensi pelanggan dan loyalitas pelanggan dapat terwujud (Utami, 2008b). Selain itu,
upaya pelanggan juga dilakukan untuk menghindari terjadinya perpindahan
pelanggan (customer churn) ke pihak asing (Munandar, 2016).
Upaya hubungan mengacu pada beberapa hal sebagai berikut :
Levy dan Weitz (2004) menjelaskan bahwa untuk mempertahankan pelanggan dan
menjadikan mereka sebagai konsumen yang setia, peritel dapat melakukan empat
pendekatan, yaitu: program belanja secara rutin, perlakuan khusus untuk pelanggan,
personalisasi (personalization) dan balas jasa (rewarding), serta membangun
komunitas (preferential treatment). Sedangkan untuk meretensi pelanggan, peritel
dapat melakukan beberapa hal, diantaranya:
96
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
Personalisasi
Personalisasi merupakan cara peritel untuk bersosialisasi secara pribadi
dengan setiap konsumennya. Personalisasi menumbuhkan kehangatan dan
suasana yang bersahabat, sehingga pelanggan akan merasa nyaman. Selain
itu, dengan adanya personalisasi pengetahuan peritel akan kebutuhan
konsumennya akan semakin meningkat dan hubungan yang terjalin akan
semakin kuat (Munandar, 2016).
Komunikasi
Komunikasi merupakan faktor utama agar terjadinya relasi (Utami, 2008a).
Dalam komunikasi terjadi proses penyampaian informasi (ide, gagasan,
pesan) agar terjadi saling mempengaruhi antar kedua pihak (Hermawan,
2012). Dengan terjadinya komunikasi, usaha-usaha yang dilakukan oleh
produsen dalam menciptakan relasi dengan konsumen dapat terwujud.
Hingga akhirnya, komunikasi tersebut dapat mendorong konsumen untuk
merespon melalui sikap dan perilaku (Fill & Jameison, 2006)
97
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
Banyak orang mengartikan informasi pribadi sebagai semua informasi yang tidak
bisa disebarkan, meskipun bersifat umum (Utami, 2008a). Uni Eropa telah
memberikan beberapa ketentuan yang berimplikasi langsung terhadap rahasia
konsumen, diantaranya:
Referensi
Barnes, J. G. (2007). Secrets of Customer Relationship Management (Rahasia
Manajemen Hubungan Pelanggan) (11th edition ed.). Yogyakarta: Andi.
98
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel
99
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
BAB 9
TEKNOLOGI DALAM BISNIS RITEL
Tujuan
1. Memahami manfaat dan perkembangan teknologi dalam bisnis ritel.
2. Memahami pemanfaatan teknologi dalam penciptaan inovasi layanan bisnis
ritel dan peningkatan kualitas layanan konsumen,
3. Memahami dan mengimplementasikan E-commerce dalam bisnis ritel.
Internet telah menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia secara luas dalam
beberapa tahun belakangan. Perkembangan internet yang sangat pesat
memperlihatkan bagaimana pengenalan dan komersialisasi teknologi baru dapat
menghasilkan inovasi produk yang dramatis dan menuju perubahan signifikan dalam
hal operasionalisasi bisnis serta gaya hidup dan pekerjaan banyak orang.
Pemanfaatan internet dalam bisnis sudah sedemikian luas dipakai oleh masyarakat.
Terutama yang terkait dengan pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan. Melalui jaringan teknologi informasi proses pemasaran produk akan
menjadi lebih tepat sasaran, cepat dan sangat efisien. Yuliana memberikan beberapa
gambaran mengenai tujuan digunakanya web sebagai basis pemasaran, produk yang
berkembang saat ini (Yuliana, 2004) :
Web digunakan sebagai wahana untuk menarik minat konsumen melalui
periklanan
Memperbaharui layanan, melalui dukungan teknologi informasi
Meningkatkan jalur dan penyebaran pemasaran dari produk yang ada, melalui web
baru
Memperbaharui informasi dari produk yang dapat diakses melalui internet
Teknologi bagi bisnis ritel menjadi semakin penting, karena bisa dijadikan sebagai
alat pemasaran. Peritel yang maju menggunakan sistem yang terkomputerisasi untuk
membuat peramalan penjualan, mengendalikan biaya persediaan, pemesanan melalui
online, mengirimkan surat penawaran, hingga menjual produk kepada konsumen.
Kemajuan teknologi juga mendorong manajemen ritel untuk lebih profesional dalam
memberikan pelayanan, untuk meningkatkan produktivitas dan margin usaha.
(Sopiah, 2008).
Perilaku masyarakat saat ini sudah sangat terpengaruh oleh perkembangan teknologi
yang sangat cepat. Gaya hidup serba mudah, cepat dan efisien menjadi tren dan
fenomena yang dapat dilihat secara kasat mata. Perubahan teknologi informasi yang
terjadi akhir-akhir ini telah banyak merubah keadaan dan layanan yang dapat
diberikan pada konsumen. Fenomena gojek, telah memberikan perubahan terhadap
jenis produk dan jasa yang dapat nikmati konsumen. Layanan jasa konvensional
dalam sekejap menjadi kelihatan usang dan sangat mahal. Saat ini konsumen telah
dapat menikmati informasi produk yang serba baru dan mutakhir, layanan
penyampaian produk yang serba cepat dan biaya menjadi jauh lebih murah dan
efisien. Tantangan yang dihadapi peritel saat ini adalah kreasi dan inovasi produk dan
layanan yang dapat diberikan kepada konsumen. Persaingan bagi peritel dalam era
100
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
teknologi informasi saat ini adalah terorientasi pada kecepatan mengkreasi produk
yang unik bagi konsumen dan layanan yang cepat dan murah.
Teknologi informasi telah memungkinkan pelaku bisnis ritel untuk mendapatkan
informasi yang serba lengkap dan variatif. Gagasan baru bisa diramu dari informasi
yang sudah didapat, selanjutnya bagaimana mengolah gagasan tersebut untuk
kepentingan bisnis yang akan dibangun. Menggali dan memanfaatkan teknologi
informasi bagi peritel saat ini adalah menjadi keniscayaan. Peritel tidak dapat lagi
menghindar dari penggunaan teknologi dalam perencanaan pemasaran produknya.
Berikut adalah beberapa manfaat yang bisa didapat oleh peritel dalam penggunaan
internet untuk kepentingan bisnisnya (Hermawan, 2012):
a. Biayanya yang relatif murah.
Dengan menggunakan internet, peritel tidak perlu lagi mempromosikan barang
dagangannya melalui sarana periklanan tradisional, yang cukup menghabiskan
banyak biaya. Dengan internet, peritel dapat menjangkau konsumen secara luas
dan konsumen dapat mengakses informasi mengenai barang dagangan tersebut
dengan mudah dan praktis. Hal tersebut akhirnya membuat peritel dapat
menghemat biaya operasional yang perlu dikeluarkan.
Interaksi
101
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
Customization
Kesanggupan teknologi informasi untuk melayani konsumen dalam mengakses
informasi secara otomatis sesuai dengan apa yang mereka perlukan, membuka
peluang bagi bisnis untuk mengembangkan strateginya. Berbagai kepentingan
bisnis dapat diakomodir dengan teknologi internet, misal rekrutasi pegawai,
pemasaran dan penjualan produk, menjadi mudah diakses dengan lebih cepat,
efisien dan tepat sasaran.
Kolaborasi
Dengan teknologi internet memungkinkan bisnis untuk membuka akses bersama
dalam kelompok, sehingga kerjasama dengan sesama rekan bisnis menjadi mudah
dilakukan tanpa harus bertemu langsung. Kondisi ini sangat meringankan beban
dari setiap rekan bisnis yang mau bekerja sama tanpa harus terikat dengan ruang
dan waktu. Koordinasi kerja yang dulu dilakukan melalui keharusan bertemu
secara fisik saat ini dapat dikerjakan dengan tempat dan waktu yang mungkin
saling berbeda. Lagi-lagi peluang ini memberikan strategi baru dalam
pengembangan bisnis ke depan.
Electronic Commerce
Aktivitas transaksi bisnis saat ini yang mencakup interaksi dengan pemasok,
pembeli dan keperluan transaksi bisnis lainya dengan berbagai pihak dapat
dilakukan melalui teknologi internet. Aplikasi bisnis elektronik memungkinkan
suatu peritel melakukan pelayanan transaksi penjualan produk dan layanan
pelanggan yang lebih luas, cepat dan efisien.
Integrasi
Penggunaan teknologi informasi yang terintegrasi dalam menangani berbagai
urusan eksternal dengan proses bisnis internal perusahaan secara online,
memungkinkan peritel untuk mengelola operasional perusahaan dengan inovatif
dan efisien.
Keterbatasan Teknologi
102
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
Setidaknya terdapat enam jenis teknologi yang memiliki implikasi pada bisnis ritel.
Pengaplikasian satu jenis teknologi di dalam perusahaan ritel sering kali
membutuhkan bantuan dari jenis teknologi yang lain.
1. Teknologi Kekuatan/ Daya dan Energi
Power and Energy Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan
pada pencarian dan penerapan sumber tenaga baru yang lebih baik daripada yang
sudah ada sekarang. Sumber energi baru tersebut dapat berupa tenaga surya dan
angin.
3. Teknologi Material
103
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
4. Teknologi Metode
Methods Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada
penciptaan dan pengembangan cara baru dalam bekerja, termasuk di dalamnya self
service bagi konsumen. Perkembangan teknologi di sini melibatkan peran serta
manajer SDM dan marketing spesialis dalam penciptaan desain dan
implementasinya.
5. Bio Teknologi
Biotechnology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada penciptaan
dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, yang lebih memerhatikan kelestarian
dan kelangsungannya di masa yang akan datang.
6. Teknologi Informasi
Information Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada
penciptaan media penyimpanan yang lebih baik, lebih kecil dan lebih kuat, serta
penciptaan software yang lebih sempurna.
Untuk meningkatkan pelayanan sebuah ritel melalui cara baru dalam bekerja, tidak
jarang perusahaan yang memilih untuk memanfaatkan teknologi dalam kegiatan
operasional ritelnya. Penggunaan teknologi ini ditujukan untuk menciptakan inovasi
baru dalam penerapan strategi perusahaan. Selain itu, penggunaan teknologi ini juga
ditujukan untuk memperbaiki layanan yang sudah ada dan menciptakan cara baru
yang lebih efektif dalam bekerja.
Manajer jasa harus bersikap realistis terhadap potensi teknologi untuk menciptakan
hasil yang menguntungkan bagi perusahaan. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan
potensi yang dimiliki internet untuk memfasilitasi konsep-konsep bisnis yang baru
dan memperbaiki produktivitas bisnis melalui penghematan atau pengurangan
aktivitas-aktivitas seperti biaya permbelian dan biaya pengiriman.
Penggunaan teknologi ini membuat jam kerja ritel dalam melayani konsumen menjadi
lebih fleksibel dan lebih baik lagi. Dengan inovasi yang ada, konsumen dapat dengan
mudah melakukan pembelian dan meminta peritel untuk mengantarkan barang yang
dibelinya ke tempat konsumen tersebut. Selain itu, penggunaan teknologi ini
memberikan kemudahan bagi konsumen dan peritel untuk melakukan komunikasi
yang interaktif. Teknologi ini juga memungkinkan konsumen untuk mendapatkan
produk-produk yang mungkin tidak dijual di toko-toko lokal yang ada.
Namun jika kita terlalu tergesa-gesa untuk mengadopsi teknologi baru tanpa
memikirkan lebih jauh implikasinya terhadap karyawan, pelanggan, dan keseluruhan
sistem operasional maka besar kemungkinan timbul kekacauan, sebagaimana telah
104
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
terbukti dari kegagalan banyak perusahaan dot-com. Di lain pihak, Michael Porter,
seorang ahli dari Harvard yang mengembangkan strategi persaingan, berpendapat
bahwa kita harus meningkatkan retorika tentang ‘industri internet’, ‘strategi e-bisnis’,
dan ‘ekonomi baru’; kita harus mulai melihat dan menilai internet seperti apa adanya:
suatu teknologi yang memungkinkan manusia melakukan banyak hal, serangkaian
sarana yang sangat kuat untuk digunakan, baik secara bijak maupun tidak, dalam
hampir semua industri dan sebagai bagian dari hampir semua strategi.
Perusahaan-perusahaan jasa terkemuka memperlakukan teknologi sebagai komponen
kritis (komponen penentu keberhasilan) dari keseluruhan strategi bisnis mereka.
Perusahaan-perusahaan tersebut terus-menerus mengeksplorasi cara-cara untuk
menggunakan inovasi-inovasi teknologi guna menciptakan nilai bagi para pelanggan
dan pemegang saham, meningkatkan kualitas dan produktivitas, serta menciptakan
keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Inovasi-inovasi tersebut sering kali
memberikan berbagai peluang atau keharusan untuk melakukan perubahan strategi-
strategi perusahaan. Bahkan Amazon.com, eBay, Webvan, dan perusahaan ‘internet
murni’ tidak pernah memiliki lokasi outlet ritel secara fisik. Dari sudut pandang
pelanggan, barang atau produk yang mereka jual mungkin berwujud, namun
perusahaan itu sendiri hanya ada di cyberspace.
105
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
7. Payment, yang memungkinkan konsumen untuk membayar via kartu kredit, direct
debt.
106
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
b. Terlalu banyak informasi: berjuta-juta situs web yang ada di internet jika
digabungkan mengandung informasi yang sangat banyak, namun tidak sedikit situs
yang tidak diperhatikan atau diacuhkan oleh pengunjung. Karena itu situs-situs
yang masih dikunjungi harus berusaha keras merebut perhatian pengunjung dalam
hitungan detik jika tidak ingin berisiko mereka pindah ke situs lain.
107
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
Gunakan teknologi untuk menciptakan manfaat sesegera mungkin dan bewujud bagi
pelanggan, Jika konsumen tidak langsung manfaat teknologi untuk menolong mereka,
maka konsumen akan mengasumsikan teknologi tersebut justru merugikan. Beberapa
pedoman dalam pemanfaatan teknologi dapat disimak dalam beberapa hal berikut ini:
1. Usahakan agar teknologi mudah untuk digunakan. Dari sudut pandang konsumen,
banyak teknologi yang justru membuat kegiatan belanja menjadi lebih sulit.
2. Masalah eksekusi/pelaksanaan: purwarupa, pengujian, dan penyempurnaan.
Banyak konsep yang terlihat potensial menjadi gagal karena pelaksanaan yang
buruk.
3. Menyadari bahwa setiap pelanggan memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
teknologi. Ada konsumen yang tidak mudah untuk langsung percaya bagitu saja
terhadap kemampuan teknologi.
4. Membangun sistem-sistem yang kompatibel/cocok dengan cara-cara pelanggan
mengambil keputusan.
5. Mempelajari efek-efek teknologi terhadap apa yang dibeli konsumen dan
bagaimana cara mereka berbelanja.
6. Mengkoordinasikan semua teknologi yang menyentuh/menjangkau konsumen.
7. Gunakan teknologi untuk menyesuaikan program-program pemasaran dengan
persyaratan-persyaratan pelanggan individu. Jika semua pelanggan diperlakukan
sama rata justru akan menyebabkan kerugian.
8. Bangun sistem yang mengangkat keunggulan bersaing yang sudah ada.
b. Cost reduction. E-commerce membuat proses yang biasanya dilakukan secara fisik
menjadi digital atau virtual. Saat ini, peritel tidak perlu memiliki banyak toko di
beberapa daerah, karena konsumen yang berada diluar dapat diraih melalui
penggunaan internet atau ecommerce ini. Selain itu, penggunaan EC juga
memudahkan peritel untuk melakukan telekomunikasi dengan konsumen, dengan
biaya yang lebih murah dibandingan dengan cara yang konvensional. Maka dari
108
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
c. Extended hours: 24/7/365. Ecommerce ini memugkinkan ritel untuk terus buka
setiap hari selama 24 jam. Hal tersebut karena konsumen dapat mengakses produk
yang dijual oleh ritel tersebut secara online, kapanpun dan dimanapun konsumen
tersebut berada.
e. Other benefits. Manfaat lain yang bisa didapatkan oleh perusahaan adalah
meningkatnya citra baik perusahaan, kualitas layanan konsumen, mitra kerja yang
baru, peningkatan produktivitas, pengurangan penggunaan kertas, kemudahan
mengakses informasi, serta meningkatkan fleksibilitas kegiatan operasional ritel.
Selain itu, dalam penggunaan ecommerce juga ada beberapa hambatan yang mungkin
dialami oleh peritel, yaitu:
a. Masih terdapat kekurangan dalam segi penetapan standar kualitas, kemanan dan
reliabilitas penggunaan ecommerce secara universal.
b. Beberapa perangkat lunak pendukung kegiatan ecommerce masih dalam tahap
pengembangan.
c. Kesulitan dalam mengintegrasikan jaringan internet dan perangkat lunak EC
dengan aplikasi dan database yang sudah ada.
d. Tingkat kepercayaan konsumen yang rendah terhadap keamanan dan privasi dalam
bertransaksi secara online.
e. Beberapa konsumen lebih suka memegang atau melihat barang yang akan mereka
beli secara langsung. Sehingga konsumen tersebut cenderung lebih memilih
transaksi tradisional ketimbang transaksi secara online.
f. Adanya beberapa peraturan terkait perdagangan secara online yang masih belum
jelas dan akhirnya membingungkan pihak ritel ataupun konsumen.
Daftar Pustaka
109
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel
110
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
BAB 10
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Tujuan
1. Memahami tujuan, peran dan fungsi departemen sumber daya manusia dalam
ritel.
2. Mengetahui pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan bentuk organisasi
dalam bisnsi ritel.
3. Menjelaskan kecenderungan yang terjadi dalam manajemen sumber daya
manusia.
4. Memahami cara yang dapat digunakan untuk memotivasi sumber daya
manusia dalam sebuah perusahaan.
Pengelolaan SDM dalam suatu organisasi misal perusahan pada awalnya hanya
berorientasi pada pembayaran gaji dan penysunan administrasi kepegawaian,
pengelolaan sistem rekruitmen bagi perusahaan, sekarang telah meluas sejalan dengan
perkembangan dan perubahan kondisi sosial dan ekonomi global. Peran departemen
sumber daya manusia saat ini adalah sebagai penanggung jawab langsung
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia, dan sebagai staf yang
bertindak dalam kapasitasnya sebagai penasihat dan pembantu manajer lini atas
keterlibatannya dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia,
(Fajar & Heru, 2010).
Bagi perusahaan sendiri, departemen sumber daya manusia ini memiliki peran untuk
ikut memfasilitasi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mengambil
prakarsa dan memberikan pedoman dan dukungan atas semua persoalan yang terkait
dengan para karyawan (Armstrong, 2006). Sedangkan tujuan pokoknya adalah
menjamin bahwa organisasi mengembangkan strategi, kebijakan dan praktik
manajemen sumber daya manusia secara efektif dan dapat menangani segala hal yang
berhubungan dengan pengadaan dan pengembangan SDM serta hubungan antara
manajemen dan pekerja. Selain itu, fungsi departemen ini juga adalah menciptakan
lingkungan yang memungkinkan para karyawan mendayagunakan kapasitas terbaik
mereka dan mewujudkan potensi mereka demi kepentingan organisasi dan karyawan.
(Marwansyah, 2014).
111
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Selain itu, manajemen sumber daya manusia juga dapat diartikan sebagai suatu proses
dimana kesesuaian optimal diperoleh diantara pegawai, pekerjaan organisasi dan
lingkungan sehingga para pegawai mencapai tingkat kepuasan dan kinerja yang
mereka inginkan dan organisasi memenuhi tujuannya. Harmonisasi diantara tujuan
organisasi dengan kepuasan kerja dari para pegawai merupakan tugas dari
pengelolaan SDM yang keberadaanya harus tetap dijaga dan terus dikembangkan
melalui fungsi yang disandang oleh manajemen suatu organisasi.
Perilaku karyawan dalam melayani konsumen merupakan hal yang sangat penting
bagi sebuah bisnis ritel. Apabila konsumen dihadapkan dengan staf ritel yang
canggung, tidak menguasai produk, atau bahkan tidak tahu tentang barang dagangan
yang dijual, semua usaha yang dilakukan oleh peritel (promosi atau pendesainan tata
letak toko dan lain-lain) akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, adanya manajemen
SDM dalam sebuah perusahaan diharapkan dapat meningkatkan layanan konsumen
melalui sudut pandang konsumen. Hal tersebut dilakukan dengan cara memfasilitasi
karyawan untuk dapat meningkatkan karirnya dan menyediakan mereka program-
program sosialisasi, yang berperan penting dalam pembentukan perilaku karyawan
tersebut dalam bekerja 66 (Dessler, 2003). Selain itu, peritel juga dapat memfasilitasi
karyawannya dengan cara membuat program tertentu yang dapat menjamin
karyawannya untuk menggunakan semua kemampuan dan keahliannya dalam
bekerja, seperti program penilaian yang berorientasi karir dan program pelatihan dan
pengembangan bagi karyawan. 67 (Dessler, 2003).
c. Tujuan sosial. Memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang ada, agar tenaga
kerja tersebut dapat memberikan kinerja terbaiknya bagi perusahaan. Sehingga
112
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Tantangan utama dalam menjalankan suatu bisnis adalah mengurangi tingkat keluar
masuk karyawan atau perputaran karyawan. Tingkat perputaran karyawan yang tinggi
akan mengurangi keuntungan penjualan dan meningkatkan biaya operasional.
Sedangkan penjualan yang menurun dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
karyawan yang kurang berpengalaman dalam menjalankan tugasnya, kurang
terampilnya sumber daya manusia yang ada, rendahnya pengetahuan tentang
kebijakan perusahaan dan barang dagangan. Semua hal tersebut dapat membuat
interaksi antara konsumen dan peritel menjadi kurang efektif. Selain itu, biaya yang
harus dikeluarkan perusahaan akan meningkat karena kebutuhan untuk merekrut dan
melatih karyawan baru terus menerus dilakukan. (Utami, 2008).
Struktur Organisasi
Salah satu elemen yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam mengelola
orgnaisasi bisnis, tidak terkecuali usaha ritel adalah sumberdaya manusia.
Pengelolaan sumberdaya manusia yang baik diantaranya ditentukan oleh
pengorgansasian yang tepat dalam menjalankan operasional usahanya. Struktur
organisasi merupakan bentuk hirarki, otoritas, tanggungjawab dan kewenangan serta
relasi antar bagian yang mencerminkan mekanisme kerja yang harus dijalankan suatu
satuan aktivitas untuk menciptakan keteraturan dalam pencapaian tujuan. Struktur ini
dikembangkan oleh perusahaan, agar setiap sumber daya manusia atau pegawai yang
bekerja pada ritel tersebut dapat bekerja dengan tepat dan tujuan perusahaan dapat
tercapai (Utami, 2008).
Berikut adalah struktur organisasi dalam sebuah perusahaan ritel (Utami, 2008):
a. Struktur organisasi fungsional. Struktur organisasi ini dibuat berdasarkan fungsi
dari masing-masing departemen.
113
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Bagan 4.1
Struktur Organsasi Fungsional
Direktur
Bagan 4.2
Struktur Organsasi Berdasarkan Produk
Direktur
Bagan 4.3
Struktur Organsasi Berdasarkan Geografis
Direktur
114
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Bagan 4.4
Struktur Organsasi Gabungan, Fungsional, Geografis dan Produk
Direktur
Bentuk Organisasi
Ketika tugas dari setiap karyawan telah ditentukan, maka kegiatan berikutnya adalah
mengkategorikan tugas dalam suatu kelompok bidang tertentu, sehingga terdapat
beberapa bidang yang sesuai dengan fungsi yang diinginkan. Aktivitas ini dilakukan,
dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut (Levy & Weitz, 2004):
1. Kekhususan
2. Tanggung jawab dan otoritas.
3. garis komando
4. Strategi ritel.
Terkait langsung dengan bisnis ritel, berikut adalah bentuk organisasi yang biasa
digunakan oleh peritel:
a. Organisasi ritel tunggal (organisasi ritel dengan satu toko).
Dalam model ini pimpinan organisasi melakukan pengelolaan aktivitas dari ritel
pusat sampai ke cabang dan umumnya model ini dianut oleh peritel skala kecil.
Dengan demikian manajer pada model ini melakukan tugas manajerial secara
keseluruhan dari memberi tugas dan kewenangan, serta melakukan pengawasan
dengan tingkat spesialisasi yang terbatas karena pada umumnya karyawan
berjumlah terbatas. Setiap karyawan yang ada harus melakukan beberapa aktivitas
dalam satu waktu, dan manajer toko bertanggung jawab atas semua tugas
manajemen yang ada (Levy & Weitz, 2004).
115
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Model ini telah melakukan modifikasi dari yang ritel tunggal, dimana organisasi
melakukan spesialisasi fungsi orgnaisasi umtuk mendapatkan bagian yang khusus
dalam rangka mewadahi kompetensi karyawan pada bagian yang bersangkutan,
sehingga organisasi dapat melakukan fungsi sesuai dengan karakteristik
kemampuan karyawannya dan sejalan dengan pencapaian tujuan
organisasi/perusahaan tersebut. Umumnya model organisasi ini dijalankan dalam
organisasi yang berskala menengah dan atas.
Bentuk organisasi ini ditetapkan untuk memungkinkan peritel
meningkatkan spesialisasi dan pemanfaatan kemampuan yang dimiliki para
karyawannya dalam bidang tertentu. (Morgenstein & Strongin, 1992). Berikut
dijelaskan beberapa divisi yang biasa dimiliki suatu organisasi ritel:
Divisi barang dagangan; divisi ini bertanggung jawab atas semua kegiatan
pembelian dan penjualan barang dagangan. Divisi ini dikepalai oleh seorang
manajer barang dagangan (merchandise manager), yang bertugas untuk
mengawasi semua kegiatan merchandising di toko utama (head store) ataupun
toko di lokasi lain. Kegiatan utama dalam divisi ini adalah pembelian dan
penjualan barang dagangan, perencanaan kegiatan promosi untuk barang
dagangan yang ada, dan pengelolaan manajemen persediaan barang dagangan.
(Morgenstein & Strongin, 1992).
Divisi pembelian; divisi ini bertanggung jawab dalam proses perolehan barang
dagangan, ketentuan harga dan pelabelan, serta membuat data inventaris yang
spesifik untuk kategori-kategori barang dagangan yang ada. (Utami, 2008).
Manajer kategori; bertanggung jawab terhadap sekelompok produk, yang oleh
konsumen dianggap sebagai produk pengganti. Misalkan, manajer bertanggung
jawab atas produk-produk pasta, baik yang dikemas dalam bentuk frozen food
ataupun dalam kemasan kalengan. Setelah itu, manajer kategori tersebut akan
mengevaluasi setiap kategori produk yang ada, untuk menentukan kategori
mana yang harus dieliminasi ataupun dipertahankan dalam toko. Manajer
kategori ini biasanya digunakan dalam ritel supermarket. (Levy & Weitz,
2004).
Perencana barang dagangan; bertanggung jawab dalam mengalokasikan barang
dagangan dan merinci penyortiran produk dalam beberapa kategori untuk toko
tertentu. (Utami, 2008).
Divisi toko; divisi ini fokus terhadap semua aktivitas-aktivitas yang ada di toko,
kecuali pembelian, penjualan, promosi dan keuangan. Manajer toko melakukan
pengawasan terhadap para karyawan, pemeliharaan toko, pembelian persediaan
dan peralatan yang digunakan untuk mengoperasikan toko, operasional,
customer service, dan keamanan toko. (Morgenstein & Strongin, 1992).
116
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Desentralisasi vs Sentralisasi
a. Sentralisasi
Sentralisasi menyerahkan kewenangan keputusan pada manajer pusat perusahaan.
Dengan demikian maka semua keputusan yang terkait dengan pembelian, operasi
dan pengawasan kegiatan usaha ritel langsung ditangani melalui satu keputusan
yang terpusat, sehingga secara keseluruhan perusahaan dapat melakukan
penghematan dan pengendalian yang lebih efektif terhadap jalannya orgnaisasi
ritel. Berikut adalah karakteristik dari sentralisasi organisasi (Morgenstein &
Strongin, 1992):
a. Adanya konsistensi diseluruh cabang toko dan pengawasan dari kantor pusat.
b. Adanya standarisasi prosedur, memungkinkan operasional lebih ekonomis.
b. Desentralisasi
Model desentralisasi merupakan model yang menyerahkan kewenangan keputusan
dari pusat ke otoritas yang lebih rendah dalam suatu organisasi. Tingkat dalam
konteks ini adalah manajer wilayah atau manajer toko. Dengan demikian
keputusan yang terkait dengan aktivitas promosi, periklanan dan barang dagangan
dapat dilakuka pada level wilayah dan toko tertentu, sehingga dapat diperoleh
fleksibilitas keputusan yang diambil sesuai dengan kondisi dan situasi yang
berkembang pada wilayah atau toko yang bersangkutan.
117
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
118
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Meskipun semua orang mempunyai dorongan yang sama, mereka tidak mempunyai
respon emosional atau kebutuhan yang sama dalam situasi yang sama. Maka dari itu,
untuk memotivasi para pegawainya, perusahaan dapat melakukan hal berikut:
1. Insentif.
Insentif merupakan alat yang dapat digunakan untuk memberi dorongan kepada
karyawan agar bertindak sesuai dengan target yang diinginkan. Secara khusus Utami
mengungkapkan bahwa Insentif juga memotivasi karayawan untuk lebih giat
melaksanakan aktivitas yang konisten dan sesuai dengan tujuan ritel, (Utami, 2008).
Pendapat lain menyatakan bahwa sistem insentif menghubungkan kompensasi dengan
kinerja, karena yang diberi imbalan adalah kinerja, bukan senioritas atau jumlah jam
kerja. Meskipun bisa diberikan kepada kelompok, insentif biasanya diberikan sebagai
imbalan atas perilaku kerja individual. (Marwansyah, 2014). Menurut Cascio program
insentif yang efektif harus memenuhi persyaratan berikut (Cascio, 1992):
a. Sederhana.
Aturan-aturan dalam sistem insentif harus ringkas, jelas dan mudah dipahami serta
mudah dilaksanakan oleh karyawan.
b. Spesifik.
119
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Insentif harus sangat jelas tidak sekedar memerintahkan berbuat atau tidak berbuat
sesuatu untuk mendapatkan sesuatu, tetapi karyawan seyogyanya memahami
secara tepat dan khas apa yang harus dikerjakan untuk mendapatkan hadiah
tertentu.
c. Terjangkau.
Setiap karyawan patut memiliki peluang yang sama untuk meraih insentif, sesuai
dengan tujuan dari motivasi yakni memberi kesempatan untuk mendapatkan
hadiah secara wajar, sehingga tidak seharusnya menggunakan standar yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah.
d. Terukur.
Sasaran sebagai dasar dalam mengembangkan rencana program insentif
hendaknya terukur, sehingga mudah dalam mendeteksi pencapaianya.
Program pemberian insentif diberikan dalam bentuk bonus atau pemberian hadiah
lainya bagi karyawan yang memiliki kinerja tinggi. Program ini hendaknya memberi
peluang untuk mendapatkan penerimaan yang lebih besar dengan risiko minim bagi
setiap karyawan. Dengan kata lain seorang karyawan yang tidak bisa mendapatkan
insentif, dia akan tetap mendapatkan gaji pokok, meskipun tidak ada tambahan lebih.
(Fajar & Heru, 2010).
Marwansyah menjelaskan dengan rinci bahwa insentif bisa diberikan dalam berbagai
bentuk, yaitu (Marwansyah, 2014):
a. Piecework. Piecework (upah perpotong)
Sistem insentif yang memberi imbalan bagi setiap pekerja untuk setiap unit
keluaran produk yang dihasilkan.
b. Production bonus.
Bonus produksi ini adalah insentif yang dibayarkan kepada pekerja yang hasil
kerjanya melebihi sasaran keluaran yang ditetapkan.
c. Commission.
Komisi diberikan atas dasar jumlah unit yang terjual. Sistem ini biasanya
diberlakukan untuk pekerjaan seperti wiraniaga atau agen real estate.
d. Maturity curve.
Insentif ini diberikan kepada karyawan yang berkinerja tinggi terkait dengan
produktivitas dan atau yang memiliki pengalaman kerja lama (senior).
e. Merit raise.
adalah kenaikan gaji/upah yang diberikan karena karyawan yang bersangkutan
memiliki kinerja yang lebih baik berdasarkan penilaian kinerja.
f. Nonmonetary incentives.
Insentif dalam bentuk lain selain uang, misalnya bentuk barang, penghargaan
manajemen berupa sertifikat dan sebagainya. Hal ini biasanya diberikan atas dasar
pekerjaan atau saran yang diberikan karyawan untuk kemajuan perusahaan.
g. Executive incentives.
Bentuk-bentuk insentif bagi eksekutif antara lain bonus uang tunai, stock options
(hak untuk membeli saham perusahaan dengan harga tertentu di masa yang akan
120
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
2. Budaya organisasi.
Budaya organisasi adalah satuan nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan dalam suatu
perusahaan yang mendasari perilaku karyawan atau keorganisasian (Utami, 2008).
Budaya dalam konteks ini adalah terkait dengan hasil dari tindakan dan perilaku
karyawan. Karyawan yang perilaku kerjanya sejalan dengan perilaku yang diinginkan
untuk pencapaian tujuan perusahaan pasti akan memberi sumbangan terhadap
organisasi/perusahaan tersebut. Jika perilaku kerja ini berulang dan menjadi kebiasaan
sehari-hari maka perilaku ini akan mewujud menjadi budaya perusahaan. Agung
mengungkapkan bahwa Budaya perusahaan menjadi penting, karena memuat tiga
falsafah besar (Agung, 2014), yaitu:
a. Penuntun
Budaya akan menjadi pedoman perilaku seluruh warga organisasi, dari unsur
pimpinan sampai karyawan yang paling bawah. Budaya perusahaan juga dapat
menjadi panduan moral, etika, kebaikan dan tanggungjawab.
b. Jati diri/identitas organisasi
Budaya secara khas dapat menunjukan karakteristik perilaku anggota organisasi
yang bersangkutan. Perilaku yang akan dijadikan budaya umumnya mengacu pada
nilai kejujuran, integritas, peningkatan layanan pelanggan dan peduli lingkungan.
c. Konsisten
Karakteristik perilaku khas perusahaan yang telah terbentuk menjadi budaya
umumnya bersifat berkelanjutan dan jangka panjang, dan selalu beradaptasi
dengan perilaku dan lingkungan sosial yang benar.
121
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
b. Keinginan untuk mendesak usaha pada tingkat tinggi atas nama organisasi.
c. Keyakinan yang pasti dalam proses penerimaan dari nilai-nilai dan tujuan
organisasi.
Dengan kata lain, komitemen adalah sikap yang mencerminkan loyalitas pekerja pada
suatu organisasi dan merupakan porses dimana pekerja tersebut menyatakan perhatian
mereka terhadap organisasi, tentang kelanjutan keberhasilan dan kesejahteraan
organisasi tersebut (Wibowo, 2015).
Komitmen ini bisa timbul dari hubungan timbal balik yang terjadi antara perusahaan
dan karyawannya. Maka dari itu, perusahaan biasanya menciptakan hubungan
tersebut dengan cara: mengembangkan keterampilan karyawan, memberdayakan
karyawan secara efektif, dan menciptakan hubungan kerja sama yang baik antar
karyawan yang ada. (Utami, 2008).
Peningkatan komitmen karyawan perusahaan dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan berikut, (Luthans, 2011) :
a. Commit to people-first value.
Komit terhadap niai-nilai kemanusiaan, yang mewujud dalam pembuatan
kebijakan tertulis dan proses seleksi karyawan terbaik melalui program yang dapat
memfasilitasi karyawan dalam menyumbangkan kemampuan terbaiknya pada
perusahaan.
122
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia
Daftar Pustaka
123
BAB 11: Desain Toko
BAB 11
DESAIN TOKO
Tujuan
Secara umum ada dua hal penting yang dapat ditawarkan bisnis ritel, yaitu produk dan
cara menampilkan produk tersebut. Pembahasan mengenai cara menampilkan produk
tentu akan terkait dengan salah satunya desain dari toko itu sendiri. Desain toko
menurut Husen Umar harus memenuhi unsur kenyamanan, sehingga menarik
pelanggan untuk menghabiskan waktu dan berbelanja di toko tersebut (Husen Umar,
2000). Kenyamanan bisa digambarkan sebagai suatu kondisi yang membuat betah
berlama-lama untuk tinggal pada suatu tempat yang dapat dirasakan oleh konsumen.
Suasana tersebut sudah barang tentu menyangkut keadaan yang secara sadar harus
diciptakan keberadaanya melalui upaya terencana. Adapun upaya tersebut menurut
Levy, dapat mencakup beberapa tindakan diantaranya penataan visual, pencahayaan,
pengalunan suara musik dan penyebaran aroma yang membuat toko terasa
menyenangkan bagi pelanggan (Levy & Weitz, 2001)
Toko hendaknya diwujudkan dalam tampilan yang menarik, agar pelanggan berhasrat
untuk datang. Keunikan suatu toko bisa saja memberikan daya tarik tersendiri bagi
pelanggan dibanding dengan toko pesaingnya. Keunikan ini bisa tampil dari desain
interior, eksterior atau mungkin tata letak ruang toko. Pengelola ritel harus berupaya
membentuk imajinasi konsumen melalui desain toko yang diciptakanya. Berikut
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat desain toko:
124
BAB 11: Desain Toko
Desain toko yang dapat memberikan rasa nyaman kepada pelanggan, akan
membuat pelanggan menjadi betah dan cenderung membuat mereka menggunakan
waktuya untuk berkeliling menikmati suasana toko. Hal ini mengindikasikan
bahwa desain toko dapat memberi dampak pada perilaku konsumen secara positif
dan menguntungkan bagi peritel.
3. Mengoptimalkan biaya.
Desain toko yang tepat, memungkinkan produk dapat ditata dengan rapih dan
dipajang dengan menarik, sehingga pelanggan terdorong untuk membeli, dengan
demikian maka penjualan produk menjadi lebih meningkat. Peningkatan penjualan
ini secara proporsional akan mengkompensasi biaya yang telah dikeluarkan untuk
desain toko.
Utami menjelaskan bahwa tata ruang toko yang didesain, harus mampu membuat
pelanggan tergerak untuk mengitari toko dan membeli banyak barang dari toko
tersebut (Utami, 2008). Kemudahan pelanggan untuk menemukan barang yang akan
dibeli, memungkinkan mereka untuk kembali ke toko yang sama dikemudian hari.
Sebaliknya kesulitan pelanggan dalam menemukan barang yang ingin dibelinya akan
membuat mereka tidak jadi beli, sehingga pembuatan disain toko yang baik akan
membuka peluang bagi peritel untuk meraih omset penjualan yang lebih besar.
Apabila disain bangunan toko harus dibuat dalam beberapa lantai, maka fasilitas yang
diberikan harus memungkinkan pelanggan untuk menjangkau berbagai kebutuhan
barang yang akan dibelinya dengan mudah dan nyaman, misalnya untuk membeli di
lantai atas, maka toko harus menyediakan eskalator atau lift. Berikut adalah beberapa
pedoman yang dapat diterapkan oleh peritel dalam menentukan penataan ruang atau
store layout (8):
a. Lorong yang luas
Lorong yang tersedia harus memungkinkan konsumen dapat bergerak leluasa,
sehingga lalu-lintas pelanggan dan peralatan toko (troley) tidak saling
mengganggu, yang akan membuat mereka membatalkan pembelianya.
b. Penataan ruang toko sebaiknya dilakukan sedemikian rupa, sehingga konsumen
dapat dengan mudah melihat barang-barang yang mereka butuhkan dan
memungkinkan aparat keamanan toko dapat mengawasi dengan baik dari semua
pelangganya.
125
BAB 11: Desain Toko
a. Grid, bentuk tata letak yang diatur secara berderet, membentuk baris atau kolom
yang diisi dengan rak memanjang (Sujana, 2012). Barang yang dipajang umumnya
sudah dikategorisasi atau dikelompokan sesuai dengan kebutuhan rutin
pembelinya.
c. Free Flow, tata letak dibuat lebih bebas, sehingga memungkinkan pelanggan dapat
menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengamati produk yang dipajang.
1. Etalase ujung (end cop), model ini meletakan etalse pada bagian ujung dari lorong
untuk memberikan kesempatan pada konsumen dalam melihat-lihat produk yang
dipajang dan diakhiri dengan melihat yang dipajang pada akhir lorong, diharapkan
konsumen tertarik.
126
BAB 11: Desain Toko
4. Jendela, jendela yang didesain secara unik agar dapat menarik minat konsumen
untuk memasuki toko ritel, misal disain jendela seperti terbalik letaknya.
5. Area utama penjualan (point of sales), area ini umumnya dipakai untuk
meletakan barang keperluan sehari-hari dari pelanggan seperti alat cukur, permen,
pematik api dan sebagainya, yang sifat pembelianya impulsif, (Yeshin, 2006).
Biasanya tempat ini diposisikan dengan dengan kasir.
Perencanaan Ruangan
Departemen dan barang dagangan yang memiliki tingkat profitabilitas paling tinggi
akan diberikan tempat khusus oleh peritel didalam tokonya. (Diamond & Pintel,
2000). Peritel dapat menentukan luas ruangan yang akan dialokasikan untuk setiap
produk yang akan dipajang. Peritel harus secara sadar menentukan manfaat penentuan
ruang dalam menjual produknya. Ray mengunkapkan bahwa pemanfaatan ruang yang
baik oleh peritel akan memberikan dampak sebagai berikut (Ray, 2010):
a. Pengalokasian ruang yang tepat untuk memajang produk-produk yang memiliki
tingkat keuntungan yang tinggi dan perputaran produk yang tinggi, bisa
memberikan dampak terhadap meningkatnya pendapatan perusahaan.
b. Meningkatkan pendapatan melalui pengalokasian ruangan yang tepat untuk
pemajangan produk-produk yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi dan
perputaran yang cepat.
c. Memberikan alokasi ruang yang lebih kecil dan persediaan yang lebih kecil, bagi
produk yang memberikan keuntungan yang lebih kecil dibanding dengan produk
yang memberi keutungan yang besar.
Menurut Utami ada beberapa pertimbangan yang hendaknya diperhatikan pada saat
membuat perencanaan tata ruang (Utami, 2008):
1. Tingkat keuntungan yang dihasilkan dari barang yang dipajang.
Pemajangan barang dagangan dalam ruangan dan rak pajang tentu memerlukan
biaya, oleh karena itu maka harus diupayakan bahwa biaya tersebut dapat
dikompensasi dengan keuntungan dari produk yang dipajang. Peritel seyogyanya
dapat membuat suatu formula yang dapat menghitung bagaimana agar keuntungan
dari produk yang dipajang tersebut maksimal.
127
BAB 11: Desain Toko
terjual, sehingga segera menjadi uang tunai yang dapat digunakan untuk membeli
kembali barang dagangan sebagai persediaan, demikian seterusnya, sehingga
keuntungan perusahaan semakin meningkat pula.
3. Pemajangan produk.
Pemajangan produk sudah berang tentu akan memakan banyak tempat, sehingga
pemakaian tempat sebaiknya mesti direncanakan dengan tepat. Perencanaan yang
tepat untuk pemajangan produk berarti memberi peluang bahwa produk yang
dipajang akan menarik minat konsumen untuk membeli. Dengan demikian maka
biaya yang dikeluarkan untuk pemajangan produk pada suatu ruangan harus
sebanding dengan keuntungan yang didapat dari penjualan produk tersebut.
Sementara Ray menawarkan beberapa gagasan yang terkait dengan penataan ruang
yang ada dalam ritel (Ray, 2010)
a. Mengetahui seberapa besar ruangan yang tersedia.
Hal pertama yang harus menjadi perhatian dalam pengelolaan ruang adalah
seberapa luas ruang yang tersedia, seberapa banyak peralatan yang akan digunakan
dan seberapa penting penjagaan terhadap ruangan agar tetap sesuai dengan
perubahan masa dan fleksibel.
128
BAB 11: Desain Toko
Lokasi Departemen
3. Kebutuhan musiman.
Produk musiman tentu akan sangat lekat kesanya dengan suasana tertentu,
sehingga penempatanya memerlukan area khusus dengan sedikit asesoris sesuai
dengan tema dari musim tersebut, agar lebih mengingatkan dan menarik
konsumen.
4. Penggunaan Planogram
Planogram adalah diagram yang menunjukan mengenai bagaimana dan dimana
unit penyimpanan persediaan akan ditaruh pada rak, fixture atau pejangan yang
ada di toko, agar dapat meningkatkan pembelian pelanggan (Ray, 2010). Dengan
planogram peritel tahu tempat yang startegis untuk setiap produk yang dipajang
dapat memberikan optimalisasi penggunaan ruangan.
129
BAB 11: Desain Toko
Peritel harus memperhatikan beberapa hal ketika dia akan memajang atau meyajikan
barang dagangan dalam toko (Utami, 2008):
1. Menampilkan barang secara menarik
2. Pemajangan produk harus memperhatikan kesesuaian antara karakteristik produk
tersebut dengan teknik penyajian
3. Kemasan produk harus memberikan kesan bahwa barang tersebut sangat bernilai
4. Marjin produk yang akan disajikan/dipajang
Masih terkait dengan penyajian barang, Mowen mengemukakan beberapa unsur yang
perlu untuk diatur diantaranya, tata ruang, musik, aroma ruangan, tekstur, dan desain
bangunan (mowen & Minor, 2002).
b. Papan harga, adalah papan yang memberi informasi tentang harga-harga produk
yang biasanya sedang dalam promosi.
Daftar Pustaka
Andini, P. F. (2013). Analisis Pengaruh Suasaba Toko, Kualitas Produk, dan
Kepuasan Pelanggan Terhadap Loyalitas Pelanggan (Study Pada Konsumen
Distro Deep Store di Surakarta). Universitas Dipenogoro, Semarang.
Berman, B., & Evans, J. R. (2001). Retail Management: A Strategic Approach. Eight
Editions. New Jersey: Prentice Hall.
Diamond, J., & Pintel, G. (2000). Retail Buying. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Dunne, P. M., Lusch, R. F., & Carver, J. R. (2014). Retailing. USA: South-Western.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung: Alfabeta.
Gunawan, S., Rilantiana, R., & Kusumasondjaja, S. (2009). Pengaruh Persepsi Desain
Toko Terhadap Store Repatronage Intentions Dengan Shopping Experience
Costs Sebagai Intervening Di Toko Elektronik “X” Surabaya. Jurnal
Manajemen Teori dan Terapan.
130
BAB 11: Desain Toko
131
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
BAB 12
PEMILIHAN LOKASI RITEL
Tujuan:
1. Mempelajari tipe-tipe lokasi yang sebaiknya dipilih oleh peritel
2. Mengevaluasi keunggulan dari setiap area perdagangan
3. Mempelajari tipe lokasi yang dapat tumbuh beriringan dengan pertumbuhan
toko
4. Mengetahui manfaat yang didapatkan dari setiap tipe lokasi
5. Mengidentifikasi fakator-faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum
memilih lokasi toko ritel
Pemilihan lokasi untuk sebuah bisnis ritel seringkali merupakan kombinasi antara
ilmu dan seni. Karena seringkali peritel memutuskan lokasi pilihannya didasarkan
atas fakta dan pengalaman masa lalu, bukan berdasarkan analisa yang menyeluruh.
Terlebih lagi, data dan informasi yang dimiliki oleh peritel seringkali bertentangan
dengan fakta dan keputusan yang harus di buat. Oleh karena itu, peritel perlu
mempelajari terlebih dahulu faktor-faktor apa yang perlu dipertimbangkan ketika
menentukan lokasi dan area perdagangan yang cocok untuk membuat sebuah ritel
(Utami, 2008).
Lokasi Area Perdangan
Pemilihan lokasi ritel menjadi sangat penting karena adanya peningkatan ritel yang
membuka lokasi baru, namun lokasi yang strategis semakin sulit untuk didapatkan.
Selain itu, populasi dan konstruksi pusat perbelanjaan pun semakin meningkat.
Sehingga biaya ritel yang memiliki lokasi nyaman menjadi sangat tinggi harga nya.
Peritel pun akan dihadapkan pada kontrak yang dipersulit dan kelengkapan toko
yang mahal atau dituntut untuk menata ulang ritel yang pada akhirnya akan
berimplikasi pada penambahan biaya. Karena nya, peritel perlu berpikir lebih untuk
dapat menarik pelanggan dengan melokasikan toko di tempat yang ramai atau di
pusat perbelanjaan (Utami, 2008).
Lokasi atau tempat merupakan kegiatan perusahaan untuk membuat produknya
tesredia bagi pelanggan (Kotler & Armstrong, 2008). Dalam bisnis ritel, pemilihan
lokasi yang strategis merupakan hal yang sangat penting, karena akan menentukan
tingkat profitabilitas dan keberhasilan bisnis dalam jangka panjang (Foster, 2008).
Ketika lokasi dipilih, peritel akan menanggung konsekuensi dari pilihannya secara
berkelanjutan. Pemilihan lokasi ini menjadi sangat penting, seperti apa yang
dinyatakan oleh William dan Daniel (1988) bahwa bila semua memiliki nilai yang
sama dalam keputusan pemilihan toko, secara umum, konsumen akan memilih toko
yang paling dekat, karena memberikan kenyamanan dari segi waktu dan tenaga.
Ketika memilih suatu lokasi, peritel juga sebaiknya mengkonsentrasikan lokasi toko,
sehingga dapat membuat market presence yang sulit disamai oleh pesaing. Selain
itu, peritel juga dapat memilih multiple location agar pengiriman produk ke lokasi
menjadi lebih sering (Utami, 2008).
132
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
a. Memilih daerah. Daerah merujuk pada suatu negara, bagian dari negara, atau
area metropolitan.
b. Menentukan area perdagangan. Area perdagangan merupakan area geografis
yang memiliki potensi pelanggan banyak. Biasanya merupakan bagian dari
sebuah kota atau di luar batas-batas kota, tergantung pada tipe toko dan
jumlah pelanggan potensial di sekitarnya.
c. Memilih tempat yang spesifik.
133
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
134
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
3. Iklim Bisnis
Untuk mengetahui tren pasar, peritel perlu mengetahui kecenderungan pekerjaan
konsumen target pasar, karena suatu pekerjaan akan berpengaruh terhadap daya beli.
Pekerjaan yang identik dengan penghasilan yang tinggi berdampak pada daya beli
yang tinggi pula. Hal ini juga bermanfaat untuk menentukan area yang tumbuh
dengan cepat. Disamping tren kecenderungan pekerjaan, peritel juga perlu
menganalisis bagaimana pertumbuhan yang terjadi akan berlanjut dan
mempengaruhi permintaan barang dagang mereka. Jika pertumbuhan yang terjadi
tidak dapat terdiversifikasi ke beberapa industri, area tersebut akan menjadi kurang
menguntungkan.
4. Kompetisi
Keberadaan kompetitor bisa berdampak negatif (barrier to entry). Adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam menghadapi persaingan, diantaranya: jumlah dan tipe
toko sejenis, keberadaan market leader setempat, profil pesaing, serta jumlah dan
jarak lokasi pesaing terdekat (Sujana, 2012). Dalam menghadapi persaingan, peritel
juga perlu mempertimbangkan tingkat kompetisi di area tertentu. Tingkat kompetisi,
dapat dijelaskan sebagaimana berikut:
a. Tingkat kompetisi yang telah mengalami kejenuhan (saturated)
Area perdagangan yang jenuh merupakan area yang menawarkan konsumen
pilihan barang dan jasa yang cukup banyak, namun memungkinkan peritel
untuk terus berkompetisi. Hal ini terjadi karena teredianya banyak pilihan
toko dan produk, sehingga konsumen tertarik pada area ini.
135
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
b. Analisis mikro
Analisis mikro berfokus pada hal-hal yang menyangkut lokasi, seperti arus
lalu lintas, visibilitas, keramaian, parkir, dan jalan masuk atau jalan keluar.
2. Lokasi di dalam pusat perdagangan
Setelah aksesibilitas suatu lokasi dievaluasi, peritel harus menganalisis lokasi di
dalamnya. Karena lokasi yang strategis memerlukan biaya yang cukup mahal, peritel
harus mempertimbangkan lokasi ritel lainnya. Misalnya, pada pusat perbelanjaan
seperti mall, lokasi yang lebih mahal adalah lokai yang berdekatan dengan penyewa
utama (anchor tenant). Seperti di dekat Gramedia, Giant, Matahari department store,
Sogo, dan lain-lain. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah menempatkan toko
ritel yang menarik target pasar secara berdekatan. Hal ini menjadi pertimbangan
karena konsumen cenderung ingin berbelanja di tempat yang memiliki variasi barang
yang lengkap.
136
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
Area perdagangan merupakan area geografis yang daling berdekatan dan memiliki
banyak pelanggan. Area ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 zona berdasarkan
batas-batas jalan dan tampilan peta. Ketiga zona tersebut, diantaranya:
a. Zona primer
Zona primer adalah area geografis yang biasanya berada di pusat
perbelanjaan, serta menghasilkan penjualan hingga 60 persen.
b. Zona sekunder
Zona sekunder adalah area geografis yang merupakan tingkat penjualan ke
dua, yang menghasilkan 20 persen dari penjualan sebuah toko.
c. Zona tersier
Pada zona tersier, pelanggan hanya sesekali berbelanja di toko tersebut.
Adapun beberapa alasan pelanggan untuk emilih zona tersier, yaitu:
1) Fasilitas ritel di lokasi dekat rumah kurang memuaskan pelanggan
2) Kemudahan dalam mengakses toko ritel, misalnya jalan raya yang
strategis menuju toko
3) Secara tidak sengaja melewati toko ritel ketika dalam perjalanan
4) Letak toko ritel dekat atau berada di area pariwisata
137
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
4. Identifikasi Pelanggan
Identitfikasi pelanggan dilakukan untuk menandai dan mencari tahu tempat
pelanggan toko. Untuk mengidentifikasi pelanggan, peritel dapat memeperoleh data
dan informasi dari sensus yang dilakukan oleh negara. Data demografis dan dari
vendor GIS (Geographic Information System) pun dapat digunakan oleh peritel
untuk memutuskan lokasi toko terbaik.
5. Mengukur Kompetisi
Estimasi permintaan terhadap produk ritel merupakan salah satu penentu
kesuksesan, namun yang terpenting adalah peritel dapat mengukur tingkat kompetisi
pada area perdagangan. Dalam mengukur kompetisi, peritel perlu
mempertimbangkan situasi terlebih dahulu. Secara lebih jelas, analisis area
perdagangan ritel dapat tergambar sebagaimana berikut
138
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
Frekuensi Belanja
Isi (content) Data Awal Rata-rata rupiah yang dibelanjakan
Konsentrasi pelanggan secara geografis
Sumber data karakteristik Lembaga sensus penduduk Standart Rate & data Service
penduduk yang bertempat Survei kekuatan daya beli Lembaga Perencana Pembangunan
tinggal Biro Pusat Statistik, dan lain-lain Daerah
Utilitas Publik
GIS software, dan lain-lain
139
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
Jumlah dan ukuran persaingan Kejenuhan area:
Square feet of retail space Orang per keberadaan ritel
Karakteristik komponen Front feet of retail space Rata-rata orang per took
dan tingkat kejenuhan Penjualan toko perkapita
Penjualan per square foot
Penjualan per employee
140
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
1. Pendekatan Analog
Pendekatan analog dilakukan dengan menganalogikan sebuah toko yang akan
digunakan sebagai acuan dalam menetapkan lokasi toko. Pendekatan ini
dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu:
1) Memilih area perdagangan yang akan dijadikan sebagai acuan melaui teknik
peandaan dan identifikasi pelanggan
2) Mengklasifikasikan toko berdasarkan intensitas pelanggan, apakah
termasuk zona primer, sekunder, atau tersier
3) Karakterisik toko yang dijadikan acuan dicocokkan dengan lokasi baru yang
akan didirkan.
2. Analisis Regresi
Analisis regresi merupakan metode yang biasa digunakan untuk ritel yang memiliki
jaringan lebih dari 20 toko. Tahapan awal dalam analisis regeresi sama dengan
metode analog, yaitu:
1) Menentukan area perdagangan dengan menggunakan teknik penandaan dan
identifikasi
2) Mengklasifikasikan toko ke zona primer, sekunder, atau tersier.
Garis regresi dapat dihasilkan melalui persamaan:
Penjualan = a + b1x1
Keterangan:
a = Konstanta dari program regresi, a juga didefinisikan sebagai garis
perpotongan pada sumbu y
b1 = Angka dari program regrcsi, yang mendefinisikan penjualan dan
variabelnya, serta kemiringan garis regresi
x1 = Variabel prediktor (biasanya untuk populasi 0 hingga 3 km).
3. Gravitasi Huff
Hukum ini mendasarkan perhitungannya pada keragaman produk yang diinginkan
konsumen yang dijual pada berbagai lokasi, waktu tempuh dari rumah konsumen ke
lokasi yang berbeda, serta sensitivitas macam belanja pada waktu tempuh (Ma'ruf,
2006). Secara sederhana, hukum gravitasi huff memperkirakan kemungkinan
141
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
pelanggan untuk berbelanja di suatu toko, didasarkan atas seberapa besar ukuran
toko dan seberapa dekat jarak tempuh untuk sampai kepada toko tersebut. Semakin
besar ukuran toko dan semakin dekat jarak/waktu perjalanan pelanggan menuju toko,
kemungkinan pelanggan untuk berbelanja pun akan semakin besar. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk mengetahui kemungkinan seorang penduduk berbelanja
pada toko tertentu. Adapun penghitungannya adalah sebagai berikut:
𝑆 : 𝑇𝑖𝑗
Pij= ∑ 𝑆𝑗
𝑗 :𝑇𝑖𝑗
Keterangan:
Pij = Probabilitas perjalanan seorang konsumen dari rumah i ke lokasi
belanja j
Sj = Ukuran dari pusat perbelanjaan j.
Tij = Waktu tempuh dari rumah konsumen di i ke lokasi belanja j
B = Eksponen pada Tij dari yang mencerminkan efek dari waktu
perialanan pada jenis-jenis perjalanan pcrbelanjaan yang berbeda.
Contoh:
Toko buku yang menargetkan mahasiswa di universitas terdekat, melakukan
proses peramalan sebagai berikut:
1. Menentukan probabilitas seorang mahasiswa berbelanja di toko buku
menggunakan model Huff dengan perolehan data sebagai berikut:
Sj = Ukuran pusat perbelaniaan j = (1 .000)
Tij = Waktu perjalanan atau jarak dari point perrnulaan pelanggan
menuiu pusat perbelanjaan. (32)
B = Eksponen pada Tij yang rnencerminkan efek dari waktu
perjalanan pada jenis-jenis perjalanan perbelanjaan berbeda. (1000:32) +
(500:52) + (100:12).
1.000∶32
Pij = (1.000∶ 32 )+(500: 52 )+(100∶ 12 )
Keumungkinan = 0,48
142
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
143
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
merupakan pusat perbelanjaan yang memiliki lahan parkir berhadapan dengan toko,
sedangkan mall adalah sebaliknya.
5. Perbelanjaan Mall
Perbelanjaan mall memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
144
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
toko serta menarik pengunjung dengan jarak 5 sampai 10 mil (Dale & Delozier,
1989)
7. Pusat Belanja gaya hidup
Pusat belanja gaya hidup merupakan ritel yang dapat memberikan kenyamanan
berbelanja, keamanan, variasi barang, serta atmodfer kepuasan. Pada umumnya,
pusat belanja gaya hidup terdiri dari toko dan restoran, serta beberapa gedung
bioskop dan hiburan.
8. Pusat belanja super regional
Pusat perbelanjaan ini mirip dengan pusat belanja regional, namun tempatnya lebih
besar serta memiliki kios dan barang dagang yang lebih banyak.
9. Pusat model atau pusat belanja Khusus
Pusat belanja khusus merupakan pusat belanja yang menjual pakaian mahal, terdiri
dari berbagai butik, toko souvenir dengan berbagai model, serta pernak Pernik
berkualitas tinggi. Pusat belanja khusus ini biasanya terdapat di area perdagangan
yang memiliki pendapatan besar, di area wisata, dan beberapa distrik pusat bisnis.
10. Pusat Belanja Outlet
Pusat belanja outlet pada umumnya terdiri dari pemilik outlet dan pabrik yang
menjual produk buatan sendiri dengan harga diskon.
11. Pusat Belanja Festival atau Bertema
Pusat belanja festival atau bertema adalah pusat perbelanjaan yang memiliki tema
dengan rancangan arsitektural. Pusat perbelanjaan jenis ini sering digunakan sebagai
tempat wisata secara khusus yang memiliki fasilitas restoran dan hiburan.
12. Kios
Kios merupakan alternatif lokasi untuk peritel yang menjual produknya dalam
lingkup pasar yang terbatas.
13. Pilihan Lokasi Lain-lain untuk Ritel (Freestanding)
Pilihan lokasi lain-lain mengkombinasikan beberapa kegunaan yang berbeda dari
suatu lokasi. Seperti:
a. Bandara yang memiliki beragam ritel yang menawarkan banyak variasi
produk
b. Tempat peristirahatan. Selain untuk menginap, resort banyak dipilih oleh
para peritel untuk menjual barang dagangnya. Peritel menganggap banyak
waktu senggang yang dimiliki oleh konsumen untuk membeli produk.
c. Rumah sakit. Tingginya kebutuhan ketika sakit, pasien dan tamu pati
menyempatkan ke toko
d. Toko di dalam toko. Biasanya terdapat pada toserba
145
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
Referensi
Dale, L. M., & Delozier, W. (1989). Retailing (Third edition ed.). Columbus,
London, Melbourne: Merril Publishing company.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung
Alfabeta.
Kotler, P., & Armstrong, G. ( 2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran (Edisi Ke-12 ed.).
Jakarta: Erlangga.
Ma'ruf, H. (2006). Pemasaran Ritel. Jakarta: Gramedia Utama.
Sopiah, & Syihabudin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Utami, C. W. (2008). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.
William, D. R., Daniel, S. J., & ., S. W. R. (1988). Retailing Management (Sixth
edition ed.). The United States of America: John wiley and Sons.
146