Anda di halaman 1dari 150

LUARAN PENELITIAN MP3EI

BUKU
PEMASARAN RITEL

POLBAN
TOPIK KEGIATAN

MODEL PERCEPATAN
PENGEMBANGAN DAERAH TUJUAN
WISATA BELANJA
Ketua : Drs. Dwi Suhartanto, MCM. Ph.D (0003106105)
Anggota : 1. Dr. Ruhadi, SE. ME (0026076004)
2. Dra. Ni Nyoman Triyuni, MM (0031126285)

POLITEKNIK NEGERI
BANDUNG
November 2016
Pemasaran
Ritel
Dwi Suhartanto, Ph.D
Dr. Ruhadi
Ni Nyoman Triyuni, MM
KATA PENGANTAR
Pariwisata belanja merupakan salah satu sub-sektor pariwisata yang strategis untuk
dikembangkan karena besarnya pengeluaran turis digunakan untuk belanja. Dengan
prosentase pengeluaran tersebut, dibandingkan dengan sektor pariwisata lainnya
seperti penginapan dan hiburan, pariwisata belanja memberikan kontribusi paling
besar bagi industri pariwisata. Meskipun sektor pariwisata belanja mempunyai
peranan penting bagi pengembangan industri pariwisata, sampai saat ini, di Indonesia
sektor ini kurang mendapatkan perhatian dan kurang berkembang.

Untuk mengembangkan pariwisata belanja, pemahaman akan bagaimana melayani


turis dalam berbelanja merupakan hal yang medasar untuk diketahui oleh para pelaku
ritel di industri ini. Kemampuan industri ritel untuk memberikan pengalaman
berbelanja yang menyenangkan bagi turis akan menjadi pendorong tumbuhnya suatu
wilayah menjadi daerah tujuan wisata belanja. Buku ini merupakan bagian atau luaran
penelitian yang dilakukan di tiga kota belanja (Bandung, Solo, dan Denpasar), yang
dirancang untuk mendapatkan pemahaman tentang bagaimana pemasaran ritel
didestinasi wisata dalam memuaskan wisatawan dalam berbelanja (program
penelitian MP3EI, DIKTI).

Pemasaran ritel terhadap turis maupun konsumen pada umumnya merupakan suatu
hal yang komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Buku ini memfokuskan pada
aspek-aspek yang paling penting dari pemasaran ritel terhadap turis dalam berbelanja.
Aspek pertama adalah konsep-konsep dasar dalam pemasaran ritel di destinasi wisata,
mulai dari pengantar, perilaku turis dalam berbelanja, sampai dengan aspek ritel mix
untuk ritel di destinasi wisata. Aspek selanjunya yang dibahas adalah operasional dari
ritel didestinasi wisata, meliputi pemilihan produk yang dijual, penentuan harga,
samapai dengan promosi yang perlu dilakukan. Aspek selanjutnya dalah pendukung
keberhasilan dari ritel yang meliputi pengelolaan sumber daya manusia, teknologi di
bisnis ritel dan pengeloaan hubungan pelangan.

Dengan terbitnya buku ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulisa buku ini, khususnya kepada Pemerintah (Cq.
DIKTI) dan para asisten, Lulu Rusdianto dan Regina Agustina yang telah membantu
menyiapkan naskah buku ini. Untuk penyempurnaan buku ini, kritik dan masukan
dari semua pihak sangat diharapkan.

Bandung, November 2016


-Dwi Suhartanto; -Ruhadi; -NN Triyuni

i
DAFTAR ISI

BAB 1 MANAJEMEN RITEL: RUANG LINGKUP …………………. 1


RETAIL MIX DAN SEGMENTING, TARGETING, DAN
BAB 2 12
POSISIONING …………………………………………………
BAB 3 PENGELOLAAN BARANG DAGANGAN ………………….. 29
BAB 4 PENGELOLAAN HARGA DAN BARANG DAGANGAN …. 44
BAB 5 BAURAN KOMUNIKASI RITEL ……………………………. 55
BAB 6 OPERASIONAL TOKO ………………………………………. 69
BAB 7 KUALITAS LAYANAN RITEL ……………………………… 76
MANAJEMEN HUBUNGAN PELANGGAN DALAM
BAB 8 91
RITEL …………………………………………………………..
BAB 9 TEKNOLOGI DALAM BISNIS RITEL ………………………. 100
BAB 10 MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA ………………... 111
BAB 11 DESAIN TOKO ……………………………………………….. 124
BAB 12 PEMILIHAN LOKASI RITEL………………………………… 132

ii
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

BAB 1
MANAJEMEN RITEL: RUANG LINGKUP
Tujuan

1. Memahami bisnis ritel secara tepat


2. Mengetahui perbedaan paradigma ritel tradisional dan ritel modern
3. Mengetahui faktor-faktor yang mendorong percepatan pertumbuhan bisnis
ritel
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang dijalankan oleh ritel
5. Memepelajari cara ritel menyusun strategi keunggulan bersaing yang
berkelanjutan
6. Mendeskripsikan proses perencanaan strategis dalam ritel

Bisnis ritel di Indonesia semakin berkembang. Hal ini terlihat dari semakin
maraknya ritel modern, baik yang merupakan peralihan dari ritel tradisonal maupun
ritel baru dengan konsep yang modern. Perkembangan ritel modern ini menuntut
adanya perubahan paradigma para peritel, mulai dari sisi relasi antara produsen dan
pemasok hingga kondisi pasar. Sehingga, para peritel memerlukan pemahaman yang
komprehensif tentang manajemen ritel.

Bisnis dan Lingkup Aktivitas Ritel


Usaha ritel banyak dipahami sebagai penjualan langsung kepada konsumen akhir.
Dimana peritel melakukan transaksi sederhana dengan konsumen, yaitu dengan
menukarkan uang dengan produk yang ditawarkannya ( 1990). Dalam hal ini, peritel
berperan sebagai mata rantai terakhir dalam menyalurkan barang dari produsen
kepada konsumen (Sopiah & Syihabudin, 2008), termasuk didalamnya proses
penambahan nilai terhadap produk dan layanan (Utami, 2008b). Proses ritel ini
sebagaimana pengertian ritel yang dikemukakan oleh Kotler (2003) bahwa
penjualan eceran atau ritel merupakan kegiatan menjual produk kepada konsumen
secara langsung yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan bukan
bisnis. Ritel juga merupakan tahapan dalam menyediakan barang dan jasa untuk
konsumen akhir (Dunne, Lusch, & Gable, 1995). Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa ritel adalah keseluruhan aktivitas bisnis yang dilakukan untuk menyediakan
produk secara langsung kepada konsumen akhir untuk digunaan secara pribadi oleh
konsumen tersebut.

Paradigma Ritel Tradisional


Paradigma ritel tradisional adalah cara pandang peritel yang memfokuskan kegiatan
perdagangan ritelnya dengan cara konvensional. Paradigma ini masih banyak
digunakan oleh para peritel yang belokasi di pinggiran kota. Adapun ciri-cirinya
adalah sebagai berikut:

1. Kurang memilih lokasi

1
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

Pemilihan lokasi merupakan hal yang memerlukan banyak pertimbangan ketika akan
membuka sebuah toko ritel. Hal ini dikarenakan keputusan terhadap lokasi akan
sangat berdampak terhadap investasi dan strategi bisnis (Utami, 2008b). Namun,
seringkali para peritel tradisional mengorbankan keputusan tentang lokasi karena
ketiadaan modal. Ketiadaan modal untuk memilih lokasi strategis menyebabkan
aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi menjadi terabaikan
(Utami, 2008a). Oleh karenanya, para peritel lebih memilih menggunakan lokasi
yang saat itu telah dimilikinya atau lokasi yang secara kebetulan telah tersedia
(Sujana, 2012).

2. Tidak memperhitungkan potensi pembeli


Potensi pembeli sangat berkaitan dengan pemilihan lokasi. Ketika seorang peritel
mempertimbangkan suatu lokasi, peritel tersebut perlu memprediksi potensi pembeli
di sekitarnya. Namun, peritel tradisional seringkali mengabaikan hal ini. Mereka
tidak melakukan riset terlebih dahulu terhadap pelanggan potensial di lokasi ritel
yang mereka rencanakan (Sujana, 2012).

3. Jenis Barang Dagangan yang Tidak Terarah Salah


Toko ritel memerlukan variasi barang dagang yang sesuai dengan segmen pasar.
Namun, hal ini seringkali terabaikan karena kurangnya daya tawar peritel tradisional
terhadap para supplier (Utami, 2008b). Peritel tradisional berada pada posisi sulit
ketika para pemasok menawarkan barang dengan beragam promosi dan kemudahan
pembayaran yang produknya tidak sesuai dengan segmen pasar peritel tersebut
(Sujana, 2012).

4. Tidak ada seleksi merek


Peritel tradisional tidak memiliki daya tawar yang kuat (Sujana, 2012). Mereka
seringkali kesulitan dalam menyediakan merek-merek favorit karena sulitnya
mendapatkan akses distribusi terhadap produk-produk favorit.

5. Kurang memerhatikan permasok


Pemilihan pemasok oleh peritel tradisional banyak dipengaruhi oleh kemudahan
dalam mekanisme pembayaran barang dagang (term of payment), tanpa
mementingkan kualitas dan kesinambungan pengiriman produk (Utami, 2008b)

6. Melakukan pencatatan penjualan secara sederhana


Pencatatan penjualan perlu dilakukan secara kontinyu untuk mengevaluasi dan
mengontrol pernjualan yang telah dilakukan. Namun, hal ini tidak banyak dilakukan
oleh peritel tradisional, karena terkendala kurangnya pemahaman dan kemampuan
dalam teknik pencatatan (Utami, 2008b).

7. Tidak melakukan evaluasi terhadap keuntungan per produk


Evaluasi keuntungan per produk merupakan implikasi dari kegitan-kegiatan ritel
sebelumnya. Ketika seorang peritel kesulitan untuk mengarahkan barang dagang dan
tidak melakukan pencatatan penjualan dengan baik, keuntungan dari usaha ritel yang

2
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

dilakukannya semakin sulit dievaluasi. Sehingga peritel tersebut akan semakin


kesulitan untuk menetapkan strategi dalam mengelola took ritelnya (Utami, 2008b).

8. Cash flow tidak terencana


Peritel tradisional seringkali tidak memisahkan pembukuan toko dan keperluan
keluarga, serta memberikan kesempatan berhutang bagi para pelanggannya. Hal ini
menyebabkan terkendala nya cash flow yang juga akan berimplikasi terhadap
ketersediaan barang dagang. Ketika cash flow tidak terencana dengan baik, peritel
tidak akan mampu menjamin ketersediaan barang dagang bagi para konsumennya.

9. Pengembangan bisnis tidak terencana


Aktivitas peritel tradisional yang telah dijelaskan sebelumnya menyebabkan para
peritel kesulitan untuk merencanakan pengembangan bisnisnya. Banyak peritel
tradisional yang melakukan ekspansi dengan hanya mengandalkan insting dan
mengambil keputusan secara mendadak.

Paradigma Ritel Modern

Industri dan teknologi semakin berkembang dan meningkatkan taraf hidup


konsumen. Pola perilaku belanja konsumen pun menjadi berubah. Konsumen
menjadi sangat memperhatikan kenyamanan mereka dalam berbelanja dan
memandangnya sebagai bagian dari rekreasi (Utami, 2008b). Selain memenuhi
kebutuhan konsumen, peritel juga dituntut untuk memberikan kemudahan dan
kenyamanan berbelanja (Sujana, 2012). Oleh karena itu, pergeseran perilaku
konsumen ini harus diimbangi dengan usaha peningkatan berbagai fasilitas
tambahan (Sopiah & Syihabudin, 2008). Ritel harus bisa memodernisasikan dirinya
dengan memberikan kenyamanan berbelanja, kepastian harga, dan melengkapi
keanekaragaman barang di toko nya melalui peningkatan pengelolaan (Foster, 2008).
Modernisasi ritel ini merupakan perubahan paradigma yang menekankan
pengelolaan ritel dengan menggunakan pendekatan modern. Adapun ciri-ciri ritel
modern adalah sebagai berikut:

1. Lokasi strategis
Dalam mengelola ritel modern, pemilihan lokasi merupakan aspek yang sangat
penting. Peritel modern akan mempertimbangkan banyak hal, diantaranya:
akesibilitas lokasi, keamanan, dan fasilitas yang lebih baik. Sehingga, seringkali
mereka memilih tempat seperti mal yang dapat menawarkan pemenuhan kebutuhan
pelanggan dalam satu tempat (one stop shopping) (Utami, 2008b).

2. Prediksi cermat terhadap potensi pembeli


Sebelum memilih lokasi, peritel modern terlebih dahulu mempertimbangkan potensi
pembeli pada lokasi toko nya. Peritel modern mengetahui bahwa potensi pembeli
yang besar menunjukkan daya beli konsumen yang cukup besar, sehingga akan
menguntungkan usaha ritel nya.

3
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

3. Pengelolaan jenis barang dagangan terarah


Peritel modern menyediakan barang dagang yang terarah sesuai dengan segmen
pasar. Pemilihan segmen pasar ini akan berimplikasi terhadap strategi ritelnya dalam
memenangkan persaingan, yang kemudian akan memudahkan peritel untuk
memposisikan dirinya sebagai ritel yang unik dan berbeda dari ritel lainnya (Utami,
2008b)

4. Seleksi merek sangat ketat


Dalam menyediakan barang dagang, peritel modern menyeleksi merek-merek yang
memiliki potensi pembelian cukup besar. Mereka memilih produk-produk dengan
merek favorit yang memiliki pangsa pasar tinggi agar perputaran uang berlangsung
dengan cepat. Namun, peritel modern harus berhati-hati dalam memilih merek-
merek favorit. Karena seringkali merek-merek favorit tersebut memberikan
keuntungan yang relative kecil (Utami, 2008b)

5. Seleksi ketat terhadap pemasok


Ritel modern memiliki posisi tawar yang kuat terhadap pemasok. Karen pemasok
ritel modern menjadikan ritel tujuannya sebagai referensi untuk mengembangkan
bisnisnya (Utami, 2008b)

6. Melakukan pencatatan penjualan dengan cermat


Bisnis ritel memerlukan pencatatan yang detail. Sehingga pencatatan penjualan
dilakukan dengan mengandalkan bantuan software yang mampu melakukan
pencatatan transaksi dalam jumlah banyak dan cepat (Utami, 2008a).

7. Melakukan evaluasi terhadap keuntungan per produk.


Evaluasi terhadap keuntungan produk pada ritel modern dilakukan secara
komprehensif. Sehingga dari hasil evaluasi tersebut peritel dapat mengklasifikasikan
produk sebagai produk yang cepat terjual (fast moving) ataupun produk yang lambat
terjual (slow moving).

8. Cash flow terencana


Peritel modern perlu mengelola dana tunai yang dimilikinya melalui sistem dan
prosedur cash flow yang baik untuk memastikan ketersediaan barang dagang di toko
nya (Utami, 2008a).

9. Pengembangan bisnis terencana


Dengan dilaksanakannya aktivitas pengelolaan ritel modern yang baik yang
didukung dengan investasi besar dan kemutakhiran sistem informasi, peritel dapat
dengan mudah mengembangkan strategi bisnisnya (Utami, 2008a). Terlebih lagi,
berbagai fasilitas pada ritel modern, seperti AC, pola belanja swalayan, cold storage
dan pass room akan membuat konsumen nyaman dan berimplikasi terhadap
kemajuan bisnis ritel (Foster, 2008).

Pergeseran paradigma dari ritel tradisional menuju ritel modern diharapkan menjadi
faktor penunjang kesuksesan para peritel kecil. Walaupun dengan pendanaan yang

4
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

terbatas, peritel kecil diharapkan mampu bertahan dalam jangka panjang dan terus
mengembangkan bisnisnya ke skala yang lebih besar.

Pendorong Pertumbuhan Bisnis Ritel Modern

Selain karena bertumbuhnya bisnis ritel modern dan tuntutan konsumen terhadap
peningkatan pelayanan dalam bisnis ritel, ada beberapa faktor yang mendorong
industri ritel berubah dengan sangat cepat, yaitu: meningkatnya konsentrasi industri
bisnis ritel, globalisasi, dan penggunaan media dalam interaksi konsumen.

1. Meningkatnya Konsentrasi Industri.


Konsentrasi industri terus meningkat seiring dengan meningkatnya format ritel.
Ketika format ritel meningkat, jumlah pesaing dalam tiap format akan cenderung
menurun karena peritel harus beralih dari format tersebut, dan masuk ke format ritel
lainnya. Sehingga, peritel berkonsetrasi ke format ritel lain yang tingkat
persaingannya belum jenuh (Utami, 2008b)

2. Globalisasi
Pada mula nya, ritel merupakan bisnis yang dikelola dan ditujukan untuk orang-
orang yang berada dalam satu lingkungan (Utami, 2008b). Namun, globalisasi telah
mendorong para peritel untuk mengembangkan bisnisnya ke daerah lain. Peritel
menggunakan konsep ritel yang telah berhasil di negara nya untuk diaplikasikan di
negara lain. Menurut Utami (2008b)Berikut terdapat tiga faktor yang mendorong
globalisasi ritel internasional, yaitu :
a. Pasar domestik yang semakin dewasa
Pasar domestik di negara asal peritel telah terpenuhi dengan baik. Hal ini
mendorong para peritel untuk melakukan ekspansi ke luar negeri dan mengisi
kekosongan pasar di negara tujuannya.
b. Keahlian dan sistem (skills and system)
Keahlian peritel modern dalam mengelola system informasi dan distribusi di
negara asalnya, memungkinkan peritel tersebut untuk mengatur toko nya yang
tersebar di berbagai wilayah.
c. Penghalang perdagangan (trade barrier).
Berbagai kebijakan dalam perdagangan internasional telah memudahkan
investasi asing untuk masuk ke negara tujuan peritel. Berbagai hambatan
perdagangan telah dihapuskan, bahkan pemerintah daerah pun telah
mengizinkan pembangunan shopping center dan mal di daerah nya (Sujana,
2012).

3. Sebagai media interaksi dengan Konsumen.


Berbagai macam media digunakan oleh para peritel untuk berinteraksi dengan
konsumen. Media yang digunakan pun bergantung pada format ritel. Peritel yang
menggunakan format webstore dan online bergantung pada kemajuan teknologi.
Adapun peritel yang menggunakan format toko, lebih banyak menggunakan katalog

5
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

sebagai media interaksi. Namun, banyak peritel menganggap penggunaan satu cara
interaksi saja belum cukup optimal, sehingga mereka mengkombinasikan berbagai
cara untuk dapat berinteraksi dan menjalin relasi dengan konsumennya.

Fungsi Utama yang Dijalankan oleh Ritel

Bisnis ritel terus bertumbuh karena pentingnya fungsi yang dijalankannya. Stanton
(1995) menjelaskan bahwa fungsi dari ritel adalah mengumpulkan dan
mengonsentrasikan beragam produk dari berbagai produsen. Sedangkan menurut
Foster (2008) ritel berfungsi untuk memberikan pelayanan semudah mungkin kepada
konsumen. Adapun Christina (Utami, 2008b) melihat fungsi ritel dari dua sisi, dari
sisi konsumen dan dari sisi produsen . Dari sisi konsumen, peritel berfungsi untuk
meningkatkan nilai produk yang dijual. Sedangkan dari sisi produsen, ritel berfungsi
untuk mendistribusikan produk. Secara lebih lengkap, ritel berfungsi sebagaimana
berikut:

1. Menyediakan berbagai produk dan jasa


Ritel sebagai salah satu pelaku bisnis, berperan dalam menyediakan produk dan jasa.
Peritel menyediakan berbagai pilihan kombinsai produk yang diinginkan oleh
konsumen. Adapun produk yang dijual disesuaikan dengan bentuk ritel yang
dipilihnya (William, Daniel, & . 1988). Supermarket biasanya menyediakan produk
makanan, perawatan kecantikan, kesehatan, dan produk rumah tangga. Sedangkan
department store lebih banyak menyediakan kebutuhan fashion (Utami, 2008b).

2. Memecah (breaking bulk)


Fungsi ritel yang kedua adalah memecah, dimana ritel berfungsi untuk memecah
produk menjadi ukuran yang lebih kecil (Utami, 2008b). Hal ini dikarenakan ritel
ditujukan untuk konsumen akhir yang merupakan individu-individu. Mereka
menggunakan produk ritel untuk kebutuhan pribadi nya dalam jumlah yang relatif
kecil.

3. Mengadakan inventory (holding inventory).


Salah satu fungsi utama ritel adalah menyediakan produk pada waktu dan tempat
yang tepat. Konsumen menjadikan ritel sebagai inventaris bagi kebutuhannya,
karena mereka mengetahui bahwa produk-produk yang diinginkannya telah tersedia
di toko ritel ketika mereka membutuhkan produk tersebut.

4. Memberikan jasa atau layanan (Providing Service)


Ritel menjadikan konsumen mudah dalam membeli dan menggunakan produk.
Peritel seringkali memberikan berbagai layanan dalam mengkonsumsi produk,
diantaranya: layanan antar dan penggunaan kartu kredit. Peritel juga memajang
produk yang dijualnya sehingga konsumen bisa melihat dan mempertimbangkan
terlebih dahulu memutuskan untuk mengkonsumsi produk.

6
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

5. Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa


Tidak semua barang dijual dalam keadaan lengkap, sehingga konsumen
membutuhkan ritel untuk melengkapi komponen barang yang tidak lengkap tersebut.
Pada saat itu lah, ritel berfungsi untuk meningkatkan nilai produk dan jasa (Utami,
2008b).

Keunggulan Bersaing Berkelanjutan dalam Bisnis Ritel

Keunggulan bersaing merupakan kemampuan perusahaan untuk bisa menjangkau


konsumen melebihi kompetitor. Ketika suatu ritel memiliki keunggulan bersaing,
konsumen akan melihat ritel tersebut lebih baik dari kompetitor-kompetitior nya
(Longnecker, Moore, & Petty, 2003).
Secara umum, semua aktivitas bisnis yang dijalankan oleh peritel dapat menjadi
dasar dalam keunggulan bersaing (Utami, 2008b). Namun, proses dalam
menciptakan keunggulan bersaing ini diawali oleh kemampuan perusahaan dalam
menciptakan nilai yang melebihi biaya penciptaan produk (Porter, 1991). Pendapat
lain dinyatakan oleh Prahald dan Hael (1990) yang menyebutkan bahwa keunggulan
bersaing pada suatu perusahaan berasal dari harga dan kinerja jasa. Begitu pun
dengan pendapat Foster (2008) yang menyatakan bahwa keunggulan bersaing
berasal dari kemampuan perusahaan untuk menggunakan biaya yang lebih rendah
dibandingkan pesaingnya. Pencipataan nilai dan harga yang telah dijelaskan
sebelumnya hanyalah dasar untuk menciptakan keunggulan bersaing. Secara
komprehensif, terdapat tujuh hal yang perlu dilakukan oleh peritel dalam
mengembangkan keunggulan bersaing, yaitu:

1. Kesetiaan Konsumen
Konsumen yang setia adalah konsumen yang bersedia untuk terus berbelanja di ritel
tertentu dan enggan untuk beralih kepada ritel pesaing (Utami, 2008b), sekalipun
kompetitornya melakukan berbagai usaha untuk menarik pelanggan. Dengan
memiliki konsumen yang setia, perusahaan tidak perlu bersusah payah dan
menghabiskan banyak biaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Reicheld (1996), bahwa secara umum mendapatkan pelanggan baru
memerlukan biaya lebih mahal dibandingkan dengan mempertahankan pelanggan
yang telah ada. Untuk membangun kesetiaan pelanggan, peritel dapat melakukan
hal-hal berikut:
a) Mengembangkan strategi yang jelas dan tepat
Pengembangan srategi ini dilakukan melalui pembangunan citra di benak
konsumen dengan menerapkan strategi positioning. Peritel meneliti image
seperti apa yang ada di benak konsumen dan mencari tahu keinginan
konsumen terhadap toko ritelnya (Utami, 2008b). Pengembangan citra toko
secara jelas merupakan hal yang sangat penting, karena citra toko ini
menjelaskan dua hal, dari sisi peritel citra merupakan gambaran jiwa atau
kepribadian toko yang ingin disampaikan kepada pelanggan. Sedangkan dari
sisi konsumen citra toko dianggap sebagai sikap individu dari suatu toko

7
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

(Sopiah & Syihabudin, 2008). Sehingga citra toko yang terbentuk dapat
memposisikan toko ritel nya di benak konsumen.
b) Menciptakan hubungan emosional melalui program kesetiaan pelanggan
Program kesetiaan pelanggan merupakan bagian dari konsep CRM
(Customer Relationship Marketing). CRM merupakan paradigma baru
dalam pemasaran (Kotler) yang mengalihkan fokus pemasaran dari
menciptakan transaksi menjadi upaya dalam mempertahankan pelanggan
(Zeithaml, Bitner, & Jo, 2000). Peritel menggunakan CRM sebagai basis
informasi untuk mendapatkan database pelanggan. Dari informasi yang
didapatkan, peritel dapat menyesuiakan aktivitas promosi dan
penawarannya berdasarkan kebutuhan konsumen (Utami, 2008b). Sehingga
pelanggan menjadi puas, loyal, dan menceritakan hal-hal baik tentang
perusahaan kepada kerabatnya (Kotler & Armstrong, 2006)

2. Lokasi
Kotler (2004) menyatakan bahwa kunci sukses dalam bisnis ritel adalah lokasi,
lokasi, dan lokasi. Pernyataan tersebut menyiratkan pentingnya memilih lokasi
dalam berbisnis ritel. Lokasi strategis merupakan keunggulan bersaing yang sangat
sulit ditiru. William (1988) mengatakan bahwa bila semua faktor memiliki bobot
nilai yang sama dalam keputusan pemilihan toko, konsumen akan memilih toko yang
paling dekat karena dapat menghemat waktu dan tenaga yang dimilikinya. Sehingga,
peritel perlu memilih lokasi yang tepat untuk bisnisnya, karena Lokasi merupakan
komitmen jangka panjang terhadap fleksibilitas masa depan ritel yang berimplikasi
secara permanen dan mempengaruhi pertumbuhan bisnis ritel pada masa yang akan
datang.

3. Manajemen sumber daya manusia


Peritel menggunakan tenaga kerja secara intensif (Utami, 2008b) dengan
memberikan layanan kepada konsumen. Karenanya, sumber daya yang kompeten
dalam mengelola ritel dan melayani konsumen sangatlah penting. Terlebih lagi
pramuniaga yang merupakan ujung tombak daya tarik konsumen untuk dating ke
toko (Sopiah & Syihabudin, 2008). Pramuniaga mampu menimbulkan rasa puas dan
menarik simpati konsumen melalui keramahan, tegur sapa, informasi, cara bicara
dan suasana yang bersahabat (Sopiah & Syihabudin, 2008). Untuk menghasilkan
pramuniaga dan sumber daya yang kompeten, peritel perlu membentuk program
yang dapat memotivasi pegawai, menyediakan insentif yang tepat, dan mendorong
budaya organisasi yang kuat (Foster, 2008).

4. Sistem distribusi dan informasi


Sistem distribusi dan informasi yang handal diperlukan untuk mencapai efeisiensi.
Dengan system distribusi dan informasi yang terkelola dengan baik, peritel dapat
memenuhi kebutuhan konsumen pada saat yang tepat dengan harga yang lebih murah
dan layanan yang lebih baik dibandingkan kompetitornya (Foster, 2008).

8
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

5. Barang-barang yang Unik


Keunggulan bersaing melalui barang merupakan hal yang sulit untuk dilakukan,
karena pesaing dapat dengan mudah meniru dan menjual merek-merek yang sama
favoritnya. Namun, kendala ini, dapat diatasi melalui pengembangan merek private
label yang hanya menjual produk dari toko ritel tertentu. Peritel juga bisa menjual
produk-produk unik sehingga dapat meningkatkan citra toko ritelnya.

6. Hubungan-hubungan pedagang/penjual
Peritel perlu membangun relasi yang kuat dengan para pemasok sehingga mereka
mendapatkan hak-hak ekslusif, antara lain: (1) untuk menjual produk di lokasi
tertentu, (2) mendapatkan hak ekslusif dalam menjual produk yang tidak ditawarkan
kepada pesaing, dan (3) menerima produk bermerek terkenal dengan pengiriman
yang singkat.

7. Layanan dan komitmen konsumen


Layanan kepada konsumen merupakan aset yang strategis dan berharga (Utami,
2008b) di tengah semakin kritisnya perilaku konsumen (Sopiah & Syihabudin,
2008). Peritel perlu mengembangkan keunggulan bersaing melalui layanan prima
yang konsisten, baik dari segi sistem maupun sumber daya. Adapun pelayanan yang
umum dilakukan peritel, diantaranya: kecepatan dalam melayani, kenyamanan yang
diberikan, kemudahan lokasi , harga yang bersaing, serta pengetahuan pramuniaga
(Sopiah & Syihabudin, 2008).

8. Mengkombinasikan berbagai keunggulan


Semakin ketatnya persaingan di industri ritel, mendorong para peritel untuk
berupaya semaksimal mungkin memperkuat keunggulan bersaing yang dimilikinya
(Foster, 2008). Untuk membangun keunggulan bersaing tersebut, peritel perlu
mengkombinasikan keunggulan-keunggulannya secara komprehensif agar bisa
bertahan dari pesaing. Sopiah dan Syihabudin (2008) mengatakan bahwa peritel
yang berhasil adalah peritel yang mampu menyesuaikan barang dan jasa nya dengan
permintaan dengan memperhatikan 7 T, yaitu: ketersediaan barang yang tepat, pada
waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan harga yang tepat, dijual secara tepat,
dan dengan kualitas yang tepat pula.

Perencanaan Ritel Strategis: Proses dan Implementasinya.


Perencanaan ritel strategis merupakan tahap-tahap yang digunakan peritel dalam
merencanakan strategi ritel nya. Terdiri dari penentuan segmen target pasar, memilih

9
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

format ritel, dan mengembangkan keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Tahapan


nya adalah sebagai berikut:

Langkah 1: Jelaskan misi dan tujuan bisnis


Misi bisnis dibuat dalam bentuk pernyataan. Pernyataan tersbut menjelaskan tujuan
organisasi ritel dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Dengan adanya misi yang
jelas, tujuan bisnis dapat diidentifikasi dengan jelas pula. Sehingga seluruh sumber
daya dalam ritel dapat diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.

Langkah 2: Laksanakan analisis situasi


Audit situasi dilaksanakan melalui analisis SWOT, yaitu menganalisis peluang dan
ancaman dalam lingkungan ritel serta kelebihan dan kekurangan bisnis ritel. Faktor-
faktor yang dianalisis, diantaranya:
a. Faktor pasar
Untuk menganalisis faktor pasar, peritel perlu mendapatkan informasi tentang
ukuran dan perkembangan pasar di daerah yang menjadi tujuannya.
b. Faktor persaingan
Persaingan dalam bisnis ritel banyak dipengaruhi oleh kemampuan supplier
dalam melakukan penawaran serta hambatan berupa regulasi dari pemerintah
maupun asosiasi terkati.
c. Faktor lingkungan
Peritel perlu mengetahui perubahan lingkungan yang terjadi dan bagaimana
implikasi nya terhadap usaha ritel. Perubahan tersebut diantaranya adalah:
perubahan teknologi, ekonomi, peraturan, dan sosial

Langkah 3: Jelaskan kesempatan-kesempatan strategis


Setelah melakukan analisis situasi, peritel perlu menemukan kesempatan-
kesempatan strategis. Hal ini dilakukan melalui penetrasi dan ekspansi pasar ke kota
yang berbeda dengan melakukan diversifikasi dan penegmbangan format ritel
(Utami, 2008a)

Langkah 4: Evaluasi kesempatan-kesempatan strategis


Peritel mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya dan merencanakan kesempatan
strategis dalam peningkatan keunggulan bersaing yang jangka panjang.

Langkah 5: Menentukan tujuan-tujuan khusus dan mengalokasikan sumber-


sumber daya
Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan yang spesifik untuk tiap
kesempatan, yang terdiri dari beberapa komponen, yaitu: pengelolaan, batas waktu
untuk mencapai tujuan, dan tingkat investasi yang diperlukan.

Langkah 6: Kembangkan Penggabungan Ritel untuk Melaksanakan Strategi


Langkah keenam adalah merencanakan penggabungan ritel untuk setiap investasi
yang akan dikeluarkan serta sistem kontrol dan evaluasi pengelolaan ritel.

10
BAB 1: Manajemen Ritel: Ruang Lingkup

Langkah 7: Evaluasi Pengelolaan dan Lakukan Penyesuaian yang Diperlukan


Analisis ulang perlu dilakukan ketika ritel gagal dalam mencapai tujuannya. Analisis
ini diawali dengan meninjau program-program yang telah dilaksanakan dan
mempertimbangkan kembali strategi yang telah diimplementasikannya.

Referensi
Dunne, Lusch, & Gable. (1995). Retailing (Second edition ed.). South Western:
International Thomson Publishing Company.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung Alfabeta.
Kotler, P. Marketing Management (11 edition ed.). New Jersey: Prentice Hall
International Inc.
Kotler, P. (2003). Marketing Management (11 th edition ed.). New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Kotler, P., & Amstrong, G. (2004). Principles of Marketing (10th edition ed.). New
Jersey: Prentice Hall Upper Sadle River.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2006). Prinsip-Prinsip Pemasaran (edisi ke-12 ed.).
Jakarta: Erlangga.
Longnecker, Moore, & Petty. (2003). Small Business Management (12-edition ed.):
South Western College Publishing.
Porter, M. E. ( 1991). Competitive Strategy: Technique for Analyzing Industries and
Competitors. New York: Mc Milan Publishing Co.
Prahald, C. K., & Hael, G. (1990). The Core Competence of The Corporation.
Harvard Business Review, 68, 79-91.
Reicheld, F. F. (1996). The Loylaty Effect, The Hidden force Behind Growth, Profits
and Lasting Value: Harvard Business Scholl Press Bain and Company.
Robert, M. J. ( 1990). Retail Merchandising and Control (First edition ed.). Boston:
Richard D Irwin Inc.
Sopiah, & Syihabudin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi.
Stanton, W. J. (1995). Fundamental of Marketing (10th edition ed.). Singapore: Mc
Graw-Hill International.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Ritel. Jakata:
Salemba empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.
William, D. R., Daniel, S. J., & ., S. W. R. (1988). Retailing Management (Sixth
edition ed.). The United States of America: John wiley and Sons.
Zeithaml, V. E., Bitner, & Jo, M. (2000). Service Marketing: Integrating Customer
Focus Across The Firm (2nd edition ed.): Mc Graw Hill Companies Inc.

11
Bab 2: Retail mix dan STP

BAB 2
RETAIL MIX DAN SEGMENTING, TARGETING, DAN
POSISIONING

Tujuan
1. Memahami penggunaan retail mix dalam penciptaan keunggulan kompetitif
dalam bisnis ritel.
2. Mengetahui elemen-elemen retail mix dalam bisnis ritel.
3. Menjelaskan peran strategi ritel dalam meningkatkan produktivitas bisnis
ritel.
4. Memahami strategi STP: Segmenting, Targeting, & Positioning dalam
bisnis ritel.

Pendahuluan
Ritel merupakan salah satu usaha yang paling berkembang saat ini. Salah
satu alasannya adalah ritel atau eceran mudah didirikan, karena ukuran dan
modalnya dapat disesuaikan dengan kemampuan calon peritel. Semakin banyaknya
usaha ritel saat ini, menimbulkan tantangan yang serius terhadap keberlangsungan
usaha ritel tersebut. Para peritel harus mampu meningkatkan kemampuan bersaing
mereka, agar tetap bertahan dan mampu menjadi pilihan utama bagi para
pelanggannya.
Seiring dengan perkembangan tersebut, bisnis ritel saat ini telah menjadi
industri yang menarik banyak pelaku bisnis. Perkembangan ritel saat ini juga karena
didorong oleh terbukanya peluang pasar, usaha manufaktur yang berkembang pesat
sehingga pasokan produk lebh mudah, selain adanya dukungan pemerintah dengan
regulasi yang memudahkan usaha ritel.
Dalam perkembangannya, industri ritel sangat dipengaruhi oleh perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat. Salah satunya adalah peningkatan pendapatan
masyarakat yang merupakan faktor yang paling berpengaruh di dalam
perkembangan industri ritel. Hal tersebut karena peningkatan pendapatan
masyarakat ikut mempengaruhi daya beli dan gaya hidup masyarakat.
Factor lain yang mendorong perkembangan bisnis ritel adalah adanya
perubahan gaya hidup masyarakat. Saat ini perilaku konsumen mengalami
perubahan dalam pola berbelanja yang cenderung menjadi lebih suka berbelanja di
gerai ritel. Pergeseran pola perilaku pada umumnya didorong oleh keinginan
konsumen untuk berbelanja secara nyaman, mendapatkan kepastian harga,
menginginkan layanan ritel yang baik, dan terdapatnya produk yang lengkap dengan
kualitas yang baik. Selian itu, saat ini konsumen juga cenderung menginginkan
lokasi ritel yang strategis sehingga mudah dicapai.

Seiring dengan perkembangan yang ada, maka persaingan antar bisnis ritel
semakin ketat. Sehingga para peritel dituntut untuk dapat menciptakan sebuah
strategi yang mampu menyaingi kompetitornya. Strategi yang ditetapkan harus

12
Bab 2: Retail mix dan STP

sesuai dan relevan dengan perkembangan bisnis ritel yang terjadi. Strategi tersebut
dapat diciptakan melalui penggunaan retail mix.
Retail mix merupakan strategi pemasaran yang terdiri dari kombinasi
beberapa unsur yang digunakan para peritel dalam memenuhi kebutuhan konsumen
dan pada akhirnya mempengaruhi pelanggan dalam mengambil keputusan
pembelian mereka (Levy & Weitz, 2004). Dalam retail mix ada beberapa hal
mendasar yang perlu diperhatikan oleh peritel, yaitu: produk, lokasi, harga, promosi,
pelayanan, dan suasana toko (Ma'ruf, 2005). Strategi bauran pemasaran ritel (retail
mix) ini sangat penting bagi keberlangsungan toko ritel, karena dengan retail mix
yang tepat, peritel dapat menciptakan keunggulan bersaing dan perbedaan
karakteristik antara toko ritelnya dengan toko ritel kompetitornya.
Menurut (Levy & Weitz, 2004) retail mix merupakan media yang
dimanfatkan untuk mendukung pelaksanaan strategi ritel untuk memuaskan
kebutuhan pelanggan yang dituju. Selain sebagai media untuk memuaskan
kebutuhan pelanggan, retail mix juga dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi
perilaku pelanggan dalam pengambilan keputsan pembeliannya (Christine Whidya
Utami, 2006).

Tujuan Retail Mix


Menurut Berman dan Evans (2010) tujuan dari penetapan retail mix
memiliki beberapa orientasi khusus, yaitu:

a. Usaha Koordinasi
Strategi retail mix yang dibuat harus direncanakan terlebih dahulu dan
disesuaikan dengan tujuan dari ritel tersebut. Setelah itu, peritel menentukan
jenis aktivitas apa saja yang mampu mendukung strategi retail mix yang
telah ditentukan. Jika peritel sudah melakukan itu semua, maka peritel hanya
perlu mengkordinasikan kegiatan yang satu dengan yang lain, agar berjalan
sesuai dengan rencana yang ada dan dapat mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.

b. Orientasi Pelanggan
Peritel perlu mampu menentukan kebutuhan dan keinginan pelanggan
terhadap sebuah ritel. Pada umumnya pelanggan menginginkan agar mereka
dapat berbelanja produk dan jasa dengan kualitas yang tinggi, sesuai dengan
jumlah uang yang mereka miliki. Selain itu, pelanggan juga ingin dapat
berbelanja dalam satu tempat dan memenuhi berbagai kebutuhannya dalam
satu waktu. Sehingga, mereka tidak perlu membuang tenaga dan waktu
untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Maka dari itu, peritel harus
mampu membuat retail mix yang disesuaikan dengan perilaku
konsumennya. Meskipun perilaku konsumen cenderung terus berubah setiap
waktu, namun peritel tetap harus mampu mengetahui jenis produk apa yang
diinginkan pelanggan, bagaimana mereka membayar, ataupun bagaimana
suatu produk dapat menarik perhatian mereka untuk mau membeli.

13
Bab 2: Retail mix dan STP

c. Orientasi Terhadap Tujuan


Ketika menjalankan suatu bisnis, tidak jarang peritel akan menentukan
beberapa tujuan yang ingin diraihnya. Tujuan yang ditetapkan biasanya
didasarkan kepada beberapa pertimbangan. Sehingga tujuan ritel ini, dapat
dibagi kedalam beberapa kategori, sebagai berikut:
1. Penjualan yang ingin dicapai
2. Keuntungan yang diharapkan
3. Pemuasan kebutuhan pelanggan
4. Citra perusahaan yang diharapkan

Elemen Retail Mix


Layanan Pelanggan (Customer Service)
Customer service (layanan konsumen) merupakan sekumpulan aktivitas
dan program yang dilakukan oleh peritel untuk membuat pengalaman berbelanja di
toko menjadi lebih berkesan bagi pelanggan tersebut. Selain itu, kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam layanan konsumen ini juga ditujukan untuk memberikan
pengaruh positif bagi pelanggan di toko (Dunne, Lusch, & Griffith, 2002).
Layanan yang diberikan kepada pelanggan sifatnya tidak berwujud dan tidak
menimbulkan kepemilikan apapun bagi pelanggan tersebut. Layanan ini biasanya
diberikan berdampingan bersama produk fisik yang akan dijual, ataupun diberikan
secara langsung kepada pelanggan tersebut. Bentuk layanan yang diberikan
perusahaan ritel ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk memenangkan
persaingan yang sifatnya non-harga (Kotler, 2012).
Orang yang terlibat dalam proses penjualan yang terjadi di dalam toko, serta
berbagai fasilitas yang disediakan peritel untuk memudahkan pelanggan ketika
berbelanja, merupakan bagian dari layanan konsumen. (Lamb, Jr., & McDaniel,
2010). Karena pada dasarnya, dalam bisnis ritel, peritel tidak hanya menjual barang,
tetapi harus ada unsur jasa yang diberikan, agar menjadi nilai tambah tersendiri.
Maka dari itu, orang yang bertugas untuk memberikan layanan tersebutlah yang
biasanya disebut sebagai karyawan atau pramuniaga.
Bentuk layanan konsumen yang diberikan oleh sebuah ritel, biasanya
ditujukan untuk hal-hal berikut:
a. Memberikan kemudahan berbelanja bagi pelanggan.
b. Memfasilitasi pelanggan dengan kemudahan bertransaksi.
c. Memberikan kepuasan tersendiri bagi setiap pembelian yang dilakukan
oleh pelanggan.
Beberapa peritel membuat layanan konsumennya secara berbeda dan unik
jika dibandingkan dengan pesaingnya. Hal tersebut dilakukan agar mampu
memberikan keunggulan kompetitif bagi usaha ritelnya, sehingga pelanggan akan
merasa puas terhadap layanan yang diberikan tersebut, dan akhirnya menjadi
pelanggan yang loyal. Selain itu, dengan layanan yang baik, pelanggan juga akan
menyebarkan word of mouth yang baik kepada calon pelanggan yang lain, sehingga
kemungkinan peritel mendapatkan konsumen yang baru cukup besar.

14
Bab 2: Retail mix dan STP

Menurut Levy & Weitz (2004), terdapat 5 (lima) persepsi atau parameter
yang digunakan oleh pelanggan untuk mengevaluasi setiap layanan yang diberikan
pihak toko, yaitu dengan menggunakan service quality (SERVQUAL), yang terdiri
dari beberapa elemen berikut:
a. Berwujud (tangible), meliputi konsisi fisik dari peraatan, staf, fasilitas,
dan aspek fisik lainnya.
b. Empati (empathy) yaitu perhatian dan kepedulian staf kepada kepada
pelanggan, misalnya dalam hal melayani secara pribadi, menyebut nama
pelanggan, menyapa pelanggan dsb.
c. Reliabilitas (Reliability), yaitu kemampuan staf ritel untuk melayani
pelanggan dengan terpercaya dan akurat. Misalnya, layanan yang
diberikan kepada pelanggan dalam hal pengiriman produk sesuai
dengan jadwal yang dijanjikan.
d. Daya tanggap (Responsiveness), yaitu, kemauan taf ritel dalam
membantu konsumen dengan melayani secaa cepat.
e. Kepastian (Assurance), yaitu kesoanan dan pengetahuan staf sehingga
meniimbulkan rasa percaya pelanggan bahwa mereka dilayani dengan
adil dan mendapatkan kepastian layanan.

Desain dan Display toko (Store design & display)


Fasilitas fisik merupakan salah satu faktor yang mampu membantu peritel
untuk menciptakan citra perusahaan yang baik di benak pelanggan. Dengan
pengaturan tata letak toko yang baik, maka peritel akan mampu menarik perhatian
pelanggan untuk mau lebih jauh mengetahui tentang ritel tersebut. Sehingga, secara
tidak langsung, citra perusahaan akan tersampaikan dengan baik melalui desain toko
tersebut.
Levy & Weitz (2004) mengatakan bahwa tujuan utama dari pendesainan
toko adalah untuk menerapkan strategi ritel itu sendiri. Desain toko yang dibuat
harus konsisten dan dapat memperkuat strategi ritel melalui pemenuhan kebutuhan
dari setiap pelanggan yang datang ke toko tersebut. Selain itu, desain toko yang ada
harus mampu membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, sehingga ritel
tersebut dapat bertahan ditengah ketatnya persaingan bisnis ritel.
Suasana atau atmosfer toko juga merupakan salah satu dari berbagai unsur
dalam retail marketing mix yang memiliki peran penting. Atmosfer toko yang
nyaman akan membuat pelanggan tertarik untuk berkunjung dan berbelanja di toko
tersebut. Atmosfer toko harus diciptakan sedemikian rupa, agar mampu
mengingatkan pelanggan akan produk apa saja yang ingin mereka beli, atau
mendorong pelanggan tersebut untuk melakukan pembelian yang lebih banyak lagi.
(Ma'ruf, 2005).
Elemen-elemen penting dari fasilitas fisik harus dibuat sesuai dengan citra
perusahaan yang diinginkan oleh peritel. Sehingga akhirnya pelanggan akan tertarik
untuk mengunjungi toko ritel tersebut. Elemen-elemen tersebut terdiri dari: desain
eksterior dan interior, lambang atau logo perusahaan, signboard, dan fasilitas-
fasilitas fisik yang lain.

15
Bab 2: Retail mix dan STP

Selain itu, peritel juga harus memperhatikan ketepatan desain toko. Desain
toko yang dibuat harus strategis, memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk
mengeksplorasi toko dan membuat arus lalu lintas berbelanja nyaman untuk
dilewati. Dengan begitu, maka pelanggan akan merasa nyaman dan tertarik untuk
datang lagi ke toko tersebut (Christina Whidya Utami, 2008).
Suasana didalam toko juga harus dibuat senyaman mungkin, karena suasana
tersebut menggambarkan perusahaan ritel secara keseluruhan (Thoyib, 1998).
Suasana tersebut dapat dibentuk melalui tata letak ruangan, dekorasi yang dipajang,
serta pendesainan lingkungan-lingkungan yang ada disekitar toko. Desain toko yang
baik akan menarik banyak pelanggan untuk datang, karena desain toko merupakan
strategi penting untuk menciptakan suasana yang mampu membuat konsumen
merasa ingin berlama-lama dalam suatu toko.
Dalam pendesainan toko, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
peritel, yaitu:
1. Membangun kesan yang baik.
Tujuan pertama dari pendesainan toko adalah untuk memberikan kesan
pertama yang baik sehingga menarik perhatian konsumen untuk datang dan
berbelanja di toko (Berman & Evans, 2001). Tetapi, karena setiap ritel memiliki
segmen pasar yang berbeda, sehingga jenis produk yang dijual dan ditawarkan
akan bervariasi sesuai dengan konsumen yang menjadi targetnya. Sehingga,
lingkungan dalam toko harus dibuat sesuai serta produk yang dijual harus sesuai
dengan konsumen yang menjadi target (Sujana, 2012). Setelah desain toko,
lingkungan dalam, dan produk sesuai dengan konsumen yang ditarget, maka
toko tersebut akan membuat konsumen nyaman berbelanja dan akhirnya
terbentuk citra yang baik.

2. Mempengaruhi perilaku konsumen


Desain suatu toko pada dasarnya ditujukan untuk membuat konsumen untuk
terdorong mengunjungi, melihat-lihat, dan akhirnya tertarik untuk melakukan
pembelian (Christina Whidya Utami, 2008). Sehingga membuat desain toko
yang membuat konsumen nyaman sehingga bisa ditoko berlama-lama
merupakan suatu keharusan (Gunawan, Rilantiana, & Kusumasondjaja, 2009).
Karena, ada kecenderungan bahwa semakin lama konsumen tinggal ditoko akan
semakin besar dan banyak belanjanya. Dengan kata lain desian toko yang
menarik akan mamu mempengaruhi pengambilan keputsan berbenjakonsumen.

3. Mengefisienkan biaya
Prinsip dara mengefienkan biaya dalam pendesainan toko yang tepat adalah
bahwa desain yang menarik akan meningkatkan penjualan dengan cepat. Desain
toko yang baik akan mampu menempatkan produk sedemikian rupa sehingga
memudahkan pelanggan untuk melihat dan mengambilnya. Sehingga, meletakan
barang dagangan yang akan ditawarkan yang dipanjang pada posisi tertentu
disesuaikan dengan nilai jual barang tersebut merupakan hal yang penting
(Christina Whidya Utami, 2008). Dengan penataan tersebut barang tersebut
cenderung akan terlihat dan dibeli oleh konsumen. Akibatnya, biaya yang

16
Bab 2: Retail mix dan STP

dikeluarkan oleh ritel dalam pendesainan tokonya akan mengahasilkan


penjualan yang memuaskan.

4. fleksibilitas layanan toko


Perilaku konsumen berubah dengan cepat, sehingga toko perlu mendesain
tokonya sesuai dengan perubahan tersebut agar mampu menarik pelanggan.
Perubahan perilaku tersebut juga menuntut toko untuk selalu mendesain ulang
tokonya secara berkala sehingga membuat kesan ke pelanggan bahwa toko
tersebut tidak monoton. Oleh karennya, desain toko perlu dibuat fleksibel,
mudah untuk diatur lagi, untuk menghindari kejenuhan pelanggan (Sujana,
2012).

Berikut adalah elemen-elemen penting yang perlu diperhatikan oleh peritel


ketika akan mendesain tokonya:
(Dunne et al., 2002).
a. Desain luar toko (Store front design/exterior)
b. Desain bagian dalam (Interior design)
c. Desain pencahayaan (Lighting design)
d. Suara (Sounds)
e. Bau (Smells)

Adapun strategi retail didalamnya menurut Levy & Weitz (2004), meliputi:
a. Store design
 Layout, penataan bagian dalam toko yang menarik sehingga membuat
konsumen nyaman berbelanja.
 Signage and Graphics, merupakan papan penanda dan gambar agar
lingkungan toko menjadi menarik dan memudahkan pelanggan
mencari produk.
 Feature Areas, bagian toko yang dibuat untuk menarik perhatian
pelanggan.
b. Space management, yaitu pengaturan tata tuang toko untuk melatakna
barang dangan dan melayani pelanggan.
c. Visual merchandising, penempatakn barang sedemikian rupa sehingga
akan mendaptakn perhatian pelanggan untuk melihat dan membelinya.
d. Atmospheric, keseluruhan desain toko yang dibuat agar dapat
terciptanya suasana hanya yang menyenangkan bagi pelanggan yang
dating ketoko. Suasana hati tersebut diharapkan akan membuat mereka
untuk melakukan pembelian. Athosper toko meliputi banyak aspek,
yaitu pencahayaan, pemilihan warna, pemilihan lagu, dan penggunaan
wewangian.

Communication mix
Peritel dituntut untuk dapat mengomunikasikan produknya kepada
pelanggan, dengan tujuan agar pelanggan tersebut dapat mengenal dan mengetahui

17
Bab 2: Retail mix dan STP

kegunaan/manfaat serta nilai dari setiap produk yang dijual oleh peritel. Dengan
mengetahui hal-hal tersebut, maka pelanggan akan tertarik untuk membeli produk
tersebut. Peritel dapat mengomunikasikan produknya melalui berbagai kegiatan atau
aktivitas promosi. Menurut Ma’ruf (2005) communication mix merupakan
kombinasi dari unsur-unsur seperti iklan, promosi, personal selling, sales promotion,
personal selling, publisitas, dan atmosfer toko.
Promosi merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan yang didesain untuk memberikan informasi, membujuk, atau
mengingatkan pihak-pihak lain tentang perusahaan yang bersangkutan, serta barang
dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan tersebut. Promosi adalah arus informasi
atau persuasi satu arah yang dibuat dengan tujuan untuk mengarahkan seseorang atau
organisasi tertentu untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menciptakan
pertukaran dalam pemasaran (Dharmmesta & Irawan, 2005). Pertukaran yang
dimaksud disini adalah proses jual beli yang terjadi antara pihak perusahaan dengan
pelanggan. Sehingga dari kegiatan promosi yang dilakukan, diharapkan peritel dapat
mempengaruhi pelanggan untuk mau melakukan transaksi.
Promosi merupakan strategi khusus yang diciptakan oleh perusahaan
melalui iklan pribadi, promosi penjualan, dan hubungan masyarakat yang dibuat
untuk mencapai tujuan pemasaran dari perusahaan ritel tersebut. Selain itu, promosi
juga merupakan semua jenis kegiatan pemasaran yang ditujukan untuk mendorong
tingkat permintaan dari pelanggan atas produk tertentu yang dijual, Bell dalam
(Swastha & Irawan, 2008).
Menurut (Levy & Weitz, 2004) untuk mengomunikasikan informasi kepada
pelanggan, peritel dapat melakukan beberapa metode sebagai berikut:
1. Komunikasi berbayar dan tidak bersifat pribadi (paid impersonal
communication),
a. Iklan (Advertising), meruapakan bentuk komunikasi yang dibayar
ditujukan kepada pelanggan dengan menggunakan media
impersonal, seperti Koran, radio, dan TV, maupun internet.
b. Promosi penjualan (sales promotion), merupakan penawaran yang
memiliki nilai tambah bagi konsumen pelanggan yang datang atau
membeli produk untuk waktu tertentu.
c. Athospher toko (Store atmosphere), kombinasi aspek fisik dari toko,
baik arsitektur, display produk, layout, warna, suhu temperatur,
cahaya, music dan lain-lain yang secara bersama membentuk image
toko di dalam benak konsumen.
d. Web site, merupakan media yang dapat diakses dengan internet yang
untuk berkomunikasi dengan pelanggan mapun masyarakat umum
lainnya. Media ini biasanya digunakan oleh ritel untuk, salah
satunya, membangun brand image. Website toko biasanya berisi
berbagai infomrasi seperti lokasi, jadwal kegiatan yang akan
dilaksanakan, produk yang dijual, promosi dan sebagainya.
e. Community building, kegiatan ini untuk membangun hubungan
yang baik dengan lasyrakat disekitar toko termasuk pelanggannya.
Kegiatan yang dilakukan bisanya melipu pensponsoran kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat atau hobi kelompok masyarakat.

18
Bab 2: Retail mix dan STP

2. Paid personal communication, terdiri dari personal selling, e-mail,


direct mail, m-commerce.
a. Personal selling, adalah jenis komunikasi kontak langsung dengan
pelanggan yang dilakukan oleh para sales untuk membantu
memenuhi kebutuhan pelanggan.
b. E-mail, adalah pengiriman surat kepada pelanggan melaui internet
pribadi.
c. Direct mail, adalah komunikasi dengan media brosur, katalog, dan
lain-lain yang ditujukan kepada pelanggan.
d. M-commerce, atau mobile commerce adalah bentuk komunikasi
melalui internet (mobile commerce), termasuk dalam hal transaksi
dan pembayaran.s
3. Unpaid impersonal communication, adalah bentuk komunikasi
umum/public seperti lewat media Koran, radio, maupun TV yang tidak
dipungut pembayaran.
4. Unpaid personal communication, yaitu bentuk komunikasi antara
sesama konsumen mengenai retailer tertentu, ata dikenal sebagai word
of mouth communication. Bentuk komunikasi ini sangat efektif untuk
mempengaruhi pelanggan.

Lokasi Ritel
Lamb, Hair, & Danield (2001) menyatakan bahwa lokasi adalah tempat atau
letak toko dimana produk yang ditawarkan tersebut berada. Lokasi merupakan faktor
yang penting dalam retail mix, karena lokasi yang strategis akan mendatangkan lebih
banyak keuntungan bagi peritel tersebut. Dengan lokasi toko yang strategis, peritel
mampu meraih lebih banyak pelanggan.
Lokasi dimana sebuah toko perlu dipilih dengan hati karena dampaknya
pada minat pelanggan untuk mau mengunjungi dan melakukan pembelian di toko
ritel tersebut. Maka dari itu, menurut Lamb, Hair, & Danield (2001) peritel harus
memperhatikan faktor-faktor penting terkait dengan pemilihan lokasi toko, yaitu:
1. Free standing
2. Urban location / CBD (central business district)
3. Community and neighborhood
4. Power center
5. Lifestyle center
6. Fashion/ specialty center
7. Festival center

Terdapat tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi suatu
toko agar mampu menarik pelanggan, yaitu:

1. Karateristik lingkunagn
a. aspek lalu lintas (traffic flow) yang melewati toko. Aspek ini meliputi
kendaraan umum, pribadi maupun jalan kaki yang melewti lingkungan

19
Bab 2: Retail mix dan STP

toko yang akan dipilih. Selain arus lalu lintas, jumlah atau kepadatan juga
perlu mendapatkan perhatian. Tempat yang ideal adalah yang
mempunyai traffic flow yang padat, tetapi tidak macet. Karena
kemacetan akan cenderung dihindari oleh konsumen.
b. Accesibility, yaitu tingkat kemudahan bagi pelanggan (baik berjalan kaki
atau naik kendaraan) untuk mengunjungi toko. Aspek ini sama
pentingnya dengan traffic flow.

2. Karakteritik Lokasi
a. Meliputi tempat: keamana, kapasitas, kualitas, dan jarak parkir.
b. Visibility, kemudahan konsumen untuk melihat toko dari jaiuh
maupun dekat jalan.
c. Adjacent retailer, yaitu kedekatan toko dengan toko lain baik
pesaing maupun bukan. Kluster toko akan cenderung
menimbulkan traffic kunjungan pelanggan yang baik.

3. Restriction & cost, biaya yang ditimbulkan dengan adanya toko di lokasi,
seperti biasay sewa, biaya pembanguna, dan biaya oprasional lainnya.

4. Location within a shopping center (lokasi di dalam pusat perbelanjaan).


Lokasi toko di dalam pusat berbelanjaan memberikan manfaat yang besar
dari besarnya jumlah pengunjung ke pusat perbelanjaan tersebut. Tetapi,
persaingan, harga sewa, dan lokasi didalam pusat perbelanjaan tersebut kan
mempengaruhi penjualan dan operasional toko.

Merchandise Assortments
Merchandise merupakan produk-produk yang dijual oleh peritel untuk
memenuhi kebutuhan pelanggannya. Sedangkan kegiatan pengadaan produk
tersebut, disebut merchandising. Produk-produk yang disediakan harus disesuaikan
dengan bisnis yang dijalani. Selain itu, peritel juga harus mampu menentukan berapa
banyak produk yang perlu disediakan pada waktu dan harga yang tepat. Hal tersebut
perlu dilakukan agar peritel mampu mendapatkan keuntungan dari setiap penjualan
produk yang ada dan akhirnya mencapai tujuan dari ritelnya.
Istailah Merchandising mengacu pada proses dimana peritel menentukan jeni
dan jumlah produk yang akan dijual di tokonya. Barang dagangan atau produk
tersebut harus dipilih sesuai dengan kebutuhan dn permintaan pelanggan yang
ditujunya. Termasuk dalam kontek merchandising adalah penempatan produk dalam
benak konsumen (citra), dan kemampuan suplier menyediakan produk tersebut,
biaya yang dibutuhkan, tingkat persaingan, dan faktor-faktor terkait lainnya.
(Berman & Evans, 2004).
Ketepatan dalam pemilihan produk yang akan dijual merupakan hal penting
yang perlu dipertimbangkan oleh peritel, karena pelanggan selalu menilai kinerja
suatu produk, mulai dari kemampuan produk tersebut hingga kualitasnya. Sehingga
untuk mampu menarik perhatian pelanggan agar mau membeli produk yang tersedia,

20
Bab 2: Retail mix dan STP

maka peritel harus menyediakan produk yang benar-benar mampu memenuhi


kebutuhan pelanggan mereka.
Persediaan barang dilakukan untuk menciptakan keseimbangan antara
kebutuhan pelanggan dengan tingkat oermintaan terhadap suatu produk. Tantangan
yang dihadapi oleh peritel adalah bagaimana menyesuaikan antara produk yang
ditawarkan sesuati dengan kebutuhan dan permintaan pasar, baik dari aspek kualitas
maupun kuantitas.
Dalam melakukan pengelolaan barang dagangan, peritel juga perlu
memperhatikan beberapa kebijakan yang terkait dengan proses pengadaan barang
dagangan. Berikut adalah kebijakan-kebijakan terkait dengan pengelolaan barang
dagangan tersebut:

a. Kualitas produk
Kualitas produk merupakan aspek yang sangat penting bagi ritel karena
unsur ini menjadi salah satu pertimbangan utama bagi konsumen dalam
melakukan pembelian. Ketersedian berbagai kualitas produk dengan
beragam harga yang sesuai merupakan hal penting bagi konsumen dalam
menentukan perilaku mereka dalam berbelanja. Keseuaian antara kualitas
produk dengan harga yang bersiang akan menciptakan nilai yang tinggi
yang dirasakan oleh pelanggan sehingga akan meningkatkan
kemungkinan mereka untuk membeli dan membeli ulang dimasa yang
akan datang.

b. Aspek harga.
Aspek harga khususnya price point yaitu harga yang menjadi ciri kas
suatu ritel merupakan hal yang penting bagi ritel. Suatu ritel yang
menghususkan diri untuk memenuhi kebutuhan pelanggan kelas atas akan
memasang harga yang tinggi untuk produk mereka. Penentuan harga yang
tinggi tersebut harus pula didukung adanya produk yang berkualitas dan
lingkungan/tampilan toko yang menunjukan bahwa toko tersebut memang
ditujukan untuk kalnagan atas. Sebalikny, toko yang memfokuskan
dirinya kepada pelanggan kelas bawah misalnya, aspek harga yang
dipasang sebaiknya sesuai dengan target pasarnya. Penggunaan aspek
harga khususnya price point ini akan membantu konsumen untuk
mengukur sendiri daya beli sebelum memsuki suatu toko.

c. Variasi Produk
Konsumen mempunyai beragam kebutuhan. Sehingga, ritel yang mampu
menyediakan produk yang beranekaragaman dengan harga yang
bervariasi juga cenderung akan mampu menyaknkan pelanggan untuk
datang berbelanja. Tetapi, bagi ritel yang mengkhusukan diri pada produk
untuk kalangan yang terbatas dengan harga mahal, seperti butik khusu
pakaina branded internasional, maka fokus pada jenis produk tersebut
(teteap harus bervariasi) akan lebih tepat.

d. Waktu pengenalan produk

21
Bab 2: Retail mix dan STP

Waktu pengenalan produk merupakan aspek penting yang akan


mempengaruhi kinerja penjualan produk dimasa yang akan datang. Selian
itu, waktu pengenalan juga bisa digunakan sebagai justifikasi penentuan
harga yang tinggi. Misalnya, produk terkait dengan pesat olah raga yang
terkenal, peritel yang mampu menawarkan produk terkait olahraga
tersebut jauh hari sebelumnya akan mampu menarik konsumen dalam
jumlah besar. Tetapi pengenalan produk yang dilakukan setelah even
olahraga tersebut akan membuat produk tidak mampu menarik pelanggan.

e. Kebijakan harga
Harga salah satu pertimbangan penting (dan seringkali utama) bagi
pelanggan untuk menentukan pembelianya. Sehingga penetuan harga oleh
peritel harus disertai dengan pertimbangan yang matang. Mislnya, apakah
harga sedikit diatas atau dibawah harga pesaing harus dilakukan dengan
hati-hati. Pertimbanagn utama hal tersebut adalah apakah dengan harga
yang ditentukan konsumen akan tertarik untuk datang, membelu dan
membeli ulang dan apakah harga tersebut akan tetap memberi keuntungan
bagi toko.

Retail pricing
Harga merupakan sejumlah uang yang dibebankan kepada pelanggan
terhadap suatu produk atau jasa, atau jumlah nilai yang ditukar oleh pelanggan atas
manfaat-manfaat yang diberikan oleh suatu produk (Kotler & Armstrong, 2008).
Harga merupakan salah satu atribut penting yang selalu diperhatikan dan
dipertimbangkan oleh pelanggan sebelum membeli suatu produk. Sehingga peritel
perlu benar-benar memahami peran harga dalam mempengaruhi sikap konsumen
(Mowen & Minor, 2002).
Ketika konsumen membayar pada suatu tingkat harga untuk suatu produk,
maka mereka akan membandingkan antara harga yang dibayar dengan kualitas atau
manfaat yang didapat melalui produk yang telah dibeli. Apabila harga yang
ditetapkan dengan manfaat yang dirasakan oleh pelanggan dirasa sama atau sesuai,
maka pelanggan tersebut akan merasa puas.
Harga sangat berhubungan dengan nilai dasar dari persepsi konsumen. Maka
dari itu, harga dianggap sebagai komponen penting yang dapat menentukan posisi
sebuah perusahaan ritel di benak pelanggannya. Tjiptono (2008) mengungkapkan
bahwa harga merujuk pada ukuran barang dan jasa lainnya yang dapat ditukarkan
agar memperoleh kepemilikan atau penggunaan barang atau jasa tersebut.
Penetapan harga adalah yang paling krusial dan sulit diantara unsur – unsur
lain dalam bauran pemasaran ritel. Harga adalah satu-satunya unsur dalam berbagai
unsur bauran pemasaran ritel yang mendatangkan laba bagi peritel. Sedangkan
unsur-unsur lain dalam bauran pemasaran biasanya cenderung lebih menghabiskan
biaya.
Menurut Levy (2004) Ada 4 faktor yang mempengaruhi peritel dalam
pembentukan harga, yaitu:
a. Customer price sensitivity and cost

22
Bab 2: Retail mix dan STP

Sesuai dengan hokum permintaan, saat harga produk naik maka


penjualan produk tersebut akan berkurang karena permintaan pelanggan
turun disebabkan oleh sentiment bahwa nilai produk tersebut dirasakan
mengalami penurunan. Sensitivitas pelangan terhada harga produk akan
menentukan jumlah produk yang akan terjual pada level harga yang
bervariasi.
b. Cost of the merchandise and services
Aspek biaya dari merchandise dan service dari suatu produk akan
mennetukan apkah konsumen aka membelinya. Suatu produk yang
berharga murah tetapi biaya pemasarangan, oerasional, dan layanan nya
yang tinggi akan dirasakan membebani konsumen. Sehingga
kemungkinan akan mengurangi minat konsumen untuk membeli.
Informasi tentang biasay merchandise dan servis yang lengkap akan
membantu konsumen mengambil keputisan pembelian.
c. Competition
Kompetisi baik dengan dengan toko pesaing maupun kompetisi dengan
produk lain merupakan aspek penting dalam penentuan harga. Produk
yang tidak ada pesaing langsung cederung akan lebih leluasa dalam
penentuan harganya. Sebaliknya, toko yang mempunyai banyak pesaing
penentuan harga harus pemperhatikan harga yang ditentukan oleh
pesaing.
d. Peraturan hokum
Beberapa produk diatur oleh pemerintah harga jualnya, seperti misalnya
bahan bakar. Dalam hal ini, toko perlu memperhatikan aspek hokum
tersebut.

Segmenting, Targeting, dan Positioning


Persaingan di dunia ritel yang cenderung semakin kompetitif, menuntuk
setiap ritel untuk mencari strategi yang tepat sehingga tetap bias kompetitif dan
berkembang. Salah satu strategi tersebut adalah dengan menggunakan strategi
yang unik dan berbeda dari peritel lainnya (Rangkuti, 2002). Maka dari itu,
peritel harus memiliki strategi pemasaran khusus yang mampu digunakan
perusahaan untuk memenangkan persaingan.
Strategi merupakan bagian dari perencanaan yang dilakukan oleh
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi (Effendy, 2007). Strategi
merupakan suatu bentuk rencana yang dibuat untuk jangka panjang yang
meliputi organisasi secara keseluruhan. Dalam menysusn strategi, peritel perlu
memperhatikan dan menentukan bagiaman bisnis ritelnya dapat unggul
dibandingkan dengan kompetitornya secara berkelanjutan (Siregar, 2015).
Strategi pemasaran ini dibutuhkan oleh setiap peritel untuk dapat mengembangkan
keunggulan bersaingnya pada segmentasi pasar tertentu yang menjadi tujuan
pemasarannya. Dengan adanya strategi pemasaran ini, maka perusahaan akan
mampu membuat ataupun merancang bauran pemasaran yang terintegrasi untuk
setiap pasar yang mereka layani.

23
Bab 2: Retail mix dan STP

Dalam pemasaran modern, terdapat tiga hal dasar dalam menyususnan


startegi, yaitu segmenting, targeting, positioning. Secara ringkas, ketiga langkah
meliputi bagaimana mengidentifikasi dan mengelompok-kelompokan konsumen
kedalam kelompok berbasar atas kriteria tertentu. Kemudian, dari kelompok-
kelompok tersebut dipilih yang paling menguntungkan untuk dipilih sebagai sasarn
konsumen yang dituju. Terakhir, menyususn strategi agar konsumen yang dituju
tersebut dapat dilayani secara maksimal. Pemasar memilih target tertentu dari
konsumen tersebut karena mereka memungkinkan peritel untuk melayani
kebutuhannya secara maksimal. Bagiaman peritel melayani adalah dengan
menggunakan marketing mix, yaitu produk, harga, promosi, dan distribusi
(Kasali, 1998).

Segmenting (Segmentasi Pasar)


Segmentasi adalah kegiatan pemasaran yang mengelompokkan pasar
berdasarkan karakteristik tertentu dari pelanggan (Siregar, 2015). Pendapat lain
mengatakan bahwa segmentasi pasar adalah cara membagi pasar menjadi grup dan
memiliki karakteristik, kebutuhan, atau perilaku yang berbeda, dimana setiap
kelompok cenderung memerlukan strategi pemasaran yang berbeda (Kotler &
Armstrong, 2008). Melalui segmentasi, peritel akan dimudahkan dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya secara memuaskan.
Sehingga, keberlanjutan hubungan yang saling memuaskan antara peritel dengan
konsumen tersebut dapat dipelihara untuk jangka waktu yang panjang.
Terdapat tiga variabel yang perlu diperhatikan dalam melakukan
segmentasi, yaitu:
a. Segmentasi demografi, yaitu mengelompokkan pasar berdasar atas
aspek demografi responden seperti usia, ras, jender, tempat tinggal,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan.
b. Segmentasi psikografis, yaitu mengelompokkan pasar berdasar atas
kelas social, gaya hidup, kepribadian dan lainnya.
c. Segmentasi perilaku, yaitu membagi pasar berdasarkan perilaku
konsumen dalam kaitannya dengan produk serta bagaimana mereka
menggunakan produk tersebut. Termasuk dalam segmentasi ini
adalah mengelompokkan konsumen berdasar atas pengguna ataupun
non-pengguna produk.
Segmentasi merupakan tahap penting dalam pemasaran yang dilakukan
oleh peritel. Terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh peritel dengan
melakukan segementasi. Menurut Kasali (1998), lima keuntungan dengan
melakukan segmentasi pasar yaitu:
a. Dengan hanya melayani segmen tertentu yang telah disesuaikan
dengan jenis bisnis ritel yang dijalankan, maka peritel dapat fokus
untuk melayani segmen tersebut. Sehingga segmen yang dilayani
akan merasa puas dan peritel tersebut dapat menempati posisi
sebagai ritel yang mampu memberikan kepuasan terhada setiap
pemenuhan kebutuhan segmen pasarnya, di benak pelanggan. Dan

24
Bab 2: Retail mix dan STP

hal tersebut secara tidak langsung menjadi keunggulan kompetitif


bagi ritel itu sendiri.
b. Peritel dapat menganalisis kondisi pasar atau persaingan yang
sedang terjadi pada bisnisnya ketika sudah mengetahui segmen
pasar yang akan dimasukinya. Dengan begitu, peritel tidak perlu
kebingungan untuk menganalisis kondisi pasar dengan melakukan
penelitian dan perbandingan kepada setiap segmen pasar yang ada,
cukup segmen pasar yang peritel tersebut bidik saja. Sehingga
analisis pasar dapat dilakukan dengan lebih terfokus.
c. Produk yang dijual bias disesuaikan secara responsif terhadap
kebutuhan konsumen. Dengan mengetahui segmen pasar apa yang
akan dimasuki oleh peritel, maka perusahaan akan mampu
menyediakan produk yang sesuai dengan kebutuhan segmen
tersebut. Sehingga, pelanggan pada segmen tersebut akan lebih
tertarik dengan produk yang dijual.
d. Melayani segmen tertentu memberikan keuntungan tersendiri bagi
peritel, salah satunya adalah kemudahan peritel dalam menentukan
strategi komunikasi. Karena segmen yang dilayani ritel tersebut
dipilih secara khusus, maka peritel tersebut tentu paham tentang
karakteristik segmen tersebut. Sehingga peritel akan dengan
mudah menentukan strategi komunikasi seperti apa yang sesuai
dengan segmen pasarnya, dan mampu menciptakan komunikasi
dua arah yang efektif dan efisien, hingga mampu mempengaruhi
segmen pasarnya tersebut untuk selanjutnya melakukan transaksi
tertentu.
e. Ketika peritel melayani segmen tertentu, maka peritel tersebut
akan mampu melihat berbagai peluang yang terjadi dalam segmen
tersebut. Dengan begitu, peritel akan mampu menciptakan strategi
tertentu untuk mampu menggunakan peluang tersebut dengan
tepat.

Targeting (Penentuan Target Sasaran)


Targeting adalah proses dimana peritel mengevaluasi seberapa menariknya
setiap kelompok segmen pasar, kemudian memilih satu atau beberapa kelompok
tersebut untuk dipilih menjadi pasar yang akan dilayani (Solomon & Elnora, 2003).
Menurut Kotler dan Amstrong (Kotler & Armstrong, 2008) targeting adalah
sekelompok pembeli (buyers) yang memiliki kebutuhan atau karakteristik yang
kurang lebih sama yang menjadi tujuan promosi yang dilakukan oleh perusahaan
ritel. Dengan kata lain, Targeting merupakan upaya memilih satu atau beberapa
segmen pasar untuk dilayani agar perusahaan ritel dapat mengoptimalkan bisnisnya.
Penetapan target pasar ini dilakukan dengan cara mengevaluasi daya tarik
masing-masing dari setiap segmen yang telah dipilih sebelumnya. Dalam
menentukan target pasar yang tepat, peritel harus mampu mengidentifikasi, segmen

25
Bab 2: Retail mix dan STP

mana yang sekiranya akan memberikan nilai konsumen terbesar dan dapat dilayani
oleh ritel tersebut dalam jangka waktu yang panjang.
Latar belakang dilakukannya targeting pada dasarnya dilandasi adanya
kesadaran bahwa kebutuhan pasar merupakan suatu hal yang praktis tidak terbatas.
Disisi lain, kemampuan perusahaan ritel untuk memuaskan kebututuhan pasar
tersebut adalah tersbatas. Karena hal tersebut, agara bisnis menjadi optimal
dilakukan targeting, yaitu dipilih target yang mempunyai potensi yang
menguntungkan tidak saja untuk jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang
(Kartajaya, 2009).
Dalam proses targeting, perusahaan ritel dapat memilih dari empat strategi
penentuan sasaran pasar berikut (Siregar, 2015):
a. Undifferentiated targeting strategy, yaitu strategi penentuan sasaran
pasar dengan mengembangkan satu jenis produk tertentu dan dengan
menggunakan bauran pemasaran yang sama untuk melayani semua pasar.
Karena beragamnya karakterik konsumen, perusahaan ritel yang
menggunakan strategi ini harus kerja ekstra melalui produksi, promosi ,
maupun distribusinya.
b. Differentiated targeting strategy, yaitu strategi penentuan sasaran pasar
dengan menydiakan produk yang berbeda pada kelompok pasar yang
mempunyai karakteristik berbeda. Dengan strategi ini maka perusahaan
mempunyai beberapa pola bauran pemasaran sesuai dengan segmen yang
dituju.
c. Concentrated targeting strategy, yaitu strategi perusahaan dengan
mengkonsetrasikan untuk memilih dan melayani suatu kelompok pasar
saja. Strategi ini dipilih jika perushaan dengan segala keterbatasannya
tidak akan mampu melayani beberapa kelompok sekaligus. Pemilihan
satu kelompo tersebut meskipun relative kecil kemungkinan masih akan
menguntungkan juga.
d. Custom targeting strategy, yaitu strategi yang disusun secara sepeifik
untuk konsumen tertentu. Beberapa konsumen mempunyai kebutuhan
khusus, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya diperlukan startegi
pemasaran yang unik khusus untuk dia.

Positioning
Positioning, merupakan tahap terakhir dalam konsep STP, yaitu upaya
pengembangan strategi pemasaran melalui produk, promosi, harga, dan distribusi
untuk memengaruhi kelompok konsumen yang dipilih untuk dilayani. Menurut
Kotler (2008), positioning adalah tindakan yang dirancang untuk menawarkan
produk dengan cara tertentu guna membangun citra perusahaan sehingga menempati
posisi tertentu dibenak konsumen dibanding produk kompetitor. Tujuan akhir dalam
upaya pembentukan citra melalui positioning tersebut adalah keputusan pembelian
konsumen dalam jangka pendek maupun panjang.
Empat langkah dalam mengembangkan positioning strategi (Siregar, 2015):
1. Karena konteknya adalah persaingan produk dalam benak konsumen,
maka tahap awal adalah menganalisis kekuatan dan kelemahan pesaing.

26
Bab 2: Retail mix dan STP

Dengan mengetahui posisi dan kemampuan kompetitor, maka


perusahaan akan bias secara tepat membuat strategi yang tepat untuk
menghadapainya.
2. Kelebihan dan keunikan produk yang ditawarkan baik dalam hal
kualitas, harga, maupun aspek lainnya harus dibikin sedemikian rupa
sehingga Nampak kelebihannya dibandingkan dengan produk pesaing.
3. Melalui bauran pemasaran sesuai untuk pasar yang diplih, produk yang
ditawarkan pemasar harus memiliki nilai lebih dibandingkan
pesainggnya sehingga lebih mampu memuaskan kebutuhan
konsumennya.
4. Dinamika lingkungan bisnis yang cepat menuntut perusahaan untuk
terus secara proaktif memonitor peubahan baik konsumen maupun
pesainggnya sehingga perubahan posisioning bisa dilakukan jika
diperlukan. Strategi tersebut penting dilakukan agar perusahaan tetap
komptetitif.

Referensi

Berman, B., & Evans, J. R. (2001). Retail Management: A Strategic Approach. Eight
Editions. New Jersey: Prentice Hall.
Berman, B., & Evans, J. R. (2004). Retail Management A Strategic Approach:
Prentice Hall.
Berman, B., & Evans, J. R. (2010). Retail Management (A Strategic Approach):
Prentice Hall.
Dharmmesta, & Irawan. (2005). Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta:
Liberty.
Dunne, Lusch, & Griffith. (2002). Retailing. New York South-western, a division of
thomson learning.
Effendy, O. U. (2007). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Gunawan, S., Rilantiana, R., & Kusumasondjaja, S. (2009). Pengaruh Persepsi
Desain Toko Terhadap Store Repatronage Intentions Dengan Shopping
Experience Costs Sebagai Intervening Di Toko Elektronik “X” Surabaya.
Jurnal Manajemen Teori dan Terapan.
Kartajaya, H. (2009). Mark Plus Basics. Jakarta: Esensi.
Kasali, R. (1998). Membidik Pasar Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Kotler, P. (2012). Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc. .
Kotler, P., & Armstrong, G. (2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Lamb, C. W., Hair, J. F., & Danield, C. M. (2001). Marketing (Terjemahan oleh
David Octarevia) Jakarta: Salemba Empat.
Lamb, C. W., Jr., J. F. H., & McDaniel, C. (2010). Essentials of Marketing: South-
Western.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Ma'ruf, H. (2005). Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

27
Bab 2: Retail mix dan STP

Mowen, J. C., & Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen. Jakarta: Erlangga.


Rangkuti, F. (2002). Riset Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Siregar, R. K. (2015). Strategi Komunikasi Pemasaran Dalam Membangun
Kesadaran Merek (Studi Kasus Private Label pada Fast Moving Consumer
Goods Giant Ekstra Central Business District, Bintaro, Tangerang Selatan).
Journal Communication, Vol. 6.
Solomon, & Elnora. (2003). Startegi Pemasaran. Jakarta: Kelompok Gramedia.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Depok: Raih Asa Sukses.
Swastha, B., & Irawan. (2008). Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta:
Liberty.
Thoyib, U. (1998). Manajemen Perdagangan Eceran. Yogyakarta: Ekonisia
Kampus Fakultas Ekonomi UII.
Tjiptono, F. (2008). Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi.
Utami, C. W. (2006). Relationship Effort Dan Kualitas Layanan Sebagai Strategi
Penguat Relationship Outcomes (Sebuah Tinjauan Konseptual Dalam Bisnis
Ritel Modern Di Indonesia). Jurnal manajemen Pemasaran, Vol. 1.
Utami, C. W. (2008). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.

28
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

BAB 3
PENGELOLAAN BARANG DAGANGAN
Tujuan
1. Memahami pentingnya pengelolaan barag dagangan dalam bisnis ritel.
2. Memahami pengorganisasian proses pembelian menurut kategori barang
dagangan dalam toko.
3. Mengimplementasikan pengaturan objek dalam perencanaan barang
dagangan.
4. Memahami perencanaan keanekaragaman barang dagangan dan
implikasinya terhadap bisnis ritel.

Pendahuluan
Pertimbangan utama yang menjadi tantangan tersendiri bagi peritel adalah
kemampuan mereka dalam mengelola persediaan untuk barang-barang yang harus
mereka jual untuk mendapat keuntungan. Maka dari itu, penting untuk peritel
melakukan perencanaan terhadap barang dagangannya. Peritel harus mampu
menentukan barang dagangan yang tepat, pada tempat, waktu, jumlah dan harga yang
tepat. Dengan kata lain, peritel akan dihadapkan dengan keputusan mengenai apa
yang akan mereka beli (barang dagangan apa), berapa banyak peritel harus membeli
barang dagangan tersebut, dari siapa mereka membelinya dan kapan mereka harus
membelinya.

Peritel harus mampu memprediksi barang dagangan apa yang harus mereka
beli, berdasarkan permintaan konsumennya. Hal tersebut dikarenakan, kesalahan
dalam memperkirakan tingkat permintaan konsumen terhadap suatu barang, akan
memberikan dampak negatif bagi ritel tersebut, seperti kerugian akibat banyaknya
barang yang tidak terjual, overstock, banyaknya barang dagangan yang rusak akibat
penyimpanan yang terlalu lama, dan lain-lain.

Perhitungan penting yang perlu dilakukan oleh peritel adalah membandingkan


antara jumlah barang dagangan yang terjual dengan jumlah barang yang tidak terjual
dalam satu periode tertentu. Perhitungan tersebut akan membantu peritel untuk
mengetahui seberapa cepat barang dagangan di toko tersebut cepat terganti. Hal
tersebut memungkinkan peritel untuk merencanakan proses pembelian secara lebih
akurat, dan dapat mengurangi kemungkinan ritel akan mengalami kelebihan ataupun
kekurangan stok persediaan.

Merchandising merupakan proses dimana peritel menentukan barang


dagangan apa yang akan dipilih untuk dijual di tokonya. Barang dagangan yang
dipilih tersebut, harus sesuai dengan tingkat permintaan konsumen terhadap barang
dagangan tersebut, jenis ritel tersebut, sesuai dengan penempatan produk tersebut
dalam benak konsumen, kemampuan supplier menyediakan barang dagangan
tersebut, biaya yang dianggarkan, tingkat persaingan dan faktor-faktor lainnya.
(Berman & Evans, 2004).

29
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

Menjual barang kepada pelanggan dan memberikan pelayanan terbaik


merupakan tujuan utama dari sebuah bisnis ritel (Utami, 2008a). Dengan begitu,
tingkat penjualan dalam bisnis tersebut akan meningkat. Maka dari itu, untuk
mencapai tujuan tersebut, peritel harus mampu membuat perencanaan dan
pengendalian dalam proses pembelian dan penjualan barang dan jasa yang ada
(Foster, 2008). Proses perencanaan dan pengendalian tersebutlah yang biasa disebut
dengan istilah pengelolaan barang dagangan atau merchandising. Pengelolaan barang
dagangan ini dilakukan untuk mengidentifikasi keinginan pelanggan terhadap produk
yang dijual dan menjaga ketersediaan barang tersebut bagi pelanggan (Sopiah, 2008).
Selain itu, pengelolaan barang dagangan juga bertujuan untuk memaksimalkan daya
tarik penjualan ritel.

Dalam proses pengelolaan barang dagangan, peritel akan dihadapkan pada


pembuatan keputusan untuk melakukan pembelian dari sekian banyak item barang
yang ditawarkan oleh banyak vendor. Proses pembelian tersebut berhubungan dengan
proses pengendalian barang dagangan, dimana hal tersebut akan berpengaruh
terhadap tingkat profitabilitas toko secara keseluruhan (Sopiah, 2008). Maka dari itu,
bisnis ritel yang tidak mampu mengorganisir proses pembeliannya dengan baik dan
sistematik akan mengalami kevakuman. Sehingga penting bagi peritel untuk
mengetahui “apa” yang bisa menarik perhatian konsumen, dan berapa harga yang
diinginkan konsumen untuk barang dagangan tersebut, untuk mendorong perusahaan
agar mampu mencapai kesuksesan. Ketika konsumen puas dengan pembelian yang
mereka lakukan, maka mereka akan melakukan pembelian ulang ke ritel tersebut.

Untuk menggunakan setiap peluang yang ada dalam bisnis ritel, biasanya
peritel menggunakan strategi micromerchandising atau cross merchandising.
Micromerchandising dilakukan dengan cara menyesuaikan alokasi ruang pada rak
untuk produk tertentu, untuk merespon permintaan konsumen terhadap barang
dagangan tersebut dan faktor-faktor lain yang mampu mempengaruhi tingkat
pembelian terhadap barang dagangan tersebut. Pendekatan dengan cara ini
memungkinkan peritel untuk menempatkan barang dagangan yang tepat pada toko
dan untuk konsumen yang tepat. Barang dagangan yang dipajang didalam toko harus
sesuai dengan konsumen toko tersebut atau akhirnya peritel hanya akan memiliki
“dead inventory”. Sedangkan cross-merchandising dilakukan dengan cara
menyediakan barang atau jasa komplementer untuk mendorong konsumen agar mau
membeli lebih. (Berman & Evans, 2004).

Kebijakan-Keijakan dalam Pengelolaan Barang Dagangan


Sukses atau tidaknya pengelolaan barang dagangan yang dilakukan oleh
peritel, tergantung dari pemahaman konsumennya mengenai kebijakan-kebijakan
yang ada, terkait dengan merchandising tersebut. Kebijakan ini dibuat untuk
memastikan bahwa konsumen memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa yang
menjadi ekspektasi mereka terhadap kegiatan pengelolaan barang dagangan yang
dilakukan oleh peritel. Berikut adalah kebijakan-kebijakan terkait dengan
pengelolaan barang dagangan tersebut:

30
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

a. Price points. Dalam rangka untuk menarik perhatian konsumen, maka


peritel membuat kebijakan price point. Price point ini berfokus kepada
penjualan produk dalam harga tertentu yang sudah menjadi ciri khas dari
ritel tersebut. Pertimbangan dalam penetapan poin harga ini didasarkan
kepada lokasi ritel tersebut beroperasi, pendapatan dan gaya hidup
konsumen pada lokasi tersebut. Misalkan, suatu ritel menjual barang
dagangan dengan rentang harga Rp. 150.000,- hingga Rp. 300.000,- karena
konsumennya merupakan golongan kelas menengah. Sehingga dengan
penggunaan price point ini, konsumen dapat mengukur sendiri daya beli
mereka terhadap suatu toko.
b.
c. Merchandise quality. Dalam beberapa ritel, biasanya mereka menyediakan
beberapa produk dengan kualitas berbeda dalam satu kategori. Dengan
begitu, kualitas yang berbeda juga akan menciptakan harga yang berbeda
juga. Dan yang perlu diperhatikan oleh peritel adalah menyediakan produk
dengan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.
d. Exclusivity of product. Dengan pendekatan ini, peritel dapat menjual
barang dagangannya dengan harga yang lebih tinggi, sehingga
penjualannya meningkat. Biasanya pendekatan ini dilakukan dengan
menyediakan barang dagangan dengan merek sendiri atau private label
merchandise. Dengan menggunakan private label tersebut, peritel bisa
mendapatkan penjualan yang tinggi, karena peritel tersebut terbebas dari
persaingan harga antara produk-produk dengan merek tertentu. Selain
menggunakan label sendiri, untuk meningkatkan kesan ekslusifitas ritel,
peritel juga dapat menjual produk-produk dengan merek nasional.
e. Variety. Apapun bentuk keanekaragaman produk yang disediakan oleh
peritel dalam tokonya, hal tersebut akan meyakinkan konsumen untuk
berbelanja disana. Ketika konsumen melihat bahwa ritel dapat
memberikan variasi produk yang cukup banyak, maka saat itu juga
konsumen yakin bahwa ritel tersebut dapat memuaskan kebutuhan
konsumen tersebut.
f. Timing of Introduction of Goods. Waktu pengenalan produk kepada
konsumen dapat mempengaruhi tingkat harga yang akan ditentukan
terhadap barang dagangan tersebut. Beberapa ritel sengaja meluncurkan
produk barunya lebih awal dari peritel yang lain, agar dikenal sebagai
pioneer atau ritel pertama yang mengeluarkan produk tertentu. Namun,
beberapa ritel sengaja menunggu waktu yang pas, yaitu ketika harga dari
pemasok menurun.
g. Assortment. Peritel harus dapat menentukan, bagaimana mereka menyusun
barang dagangannya. Sehingga konsumen akan tahu dengan jelas, apakah
produk yang dijual tersebut bervariasi dalam bentuk ataupun warna dan
ukuran, dan lain-lain.
h. Price policy. Dalam menetapkan harga, peritel dapat memilih, apakah ritel
tersebut akan menentukan harga yang sama dengan pasaran atau dibawah
harga pasar, atau bahkan diatas harga pasar. Beberapa peritel biasanya
hanya menerapkan satu strategi harga, untuk dijadikan sebagai positioning

31
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

mereka dalam benak konsumen. Meskipun tidak jarang, ada beberapa


peritel yang menetapkan harga disesuaikan dengan musim yang sedang
berjalan saat itu.

PENGORGANISASIAN PROSES PEMBELIAN BERDASARKAN


KATEGORI
Penentuan kategori barang yang harus dibeli tersebut penting untuk dilakukan
karena kategori tersebut merupakan dasar analisis yang digunakan untuk membuat
keputusan pembelian serta pengelolaan barang dagangan (Utami, 2008a).

Hierarki Barang Dagangan


Penetapan hierarki barang dagangan ini dilakukan untuk mempermudah peritel
mengelompokkan barang dagangannya. Hierarki barang dagangan atau merchandise
hierarchy ini berisi urutan-urutan kelompok barang dagangan yang disusun oleh
peritel dalam mengelola barang dagangannya (Utami, 2008b). Merchandise
hierarchy juga membantu peritel untuk mengidentifikasi dan mendata barang
dagangan yang ada di toko. Sistematikanya dimulai dari hirarki yang paling tinggi
hingga terendah, yaitu perusahaan, divisi, kategori, sub-kategori, segmen, sub-
segmen sampai item (SKU = Stock Keeping Unit).

Kategori
Secara umum, kategori dipahami sebagai kelompok barang, dimana barang
tersebut saling berhubungan dan pemakaiannya dapat saling disubtitusi (Introduction
to Retailing, 2005). Secara umum, Kategori diartikan sebagai keanekaragaman item
yang dilihat pelanggan sebagai pengganti untuk masing-masing kategori yang ada
(Utami, 2008a). Kategori barang dagangan ini biasanya berisi beberapa departemen
produk yang ditentukan oleh peritel untuk ditawarkan kepada pelanggannya (Lamba,
2003). Sehingga, dalam satu kategori barang, bisa saja ada beberapa departemen
produk berbeda yang penggunaannya dapat saling melengkapi. Dengan
pengkategorisasian seperti ini, peritel akan mengetahui jenis barang dagangan mana
yang memiliki tingkat penjualan yang bagus dan berpeluang untuk memberikan
investasi keuntungan di masa yang akan datang (Schroeder, 2007). Sehingga, peritel
tidak perlu menghabiskan biaya dengan menyediakan semua kategori barang
dagangan yang belum tentu akan memberikan keuntungan bagi pelanggan tersebut.
Dalam pengakategorian barang dagangan di toko, setiap kategori tersebut
memegang peran tertentu. Ada 4 (empat) peran yang dimiliki oleh kategori barang
dagangan (Ray, 2010), yaitu:
a. Destination category. Pada kategori ini, peritel berada di posisi sebagai
ritel yang paling dipilih oleh konsumen. Peritel menawarkan nilai-nilai
keunggulan dalam setiap kategori produk yang ada secara konsisten
kepada konsumen. Peran kategori ini membantu peritel untuk meraih
peluang pasar dan mencapai tingkat turnover yang diinginkan. Ketika
berbelanja produk kategori ini, biasanya konsumen tidak mau
menghabiskan banyak waktu untuk mengitari toko atau proses pembelian
lainnya.

32
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

b. Routine category/preferred category. Dalam kategori ini, peritel mencoba


menjadi penyedia produk untuk target konsumennya, dengan menawarkan
nilai-nilai persaingan yang mampu memberikan keuntungan, baik dalam
arus kas ataupun return on investment.
c. Occasional category. Pengadaan untuk kategori ini bersifat musiman.
Kategori ini memberikan nilai persaingan yang tinggi kepada konsumen.
Kategori ini juga berperan untuk membantu perusahaan dalam
memperlancar arus kas dan peningkatan turnover perusahaan.
d. Convenience category. Kategori ini biasanya meningkatkan citra ritel
dalam benak konsumen, sebagai ritel yang dapat dijadikan tempat one stop
shopping, sehingga konsumen tidak terpikirkan untuk membeli produk
ditempat lain untuk membeli produk dalam kategori ini. Kategori ini
berguna untuk meningkatkan marjin penjualan.

Manajemen Kategori
Manajemen kategori dapat diartikan sebagai “a retailer supplier process of
managing categories as strategic business units, producing enhanced results by
focusing on delivering customer value” (Ray, 2010). Dimana:
a. A retailer supplier process: manajemen kategori merupakan proses yang
mengkolaborasikan antara peritel dan supplier dimana mereka bersama-sama
mengembangkan rencana bisnis kategori, strategi harga, proses
keanekaragaman atau promosi untuk mencapai rencana bisnis dan dasar yang
berkelanjutan untuk sama-sama mengulas kinerja dari kategori tertentu.
b. Managing category as strategic business units producing enhanced result:
setiap kategori perlu dikelola sebagai bisnis yang terpisah. Dimana setiap
kategori tersebut memiliki omset, tingkat pertumbuhan dan target
keuntungan tersendiri. Sehingga hal tersebut nantinya akan memastikan
peritel dan supplier dapat mencapai peningkatan kinerja masing-masing.
c. Focusing on customer value: tujuan utama dari adanya manajemen kategori
ini adalah untuk memberikan nilai lebih kepada konsumen untuk setiap
kategori yang ditentukan berdasarkan perilaku pembelian konsumen tersebut
dan untuk menyediakan banyak pilihan produk yang sesuai dengan keinginan
konsumen dalam rentang harga tertentu.

Manajemen kategori ini biasanya digunakan peritel untuk meningkatkan


produktivitas ritelnya. Ini merupakan cara untuk mengelola bisnis ritel dengan cara
fokus terhadap kinerja dari setiap kategori produk yang ada, dibandingkan dengan
barang individual brand. Manajemen kategori ini menyusun setiap kategori produk
yang ada menjadi sebuah strategi unit bisnis yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumen dan dapat mencapai tingkat penjualan dan keuntungan yang telah
ditentukan. (Berman & Evans, 2004).
Manajemen kategori adalah proses yang dilakukan peritel untuk mengatur
bisnisnya dengan tujuan untuk memaksimalkan penjualan dan keuntungan dari
kategori barang yang ada (Utami, 2008b). Manajemen kategori ini merupakan konsep
ritel, dimana semua barang dagangan yang dijual dalam ritel tersebut, dibagi atau
diklasifikasikan kedalam sebuah kelompok produk atau kategori (Chiplunkar, 2011).

33
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

Berikut adalah beberapa alasan yang mendasari peritel dalam melakukan manajemen
kategori:
a. Manajer toko akan mudah mengidentifikasi sumber masalah yang terjadi
pada setiap kategori yang sudah dibuat, sehingga masalah yang terjadi
dapat diselesaikan dengan cepat.
b. Adanya manajemen kategori membuat peritel lebih mudah mengatur
keuangan secara maksimal.

PENGATURAN OBJEK DALAM RANGKA PERENCANAAN BARANG


DAGANGAN
Untuk mencapai kesuksesan finansial, maka peritel dituntut untuk mampu
merencanakan penerapan finansial pada kegiatan pengelolaan barang dagangan di
tokonya dengan baik. Hasil dari perencanaan tersebut dapat berupa cetak biru
(blueprint) pembelian untuk masing-masing kategori barang, dengan
mempertimbangkan tujuan finansial toko pada proyek penjualan dan aliran barang
dagangan yang ada (Utami, 2008a).
Perencanaan barang dagangan ini dilakukan untuk memberi gambaran kepada
bagian pembelian dan perencana finansial mengenai alokasi dana yang dibutuhkan
untuk setiap kategori yang ada. Dengan begitu, bagian pembelian dapat menentukan
apa dan berapa banyak jumlah barang yang akan dibeli untuk setiap kategori, untuk
kemudian menegosiasikannya dengan vendor mengenai harga barang dagangan
tersebut. Sedangkan, bagian perencanaan finansial dapat merencanakan alokasi dana
yang ada sesuai dengan kebutuhan pada setiap kategori yang ada.
Perencanaan finansial dilakukan agar perusahaan dapat mengetahui
keseluruhan pendapatan dan biaya yang dikeluarkan dalam suatu periode tertentu
secara spesifik. Selain itu, perencanaan finansial ini juga digunakan untuk
mengetahui tingkat keuntungan yang didapatkan oleh ritel tersebut. Dengan begitu,
peritel akan mampu mengawasi setiap kemajuan yang terjadi dalam pencapaian
tujuan perusahaan, estimasi kinerja keseluruhan dan peninjauan ulang setiap strategi
yang telah dilaksanakan perusahaan. (Berman & Evans, 2004).
Perencanaan terhadap penggunaan biaya yang didasarkan kepada kebutuhan
ritel dalam mengelola barang dagangan ini dapat memberikan beberapa dampak
positif terhadap keberlangsungan perusahaan, yaitu (Berman & Evans, 2004):
a. Peritel dapat menyesuaikan pengeluaran perusahaan dengan kinerja yang
diharapkan, dan biaya yang dianggarkan dapat diatur sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai. Sehingga nantinya hal tersebut akan meningkatkan
produktivitas perusahaan.
b. Sumber daya yang ada dapat dialokasikan kepada departemen atau produk
kategori yang sesuai dan tepat. Sehingga tidak ada sumber daya yang
terpakai sia-sia.
c. Pengeluaran untuk setiap departemen dan produk kategori yang ada dalam
ritel dapat terkordinasi dengan baik.
d. Adanya peningkatan efisiensi yang jelas, akibat terintegrasi dan
terstrukturnya perencanaan keuangan yang ada.
e. Adanya standar biaya yang telah ditentukan untuk setiap kegiatan
operasional toko.

34
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

f. Perusahaan memiliki data perbandingan antara planned budget dan actual


budget. Data tersebut dapat digunakan perusahaan untuk menganalisis dan
mengevaluasi pengeluaran biaya yang telah dilakukan.

Menetapkan Gross Margin Return On Investment


Untuk merencanakan dan mengevaluasi tingkat keberhasilan dari sebuah
bisnis ritel, biasanya peritel akan menggunakan penghitungan pengembalian
modal yang telah dikeluarkan (Utami, 2008a). Pengembalian modal yang
didapatkan peritel tersebut nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan
kembali bisnis ritelnya. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menghitung
nilai pengembalian modal:

𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖𝑎𝑛 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 = 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑙𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑥 𝑃𝑒𝑟𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑒𝑡


𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
= 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑋 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
= 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑒𝑡
Konsep dari Gross Margin Return On Investment (GMROI) hampir sama
dengan konsep pengembalian asset, hanya saja pada GMROI ini, margin laba
bersih digabungkan dengan pengembalian asset GMROI untuk selanjutnya
menentukan presentase margin kotor dan rasio/perbandingan dari penjualan
terhadap stok barang yang ada. GMROI ini merupakan perencanaan barang
dagang dan alat yang digunakan untuk membuat keputusan dalam rangka
mengidentifikasi dan mengevaluasi gross margin yang mampu dihasilkan dari
barang dagangan yang telah dijual (Pradhan, 2007). Berikut adalah rumus untuk
menentukan GMROI:

𝐺𝑀𝑅𝑂𝐼 = 𝑝𝑟𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑖 𝑚𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑘𝑜𝑡𝑜𝑟 𝑥 𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑠𝑡𝑜𝑘


𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑘𝑜𝑡𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
= 𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝑋 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙
𝑚𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑘𝑜𝑡𝑜𝑟
=
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑖𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖/𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙

a. Perhitungan Perputaran Modal


Angka perputaran modal kerja ini biasa digunakan peritel untuk
mengetahui kemampuan bisnis ritelnya dalam menggunakan modal kerja
untuk menciptakan penjualan (Kuswadi, 2006). Umumnya, para peritel
melakukan penghitungan terhadap rata-rata pengembalian modal secara
berkala, yaitu secara tahunan. Penghitungan pengembalian modal ini
dilakukan dengan cara:
𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
Pengembalian Modal = 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑟𝑖𝑡𝑒𝑙
Atau
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑏𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑢𝑎𝑙
Pengembalian Modal = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎

35
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

Rumus diatas digunakan, apabila peritel lebih memikirkan modal.


Namun, penghitungan untuk rasio penjualan dan stok nilai modal yang lebih
ditekankan kepada biaya, maka rumusnya adalah:

𝑃𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ
Rasio Penjualan – Persediaan = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎

b. Perhitungan Nilai Rata-Rata Modal


Untuk mengetahui nilai rata-rata modal yang dikeluarkan, maka peritel
dapat menghitungnya dengan menjumlahkan modal yang dikeluarkan setiap
bulannya, kemudian membaginya dengan jumlah bulan dalam satu periode
pengeluaran modal tersebut. Berikut rumus untuk menghitung nilai rata-rata
modal:
𝐵𝑢𝑙𝑎𝑛 1+𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 2+𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 3
Nilai Rata-Rata Modal = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛

Saat ini, kebanyakan peritel sudah tidak lagi menggunakan penghitungan


fisik untuk menentukan nilai rata-rata pengembalian modal. Hal tersebut
karena saat ini bagian penjualan mencatat setiap penjualan harian yang secara
otomatis mengurangi nilai dari persediaan yang ada. Penggunaan sistem
Point of Sales (POS) ini memungkinkan peritel untuk memperkirakan nilai
rata-rata inventaris secara akurat, dengan cara menghitung nilai rata-rata
inventaris setiap harinya selama satu tahun. Sistem POS ini lebih efisien,
karena adanya mesin khusus yang secara otomatis akan memproses
penjualan yang terjadi, sehingga setiap transaksi yang terjadi akan dicatat
secara computerized (Madaan, 2009).

Keuntungan Perputaran Modal yang Tinggi


Tidak jarang, para peritel menginginkan perputaran modal yang cepat. Hal
tersebut karena perputaran modal yang tinggi memberikan beberapa keuntungan
berikut (Davidson, Sweeney & Stampfl, 1984):
a. Meningkatkan volume penjualan.
Menurut (Kotler, 2000), volume penjualan merupakan barang yang terjual
dalam bentuk uang dalam jangka waktu tertentu, yang didalamnya terdapat
strategi pelayanan yang baik. Dengan perputaran modal yang tinggi,
perputaran barang dagangan di toko akan menjadi cepat. Dengan begitu,
ketersediaan barang untuk pelanggan akan selalu ada, sehingga mendorong
pelanggan untuk terus berkunjung ke toko. Hal tersebut, secara langsung akan
meningkatkan volume penjualan di toko tersebut. Selain itu, karena perputaran
barangnya cepat, maka toko hanya akan memesan barang kepada supplier
dalam jumlah sedikit namun dalam frekuensi yang sering. Sehingga perputaran
modal akan meningkat dan investasi modal menurun.

b. Resiko yang rendah terhadap keusangan dan turunnya nilai merek.

36
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

Apabila persediaan barang dagangan terjual dengan cepat, maka barang


dagangan tersebut tidak harus berada di gudang persediaan dalam waktu yang
terlalu lama. Sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan atau kecacatan
akibat penyimpanan yang terlalu lama, akan menurun. Selain itu, kerusakan
pada barang dagangan akan membuat nilai merek menurun, sedangkan
menurut Foster (2008) nilai merek pada barang akan mempercepat pembelian
barang tersebut yang dilakukan oleh pelanggan. Maka dari itu, ketika
perputaran inventaris cepat, maka kemungkinan nilai merek menurunpun kecil.

c. Mengembangkan etika moral staf penjualan.


Adanya barang dagangan yang baru dalam waktu yang cepat secara tidak
langsung mempengaruhi semangat pegawai dalam bekerja untuk mengurus
barang dagangan tersebut. Salespeople akan lebih senang bekerja ketika barang
dagangan yang mereka kelola adalah barang dagangan yang baru, dimana
pilihan untuk produk tersebut masih lengkap dan bukan produk yang usang.
Sehingga, ketika moral pegawai meningkat, maka mereka akan berusaha
sebaik mungkin untuk mencapai target penjualan yang telah ditentukan.
Dengan begitu, tingkat perputaran asset di toko akan lebih cepat lagi.

d. Menghasilkan lebih banyak profit untuk pengembangan pasar.


Ketika perputaran modal dalam toko tinggi, maka uang yang ada dalam
inventaris dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan peluang pasar, dengan
cara membeli lebih banyak barang dagangan lain. Misalkan peritel
memutuskan untuk membeli barang dagangan yang memang sedang tidak tren
dikalangan konsumen saat itu, sehingga peritel dapat membelinya dengan
harga yang lebih murah dari biasanya. Dengan persediaan barang tersebut, ada
dua pilihan yang dapat dilakukan oleh peritel, yaitu:
- Menyimpan persediaan tersebut hingga musimnya tiba.
- Menjual produk tersebut dengan harga murah dibawah harga normal.
Pada dasarnya, kedua pilihan tersebut dapat memberikan keuntungan
tersendiri bagi peritel. Karena dengan begitu, peritel dapat mengambil
keuntungan lebih besar dibandingkan penjualan normal. Dengan begitu,
penjualan dan gross margin yang didapatkan oleh peritel akan meningkat.

e. Penurunan biaya operasi.


Tingkat persediaan yang rendah akibat perputaran barang dagangan yang
tinggi membuat biaya pergudangan atau inventory menurun. Hal tersebut
berarti biaya operasi yang dikeluarkan oleh peritel dapat ditekan atau dengan
kata lain, biaya operasional toko menurun.

f. Peningkatan perputaran asset.


Ketika tingkat penjualan meningkat, maka perputaran asetpun ikut
meningkat. Hal tersebut secara langsung akan berakibat kepada pengembalian
asset.

Kelemahan Perputaran Modal yang Tinggi

37
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

Meskipun perputaran modal yang tinggi memberikan cukup banyak


keuntungan bagi peritel, namun perputaran modal yang terlalu tinggi juga akan
memberikan dampak burk bagi bisnis ritel itu sendiri. Berikut adalah kelemahan-
kelemahan dari perputaran modal yang tinggi (Davidson, Sweeney & Stampfl, 1984):
a. Volume penjualan yang rendah.
Untuk meningkatkan perputaran modal, tidak jarang beberapa ritel
memutuskan untuk membatasi kategori barang dagangan atau jumlah stock
keeping unit (SKU) yang ada dalam satu kategori. Dengan kategori yang
sedikit, pelanggan bisa saja kesulitan atau tidak menemukan barang yang
diinginkannya. Sehingga hal tersebut dapat membuat volume penjualan
menurun.

b. Peningkatan biaya dari barang yang terjual.


Untuk mendapatkan perputaran modal yang tinggi, maka peritel harus
membeli barang dagangan dalam jumlah yang kecil dengan frekuensi yang
sering. Dengan begitu, bagian pembelian tidak dapat mengambil keuntungan
dari jumlah diskon yang didapat dari pembelian tersebut. Sehingga biaya yang
dikeluarkan akan lebih besar, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan
untuk membeli barang dagangan dalam jumlah banyak.

c. Meningkatkan biaya operasi.


Ketika melakukan pembelian barang dagangan dalam jumlah yang besar,
peritel dapat mencapai tingkat skala ekonomis. Dimana biasanya pembelian
menjadi lebih murah dibandingkan membeli barang dagangan dalam jumlah
yang sedikit. Namun, dalam pembelian barang dagangan untuk jumlah yang
besar ataupun kecil, peritel tetap mengeluarkan waktu yang sama. Waktu yang
sama dalam mencetak faktur penjualan, penerimaan barang ataupun proses
pembayarannya. Sehingga hal tersebutlah yang meningkatkan biaya operasi
yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan.

PREDIKSI PENJUALAN
Salah satu komponen integral dari perencanaan barang dagangan adalah
penentuan prediksi penjualan. Prediksi penjualan dilakukan untuk menentukan
seberapa baik suatu kategori barang dagangan dapat terjual dalam periode waktu
tertentu (Levy & Weitz, 2004). Dengan membuat prediksi penjualan tersebut, peritel
sebenarnya mencari tahu tingkat permintaan pelanggan terhadap suatu barang,
sehingga peritel tersebut dapat merencanakan target penjualan yang perlu dicapai
sesuai dengan permintaan pelanggan tersebut (Mentzer & Moon, 2005). Untuk
mengetahui atau menentukan prediksi penjualan, peritel perlu mengetahui terlebih
dahulu mengenai siklus hidup kategori barang dagangan. Hal tersebut dikarenakan
biasanya penjualan produk ini selalu mengikuti siklus atau pola yang sudah ada
tersebut.

Siklus Hidup Kategori


Sebelum menyusun prediksi penjualan, peritel terlebih dahulu harus
mengetahui siklus hidup dari kategori barang dagangannya. Pada dasarnya,

38
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

siklus hidup produk ini menggambarkan tentang penjualan dan tingkat


profitabilitas sebuah produk dalam pasar tertentu (Cannon, William D
Perreault, & McCarthy, 2008). Dengan mengetahui siklus hidup kategori ini,
peritel akan mengetahui bagaimana kategori tersebut akan terjual. Selain itu,
peritel juga dapat mengidentifikasi dan mengawasi penggunaan biaya yang
perlu dikeluarkan selama siklus hidup kategori tersebut berlangsung (Blocher,
Chen, Cokins, & Lin). Siklus hidup kategori ini menggambarkan pola
penjualan kategori barang dagangan dalam periode waktu tertentu. Menurut
Kotler & Armstrong (2008) siklus hidup kategori ini dibagi dalam 4 (empat)
tahap, yaitu:
a. Pengenalan; periode dimana pertumbuhan penjualan akan sangat
lambat, karena pada tahap ini produk baru dikenalkan ke pasar. Selain
itu, selama masa pengenalan ini, peritel tidak akan mendapatkan
keuntungan, melainkan harus mengeluarkan biaya yang cukup besar
terutama menyangkut biaya promosi atau perkenalan produk.
b. Pertumbuhan; periode dimana produk mulai diterima oleh pasar dan
peritel mulai mengalami peningkatan keuntungan.
c. Pendewasaan; keadaan dimana produk mulai mengalami perlambatan
pertumbuhan penjualan, karena produk sudah diterima oleh sebagian
besar pembeli potensial. Selain itu, keuntungan yang didapatkan
peritel mulai menurun, karena bisnis ritel tersebut harus mengeluarkan
biaya untuk mempertahankan produk tersebut dalam pasar.
d. Penurunan; fase dimana produk sudah tidak laku lagi untuk dijual dan
keuntungan yang dihasilkan sangat kecil atau nyaris tidak ada.

Mengetahui posisi sebuah kategori dalam siklus hidupnya sangat


membantu peritel dalam memprediksikan penjualan yang akan datang.
Meskipun sebenarnya, posisi produk dalam suatu siklus hidup kategori tersebut
dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh pemasok
ataupun peritel itu sendiri. (Levy & Weitz, 2004).

Menyusun Prediksi Penjualan


Penyusunan prediksi penjualan dapat dilakukan dengan cara melakukan
penyesuaian terhadap penjualan di masa yang lalu untuk membuat proyeksi
penjualan di masa yang akan datang. Untuk menyusun prediksi penjualan
tersebut, maka dibutuhkan hal-hal berikut:
a. Sumber informasi mengenai level kategori. Sumber informasi ini
didapatkan dari bagian pembelian mengenai dari mana saja sumber
pengambilan keputusan pada toko tersebut.
b. Data penjualan pada periode sebelumnya. Dengan mengetahui
informasi mengenai penjualan pada periode sebelumnya, peritel dapat
mengetahui kategori produk apa yang memiliki tingkat profitabilitas
dan permintaan yang tinggi. Sehingga peritel tidak akan salah membeli
barang dagangan. (chapter 6 What To Buy).
c. Sumber yang diterbitkan. Sumber ini biasanya berupa kecenderungan
pelanggan dalam mengkonsumsi suatu barang secara umum. Sumber

39
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

data ini bisa didapatkan dari departemen perdagangan ataupun


perusahaan penyedia data.
d. Informasi pelanggan. Informasi pelanggan ini didapatkan melalui
pengukuran reaksi pelanggan terhadap persoalan barang dagangan,
dengan cara menanyakan langsung atau mengamati perilaku
pelanggan tersebut. Selain itu, informasi mengenai pelanggan ini bisa
didapatkan melalui staf ritel yang ada, karena mereka adalah orang
yang memiliki kontak langsung dengan pelanggan. Informasi ini dapat
dikumpulkan melalui wawancara.
e. Kelompok pemerhati. Kelompok ini merupakan kelompok kecil yang
diwawancarai oleh peritel dengan format tertentu. Dalam wawancara
tersebut kelompok pemerhati ini didorong untuk mengeluarkan sudut
pandang mereka dan memberikan tanggapan terhadap satu sama lain
dalam kelompok tersebut.
f. Persaingan toko. Peritel juga perlu tahu mengenai kondisi persaingan
yang ada disekitar tokonya, karena hal tersebut akan berguna untuk
dijadikan bahan pembuatan prediksi penjualan yang akan datang.
g. Prediksi level toko. Peritel harus mampu menanggapi segala hal yang
terjadi, berkaitan dengan peningkatan persaingan, pemenuhan pasar,
dan pola pembelian pelanggan. Hal tersebut dimaksudkan agar peritel
dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan secara efisien.
Sehingga, peritel juga mampu membuat prediksi penjualan
berdasarkan level toko tersebut.
h. Collaboration Planning Forecasting Replenishment (CPFR). CPFR
ini merupakan gabungan sistem manajemen persediaan, dimana peritel
dapat berbagi informasi dengan vendor. Sistem ini memuat databse
yang dapat diakses oleh berbagai vendor dan semua departemen yang
ada dalam bisnis ritel. Sistem teknologi ini mampu mengelola
inventaris dan penjualan dengan baik, sehingga margin kotor akan
meningkat dan inventaris dalam toko menurun, sehingga akhirnya
akan menghasilkan nilai GMROI yang tinggi.

Proses Perencanaan Keragaman


Rencana keanekaragaman adalah daftar yang berisi sejumlah barang dagangan
yang ingin dibeli oleh peritel dari beberapa kategori barang dagangan yang ada
(Utami, 2008a). Dalam menjalankan bisnisnya, peritel akan dihadapkan dengan
pembuatan keputusan mengenai penentuan keberagaman barang dagangan yang akan
ditawarkan kepada pelanggan. Pembuatan keputusan tersebut tidak jarang terhambat
oleh keterbatasan dana dan luas toko yang tersedia.
1. Langkah pengaturan arah merchandise
a. Melakukan analisis pasar dan menentukan segmentasi dan target
pasar.
Analisis pasar ini dilakukan untuk mengetahui peluang pemasaran
yang ada, untuk meningkatkan keuntungan bisnis ritel, dengan cara
memuaskan pelanggan (Ma'ruf, 2005). Untuk menganalisis pasar yang
dituju, peritel juga bisa menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT

40
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

(Strength, Weakness, Opportunity, Threat) ini merupakan analisis yang


biasa digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor internal dan
eksternal secara sistematis, yang nantinya akan dijadikan dasar perumusan
strategi bisnis ritel (Rangkuti, 2006). Setelah analisis pasar dilakukan,
maka peritel harus menentukan segmen pasar mana yang akan dibidik,
dan memilih pasar sasaran yang memiliki peluang terbesar untuk dilayani
oleh peritel tersebut (Kotler, 2005).
b. Menetapkan tujuan dan memutuskan kelompok barang dagangan
mana yang perlu mendapatkan perhatian lebih, berdasarkan tingkat
keinginan pembeli terhadap produk tersebut dalam pasar secara
umum.
c. Melakukan perencanaan keragaman barang (assortment plan),
merchandise category, dan bauran margin (margin mix) untuk setiap
peran kategori. Pada dasarnya, perencanaan keragaman, penentuan
kategori dan margin mix merupakan hal penting yang perlu dilakukan
sebuah bisnis ritel, karena dapat membantu peritel tersebut dalam
membuat keputusan pembelian terhadap barang yang ingin dibeli.
Selain membantu peritel dalam menentukan keputusan pembelian,
assortment plan juga dapat difungsikan sebagai dokumen yang berisi
tentang daftar barang dagangan yang akan dibeli dan disimpan
sebagai persediaan (Varley). Penentuan keragaman barang yang akan
ditawarkan harus bersifat fleksibel, dengan kata lain dapat diubah
sewaktu-waktu menyesuaikan dengan perilaku pembelian pelanggan
(Madaan, 2009).
d. Melakukan penjualan dan rencana barang dagangan secara umum.
e. Perencanaan pembelian dan sumber.
f. Logistik.

Setelah mengimplementasikan semua langkah tersebut, sebagai tindak


lanjut setelah pengevaluasian, maka peritel dapat melakukan beberapa hal
berikut:
a. Variasi, merupakan sejumlah kategori barang yang berbeda didalam
toko atau departemen. Variasi produk ini bisa juga dikatakan sebagai
sejumlah produk dengan versi yang berbeda-beda, yang ditawarkan
oleh peritel dalam waktu yang sama (Rao, 2008). Banyaknya variasi
produk yang ditawarkan oleh peritel akan membuat pelanggan lebih
leluasa untuk memilih barang yang diinginkannya, karena terdapat
banyak pilihan produk yang tersedia secara lebih spesifik.
b. Keberagaman, adalah sejumlah stock keeping unit (SKU) yang ada
dalam suatu kategori (Utami, 2008a). Keberagaman produk ini
ditentukan oleh peritel berdasarkan target pasar yang menginginkan
keberagaman produk tersebut (Lamb, Jr., & McDaniel, 2010).
Sehingga banyak atau tidaknya jumlah SKU yang disediakan peritel,
tergantung pada jumlah permintaan pelanggan terhadap produk
tersebut.

41
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

c. Ketersediaan Produk, dapat didefiniskan sebagai presentase


permintaan untuk beberapa SKU yang memuaskan. Ketersediaan
produk juga dapat berarti level pendukung atau level pelayanan.
Ketersediaan produk dalam bisnis ritel harus sesuai dengan tingkat
penjualan yang ada, sehingga pemenuhan kebutuhan pelanggan dapat
berjalan dengan baik (Sutardi & Budiasih, 2007). Apabila
ketersediaan produk selalu ada, maka pelanggan akan merasa puas
dengan pelayanan ritel tersebut.

Berman, B., & Evans, J. R. (2004). Retail Management A Strategic Approach:


Prentice Hall.
Blocher, Chen, Cokins, & Lin. Cost Management (Manajemen Biaya): Salemba
Empat.
Cannon, J. P., William D Perreault, J., & McCarthy, E. J. (2008). Basic Marketing, A
Global-Managerial Approach. Jakarta: Salemba Empat.
Chiplunkar, R. M. (2011). Product Category Management. New Delhi: Tata
McGraw-Hill.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung: Alfabeta.
Introduction to Retailing. (2005). Cape Town: Juta Academic.
Kotler, P. (2000). Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT Prenhallindo.
Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran: Jilid I dan 2. Jakarta: PT Indeks
Kelompok Gramedia.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Kuswadi. (2006). Memahami Rasio-Rasio Keuangan Bagi Orang Awam. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Lamb, C. W., Jr., J. F. H., & McDaniel, C. (2010). Essentials of Marketing: South-
Western.
Lamba, A. J. (2003). The Art of Retailing. New Delhi: McGraw-Hill
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Ma'ruf, H. (2005). Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Madaan, K. (2009). Fundamentals of Retailing. New Delhi: Tata McGraw-Hill.
Mentzer, J. T., & Moon, M. A. (2005). Sales Forecasting Management (A Demand
Management Approach). London: Sage Publications.
Pradhan, S. (2007). Retailing Management Text and Cases New Delhi: Tata
McGraw-Hill
Rangkuti, F. (2006). Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

42
Bab 3: Pengelolaan Barang Dagangan

Rao, T. H. (2008). Quantifying The Costs and Benefits of Product Variety On Key
Performance Measures A Simulation Study. University of Louisville,
Louisville.
Ray, R. (2010). Supply Chain Management for Retailling. New Delhi: McGraw Hill
Education Private Limited.
Schroeder, C. L. (2007). Specialty Shop Retailing (Everything You Need To Know To
Run Your Own Store). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Sopiah, S. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Sutardi, A., & Budiasih, E. (2007). Sediakan dan Hitung Stok agar Tak Kehilangan
Konsumen. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Indeks.
Varley, R. Retail Product Management: Routledge.

43
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

BAB 4
PENGELOLAAN HARGA DAN BARANG DAGANGAN

Tujuan

1. Memahami pentingnya penetapan harga dalam sebuah bisnis ritel.


2. Memahami strategi harga dalam bisnis ritel.
3. Memahami pengimplementasian strategi harga berdasarkan situasi pasar
dalam bisnis ritel.

Latar Belakang Penetapan Harga

Sekarang keputusan penentuan harga yang diambil oleh para peritel akan mengalami
kondisi yang teramat penting untuk dipertimbangkan. Hal ini disebabkan, karena
konsumen melihat bawa harga merupakan suatu nilai dari apa yang mereka bayar.
Nilai merupakan indikasi dari hubungan antara apa yang konsumen rasakan sebagai
manfaat dengan apa yang mereka korbankan.
Adapun tujuan dari penentuan harga yang ditetapkan oleh unit bisnis ritel,
dimaksudkan untuk mendapatkan marjin dan memberikan kepuasan pada konsumen
(Berman & Evans, 2010). Kendati demikian, tujuan dari panetapan harga, harus pula
diselaraskan dengan sasaran yang mesti diraih oleh perusahaan. Sebagai contoh
sebuah perusahaan ingin memnciptakan kesan bahwa perusahaannya merupakan
penjual yang memberikan harga murah dari produk yang dijualnya. Oleh karenanya
penentuan harga yang diambil tidak untuk meraih laba maksimal tetapi diharapkan
perusahaan dapat mencapai terget jumlah konsumen yang lebih banyak karena kesan
tadi. Dunne mengungkapkan bahwa tujuan dari penentuan harga yang diambil oleh
peritel, mungkin diorientasikan pada raihan keuntungan, pencapaian targey
penjualan atau orientasi lain yang terkait dengan usahanya (Dunne, Lusch, & Gable,
1995).
Harga yang diputuskan oleh peritel bisa berpengaruh jangka panjang untuk
kontinuitas usaha ritel. Harga suatu produk yang dijual bisa mempengaruhi kinerja
keuangan perusahaan dan berpengaruh pada persepsi konsumen tentang produk yang
dijual tersebut, juga dapat menolong perusahaan dalam mengenali posisi merek
produk yang dijual di pasar (Cravens, 1996). Disamping itu penentuan harga dapat
pula membentuk jenis konsumen serta tipe pesaing yang tertarik dengan usaha
ritelnya (Berman & Evans, 2010).
Penentuan harga yang diambil peritel, secara umum dipengaruhi oleh berbagai aspek
yang terkait dengan proses tersebut. Di bawah ini berbagai aspek yang berhubungan
dengan penentuan harga pada suatu bisnis (Cravens, 1996):

a. Strategi pemasaran;
b. Strategi produk;
c. Strategi distribusi;

44
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

Disamping penentuan harga yang rendah, upaya peritel dalam memenangkan


persaingan, mereka umumnya membangun strategi segmentasi, yaitu peritel
memberikan alternatif yang lebih banyak untuk produk ynag dijualnya dalam satu
kategori produk tertentu dan meningkatkan layanannya.

Strategi Penetapan Harga

Dalam memenangkan persaingan, harga adalah salah satu strategi yang dianggap
penting, khususnya dalam usaha ritel. Indikator kapasitas pelaku bisnis ritel untuk
mengelola operasional bisnisnya secara efisien, salah satunya akan muncul dalam
bentuk menekan biaya, yang kemudian akan memungkinkan peritel tersebut untuk
menentukan harga jual produk yang lebih rendah dari pesaingnya.

Jenis Strategi Penetapan Harga

a. Everyday Low Pricing (EDLP) strategy, merupakan strategi yang menekankan


kepada kontinuitas harga ritel pada level antara harga non-obral regular dan harga
obral diskon besar pesaing ritel (Utami, 2008b). Walaupun harga yang ditentukan
dianggap murah, tidak berarti bahwa harga tersebut merupakan harga yang paling
rendah, dibanding dengan harga ritel lainnya. Gambaran yang tepat untuk strategi
ini adalah strategi penetapan harga yang sama setiap hari (Levy & Weitz, 2004).
Berikut dijelaskan manfaat dari penggunaan strategi ini:
1) Mengurangi perang harga
Sejumlah pelanggan ragu akan kontnuitas harga jual yang ditetapkan oleh
peritel, oleh karenanya banyak konsumen yang menunggu dan menunda
pembelian mereka sampai adanya penjualan obral, hal inilah yang kemudian
menimbulkan perang harga diantara peritel. Untuk menghindari hal tersebut,
maka penetapan harga EDLP dilakukan. Strategi ini dimaksudkan agar
konsumen memiliki persepsi bahwa penetapan harga jual oleh peritel
merupakan harga wajar, sehingga konsumen memiliki sikap cenderung
melakukan pembelian secara rutin.
2) Mengurangi kegiatan advertising.
Penerapan EDLP ini memiliki kecenderungan stabilitas harga menjadi terjaga.
Kondisi inilah yang membawa konsekuensi pada ritel yang semakin efisien
karena diantaranya dapat mengurangi frekuensi periklanan misalnya dapat
mengurangai kegiatan pengulangan pemberian informasi harga dalam waktu
yang pendek, selain juga dapat lebih fokus pada penciptaan citra atau nilai
melalui harga.
3) Mengurangi stockout (kelebihan persediaan) dan meningkatkan
manajemen persediaan.
Pengaplikasian strategi EDLP dapat menahan permintaan terhadap penjualan
produk yang tinggi yang disebabkan frekuensi penjualan yang tinggi sebagai
akibat dari rendahnya harga. Oleh karenanya peritel bisa melakukan

45
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

menejemen persediaan dengan lebih baik, diantaranya adalah dapat


mengurangi persediaan barang dagangan yang berlebihan. Selain itu, pola
permintaan konsumen terhadap suatu barang dagangan dapat terprediksi,
sehingga memudahkan peritel untuk meningkatkan perputaran persediaan
dengan mengurangi rata-rata persediaan yang dibutuhkan oleh peritel ketika
melakukan promosi.

b. High/Low Pricing (HLP) strategy,


Merupakan strategi penetapan harga di atas harga EDLP pesaing, dengan cara
menggunakan iklan untuk mempromosikannya dengan frekuensi yang cukup
tinggi (Utami, 2008b). Levy mengungkapkan bahwa strategi ini mempunyai
beberapa manfaat sebagai berikut (Levy & Weitz, 2004) :
1) Barang dagangan yang sama memikat berbagai pasar.
Secara umum strategi ini diterapkan peritel pada kustomer yang kurang
sensitif terhadap harga. Misal produk fashion bisa menerapkan strategi harga
tinggi ketika produk tersebut masih modis dipandang dari sisi mode saat itu.
Sebaliknya untuk produk fashion yang sudah tidak modis, dapat diberlakukan
strategi harga rendah, sehingga kustomer yang berbeda tertarik dengan produk
yang sama.
2) Menciptakan “kesenangan” tersendiri dalam berbelanja.
Suasana yang terbentuk pada aktivitas penjualan obral kerap memberikan
kepuasan pada konsumen, hal ini disebabkan mereka terkesan dengan barang
yang dianggap harganya relatif murah. Disamping itu pada kegiatan obral
besar yang diselenggarakan oleh peritel selain memberikan berbagai hadiah
juga disertai dengan mendatangkan bintang tamu, sehingga konsumen mersa
terhibur dan senang ketika mereka berbelanja.
3) Mendorong pergerakan barang dagangan.
Penerapan strategi ini, memungkinkan kelompok produk dagangan yang
kurang laku dapat terjual pada aktivitas obral, walaupun dalam kegiatan ini
produk yang terjual belum tentu mendapatkan keuntungan yang cukup tinggi.
4) Penekanan terhadap mutu atau kualitas barang dagangan (merchandise).
Penetapan harga tinggi bagi konsumen kerap menjadi indikator bahwa produk
yang dijual memiliki kualitas tinggi, sehingga pada saat produk itu dijual
dengan harga “obral”, maka konsumen akan tetap merujuk pada harga awal
sebagai referensi dalam menilai mutu produk yang dijual tersebut.

Pendekatan Dalam Penetapan Harga

1. Metode Penetapan Harga Jual Impas


Metode ini merupakan cara penetapan harga yang mengacu pada biaya, yaitu
penetapan harga yang dilakukan dengan cara menambahkan prosentase tertentu
pada biaya dari produk yang dijual. Dalam keputusan penetapan harga jual
produk, elemen utamanya adalah marjin bersih, dimana marjin bersih ini
diperoleh dari prosentase marjin kotor (marjin kotor + penjualan bersih). Peritel
umumnya membuat ketetapan harga yang tinggi pada produk yang dijualnya,

46
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

sehingga pada saat produk tersebut dijual dengan harga rendah, maka peritel akan
tetap meraih marjinkotor yang relatif tetap dan dapat mencapai tingkat
keuntungan yang diharapkan. Levi dan Utami mengungkapkan bahwa ritel dapat
menentukan target volume jual tertentu dalam mencapai laba yang diinginkan
dengan menggunakan analisis pulang pokok (break even point analysis atau
BEP) (Levy & Weitz, 2004) (Utami, 2008b).

2. Metode Penetapan Harga yang Berorientasi Pada Permintaan


Metoda ini lebih mengacu pada permintaan dan kemauan pelanggan untuk
membayar produk yang diperdagangkan. Metode ini selalu didampingkan dengan
metode penetapan harga yang mengacu pada biaya. Fokusnya adalah pada
struktur laba dan efek yang ditimbulkan dari perubahan harga terhadap penjualan.
Metode ini dijalankan dengan melihat pada pola perubahan perilaku belanja
konsumen terhadap tingkat harga yang bervariasi. Selanjutnya dipilih harga yang
merujuk pada tingkat belanja yang diharapkan dapat diraih oleh peritel. Dalam
metode ini terdapat aspek psikologis yang menjadi pertimbangan peritel yakni
penetapan harga berdasarkan anggapan adanya relasi antara harga dengan mutu
produk dan penetapan harga untuk memenuhi status sosial atau gengsi (Utami,
2008b). Penentuan harga berdasarkan analisis permintaan konsumen dilakukan
peritel dengan cara menyediakan beberapa produk dengan harga yang berbeda
dalam suatu toko atau menyediakan produk yang sama dalam beberapa toko yang
berbeda. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi bagaimana respon konsumen
terhadap setiap harga yang ditentukan. Namun, cara tersebut tidak efisien,
sehingga, hal lain yang dapat dilakukan peritel adalah dengan merubah harga
produk pada ritelnya secara periodic atau sistematis. (Levy & Weitz, 2004).

3. Metode Penetapan Harga yang Berorientasi Pada Persaingan


Ritel yang bermaksud untuk melakukan perluasan pasar dalam segmen wilayah
tertentu, perlu mempertimbangkan penetapan harga rendah dalam bersaing pada
strategi penetapan harga produk yang dijualnya. Umumnya cara ini dilakukan
untuk sejumlah produk tertentu, terutama yang baru memulai usaha dan bertujuan
memasuki segmen pasar tertentu pula (Utami, 2008a). Strategi ini penetapan
harga didasarkan pada harga ritel pesaing, melalu penetapan harga di bawah,
sama atau bahkan diatas harga pesaing. Levy mengungkapkan bahwa upaya
memberikan layanan terbaik kepada konsumen, peritel diharapkan mampu
memberikan pengalaman berbelanja yang konsisten, baik dari segi pemasaran
maupun posisi harganya. Konsistensi harga dapat diketahui melalui analisis
terhadap data harga bersaing yang dikumpulkan dari kompetitor. Analisis ini
dimaksudkan untuk mengetahui peluang yang dapat dimanfaatkan oleh peritel
tersebut untuk memenangkan persaingan dan memenuhi kebutuhan konsumen
(Levy & Weitz, 2004).

47
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

Pembangunan Reputasi Harga

Reputasi harga merupakan aspek penting dalam pembentukan citra ritel dimata
konsumen. Oleh karenanya peritel perlu mempertimbangkan suatu strategi yang
komprehensif dan berkelanjutan untuk membangun reputasi harga tersebut. Berikut
akan dijelaskan lima hal yang bisa digunakan untuk membangun dan
mengembangkan reputasi harga:
a. Everyday shelf prices.
Kegiatan ini mencakup perubahan harga periodik dari produk yang ditampilkan
pada rak pajang. Reputasi harga yang menguntungkan akan terbentuk, pada saat
peritel dengan sungguh-sungguh melakukan kegiatan perubahan harga pada
setiap item dari produk yang dijualnya. Harga yang diubah harus mengikuti
ketentuan yang telah direncanakan oleh peritel.

b. Price communication
Ritel sebaiknya mengapresiasi informasi yang datang dari pelanggan, yang
terkait dengan harga dari setiap item produk yang ditetapkanya. Penyerapan
informasi akan berjalan efektif bila disertai dengan pengawasan khusus untuk
mengontrol agar informasi harga yang nyampe dari konsumen sesuai dengan
harga nyata yang dibayar konsumen tersebut.

c. Promotional Price.
Penetapan harga promosi secara konsisten dapat juga meningkatkan reputasi
harga suatu ritel. Promosi dapat menarik konsumen untuk mengunjungi ritel dan
melalui kunjungan tersebut, sangat mungkin konsumen melakukan pembelian
impulsif (pembelian tanpa rencana). Hal ini terjadi karena, proses penyadaran
adanya kebutuhan terjadi ketika produk tersebut nampak terpajang di rak di depan
matanya.

d. Per unit Prices.


Harga setiap item produ yang dijual peritel sebaiknya diinformasikan secara jelas
kepada konsumen. Kesalahpahaman yang terjadi dari pihak konsumen kerap
diakibatkan karena kurang jelasnya informasi ini. Konsumen cenderung menduga
bahwa harga yang tercantum adalah harga satu paket produk yang dijual, padahal
mungkin harga itu dimaksudkan untuk setiap item saja.

e. Know value item prices


Pemahaman konsumen terhadap nilai suatu produk yang dijual peritel akan dapat
diperkuat ketika konsumen tersebut mengetahui dengan yakin bahwa harga
barang yang ditawarkan sebanding dengan manfaat yang didapat dari produk
tersebut.

48
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

Gambar 7.1. Lima Komponen Pembentuk Reputasi Harga


Sumber : Levy dan Weitz, 2004

EVERYDAY PRICE
SHELF PRICES COMMUNICATI
ON

PRICE
REPUTATIO
PROMOTIONAL PER UNIT PRICES
N
PRICE

KNOW VALUE
ITEM PRICES

Penyesuaian Harga

Penyesuaian harga dapat dilakukan oleh peritel dengan cara menurunkan harga dari
harga awal (markdown). Cara ini merupakan jenis diskriminasi harga level kedua
dengan dasar bahwa harga yang lebih rendah dapat merangsang konsumen yang
sensitif terhadap harga untuk membeli lebih banyak produk, sehingga volume
penjualan menjadi meningkat. Penyesuaian model ini umumnya dilakukan guna
penetapan harga yang lebih rendah dari pesaing, menyiasati persediaan yang
berlebihan, dapat menghabiskan produk yang sudah lama tidak terjual, serta
meningkatkan selera konsumen untuk mengunjungi toko, (Levy & Weitz, 2004).
Cara lain strategi penyesuaian harga yang kerap digunakan peritel adalah merubah
harga jual produ menjadi lebih tinggi dari harga sebelumnya (additional markup).
Kondisi ini dilakukan karena tingkat permintaan terlalu tinggi, sehingga peritel harus
mengeluarkan biaya yang lebih besar (Berman & Evans, 2010). Selanjutnya
penyesuaian harga dengan cara memberikan potongan tertentu bagi pegawai yang
bekerja pada ritel tersebut (employee discount). Potongan harga ini berlaku untuk
semua item produk yang dijual dan memberi kesempatan pada pegawai untuk
membeli produk secara obral sbelum produk tersebut dijual secara umum. Cara
penyesuaian harga seperti ini tidak memberikan efek bagi mekanisme ritel tetapi
akan berdampak pada moral pegawai ritel tersebut (Berman & Evans, 2010).

49
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

Strategi Diskriminasi Harga

Secara umum strategi ini dijalankan pada saat peritel bermaksud memberi beban
yang lebih terhadap konsumen, sesuai dengan kemampuan mereka dalam membayar
produk yang mereka beli. Pelaksanaan diskrimasi harga ini harus berdasarkan pada
segmen pasar yang berbeda. Misal untuk kelompok konsumen golongan atas, ritel
dapat menetapkan harga yang lebih tinggi, sementara untuk golongan konsumen
yang sensitif terhadap harga ritel mngenakan harga yang lebih rendah. Kendati
demikian menurut Levy strategi ini tidak dapat diberlakukan untuk ritel yang
memiliki 20.000 SKU dengan harga yang terpajang pada setiap rak item produk yang
dijual (Levy & Weitz, 2004). Berikut akan dijelaskan beberapa strategi yang umum
digunakan pada penerapan sistem diskriminasi harga:
1. Kupon
Strategi ini dilaksanakan dengan memberikan potongan harga untuk item
tertentu, pada saat konsumen membeli produk. Hal ini diharapkan dapat memberi
insentif tertentu bagi mereka yang snsitif terhadap harga, sehingga mereka
membeli lebih banyak produk. Kupon dapat diberikan kepada konsumen melalui
koran, tertera dalam produk yang dibeli, kasir atau melalui surat elektronik (Levy
& Weitz, 2004)
Berikut adalah beberapa alasan peritel menggunakan kupon:
a. Untuk menstimulasi konsumen agar mau mencoba produk ritelnya untuk
pertama kali.
b. Membuat pengalaman pertama tersebut menjadi hal yang dapat mendorong
konsumen untuk menjadi konsumen regular untuk produk yang diberi kupon
tersebut.
c. Mendorong pembelian dalam jumlah besar.
d. Meningkatkan penggunaan atas barang yang dijual tersebut.
e. Mempertahankan pasar sasaran yang telah ada dari pesaing.
Penggunaan kupon dalam sebuah ritel memberikan dampak positif dan negatif.
Dampak positifnya adalah penggunaan kupon mendorong terciptanya pembelian
dalam jumlah besar. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya biaya lebih
yang dikeluarkan oleh peritel selama proses penukaran kupon.

2. Rabat
Rabat merupakan bagian dari harga pembelian yang dikembalikan kepada
konsumen. Tidak seperti kupon, rabat tidak membebani ritel dengan biaya
penanganan khusus. Sehingga, pemberian rabat ini dianggap lebih
menguntungkan bagi peritel, karena dapat memberikan keuntungan yang sama
dengan penggunaan kupon, tetapi tidak ada biaya penanganan yang perlu
dikeluarkan ritel. (Levy & Weitz, 2004).

3. Price bundling,
Strategi pengkombinasian beberapa produk yang berbeda, untuk dijual dalam
satu paket harga. Misalkan, peritel menjual satu paket kamera dan
perlengkapannya, seperti baterai, lensa kamera, dan tripod untuk harga RP.

50
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

9.000.000. Strategi ini akan meningkatkan penjualan secara keseluruhan dan


dapat memberikan diskon kepada konsumen dibandingkan dengan pembelian
produk yang dilakukan secara terpisah. Namun, kelemahan dari strategi ini
adalah kurangnya kepekaan peritel terhadap kebutuhan konsumen yang berbeda-
beda. (Berman & Evans, 2010).

4. Multiple unit pricing


Strategi ini hampir sama dengan price bundling, tetapi barang dan jasa yang
digabungkan merupakan produk yang sama. Strategi tersebut menyediakan
diskon tertentu untuk setiap pembelian dua atau lebih produk. Dengan begitu,
konsumen akan terdorong untuk melakukan pembelian dalam jumlah yang lebih
banyak dari biasanya. Strategi ini membantu peritel dalam meningkatkan
perputaran persediaan. (Cox & Brittain, 2004).

5. Variable pricing
Merupakan strategi diskriminasi harga, dengan merubah harga jual produk,
didasarkan pada perubahan yang terjadi dalam tingkat permintaan dan biaya yang
dikeluarkan pada produk tertentu, (Dunne). Penggunaan strategi ini juga
memungkinkan peritel untuk memberikan promo spesial pada konsumen melalui
penjualan yang dilakukan. Strategi ini biasa digunakan untuk produk yang
bersifat musiman, seperti bunga atau makanan seperti coklat. Produk-produk
tersebut akan lebih laku ketika Hari Ibu atau Hari Kasih Sayang. (Berman &
Evans, 2010).

Strategi Peningkatan Penjualan

Terdapat tiga strategi untuk meningkatkan penjualan tanpa mengunakan


diskriminasi harga, antara lain:
1. Leader Pricing
Dalam strategi ini, ritel menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga
normalnya untuk item tertentu. Beberapa ritel bahkan menetapkan strategi loss
leader, dimana peritel menjual item tertentu di bawah biaya yang sebenarnya. Hal
ini dilakukan oleh Carefour di Indonesia yang menetapkan produk-produk
elektronik dengan harga dibawah normal dan bahkan tidak mendapatkan margin
keuntungan sama sekali, hal ini dilakukan untuk membangun strategi leader
pricing. (Utami, 2008a).
Strategi ini biasanya digunakan oleh peritel untuk produk yang biasa dibeli
konsumen dalam frekuensi yang tinggi, memiliki merek yang sudah cukup
terkenal atau merupakan produk dengan merek nasional, dan memiliki perputaran
yang cepat. (Berman & Evans, 2010).
Leader pricing ini sebenarnya merupakan salah satu aktivitas promosi yang
digunakan peritel untuk meningkatkan jumlah kunjungan di tokonya. Dalam
penggunaan strategi ini, peritel perlu mewaspadai kecenderungan konsumen
untuk hanya membeli item leader saja. Peritel juga harus mampu mengarahkan

51
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

konsumen untuk membeli produk-produk lain, agar ritel tersebut tetap


mendapatkan keuntungan yang stabil. (Dunne et al., 1995).

2. Price Lining
Dalam strategi ini, peritel menjual beberapa lini produk tertentu, dimana harga
untuk setiap itemnya berbeda-beda, dan untuk setiap harga tersebut, jumlah
produk yang disediakan dibatasi. Misalkan, peritel menjual kemeja dengan harga
Rp. 50.000, Rp. 75.000, dan Rp. 100.000. Dengan begitu, maka konsumen akan
memiliki beberapa pilihan untuk satu produk yang sama. Selain itu, dengan
penerapan strategi tersebut, maka konsumen juga akan dapat membandingkan
kualitas produk, berdasarkan tingkat harga yang ditetapkan. (Morgenstein &
Strongin, 1992).
Rentang harga yang ditentukan dalam strategi ini diusahakan memiliki perbedaan
yang cukup besar, sehingga konsumen akan dengan mudah membandingkan
perbedaan nilai atau kualitas dari produk tersebut. Peritel harus mampu memilih
lini harga yang memiliki tingkat permintaan paling kuat. Dengan membatasi lini
harga yang ada, peritel mampu memperluas keberagaman barang dagangannya,
sehingga dapat meningkatkan penjualan dan mengurangi penurunan harga.
(Dunne et al., 1995).

3. Odd Pricing
Strategi penentuan harga dengan cara menaruh angka ganjil pada bagian akhir
harga. Bagi konsumen yang sensitif terhadap harga biasanya membaca harga dari
depan, sehingga harga produk memberi kesan lebih murah dibanding kalo harga
tersebut dibulatkan ke atas, misal harga Rp.500.000, dibuat dalam harga 499.999
(Cox & Brittain, 2004).
Beberapa peritel beranggapan bahwa penggunaan strategi ini mampu
meningkatkan jumlah penjualan secara signifikan. Hal tersebut karena penetapan
strategi ini membuat konsumen berpersepsi bahwa harga yang ditetapkan lebih
murah dibandingkan harga yang lain. Karena reputasi penetapan harga dengan
strategi harga ganjil ini terkenal dengan harga yang murah, maka penggunaannya
biasa diterapkan pada tingkat harga yang berada dibawah pasaran atau sama
dengan harga pasaran yang ada. (Dunne et al., 1995).

Permasalahan Penetapan Harga yang Terjadi antara Ritel Besar dan


Ritel Kecil

Metode penjualan yang berbeda memungkinkan penentuan harga yang berbeda,


secara khusus hal ini mengacu pada pemberian potongan. Pemberian potongan
fungsional merupakan penetapan harga yang berbeda atau pemberian prosentase
potongan harga ritel yang disarankan yang selanjutnya diberikan pada konsumen
dalam berbagai level pedagang (contoh, penetapan harga yang berbeda untuk tingkat
pedagang besar, grosir dan eceran). Seiring dengan pertumbuhan jaringan ritel besar,
dan dalam konteks memberikan perlindungan bagi ritel-ritel kecil, maka pemberian

52
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

diskon fungsional sulit dibenarkan. Berikut adalah strategi penetapan harga yang
biasa dilakukan oleh peritel besar:
1. Predatory Pricing
Merupakan bentuk dari diskriminasi harga, dimana peritel besar menetapkan
harga pada tingkat yang sangat rendah atau dibawah biaya. Namun penggunaan
strategi tersebut justru cukup merugikan para peritel kecil. Hal tersebut karena
ritel kecil tidak mampu menyaingi peritel besar yang menggunakan predatory
pricing tersebut. (Berman & Evans, 2010). Di beberapa negara, penggunaan
strategi ini dianggap ilegal, karena perusahaan menjual produknya dengan harga
yang sangat rendah dan tidak masuk akal. Meskipun begitu, pada umumnya
peritel berhak menentukan berapapun harga yang ingin mereka berikan untuk
setiap barang dagangannya, selama penetapan harga tersebut tidak bertujuan
untuk mematikan persaingan. (Levy & Weitz, 2004).

2. Vertical Price-Fixing
Strategi ini dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam penetapan harga
barang dagangan, antara pihak-pihak tertentu yang berada pada level berbeda
dalam sebuah saluran pemasaran yang sama. Misalkan, pembuatan perjanjian
antara peritel dan vendornya. (Utami, 2008b).
Strategi ini biasanya diterapkan dengan cara: membuat daftar harga barang
dagangan, mencetak harga pada produk yang akan dijual, manufaktur atau vendor
menetapkan harga reguler yang dapat diterima oleh konsumen, menggunakan
sistem penjualan konsinyasi ataupun meminjamkan fasilitas tertentu untuk
peritel ketika menjual produk tertentu. (Berman & Evans, 2010).

3. Horizontal Price Fixing


Strategi ini merupakan perjanjian yang terjadi antara sesama peritel yang saling
berkompetisi satu sama lain, untuk menetapkan harga suatu produk dengan harga
yang sama. (Levy & Weitz, 2004). Penetapan strategi ini bertujuan untuk
menahan adanya kompetisi yang terjadi antara ritel-ritel yang mengadakan
perjanjian tersebut. (Morgenstein & Strongin, 1992).

4. Iklan Harga Komparatif


Iklan harga komparatif dilakukan dengan cara membandingkan harga barang
dagangan untuk obral dengan harga regular yang cukup tinggi atau harga yang
tertera dalam list price pabrik. (Utami, 2008a).
Harga reguler, atau yang biasa disebut price referrence, biasanya digunakan oleh
konsumen sebagai harga asli untuk dibandingkan dengan harga setelah diskon.
Strategi ini memungkinkan konsumen untuk membandingkan harga yang ada,
dan berpersepsi bahwa barang dagangan tersebut adalah barang yang cocok untuk
dibeli. (Levy & Weitz, 2004).

5. Taktik Bait and Switch (BAS)


Bait and Switch (BAS) merupakan strategi penetapan harga yang melanggar
hukum. Hal tersebut dikarenakan BAS ini memancing konsumen untuk datang
ke toko (bait) dengan tujuan agar konsumen tersebut mau membeli barang, yang

53
BAB 4: Pengelolaan Harga dan Barang Dagangan

sebelumnya diiklankan dengan harga yang rendah, untuk kemudian didorong


untuk melakukan pengalihan pembelian (switch) kepada produk dengan harga
yang lebih tinggi. (Utami, 2008a).
Ketika konsumen terpancing untuk datang ke toko dan membeli barang sesuai
dengan yang diiklankan (harga barang murah), maka peritel akan mengatakan
bahwa barang tersebut sudah habis terjual atau memiliki kualitas yang buruk.
Setelah itu, peritel tersebut akan menyarankan konsumen untuk membeli produk
pengganti, yang harganya lebih mahal, dari produk yang diiklankan. (Berman &
Evans, 2010).

6. Scanned Vs Posted Price


Harga barang yang terpajang dengan harga di kasir kadang-kadang berbeda, hal
tersebut karena harga yang dipajang biasanya adalah harga satuan. Sedangkan
barang yang dipajang kadang dibandel dalam jumlah lebih dari satu. (Utami,
2008a). Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut, peritel perlu menetapkan
seorang kordinator yang secara khusus bertanggung jawab untuk mengawasi
setiap kegiatan yang berhubungan dengan penetapan harga. Nantinya, kordinator
tersebut akan secara rutin melakukan audit harga setiap harinya untuk beberapa
unit barang dagangan. Misalkan, dalam satu hari, kordinator tersebut dapat
melakukan audit harga terhadap 50 item barang dagangan yang ada dan
seterusnya. Hal yang perlu diperhatikan oleh peritel, pedagang besar dan
manufaktur adalah tentang konsistensi harga yang mereka tetapkan. Perbedaan
harga yang terjadi akibat ketidakkonsistenan mereka, dapat mengundang
ketidakpastian dan keraguan dari konsumen untuk membeli produk dari ritel yang
bersangkutan. (Levy & Weitz, 2004).

Daftar Pustaka
Berman, B., & Evans, J. R. (2010). Retail Management (A Strategic Approach):
Prentice Hall.
Cox, R., & Brittain, P. (2004). Retailing Introduction. Inggris: Pearson Education.
Cravens, D. W. (1996). Pemasaran Strategis: Erlangga.
Dunne, P., Lusch, R., & Gable, M. (1995). Retailing: South-Western Publishing Co.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Morgenstein, M., & Strongin, H. (1992). Modern Retailing (Management Principles
& Practices). New Jersey: Prentice Hall.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Indeks.

54
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

BAB 5
BAURAN KOMUNIKASI RITEL

Tujuan:

1. Memahami strategi komunikasi dalam mengembangkan merek dan


menciptakan kesetiaan pelanggan
2. Memahami metode komunikasi dengan pelanggan
3. Menjelaskan tentang kerja sama komunikasi antara ritel dengan vendor
4. Memilih media komunikasi serta menentukan frekuensi dan waktu yang
paling tepat dalam menjalankan aktivitas komunikasi dengan pelanggan.

Pendahuluan

Dalam menciptakan keunggulan strategis dan membangun loyalitas pelanggan,


peritel perlu menciptakan citra yang berbeda terhadap merek tokonya (Utami,
2008a). Citra tersebut dikembangkan secara konsisten melalui program komunikasi.
Dengan komunikasi, suatu organisasi akan terlibat dengan berbagai khalayak untuk
menyampaikan pesan yang signifikan dan mendorong khalayak tersebut
memberikan respon berupa sikap dan perilaku (Munandar, 2016). Sehingga, dalam
prosesnya orang yang telibat dalam komunikasi akan saling mempengaruhi
(Hermawan, 2012).

Komunikasi yang dilakukan dalam ritel, biasanya berbentuk promosi. Dimana peritel
memberi penjelasan tentang produk dan toko nya untuk meyakinkan pelanggan
(Alma, 2004). Penjelasan tersebut akan menjadi pertimbangan bagi konsumen ketika
akan mengunjungi toko. Konsumen akan mengunjungi toko setelah mengetahui
informasi tentang keberadaan toko, lokasi toko, serta informasi tentang barang yang
dijual, termasuk didalanya informasi tentang harga, pelayanan, dan waktu buka toko.
Semua informasi ini dapat sampai kepada target konsumen melalui program promosi
(Foster, 2008). Promosi penting dilakukan untuk memperlihatkan eksistensi toko
dan menunjukkan kesiapan dalam melayani. Hal ini dapat menunjukkan bahwa toko
proaktif, bukan hanya sekedar memajang barang dagang (Sujana, 2012). Lebih dari
itu, promosi bukan hanya sekedar menginformasikan toko dan produk, namun juga
aktivitas menarik dan membujuk konsumen untuk membeli (Dunne, Lusch, &
Gable, 1995), yang kemudian akan mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku
konsumen terhadap toko ritel (Foster, 2008).

Menggunakan Komunikasi untuk Mengembangkan Merek dan


Membangun Kesetiaan Pelanggan
Peritel dapat mengkomunikasikan banyak hal terhadap pelanggan sasarannya.
Namun, hal utama yang perlu dikomunikasikan adalah keberadaan merek, baik nama
toko maupun nama produk (Utami, 2008a). Semakin tinggi kesadaran konsumen
terhadap nama produk, komitmen konsumen dari merek tersebut pun akan semakin

55
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

meningkat (Hermawan, 2012). Sehingga posisi merek ritel di benak konsumen akan
semakin kuat.

Merek merupakan simbol pembeda, yang akan memberi ciri bagi produk ritel dan
membedakannya dengan produk ritel kompetitor (Utami, 2008a). Dalam bisnis ritel,
merek diartikan sebagai merek ritel itu sendiri, yakni merek produk yang ditawarkan
kepada konsumen. Adapun Barry & Evans (1989) mengartikan merek dalam
persepektif ritel sebagai sebuah janji kepada pelanggan atas semua yang konsumen
amati yang juga mewakili banyak hal, termasuk kualitas dan citra pemakainya
(Aaker, 1991).

Ketika merek dapat diterima dengan baik, hal ini akan mendorong kepada loyalitas
konsumen. Yang kemudian akan mengarahkan konsumen untuk merekomendasikan
produk kepada pihak lain dan memunculkan pembelian berulang di waktu
mendatang (Foster, 2008). Namun, untuk membuat konsumen menerima merek
dengan baik, peritel perlu mengkomunikasikan komponen-komponen merek dan
citra perusahaannya secara jelas, konsisten, dan khas (Foster, 2008). Untuk mencapai
hal tersebut, peritel perlu mengadakan berbagai program promosi yang dilakukan
secara incidental dan berkelanjutan (Sujana, 2012).

Nilai yang ditawarkan melalui citra merek


Merek menawarkan nilai kepada konsumen serta kepada ritel itu sendiri. Mulai dari
menginformasikan bauran ritel yang akan dijumpai ketika berlangganan, hingga
mempengaruhi persepsi pelanggan atas keputusannya untuk membeli barang dagang
di suatu ritel (Utami, 2008a). Untuk menjadikan merek ritel kuat, diperlukan citra
merek. Citra merek ini dibutuhkan karea sifatnya yang relatif konsisten dalam jangka
panjang (Philip Kotler, 2002). Adapun unsur utama yang dapat membangun citra
merek dalam ritel, terdiri dari: merchandise, keamanan dan kemudahan dalam
menjangkau lokasi, layanan utama pada segmen tertentu, pelayanan, pramuniaga,
kepribadian toko (terdiri dari: tulus, berkompeten, menarik, lengkap, canggih),
fasilitas, store ambience, dan promosi (Sopiah & Syihabudin, 2008).

Nilai yang diberikan oleh citra merek kepada suatu ritel dinamakan ekuitas merek
(brand equity). Citra merek yang kuat sangatlah menguntungkan bagi peritel. Peritel
dapat memposisikan mereknya (Foster, 2008) dalam tempat ceruk (niche) relatif
terhadap pesaing (Barry & Evans, 1989). Sehingga, peritel dapat menetapkan harga
premium dan tidak perlu lagi mengandalkan promosi untuk menarik pelanggan
(Utami, 2008a)

Membangun Ekuitas Merek


Ekuitas merek merupakan sejumlah asset dan liabilitas yang berhubungan dengan
suatu merek, nama, dan simbolnya serta dapat meningkatkan atau mengurangi nilai
dari suatu produk (Aaker, 1991). Ekuitas merek juga merupakan istilah yang
digunakan untuk mewakili pandangan subjektif konsumen dan unsur intangible dari

56
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

merek (Foster, 2008) serta menjelaskan aspek deskriptif dalam bentuk simbol,
imagery, atau asosiasi konsumen (Temporal & Trott, 2002). Fungsi nilai dari ekuitas
merek ini, dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu dari sisi pelanggan dan perusahaan.
Untuk pelanggan, ekuitas merek memberikan nilai kepada pelanggannya dengan
memperkuat pemahaman mereka terhadap proses informasi, meningkatkan rasa
percaya diri dan pembelian, serta memperkuat kepuasan mereka. Sedangkan bagi
perusahaan, nilai ekuitas merek dapat meningkatkan program pemasaran untuk
menarik konsumen baru dan mempertahankan konsumen lama (Hermawan, 2012).
Adapun aktivitas yang dapat dilakukan oleh peritel untuk membangun ekuitas
merek, adalah:

1. Meciptakan kesadaran merek


2. Mengembangkan asosiasi nama merek yang menyenangkan (brand name)
3. Memperkuat citra merek secara konsisten (brand image)

Menciptakan Kesadaran Merek


Kesadaran merek diartikan sebagai kemampuan calon konsumen untuk mengenali
atau mengingat merek sebagai bagian dari jenis produk tertentu (Utami, 2008a).
Ketika merek dipresentasikan kepada konsumen, beberapa kesadaran (awareness)
dari ingatan nya (aided recall) akan muncul dan memperlihatkan bahwa mereka
mengetahui merek terebut. Mereka dapat mengingat merek tersebut hingga tingkat
kesadaran paling tinggi (top-of-mind awareness) yang timbul ketika konsumen dapat
menyebut suatu merek pertama kali atas pertanyaan tentang jenis ritel maupun
kategori barang (Utami, 2008a)

Mengembangkan Asosiasi
Untuk membangun ekuitas merek, peritel perlu membangun kesadaran merek
terlebih dahulu. Setelah kesadaran merek muncul, asosiasi antara pelanggan dan
merek pun akan semakin menguat (Hermawan, 2012). Pada dasarnya, nilai yang
mendasari suatu merek disebabkan oleh asosiasi-asosiasi khusus yang berkaitan
dengan merek tersebut, yang kemudian memunculkan sikap positif terhadap suatu
merek (Foster, 2008). Sehingga asosiasi merek dapaat diartikan sebagai segala
sesuatu yang berkaitan dengan merek yang ada dalam ingatan seorang pelanggan
(Utami, 2008a)

Asosiasi yang dapat dikembangkan oleh peritel melalui nama merek diantaranya:

 Asosiasi terhadap kategori barang dagang


Jenis asosiasi ini merupakan yang paling umum, seperti pada Makro yang
memberikan merek Q-bis untuk produk kebutuhan kantor. Sehingga
pelanggan bisnis dapat mengasosiasikan merek Q-bis dengan kebutuhan
bisnisnya.
 Asosiasi terhadap harga dan mutu
Contoh dari asosiasi ini adalah Wal-Mart yang mengasosiasikan produknya
sebagai produk yang murah dan bernilai baik.
 Asosiasi terhadap manfaat atau atribut tertentu

57
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Ritel mengasosiasikan dirinya dengan manfaat atau atribut tertentu, seperti


pada Hypermart yang mengasosiasikan toko nya sebagai ritel yang
memberikan kenyamanan (convenience). Atribut tertentu pun seringkali
digunakan oleh peritel, seperti layanan pribadi yang memuaskan.
 Asosiasi terhadap gaya hidup atau aktivitas
Beberapa ritel pun sering mengasosiasikan dirinya dengan gaya hidup atau
aktivitas tertetntu. Seperti ritel And-1 yang mengasosiakan dirinya dengan
perilaku kaum muda yang aktif dan enerjik.

Pungutan yang Konsisten atas Citra Merek


Untuk membangun konsistensi atas citra merek, peritel dapat melakukannya melalui
program ritel komunikasi dan bauran komunikasi lainnya. Salah satunya melalui
program komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication)
yang menyampaikan pesan secara konsisten dan menyeluruh dengan
mengintegrasikan seluruh unsur komunikasi.

Memperluas Nama Merek


Dengan perluasan nama merek, peritel dapat mengurangi biaya komunikasi untuk
menciptakan kesadaran dan citra merek konsep baru. Namun, perluasan merek juga
seringkali gagal dan berimplikasi negatif karena asosiasi terhadap merek aslinya
yang belum kuat. Oleh karena itu, peritel perlu mempertimbangkan banyak hal
sebelum memperluas nama mereknya, terutama pada pemahaman apakah pelanggan
memiliki citra positif yang kuat terhadap merek asli.

Sarana Komunikasi Ritel


Pada umumnya, peritel menggunakan strategi media untuk membangun ekuitas
merek yang meliputi kesadaran merek, citra merek, tanggan konsumen terhadap
merek, dan hubungan merek. Strategi media ini meliputi kegiatan komunikasi
pemasaran seperti: periklanan, promosi penjualan, kegiatan (events), publisitas,
pemasaran interaktif, pemasaran dari mulut ke mulut, penjualan pribadi, dan
penjualan langsung (Phillip Kotler & Keller, 2009). Kegiatan tersebut dapat
dijelaskan secara lebih rinci seperti dibawah ini:

Iklan
Iklan diartikan sebagai semua bentuk presentasi yang bersifat umum dan dibayar
oleh sponsor tertentu (Sopiah & Syihabudin, 2008). Dalam komunikasi pemasaran
ritel, iklan merupakan alat yang paling banyak digunakan, terutama oleh peritel
besar, karena berperan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasar
(Foster, 2008). Selain itu, iklan juga berperan dalam membangun citra secara jangka
panjang dan mempercepat penjualan (Hermawan, 2012). Bahkan, iklan yang efektif
mampu mempengaruhi pembelian produk hingga 6-9 tahun (Sopiah & Syihabudin,

58
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

2008). Kegiatan periklanan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yaitu: poster,
katalog, reklame, spanduk, slide, folder, serta iklan lainnya di media cetak dan media
elektronik. Adapun tujuan peritel untuk mengiklankan produknya, diantaranya:
 Menginformasikan, yakni mengumumkan adanya produk baru, layanan
baru, program promosi, serta membangun citra perusahaan dan
memperbaiki kesalahpahaman dengan konsumen.
 Membujuk, yakni membangun perasaan positif konsumen terhadap ritel,
membujuk konsumen untuk datang, membeli dan mengkonsumsi produk
yang ada di ritel. Dengan adanya iklan, diharapkan lalu lintas pelanggan
yang berkunjung ke ritel semakin tinggi dan dapat meningkatkan penjualan
jangka pendek dan secara rutin mengunjungi toko (Utami, 2008b)

Promosi Penjualan
Promosi penjualan merupakan alat yang dapat menstimuli konsumen untuk
mempercepat transaksi (Foster, 2008). Bentuk komunikasi ini dilakukan dengan
memberikan insentif jangka pendek untuk mendorong konsumen mencoba dan
membeli suatu produk (Philip Kotler & Amstrong, 2004). Promosi penjualan juga
dapat memberikan nilai tambah atau insentif bagi distributor, tenaga penjual maupun
konsumen akhir serta mampu merangsang penjualan langsung (Belch & Belch,
2001). Namun, promosi penjualan ini merupakan strategi pemasaran yang
berdampak dalam jangka sangat pendek. Pada umumnya, peningkatan penjualan
hanya terjadi ketika program promosi berlangsung. Bahkan, jika terlalu sering
dilakukan, promosi penjualan akan menurunkan citra perusahaan sehingga produk
tergolong dalam kategori murahan (Sopiah & Syihabudin, 2008).

Berikut ini adalah bentuk dari promosi penjualan, diantaranya:

1. Titik penjualan (point of purchase)


Promosi penjualan dilakukan melalui pemajangan produk di counter, lantai,
dan jendela (window display). Sehingga memungkinkan peritel untuk
mengingatkan dan menstimuli perilaku belanja impulsive.
2. Kontes
Kontes pada umumnya merupakan program kerja sama antara peritel dengan
pemasok, serta dilakukan dengan menyelenggarakan acara kompetisi untuk
memperebutkan hadiah.
3. Kupon
Kupon merupakan tanda yang diberikan kepada pelanggan untuk
memperoleh diskon saat berbelanja.
4. Sampel Produk
Sampel produk adalah pemberian produk secara gratis dengan tujuan
memberikan kesan baik dari segi manfaat maupun tampilan produk.
5. Demonstrasi
Demonstrasi dilakukan dengan memperlihatkan percobaan demonstrasi
kepada khalayak ramai. Tujuannya sama seperti sampel produk, yaitu
memberikan gambaran atas produk yang dijual.
6. Program Pelanggan Setia (frequent shopper program)

59
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Program ini dilakukan dengan memberi diskon atau poin berdasarkan nilai
pembelanjaan yang dilakukan oleh pelanggan. Ketika telah mencapai jumlah
tertentu, poin dapat ditukarkan dengan hadiah.
7. Hadiah Langsung
Konsumen akan mendapatkan hadiah langsung ketika nilai
pembelanjaannya mencapai jumlah tertentu.
8. Hadiah untuk rujukan (referral gift)
Teknik ini digunakan oleh perusahaan yang menjalankan bisnisnya
berdasarkan keanggotaan. Hadiah akan diberikan jika pelanggan mengajak
dan membawa calon pelanggan baru.
9. Suvenir
Barang souvenir yang menunjukkan nama dan logo ritel dijadikan sebagai
hadiah dan alat promosi penjualan. Bentuknya biasanya berupa pulpen,
kalender, cangkir, tas belanja, dan lainnya.
10. Acara – acara khusus (Special event)
Acara khusus dalam bisnis ritel, biasanya berupa peragaan, pameran,
kegiatan ketika liburan, dan penandatangana buku oleh pengarangnya.

Publisitas
Publisitas merupakan alat komunikasi yang fungsi utama nya adalah untuk
membangun citra positif ritel di mata publik (Utami, 2008a). Publisitas berkaitan erat
dengan public relation yang bertujuan untuk menciptakan “good relation” antara
peritel dan publik nya. Sehingga perusahaan dapat membentuk persepsi yang baik
(corporate image) serta mencegah datangnya berita buruk (unfavorable rumors) dari
masyarakat (Philip Kotler & Amstrong, 2004). Komunikasi ritel melalui publisitas
mampu menarik minat masyarakat karena memiliki kredibiltas yang tinggi dan tidak
melibatkan aktivitas penjualan, serta berfungsi sebagai pemberi informasi saja
(Hermawan, 2012). Adapun bentuk-bentuk dari publisitas, diantaranya: konferensi
pers, hubungan media, pers release, pemberian sponsor dalam acara amal sosial, dan
lain-lain.

Susunan Toko
Susunan toko adalah kombinasi dari karekateristik toko yang terdiri dari arsitektur,
pencahayaan, tata letak, warna, musik, pemajangan dan unsur-unsur lainnya yang
sengaja dibentuk oleh peritel untuk menciptakan kesan tertentu. Kesan tersebut
dibentuk untuk mengkomunikasikan layanan, harga, dan barang dagang yang
terdapat pada ritel (Utami, 2008a)

Situs Web
Situs web digunakan oleh peritel untuk membangun citra dan berkomunikasi dengan
konsumennya. Melalui situs web, peritel dapat menginformasikan lokasi toko, acara
maupun program khusus yang dijalankan oleh ritel, serta kesediaan barang di toko
ritel tersebut.

Penjualan Perorangan

60
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Penjualan perseorangan adalah bentuk penjualan dimana penjual dan pembeli


berhubungan secara langsung di gerai ritel (Foster, 2008). Bentuk komunikasi ini
merupakan bentuk pendekatan pada fase akhir dalam pengambilan keputusan
(Grover, 2003) dan memiliki karakterisitik interaksi pribadi serta pengembangan
hubungan (Hermawan, 2012). Sehingga penjual dapat menginformasikan produk
secara lebih rinci dan mendorong konsumen untuk segera membeli (Foster, 2008).
Adapun keberhasilan dari program penjualan perseorangan, didasarkan pada tiga
aspek, yaitu; profesionalisme pramuniaga/penjual, kemampuan negosiasi, dan
pemasaran hubungan (Philip Kotler, 2003). Oleh karena itu, pramuniaga berperan
sangat penting. Selain menginformasikan produk, mereka juga harus mampu
memberikan saran (advising) kepada pelanggan (Utami, 2008b).

Metode Berkomunikasi dengan Pelanggan


Klasifikasi komunikasi dalam ritel dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Komunikasi nonpersonal yang dibayar


Bentuk komunikasi nonpersonal yang dibayar yaitu berupa: iklan, promosi
penjualan, situs Web, dan kontes.
2. Komunikasi personal yang dibayar
Komunikasi personal yang dibayar dilakukan melalui tenaga penjualan.
Prosesnya dilakukan melalui pertukaran informasi antara penjual dan
pembeli, baik secara tatap muka langsung maupun melalui internet.
3. Komunikasi non personal tanpa bayar
Komunikasi bentuk ini dilakukan melaui publisitas atau publikasi. Biasanya
disajikan berbentuk berita pada media nonpersonal.
4. Komunikasi personal tanpa bayar
Komunikasi personal tanpa bayar dilakukan melalui promosi mulut ke mulut
(word of mouth), yakni komunikasi tentang ritel yang dilakukan antar
personal.

Keempat metode komunikasi diatas memiliki fungsi yang berbeda dalam


meningkatkan penjualan ritel. Peritel memiliki kontrol dan evaluasi yang
menyeluruh ketika menggunakan metode berbayar, jika dibandingkan dengan
metode berbayar. Namun, metode yang tidak berbayar seperti mulut ke mulut,
dianggap lebih terpercaya karena berasal dari sumber yang independen. Oleh karena
itu, peritel sebaiknya mengkombinasikan metode komunikasi nya.

Merencanakan Proses Komunikasi Ritel


Di tengah semakin maraknya arus informasi dan persaingan bisnis ritel, proses
perencanaan dalam komunikasi ritel merupakan hal yang penting. Perencanaan yang
salah akan mempengaruhi implementasi stategi yang telah dijalankan. Oleh karena

61
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

itu, diperlukan perencanaan yang komprehensif sebagaimana langkah-langkah


berikut ini:

Langkah 1: Menetapkan tujuan

Secara keseluruhan, ritel bertujuan untuk meningkatkan laba dan penjualan.


Sedangkan komunikasi dalam ritel memiliki tujuan-tujuan khusus yang terkait
dengan dampak komunikasi terhadap proses pembuatan keputusan. Dalam
menetapkan tujuan komunikasi tersebut, peritel seringkali menghadapi konflik
dengan vendor, diantaranya:

1. Tujuan jangka panjang yang bertentangan dengan tujuan jangka pendek


2. Produk bermasalah dengan lokasi
3. Cakupan geografis
4. Jumlah barang dagang yang ditawarkan terlalu banyak

Langkah 2: Menetapkan anggaran komunikasi

Iklan berperan untuk menciptakan pemintaan terhadap suatu produk. Sehingga


jumlah biayanya harus relevan dengan potensi penjualan. Adapun metode untuk
menetapkan anggran komunikasi, diantaranya:

1. Metode analisis marginal


Metode analisis marginal adalah metode yang digunakan berdasarkan
prinsip ekonomi. Dimana jumlah biaya yang dikeluarkan untuk komunikasi
ritel dapat diperbesar selama biaya yang dikeluarkan memberikan
pendapatan yang lebih besar bagi perusahaan.
2. Metode tujuan dan tugas
Metode tujuan dan tugas dilakukan dengan cara menetukan keperluan
anggaran untuk melakukan tugas tertentu. Dalam menggunakan metode ini,
peritel perlu menentukan tujuan komunikasi terlebih dahulu dan kemudian
menentukan anggaran biaya yang diperlukan untuk melakukan tugas
tersebut.
3. Metode biaya historis
Jumlah anggaran saat ini ditentukan berdasarkan nilai penjualan dan
aktivitas komunikasi di masa lalu.
4. Metode penganggaran terjangkau
Metode penganggaran terjangkau dilakukan melalui peramalan penjualan
dan bebab. Pada tahap awal, perusahaan perlu menghitung ramalan
penjualan yang telah dikurangi beban dan ditambah dengan laba yang
diinginkan. Lalu, uang yang tersisa digunakan untuk biaya komunikasi ritel.
5. Metode persentase dari penjualan
Metode presentase dari penjualan adalah metode yang menghubungkan
antara biaya komunikasi dengan hasil penjualan (Sopiah & Syihabudin,
2008). Beban atau biaya komunikasi ditetapkan dalam presetase tetap dari
ramalan penjualan.
6. Metode kesepadanan kompetitif

62
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Metode kesepadanan kompetitif (competitive parity) dilakukan dengan cara


menetapkan biaya komunikasi ritel berdasarkan pangsa pasar nya. Biaya
komunikasi akan meningkat jika pangsa pasar ritel tersebut naik.

Langkah 3 : Alokasi anggaran promosi

Keputusan alokasi merupakan keputusan yang lebih penting dari penetapan anggara
komunikasi. Keputusan yang dibuat pada tahap ini, didasarkan pada analisis
marginal. Dimana anggaran komunikasi dialokasikan pada area yang paling
menguntungkan dan akan menyumbangkan pendapatan terbesar.

Langkah 4 : Mengimplementasikan dan mengevaluai program komunikasi

Tahap ini merupakan tahap akhir dalam pengembangan program komunikasi ritel.
Ketika mengevaluasi, peritel sebaiknya berfokus pada dua hal pokok, yaitu: efek
komunikasi dan efek penjualan (Hermawan, 2012). Selain itu, peritel juga perlu
mempertimbangkan hal-hal dibawah ini:

a. Realisasi margin untuk promosi


b. Biaya persediaan tambahan
c. Potensi peningkatan penjualan atas promosi yang telah dilakukan
d. Potensi kerugian yang akan diterima ketika pelanggan memilih barang
promosi
e. Peningkatan penjualan sebagai akibat dari promosi yang telah dilakukan.

63
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Gambar 12.1

Langkah – langkah Pengembangan program Komunikasi Ritel

Kerja Sama Komunikasi antara Ritel dengan Vendor


Dalam bisnis ritel, program komunikasi pemasaran tidak dilakukan masing-masing,
namun melibatkan kerjasama antara peritel dan vendor. Seperti pada komunikasi
melalui iklan, peritel memperoleh bantuan dari vendor untuk mengkampanyekan
iklannya melalui program kerjasama, perusahaan media, dan agen periklanan
(Utami, 2008b). Dalam hal ini, peritel harus mampu menunjukkan bahwa program
promosi dan komunikasi yang dilakukannya tidak hanya bermanfaat untuk peritel
saja, namun juga penting bagi vendor. Vendor perlu ingat bahwa ruang jual ritel
adalah showcase, tempat untuk menunjukkan barang-barang yang di pasok nya.

64
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Yang pada akhirnya akan menjadi tempat untuk bersaing dengan produk sejenis “the
real war is in the store” (Sujana, 2012). Mengingat pentingya ritel bagi vendor,
vendor seringkali memberikan iklan kooperatif kepada ritel, yaitu suatu program
periklanan ritel yang biayanya dibayar sebagian oleh vendor, namun vendor
menentukan beberapa syarat. Program ini merupakan upaya vendor untuk
mengahalangi ritel meminta diskon terhadap produk vendor tersebut. Tidak jarang
peritel dan vendor juga bermitra dalam membuat strategi pemasaran. Peritel
dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi tentang perilaku pembelian dan pola
belanja di lokasi ritel. Peritel juga dilibatkan dalam perencanaan program iklan
hingga perancangan iklan (Utami, 2008a).

Memilih Media yang Paling Tepat


Dalam melaksanakan aktivitas komunikasinya dengan konsumen, peritel dapat
memilih banyak media. Pemilihan media tersebut didasarkan oleh berbagai faktor,
diantaranya:

1. Target pasar yang dituju


2. Anggaran biaya. Dalam membandingkan media dan menetapkan anggaran
biaya, peritel pada umumnya menggunakan ukuran “biaya perseribu” (cost per
thousand) dengan cara membandingkan iklan yang memiliki ukuran sama
dengan media yang sama.
3. Jangkauan yang diperoleh dari proses komunikasi. Jangkauan ini adalah jumlah
pelanggan yang terjaring dalam media iklan.
4. Frekuensi dan waktu yang tepat
5. Jumlah calon konsumen yang ditargetkan dalam paar ritel
6. Dampak iklan terhadap masyarakat umum

Banyak peritel besar yang mempersiapkan anggaran komunikasi nya dalam jumlah
yang sangat tinggi hingga miliaran rupiah. Dari anggaran yang dipersiapkannya
tersebut, mereka berharap media komunikasi yang dipilihnya berdampak signifikan
terhadap omzet penjualan secara jangka pendek dan jangka panjang. Media yang
dapat dipilih, yaitu:

Surat kabar
Surat kabar merupakan media komunikasi yang cukup efektif dalam
menginformasikan produk-produk ritel. Di Amerika, 27 persen dari seluruh biaya
iklan nasional berasal dari surat kabar dan merupakan media yang paling diandalkan
oleh para peritel (Sopiah & Syihabudin, 2008). Surat kabar ini banyak digunakan
oleh para peritel karena memberikan respon yang cepat dan dapat menginformasikan
produk ritel secara mendetail. Namun, usia iklan dari surat kabar ini cukup pendek,
sehingga tidak bisa bertahan lama dalam menginformasikan iklan (Utami, 2008a).

65
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Surat Langsung
Melalui surat langsung, pemasar dapat menjadi selektif dan mengandalkan
personalisasi konsumennya. Sehingga pemasar tidak perlu melaksanakan program
promosi nya kepada setiap orang, melainkan hanya kepada individu yang telah
ditargetkan berdasarkan segmentasi yang telah dilakukan (Hermawan, 2012). Untuk
mendapatkan data pelanggannya, peritel menghimpun data dari point of sale. Data
tersebut digunakan untuk menargetkan pelanggan berdasarkan segmentasi
demografi, minat, serta gaya hidup tertentu (Utami, 2008b)

Televisi
Melalui televisi, pemasar bisa mendemonstrasikan produk secara virtual, memiliki
reproduksi yang tinggi yang dapat menyajikan iklan dalam bentuk gambar sekaligus
suara (Utami, 2008b). Sehingga produk terdeskripsi dengan baik dan dijelaskan
lebih detail (Hermawan, 2012). Namun, penggunaan televisi sebagai media iklan
masih sangat terbatas, yaitu hanya pada ritel-ritel yang sudah besar dan memiliki
jaringan yang luas (Foster, 2008). Dengan biaya periklanan yang cukup besar, peritel
dapat memilih stasiun mana yang akan digunakannya, apakah yang berskala nasional
atau skala lokal. Media iklan berskala nasional dapat menjangkau masarakat secara
luas, namun media lokal pun masih bisa menjadi pilihan karena merupakan media
yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan suatu usaha kecil (Sopiah &
Syihabudin, 2008). Pada umumnya, peritel memilih kejadian tertentu untuk
mengiklankan produknya, misalnya pada hari raya idul fitri dan tahun baru.

Radio
Radio menghantarkan pesan iklannya melalui pesan suara dan hanya berfokus pada
segmen pasar tertentu (Utami, 2008a). Dengan hanya menggunakan suara, berarti
pesan iklan harus mengutamakan kata-kata yang didukung oleh efek suara dan musik
(Hermawan, 2012) serta membutuhkan kreativitas yang tinggi untuk
mengkomunikasikan pesannya (Eicoff, 1995). Selain itu, dalam menggunakan radio,
pemilihan stasiun, program, dan waktu penyiaran yang sesuai pun sangat penting
(Sopiah & Syihabudin, 2008). Dari segi biaya, periklanan melalui radio tergolong
murah. Namun efektivitas radio sebagai media iklan masih harus dievaluasi, karena
radio seringkali hanya digunakan untuk latar belakang ketika beraktivitas, sehingga
konsumen tidak mendengar pesan iklan secara utuh.

Internet
Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, termasuk
ineternet, seluruh manusia dapat terhubung tanpa adanya hambatan yang berati
(Foster, 2008). Walaupun internet dianggap kurang efektif dalam membangun
kesadaran pelanggan, internet merupakan media yang efektif dalam
menginformasikan pesan kepada pelanggan. Dalam mengkomunikasikan pesan ritel,
internet memmiliki beberapa fungsi, diantaranya:
1. Aviliasi antara banner dan program iklan untuk menciptakan kesadaran
2. Memberi informasi produk dan peristiwa tertentu
3. Mengumpulkan data pelanggan berupa email yang kemudian akan dikirim
kepada pelanggan.

66
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Billboard Luar Ruangan


Billboard luar ruangan digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan
menginformasikan pesan iklan yang sedikit kepada khalayak yang terbatas.
Informasi yang disajikan dalam billboard sangatlah terbatas.

Panduan Belanja
Panduan belanja (shopping guide) merupakan lembaran yang dikirimkan kepada
penduduk di area tertentu. Cara ini efektif untuk peritel yang ingin melakukan
penetrasi pasar di suatu daerah. Panduan belanja dianggap efektif dari segi biaya dan
menjamin cakupan area tertentu. Perluasan dari panduan belanja berupa majalah dan
buku kupon. Seperti pada beberapa department store yang menerbitkan majalah
informasi tentang produk, harga, dan kegiatan internal toko khusus untuk
konsumennya (Foster, 2008).

Menentukan Frekuensi Dan Ketepatan Waktu Iklan


Penentuan fekuensi iklan dan ketepatan waktutu penayangan akan sangat
berpengaruh terhadap efektivitas iklan. Frekuensi diartikan sebagai berapa banyak
calon pelanggan melihat suatu iklan. Sedangkan ketepatan waktu asalah pemilihan
waktu yang tepat untuk menyampaikan iklan, baik sebelum konsumen membeli
barang maupun saat bersamaan.

Referensi
Aaker, D. (1991). Managing Brand Equity. New York: The Free Press.
Alma, B. (2004). Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa (Edisi Ke-enam ed.):
Alfabeta.
Barry, B., & Evans, J. R. (1989). Retail Management: A strategic Approach (5th
edition ed.). New York.
Belch, G. E., & Belch, M. A. ( 2001). Advertising and Promotion; An Integrated
Marketing Communication Perspective ( 4th Edition ed.). Boston: Mc Graw
Hill.
Dunne, Lusch, & Gable. (1995). Retailing (Second edition ed.). South Western:
International Thomson Publishing Company.
Eicoff, A. (1995). Direct Marketing Through Broadcast Media: TV, Radio, Cable,
Infomercial, Home Shopping, and More. London: NTC Business Books.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung. Alfabeta.

Grover, S. K. (2003). Marketing a Strategic Orientation. New Delhi. India: Chand


& Company Ltd.
Hermawan, A. (2012). Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Kotler, P. (2002). Marketing Management (New York ed.): Prentice Hall PR.

67
Bab 5: Bauran Komunikasi Ritel

Kotler, P. (2003). Marketing Management (11 th edition ed.). New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Kotler, P., & Amstrong, G. (2004). Principles of Marketing (10th edition ed.). New
Jersey: Prentice Hall Upper Sadle River.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2009). Marketing Management (13th edition ed.).
Boston: Pearson.
Munandar, D. (2016). Relationship Marketing: Strategi menciptakan keunggulan
Bersaing. Yogyakarta: Ekuilibria.
Sopiah, & Syihabudin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Temporal, P., & Trott, M. (2002). Memaksimalkan Nilai Merek Melalui Kekuatan
Relationship Management. Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Ritel. Jakata:
Salemba empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.

68
BAB 6: Operasional Toko

BAB 6
OPERASIONAL TOKO

Tujuan
1. Memahami tujuan bisnis ritel dalam melakukan kegiatan operasional toko.
2. Memahami kegiatan operasional toko yang biasa dilakukan dalam bisnis
ritel.
3. Memahami penggunaan dalam analisis kuadran untuk memaksimalkan
keuntungan dalam bisnis ritel

Aktivitas operasional toko hendaknya mendapat perhatian peritel, karena aspek ini
menyangkut layanan yang terkait langsung dengan konsumen. Fokus layanan
konsumen dimanapun merupakan kegiatan yang kerap menimbulkan masalah bila
tidak dikelola dengan baik. Manajemen operasional dalam bisnis ritel secara khas
merupakan proses perencanaan, pengorganisasian dan pengevaluasian dari seluruh
kegiatan yang terjadi pada segmen pelayanan langsung terhadap konsumen. Melalui
manajemen operasional inilah, selanjutnya setiap barang dan jasa yang dibuat dalam
kegiatan operasional dapat disampaikan pada konsumen (Evans, 2007).
Lebih rinci Utami menyampaikan bahwa Manajemen toko sebagai bagian dari
manajemen operasional secara umum mencakup aspek pengaturan tata letak ruang,
desain, penampilan barang dagangan, pemberian layanan yang berkualitas serta
sistem antrian dan penanganan keluhan konsumen (Utami, 2008a).

Proses Persiapan Toko (Store Ready Process)

Aktivitas harian yang dilakukan untuk mempersiapkan toko sebelum toko tersebut
dibuka untuk melayani pelanggan, biasa disebut sebagai proses persiapan toko
(Utami, 2008b). Salah satu aktivitas persiapan toko adalah management by walking
(MBW).

Management by Walking

Aktivitas ini terkait dengan pengenalan masalah di lapangan yang berhubungan


dengan penjualan. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat diidentifikasi masalah dan
ditemukan solusi segera untuk mengatasi problem terkait yang muncul. Cara yang
dilakukan dalam pengenalan masalah ini dapat mencakup kegiatan observasi yaitu
berupa pengamatan langsung yang dilakukan oleh manajer terhadap seluruh aktivitas
pelayanan konsumen oleh pelayan toko. Melalui kegiatan ini manajer dapat
berkomunikasi langsung dua arah dengan karyawan dalam suasana apa adanya dan
tulus, sehingga dihasilkan komunikasi yang efektif dalam rangka mewujudkan sikap
empati dan perhatian penuh dari karyawan tersebut, (Boardman, 2004). Komunikasi

69
BAB 6: Operasional Toko

ini diharapkan akhirnya dapat menggali informasi yang relevan dan akurat tentang
semua kejadian yang ada di lapangan dari karyawan toko.

Tujuan Management by Walking

a. Menciptakan kepuasan pelanggan.


Kepuasan konsumen merupakan gambaran dari respon perasaan konsumen
karena pengalaman mereka dalam membeli produk dan menerima layanan
dari karyawan pada toko tertentu. Melalui metode MBW ini, peritel
ditantang untuk menemukan problem dan peluang yang terjadi di
lapangan, sehingga mereka diharapkan kemudian dapat meningkatkan
kualitas barang dan pelayanan yang diberikan secara berkelanjutan.

b. Menerapkan sistem manajemen yang baik.


Manajemen yang baik dalam konteks ini terkait dengan kegiatan manajer
untuk menjalankan fungsi perencanaan yang diarahkan untuk meyakinkan
bahwa semua unsur yang ada di toko telah bekerja sesuai rencana/ tujuan
operasional yang telah ditetapkan sebelumnya.

c. Mengawasi kinerja pegawai.


Pengawasan ini berhubungan dengan perumusan sebuah standar
operasional prosedur (SOP) yang menjadi dasar seluruh aktivitas yang
harus diikuti dan dilakukan karyawan dalam menjalankan tugasnya,
sehingga semua kegiatan kerja mereka sesuai dengan rencana yang dibuat
perusahaan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode
MBW ini digunakan, dengan harapan agar manajer dapat meningkatkan
kinerja pegawainya yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja
tokonya.

d. Mengatasi permasalahan store blind.


Kegiatan yang rutin kerap dapat mengaburkan hal yang semestinya
dilakukan oleh seorang karyawan toko, oleh karena itu MBW diharapkan
dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hal tersebut, sehingga
produktivitas toko dapat tetap dijaga.

Manfaat Management by Walking

a. Menciptakan citra yang baik dengan fokus terhadap kepuasan dan


loyalitas pelanggan.
Peningkatan kualitas produk dan layanan yang dihasilkan dengan adanya
aktivitas pengawasan MBW diharapkan dapat membentuk citra toko yang
lebih baik. Citra toko adalah gambaran jiwa atau kepribadian toko yang
ingin ditunjukkan kepada pelanggan, sedangkan bagi pelanggan, citra toko

70
BAB 6: Operasional Toko

merupakan sikap yang ditampilkan oleh toko tersebut kepada pelanggan


(Sopiah, 2008). Melalui citra yang baik inilah, toko dapat memancarkan
daya tarik dan kebanggan bagi pelanggan dalam berbelanja, sehingga
mereka mendapatkan kepuasan dalam membelanjakan uangnya di toko
tersebut, yang akhirnya diharapkan, pelanggan dapat melakukan
pembelian ulang yang oleh Griffin disebut sebagai wujud dari loyalitas
pelanggan (Griffin, 2005).

b. Meningkatkan tingkat kesiapan toko dalam melayani pelanggan.


Melalui penentuan SOP, diharapkan manajemen dapat melakukan kontrol
melekat terhadap karyawannya dan mereka dapat dengan mudah
menjalankan tugas dan fungsinya sebaik mungkin tanpa harus khawatir
melakukan kesalahan, karena SOP menjadi panduannya. Dengan demikian
karyawan menjadi sangat siap dengan aktivitasnya yang sekaligus akan
membentuk kultur kerja dari karyawan karena dilakukan rutin setiap
beraktivitas.

c. Meningkatkan kepekaan toko terhadap masalah yang terjadi.


Rutinitas aktvitas MBW, secara langsung memungkinkan manajer dan
karyawan toko menjadi lebih sensitif terhadap masalah yang terjadi dalam
pelayanan toko, sehingga problem yang muncul dapat segera diantisipasi
lebih dini dan dicarikan solusinya sesegera mungkin.

d. Dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara pimpinan dan


staf.
Melalui MBW, memungkinkan manajer dapat berkomunikasi langsung
dengan karyawanya. Komunikasi bisa menjadi salah satu penyebab
munculnya masalah menurunya produktivitas kerja karyawan. Oleh karena
itu MBW diharapkan dapat mengurangi hal ini, melalui jalinan komunikasi
yang lebih intensif dengan seluruh karyawan toko.

Aktivitas Harian Operasional Ritel

Aktivitas ini diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh aktivitas yang terkait dengan
kegiatan sehari-hari di toko telah berjalan sesuai dengan rencana. Berikut beberapa
hal yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan kegiatan operasional ritel:
1. Persediaan
Peritel hendaknya dapat mengawasi dan mengendalikan persediaan untuk
menjamin bahwa setiap transaksi yang berhubungan dengan persediaan telah
dilakukan dengan hati-hati dan kontrol yang efektif, sehingga kerugian yang
mungkin timbul sebagi akibat dari lemahnya pengendalian persediaan dapat
diminimalisasi. Khusus bidang ritel pengendalian persediaan adalah hal yang
sangat krusial, mengingat item barang barang dagangan umumnya sangat
beragam dan jumlahnya sangat banyak, sehingga pengendalianya cukup rumit
dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Ada beberapa aktivitas pengendalian
yang perlu dilakukan diantaranya adalah:

71
BAB 6: Operasional Toko

a. Memeriksa kuantitas dan kualitas persediaan


Pemeriksaan persediaan yang dilakukan hendaknya menyangkut dua hal yaitu
apakah jumlah yang tercatat telah sesuai dengan jumlah fisik yang ada
digudang. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghindari adanya
kemungkinan barang hilang dari gudang dan kerugian sebagai akibat dari
kekurangan stok. Sedangkan pengawasan kualitas perlu dilakukan guna
meyakinkan bahwa barang tidak rusak akibat berkurangnya volume karena
menguap atau rusak akibat korosi atau busuk untuk barang tertentu.
b. Memastikan perputaran persediaan berjalan dengan lancar.
Perputaran persediaan menjadi penting untuk menjadi perhatian, karena ini
erat kaitanya dengan kemungkinan bertumpuknya persediaan barang
dagangan karena tidak terjual atau terakumulasinya piutang karena penjualan
kredit yang terlalu besar sehingga piutang yang belum dilunasi menjadi
bertumpuk.

2. Penetapan Harga
Penetapan harga dijalankan oleh peritel dengan berbagai maksud diantaranya
adalah memberi citra pada toko, mempercepat lakunya barang dagangan dan
promosi serta menarik pelanggan yang sensitif terhadap harga terkait dengan
persaingan. Oleh sebab itulah maka kontrol harga harus dilakukan secara rutin
untuk meyakinkan bahwa barang dagangan telah diberi label harga secara tepat.
Pengawasan rutin terhadap penetapan harga ini juga seyogyanya dilakukan
dengan melihat harga yang ditetapkan oleh pesaing disekitar toko, agar diperoleh
penetapan yang lebih komprehensif dan menguntungkan buat perusahaan.

3. Pemberian label/ Ticketing (Mark Up/Down).


Aktivitas pemberian label harus telah dilakukan dari mulai barang dagangan
masuk ke gudang untuk menjadi persediaan yaitu dengan mencantumkan
barcode pada produk yang masuk, sehingga memudahkan pengawasan keluar
masuk barang persediaan. Berikutnya adalah menyangkut pemberian label harga
barang dagangan, label untuk gondola, lantai pajang, label rak simpan dan label-
label lainnya sudah terpasang sesuai dengan SOP.

4. Merchandising dan display


Merchandising dalam bisnis ritel biasa diartikan sebagai aktivitas pemilihan
barang dagangan yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan (Usui, 2008). Keputusan ini menyangkut penentuan ragam produk
yang akan dipajang dan menempatkan pajangan yang mudah terlihat oleh
konsumen, sehingga menarik konsumen untuk membeli.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penataan
barang dagangan dan cara memajang barang dagangan:
a. Pemajangan produk yang sesuai dengan karakteristik produk yang dijual dan
perilaku konsumen dalam membeli.
b. Pembuatan suasana toko yang mampu mempengaruhi konsumen untuk
berbelanja, baik dari segi desain toko, pemberian wewangian, pencahayaan
atau pemilihan warna toko, dan lain sebagainya.

72
BAB 6: Operasional Toko

c. Pemberian label untuk setiap produk, sesuai dengan kategori dan


kegunaannya masing-masing, agar memudahkan pelanggan dalam
memutuskan untuk membeli
d. Peletakkan fixture dan penetapan tata ruang yang memberikan kemudahan dan
kenyamanan berbelanja bagi pelanggan.

5. Fresh Quality Control dan Receiving/Backyard.


a. Mengawasi kondisi barang pada saat barang tersebut masuk ke gudang dan
dipajang di toko dan melakukan pencatatan secara cermat keluarnya barang
dari toko sesuai dengan standar prosedur dan operasi yang ditetapkan.
b. Melakukan pengendalian dalam pembelian barang dagangan secara rutin agar
dapat dihindari kemungkinan kelebihan persediaan.
c. Memajang barang dagangan yang masuk ke toko pada area yang tepat
d. Melakukan kontrol silang terhadap data yang telah di-input ke dalam sistem
agar diperoleh akurasi antara barang yang tercatat dengan yang ada di toko.

6. Penjualan
a. Melakukan analisis penjualan dengan melihat rencana penjualan dengan
capaian penjualan yang sesungguhnya setiap periode yang diperlukan.
b. Membuat strategi promosi yang diperkirakan akan dapat meningkatkan
penjualan yang menguntungkan
c. Melakukan monitoring terhadap kategori produk yang paling besar
menyumbang keuntungan bagi toko.

7. Pemeriksaan kebersihan toko


Selalu memelihara kebersihan toko dan barang dagangan yang dipajang setiap
saat, agar memberi kesan menyegarkan dan menyenangkan bagi pelanggan
dalam berbelanja di toko.

8. Pemantauan Kasir
Memantau kegiatan kasir setiap saat yang diperlukan selama jam operasional
serta memberikan training bagi para mereka agar memiliki peningkatan
kompetensi yang diperlukan dalam mengoperasikan mesin kasir dan meyakinkan
bahwa kasir mengetahui promo yang sedang berlangsung di toko.

9. Layanan Pelanggan
Layanan pelanggan sebaiknya menjadi prioritas peritel dalam operasi harian
toko. Karena dari situlah awal lahirnya keuntungan bagi peritel. Dengan
demikian peritel harus meyakinkan bahwa layanan yang diberikan adalah sudah
sesuai dengan harapan pelanggan.

10. Keamanan
Keamanan toko harus memberi jaminan pada setiap pelanggan bahwa mereka
akan dapat terhindar dari segala kemungkinan yang merugikanya, tidak saja

73
BAB 6: Operasional Toko

keamanan dari pencurian terhadap pelanggan tetapi juga dari produk yang
mereka dapatkan serta lingkungan toko tempat mereka belanja.

Dengan melakukan pengawasan rutin seperti itu setiap harinya, maka peritel akan
mendapatkan beberapa keuntungan, seperti:
1. Mengurangi kemungkinan adanya permasalahan yang serius, karena adanya
pendeteksian dini terhadap masalah yang mungkin muncul di toko.
2. Membantu bisnis ritel untuk mencapai minimaisasi kesalahan /zero default
melalui komunikasi dua arah dan kerjasama antara pimpinan dan pegawai.

Analisis Kuadran

Peritel hendaknya dapat menganalisis setiap item produk yang ada di tokonya, agar
dapat menciptakan strategi yang tepat dan dapat mengoptimalkan keuntungan.
Karena barang dagangan merupakan elemen yang memberikan sumbangan terbesar
dalam membentuk keuntungan bagi toko. Analisis ini dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis kuadran, berdasarkan pada pertimbangan faktor penjualan
produk dan marjin laba yang diraih.
Analisis ini adalah cara yang umum digunakan untuk membuat strategi dalam
menyiapkan kombinasi merek barang dagangan yang dapat memaksimalkan
keuntungan yang dapat diraih peritel (Utami, 2008b).
Analisis ini terdiri dari 4 kuadran, sebagai berikut:
1. Winner.
Barang dagangan pada posisi ini merupakan barang yang bermerek, dan
diperkirakan dapat menyumbang pendapatan keuntungan yang besar bagi peritel.

2. Trafic.
Barang dagangan pada kuadran ini menyumbang pendapatan keuntungan yang
cukup tinggi, tapi marjinya kecil.

3. Sleeper.
Kelompok barang dagangan ini menyumbang marjin yang cukup tinggi, tetapi
tidak menyumbang pendapatan keuntungan yang cukup besar bagi ritel.

4. Looser.
Kelompok barang dagangan dalam posisi ini memiliki sumbangan marjin yang
rendah dan tingkat penjualan yang dicapai juga kecil

Daftar Pustaka

74
BAB 6: Operasional Toko

Boardman, R. M. (2004). Behaviour Management by walking Around. Reclaiming


Children and Youth, 48-50.
Budihardjo, I. M. (2014). Panduan Praktis Menyusun SOP (Standard Operating
Procedure). Jakarta: Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup).
Evans, J. R. (2007). Operations Management: An Integrated Goods and Services
Approach: Thomson/South-Western.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung: Alfabeta.
Fuad, M., H, C., Nurlela, Sugiarto, & F, P. Y. E. (2006). Pengantar Bisnis. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Griffin, J. (2005). Customer Loyalty (Menumbuhkan dan Mempertahankan
Kesetiaan Pelanggan). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Heizer, Jay, Render, Barry, & Rajashekhar. (2009). Operations Management:
Pearson Education.
Permana, G. Y. (2013). Standar Pelayanan, Sudahkan Sesuai dengan Standar
Pelayanan. Retrieved 29 Agustus, 2016, from
https://galihyudhi.wordpress.com/2013/09/18/standar-pelayan-sudahkah-
sesuai-dengan-standar/
Ruky, A. S. (2002). Sukses Sebagai Manajer Profesional Tanpa Gelar MM atau
MBA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sopiah, S. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Depok: Raih Asa Sukses.
Tjiptono, F., & Chandra, G. (2005). Service, Quality and Satisfaction. Yogyakarta:
Andi.
Tucker, A. L., & Singer, S. J. (2013). The Effectiveness of Management-By-
Walking-Around: A Randomized Field Study. Harvard Business School.
Usui, K. (2008). The Development of Marketing Management (The Case of the USA
c.1910-1940). Burlington: Ashgate Publishing Limited.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Indeks.

75
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

BAB 7
Kualitas Layanan Ritel

Tujuan
1. Mengidentifikasi pentingnya kualitas layanan ritel untuk keberlangsungan
usaha.
2. Mengetahui elemen-elemen kualitas layanan.
3. Memahami aspek kualitas layanan, kepuasan, dan loyalitas pelanggan ritel.

Pendahuluan

Saat ini bisnis ritel dimanfaatkan oleh para pebisnis untuk memenuhi berbagai
keperluan masyarakat, mulai dari produk (barang) hingga jasa. Maka dari itu, untuk
dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, diperlukan adanya beberapa usaha
yang ditujukan untuk mempertahankan setiap kualitas produk dan jasa yang
ditawarkan. Masyarakat seringkali menilai kinerja suatu ritel dari segi harga, kualitas
layanan, dan respon ritel tersebut dalam penanganan keluhan pelanggan. Layanan
kualitas ini memiliki arti yang cukup luas. Layanan kualitas ini dapat mencakup
segala kegiatan yang terjadi dalam ritel, mulai dari bagaimana sebuah ritel
menyediakan produk tertentu, hingga pelayanan setelah penjualan yang dilakukan
oleh ritel tersebut.

Dalam mengartikan sebuah layanan, pelanggan juga memiliki pandangan yang


berbeda-beda satu sama lain. Beberapa pelanggan mengartikan layanan sebagai
situasi ketika mereka bisa mendapatkan sesuatu yang seharusnya tidak mereka
dapatkan dari sebuah layanan, tetapi pihak ritel memberikan hal tersebut secara
spontan kepada pelanggan tersebut. Dalam konteks yang lain, layanan juga diartikan
sebagai usaha peritel untuk selalu fokus kepada setiap transaksi yang terjadi, dan
selalu berupaya untuk memperbaiki setiap kesalahan yang terjadi. Namun, pada
dasarnya tujuan dari pemberian layanan tersebut adalah untuk memberikan sesuatu
yang melebihi harapan pelanggan terhadap sebuah ritel, dalam rangka memenuhi
kebutuhannya (Sudarsono, Heriyono, & Tohidi)

Kualitas layanan dipandang sebagai salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian
oleh perusahaan ritel. Hal tersebut karena kualitas layanan memiliki efek untuk
mendatangkan pelanggan ritel yang baru dan secara bersamaan dapat meminimalkan
kemungkinan pelanggan ritel lama untuk berpindah ke ritel lainnya. Kualitas layanan
adalah tingkat keunggulan suatu yang diharapkan dari suatu penyedia layanan dan
kemampuan akan pengendalian atas tingkat keunggulan layanan tersbut untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan (Tjiptono, 2008).

Kondisi persaingan yang terjadi dalam industri ritel saat ini mengalami
perkembangan yang cukup ketat. Sehingga hal tersebut berdampak terhadap
keberlangsungan sebuah bisnis ritel. Para peritel dituntut untuk mampu menciptakan

76
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

sebuah kualitas layanan yang mampu meningkatkan kepuasan pelanggan yang telah
mengkonsumsi produknya. Kualitas layanan ini terdiri dari fitur-fitur dan
karakteristik dari sebuah produk atau jasa yang ditawarkan oleh sebuah ritel kepada
pelanggannya. Dimana fitur dan karakteristik tersebut harus mampu memenuhi
setiap kebutuhan pelanggan. Pengertian lain menyatakan bahwa kualitas layanan
merupakan kemampuan penyedia jasa untuk memberikan layanan yang unggul
dalam memenuhi kebutuhan pelanggan (Sigit & Oktafani, 2014)

Selain dengan meningkatkan kualitas layanan ritelnya, untuk mampu bertahan dalam
persaingan bisnis yang ketat ini, para peritel juga dapat memperluas pasarnya dengan
cara menarik lebih banyak lagi pelanggan. Sehingga, bisnis ritelnya akan terus
berjalan, dan penjualannya akan terus meningkat. Perusahaan ritel harus mampu
bersaing dengan kompetitornya dengan cara menyediakan produk dan jasa yang
berkualitas. Maka dari itu, perbaikan secara terus menerus dalam segi kualitas
produk dan layanan perlu dilakukan oleh perusahaan. Hal tersebut ditujukan agar
seluruh barang dan jasa yang ditawarkan dapat mendapatkan tempat yang baik dalam
benak masyarakat selaku pelanggan ataupun calon pelanggan dari sebuah ritel.
(Sihombing, 2014)

Saat ini kualitas layanan yang diberikan suatu perusahaan memberikan arti tersendiri
bagi peritel. Kualitas layanan suatu perusahaan dapat membantu peritel untuk
menciptakan keunggulan-keunggulan tersendiri yang mampu membuat bisnis ritel
tersebut dapat bersaing dengan perusahaan lain. Sehingga dengan begitu, perusahaan
akan mampu mempertahankan pelanggan mereka dan mampu mendapatkan
pelanggan baru yang lebih banyak lagi.

Semakin tinggi tingkat persaingan yang terjadi, maka akan menyebabkan konsumen
akan memiliki lebih banyak alternatif harga, produk, dan juga kualitas. Sehingga,
konsumen akan selalui nilai yang dianggap paling tinggi, yaitu produk yang mampu
meberikan manfaat yang jauh lebih tinggi disbanding biaya untuk mendapatkannya
(Kotler, 2005). Kualitas yang rendah dan tidak memenuhi harapan pelanggan akan
membuat ketidakpuasan pada pelanggan, dan akan berdampak kepada pelanggan
lain karena efek rekomendasi yang negatif. Hal tersebut dikarenakan pelanggan yang
kecewa akan bercerita paling sedikit kepada 15 pelanggan lainnya. Sehingga
dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan pilihannya kepada pesaing
(Lupiyoadi & Hamdani, 2006). Maka dari itu, upaya perbaikan sistem kualitas
layanan yang dilakukan oleh peritel, akan jauh lebih efektif bagi keberlangsungan
bisnisnya. Upaya perbaikan ini akan menjadikan konsumen makin loyal kepada
perusahaan ritel tersebut (Lupiyoadi & Hamdani, 2006).
Saat ini, kualitas layanan telah menjadi salah satu hal yang sangat
diperhatikan peritel, karena tingkat kualitas layanan tersebut dapat menentukan
tingkat keberhasilan suatu perusahaan. Pengembangan kualitas layanan yang terjadi
saat ini didorong oleh timbulnya persaingan-persaingan yang semakin ketat antar
perusahaan, kemajuan teknologi, tahapan perekonomian dan sosial budaya
masyarakat. Selain itu, saat ini perusahaan lebih menekankan kepada hubungan

77
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

pelanggan dibandingkan dengan proses penjualannya, sehingga perhatian


perusahaan tidak hanya terhadap kualitas dari produk yang dijual, tetapi terhadap
kualitas layanan yang diberikan. Memiliki kualitas layanan yang unggul, selain
produk yang baik, merupakan suatu cara bagi perusahaan ritel dalam meberikan
layanan. Hal tersebut akan diwakili oleh staf yang mampu melayani pelanggan
dengan memuaskan (Tjiptono, 2005).
Layanan yang diberikan suatu perusahaan kepada pelanggannya merupakan
salah satu cara, bagaimana peritel dapat mempertemukan harapan pelanggan
terhadap suatu layanan dengan kondisi nyata yang nantinya dialami oleh pelanggan
tersebut. Sehingga kualitas layanan yang diberikan harus mampu memenuhi
spesifikasi atau kebutuhan pelanggan sesuai dengan harapannya (Achmad &
Ainaini, 2006).
Selain itu, kualitas layanan juga menunjukkan adanya perbandingan antara
pelayanan yang diharapkan pelanggan, dengan pelayanan yang didapatkan oleh
pelanggan tersebut (Parasuraman dalam Amalina (2010)). Sehingga, fokus utama
dalam kualitas layanan ini adalah pelanggan. Dimana pelanggan yang nantinya akan
menilai dan menentukan seberapa besar kualitas layanan yang diberikan suatu ritel
dapat memenuhi kebutuhannya (Lupiyoadi & Hamdani, 2006).

Dimensi Kualitas Pelayanan


Wyckof dalam Arief (2007) berpendapat bahwa kualitas jasa merupakan
tingkat keunggulan layanan yang diharapkan pelanggan untuk memenuhi
kebutuhannya. Zeithaml dan Bitner dalam Arief (2007) mengemukakan bahwa
kualitas jasa atau layanan, adalah bagaimana suatu perusahaan dapat memberikan
layanan yang lebih baik dibandingkan dengan ekspektasi pelanggan terhadap suatu
layanan yang akan mereka terima.
Menurut pendapat Tjiptono (2008), kualitas layanan merupakan tingkat
keunggulan suatu layanan, dimana tingkat keunggulan tersebut harus sesuai dengan
harapan pelanggan. Dengan demikian, terdapat dua aspek dari kualitas layanan, yaitu
kualitas yang diharapkan (expected service) dan kualitas yang dirasakan (perceived
service) oleh pelanggan. Sehingga, definisi kualitas layanan berfokus bagaimana
memenuhi keinginan pelanggan beserta ketepatan dalam memenuhi harapan tersebut
(Prandita & Iriani, 2013).
Kualitas suatu layanan dapat diartikan sebagai persepsi pelanggan mengenai
sebuah layanan dalam toko ritel, dimana pelanggan menilai kualitas tersebut secara
keseluruhan, mulai dari keunggulan layanan yang diberikan hingga kelemahan-
kelemahan dari perusahaan tersebut (Taylor dan Baker, 1994) dalam Fuad (2013).
Pelanggan dapat melakukan penilaian ketika melakukan kontak langsung dengan
pihak ritel. Sehingga, apabila layanan yang diberikan sesuai dengan apa yang
diharapkan pelanggan sebelumnya, maka kualitas layanan yang diberikan dapat
dikatakan efektif dan mampu meningkatkan kepuasan pelanggan terhadap
perusahaan. Namun sebaliknya, apabila layanan yang diberikan tidak sesuai dengan
harapan pelanggan, maka tingkat kualitas layanannya masih dianggap rendah atau
kurang memuaskan. Maka dari itu, kualitas layanan harus dikembangkan secara
terus menerus dan selalu disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Tetapi peritel

78
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

juga perlu menyesuaikan setiap layanan yang ada dengan tujuan dari perusahaan
tersebut.
Kualitas layanan antara perusahaan jasa dan manufaktur juga cukup
berbeda. Hal tersebut dikarenakan karakteristik kedua perusahaan tersebut berbeda,
sehingga kualitas layanan yang diberikan juga cukup berbeda. Dalam menetapkan
kualitas layanan sebuah ritel, diperlukan pendekatan yang tepat dan sesuai dengan
aspek-aspek yang terdapat dalam kegiatan operasional ritel tersebut. Sehingga
strategi kualitas layanan yang akan dibuat tersebut dapat terimplementasikan dengan
baik oleh perusahaan. Menurut Finn dan Lamb (1991) dalam Utami (2006), kategori
layanan yang digunakan untuk mengembangkan SERVQUAL pada perusahaan ritel
jasa sangat berbeda pada goods retailing. Sehingga untuk mengevaluasi kualitas
layanan yang ada, biasanya pelanggan menggunakan kriteria tertentu.
Kualitas layanan pada suatu perusahaan memiliki karakteristik tertentu,
yaitu tanpa wujud (intangiability), mempunyi banyak variasi (variability), tidak
tahan lama (perishability), dan dihasilkan sekaligus dikonsumsi (inseparitibility)
sebagaimana diidentifikasi oleh Parasuraman dkk. dalam Tjiptono (2005). Menurut
Zeithamal, Berry dan Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono (2005)
berdasarkan karakteristik yang ada, maka untuk mengukur kualitas layanan tersebut,
digunakan 5 (lima) dimensi berikut:

1. Bukti fisik (Tangibles), dimensi ini terdiri atas fasilitas fisik, perlengkapan
toko, staf dan sarana komunikasi yang ada di perusahaan. Dimensi ini
biasanya digunakan oleh para peritel untuk meningkatkan kualitas layanan
ritelnya, sehingga pelanggan dapat merasakan layanan ritel dari perusahaan
tersebut secara lebih nyata.
2. Kehandalan (Reliability), merupakan kemampuan peritel untuk dapat
memberikan layanan yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh ritel
kepada konsumennya. Pemberian layanan tersebut meliputi ketepatan
layanan dengan ekpektasi konsumen yang berarti ketepatan waktu, keadilan
layanan untuk semua pelanggan, layanan yang simpatik dan keakuratan
dalam layanan.
3. Daya tanggap (Responsiveness), keinginan peritel untuk mau memberikan
layanan kepada para pelanggannya dengan tepat dan cepat (responsif), serta
kemampuan staf dalam memberikan informasi yang jelas yang dibutuhkan
oleh pelanggan.
4. Jaminan (Assurance), kemampuan peritel untuk dapat menciptakan
kepercayaan dan keyakinan pada benak pelanggan. Dalam upayanya untuk
mewujudkan dimensi ini, pegawai dituntut untuk memiliki pengetahuan,
kesopansantunan dan kemampuan untuk mampu menimbulkan rasa percaya
dan aman bagi pelanggan ketika sedang menikmati layanan yang diberikan.
5. Empati (Empathy), dalam dimensi ini peritel dituntut untuk dapat
menciptakan komunikasi yang baik dengan pelanggan, memberikan
perhatian yang bersifat personal dan mampu memahami kebutuhan
pelanggan dengan baik. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dimensi

79
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

ini adalah bagaimana peritel dapat memberikan layanan secara personal,


sehingga pelanggan akan merasa sangat diperhatikan oleh ritel tersebut.

Selain dimensi tersebut, ada 3 (tiga) dimensi kualitas layanan yang juga
biasa dijadikan indikator untuk mengukur kualitas layanan yang diberikan suatu
perusahaan kepada pelanggannya (Brady & Cronin, 2001), yaitu:

a. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi terjadi ketika adanya kontak langsung antara peritel
dengan pelanggan. Dimensi ini merupakan hal utama yang menjadi
perhatian pelanggan ketika menilai dan mengevaluasi suatu layanan. Karena
saat melakukan kontak langsung, pelanggan dapat benar-benar merasakan
bagaimana suatu layanan memberikan pengaruh untuk pelanggan tersebut.
Sehingga peritel dituntut untuk dapat menciptakan suasana interaksi yang
kondusif yang membuat pelanggan akan merasa nyaman.

b. Kualitas hasil
Kualitas hasil didefinisikan sebagai keseluruhan evaluasi yang
diberikan pelanggan terhadap hasil yang dirasakan dari layanan yang telah
diberikan oleh peritel. Dalam proses ini, pelanggan menilai semua hal yang
berkaitan dengan layanan yang diberikan, seperti ketepatan dan kecepatan
waktu penyediaan layanan, bagaimana peritel memenuhi kebutuhan
pelanggan, hingga fasilitas pendukung apa saja yang digunakan untuk
memudahkan pelanggan dalam memenuhi kebutuhannya.

c. Kualitas lingkungan
Kualitas lingkungan ini berkaitan dengan seberapa baik fasilitas fisik
yang disediakan peritel untuk menunjang kegiatan pemberian layanan dapat
mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap keseluruhan layanan yang
diberikan. Peritel harus mampu menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung
yang benar-benar mampu memudahkan pelanggan ketika akan
mengonsumsi layanan yang diberikan. Jangan sampai fasilitas yang ada
justru membuat pelanggan kesulitan. Sehingga petunjuk teknis tentang
penggunaan fasilitas tertentu juga harus disediakan oleh peritel.

Kemampuan memberikan kualitas layanan yang unggul merupakan hal yang


penting bagi ritel karena hal tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk meraih
keunggulan bersaing. Kualitas layanan yang unggul dan konsisten dapat
menumbuhkan kepuasan konsumen yang akhirnya akan memberikan berbagai
manfaat kepada perusahaan (Tjiptono, 1996) dalam Fuad (2013). Berikut adalah
manfaat yang akan didapatkan oleh perusahaan melalui kualitas layanan yang tinggi:

1. Dapat mendorong pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. Pelanggan


yang merasa puas, cenderung akan kembali lagi ke ritel tersebut untuk
melakukan pembelian lagi dan lagi. Maka dari itu, kualitas layanan yang

80
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

diberikan harus sesuai atau melebihi ekspektasi pelanggan. Sehingga


pelanggan merasa nyaman dan mau untuk kembali berbelanja di ritel
tersebut.
2. Terbangunnya hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan
pelanggannya. Ketika pelanggan merasa puas terhadap layanan yang
diberikan oleh peritel, maka pelanggan tersebut akan merasa telah
diperlakukan dengan baik. Sehingga, hubungan antara pelanggan dan ritel
tersebut akan menjadi lebih baik lagi.
3. Terbentuknya referral, yaitu rekomendasi dari mulut ke mulut (word-of-
mouth) antara pelanggan dan konsumen umumnya yang menguntungkan
bagi ritel. Dengan kualitas layanan yang tinggi, maka pelanggan yang
merasakan layanan tersebut akan menyebarkan kesan yang baik kepada
calon pelanggan yang lain. Sehingga hal tersebut akan mendatangkan
manfaat bagi peritel, salah satunya adalah mendapatkan pelanggan baru.
4. Terciptanya pelanggan yang loyal. Secara tidak langsung, pembelian ulang
yang dilakukan oleh pelanggan yang puas terhadap kualitas layanan yang
ada, akan mendorong pelanggan tersebut untuk menjadi pelanggan yang
loyal.
5. Meningkatan keuntungan yang diperoleh. Dengan kualitas layanan yang
baik, maka peritel akan mendapatkan banyak pelanggan. Sehingga, secara
tidak langsung penjualan ritel tersebut akan meningkat, dan akhirnya
keuntungan perusahaan juga akan meningkat.
6. Image atau citra perusahaan ritel di mata pelanggan menjadi positif.
Semakin tinggi kualitas layanan yang diberikan, semakin tinggi pula tingkat
kepuasan pelanggan. Sehingga, reputasi perusahaan di benak pelanggan
juga akan semakin baik.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Layanan


Dalam menciptakan kualitas layanan yang baik dan mampu memenuhi
kebutuhan pelanggannya, maka peritel harus mempertimbangkan beberapa faktor
berikut (Sugiarto, 2002):

a. Efisiensi dalam layanan. Dalam melayani setiap kebutuhan dan keperluan


pelanggan, pegawai harus melakukannya dengan sigap, tanpa membuang-
buang waktu yang ada. Sehingga layanan yang diberikan tidak bertele-tele
dan menghabiskan waktu pelanggan ataupun pegawai yang berkaitan.
Dengan penggunaan waktu layanan yang efisien, maka pegawai tersebut
dapat melayani beberapa pelanggan dalam waktu yang singkat.
b. Fokus pada pelanggan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
mendengarkan setiap keluhan ataupun permasalahan yang dirasakan oleh
pelanggan selama kegiatan berbelanja atau permasalahan lain yang
berkaitan dengan penyampaian layanan ataupun kualitas produk yang dibeli.
Tidak hanya mendengarkan, tetapi pegawai juga mencoba untuk
memberikan solusi terhadap setiap permasalahan yang ada. Sehingga
pelanggan akan merasa sangat diperhatikan oleh pihak ritel.

81
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

c. Menghargai pelanggan. Pelanggan yang datang ke toko merasa lebih senang


dan nyaman, ketika pelanggan tersebut merasa dianggap dan diperlakukan
dengan baik. Misalkan, ketika pelanggan datang ke toko, pegawai dengan
ramah menyapanya, atau memberikan pujian yang tulus ketika pelanggan
tersebut memilih produk yang tepat dan cocok untuk kebutuhannya.
d. Terbangunnya hubungan baik dengan pelanggan. Ketika pelanggan
berbelanja di toko dan membuat transaksi di toko tersebut, maka peritel
harus dengan cermat menggunakan waktu tersebut untuk menjalin
hubungan yang baik dengan pelanggan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara menanyakan apakah pelanggan tersebut puas dengan layanan yang
telah diberikan, atau hal-hal lain yang dapat membuat pelanggan tersebut
merasa terikat dengan ritel.
e. Memberikan informasi yang dibutuhkan pelanggan dengan jelas. Tidak
jarang, pelanggan yang datang ke sebuah toko merasa kebingungan untuk
membeli produk apa dan bagaimana. Maka dari itu, disini pegawai harus
dapat memberikan saran ataupun informasi terkait yang dibutuhkan
pelanggan dengan jelas dan benar. Sehingga, pelanggan akan merasa bahwa
layanan yang diberikan tersebut memang disesuaikan dengan kebutuhan
pelanggan. Dalam pemberian informasi kepada pelanggan, peritel juga
harus memperhatikan gaya bahasa dan intonasi yang digunakan, jangan
sampai pelanggan menjadi salah paham terhadap informasi yang diberikan.
Karena hal tersebut nantinya akan memberikan dampak yang buruk bagi
peritel tersebut.
f. Membantu pelanggan mengidentifikasi kebutuhannya. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara memberikan saran atau beberapa pilihan produk yang
dapat dipilih oleh pelanggan tersebut. Saat memberikan pilihan tertentu,
peritel juga harus menyertakan keunggulan ataupun kekurangan dari setiap
pilihan yang ada. Sehingga pelanggan tidak akan merasa kesulitan ataupun
kebingungan dalam menentukan pilihan yang tepat.
g. Menjelaskan layanan yang akan diterima pelanggan. Layanan yang akan
diberikan kepada pelanggan sebaiknya dijelaskan secara detail terlebih
dahulu. Bagaimana layanan tersebut akan diberikan dan keuntungan apa saja
yang akan diterima oleh pelanggan dari layanan tersebut. Dengan begitu,
pelanggan akan memahami proses layanan yang akan mereka dapatkan,
konsekuensi serta keuntungan yang akan mereka dapat dari proses layanan
tersebut. Sehingga, apabila pelanggan telah mengetahui hal tersebut, mereka
cenderung akan lebih mudah diajak untuk bekerja sama.

Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Pelanggan


Colgate dan Danaher dalam Lupiyoadi & Hamdani (2009) mengemukakan
bahwa kualitas layanan yang diberikan seorang pegawai terhadap pelanggan
memiliki pengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Sehingga apabila layanan yang
diberikan buruk, maka pelanggan bisa jadi tidak puas dengan layanan yang diberikan
tersebut.

82
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

Kepuasan sendiri merupakan keseluruhan sikap pelanggan terhadap barang


atau jasa yang telah mereka konsumsi (Mowen & Minor, 2002). Kepuasan dari
pelanggan menunjukkan suatu indikator yang dapat menunjukkan seberapa jauh
perusahaan sudah dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Kepuasan pelanggan ini
dapat dijadikan investasi bagi perusahaan, karena semakin banyak pelanggan yang
merawsa puas maka citra perusahaan di mata pelanggan juga akan semakin baik.
Selain itu, pelanggan yang merasa puas terhadap suatu layanan yang diberikan juga
akan terdorong untuk merekomendasikan ritel tersebut kepada pelanggan yang lain.
Sehingga peritel bisa mendapatkan konsumen yang lebih banyak lagi.
Kemampuan ritel untuk memuaskan pelanggan dapat memberikan banyak
manfaat bagi peritel itu sendiri. Salah satunya adalah meningkatkan kesetiaan atau
loyalitas merek, mencegah pelanggan untuk pindah ke ritel lainnya, mengurangi
sensitivitas konsumen terhadap kenaikan harga, mengurangi pengeluaran biaya-
biaya tak terduga akibat kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasional yang
keluar, serta meningkatkan efektivitas kegiatan-kegiatan komunikasi pemasaran
(Fornell, 1992) dalam Aryani & Rosinta (2010).
Kualitas layanan yang diberikan oleh suatu perusahaan, akan mendorong
pelanggan untuk mau berkomitmen terhadap perusahaan ritel tersebut. Dengan
komitmen tersebut, maka perusahaan akan mampu meningkatkan penjualan
produknya. Selain itu, kualitas layanan juga memiliki peran yang cukup penting
dalam mempertahankan pelanggan untuk jangka waktu yang lama. Dengan layanan
yang prima, suatu perusahaan ritel akan mampu memaksimalkan kemampuannya
dalam melayani setiap pelanggannya.
Untuk dapat mampu menciptakan kepasan pelanggan, peritel harus tahu dan
paham tentang faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan pelanggan.
Zeithaml, Valarie, & Bitner (2006) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
dipengaruhi oleh banyak faktor, anatar lain kualitas produk, kualitas layanan, harga
faktor pribadi pelanggan dan faktor situasi dimana pembelian atau konsumi
dilakukan. Selanjutnya, Parasuraman, dkk dalam Qin dan Prybutok (2008)
berpendapat bahwa pengukuran kepuasan pelanggan tidak hanya dari kualitas
layanan saja, tapi juga meliputi kualitas produk, harga, dan faktor pribadi yang
secara keseluruhan merupakan unsur model kepuasan yang secara umum diukur
denga instrumen yang dikenal dengan SERVQUAL.

Kualitas Layanan Menciptakan Loyalitas


Kesetiaan pelanggan merupakan dampak yang timbul dari adanya
kepuasan pelanggan terhadap suatu layanan yang diberikan oleh sebuah ritel.
Pelanggan yang memiliki tingkat kesetiaan yang tinggi biasanya berpotensi
menjadi pelanggan tetap. Sehingga kepuasan pelanggan yang timbul akibat
suatu layanan dapat memberikan dampak yang positif bagi perusahaan ritel.
Kesetiaan pelanggan tidak hanya diukur dari seberapa banyak produk
yang telah mereka beli atau seberapa sering mereka melakukan pembelian
pada sebuah ritel, tetapi dari seberapa sering pelanggan melakukan pembelian
pada ritel yang sama (Kotler, 2012). Griffin (2002) dalam Sihombing (2014)

83
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

mengatakan bahwa pelanggan yang setia merupakan mereka yang merasa sangat
puas terhadap barang atau jasa tertentu, sehingga mereka merasa antusias untuk
memperkenalkan produk tersebut kepada orang lain yang mereka kenal.
Menurut Griffin, pelanggan yang setia memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Membeli produk lain yang ditawarkan selain yang biasanya mereka beli.
Pelanggan yang setia biasanya tidak hanya membeli satu barang tertentu
saja, namun membeli beberapa produk dengan jenis yang berbeda, namun
masih pada ritel yang sama.
2. Melakukan repeat buying secara berkelanjutan. Pembelian yang dilakukan
cenderung dilakukan secara berkali-kali dalam waktu yang cukup teratur.
Pembelian yang dilakukan oleh pelanggan tersebut tidak hanya untuk satu
produk, tetapi bisa saja untuk berbagai produk, namun dalam ritel yang
sama.
3. Resisten dari daya tarik produk kompetitor. Ketika seorang pelanggan sudah
setia pada satu ritel tertentu, biasanya mereka tidak akan tergoda untuk
membeli produk di ritel yang lain, meskipun ada promo-promo khusus di
ritel pesaing tersebut.
4. Merekomendasi orang lain untuk mengkonsumsi produk yang dia loyal.
Pelanggan yang loyal terhadap suatu ritel biasanya akan senang untuk
mempromosikan ritel langganannya tersebut kepada teman atau kerabatnya.
Pelanggan cenderung merasa puas dan tidak mau berpindah ke ritel lain,
sehingga ingin mengajak orang lain untuk juga datang ke ritel tersebut.
Ketika seorang pelanggan sudah merasakan kepuasan tertentu terhadap
layanan yang diberikan oleh peritel, maka mereka akan menjadi loyal. Hal tersebut
membuktikan bahwa dengan loyalitas yang timbul dari kepuasan layanan yang
diberikan suatu perusahaan ritel, akan dapat menciptakan hubungan jangka panjang
antara pelanggan dan perusahaan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kualitas layanan
berpengaruh positif secara langsung terhadap loyalitas pelanggan. (Sihombing,
2014).
Loyalitas seorang pelanggan dapat mendorong terciptanya pembelian ulang
dari pelanggan tersebut, sehingga loyalitas pelanggan ini memiliki dampak yang
positif dengan kinerja bisnis suatu ritel. Menurut Castro dan Armario (1999), dengan
mempunyai pelanggan yang loyal selain akan meningkatkan nilai bisnis, tetapi akan
dapat menarik konsumen baru.
Dengan selalu memperhatikan dan melakukan perbaikan-perbaikan
terhadap loyalitas pelanggan akan membawa dampak positif berupa peningkatan
penjualan bagi perusahaan. Keuntungan yang didapatkan suatu perusahaan
menunjukkan adanya konsistensi suatu bisnis, hingga akhirnya bisnis tersebut dapat
terus berkembang dari segi variasi produk dan jasa yang ditawarkannya (Soeling,
2007). Loyalitas pelanggan akan mendorong pelanggan untuk mau membayar lebih
dari harga yang biasa ditetapkan oleh peritel pada umumnya dan bersedia
merekomendasikan produk yang ada, ke pelanggan yang baru secara sukarela
(Aryani & Rosinta, 2010).

84
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

Penciptaan Standarisasi Kualitas Layanan


Agar mampu menyaingi kualitas layanan pesaingnya, maka peritel harus
menerapkan standarisasi tertentu. Standarisasi tersebut bertujuan untuk menjamin
mutu layanan yang diberikan kepada pelanggan. Adanya standarisasi kualitas
layanan yang diberikan ini membantu peritel untuk dapat memantau setiap
pelaksanaan pemberian layanan kepada pelanggan secara berkala. Pemantauan
terhadap proses pemberian layanan perlu dilakukan agar peritel dapat mengetahui
seberapa jauh layanan yang telah diberikan sesuai dengan tujuan perusahaan dan
mampu memenuhi kebutuhan pelanggan.
Selain itu, dengan adanya pemantauan tersebut, peritel akan dapat
mengevaluasi setiap kesalahan yang terjadi selama proses penyampaian layanan,
untuk kemudian memperbaiki kualitas layanan yang diberikan tersebut. Layanan
yang diberikan harus sesuai dengan standar kualitas layanan yang ditetapkan
perusahaan, agar perusahaan dapat mencapai tujuannya dan pelanggan terpenuhi
kebutuhannya.
Pembuatan standarisasi ini juga berguna untuk menghindari setiap
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses penyampaian layanan.
Maka dari itu, tidak jarang beberapa perusahaan ritel yang membuat service
blueprint sebagai standarisasi pemberian layanan kepada pelanggan.
Selain itu, Lupiyoadi (2001) dalam Fuad (2013) mengemukakan bahwa
pencapaian kepuasan melalui kualitas layanan dapat ditingkatkan dengan
beberapa pendekatan sebagai berikut:
1. Mendorong para pegawai untuk mau bersama-sama mewujudkan
setiap visi perusahaan dengan menerapkan standarisasi kualitas
layanan yang diberikan kepada pelanggan. Peran pegawai sangat
penting dalam menentukan tingkat kualitas layanan sebuah bisnis
ritel, karena mereka adalah orang yang secara langsung berinteraksi
dengan pelanggan ketika memberikan suatu layanan. Sehingga para
pegawai harus selalu dimotivasi agar mau bekerja sesuai dengan
tujuan dan aturan yang telah ditetapkan perusahaan.
2. Memperkecil gap antara pihak manajemen dan pelanggan. Beberapa
kesenjangan dalam pelayanan, seperti perbedaan layanan yang
diberikan kepada pelanggan yang satu dengan yang lain kerap kali
terjadi. Peritel harus mampu menghindari hal-hal tersebut agar
mampu menciptakan kualitas layanan yang konsisten, dengan cara
memberikan pelayanan yang setara untuk setiap pelanggan yang
datang.
3. Menerapkan accountable, proactive, dan partner marketing sesuai
dengan situasi pemasaran. Kondisi suatu bisnis tidak selalu sama,
maka peritel harus pandai membaca situasi yang ada dan mampu
menyesuaikan sikapnya untuk menghadapi situasi tersebut.
4. Menghargai keluhan yang disampaikan pelanggan. Tidak semua
pelanggan merasa puas terhadap layanan yang diberikan. Maka,
peritel harus mau membuka diri untuk menerima setiap kritikan dan

85
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

saran dari pelanggan untuk perbaikan kualitas layanan yang lebih


baik.

Selain dengan pendekatan tersebut, untuk dapat meningkatkan kualitas


layanan pada sebuah ritel, peritel dapat menggunakan The Gaps Model. The gaps
model ini mengindikasikan apa saja yang perlu dilakukan peritel untuk dapat
memberikan kualitas layanan terbaik kepada pelanggannya. Service gaps ini
menunjukkan perbedaan atau perbandingan antara ekspektasi pelanggan dengan
persepsi dari layanan konsumen yang didapatkan. Menurut Levy & Weitz (2004),
ada 4 (empat) faktor yang dapat mempengaruhi kesenjangan layanan tersebut, yaitu:

a. Standards gap, yaitu perbedaan standarisasi layanan yang diberikan


dengan ekspektasi pelanggan. Dalam hal ini, peritel dituntut untuk dapat
memberikan layanan yang sesuai dengan standarisasi yang berlaku,
sehingga pelanggan tidak akan merasa kecewa, meskipun tidak jarang
dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang terjadi diluar ketentuan
pemberian layanan.
b. Knowledge gap, yaitu kesenjangan yang terjadi karena adanya
perbedaan pemahaman mengenai ekspektasi pelanggan terhadap suatu
layanan, dalam benak peritel dan pelanggan itu sendiri. Sehingga
diperlukan adanya pemberian informasi atau pemahaman yang
memadai untuk seiap layanan yang akan diberikan.
c. Delivery gap, yaitu perbedaan layanan yang diberikan dengan
standarisasi yang telah ditetapkan. Ketika suatu ritel menetapkan
standarisasi layanan tertentu, maka peritel tersebut bertanggung jawab
sepenuhnya untuk dapat memberikan layanan yang sesuai dengan
standarisasi yang ada. Perbedaan layanan yang terjadi seperti itu dapat
mengakibatkan pelanggan merasa dibohongi dan kecewa, sehingga
akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan atau mengkonsumsi
produk dan jasa yang diberikan ritel tersebut.
d. Communication gap, yaitu gap karena adanya perbedaan penyampaian
layanan yang diberikan kepada pelanggan dengan layanan yang
dijanjikan dalam kegiatan promosi yang dilakukan perusahaan.
Beberapa perusahaan ritel mencoba untuk menarik pelanggan melalui
kegiatan promosi yang menjelaskan beberapa layanan yang akan
mereka berikan. Terkadang, apa yang dijanjikan dalam promosi atau
iklan, tidak sesuai dengan apa yang peritel berikan kepada pelanggan.
Sehingga hal tersebut memicu kesenjangan antara pelanggan dan
layanan yang diberikannya. Pelanggan bisa saja menuntut peritel karena
merasa dibohongi dengan janji-janji yang diberikan peritel dalam
promosinya. Maka dari itu, untuk menghindari hal tersebut, peritel harus
mampu memastikan bahwa setiap layanan yang diberikan harus sesuai
dengan apa yang dijanjikan.

86
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

Dalam menciptakan kualitas layanan yang memuaskan untuk pelanggan,


ada 2 (dua) pendekatan yang dapat dilakukan peritel (Christina Whidya Utami,
2008), yaitu:
a. Pendekatan objektif, yang dilakukan dengan cara menekankan
pandangan pelanggan terhadap kualitas layanan secara internal, melalui
pendekatan produksi dan penawaran. Selain itu, pendekatan ini juga
dapat dilakukan dengan cara menghindari kesalah transaksi yang
mungkin terjadi selama proses penyampaian layanan, ataupun
menghindari pemberian layanan yang menyimpang dari standar
prosedur yang telah ditetapkan.
b. Pendekatan subjektif, pendekatan yang menekankan pada pandangan
eksternal terhadap kualitas layanan yang diberikan. Pendekatan ini
mencakup tentang penilaian pelanggan yang sebenarnya terhadap
kemampuan perusahaan dalam mendefinisikan kebutuhan dan harapan
pelanggan melalui interaksi langsung antara peritel dan pelanggan,
dengan intensitas yang cukup tinggi.

Agar peritel mampu memberikan kualitas layanan terbaik kepada setiap


pelanggannya, maka peritel tersebut harus mampu melakuka hal-hal berikut (Levy
& Weitz, 2004):

1. Komitmen untuk memberikan kualitas layanan terbaik.


Komitmen ini dimulai dari kesiapan manajemen untuk menerapkan
setiap standarisasi layanan yang telah ditetapkan. Mau mengambil resiko
terhadap setiap kesulitan yang terjadi selama proses penyampaian layanan
tersebut. Hingga kepada peningkatan biaya yang mungkin terjadi akibat
penerapan standar layanan yang diberikan kepada pelanggan.
Standar layanan ini biasanya diciptakan oleh manajemen perusahaan,
sedangkan manajer toko biasanya berperan dalam mewujudkan komitmen
dari penerapan standar layanan tersebut. Sehingga, penting untuk pihak
manajemen untuk mendorong para manajernya dalam mencapai tujuan
tersebut. Pihak manajemen dapat memberikan insentif tertentu dari setiap
tujuan layanan yang berhasil diraih oleh para manajernya, sehingga
komitmen untuk memberikan layanan yang sesuai dengan standar
perusahaan akan terus tercapai dengan baik.

2. Mengembangkan inovatif untuk menyelesaikan setiap permasalahan.


Selama proses penyampaian layanan, terkadang ada beberapa
permasalahan yang mungkin dialami pelanggan ataupun peritel itu sendiri.
Maka dari itu, peritel dituntut untuk dapat menemukan cara yang inovatif
dalam mengatasi hal tersebut. pemecahan masalah yang inovatif ini biasanya
akan berdampak pada peningkatan kepuasan pelanggan, bahkan hingga
memberikan keuntungan bagi perusahaan dengan mengurangi biaya-biaya
tertentu yang perlu dikeluarkan.

87
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

Selain itu, peritel juga dapat menyediakan layanan melalui pemanfaatan


teknologi untuk memungkinkan pelanggan dapat mengakses setiap layanan
yang disediakan perusahaan dimana saja dan kapan saja. Dengan
kemudahan seperti ini, peritel berharap dapat memecahkan permasalahan
pelanggan dan meningkatkan tingkat kepuasan pelanggan di ritel mereka.

3. Menginformasikan mengenai peran penyedia layanan.


Sebelum memberikan layanan kepada pelanggan, peritel sebaiknya
menjelaskan terlebih dahulu bagaimana layanan tersebut akan diberikan dan
apa saja peran yang akan disampaikan oleh para penyedia layanan kepada
pelanggan tersebut. Dengan begitu, pelanggan akan mudah untuk diajak
bekerja sama selama proses penyampaian layanan di perusahaan. Sehingga
pelanggan tersebut akan merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan.
Kepuasan tersebut muncul, karena peritel telah memberitahukan
pelanggan mengenai konsekuensi dan keuntungan apa yang akan didapatkan
oleh pelanggan dari proses penyampaian layanan yang diberikan.

4. Menpunyai tujuan layanan yang jelas.


Perusahaan harus mampu menetapkan tujuan dalam proses pemberian
layanan kepada pelanggan. Tujuan seperti, pemberian layanan yang
konsisten, ketepatan dan kecepatan dalam pemenuhan kebutuhan pelanggan
dan lain-lain, penting untuk diteapkan. Tujuan yang ditetapkan dalam
pemberian layanan ini, haruslah didasarkan kepada kriteria atau persepsi
pelanggan terhadap layanan yang telah peritel berikan.
Selain itu, tujuan yang ditetapkan juga harus jelas (spesifik), terukur dan
mampu menciptakan keterlibatan yang aktif untuk para pegawainya. Dalam
penetapan tujuan ini, penting untuk perusahaan melibatkan setiap
pegawainya dalam pengambilan atau penetapan keputusan berkaitan dengan
tujuan perusahaan. Hal tersebut bertujuan agar ketika pegawai tersebut
melayani pelanggan, mereka sudah memahami dengan benar tujuan dari
setiap layanan yang diberikan, sehingga para pegawai dapat memberikan
layanan terbaiknya kepada setiap pelanggan yang ada.

5. Mengevaluasi layanan yang telah diberikan.


Peritel perlu mengawasi kinerja layanan yang diberikan secara terus
meneurs, untuk memastikan bahwa layanan yang disampaikan telah sesuai
dengan standarisasi yang ada. Beberapa peritel melakukan evaluasi berkala
terhadap layanan yang diberikan melalui survey kepada pelanggan. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan cara menggunakan mistery shopper yang
bertindak sebagai informan. Dimana mistery shopper ini akan mengevaluasi
kinerja dari pemberi layanan di suatu perusahaan. Hal yang dinilai oleh
mistery shopper adalah:

a. Berapa lama pemberi layanan menyapa pelanggan, ketika mereka


memasuki toko.

88
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

b. Apakah pemberi layanan telah menjalankan tugasnya dengan baik


dan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan perusahaan.
c. Bagaimana pengetahuan pemberi layanan mengenai produk dan
layanan yang dijual.

Dengan begitu, peritel akan mampu mengevaluasi layanan yang telah


mereka berikan kepada pelanggan, untuk selanjutnya dijadikan referensi
dalam peningkatan kualitas layanan perusahaan.

Referensi
Achmad, N., & Ainaini, M. (2006). Analisis Kualitas Pelayanan pada Pasien
Puskesmas di Surakarta. Empirika, Vol.19.
Amalina, C. H. (2010). Hubungan Antara Kepuasan Konsumen dan Kualitas
Pelayanan dengan Loyalitas Konsumen pada Ritel Modern. Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.
Arief. (2007). Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan. Malang: Bayumedia
Publishing.
Aryani, D., & Rosinta, F. (2010). Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Kepuasan
Pelanggan dalam Membentuk Loyalitas Pelanggan. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Vol. 17.
Brady, M., & Cronin. (2001). Some New Thoughts on Conseptualizing Perceived
Service Quality: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing, Vol. 65.
Fuad, N. (2013). Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Pelayanan, dan Citra Toko
Terhadap Kepuasan Konsumen Toko Ritel. Universitas Dipenogoro,
Semarang.
Kotler, P. (2005). Manajemen Pemasaran: Jilid I dan 2. Jakarta: PT Indeks
Kelompok Gramedia.
Kotler, P. (2012). Marketing Management. New Jersey: Pearson Education, Inc. .
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Lupiyoadi, R., & Hamdani, A. (2006). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta:
Salemba Empat.
Lupiyoadi, R., & Hamdani, A. (2009). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta:
Salemba Empat.
Mowen, J. C., & Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen Edisi 5, Jilid 2. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Prandita, L., & Iriani, S. S. (2013). Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Layanan,
Dan Emosional Terhadap Kepuasan Pelanggan Sogo Departemen Store.
Jurnal Ilmu Manajemen, Vol. 1.
Qin, H., & Prybutok, V. R. (2008). Determinants of Customer – Perceived Service
Quality in Fast-Food Restaurant and Their Relationship to Customer
Satisfaction and Behavioral Intentions. The Quality Management Journal,
Vol. 15.

89
Bab 7: Kualitas Layanan Ritel

Sigit, R. D., & Oktafani, F. (2014). Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap


Kepuasan Pelanggan Pengguna Jasa Lapangan Futsal (Studi Kasus Pada Ifi
Futsal Bandung ). Jurnal Universitas Telkom.
Sihombing, B. A. (2014). Pengaruh Lokasi, Kualitas Pelayanan Dan Retail Brand
Loyalty Terhadap Kesetiaan Pelanggan Toko Cv Kawani Sarana Petualang.
E-journal Graduate Unpar, VOL. 1.
Soeling, P. D. (2007). Pertumbuhan Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15.
Sudarsono, Heriyono, & Tohidi, E. Perbedaan Pelayanan Pada Ritel Tradisional
dengan Ritel Modern di Kota Cirebon. Jurnal Ekonomi, Vol. 2, Hal. 8.
Sugiarto, E. (2002). Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Tjiptono, F. (2005). Manajemen Jasa. Yogyakarta: Andi.
Tjiptono, F. (2008). Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi.
Utami, C. W. (2006). Relationship Effort Dan Kualitas Layanan Sebagai Strategi
Penguat Relationship Outcomes (Sebuah Tinjauan Konseptual Dalam Bisnis
Ritel Modern Di Indonesia). Jurnal manajemen Pemasaran, Vol. 1.
Utami, C. W. (2008). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Zeithaml, Valarie, & Bitner, M. J. (2006). Service Marketing – Integrating Customer
Focus Across The Firm. New York: Mc Graw - Hill Inc.

90
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

BAB 8
MANAJEMEN HUBUNGAN PELANGGAN DALAM
RITEL

Tujuan
1. Memahami konsep dasar manajemen hubungan pelanggan (Customer
Relationship Management-CRM).
2. Memahami CRM sebagai strategi membangun kesetiaan pelanggan.
3. Mengimplementasikan program CRM dalam bisnis ritel.

Pendahuluan
Paradigma pemasaran telah bergeser dari pemasaran transaksi (transaction
marketing) kepada pemasaran hubungan (relationship marketing) (Zeithaml, Bitner,
& Jo, 2000). Pergeseran paradigma tersebut telah memperluas aktivitas para
pemasar, pemasar tidak hanya bertugas untuk mencari pelanggan, namun juga
mempertahankan dan menumbuhkan pelanggan yang menguntungkan (Kotler &
Armstrong, 2008). Para pemasar telah menyadari bahwa memiliki produk yang
bagus saja tidak cukup, keputusan pelanggan untuk melakukan transaski dengan
perusahaan lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan pelanggan (Barnes, 2007).
Selain itu, kondisi demografi pasar pun telah berubah, pesaing semakin marak dan
melakukan strategi yang lebih pintar. Alhasil, pelanggan yang diperebutkan semakin
sedikit (Kotler & Armstrong, 2008). Dari fenomena tersebut, dikembangkanlah
konsep CRM (Customer Relationship Marketing) yang berfokus pada hubungan
kerjasama antara perusahaan, pelanggan dan pelaku pemasaran lainnya (Munandar,
2016). CRM dilaksanakan dengan melibatkan seluruh fungsi manajemen, setiap
orang dalam perusahaan bertanggung jawab untuk menglola dan memuaskan
pelanggan (Rangkuti, 2002). Dengan dikembangkannya hubungan baik dalam CRM,
pengusaha berharap konsumennya menjadi loyal, sehingga berimplikasi terhadap
peningkatan keuntungan bisnis (Utami, 2008b).

Pengertian Manajemen Hubungan Pelanggan


Manajemen hubungan pelanggan merupakan pengembangan pandangan pemasaran
dari konsep tradisional yang semula berfokus kepada transaksi dan kemudian beralih
fokus kepada loyalitas konsumen (Utami, 2008b). Peralihan fokus pemasar kepada
konsumen menuntut para pemasar untuk bisa memahami kebutuhan dan keinginan
konsumennya yang belum terpenuhi. Pemahaman tentang kebutuhan konsumen
tersebut, dilakukan melalui CRM (Customer Relationship Marketing) dengan
melakukan berbagai upaya untuk memperoleh, mepertahankan dan bermitra dengan
konsumen tertenu untuk menciptakan nilai unggulan bagi konsumen dan perusahaan

91
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

(Parvatiyar & Sheth, 2001). Dilihat dari tujuannya, CRM digunakan untuk
menyesuaikan proses pelanggan dan media jasa (Storbacka, R, & Lehtinen, 2001).
Sedangkan fokus kegiatan CRM itu sendiri adalah untuk meningkatkan kepuasan,
loyalitas, dan meningkatkan pendapatan perusahaan melalui pelanggan yang ada
(Foster, 2008). Dengan diterapkannya CRM, perusahaan memiliki kapabilitas untuk
memahami pelanggan dengan lebih baik, sehingga mampu menentukan tipe
komunikasi yang sebaiknya digunakan untuk menghadapi pelanggan (Foster, 2008).
Lebih dari itu, dengan diterapkannya CRM hubungan jangka panjang yang saling
memuaskan antara pihak yang berkepentingan dalam bisnis dapat terbangun (Kotler,
2003)

Pemahaman Kesetiaan Pelanggan


Kesetiaan pelanggan adalah komitmen pelanggan untuk selalu berbelanja dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui ritel tertentu dengan mengabaikan
aktivitas ritel pesaing (Utami, 2008b). Kesetian pelanggan ini merupakan tujuan
dilakukannya CRM, sebagaimana yang dikatakan oleh Munandar (2016) bahwa cara
paling efektif untuk membuat pelanggan loyal adalah secara proaktif membangun
program-program jangka panjang dengan pelanggan. Program-program jangka
panjang tersebut merupakan bagian dari CRM, dimana perusahaan berupaya untuk
memenuhi kepuasan pelanggan dan menyenangkan perasaannya sehingga terjadi
tindakan pembelian secara berulang (Foster, 2008).

Pelanggan yang setia sangatlah menguntungkan bagi perusahaan. Melalui pelanggan


yang setia, perusahaan bisa mempertahankan keuntungannya secara kontinyu
(Munandar, 2016). Perusahaan juga dapat meningkatkan laba hingga 100% hanya
dengan meningkatkan pembelian pelanggan yang loyal sebesar 5% (Reicheld, 1996)
serta bisa menghemat biaya promosi hingga lima kali lebih kecil (Lorber, Jameson,
& Battaglia, 1988). Selain itu, pelanggan yang loyal seringkali merekomendasikan
perusahaan kepada orang-orang terdekatnya. Pelanggan ini ingin melihat bisnis
berkembang hingga titik dimana mereka memiliki perusahaan tersebut (Barnes,
2007). Adapun pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesetiaan
pelanggan, diantaranya:

1. Membuat program berbelanja langganan


2. Memberikan pelayanan khusus kepada pelanggan
3. Memberlakukan kustomisasi atau mengikuti selera pelanggan terhadap jasa
4. Meningkatkan komunikasi dengan pelanggan.

Proses CRM

92
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

CRM merupakan proses keseluruhan dalam membangun dan mempertahankan


hubungan dengan pelanggan (Kotler & Amstrong, 2004). Prosesnya mirip dengan
lingkaran yang menunjukan kontinuitas yang terus berjalan selama perusahaan
masih beroperasi (Munandar, 2016). CRM juga merupakan proses interaktif yang
mengubah data pelanggan ke dalam program kesetiaan pelanggan melalui beberapa
aktivitas, diantaranya: (1) mengumpulkan data konsumen, (2) mengidentifikasi data
dan target konsumen, (3) mengembangkan program CRM, (4)
mengimplemenatasikan program CRM. Proses tersebut dapat terlihat pada diagram
dibawah ini

1. Mengumpulkan
data konsumen

2. Mengidentifikasi
4. Mengimplementasikan
data dan target
program CRM
konsumen

3. Mengembangkan
program CRM

Gambar 1. Proses CRM

Proses diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Mengumpulkan data konsumen


Langkah awal dalam melakukan proses CRM adalah mengumpulkan data
konsumen. Data pelanggan dikumpulkan secara detail dengan melakukan
identifikasi, segmentasi dan prediksi pelanggan (Munandar, 2016). Data tersebut
biasanya didapatkan melalui kartu loyalitas yang berisi informasi pembelian
konsumen, yang kemudian disimpan dalam database yang disebut warehouse
(Foster, 2008).

Basis data pelanggan


Platform informasi untuk CRM, pada umumnya sama dengan model pengelolaan
data yag dimiliki oleh perusahaan. Data tersebut berasal dari data penjualan,
pengembangan pasar, pemasaran, layanan pelanggan, pusat panggilan dan internet.
Kemudian data-data yang telah didapatkan, diproses menjadi informasi untuk basis
data relasional, pendukung keputusan, kolaborasi komunikasi dan profil konsumen
(Parvatiyar & Sheth, 2001). Adapun informasi yang biasa dikumpulkan untuk basis
data pelanggan, diantaranya :
 Sejarah pembelian yang dilakukan pelanggan.

93
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

 Kontak pelanggan, atau rekaman interaksi yang dilakukan dengan


perusahaan
 Pilihan pelanggan, yaitu informasi tentang apa yang biasa dibeli oleh
pelanggan.
 Data demografi dan psikografi yang menggambarkan pelanggan.
 Tanggapan atas analisis transaksi yang dilakukan oleh pelanggan.
(Utami, 2008b)

Informasi tentang identitas


Untuk mengetahui identitas pelanggannya,peritel perlu melaksanakan aktivitas
komunikasi pemasaran dengan memanfaatkan berbagai jenis sarana (Munandar,
2016). Hal-hal yang dapat dilakukan peritel, diantaranya:

 Menanyakan identitas pelanggan


Peritel menggunakan tim penjual yang dimilikinya untuk bertanya langsung
kepada konsumen tentang identitas mereka. Kemudian, data tersebut
disimpan sebagai basis data pelanggan.
 Menawarkan kartu belanja langganan
Peritel mendapatkan informasi pelanggan ketika pelanggan tersebut
mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu belanja langganan. Selain
mendapatkan informasi tentang pelanggan, kartu belanja langganan juga
dapat digunakan untuk menjelankan program kesetiaan. Pelanggan akan
termotivasi untuk membeli di ritel tersebut karena mendapatkan potongan
harga atas kepemilikan kartu belanja langganan.
 Menguhubungkan nomor rekening dan kartu kredit pihak ketiga
Peritel dapat menggunakan nomor rekening dan kartu kredit yang dipakai
pelanggan untuk mengetahui data pribadi dan transaksi yang telah dilakukan
oleh konsumennya.

2. Mengidentifikasi data dan target konsumen


Setelah basis data pelanggan dianalisis, informasi yang dihasilkan digunakan untuk
menyesuaikan penawaran dan aktivitas promosi dengan keinginan pelanggan.
Informasi-informasi tersebut juga digunakan untuk mengembangkan program
kesetiaan pelanggan (Foster, 2008).

Mengidentifikasi segmen pasar


Untuk memberikan nilai yang lebih tinggi kepada pelanggan, pemasar biasanya
melakukan segmentasi (Munandar, 2016). Menurut Rangkuti ( 2002), segmentasi
dilakukan dengan mengidentifikasi produk yang dibeli oleh pelanggan, nilai
penjualan dan keinginan pelanggan. Sedangkan menurut Ma’ruf (2005), segmentasi
dilakukan dengan cara mengelompokkan konsumen berdasarkan karakteristik dan
respon mereka terhadap program pemasaran yang telah dilakukan oleh peritel.
Dengan adanya segmentasi pasar, peritel dapat memahami target pasar terbaik untuk
membangun hubungan jangka panjang (Foster, 2008), yang pada akhirnya pelanggan

94
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

akan menjadi loyal dan membantu mempromosikan ritel melalui word of mouth
(Zeithaml et al., 2000).

Mengidentifikasi pelanggan terbaik


Pelanggan terbaik dapat diidentifikasi melalui tingkat loyalitas pelanggan terhadap
perusahaan. Diketahuinya tingkat loyalitas tersebut akan sangat bermanfaat bagi
peritel untuk mengetahui posisi pelanggan. Sehingga peritel dapat mengembangkan
program-program yang sesuai dengan posisi pelanggan. Untuk mengetahui
pelanggan terbaiknya, peritel dapat mengidentifikasinya dengan cara berikut:

 Nilai waktu hidup (lifetime value-LTV)


Cara ini digunakan untuk mengukur nilai setiap pelanggan. LTV merupakan
kontribusi input dari pelanggan terhadap laba ritel.

 Piramida pelanggan.
Melalui piramida pelanggan, peritel mengelompokkan konsumennya ke
beberapa segmen, diantaranya:
- Segmen Platinum, merupakan pelanggan setia yang tidak
mempertimbangkan barang dagang dan harga yang diajukan peritel.
- Segmen Emas, pelanggan yang memiliki nilai LTV lebih rendah
dari segmen platinum karena sensitive terhadap harga
- Segmen besi, pelanggan dengan nilai LTV yang rendah, sehingga
tidak memerlukan banyak perhatian dari peritel
- Segmen awal, pelanggan yang banyak menuntut perhatian
perusahaan namun tidak menguntungkan karena pembeliannya yang
jarang dan sedikit.

 Analisis kekinian, frekuensi, dan moneter (Recency, Frequency, Monetery-


RFM)
Analisis ini didasarkan pada skema segmentasi pelanggan menurut pola
pembelajaran terbaru yang dilakukan oleh pelanggannya.

Pelanggan yang menghasilkan


PLATINUM
profitabilitas yang tinggi

EMAS

BESI

Pelanggan yang menghasilkan


profitabilitas yang tinggi AWAL

Gambar 2. Piramida pelanggan

95
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

Sumber :Valerie Zeithaml, Roland Rust, dan Katherine Lemon, 2001.

3. Mengembangkan Program CRM


CRM dalam ritel digunakan sebagai media untuk mempertahankan pelanggan,
meningkatkan LTV, dan menghadapi pelanggan yang tidak menguntungkan.

Mempertahankan pelanggan
Bisnis ritel sangat marak di masyarakat, sehingga membutuhkan upaya hubungan
(relationship effort) dalam melakukan diferensiasi. Upaya hubungan adalah upaya
peritel dalam menjalin relasi yang berkelanjutan dengan cara memberikan kontribusi
terhadap harapan konsumen. Dengan adanya upaya hubungan tersebut, diharapkan
retensi pelanggan dan loyalitas pelanggan dapat terwujud (Utami, 2008b). Selain itu,
upaya pelanggan juga dilakukan untuk menghindari terjadinya perpindahan
pelanggan (customer churn) ke pihak asing (Munandar, 2016).
Upaya hubungan mengacu pada beberapa hal sebagai berikut :

1. Usaha secara aktif yang dilakukan oleh ritel


Peritel secara aktif memberikan manfaat kenyamanan (convenient benefit)
kepada konsumennya. Manfaat kenyamanan dapat diwujudkan melalui
berbagai hal, diantaranya: informasi tata letak produk secara jelas melalui
signage maupun komunikasi personal (Utami, 2008b), serta peningkatan
kapasitas pegawai untuk melayani pelanggan (Munandar, 2016)
2. Upaya hubungan didefinisikan mirip dengan manfaat hubungan
(relationship benefit) Upaya hubungan dipahami sebagai manfaat yang
didapat oleh konsumen sebagai implikasi dari relasi jangka panjang yang
diberikan oleh produsen.

Ketika ritel mengaplikasikan pemasaran relasional untuk memperoleh hasil


relasional (relationship outcome) seperti yang diharapkan, pelanggan akan
memberikan kesan yang baik untuk perusahaan. Hal in disebabka oleh upaya
perusahaan dalam menginvestasikan waktu, dan sumber daya lainnya dalam
mempertahankan pelanggan.

Levy dan Weitz (2004) menjelaskan bahwa untuk mempertahankan pelanggan dan
menjadikan mereka sebagai konsumen yang setia, peritel dapat melakukan empat
pendekatan, yaitu: program belanja secara rutin, perlakuan khusus untuk pelanggan,
personalisasi (personalization) dan balas jasa (rewarding), serta membangun
komunitas (preferential treatment). Sedangkan untuk meretensi pelanggan, peritel
dapat melakukan beberapa hal, diantaranya:

 Program frekuensi pelanggan


Program ini dilakukan untuk membangun data pelanggan dan mendorong
kebiasaan berbelanja

 Pelayanan pelanggan spesial,

96
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

Layanan yang istimewa diberikan oleh peritel kepada para pelanggannya


yang setia. Bentuk layanannya bisa bermacam-macam, misalnya waktu
berbelanja khusus atau akses untuk membeli produk baru (Parvatiyar &
Sheth, 2001)

 Personalisasi
Personalisasi merupakan cara peritel untuk bersosialisasi secara pribadi
dengan setiap konsumennya. Personalisasi menumbuhkan kehangatan dan
suasana yang bersahabat, sehingga pelanggan akan merasa nyaman. Selain
itu, dengan adanya personalisasi pengetahuan peritel akan kebutuhan
konsumennya akan semakin meningkat dan hubungan yang terjalin akan
semakin kuat (Munandar, 2016).

 Komunikasi
Komunikasi merupakan faktor utama agar terjadinya relasi (Utami, 2008a).
Dalam komunikasi terjadi proses penyampaian informasi (ide, gagasan,
pesan) agar terjadi saling mempengaruhi antar kedua pihak (Hermawan,
2012). Dengan terjadinya komunikasi, usaha-usaha yang dilakukan oleh
produsen dalam menciptakan relasi dengan konsumen dapat terwujud.
Hingga akhirnya, komunikasi tersebut dapat mendorong konsumen untuk
merespon melalui sikap dan perilaku (Fill & Jameison, 2006)

Mengubah pelanggan baik menjadi pelanggan dengan nilai LTV tinggi


Perubahan pelanggan baik menjadi pelanggan yang memiliki nilai LTV tinggi dapat
diidentifikasi melalui peningkatan piramida pelanggan, dimana pelanggan yang
semula berada di segmen besi berangsur-angsur naik ke segmen emas dan platinum.
Untuk menigkatkan kelas segmen pelanggan, banyak cara yang dapat dilakukan,
diantaranya melalui penjualan tambahan pada produk baru, pelayanan tambahan
kepada pelanggan lama dan penjualan silang (cross selling) yang dilakukan dengan
cara menjual produk pelengkap

Berhadapan dengan pelanggan yang tidak menguntungkan


Pemasar telah menyadari bahwa tidak semua pelanggan menguntungkan. Anggapan
tersebut didukung oleh analisis profitabilitas (Kotler & Armstrong, 2008) dan
perkembangan teknologi yang memungkinkan perusahaan untuk melacak transaksi
dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang pelanggannya (Barnes, 2007).
Dari analisis data yang memperlihatkan konsumen yang merugikan, banyak pemasar
yang memutuskan untuk menghilangkan konsumen tersebut dan hanya berfokus
kepada konsumen yang menguntungkan (Kotler & Armstrong, 2008). Penghapusan
konsumen yang merugikan ini disebabkan oleh intensitas pembelanjaan konsumen
yang sedikit namun memerlukan biaya yang sama besarnya dengan biaya pelayanan
kepada konsumen yang menguntungkan (Barnes, 2007). Walaupun mendorong
pelanggan untuk memutuskan hubungan dengan perusahaan adalah tindakan yang
kasar, hal tersebut dapat menjadi alat untuk meningkatkan keuntungan dan kualitas

97
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

pelayanan kepada pelanggan yang menguntungkan (Barnes, 2007). Adapun


pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan pelanggan jenis ini adalah :

 Memberikan pendekatan layanan yang tidak menghabiskan banyak biaya.


 Membebankan tagihan kepada pelanggan atas layanan yang disalahgunakan.

4. Mengimplementasikan program CRM


Untuk menerapkan program CRM yang efektif, perusahaan membutuhkan
koordinasi dengan selutuh bagian di organisasi ritel. Bagian system informasi
diperukan untuk mengumpulkan informasi, menganalisis, dam melaporkannya
secara jelas sehingga dapat dimengerti oleh pegawai lainnya. Sedangkan bagian front
office dan pramuniaga bertanggung jawab untuk berkomunikasi secara baik dengan
pelanggan. Adapaun bagian operasional dan manajemen berperan daam
memperkejakan, melatih dan memotivasi pegawai untuk mengembangkan
pelayanan personal (Utami, 2008a).

Rahasia dan Program CRM


Ketika peritel berupaya memperoleh informasi dari pelanggan, tidak semua
pelanggan mendukung hal tersebut. Karena pelanggan seringkali merasa terganggu
ketika peritel menggali informasi yang dianggap rahasia oleh mereka (Utami,
2008a). Tingkatan dimana pelanggan mulai merasa terganggu, terjadi pada saat:

 Aktivitas penggalian informasi pribadi menarik perhatian pelanggan lain


 Tujuan pengumpulan informasi pribadi tidak diinformasikan

Banyak orang mengartikan informasi pribadi sebagai semua informasi yang tidak
bisa disebarkan, meskipun bersifat umum (Utami, 2008a). Uni Eropa telah
memberikan beberapa ketentuan yang berimplikasi langsung terhadap rahasia
konsumen, diantaranya:

 Perusahaan dapat mengumpulkan informasi konsumen jika tujuannya


disebutkan secara jelas.
 Tujuan dan alasan pengumpulan data harus diinformasikan secara jelas
 Informasi yang diperoleh hanya digunakan untuk tujuan tertentu saja
 Perusahaan yang menjalankan bisnisnya di Eropa hanya dapat mengirimkan
informasi pelanggan ke 15 yang tergabung dalam Uni Eropa saja.

Referensi
Barnes, J. G. (2007). Secrets of Customer Relationship Management (Rahasia
Manajemen Hubungan Pelanggan) (11th edition ed.). Yogyakarta: Andi.

98
Bab 8: Manajemen Hubungan Pelanggan dalam Ritel

Fill, & Jameison. (2006). Marketing Communications: Edinburgh Business School


Heriot-Watt University.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung. Alfabeta.
Hermawan, A. (2012). Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Kotler, P. (2003). Marketing Management (11 th edition ed.). New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Kotler, P., & Amstrong, G. (2004). Principles of Marketing (10th edition ed.). New
Jersey: Prentice Hall Upper Sadle River.
Kotler, P., & Armstrong, G. ( 2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran (Edisi Ke-12 ed.).
Jakarta: Erlangga.
Lorber, Jameson, & Battaglia. (1988). Ten Commandements of Customer Service:
Executive Excellence.
Ma'ruf, H. (2005). Pemasaran Ritel. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Munandar, D. (2016). Relationship Marketing: Strategi menciptakan keunggulan
Bersaing. Yogyakarta: Ekuilibria.
Parvatiyar, & Sheth. (2001). Customer Relationship Management: Emerging
Practice, Process and Discipline. Journal of Economic and Social Research,
3.
Rangkuti, F. ( 2002). Measuring Customer Satisfaction; Gaining Customer
Relationship Strategy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Reicheld, F. F. (1996). The Loylaty Effect, The Hidden force Behind Growth, Profits
and Lasting Value: Harvard Business Scholl Press Bain and Company.
Storbacka, R, J., & Lehtinen. (2001). Customer Relationship Management: Creating
Competitive Advantage Through Win-Win Relatonship Strategies.
Singapore: McGraw-Hill.
Utami, C. W. (2008a). Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Ritel. Jakata:
Salemba empat.
Utami, C. W. (2008b). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.
Zeithaml, V. E., Bitner, & Jo, M. (2000). Service Marketing: Integrating Customer
Focus Across The Firm (2nd edition ed.): Mc Graw Hill Companies Inc.

99
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

BAB 9
TEKNOLOGI DALAM BISNIS RITEL

Tujuan
1. Memahami manfaat dan perkembangan teknologi dalam bisnis ritel.
2. Memahami pemanfaatan teknologi dalam penciptaan inovasi layanan bisnis
ritel dan peningkatan kualitas layanan konsumen,
3. Memahami dan mengimplementasikan E-commerce dalam bisnis ritel.

Internet telah menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia secara luas dalam
beberapa tahun belakangan. Perkembangan internet yang sangat pesat
memperlihatkan bagaimana pengenalan dan komersialisasi teknologi baru dapat
menghasilkan inovasi produk yang dramatis dan menuju perubahan signifikan dalam
hal operasionalisasi bisnis serta gaya hidup dan pekerjaan banyak orang.
Pemanfaatan internet dalam bisnis sudah sedemikian luas dipakai oleh masyarakat.
Terutama yang terkait dengan pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan. Melalui jaringan teknologi informasi proses pemasaran produk akan
menjadi lebih tepat sasaran, cepat dan sangat efisien. Yuliana memberikan beberapa
gambaran mengenai tujuan digunakanya web sebagai basis pemasaran, produk yang
berkembang saat ini (Yuliana, 2004) :
 Web digunakan sebagai wahana untuk menarik minat konsumen melalui
periklanan
 Memperbaharui layanan, melalui dukungan teknologi informasi
 Meningkatkan jalur dan penyebaran pemasaran dari produk yang ada, melalui web
baru
 Memperbaharui informasi dari produk yang dapat diakses melalui internet
Teknologi bagi bisnis ritel menjadi semakin penting, karena bisa dijadikan sebagai
alat pemasaran. Peritel yang maju menggunakan sistem yang terkomputerisasi untuk
membuat peramalan penjualan, mengendalikan biaya persediaan, pemesanan melalui
online, mengirimkan surat penawaran, hingga menjual produk kepada konsumen.
Kemajuan teknologi juga mendorong manajemen ritel untuk lebih profesional dalam
memberikan pelayanan, untuk meningkatkan produktivitas dan margin usaha.
(Sopiah, 2008).
Perilaku masyarakat saat ini sudah sangat terpengaruh oleh perkembangan teknologi
yang sangat cepat. Gaya hidup serba mudah, cepat dan efisien menjadi tren dan
fenomena yang dapat dilihat secara kasat mata. Perubahan teknologi informasi yang
terjadi akhir-akhir ini telah banyak merubah keadaan dan layanan yang dapat
diberikan pada konsumen. Fenomena gojek, telah memberikan perubahan terhadap
jenis produk dan jasa yang dapat nikmati konsumen. Layanan jasa konvensional
dalam sekejap menjadi kelihatan usang dan sangat mahal. Saat ini konsumen telah
dapat menikmati informasi produk yang serba baru dan mutakhir, layanan
penyampaian produk yang serba cepat dan biaya menjadi jauh lebih murah dan
efisien. Tantangan yang dihadapi peritel saat ini adalah kreasi dan inovasi produk dan
layanan yang dapat diberikan kepada konsumen. Persaingan bagi peritel dalam era

100
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

teknologi informasi saat ini adalah terorientasi pada kecepatan mengkreasi produk
yang unik bagi konsumen dan layanan yang cepat dan murah.
Teknologi informasi telah memungkinkan pelaku bisnis ritel untuk mendapatkan
informasi yang serba lengkap dan variatif. Gagasan baru bisa diramu dari informasi
yang sudah didapat, selanjutnya bagaimana mengolah gagasan tersebut untuk
kepentingan bisnis yang akan dibangun. Menggali dan memanfaatkan teknologi
informasi bagi peritel saat ini adalah menjadi keniscayaan. Peritel tidak dapat lagi
menghindar dari penggunaan teknologi dalam perencanaan pemasaran produknya.

Manfaat Penggunaan Teknologi dalam Bisnis

Berikut adalah beberapa manfaat yang bisa didapat oleh peritel dalam penggunaan
internet untuk kepentingan bisnisnya (Hermawan, 2012):
a. Biayanya yang relatif murah.
Dengan menggunakan internet, peritel tidak perlu lagi mempromosikan barang
dagangannya melalui sarana periklanan tradisional, yang cukup menghabiskan
banyak biaya. Dengan internet, peritel dapat menjangkau konsumen secara luas
dan konsumen dapat mengakses informasi mengenai barang dagangan tersebut
dengan mudah dan praktis. Hal tersebut akhirnya membuat peritel dapat
menghemat biaya operasional yang perlu dikeluarkan.

b. Muatan informasi yang besar.


Melalui pemasaran internet ini, konsumen dapat mengakses setiap informasi yang
berkaitan dengan barang dagangan yang dijual kapanpun dan dimanapun. Bahkan
teknologi saat ini juga memungkinkan konsumen untuk dapat membeli langsung
secara online melalui web yang disediakan peritel. Selain itu, penggunaan internet
ini juga memudahkan peritel untuk merekap setiap data transaksi yang terjadi
dalam tokonya, secara akurat dan otomatis. Dengan begitu, perusahaan akan
mengetahui setiap informasi mengenai konsumennya, bagaimana respon
konsumen tersebut terhadap setiap kegiatan promosi yang dilakukan oleh peritel,
dan informasi lainnya.

Pemanfaatan teknologi informasi bisa memberikan efek yang menguntungkan pada


strategi usaha untuk memenangkan persaingan, berikut diantara beberapa efek
tersebut (Yuliana, 2004):
 Diseminasi global
Teknologi informasi yang ada saat ini telah memungkinkan peritel untuk
menyebarkan informasinya tanpa batas ke seluruh negeri, bahkan keseluruh dunia,
dengan kecepatan dan efisiensi yang luar biasa tinngi. Hal ini menjadi sangat
membantu peritel dalam mengembangkan strategi pemasaran dan penyebaran
informasi mengenai produk dan layanan yang diberikan kepada konsumen untuk
jangkauan yang lebih luas, kecepatan yang lebih tinggi dan layanan yang lebih
efisien.

 Interaksi

101
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

Komunikasi yang lebih interaktif melalui internet memungkinkan peritel untuk


melakukan komunikasi dua arah, sehingga peritel dapat memberikan respon yang
menguntungkan baik bagi dirinya maupun untuk pelangganya. Dengan demikian
peritel dapat membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen serta citra bagi
perusahan melalui layanan yang dapat diberikan pada konsumen.

 Customization
Kesanggupan teknologi informasi untuk melayani konsumen dalam mengakses
informasi secara otomatis sesuai dengan apa yang mereka perlukan, membuka
peluang bagi bisnis untuk mengembangkan strateginya. Berbagai kepentingan
bisnis dapat diakomodir dengan teknologi internet, misal rekrutasi pegawai,
pemasaran dan penjualan produk, menjadi mudah diakses dengan lebih cepat,
efisien dan tepat sasaran.

 Kolaborasi
Dengan teknologi internet memungkinkan bisnis untuk membuka akses bersama
dalam kelompok, sehingga kerjasama dengan sesama rekan bisnis menjadi mudah
dilakukan tanpa harus bertemu langsung. Kondisi ini sangat meringankan beban
dari setiap rekan bisnis yang mau bekerja sama tanpa harus terikat dengan ruang
dan waktu. Koordinasi kerja yang dulu dilakukan melalui keharusan bertemu
secara fisik saat ini dapat dikerjakan dengan tempat dan waktu yang mungkin
saling berbeda. Lagi-lagi peluang ini memberikan strategi baru dalam
pengembangan bisnis ke depan.

 Electronic Commerce
Aktivitas transaksi bisnis saat ini yang mencakup interaksi dengan pemasok,
pembeli dan keperluan transaksi bisnis lainya dengan berbagai pihak dapat
dilakukan melalui teknologi internet. Aplikasi bisnis elektronik memungkinkan
suatu peritel melakukan pelayanan transaksi penjualan produk dan layanan
pelanggan yang lebih luas, cepat dan efisien.

 Integrasi
Penggunaan teknologi informasi yang terintegrasi dalam menangani berbagai
urusan eksternal dengan proses bisnis internal perusahaan secara online,
memungkinkan peritel untuk mengelola operasional perusahaan dengan inovatif
dan efisien.

Keterbatasan Teknologi

102
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

Meskipun, penggunaan teknologi internet memungkinkan peritel untuk menjangkau


konsumen secara luas, namun tetap saja intermet memiliki beberapa keterbatasan,
yaitu (Hermawan):
a. Produk yang tak tersentuh. Ketidakmampuan pelanggan untuk melihat dan
merasakan produk yang dijual secara langsung membuat pemasaran online
menjadi terbatas. Hal tersebut tidak jarang memberikan sedikit keraguan terhadap
konsumen ketika akan membeli suatu produk. Beberapa konsumen cenderung
tidak percaya dan takut tertipu oleh iklan-iklan produk dalam pemasaran online.

b. Tingkat keamanan berbelanja. Keamanan informasi dalam transaksi belanja


merupakan salah satu isu yang sangat diperhatikan oleh konsumen. Banyak
konsumen yang merasa tidak aman untuk melakukan pembelian secara online,
karena takut informasi pribadinya akan disalahgunakan oleh pihak penjual online
untuk kepentingan tertentu. Masalah lain seperti keamanan pengiriman barang
juga menjadi salah satu perhatian khusus bagi pelanggan. Beberapa pelanggan
takut apabila barang yang sampai tidak sesuai dengan ekspektasi atau mengalami
kerusakan selama pengiriman. Maka dari itu, biasanya peritel memberikan layanan
tracking paket yang akan dikirimkan, agar pelanggan dapat mengetahui posisi
produk yang mereka beli. Selain itu, masalah utama yang menjadi perhatian
konsumen adalah transaksi penjualan. Mekanisme pembayaran yang dilakukan
secara online tidak jarang membuat konsumen ragu dan takut mengalami masalah
ketika melakukan transaksi, sehingga memungkinkan mereka mengalami kerugian
tertentu. Maka dari itu, peritel perlu membuat strategi yang mampu mengatasi
semua kecemasan konsumen mengenai tingkat keamanan dalam berbelanja online
ini.

Jenis-jenis Teknologi dalam Bisnis

Setidaknya terdapat enam jenis teknologi yang memiliki implikasi pada bisnis ritel.
Pengaplikasian satu jenis teknologi di dalam perusahaan ritel sering kali
membutuhkan bantuan dari jenis teknologi yang lain.
1. Teknologi Kekuatan/ Daya dan Energi
Power and Energy Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan
pada pencarian dan penerapan sumber tenaga baru yang lebih baik daripada yang
sudah ada sekarang. Sumber energi baru tersebut dapat berupa tenaga surya dan
angin.

2. Teknologi Desain Fisik


Physical Design Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan
pada penciptaan peralatan yang lebih kecil, lebih ringan, lebih cepat, dan lebih
efisien. Misalkan, penggunaan laptop atau handphone lebih dipilih, dibandingkan
komputer desktop atau telepon rumah konvensional.

3. Teknologi Material

103
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

Material Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada


penciptaan material baru yang digunakan dalam pembuatan peralatan yang lebih
kuat, lebih ringan, lebih hemat energi, lebih akurat, dan memiliki teknologi yang
lebih baik.

4. Teknologi Metode
Methods Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada
penciptaan dan pengembangan cara baru dalam bekerja, termasuk di dalamnya self
service bagi konsumen. Perkembangan teknologi di sini melibatkan peran serta
manajer SDM dan marketing spesialis dalam penciptaan desain dan
implementasinya.

5. Bio Teknologi
Biotechnology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada penciptaan
dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, yang lebih memerhatikan kelestarian
dan kelangsungannya di masa yang akan datang.

6. Teknologi Informasi
Information Technology, perkembangan teknologi di bidang ini ditekankan pada
penciptaan media penyimpanan yang lebih baik, lebih kecil dan lebih kuat, serta
penciptaan software yang lebih sempurna.

Teknologi dan Inovasi

Untuk meningkatkan pelayanan sebuah ritel melalui cara baru dalam bekerja, tidak
jarang perusahaan yang memilih untuk memanfaatkan teknologi dalam kegiatan
operasional ritelnya. Penggunaan teknologi ini ditujukan untuk menciptakan inovasi
baru dalam penerapan strategi perusahaan. Selain itu, penggunaan teknologi ini juga
ditujukan untuk memperbaiki layanan yang sudah ada dan menciptakan cara baru
yang lebih efektif dalam bekerja.
Manajer jasa harus bersikap realistis terhadap potensi teknologi untuk menciptakan
hasil yang menguntungkan bagi perusahaan. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan
potensi yang dimiliki internet untuk memfasilitasi konsep-konsep bisnis yang baru
dan memperbaiki produktivitas bisnis melalui penghematan atau pengurangan
aktivitas-aktivitas seperti biaya permbelian dan biaya pengiriman.
Penggunaan teknologi ini membuat jam kerja ritel dalam melayani konsumen menjadi
lebih fleksibel dan lebih baik lagi. Dengan inovasi yang ada, konsumen dapat dengan
mudah melakukan pembelian dan meminta peritel untuk mengantarkan barang yang
dibelinya ke tempat konsumen tersebut. Selain itu, penggunaan teknologi ini
memberikan kemudahan bagi konsumen dan peritel untuk melakukan komunikasi
yang interaktif. Teknologi ini juga memungkinkan konsumen untuk mendapatkan
produk-produk yang mungkin tidak dijual di toko-toko lokal yang ada.
Namun jika kita terlalu tergesa-gesa untuk mengadopsi teknologi baru tanpa
memikirkan lebih jauh implikasinya terhadap karyawan, pelanggan, dan keseluruhan
sistem operasional maka besar kemungkinan timbul kekacauan, sebagaimana telah

104
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

terbukti dari kegagalan banyak perusahaan dot-com. Di lain pihak, Michael Porter,
seorang ahli dari Harvard yang mengembangkan strategi persaingan, berpendapat
bahwa kita harus meningkatkan retorika tentang ‘industri internet’, ‘strategi e-bisnis’,
dan ‘ekonomi baru’; kita harus mulai melihat dan menilai internet seperti apa adanya:
suatu teknologi yang memungkinkan manusia melakukan banyak hal, serangkaian
sarana yang sangat kuat untuk digunakan, baik secara bijak maupun tidak, dalam
hampir semua industri dan sebagai bagian dari hampir semua strategi.
Perusahaan-perusahaan jasa terkemuka memperlakukan teknologi sebagai komponen
kritis (komponen penentu keberhasilan) dari keseluruhan strategi bisnis mereka.
Perusahaan-perusahaan tersebut terus-menerus mengeksplorasi cara-cara untuk
menggunakan inovasi-inovasi teknologi guna menciptakan nilai bagi para pelanggan
dan pemegang saham, meningkatkan kualitas dan produktivitas, serta menciptakan
keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Inovasi-inovasi tersebut sering kali
memberikan berbagai peluang atau keharusan untuk melakukan perubahan strategi-
strategi perusahaan. Bahkan Amazon.com, eBay, Webvan, dan perusahaan ‘internet
murni’ tidak pernah memiliki lokasi outlet ritel secara fisik. Dari sudut pandang
pelanggan, barang atau produk yang mereka jual mungkin berwujud, namun
perusahaan itu sendiri hanya ada di cyberspace.

Teknologi Informasi Memperbaiki Layanan Perusahaan Ritel

Kemajuan dan perkembangan dalam IT (teknologi informasi) memiliki arti yang


cukup signifikan bagi perbaikan layanan perusahaan ritel. Sebagai akibat dari
kemajuan IT timbul banyak peluang untuk memanfaatkan IT pada saat mendesain
strategi layanan bagi pelanggan bisnis ritel.
Penerapan IT dalam bisnis ritel dapat menambah nilai dari pelayanan dalam bisnis
ritel itu sendiri. Penerapan IT dalam bisnis ritel dapat berupa (Utami, 2008):
1. Information and Consultation, yang memungkinkan konsumen untuk
mempelajari brosur elektronik, membaca FAQ (Frequently Asked Question),
membaca jadwal, mengecek harga, berinteraksi dengan expert systems yang
mengetahui keinginan dan karakteristik konsumen, memesan barang via surel.

2. Order Taking, yang memungkinkan konsumen untuk: membuat reservasi dan


menerima konfirmasi via surel, mengirim aplikasi (kartu kredit, asuransi, dan lain-
lain), memesan barang dan mengecek status pengiriman.

3. Hospitality, yang memungkinkan perusahaan untuk merekam informasi yang


berkaitan dengan latar belakang konsumen.

4. Safekeeping, yang memungkinkan perusahaan untuk merekam perjalanan dan


kiriman barang dagangan, menerima pemberitahuan dari perbaikan menyeluruh.

5. Exceptions, yang memungkinkan konsumen untuk merekam permintaan khusus,


mencari hal yang hilang, komplain via surel.

105
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

6. Billing, yang memungkinkan konsumen untuk menghitung total pembelanjaan,


membuat pelelangan atau menawarkan barang secara lelang, menerima tagihan via
surel, mengecek status rekening.

7. Payment, yang memungkinkan konsumen untuk membayar via kartu kredit, direct
debt.

Pemanfaatan IT dalam layanan konsumen dapat memberikan berbagai keuntungan


baik bagi produsen maupun konsumen. Melalui internet perusahaan dapat dengan
mudah memberikan layanan informasi mengenai produk dan jasa yang mereka
tawarkan kepada konsumen. Akses dan proses ineraksi antara peritel sebagai produsen
dengan pelanggan sebagai pengguna produk atau jasa menjadi lebih mudah, tidak
terikat dengan waktu dan tempat. Hal ini secara komersial dapat memberikan
keuntungan yang besar bagi perusahaan baik yang besar maupun kecil.
Berdasarkan pada peluang keuntungan yang begitu menjanjikan bagi perusahaan yang
menggunakan teknologi informasi dalam bisnisnya, maka banyak perusahaan yang
kemudian melakukan investasi yang cukup besar pada pengembangan teknologi ini
dalam menunjang aktivitas usahanya. Selain memungkinkan perusahaan dapat
menjangkau konsumen yang lebih luas dengan biaya yang lebih efisien juga dapat
memberi peluang untuk berinteraksi langsung dengan konsumenya. Interaksi
konsumen dengan produsen ini, dapat pula dipakai sebagai wahana untuk
mengembangkan produk baru yang lebih inovatif dan berkualitas berdasarkan
kebutuhan pelangganya.

E-Commerce: Paradigma Baru dalam Komunikasi dan Distribusi

Bagi perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi, hubungan pemasaran dengan


pelanggan secara tradisional yang berbasiskan riset sudah tidak memadai lagi untuk
saat ini. Perusahaan-perusahaan ritel makin berkembang dan memperluas operasinya
melewati batas-batas negara, sehingga para manajer korporasi menjadi makin jauh
dari operasi bisnis setiap hari dan tidak lagi melakukan dialog yang mendalam dengan
para pelanggan. Perkembangan ini membutuhkan usaha-usaha baru untuk memahami
dan mencatat kebutuhan-kebutuan pelanggan sehingga tenaga representatif dari
perusahaan dapat menjangkau setiap pelanggan tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu.
Maka dari itu, banyak peritel yang menggunakan aplikasi berbasis internet untuk
mendukung kegiatan operasional tokonya. Saat ini, peritel mulai beralih dari
penjualan tradisional, menjadi penjualan berbasis online atau yang biasa disebut e-
commerce. E-commerce ini memungkinkan jaringan informasi yang menguntungkan,
baik bagi konsumen ataupun penjual itu sendiri (Hermawan, 2012). Namun, hal yang
perlu diperhatikan dalam penggunaan e-commerce ini adalah kesiapan peritel dalam
mengemas barang dan jasa yang akan dijualnya, hingga produk tersebut
didistribusikan kepada konsumen (Raynold, 2004).
Konsep dari e-commerce ini adalah membantu pelanggan untuk melakukan transaksi
penjualan melalui sarana pemasaran online yang disediakan, memfasilitasi setiap
transaksi yang terjadi, dan mengelola setiap tindak lanjut dari proses penjualan yang

106
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

telah terjadi. Tingkat efektivitas penggunaan e-commerce ini ditentukan oleh


kemampuan peritel dalam mengidentifikasi kebutuhan pasar yang jelas, sensitivitas
terhadap lingkungan persaingan, kemampuan mengomunikasikan proporsi nilai yang
kuat bagi pelanggan, dan fleksibilitas dalam merespon perubahan besar. (Hermawan,
2012).
Penggunaan E-commerce saat ini memudahkan peritel untuk menjual produknya ke
hampir seluruh dunia. Hal tersebut berpotensi membantu peritel untuk meningkatkan
pendapatannya dan mendapatkan banyak informasi tentang pelanggannya. Selain itu,
e-commerce ini memungkinkan konsumen untuk dapat mengakses berbagai produk
dari peritel internasional. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan belanja online
tersebut juga terbilang lebih murah, dibandingkan berbelanja langsung di toko.
Sehingga hal tersebut menjadi kemudahan tersendiri bagi konsumen dalam berbelanja
dan memenuhi kebutuhannya. (Steel, Daglish, Marriott, Gemmell, & Howell).
Ada beberapa hal yang dapat membuat kompetisi dengan penggunaan web, e-
commerce dan penggunaan teknologi lainnya, berjalan sukses dan efektif, yaitu
(Utami, 2008):
1. Gunakan teknologi untuk menciptakan manfaat berwujud bagi konsumen dengan
cepat.
2. Buatlah teknologi yang mudah digunakan.
3. Membuat berbagai hal dalam pelaksanaan berupa purwarupa atau model, diuji dan
menyempurnakannya.
4. Mengenali respon konsumen yang berbeda-beda.
5. Membangun sistem yang sesuai dengan cara konsumen membuat keputusan.
6. Mempelajari pengaruh teknologi dalam kebiasaan orang membeli dan bagaimana
mereka berbelanja.
7. Mengkoordinasikan semua teknologi yang berhubungan dengan konsumen.
8. Menggunakan teknologi untuk merancang program pemasaran yang diinginkan
konsumen individu.
9. Membangun sistem yang dapat meningkatkan keunggulan bersaing.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam mengimplementasikan e-


commerce adalah sebagai berikut:
a. Tingkat pembelian konsumen yang terbatas: konsumen cenderung lebih sering
melihat-lihat daripada membeli, berselancar dari satu situs ke situs lain.

b. Terlalu banyak informasi: berjuta-juta situs web yang ada di internet jika
digabungkan mengandung informasi yang sangat banyak, namun tidak sedikit situs
yang tidak diperhatikan atau diacuhkan oleh pengunjung. Karena itu situs-situs
yang masih dikunjungi harus berusaha keras merebut perhatian pengunjung dalam
hitungan detik jika tidak ingin berisiko mereka pindah ke situs lain.

c. Keamanan: banyak konsumen yang ragu-ragu melakukan pembayaran


menggunakan kartu kredit secara online. Banyak bisnis yang takut sistem
komputer mereka diinvasi untuk kepentingan mata-mata lawan atau disabotase
oleh pihak tertentu.

107
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

d. Masalah etika: konsumen cemas kalau-kalau perusahaan mengumpulkan


informasi tentang mereka untuk digunakan untuk hal-hal tertentu yang melanggar
hukum.

e. Serangan balik konsumen: ketika web mengalihkan kekuatan pada konsumen


dengan cara memberikan informasi produk yang jauh lebih banyak dari
sebelumnya, saat itu konsumen juga mendapatkan cara-cara yang lebih efektif
untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.

Gunakan teknologi untuk menciptakan manfaat sesegera mungkin dan bewujud bagi
pelanggan, Jika konsumen tidak langsung manfaat teknologi untuk menolong mereka,
maka konsumen akan mengasumsikan teknologi tersebut justru merugikan. Beberapa
pedoman dalam pemanfaatan teknologi dapat disimak dalam beberapa hal berikut ini:
1. Usahakan agar teknologi mudah untuk digunakan. Dari sudut pandang konsumen,
banyak teknologi yang justru membuat kegiatan belanja menjadi lebih sulit.
2. Masalah eksekusi/pelaksanaan: purwarupa, pengujian, dan penyempurnaan.
Banyak konsep yang terlihat potensial menjadi gagal karena pelaksanaan yang
buruk.
3. Menyadari bahwa setiap pelanggan memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
teknologi. Ada konsumen yang tidak mudah untuk langsung percaya bagitu saja
terhadap kemampuan teknologi.
4. Membangun sistem-sistem yang kompatibel/cocok dengan cara-cara pelanggan
mengambil keputusan.
5. Mempelajari efek-efek teknologi terhadap apa yang dibeli konsumen dan
bagaimana cara mereka berbelanja.
6. Mengkoordinasikan semua teknologi yang menyentuh/menjangkau konsumen.
7. Gunakan teknologi untuk menyesuaikan program-program pemasaran dengan
persyaratan-persyaratan pelanggan individu. Jika semua pelanggan diperlakukan
sama rata justru akan menyebabkan kerugian.
8. Bangun sistem yang mengangkat keunggulan bersaing yang sudah ada.

Manfaat penggunaan e-commerce

a. Global reach. Dengan menggunakan ecommerce ini, peritel akan mampu


menjangkau pasar nasional dan internasional sekaligus, dengan biaya yang relative
kecil. E-commerce memungkinkan peritel untuk mencari pemasok terbaik, lebih
banyak konsumen dan rekan bisnis yang tepat dari berbagai penjuru dunia.

b. Cost reduction. E-commerce membuat proses yang biasanya dilakukan secara fisik
menjadi digital atau virtual. Saat ini, peritel tidak perlu memiliki banyak toko di
beberapa daerah, karena konsumen yang berada diluar dapat diraih melalui
penggunaan internet atau ecommerce ini. Selain itu, penggunaan EC juga
memudahkan peritel untuk melakukan telekomunikasi dengan konsumen, dengan
biaya yang lebih murah dibandingan dengan cara yang konvensional. Maka dari

108
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

itu, penggunaan EC ini menurunkan tingkat biaya operasional yang harus


dikeluarkan oleh perusahaan.

c. Extended hours: 24/7/365. Ecommerce ini memugkinkan ritel untuk terus buka
setiap hari selama 24 jam. Hal tersebut karena konsumen dapat mengakses produk
yang dijual oleh ritel tersebut secara online, kapanpun dan dimanapun konsumen
tersebut berada.

d. Improved customer relations. Ecommerce memungkinkan peritel untuk


melakukan komunikasi yang interaktif dengan konsumennya. Sehingga hal
tersebut meningkatkan hubungan antara peritel dan konsumen. Selain itu, tingkat
loyalitas konsumen terhadap ritel tersebutpun akan meningkat.

e. Other benefits. Manfaat lain yang bisa didapatkan oleh perusahaan adalah
meningkatnya citra baik perusahaan, kualitas layanan konsumen, mitra kerja yang
baru, peningkatan produktivitas, pengurangan penggunaan kertas, kemudahan
mengakses informasi, serta meningkatkan fleksibilitas kegiatan operasional ritel.

Selain itu, dalam penggunaan ecommerce juga ada beberapa hambatan yang mungkin
dialami oleh peritel, yaitu:
a. Masih terdapat kekurangan dalam segi penetapan standar kualitas, kemanan dan
reliabilitas penggunaan ecommerce secara universal.
b. Beberapa perangkat lunak pendukung kegiatan ecommerce masih dalam tahap
pengembangan.
c. Kesulitan dalam mengintegrasikan jaringan internet dan perangkat lunak EC
dengan aplikasi dan database yang sudah ada.
d. Tingkat kepercayaan konsumen yang rendah terhadap keamanan dan privasi dalam
bertransaksi secara online.
e. Beberapa konsumen lebih suka memegang atau melihat barang yang akan mereka
beli secara langsung. Sehingga konsumen tersebut cenderung lebih memilih
transaksi tradisional ketimbang transaksi secara online.
f. Adanya beberapa peraturan terkait perdagangan secara online yang masih belum
jelas dan akhirnya membingungkan pihak ritel ataupun konsumen.

Daftar Pustaka

Hermawan, A. (2012). Komunikasi Pemasaran: Erlangga.


Raynold, J. (2004). The Complete E-Commerce Book: Design, Build & Maintain a
Succesful Web. California: Focal Press.
Sopiah, S. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Steel, W., Daglish, T., Marriott, L., Gemmell, N., & Howell, B. E-Commerce and its
effect upon the Retail Industry and Government Revenue. New Zealand: New
Zealand Institute for The Study Of Competition and Regulationo. Document
Number)

109
BAB 9: Teknologi Dalam Bisnis Ritel

Utami, C. W. (2008). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT Indeks.


Yuliana, O. Y. (2004). Penggunaan Teknologi Internet dalam Bisnis. Jurnal
Akuntansi & Keuangan, Vol. 2 No. 1.
Zaki, A., & Smitdev. (2008). 7 CMS Pilihan untuk Internet Marketing. Jakarta: Elex
Media Komputindo.

110
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

BAB 10
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Tujuan

1. Memahami tujuan, peran dan fungsi departemen sumber daya manusia dalam
ritel.
2. Mengetahui pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan bentuk organisasi
dalam bisnsi ritel.
3. Menjelaskan kecenderungan yang terjadi dalam manajemen sumber daya
manusia.
4. Memahami cara yang dapat digunakan untuk memotivasi sumber daya
manusia dalam sebuah perusahaan.

Pendayagunaan sumber daya manusia ini biasanya dilakukan melalui fungsi


perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen dan seleksi, pengembangan sumber
daya manusia, perencanaan dan pengembangan karir, pemberian kompensasi dan
kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja, dan hubungan industrial
(Marwansyah, 2014). Manajemen sumber daya manusia sebagaimana diungkapkan
dalam pemahaman tersebut menunjukan bahwa pengelolaan SDM memiliki tujuan,
peran dan fungsi yang terkait dengan pemberdayaan manusia dalam suatu organisasi
untuk mencapai tujuan dari organisasi itu sendiri.

Pengelolaan SDM dalam suatu organisasi misal perusahan pada awalnya hanya
berorientasi pada pembayaran gaji dan penysunan administrasi kepegawaian,
pengelolaan sistem rekruitmen bagi perusahaan, sekarang telah meluas sejalan dengan
perkembangan dan perubahan kondisi sosial dan ekonomi global. Peran departemen
sumber daya manusia saat ini adalah sebagai penanggung jawab langsung
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia, dan sebagai staf yang
bertindak dalam kapasitasnya sebagai penasihat dan pembantu manajer lini atas
keterlibatannya dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia,
(Fajar & Heru, 2010).

Bagi perusahaan sendiri, departemen sumber daya manusia ini memiliki peran untuk
ikut memfasilitasi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mengambil
prakarsa dan memberikan pedoman dan dukungan atas semua persoalan yang terkait
dengan para karyawan (Armstrong, 2006). Sedangkan tujuan pokoknya adalah
menjamin bahwa organisasi mengembangkan strategi, kebijakan dan praktik
manajemen sumber daya manusia secara efektif dan dapat menangani segala hal yang
berhubungan dengan pengadaan dan pengembangan SDM serta hubungan antara
manajemen dan pekerja. Selain itu, fungsi departemen ini juga adalah menciptakan
lingkungan yang memungkinkan para karyawan mendayagunakan kapasitas terbaik
mereka dan mewujudkan potensi mereka demi kepentingan organisasi dan karyawan.
(Marwansyah, 2014).

111
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

Selain itu, manajemen sumber daya manusia juga dapat diartikan sebagai suatu proses
dimana kesesuaian optimal diperoleh diantara pegawai, pekerjaan organisasi dan
lingkungan sehingga para pegawai mencapai tingkat kepuasan dan kinerja yang
mereka inginkan dan organisasi memenuhi tujuannya. Harmonisasi diantara tujuan
organisasi dengan kepuasan kerja dari para pegawai merupakan tugas dari
pengelolaan SDM yang keberadaanya harus tetap dijaga dan terus dikembangkan
melalui fungsi yang disandang oleh manajemen suatu organisasi.

Perilaku karyawan dalam melayani konsumen merupakan hal yang sangat penting
bagi sebuah bisnis ritel. Apabila konsumen dihadapkan dengan staf ritel yang
canggung, tidak menguasai produk, atau bahkan tidak tahu tentang barang dagangan
yang dijual, semua usaha yang dilakukan oleh peritel (promosi atau pendesainan tata
letak toko dan lain-lain) akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, adanya manajemen
SDM dalam sebuah perusahaan diharapkan dapat meningkatkan layanan konsumen
melalui sudut pandang konsumen. Hal tersebut dilakukan dengan cara memfasilitasi
karyawan untuk dapat meningkatkan karirnya dan menyediakan mereka program-
program sosialisasi, yang berperan penting dalam pembentukan perilaku karyawan
tersebut dalam bekerja 66 (Dessler, 2003). Selain itu, peritel juga dapat memfasilitasi
karyawannya dengan cara membuat program tertentu yang dapat menjamin
karyawannya untuk menggunakan semua kemampuan dan keahliannya dalam
bekerja, seperti program penilaian yang berorientasi karir dan program pelatihan dan
pengembangan bagi karyawan. 67 (Dessler, 2003).

Tujuan Manajemen SDM

Kegiatan dalam manajemen sumber daya manusia meliputi aktivitas perencanaan,


pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian terhadap segala hal yang
berhubungan dengan pengadaan sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan.
Tujuan umum manajemen sumber daya manusia adalah mengoptimalkan kegunaan
atau produktivitas semua pegawainya dalam sebuah organisasi (Cascio, 1992).
Sedangkan tujuan khusunya adalah membantu manajer agar dapat mengelola para
pegawainya secara lebih efektif. Namun, jika dijelaskan lebih luas lagi, manajemen
sumber daya manusia ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:
a. Tujuan organisasional. MSDM berfungsi untuk membantu perusahaan, untuk
mengenali atau mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya
manusianya agar dapat memberikan kontribusi nyata dalam pencapaian efektivitas
organisasi.

b. Tujuan fungsional. Ditujukan untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki


oleh sumber daya manusia yang ada, agar selalu sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.

c. Tujuan sosial. Memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang ada, agar tenaga
kerja tersebut dapat memberikan kinerja terbaiknya bagi perusahaan. Sehingga

112
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

dapat meminimalisir kemungkinan adanya dampak buruk yang dapat


mempengaruhi kondisi perusahaan.

d. Tujuan personal. MSDM berperan untuk membantu para pegawai untuk


mencapai tujuan pribadinya. Sehingga pegawai tersebut akan termotivasi untuk
meningkatkan kinerjanya demi kemajuan perusahaan.

Tantangan dalam Manajemen SDM

Tantangan utama dalam menjalankan suatu bisnis adalah mengurangi tingkat keluar
masuk karyawan atau perputaran karyawan. Tingkat perputaran karyawan yang tinggi
akan mengurangi keuntungan penjualan dan meningkatkan biaya operasional.
Sedangkan penjualan yang menurun dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
karyawan yang kurang berpengalaman dalam menjalankan tugasnya, kurang
terampilnya sumber daya manusia yang ada, rendahnya pengetahuan tentang
kebijakan perusahaan dan barang dagangan. Semua hal tersebut dapat membuat
interaksi antara konsumen dan peritel menjadi kurang efektif. Selain itu, biaya yang
harus dikeluarkan perusahaan akan meningkat karena kebutuhan untuk merekrut dan
melatih karyawan baru terus menerus dilakukan. (Utami, 2008).

Struktur Organisasi

Salah satu elemen yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam mengelola
orgnaisasi bisnis, tidak terkecuali usaha ritel adalah sumberdaya manusia.
Pengelolaan sumberdaya manusia yang baik diantaranya ditentukan oleh
pengorgansasian yang tepat dalam menjalankan operasional usahanya. Struktur
organisasi merupakan bentuk hirarki, otoritas, tanggungjawab dan kewenangan serta
relasi antar bagian yang mencerminkan mekanisme kerja yang harus dijalankan suatu
satuan aktivitas untuk menciptakan keteraturan dalam pencapaian tujuan. Struktur ini
dikembangkan oleh perusahaan, agar setiap sumber daya manusia atau pegawai yang
bekerja pada ritel tersebut dapat bekerja dengan tepat dan tujuan perusahaan dapat
tercapai (Utami, 2008).

Struktur organisasi pada suatu organisasi harus mencerminkan bagian-bagian


kegiatan yang perlu dikerjakan oleh karyawan dan garis komando yang jelas antar
bagian serta tanggungjawab dari masing-masing bagian itu. Pengembangan struktur
organisasi dilakukan selaras dengan besarnya jumlah karyawan yang dimiliki
perusahaan dan aktivitas usaha yang dijalankan. Khusus terkait dengan
pengembangan suatu ritel, maka struktur organisasi ritel dipengaruhi oleh besar
kecilnya ritel tersebut. (Morgenstein & Strongin, 1992).

Berikut adalah struktur organisasi dalam sebuah perusahaan ritel (Utami, 2008):
a. Struktur organisasi fungsional. Struktur organisasi ini dibuat berdasarkan fungsi
dari masing-masing departemen.

113
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

Bagan 4.1
Struktur Organsasi Fungsional

Direktur

Man. Pemasaran Man. Produksi Man. SDM Man. Keuangan

Sumber : Utami, 2008

b. Struktur organisasi berdasarkan produk. Struktur organisasi ini disusun


berdasarkan barang dagangan yang dijual dalam toko ritel.

Bagan 4.2
Struktur Organsasi Berdasarkan Produk

Direktur

Man. Produk A Man. Produk B Man. Produk C Man. Produk D

Sumber : Utami, 2008

c. Struktur organisasi berdasarkan geografis. Struktur organisasi yang dibuat


berdasarkan wilayah geografis yang dilayani oleh ritel.

Bagan 4.3
Struktur Organsasi Berdasarkan Geografis

Direktur

Man. Wilayah A Man. Wilayah B Man. Wilayah C Man. Wilayah D

Sumber : Utami, 2008

114
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

d. Struktur organisasi kombinasi. Struktur organisasi yang merupakan gabungan


antara struktur organisasi fungsional dan geografis, serta struktur organisasi barang
dagangan yang dijual

Bagan 4.4
Struktur Organsasi Gabungan, Fungsional, Geografis dan Produk

Direktur

Man. Opers. Toko Man. Brg.Dag. Man. SDM Man. Kontroler

M. Lok. A M. Lok. B M. Lok. A M. Lok. B M. Lok. A M. Lok. B M. Lok. A M. Lok. B

Sumber: Utami, 2008

Bentuk Organisasi

Ketika tugas dari setiap karyawan telah ditentukan, maka kegiatan berikutnya adalah
mengkategorikan tugas dalam suatu kelompok bidang tertentu, sehingga terdapat
beberapa bidang yang sesuai dengan fungsi yang diinginkan. Aktivitas ini dilakukan,
dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut (Levy & Weitz, 2004):
1. Kekhususan
2. Tanggung jawab dan otoritas.
3. garis komando
4. Strategi ritel.
Terkait langsung dengan bisnis ritel, berikut adalah bentuk organisasi yang biasa
digunakan oleh peritel:
a. Organisasi ritel tunggal (organisasi ritel dengan satu toko).
Dalam model ini pimpinan organisasi melakukan pengelolaan aktivitas dari ritel
pusat sampai ke cabang dan umumnya model ini dianut oleh peritel skala kecil.
Dengan demikian manajer pada model ini melakukan tugas manajerial secara
keseluruhan dari memberi tugas dan kewenangan, serta melakukan pengawasan
dengan tingkat spesialisasi yang terbatas karena pada umumnya karyawan
berjumlah terbatas. Setiap karyawan yang ada harus melakukan beberapa aktivitas
dalam satu waktu, dan manajer toko bertanggung jawab atas semua tugas
manajemen yang ada (Levy & Weitz, 2004).

b. Organisasi regional department store.

115
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

Model ini telah melakukan modifikasi dari yang ritel tunggal, dimana organisasi
melakukan spesialisasi fungsi orgnaisasi umtuk mendapatkan bagian yang khusus
dalam rangka mewadahi kompetensi karyawan pada bagian yang bersangkutan,
sehingga organisasi dapat melakukan fungsi sesuai dengan karakteristik
kemampuan karyawannya dan sejalan dengan pencapaian tujuan
organisasi/perusahaan tersebut. Umumnya model organisasi ini dijalankan dalam
organisasi yang berskala menengah dan atas.
Bentuk organisasi ini ditetapkan untuk memungkinkan peritel
meningkatkan spesialisasi dan pemanfaatan kemampuan yang dimiliki para
karyawannya dalam bidang tertentu. (Morgenstein & Strongin, 1992). Berikut
dijelaskan beberapa divisi yang biasa dimiliki suatu organisasi ritel:
 Divisi barang dagangan; divisi ini bertanggung jawab atas semua kegiatan
pembelian dan penjualan barang dagangan. Divisi ini dikepalai oleh seorang
manajer barang dagangan (merchandise manager), yang bertugas untuk
mengawasi semua kegiatan merchandising di toko utama (head store) ataupun
toko di lokasi lain. Kegiatan utama dalam divisi ini adalah pembelian dan
penjualan barang dagangan, perencanaan kegiatan promosi untuk barang
dagangan yang ada, dan pengelolaan manajemen persediaan barang dagangan.
(Morgenstein & Strongin, 1992).
 Divisi pembelian; divisi ini bertanggung jawab dalam proses perolehan barang
dagangan, ketentuan harga dan pelabelan, serta membuat data inventaris yang
spesifik untuk kategori-kategori barang dagangan yang ada. (Utami, 2008).
 Manajer kategori; bertanggung jawab terhadap sekelompok produk, yang oleh
konsumen dianggap sebagai produk pengganti. Misalkan, manajer bertanggung
jawab atas produk-produk pasta, baik yang dikemas dalam bentuk frozen food
ataupun dalam kemasan kalengan. Setelah itu, manajer kategori tersebut akan
mengevaluasi setiap kategori produk yang ada, untuk menentukan kategori
mana yang harus dieliminasi ataupun dipertahankan dalam toko. Manajer
kategori ini biasanya digunakan dalam ritel supermarket. (Levy & Weitz,
2004).
 Perencana barang dagangan; bertanggung jawab dalam mengalokasikan barang
dagangan dan merinci penyortiran produk dalam beberapa kategori untuk toko
tertentu. (Utami, 2008).
 Divisi toko; divisi ini fokus terhadap semua aktivitas-aktivitas yang ada di toko,
kecuali pembelian, penjualan, promosi dan keuangan. Manajer toko melakukan
pengawasan terhadap para karyawan, pemeliharaan toko, pembelian persediaan
dan peralatan yang digunakan untuk mengoperasikan toko, operasional,
customer service, dan keamanan toko. (Morgenstein & Strongin, 1992).

c. Organisasi perusahaan dari rantai regional department store.


Bentuk ini hampir sama dengan departemen store, tetapi perbedaan dalam
jumlah produk yang ditangani, ukuran toko dan wilayah distribusi. Secara umum
organisasi ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
 Tersentralisasi oleh kantor pusat.
 Jumlah divisi lebih banyak dibandingkan dengan department store.

116
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

 Pengawasan individu atau karyawan toko dilakukan dengan mengirimkan


laporan kepada kantor pusat.
 Adanya standarisasi kegiatan operasional toko, seperti merchandising,
penetapan harga, layanan, desain toko dan lain-lain. (Levy & Weitz, 2004)

Persoalan pada Organisasi Ritel

Desentralisasi vs Sentralisasi

a. Sentralisasi
Sentralisasi menyerahkan kewenangan keputusan pada manajer pusat perusahaan.
Dengan demikian maka semua keputusan yang terkait dengan pembelian, operasi
dan pengawasan kegiatan usaha ritel langsung ditangani melalui satu keputusan
yang terpusat, sehingga secara keseluruhan perusahaan dapat melakukan
penghematan dan pengendalian yang lebih efektif terhadap jalannya orgnaisasi
ritel. Berikut adalah karakteristik dari sentralisasi organisasi (Morgenstein &
Strongin, 1992):
a. Adanya konsistensi diseluruh cabang toko dan pengawasan dari kantor pusat.
b. Adanya standarisasi prosedur, memungkinkan operasional lebih ekonomis.

c. Penanganan yang kompeten oleh spesialis. (Cox & Brittain, 2004)

b. Desentralisasi
Model desentralisasi merupakan model yang menyerahkan kewenangan keputusan
dari pusat ke otoritas yang lebih rendah dalam suatu organisasi. Tingkat dalam
konteks ini adalah manajer wilayah atau manajer toko. Dengan demikian
keputusan yang terkait dengan aktivitas promosi, periklanan dan barang dagangan
dapat dilakuka pada level wilayah dan toko tertentu, sehingga dapat diperoleh
fleksibilitas keputusan yang diambil sesuai dengan kondisi dan situasi yang
berkembang pada wilayah atau toko yang bersangkutan.

Dengan menggunakan strategi desentralisasi ini, manajer toko dapat menyesuaikan


strategi ritelnya dengan karakteristik konsumen yang akan dilayaninya tanpa harus
terikat dengan ketentuan dari pusat. Berikut adalah karakteristik dari desentralisasi
organisasi, (Morgenstein & Strongin, 1992) :
a. Manajer cabang dapat dengan leluasa menciptakan gagasan yang inovatif dalam
mengantisipasi perubahan kondisi di wilayah operasinya
b. Memungkinkan manajer untuk mengembangkan bakat dan keahliannya dalam
menghadapi perubahan dinamis di wilayah kerjanya
c. Kebutuhan setiap manajer di wilayah senantiasa cenderung berubah
d. Pengendalian operasi dapat dilakukan secara efektif karena ditangani secara
langsung
e. Membentuk etos dan semangat kerja yang lebih tepat bagi setiap karyawan, karena
mereka mengnal langsung dan dekat dengan atasanya.

117
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

f. Menjamin tersedianya manajer dengan kemampuan khusus dan tanggungjawab


yang besar, karena mereka memiliki pengalaman banyak peran diwilayah
kerjanya.
g. Manajer pusat dibebaskan dari beberapa rutinitas keseharian, sehingga memiliki
banyak waktu untuk merencanakan strategi. (Cox & Brittain, 2004).

Kordinasi barang dagangan dan manajemen toko


Ritel besar melakukan pengkoordinasian pembelian dan penjualan barang dagangan
pada bagian yang berbeda. Dengan demikian kedua fungsi tadi benar-benar terpisah
dari sisi tanggungjawab dan kewenangannya. Akibatnya adalah bahwa bagian
pembelian kerap tidak memiliki informasi yang terkait dengan konsumen, sehingga
kesulitan mengidentifikasi secara langsung tentang kebutuhan dari konsumen
tersebut.
Maka dari itu, untuk memudahkan pengkordinasian antara kedua divisi tersebut,
perusahaan ritel hendaknya menggunakan empat pendekatan berikut, yaitu:
1. Lebih mengapresiasi lingkungan,
Hal ini dimaksudkan untuk mengintensifkan komunikasi antara pembeli dengan
personal yang melayani selama pembelian berlangsung, sehingga peritel dapat
mengenali kebutuhan konsumen.

2. Melakukan kunjungan langsung ke toko


Manajer pembelian kantor pusat melakukan kunjungan ke toko, untuk
mendapatkan informasi yang terkait dengan pola pembelian konsumen, sehingga
dapat diperkirakan model perencanaan promosi, pengelolaan persediaan atau
tempat memajang barang dagangan yang ada di toko secara tepat.
3. Menunjuk karyawan untuk mengkoordinasikan tugas
Peritel hendaknya membentuk bagian yang dapat mengkoordinasikan aktivitas
pembelian dan penjualan
4. Pelibatan manajer toko dalam keputusan pembelian
Bagian pembelian memberi informasi berupa daftar barang lengkap dengan jumlah
dan harga yang diperlukan kepada manajer toko. Dengan demikian manajer toko
dapat mengisi daftar tersebut dan menyerahkannya kembali pada bagian
pembelian, sehingga bagian pembelian memahami kebutuhan barang dagangan
yang diperlukan konsumen dalam toko tersebut.

Memotivasi Karyawan Ritel


Kinerja karyawan dipengaruhi banyak elemen yang terangkum dalam manajemen
perusahaan, diantaranya adalah motivasi. Motivasi merupakan kesediaan seseorang
untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi guna tercapainya tujuan organisasi,
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan
individual (Robbins & Judge, 2015). Pemahaman ini mengindikasikan bahwa
motivasi mengandung beberapa elemen, diantaranya, tujuan organisasi yang harus
dicapai, pengkondisian oleh kemampuan upaya, dan pemenuhan kebutuhan
individual. Tujuan organisasi merupakan elemen penting yang pencapaianya dapat

118
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

dilakukan dengan mensinergikan antara upaya organisasi dengan aktivitas karyawan.


Motivasi ini di dalamnya mengandung tentang kekuatan, arah, serta ketekunan
seorang karyawan dalam mencapai tujuan. Kekuatan yang dimaksud adalah seberapa
keras karyawan bekerja, sedangkan tujuan adalah arah yang menjadi orientasi
dilakukannya aktivitas oleh karyawan. Ketekunan menggambarkan bagaimana upaya
setiap karyawan tersebut mengerahkan daya upayanya dalam menghadapi situasi yang
sulit secara berkesinambungan dalam pencapaian kinerja terbaik bagi perusahaan.
“Motivasi biasanya timbul karena adanya kebutuhan yang belum terpenuhi, tujuan
yang ingin dicapai, atau karena adanya harapan yang diinginkan. Motivasi kerja
merupakan kombinasi kekuatan psikologis yang kompleks dalam diri masing-masing
orang”. (Wibowo, 2015).
Indikator bahwa seseorang sudah termotivasi adalah, ( Newstorm, 2011):
a. Engagement.
Indikator yang merupakan semangat karyawan untuk menunjukkan tingkat
antusiasme, inisiatif, dan usaha yang pantang menyerah.
b. Commitment.
Merupakan suatu tingkatan di mana pekerja mendedikasikan dirinya terhadap
organisasi dan menunjukkan tindakan yang mencerminkan diri sebagai satu
kesatuan dengan organisasinya.
c. Satisfaction.
Merupakan petunjuk bahwa kepuasan mereka adalah refleksi pemenuhan kontrak
psikologis dan memenuhi harapan di tempat kerja.
d. Turnover.
Indikator yang menunjukan bahwa karyawan sangat dihargai andaikata mereka
harus keluar dari pekerjaannya.

Meskipun semua orang mempunyai dorongan yang sama, mereka tidak mempunyai
respon emosional atau kebutuhan yang sama dalam situasi yang sama. Maka dari itu,
untuk memotivasi para pegawainya, perusahaan dapat melakukan hal berikut:
1. Insentif.
Insentif merupakan alat yang dapat digunakan untuk memberi dorongan kepada
karyawan agar bertindak sesuai dengan target yang diinginkan. Secara khusus Utami
mengungkapkan bahwa Insentif juga memotivasi karayawan untuk lebih giat
melaksanakan aktivitas yang konisten dan sesuai dengan tujuan ritel, (Utami, 2008).
Pendapat lain menyatakan bahwa sistem insentif menghubungkan kompensasi dengan
kinerja, karena yang diberi imbalan adalah kinerja, bukan senioritas atau jumlah jam
kerja. Meskipun bisa diberikan kepada kelompok, insentif biasanya diberikan sebagai
imbalan atas perilaku kerja individual. (Marwansyah, 2014). Menurut Cascio program
insentif yang efektif harus memenuhi persyaratan berikut (Cascio, 1992):

a. Sederhana.
Aturan-aturan dalam sistem insentif harus ringkas, jelas dan mudah dipahami serta
mudah dilaksanakan oleh karyawan.
b. Spesifik.

119
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

Insentif harus sangat jelas tidak sekedar memerintahkan berbuat atau tidak berbuat
sesuatu untuk mendapatkan sesuatu, tetapi karyawan seyogyanya memahami
secara tepat dan khas apa yang harus dikerjakan untuk mendapatkan hadiah
tertentu.
c. Terjangkau.
Setiap karyawan patut memiliki peluang yang sama untuk meraih insentif, sesuai
dengan tujuan dari motivasi yakni memberi kesempatan untuk mendapatkan
hadiah secara wajar, sehingga tidak seharusnya menggunakan standar yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah.
d. Terukur.
Sasaran sebagai dasar dalam mengembangkan rencana program insentif
hendaknya terukur, sehingga mudah dalam mendeteksi pencapaianya.

Program pemberian insentif diberikan dalam bentuk bonus atau pemberian hadiah
lainya bagi karyawan yang memiliki kinerja tinggi. Program ini hendaknya memberi
peluang untuk mendapatkan penerimaan yang lebih besar dengan risiko minim bagi
setiap karyawan. Dengan kata lain seorang karyawan yang tidak bisa mendapatkan
insentif, dia akan tetap mendapatkan gaji pokok, meskipun tidak ada tambahan lebih.
(Fajar & Heru, 2010).

Marwansyah menjelaskan dengan rinci bahwa insentif bisa diberikan dalam berbagai
bentuk, yaitu (Marwansyah, 2014):
a. Piecework. Piecework (upah perpotong)
Sistem insentif yang memberi imbalan bagi setiap pekerja untuk setiap unit
keluaran produk yang dihasilkan.
b. Production bonus.
Bonus produksi ini adalah insentif yang dibayarkan kepada pekerja yang hasil
kerjanya melebihi sasaran keluaran yang ditetapkan.
c. Commission.
Komisi diberikan atas dasar jumlah unit yang terjual. Sistem ini biasanya
diberlakukan untuk pekerjaan seperti wiraniaga atau agen real estate.
d. Maturity curve.
Insentif ini diberikan kepada karyawan yang berkinerja tinggi terkait dengan
produktivitas dan atau yang memiliki pengalaman kerja lama (senior).
e. Merit raise.
adalah kenaikan gaji/upah yang diberikan karena karyawan yang bersangkutan
memiliki kinerja yang lebih baik berdasarkan penilaian kinerja.
f. Nonmonetary incentives.
Insentif dalam bentuk lain selain uang, misalnya bentuk barang, penghargaan
manajemen berupa sertifikat dan sebagainya. Hal ini biasanya diberikan atas dasar
pekerjaan atau saran yang diberikan karyawan untuk kemajuan perusahaan.
g. Executive incentives.
Bentuk-bentuk insentif bagi eksekutif antara lain bonus uang tunai, stock options
(hak untuk membeli saham perusahaan dengan harga tertentu di masa yang akan

120
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

datang, dalam periode waktu yang ditentukan), stock appreciation (pemberian


uang tunai kepada karyawan yang didasarkan atas peningkatan nilai saham tertentu
selama jangka waktu tertentu), dan performance objectives (pemberian bonus uang
tunai bila karyawan mampu mencapai tujuan atau sasaran kinerja tertentu yang
disepakati

2. Budaya organisasi.
Budaya organisasi adalah satuan nilai-nilai, tradisi dan kebiasaan dalam suatu
perusahaan yang mendasari perilaku karyawan atau keorganisasian (Utami, 2008).
Budaya dalam konteks ini adalah terkait dengan hasil dari tindakan dan perilaku
karyawan. Karyawan yang perilaku kerjanya sejalan dengan perilaku yang diinginkan
untuk pencapaian tujuan perusahaan pasti akan memberi sumbangan terhadap
organisasi/perusahaan tersebut. Jika perilaku kerja ini berulang dan menjadi kebiasaan
sehari-hari maka perilaku ini akan mewujud menjadi budaya perusahaan. Agung
mengungkapkan bahwa Budaya perusahaan menjadi penting, karena memuat tiga
falsafah besar (Agung, 2014), yaitu:
a. Penuntun
Budaya akan menjadi pedoman perilaku seluruh warga organisasi, dari unsur
pimpinan sampai karyawan yang paling bawah. Budaya perusahaan juga dapat
menjadi panduan moral, etika, kebaikan dan tanggungjawab.
b. Jati diri/identitas organisasi
Budaya secara khas dapat menunjukan karakteristik perilaku anggota organisasi
yang bersangkutan. Perilaku yang akan dijadikan budaya umumnya mengacu pada
nilai kejujuran, integritas, peningkatan layanan pelanggan dan peduli lingkungan.
c. Konsisten
Karakteristik perilaku khas perusahaan yang telah terbentuk menjadi budaya
umumnya bersifat berkelanjutan dan jangka panjang, dan selalu beradaptasi
dengan perilaku dan lingkungan sosial yang benar.

Membangun komitmen karyawan


Setiap perusahaan selalu berharap bahwa usahanya akan tetap berlanjut hingga waktu
yang tidak dapat ditentukan. Untuk mempertahankan kondisi ini tentu perusahaan
harus mendapat keuntungan agar dia dapat meneruskan hidupnya. Untuk itu maka
diperlukan sumberdaya manusia yang kompeten dan berkualitas, selain juga memiliki
rasa saling terikat antara karyawan dengan perusahaan. Keterikatan antara karyawan
dengan perusahaan akan memberikan atmosfir yang baik pada kedua belah pihak,
dimana keduanya saling memberi kinerja terbaik untuk kepentingan bersama. Kedua
belah pihak secara sadar saling membentuk komitmen dalam mencapai kepentingan
dan tujuan bersama.
Greenberg menjabarkan bahwa komitmen organisasional secara konseptual, berkaitan
dengan suatu tingkatan dimana individu mengidentifikasi dan terlibat dengan
organisasinya dan/atau tidak ingin meninggalkannya (Greenberg & Baron, 2003).
Pendapat lain menjelaskan bahwa komitmen merupakan gambaran dari individu
karyawan dalam wujud, (Luthans, 2011):
a. Sebuah keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu.

121
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

b. Keinginan untuk mendesak usaha pada tingkat tinggi atas nama organisasi.
c. Keyakinan yang pasti dalam proses penerimaan dari nilai-nilai dan tujuan
organisasi.
Dengan kata lain, komitemen adalah sikap yang mencerminkan loyalitas pekerja pada
suatu organisasi dan merupakan porses dimana pekerja tersebut menyatakan perhatian
mereka terhadap organisasi, tentang kelanjutan keberhasilan dan kesejahteraan
organisasi tersebut (Wibowo, 2015).
Komitmen ini bisa timbul dari hubungan timbal balik yang terjadi antara perusahaan
dan karyawannya. Maka dari itu, perusahaan biasanya menciptakan hubungan
tersebut dengan cara: mengembangkan keterampilan karyawan, memberdayakan
karyawan secara efektif, dan menciptakan hubungan kerja sama yang baik antar
karyawan yang ada. (Utami, 2008).
Peningkatan komitmen karyawan perusahaan dapat dilakukan melalui beberapa
pendekatan berikut, (Luthans, 2011) :
a. Commit to people-first value.
Komit terhadap niai-nilai kemanusiaan, yang mewujud dalam pembuatan
kebijakan tertulis dan proses seleksi karyawan terbaik melalui program yang dapat
memfasilitasi karyawan dalam menyumbangkan kemampuan terbaiknya pada
perusahaan.

b. Clarify and communicate your mission.


Mengejawantahkan dan menyampaikan misi perusahaan melalui program
pengembangan karyawan yang dapat menularkan nilai-nilai baik yang dimiliki
perusahaan, sehingga karyawan dapat bekerja dalam misi yang sama dengan
perusahaan.

c. Guarantee organizational justice.


Menjamin bahwa perusahaan akan memberi perlakuan adil terhadap setiap
karyawanya. Perusahaan selalu berkomunikasi dengan karyawan, sehingga
mereka merasa didengar, diperhatikan dan diberi kesempatan yang sama dalam
memberikan prestasi terbaiknya bagi perusahaan.

d. Create a sense of community.


Perusahaan berupaya menciptakan kebersamaan berdasarkan nilai-nilai yang
dikembangkan, melalui bentuk program pembentukan tim kerja yang melibatkan
berbagai tingkatan jabatan, sehingga karyawan dapat bekerja sama dalam suasana
saling percaya dan egaliter.

e. Support employee development.


Selalu mendukung pengembangan karyawan terutama program yang terkait
dengan kesempatan aktualisasi diri dan memberi rasa aman bagi karyawan.
Mewujudkan program berupa pemberian kesempatan meraih jenjang karir yang
lebih tinggi, dan penghargaan pada karyawan yang berkinerja baik, sehingga
karyawan dapat terdorong untuk memberikan komitmenya pada perusahaan.

122
BAB 10: Manajemen Sumber Daya Manusia

Daftar Pustaka

Agung, L. (2014). Managing People (Kiat Praktis Mengelola Manusia bagi


Supervisor dan Manajer). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Armstrong, M. (2006). Handbook of Human Resources Managment Practice.
London: Kogan Page.
Cascio, W. F. (1992). Managing Human Resources: Productivity, Quality of Work
Life, Profits. New York: McGraw-Hill, Inc.
Cox, R., & Brittain, P. (2004). Retailing Introduction. Inggris: Pearson Education.
Dessler, G. (2003). Human Resource Management: Prentice Hall.
Fajar, S. A., & Heru, T. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia (Sebagai Dasar
Meraih Keunggulan Bersaing). Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN.
Greenberg, J., & Baron, R. A. (2003). Behaviour In Organization. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Hasibuan, S. P. M. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2004). Retailing Management. New York: McGraw-Hill
Companies.
Luthans, F. (2011). Organizational Behaviour. New York: 2011.
Marwansyah. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: CV Alfabeta.
Mondy, R. W., & Noe, R. M. (2005). Human Resource Management. Massachussetts:
Pearson Education, Inc.
Morgenstein, M., & Strongin, H. (1992). Modern Retailing (Management Principles
& Practices). New Jersey: Prentice Hall.
Newstorm, J. W. (2011). Organizational Behaviour, Human Behaviour at Work. New
York: McGraw-Hill Companies.
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2015). Perilaku Organisasi (Edisi 16 ed.). Jakarta:
Salemba Empat
Utami, C. W. (2008). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Wibowo. (2015). Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Rajawali Pers.

123
BAB 11: Desain Toko

BAB 11
DESAIN TOKO

Tujuan

1. Memahami tujuan dalam melakukan desain toko.


2. Memahami pengaruh desain toko terhadap persepsi dan keinginan untuk
membeli dari konsumen.
3. Memahami pertimbangan dalam menentukan tata letak ruangan yang sesuai
dengan barang dagangan dan karakteristik bisnis ritel.

Secara umum ada dua hal penting yang dapat ditawarkan bisnis ritel, yaitu produk dan
cara menampilkan produk tersebut. Pembahasan mengenai cara menampilkan produk
tentu akan terkait dengan salah satunya desain dari toko itu sendiri. Desain toko
menurut Husen Umar harus memenuhi unsur kenyamanan, sehingga menarik
pelanggan untuk menghabiskan waktu dan berbelanja di toko tersebut (Husen Umar,
2000). Kenyamanan bisa digambarkan sebagai suatu kondisi yang membuat betah
berlama-lama untuk tinggal pada suatu tempat yang dapat dirasakan oleh konsumen.
Suasana tersebut sudah barang tentu menyangkut keadaan yang secara sadar harus
diciptakan keberadaanya melalui upaya terencana. Adapun upaya tersebut menurut
Levy, dapat mencakup beberapa tindakan diantaranya penataan visual, pencahayaan,
pengalunan suara musik dan penyebaran aroma yang membuat toko terasa
menyenangkan bagi pelanggan (Levy & Weitz, 2001)
Toko hendaknya diwujudkan dalam tampilan yang menarik, agar pelanggan berhasrat
untuk datang. Keunikan suatu toko bisa saja memberikan daya tarik tersendiri bagi
pelanggan dibanding dengan toko pesaingnya. Keunikan ini bisa tampil dari desain
interior, eksterior atau mungkin tata letak ruang toko. Pengelola ritel harus berupaya
membentuk imajinasi konsumen melalui desain toko yang diciptakanya. Berikut
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat desain toko:

Tujuan Desain Toko

1. Memberikan kesan yang baik kepada pelanggan.


Tujuan ini dimaksudkan bahwa disain harus tepat secara estetik menyangkut
kesesuaian hubungan antara karakteristik produk yang dijual dengan konsep toko
yang dibuat. Karakteristik produk yang dijual akan sangat terkait dengan target
konsumen yang dituju dan yang akan datang ke toko tersebut, oleh karena itu citra
toko yang baik bagi pelanggan akan terbentuk seiring dengan adanya hamoni dari
kedua hal tersebut.

2. Mempengaruhi perilaku konsumen secara positif.

124
BAB 11: Desain Toko

Desain toko yang dapat memberikan rasa nyaman kepada pelanggan, akan
membuat pelanggan menjadi betah dan cenderung membuat mereka menggunakan
waktuya untuk berkeliling menikmati suasana toko. Hal ini mengindikasikan
bahwa desain toko dapat memberi dampak pada perilaku konsumen secara positif
dan menguntungkan bagi peritel.

3. Mengoptimalkan biaya.
Desain toko yang tepat, memungkinkan produk dapat ditata dengan rapih dan
dipajang dengan menarik, sehingga pelanggan terdorong untuk membeli, dengan
demikian maka penjualan produk menjadi lebih meningkat. Peningkatan penjualan
ini secara proporsional akan mengkompensasi biaya yang telah dikeluarkan untuk
desain toko.

4. Menciptakan fleksibilitas toko.


Toko yang kerap didisain ulang, tentu akan memberikan daya tarik tersendiri bagi
para pelangganya, karena toko ritel tersebut selalu memberikan suasana baru pada
para pelangganya. Pada umumnya untuk memudahkan pendisainan ulang dari toko
tersebut, maka peritel membuat tokonya harus fleksibel dalam pengaturan tata
ruangnya, sehingga memungkinkan perubahan disain secara berkala.

Tata Ruang Toko (Store Layout)

Utami menjelaskan bahwa tata ruang toko yang didesain, harus mampu membuat
pelanggan tergerak untuk mengitari toko dan membeli banyak barang dari toko
tersebut (Utami, 2008). Kemudahan pelanggan untuk menemukan barang yang akan
dibeli, memungkinkan mereka untuk kembali ke toko yang sama dikemudian hari.
Sebaliknya kesulitan pelanggan dalam menemukan barang yang ingin dibelinya akan
membuat mereka tidak jadi beli, sehingga pembuatan disain toko yang baik akan
membuka peluang bagi peritel untuk meraih omset penjualan yang lebih besar.
Apabila disain bangunan toko harus dibuat dalam beberapa lantai, maka fasilitas yang
diberikan harus memungkinkan pelanggan untuk menjangkau berbagai kebutuhan
barang yang akan dibelinya dengan mudah dan nyaman, misalnya untuk membeli di
lantai atas, maka toko harus menyediakan eskalator atau lift. Berikut adalah beberapa
pedoman yang dapat diterapkan oleh peritel dalam menentukan penataan ruang atau
store layout (8):
a. Lorong yang luas
Lorong yang tersedia harus memungkinkan konsumen dapat bergerak leluasa,
sehingga lalu-lintas pelanggan dan peralatan toko (troley) tidak saling
mengganggu, yang akan membuat mereka membatalkan pembelianya.
b. Penataan ruang toko sebaiknya dilakukan sedemikian rupa, sehingga konsumen
dapat dengan mudah melihat barang-barang yang mereka butuhkan dan
memungkinkan aparat keamanan toko dapat mengawasi dengan baik dari semua
pelangganya.

125
BAB 11: Desain Toko

c. Menata ruang dengan menempatkan barang berdasarkan kategori produk yang


berkaitan misalnya kategori bahan kimia, ditaruh di tempat yang berdekatan,
sehingga konsumen mudah untuk meraihnya sekaligus.
d. Penataan ruang harus dapat mengurangi resistensi antar produk dan pelanggan
dengan membuat departemenisasi yang diperlukan, sehingga konsumen tidak
bingung dalam mendapatkan produk yang diinginkanya.
e. Tata letak toko digunakan untuk menggabungkan barang dagangan berdasarkan
ansambel dan gaya hidup konsumen.

Jenis-Jenis Store Layout

a. Grid, bentuk tata letak yang diatur secara berderet, membentuk baris atau kolom
yang diisi dengan rak memanjang (Sujana, 2012). Barang yang dipajang umumnya
sudah dikategorisasi atau dikelompokan sesuai dengan kebutuhan rutin
pembelinya.

b. Race Track, mengatur tata letak dengan mengarahkan konsumen langsung ke


lorong antara jajaran rak pajang dari setiap bagian, sehingga konsumen kembali
lagi ke pintu masuk semula. Pemberlakuan tata letak ini dimaksudkan untuk lebih
memproduktifkan toko ritel, dimana konsumen dipaksa untuk berkeliling sekitar
rak pajang dari seluruh bagian, sehingga dimungkinkan konsumen membeli barang
yang dipajang (Dunne et al, 2014).

c. Free Flow, tata letak dibuat lebih bebas, sehingga memungkinkan pelanggan dapat
menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengamati produk yang dipajang.

Area Khusus dalam Toko

1. Etalase ujung (end cop), model ini meletakan etalse pada bagian ujung dari lorong
untuk memberikan kesempatan pada konsumen dalam melihat-lihat produk yang
dipajang dan diakhiri dengan melihat yang dipajang pada akhir lorong, diharapkan
konsumen tertarik.

2. Lorong promosi (promotional aisle) merupakan tempat pajang spesial dalam


rangka promosi (Sujana, 2012). Lorong ini dibikin agak unik, sehingga diharapkan
dapat menarik perhatian konsumen dan memberi kemudahan pada mereka utnuk
mengakses produk yang sedang di promokan (Sorensen, 2009)

3. Perlengkapan tetap yang berdiri bebas dan patung model, perlengkapan


khusus ini diharapkan dapat menarik minat konsumen untuk mendatangi tempat
tersebut.

126
BAB 11: Desain Toko

4. Jendela, jendela yang didesain secara unik agar dapat menarik minat konsumen
untuk memasuki toko ritel, misal disain jendela seperti terbalik letaknya.

5. Area utama penjualan (point of sales), area ini umumnya dipakai untuk
meletakan barang keperluan sehari-hari dari pelanggan seperti alat cukur, permen,
pematik api dan sebagainya, yang sifat pembelianya impulsif, (Yeshin, 2006).
Biasanya tempat ini diposisikan dengan dengan kasir.

6. Dinding juga biasa digunakan oleh peritel untuk memajang beberapa


produknya. Dinding juga kerap digunakan untuk mempromosikan produ, karena
letaknya yang khas, dinding sangat memungkinkan untuk memudahkan konsumen
melihat dengan mudah produk yang dipajang secar menarik.

Perencanaan Ruangan

Departemen dan barang dagangan yang memiliki tingkat profitabilitas paling tinggi
akan diberikan tempat khusus oleh peritel didalam tokonya. (Diamond & Pintel,
2000). Peritel dapat menentukan luas ruangan yang akan dialokasikan untuk setiap
produk yang akan dipajang. Peritel harus secara sadar menentukan manfaat penentuan
ruang dalam menjual produknya. Ray mengunkapkan bahwa pemanfaatan ruang yang
baik oleh peritel akan memberikan dampak sebagai berikut (Ray, 2010):
a. Pengalokasian ruang yang tepat untuk memajang produk-produk yang memiliki
tingkat keuntungan yang tinggi dan perputaran produk yang tinggi, bisa
memberikan dampak terhadap meningkatnya pendapatan perusahaan.
b. Meningkatkan pendapatan melalui pengalokasian ruangan yang tepat untuk
pemajangan produk-produk yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi dan
perputaran yang cepat.
c. Memberikan alokasi ruang yang lebih kecil dan persediaan yang lebih kecil, bagi
produk yang memberikan keuntungan yang lebih kecil dibanding dengan produk
yang memberi keutungan yang besar.

Menurut Utami ada beberapa pertimbangan yang hendaknya diperhatikan pada saat
membuat perencanaan tata ruang (Utami, 2008):
1. Tingkat keuntungan yang dihasilkan dari barang yang dipajang.
Pemajangan barang dagangan dalam ruangan dan rak pajang tentu memerlukan
biaya, oleh karena itu maka harus diupayakan bahwa biaya tersebut dapat
dikompensasi dengan keuntungan dari produk yang dipajang. Peritel seyogyanya
dapat membuat suatu formula yang dapat menghitung bagaimana agar keuntungan
dari produk yang dipajang tersebut maksimal.

2. Perputaran persediaan menjadi meningkat.


Perputaran persediaan yang terjadi untuk periode penjualan tertentu harus
diupayakan terus meningkat. Perputaran persediaan yang tinggi mencerminkan
bahwa barang persediaan yang ada memiliki kecepatan yang semakin tinggi untuk

127
BAB 11: Desain Toko

terjual, sehingga segera menjadi uang tunai yang dapat digunakan untuk membeli
kembali barang dagangan sebagai persediaan, demikian seterusnya, sehingga
keuntungan perusahaan semakin meningkat pula.

3. Pemajangan produk.
Pemajangan produk sudah berang tentu akan memakan banyak tempat, sehingga
pemakaian tempat sebaiknya mesti direncanakan dengan tepat. Perencanaan yang
tepat untuk pemajangan produk berarti memberi peluang bahwa produk yang
dipajang akan menarik minat konsumen untuk membeli. Dengan demikian maka
biaya yang dikeluarkan untuk pemajangan produk pada suatu ruangan harus
sebanding dengan keuntungan yang didapat dari penjualan produk tersebut.

4. Penekanan pada bagian tertentu dalam toko.


Peritel mungkin ingin bahwa produk unggulan yang ingin mereka tawarkan
ditempatkan pada ruangan yang spesial, sehingga lebih menarik konsumen.
Pemajangan produk ini oleh peritel biasanya diposisikan pada tempat yang khusus
dengan dukungan layanan penjualan yang spesial pula, sehingga nampak memberi
kesan menonjol dibanding produk lainnya.

Sementara Ray menawarkan beberapa gagasan yang terkait dengan penataan ruang
yang ada dalam ritel (Ray, 2010)
a. Mengetahui seberapa besar ruangan yang tersedia.
Hal pertama yang harus menjadi perhatian dalam pengelolaan ruang adalah
seberapa luas ruang yang tersedia, seberapa banyak peralatan yang akan digunakan
dan seberapa penting penjagaan terhadap ruangan agar tetap sesuai dengan
perubahan masa dan fleksibel.

b. Perencanaan pengendalian ruang secara lokal atau sentral


Ketika perencanaan pengendalian ruang harus ditetapkan, pada umumnya peritel
dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu terpusat atau lokal. Kedua model ini
memiliki kelebihan dan kekurangan yang terkait dengan felksibilitas perubahan,
efisiensi dana yang harus dikeluarkan, kecepatan waktu penyesuaian dan
pengawasan terhadap barang dagangan.

c. Integrasi data base alokasi ruangan dengan sistem penggantian barang


dagangan.
Sistem penggantian barang dagangan sangat tergantung pada ruangan yang
tersedia, semakin sempit ruang pajang yang tersedia maka akan semakin sering
barang dagangan harus diganti atau diubah. Oleh karena itu untuk memudahkan
sistem penggantian barang dagangan maka diperlukan integrasi antara aspek data
base alokasi ruangan dengan sistem penggantian barang dagangan, sehingga
diperoleh sinkronisasi antara perencanaan tata ruang dengan kebutuhan perubahan
penggantian barang dagangan.

128
BAB 11: Desain Toko

Lokasi Departemen

Pengkategorian barang ke dalam departemen akan memudahkan penempatan barang


dagangan pada posisi dari masing-masing bagian tersebut. Kendati demikian
penempatan barang dagangan antar departemen pasti meminta perhatian peritel. Hal
ini perlu dilakukan karena akan terkait dengan keputusan membeli dari konsumen
yang datang ke toko ritel. Misal produk impulsif dan berharga murah ditempatkan
dekat kasir, sehingga dapat keihatan dan menarik konsumen yang mungkin semula
tidak berniat beli tapi karena menarik dan murah, maka konsumen tersebut membeli.
Sedangkan produk-produk yang mahal dan jarang dikonsumsi ditempatkan di lantai
atas, sehingga dapat memberikan kesan ekslusifitas barang dagangan tersebut dalam
benak konsumen. (Diamond & Pintel, 2000).
Berikut adalah faktor-faktor yang perlu diperhatikan oleh peritel untuk menentukan
lokasi penempatan barang dagangan (Utami, 2008):
1. Keuntungan lokasi yang sesuai.
Penempatan barang dagangan pada setiap departemen harus ditetapkan secara
tepat oleh stiap peritel. Hal ini penting mengingat bahwa penempatan yang tepat
dari barang dagangan, akan memiliki dampak pada intensitas penjualan produk
yang dipajang. Semakin tepat penempatan barang dagangan akan semakin tinggi
penjualan yang didapat dan ini akhirnya diharapkan akan lebih meningkatkan
keuntungan perusahaan.

2. Area tujuan dan permintaan.


Citra baik dari suatu produk akan memberikan peluang bahwa produk tersebut
akan dicari dimanapun. Sehingga penempatan barang yang memiliki label ini tidak
banyak berpengaruh terhadap minat konsumen, meski ditempatkan pada area yang
tidak strategis sekalipun.

3. Kebutuhan musiman.
Produk musiman tentu akan sangat lekat kesanya dengan suasana tertentu,
sehingga penempatanya memerlukan area khusus dengan sedikit asesoris sesuai
dengan tema dari musim tersebut, agar lebih mengingatkan dan menarik
konsumen.

4. Penggunaan Planogram
Planogram adalah diagram yang menunjukan mengenai bagaimana dan dimana
unit penyimpanan persediaan akan ditaruh pada rak, fixture atau pejangan yang
ada di toko, agar dapat meningkatkan pembelian pelanggan (Ray, 2010). Dengan
planogram peritel tahu tempat yang startegis untuk setiap produk yang dipajang
dapat memberikan optimalisasi penggunaan ruangan.

Teknik Penyajian Barang

129
BAB 11: Desain Toko

Peritel harus memperhatikan beberapa hal ketika dia akan memajang atau meyajikan
barang dagangan dalam toko (Utami, 2008):
1. Menampilkan barang secara menarik
2. Pemajangan produk harus memperhatikan kesesuaian antara karakteristik produk
tersebut dengan teknik penyajian
3. Kemasan produk harus memberikan kesan bahwa barang tersebut sangat bernilai
4. Marjin produk yang akan disajikan/dipajang
Masih terkait dengan penyajian barang, Mowen mengemukakan beberapa unsur yang
perlu untuk diatur diantaranya, tata ruang, musik, aroma ruangan, tekstur, dan desain
bangunan (mowen & Minor, 2002).

Tampilan barang dagangan

Sujana mengungkapkan bahwa tampilan barang dagangan dibuat untuk memperkuat


kesan dari informasi yang ingin disampaikan pada pelanggan, melalui beberapa
kegiatan diantaranya adalah (Sujana, 2012):
a. Petunjuk Kategori, kode yang memberikan informasi dimana lokasi barang untuk
kategori tertentu.

b. Papan harga, adalah papan yang memberi informasi tentang harga-harga produk
yang biasanya sedang dalam promosi.

c. Alat promosi, merupakan beberapa alat yang digunakan untuk menunjukan


aktivitas promosi yang sedang dilakukan toko seperti; poster, brosur, shelf talker
dan alat-alat lainya.

Daftar Pustaka
Andini, P. F. (2013). Analisis Pengaruh Suasaba Toko, Kualitas Produk, dan
Kepuasan Pelanggan Terhadap Loyalitas Pelanggan (Study Pada Konsumen
Distro Deep Store di Surakarta). Universitas Dipenogoro, Semarang.
Berman, B., & Evans, J. R. (2001). Retail Management: A Strategic Approach. Eight
Editions. New Jersey: Prentice Hall.
Diamond, J., & Pintel, G. (2000). Retail Buying. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Dunne, P. M., Lusch, R. F., & Carver, J. R. (2014). Retailing. USA: South-Western.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung: Alfabeta.
Gunawan, S., Rilantiana, R., & Kusumasondjaja, S. (2009). Pengaruh Persepsi Desain
Toko Terhadap Store Repatronage Intentions Dengan Shopping Experience
Costs Sebagai Intervening Di Toko Elektronik “X” Surabaya. Jurnal
Manajemen Teori dan Terapan.

130
BAB 11: Desain Toko

Guswai, C. F. (2008). Retail Excellence Series: What I Learned From Hypermarket


Business (Rahasia Sukses Hypermarket yang Bisa Diterapkan untu Bisnis
Ritel Anda). Jakarta PT Elex Media Komputindo.
Ibrahim, D. (2004). Smart Selling "Fish Where The Fish Are" (Pendekatan Baru
Untuk Meningkatkan Penjualan). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Lamb, C. W., Jr., J. F. H., & McDaniel, C. (2010). Essentials of Marketing: South-
Western.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2001). Retailing Management. New York: McGraw Hill,
Irwin.
Londhe, D. B. R. (2006). Retail and Distribution Management. Pune: Nirali
Prakashan.
Mardhikasari, T. E. (2014). Pengaruh Store Atmosphere, Lokasi Toko, Dan
Keragaman Produk Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Mirota
Kampus (Studi Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Yogyakarta). Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Mowen, J. C., & Minor, M. (2002). Perilaku Konsumen Edisi 5, Jilid 2. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Ray, R. (2010). Supply Chain Management for Retailling. New Delhi: McGraw Hill
Education Private Limited.
Sorensen, H. (2009). Inside the Mind of The Shopper (The Science of Retailing). New
Jersey: Pearson Education.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Depok: Raih Asa Sukses.
Utami, C. W. (2008). Manajemen Ritel (Strategi dan Implementasi Ritel Modern).
Jakarta: Salemba Empat.
Wibisono, D. (2000). Riset Bisnis Seri Komunikasi Profesional. Yogyakarta: BPFE.
Yeshin, T. (2006). Sales Promotion. London: Thomson.

131
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

BAB 12
PEMILIHAN LOKASI RITEL

Tujuan:
1. Mempelajari tipe-tipe lokasi yang sebaiknya dipilih oleh peritel
2. Mengevaluasi keunggulan dari setiap area perdagangan
3. Mempelajari tipe lokasi yang dapat tumbuh beriringan dengan pertumbuhan
toko
4. Mengetahui manfaat yang didapatkan dari setiap tipe lokasi
5. Mengidentifikasi fakator-faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum
memilih lokasi toko ritel
Pemilihan lokasi untuk sebuah bisnis ritel seringkali merupakan kombinasi antara
ilmu dan seni. Karena seringkali peritel memutuskan lokasi pilihannya didasarkan
atas fakta dan pengalaman masa lalu, bukan berdasarkan analisa yang menyeluruh.
Terlebih lagi, data dan informasi yang dimiliki oleh peritel seringkali bertentangan
dengan fakta dan keputusan yang harus di buat. Oleh karena itu, peritel perlu
mempelajari terlebih dahulu faktor-faktor apa yang perlu dipertimbangkan ketika
menentukan lokasi dan area perdagangan yang cocok untuk membuat sebuah ritel
(Utami, 2008).
Lokasi Area Perdangan
Pemilihan lokasi ritel menjadi sangat penting karena adanya peningkatan ritel yang
membuka lokasi baru, namun lokasi yang strategis semakin sulit untuk didapatkan.
Selain itu, populasi dan konstruksi pusat perbelanjaan pun semakin meningkat.
Sehingga biaya ritel yang memiliki lokasi nyaman menjadi sangat tinggi harga nya.
Peritel pun akan dihadapkan pada kontrak yang dipersulit dan kelengkapan toko
yang mahal atau dituntut untuk menata ulang ritel yang pada akhirnya akan
berimplikasi pada penambahan biaya. Karena nya, peritel perlu berpikir lebih untuk
dapat menarik pelanggan dengan melokasikan toko di tempat yang ramai atau di
pusat perbelanjaan (Utami, 2008).
Lokasi atau tempat merupakan kegiatan perusahaan untuk membuat produknya
tesredia bagi pelanggan (Kotler & Armstrong, 2008). Dalam bisnis ritel, pemilihan
lokasi yang strategis merupakan hal yang sangat penting, karena akan menentukan
tingkat profitabilitas dan keberhasilan bisnis dalam jangka panjang (Foster, 2008).
Ketika lokasi dipilih, peritel akan menanggung konsekuensi dari pilihannya secara
berkelanjutan. Pemilihan lokasi ini menjadi sangat penting, seperti apa yang
dinyatakan oleh William dan Daniel (1988) bahwa bila semua memiliki nilai yang
sama dalam keputusan pemilihan toko, secara umum, konsumen akan memilih toko
yang paling dekat, karena memberikan kenyamanan dari segi waktu dan tenaga.
Ketika memilih suatu lokasi, peritel juga sebaiknya mengkonsentrasikan lokasi toko,
sehingga dapat membuat market presence yang sulit disamai oleh pesaing. Selain
itu, peritel juga dapat memilih multiple location agar pengiriman produk ke lokasi
menjadi lebih sering (Utami, 2008).

132
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Tingkat Keputusan Pemilihan Lokasi


Keputusan dalam memilih lokasi berdampak besar terhadap biaya lainnya, dimana
kesalahan dalam memilih lokasi dapat berdampak terhadap investasi yang sia-sia.
Lokasi juga bukanlah sesuatu yang fleksibel, karena jika peritel memutuskan untuk
merelokasi usaha nya berarti peritel tersebut harus mereinvestasi biaya lainnya
(Sujana, 2012). Untuk memutuskan lokasi yang akan dipilih, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memilih daerah, kemudian memilih kota tertentu dan
selanjutnya memilih lokasi (Sopiah & Syihabudin, 2008). Secara lebih jelas,
langkah-langkah dalam memilih lokasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Memilih daerah. Daerah merujuk pada suatu negara, bagian dari negara, atau
area metropolitan.
b. Menentukan area perdagangan. Area perdagangan merupakan area geografis
yang memiliki potensi pelanggan banyak. Biasanya merupakan bagian dari
sebuah kota atau di luar batas-batas kota, tergantung pada tipe toko dan
jumlah pelanggan potensial di sekitarnya.
c. Memilih tempat yang spesifik.

Pertimbangan Sebelum Pemilihan Lokasi


Lokasi yang strategis merupakan lokasi yang memiliki potensi keuntungan saat ini
dan masa yang akan datang. Seringkali, suatu lokasi merupakan tempat yang
strategis untuk usaha tertentu, namun tidak untuk usaha lainnya. Dibutuhkan studi
empirik menggunakan metodologi penelitian yang ilmiah untuk mengetahui aspek
apa yang perlu dipertimbangkan sehingga keputusan lokasi akan berpengaruh secara
positif hingga masa mendatang (Sujana, 2012). Terdapat beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan ketika memilih lokasi, diantaranya: fasilitas parkir, transportasi
umum, lalu lintas kendaraan, komposisi toko, serta pemakaian ruang ritel (Sopiah &
Syihabudin, 2008).
Dalam memilih dan menaganalisis suatu lokasi perdagangan yang potensial, peritel
dapat menggunakan berbagai metode dan data. Metode dan data yang dapat
digunakan untuk menganalisis lokasi yang potensial untuk bisnis ritel, diantaranya:
indeks populasi, indeks perkembangan merek, kluster prisma, dan analisis toko
pembanding.
Selain itu, untuk mengetahui apakah lokasi ritel yang dipilih akan sesuai dengan
karakteristik yang diharapkan, peritel perlu mengetahui kepadatan penduduk, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan rumah tangga, anggota keluarga dalam suatu rumah,
gaya hidup, dan informasi lainnya tentang demografi perilaku konsumen (Utami,
2008). Pemilihan lokasi ini merupakan keputusan yang strategis. Karena, sebuah ritel
harus bertahan dengan keputusan yang dipilihnya dalam waktu yang cukup lama.
Aktivitas Penentuan Segmen pada Penentuan Lokasi
Aktivitas segmen perlu dilakukan sebelum menentukan area perdagangan untuk
lokasi ritel. Aktivitas ini dilakukan melalui segmentasi beberapa area perdagangan,
contohnya: segmentasi area perdagangan utama (primary trading area), segmentasi

133
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

perdagangan sekundaer (secondary trading area), serta segmentasi area


perdagangan pinggiran (free trading area). Segmentasi area perdagangan tersebut
dilakukan berdasarkan analisis jumlah pelanggan dalam setiap segmen area.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan pada Wilayah atau Area


Perdagangan Tertentu
Wilayah dan area perdagangan terbaik merupakan tempat yang dapat menghasilkan
permintaan paling tinggi untuk sebuah ritel. Untuk menilai wilayah dan area
perdagangan terbaik, pada umumnya peritel dapat menggunakan analisis faktor yang
tidak jauh berbeda. Secara keseluruhan, untuk memprediksi permintaan ritel
terhadap suatu wilayah dan area perdagangan, ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan, diantaranya: perbandingan antara skala ekonomi dan kanibalisasi,
demografi populasi dan karakteristik gaya hidup, iklim bisnis, kompetisi antar ritel
di suatu wilayah, dan kecenderungan ritel untuk mengatur toko berganda.
1. Skala Ekonomi versus Kanibalisasi
Semula, ritel diharapkan untuk memilih lokasi terbaik dalam suatu area tertentu,
namun seringkali ritel waralaba lebih memilih lokasi yang berada pada jaringan
pertokoan. Jaringan pertokoan berganda (multiple) seperti ini dipilih karena
mempertimbangkan skala promosi dan ekonomi yang lebih mudah dicapai. Seperti
pada biaya iklan, biaya yang dikeluarkan untuk pemasangan iklan ritel yang hanya
memiliki satu toko ritel akan sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk
ritel dengan dua puluh rantai toko. Oleh karena itu, peritel juga perlu
mempertimbangkan berapa banyak toko yang sebaiknya dididrikan dalam area
tertentu. Peritel bisa terus memperbanyak cabang toko nya selama pendapatan ketika
membuka toko baru lebih besar dari biaya marginal nya. Memiliki banyak toko
dalam suatu area perdagangan yang sama merupakan solusi terhadap toko yang
memiliki kinerja kurang baik.
2. Demografi dan Karakteristik Gaya Hidup
Aspek demografi ini menilai bagaimana pertumbuhan populasi, sebaran usia,
keragama penghuni, gaya hidup dan pola belanja, serta potensi suatu pasar (Sujana,
2012). Peritel pada umumnya akan memilih area yang populasi nya bertumbuh,
dibandingkan dengan area yang menunjukkan penurunan populasi. Karena nya,
pusat perbelanjaan yang baru banyak dipilih oleh peritel untuk mengantisipasi
pertumbuhan populasi di sekitar area pinggiran yang akan berimplikasi terhadap
peningkatan permintaan (Utami, 2008).
Karakteristik gaya hidup suatu populasi pun perlu dipahami untuk menentukan
lokasi ritel. Oleh karena nya, penentuan lokasi pun bergantung pasa target pasar yang
dituju. Misalnya pada sebuah tokoyang memiliki target pasar mahasiswa, peritel
sadar bahwa mahasiswa memiliki pendapatan yang rendah, namun mereka biasanya
merupakan konsumen terdidik dan beradal dari keluarga kaya, serta memiliki potensi
permintaan pada suatu ritel di lokasi tertentu.

134
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

3. Iklim Bisnis
Untuk mengetahui tren pasar, peritel perlu mengetahui kecenderungan pekerjaan
konsumen target pasar, karena suatu pekerjaan akan berpengaruh terhadap daya beli.
Pekerjaan yang identik dengan penghasilan yang tinggi berdampak pada daya beli
yang tinggi pula. Hal ini juga bermanfaat untuk menentukan area yang tumbuh
dengan cepat. Disamping tren kecenderungan pekerjaan, peritel juga perlu
menganalisis bagaimana pertumbuhan yang terjadi akan berlanjut dan
mempengaruhi permintaan barang dagang mereka. Jika pertumbuhan yang terjadi
tidak dapat terdiversifikasi ke beberapa industri, area tersebut akan menjadi kurang
menguntungkan.
4. Kompetisi
Keberadaan kompetitor bisa berdampak negatif (barrier to entry). Adapun hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam menghadapi persaingan, diantaranya: jumlah dan tipe
toko sejenis, keberadaan market leader setempat, profil pesaing, serta jumlah dan
jarak lokasi pesaing terdekat (Sujana, 2012). Dalam menghadapi persaingan, peritel
juga perlu mempertimbangkan tingkat kompetisi di area tertentu. Tingkat kompetisi,
dapat dijelaskan sebagaimana berikut:
a. Tingkat kompetisi yang telah mengalami kejenuhan (saturated)
Area perdagangan yang jenuh merupakan area yang menawarkan konsumen
pilihan barang dan jasa yang cukup banyak, namun memungkinkan peritel
untuk terus berkompetisi. Hal ini terjadi karena teredianya banyak pilihan
toko dan produk, sehingga konsumen tertarik pada area ini.

b. Tingkat kompetisi yang kurang (undestore)


Area dengan tingkat kompetisi yang kurang, merupakan area yang hanya
memiliki sedikit toko dan menjual produk maupun jasa yang spesifik dalam
memenuhi kebutuhan populasi.

c. Tingkat kompetisi yang berlebih (overstore)


Area perdagangan dengan tingkat kompetisi berlebih merupakan area yang
memiliki banyak penjual barang secara spesifik, dan barang-barang tersebut
memiliki karakteristik yang sulit untuk dibedakan oleh konsumen.

5. Masalah-masalah Lokasi secara Global (Global Location Issues)


Peritel perlu memilih wilayah, area perdagangan dalam suatu wilayah, dan lokasi
yang spesifik. Peritel juga pelu mengetahui karakteristik dan tingkat persaingan serta
pola lu lintas di lokasi ritel nya. Memutuskan lokasi ritel global menjadi sesuatu yang
sulit, karena penanggung jawab dan pengambil keputusan lokasi dalam ritel belum
terbiasa dengan masalah-masalah yang timbul di negara asing. Terlebih lagi,
sejumlah toko yang ada di Amerika Serikat memiliki hubungan yang cukup erat
dengan pengembang local sehingga penentuan lokasi di tempat asing menjadi sulit
dan perlu antisipasi terlebih dahulu.

135
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Faktor-faktor yang Memberi Pengaruh dan Daya Tarik Sebuah Lokasi


Terdapat beberapa hal yang membuat suatu lokasi memiliki daya tarik yang spesifik.
Diantaranya adalah: aksesibilitas lokasi dan lokasi di pusat perdagangan. Berikut ini
penjelasan dari kedua hal tersebut:
1. Aksesibilitas
Lokasi suatu ritel modern pada umumnya sangat bergantung terhadap aksesibilitas,
yaitu simpul-simpul (node) dari moda transportasi. Semakin tinggi mobilitas suatu
area, maka visbilitas nya pun akan semakin tinggi (Sujana, 2012). Aksesibilitas
diartikan sebagai kemudahan bagi konsumen untuk datang dan keluar dari suatu
lokasi. Analisis terhadap aksesibilitas ini memiliki dua tahapan, yaitu:
a. Analisis makro
Dalam analisis makro, peritel perlu mempertimbangkan area perdagangan
primer, misalnya kondisi pada 2-3 mil di sekitar lokasi. Pada tingkat makro,
peritel juga perlu mengevaluasi beberapa faktor secara bersamaan, seperti:
pola jalan, kondisi jalan, dan hambatan-hambatannya.

b. Analisis mikro
Analisis mikro berfokus pada hal-hal yang menyangkut lokasi, seperti arus
lalu lintas, visibilitas, keramaian, parkir, dan jalan masuk atau jalan keluar.
2. Lokasi di dalam pusat perdagangan
Setelah aksesibilitas suatu lokasi dievaluasi, peritel harus menganalisis lokasi di
dalamnya. Karena lokasi yang strategis memerlukan biaya yang cukup mahal, peritel
harus mempertimbangkan lokasi ritel lainnya. Misalnya, pada pusat perbelanjaan
seperti mall, lokasi yang lebih mahal adalah lokai yang berdekatan dengan penyewa
utama (anchor tenant). Seperti di dekat Gramedia, Giant, Matahari department store,
Sogo, dan lain-lain. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah menempatkan toko
ritel yang menarik target pasar secara berdekatan. Hal ini menjadi pertimbangan
karena konsumen cenderung ingin berbelanja di tempat yang memiliki variasi barang
yang lengkap.

Memperkirakan Permintaan pada Lokasi Baru


Untuk memperkirakan jumlah permintaan konusmen pada lokasi baru, peritel
sebaiknya memilih area perdagangan terlebih dahulu, kemudian memperkirakan
jumlah uang yang dikeluarkan oleh konsumen dalam suatu area perdagangan.
Estimasi terhadap permintaan juga dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
batas area perdagangan.
1. Area Perdagangan

136
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Area perdagangan merupakan area geografis yang daling berdekatan dan memiliki
banyak pelanggan. Area ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 zona berdasarkan
batas-batas jalan dan tampilan peta. Ketiga zona tersebut, diantaranya:

a. Zona primer
Zona primer adalah area geografis yang biasanya berada di pusat
perbelanjaan, serta menghasilkan penjualan hingga 60 persen.

b. Zona sekunder
Zona sekunder adalah area geografis yang merupakan tingkat penjualan ke
dua, yang menghasilkan 20 persen dari penjualan sebuah toko.

c. Zona tersier
Pada zona tersier, pelanggan hanya sesekali berbelanja di toko tersebut.
Adapun beberapa alasan pelanggan untuk emilih zona tersier, yaitu:
1) Fasilitas ritel di lokasi dekat rumah kurang memuaskan pelanggan
2) Kemudahan dalam mengakses toko ritel, misalnya jalan raya yang
strategis menuju toko
3) Secara tidak sengaja melewati toko ritel ketika dalam perjalanan
4) Letak toko ritel dekat atau berada di area pariwisata

2. Faktor-faktor yang Mendefinisikan Area Perdagangan


Batas dari suatu area perdagangan ditentukan oleh aksesibilitas toko, tipe toko,
kompetisi, dan berbagai hambatan alami maupun fisikipe area perbelanjaan. Untuk
mengetahui bagaimana suatu tipe toko dapat mempengaruhi area perdagangan,
pertiel dapat mengidentifikasi nya melalui penggolongan tipe toko menjadi toko
tujuan dan tok transit. Toko tujuan merupakan toko dimana produk, presentasi,
harga, serta tampilan-tampilan lainnya dari sebuah toko mampuu menjadi magnet
dan daya tarik bagi pelanggan. Sedangkan toko trasnsit adalah toko yang lalu lintas
dan area perdagangannya ditentukan oleh peritel lain yang dominan dalam pusat
perbelanjaan.
3. Sumber-sumber Informasi
Untuk menetapkan area perdagangan, peritel dapat menggunakan tiga tipe informasi,
yaitu:
a. Pendataan sendiri
Untuk melakukan pendataan sendiri, peritel menggunakan teknik
menemukan pelanggan/customer spotting. Cara ini dilakukan dengan
menentukan jumlah pelanggan pada area tersebut dan mencari tahu dimana
mereka tinggal. Peritel bisa mendapatkan data spesifik tentang konsumen
dari informasi kartu kredit, cek pembelian, dan dari program loyalitas
pelanggan.

b. Penggunaan data sensus

137
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Sensus demografis yang dilakukan setiap 10 tahun sekali dapat digunakan


oleh para peritel untuk mengetahui pelanggan potensialnya. Dari data
tersebut, peritel dapat mememperhitungkan berapa banyak potensi
pembelian dari suatu lokasi, karena sensus mengumpulkan data dari setiap
rumah tangga mulai dari jumlah orang, jenis kelamin, usia, suku atau ras,
serta status pernikahan dari setiap rumah tangga. Namun, sensus ini hanya
dilakukan setiap 10 tahun, sehingga data yang ada menjadi tidak mutakhir
dan memerlukan laporan pelengkap dari instansi terkait.

c. Pengunaan data internet


Untuk menilai kompetensinya, peritel juga sering menggunakan internet
dan sumber-seumber lainnya.

4. Identifikasi Pelanggan
Identitfikasi pelanggan dilakukan untuk menandai dan mencari tahu tempat
pelanggan toko. Untuk mengidentifikasi pelanggan, peritel dapat memeperoleh data
dan informasi dari sensus yang dilakukan oleh negara. Data demografis dan dari
vendor GIS (Geographic Information System) pun dapat digunakan oleh peritel
untuk memutuskan lokasi toko terbaik.

5. Mengukur Kompetisi
Estimasi permintaan terhadap produk ritel merupakan salah satu penentu
kesuksesan, namun yang terpenting adalah peritel dapat mengukur tingkat kompetisi
pada area perdagangan. Dalam mengukur kompetisi, peritel perlu
mempertimbangkan situasi terlebih dahulu. Secara lebih jelas, analisis area
perdagangan ritel dapat tergambar sebagaimana berikut

138
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Gambar 5.1 Analisis Area Perdagangan Ritel


Sumber: Levy & Weitzh, 2004

Analisis Analisis Analisis


SSumber data awal Survey GIS
Pengiriman & Kredit Kecenderungan
Pembayaran (trend)

Frekuensi Belanja
Isi (content) Data Awal Rata-rata rupiah yang dibelanjakan
Konsentrasi pelanggan secara geografis

Area Perdagangan Segmen Primer


Penganggaran area Area Perdaganan Segmen Sekunder
perdagangan Area Pedaganagn Segmen Tertier

Sumber data karakteristik Lembaga sensus penduduk Standart Rate & data Service
penduduk yang bertempat Survei kekuatan daya beli Lembaga Perencana Pembangunan
tinggal Biro Pusat Statistik, dan lain-lain Daerah
Utilitas Publik
GIS software, dan lain-lain

Ukuran total (total size) Total disposable and percapita


Karakteristik income
Distribusi Usia
Penduduk yang Distribusi Pendapatan
Rata-rata tingkat pendidikan
Bertempat tinggal Presentase Penduduk yang memiliki Distribusi Pekerjaan, dan lain-lain
rumah pribadi

139
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel
Jumlah dan ukuran persaingan Kejenuhan area:
Square feet of retail space Orang per keberadaan ritel
Karakteristik komponen Front feet of retail space Rata-rata orang per took
dan tingkat kejenuhan Penjualan toko perkapita
Penjualan per square foot
Penjualan per employee

KEPUTUSAN AREA YANG DISETUJUI AREA YANG DITOLAK

140
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Metode Pengukuran Permintaan


Untuk mengukur permintaan pada suatu lokasi baru, peritel perlu memperkirakan
berapa banak uang yang dihabiskan dalam suatu area perdagangan. Beberapa
pendekatan komplementer dapat dilakukan untuk memperkirakan permintaan toko,
diantranya:

1. Pendekatan Analog
Pendekatan analog dilakukan dengan menganalogikan sebuah toko yang akan
digunakan sebagai acuan dalam menetapkan lokasi toko. Pendekatan ini
dilaksanakan melalui tiga tahap, yaitu:
1) Memilih area perdagangan yang akan dijadikan sebagai acuan melaui teknik
peandaan dan identifikasi pelanggan
2) Mengklasifikasikan toko berdasarkan intensitas pelanggan, apakah
termasuk zona primer, sekunder, atau tersier
3) Karakterisik toko yang dijadikan acuan dicocokkan dengan lokasi baru yang
akan didirkan.

2. Analisis Regresi
Analisis regresi merupakan metode yang biasa digunakan untuk ritel yang memiliki
jaringan lebih dari 20 toko. Tahapan awal dalam analisis regeresi sama dengan
metode analog, yaitu:
1) Menentukan area perdagangan dengan menggunakan teknik penandaan dan
identifikasi
2) Mengklasifikasikan toko ke zona primer, sekunder, atau tersier.
Garis regresi dapat dihasilkan melalui persamaan:
Penjualan = a + b1x1
Keterangan:
a = Konstanta dari program regresi, a juga didefinisikan sebagai garis
perpotongan pada sumbu y
b1 = Angka dari program regrcsi, yang mendefinisikan penjualan dan
variabelnya, serta kemiringan garis regresi
x1 = Variabel prediktor (biasanya untuk populasi 0 hingga 3 km).

3. Gravitasi Huff
Hukum ini mendasarkan perhitungannya pada keragaman produk yang diinginkan
konsumen yang dijual pada berbagai lokasi, waktu tempuh dari rumah konsumen ke
lokasi yang berbeda, serta sensitivitas macam belanja pada waktu tempuh (Ma'ruf,
2006). Secara sederhana, hukum gravitasi huff memperkirakan kemungkinan

141
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

pelanggan untuk berbelanja di suatu toko, didasarkan atas seberapa besar ukuran
toko dan seberapa dekat jarak tempuh untuk sampai kepada toko tersebut. Semakin
besar ukuran toko dan semakin dekat jarak/waktu perjalanan pelanggan menuju toko,
kemungkinan pelanggan untuk berbelanja pun akan semakin besar. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk mengetahui kemungkinan seorang penduduk berbelanja
pada toko tertentu. Adapun penghitungannya adalah sebagai berikut:

𝑆 : 𝑇𝑖𝑗
Pij= ∑ 𝑆𝑗
𝑗 :𝑇𝑖𝑗

Keterangan:
Pij = Probabilitas perjalanan seorang konsumen dari rumah i ke lokasi
belanja j
Sj = Ukuran dari pusat perbelanjaan j.
Tij = Waktu tempuh dari rumah konsumen di i ke lokasi belanja j
B = Eksponen pada Tij dari yang mencerminkan efek dari waktu
perialanan pada jenis-jenis perjalanan pcrbelanjaan yang berbeda.

Contoh:
Toko buku yang menargetkan mahasiswa di universitas terdekat, melakukan
proses peramalan sebagai berikut:
1. Menentukan probabilitas seorang mahasiswa berbelanja di toko buku
menggunakan model Huff dengan perolehan data sebagai berikut:
Sj = Ukuran pusat perbelaniaan j = (1 .000)
Tij = Waktu perjalanan atau jarak dari point perrnulaan pelanggan
menuiu pusat perbelanjaan. (32)
B = Eksponen pada Tij yang rnencerminkan efek dari waktu
perjalanan pada jenis-jenis perjalanan perbelanjaan berbeda. (1000:32) +
(500:52) + (100:12).

Alternatif Lokasi Ukuran (ribu meter Jarak dari titik permulaan


persegi) (km)
A 1000 3
B 500 5
C 100 1
Perhitungan untuk alternatif lokasi A sebagai berikut,

1.000∶32
Pij = (1.000∶ 32 )+(500: 52 )+(100∶ 12 )
Keumungkinan = 0,48

142
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

1. Menentukan banyaknya mahasiswa yang akan membcli buku, misalkan


jumlah mahasiswa 12000, maka hasil probabilitas dikalikan dengan jumlah
mahasiswa:
0,48 x 12.000 pelajar = 5.760 pelanggan
2. Menentukan ramalan penjualan, dengan asumsi setiap pelanggan
mengeluarkan rata-rata uang sebanyak Rp 50.000, per kesernpatan belanja
di toko tersebut. Peramalan penjualan akan rnenjadi:
5.760 x Rp 50.000,- = Rp 288.000.000,-

3. Sehingga, ramalan penjualan pada alternatif lokasi A ditetapkan sebesar Rp


288.000.000,-
4. Untuk menghitung penjualan keseluruhan area perdagangan, yaitu area
perdagangan A, B dan C. Peritel dapat mengulangi langkah-langkah
sebelumnya, dan memilih ramalan penjualan yang paling tinggi.

4. Memilih Metode Terbaik


Semakin banyak informasi yang diperoleh, hasil analisis pun akan semakin baik. Jika
hasil analisis yang dilakukan pada berbagai pendekatan memiliki kesimpulan yang
sama, peritel seharusnya percaya diri untuk mengambil keputusan.

Tipe – tipe Lokasi


Semakin maraknya ritel di tempat baru dengan penempatan yang semakin baik
membuat lokasi ritel semakin sulit diperoleh. Hal tersebut menjadi semakin
kompleks karena tingkat pertumbuhan penduduk yang lambat dan bermunculannya
pusat perelanjaan yang baru. Ketika ritel menemukan lokasi yang baik, seringkali
biaya sewa nya sangat mahal, dengan birokrasi penyewaan yang sulit, serta biaya
renovasi yang tinggi.
Tipe lokasi ritel memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Sehingga
dalam penentuannya, peritel perlu mengevaluasi serangkaian penjualan. Secara
umum, penjualan ini membandingkan antara biaya lokasi dengan nilai bagi
pelanggan. Ada tiga tipe dasar dari suatu ritel, diantaranya:
1) Pusat perbelanjaan
2) Berlokasi di kota besar atau di tengah kota, serta kota kecil
3) Freestanding (bebas)
Berikut ini dijelaskan masing-masing tipe dan kriteria dalam memilih lokasi.
1. Pusat Perbelanjaan
Pusat perbelanjaan merupakan kombinasi banyak toko di dalam satu kawasan serta
bersinergi untuk menarik banyak pelanggan. Pusat perbelanjaan berdiri sejak tahun
1950 yang terdiri dari sekelompok ritel dengan ketentuan komersial properti tunggal.
Pusat perbelanjaan in biasanya berupa strip center dan mall tertutup. Strip center

143
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

merupakan pusat perbelanjaan yang memiliki lahan parkir berhadapan dengan toko,
sedangkan mall adalah sebaliknya.

2. Pusat Perbelanjaan Kecil Berdiskon


Pusat perbelanjaan kecil berdiskon mampu memberikan kenyamanan lokasi,
kemudahan parkir, dan biaya sewa yang cukup rendah. Namun, ritel tipe ini
memberikan penawaran dan hiburan yang terbatas jika dibandingkan dengan mall.
3. Pusat Perbelanjaan Kecil Tradisional
Pusat perbelanjaan jenis ini merupakan pusat perbelanjaan yang mampu memberikan
kebutuhan pelanggan setiap hari dengan jarak yang paling dekat. Dengan harga sewa
yang rendah, peritel yang memilih lokasi jenis ini dapat menawarkan harga produk
yang ebih rendah jika dibandingkan harga pada jenis lainnya.
4. Pusat Belanja Besar
Pusat belanja besar didominasi oleh beberapa tempat besar dengan berbagai jenis
toko, seperti: toko diskon dan klub-klub pergudangan. Pusat belanja besar ini
niasanya terdiri dari beberapa perdagangan mandiri dan terletak di pedesaan.

5. Perbelanjaan Mall
Perbelanjaan mall memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

a. Tersedianya bebagai macam merchandise dalam satu tempat. Konsumen


juga ditawarkan berbagai hiburan.
b. Pemilik mall mengatur dan memilih peritel yang mengisi tempatnya.
Sehingga pelanggan memiliki pengalaman belanja yang berarti dengan
berbagai macam barang dagangan.
c. Adanya pemeliharaan area mall oleh manajemen dan penyewa mall.
Sehingga peritel dan konsumen tidak perlu khawatir dengan lingkungan
eksternal mereka.

Meskipun mall perbelanjaan memiliki banyak keunggulan, mall perbelanjaan juga


memiliki beberapa kerugian, daiantaranya:
a. Biaya penyewaan mahal
b. Adanya kontrol dari manajer mall
Tidak semua mall bisa mengikuti trend, sehingga banyak konsumen yang
memutuskan untuk berpindah ke tempat lain. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
pemilik mall perlu merubah konsep agar sesuai dengan hiburan yang mendukung.
Hal ini dapat mendorong konsumen untuk lebih banyak memebelanjakan uangnya
dan menghabiskan waktu nya di mall tersebut
6. Pusat belanja Regional
Pusat belanja regional merupakan tempat belanja yang menyediakan barang-barang
kebutuhan sehari-hari dan jasa pelayanan yang lengkap dan bervariasi. Ritel jenis ini
biasanya merupakan mal-mal besar di daerah pinggiran yang terdiri dari 4 hingga 10

144
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

toko serta menarik pengunjung dengan jarak 5 sampai 10 mil (Dale & Delozier,
1989)
7. Pusat Belanja gaya hidup
Pusat belanja gaya hidup merupakan ritel yang dapat memberikan kenyamanan
berbelanja, keamanan, variasi barang, serta atmodfer kepuasan. Pada umumnya,
pusat belanja gaya hidup terdiri dari toko dan restoran, serta beberapa gedung
bioskop dan hiburan.
8. Pusat belanja super regional
Pusat perbelanjaan ini mirip dengan pusat belanja regional, namun tempatnya lebih
besar serta memiliki kios dan barang dagang yang lebih banyak.
9. Pusat model atau pusat belanja Khusus
Pusat belanja khusus merupakan pusat belanja yang menjual pakaian mahal, terdiri
dari berbagai butik, toko souvenir dengan berbagai model, serta pernak Pernik
berkualitas tinggi. Pusat belanja khusus ini biasanya terdapat di area perdagangan
yang memiliki pendapatan besar, di area wisata, dan beberapa distrik pusat bisnis.
10. Pusat Belanja Outlet
Pusat belanja outlet pada umumnya terdiri dari pemilik outlet dan pabrik yang
menjual produk buatan sendiri dengan harga diskon.
11. Pusat Belanja Festival atau Bertema
Pusat belanja festival atau bertema adalah pusat perbelanjaan yang memiliki tema
dengan rancangan arsitektural. Pusat perbelanjaan jenis ini sering digunakan sebagai
tempat wisata secara khusus yang memiliki fasilitas restoran dan hiburan.
12. Kios
Kios merupakan alternatif lokasi untuk peritel yang menjual produknya dalam
lingkup pasar yang terbatas.
13. Pilihan Lokasi Lain-lain untuk Ritel (Freestanding)
Pilihan lokasi lain-lain mengkombinasikan beberapa kegunaan yang berbeda dari
suatu lokasi. Seperti:
a. Bandara yang memiliki beragam ritel yang menawarkan banyak variasi
produk
b. Tempat peristirahatan. Selain untuk menginap, resort banyak dipilih oleh
para peritel untuk menjual barang dagangnya. Peritel menganggap banyak
waktu senggang yang dimiliki oleh konsumen untuk membeli produk.
c. Rumah sakit. Tingginya kebutuhan ketika sakit, pasien dan tamu pati
menyempatkan ke toko
d. Toko di dalam toko. Biasanya terdapat pada toserba

145
Bab 12: Pemilihan Lokasi Ritel

Referensi
Dale, L. M., & Delozier, W. (1989). Retailing (Third edition ed.). Columbus,
London, Melbourne: Merril Publishing company.
Foster, B. (2008). Manajemen Ritel. Bandung
Alfabeta.
Kotler, P., & Armstrong, G. ( 2008). Prinsip-Prinsip Pemasaran (Edisi Ke-12 ed.).
Jakarta: Erlangga.
Ma'ruf, H. (2006). Pemasaran Ritel. Jakarta: Gramedia Utama.
Sopiah, & Syihabudin. (2008). Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: Andi.
Sujana, A. S. (2012). Manajemen Minimarket. Jakarta: Penebar Swadaya Grup.
Utami, C. W. (2008). Strategi Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.INDEKS.
William, D. R., Daniel, S. J., & ., S. W. R. (1988). Retailing Management (Sixth
edition ed.). The United States of America: John wiley and Sons.

146

Anda mungkin juga menyukai