Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit ISPA

1. Definisi
Infeksi Alauran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai
alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Dirjen PP
dan PL,2012).

2. Gejala Klinis
Menuru Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan
PL) tahun 2013, seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
dapat ditandai dengan gejala di bawah ini:
a. Demam ≥ 380C
b. Sakit tenggorokan
c. Batuk
d. Sesak/napas cepat (40x/menit atau lebih)

3. Etiologi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit umum yang
terjadi pada masyarakat dan sering dianggap biasa atau tidak membahayakan.
ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular
yang dapat menimbulkan berbagai spectrum penyakit yang berkisar dari
penyakit tanpa gejala sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung
pada pathogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu.
Sekelompok penyakit yang termasuk ISPA adalah pneumonia, influenza, dan
pernapasan syncytial virus (RSV). (Najmah, 2016)
4. Penularan ISPA

Penyakit ISPA merupakan penyakit Air Borne Disease dimana penularannya


dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar bibit penyakit dan masuk ke
dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Penularan melalui udara terjadi
tanpa kontak dengan penderita ISPA maupun dengan benda yang
terkontaminasi. Namun pada kenyataanya sebagian besar penularan melalui
udara dapat juga menular melalui kontak langsung dengan penderita yang
mengidap penyakit ISPA. (Najmah, 2016)
Pada ISPA dikenal 3 cara penularan, yaitu:
a. Melalui aerosol yang lembut, terjadi pada waktu batuk-batuk
b. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk dan
bersin-bersin
c. Melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang telah
dicemari oleh jasad renik (hand to hand transmission)

5. Penyebab
Pada penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), proses infeksi dapat
mencakup saluran pernapasan atas atau bawah atau keduanya. Infeksi ini
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, rikettsia, fungi, atau protozoa. Penyakit
ISPA disebabkan oleh 300 lebih jenis virus, bakteri, rikketsia, dan jamur.
Virus penyebab ISPA antara lain golongan mikrovirus (termasuk di dalamnya
virus influenza, virus pra-influenza, dan virus campak), dan adenovirus.
Bakteri penyebab ISPA ada beberapa jenis bakteri, antara lain Streptococus
hemolitikus, Stafilococus, pneumokokus, hemofils influenza, Bordetella
pertusis, dan Karinebakterium diffteria. (Najmah, 2016)

6. Pencegahan dan Pengobatan


a. Pencegahan
Pencegahan penyakit ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain (Najmah, 2016):
1) Melakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai penyakit ISPA
2) Menjaga kebersihan lingkungan dan perorangan dengan melakukan
Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), mencuci tangan dengan sabun,
dan menciptakan lingkungan rumah yang sehat.
3) Menjaga kesehatan gizi dengan mengkonsumsi makanan sehat, dan
jika perlu memberikan mikronutrien tambahan seperti zink, zat besi,
dan sebagainya sehingga dapat meningkatkan kekebalan tubuh.
4) Mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita
ISPA. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) saat berinteraksi
dengan orang yang menderita ISPA maupun ketika berada di
lingkungan yang berdebu.
5) Ventilasi yang baik di rumah dan tidak merokok pada ruang tertutup.
6) Pengobatan dengan menggunakan antibiotik untuk ISPA yang
disebabkan oleh bakteri, pengobatan antiviral untuk influenza.

b. Pengobatan
Menuru Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP
dan PL) tahun 2013 pengobatan ISPA dapat dilakukan dengan cara :
1) Spesimen saluran napas dan spesimen lainnya untuk pemeriksaan
laboratorium yaitu; pemeriksaan darah untuk menilai viremia, swab
konjungtiva jika terdapat konjungtiva, urin, tinja, dan cairan
serebrospinal jika dapat dikerjakan.

2) Terapi oksigen pada pasien ISPA


a) Berikan terapi oksigen pada pasien dengan tanda depresi napas
berta, hipoksemia (SPO2<90%) atau syok.
b) Mulai terapi oksigen dengan 5 L/menit lalu titrasi sampai SPO 2 ≥
90% pada orang dewasa yang tidak hamil dan SPO2 ≥ 92-95%
pada pasien hamil.
c) Pulse oximetry, oksigen, selang oksigen, dan masker harus tersedia
di semua tempat yang merawat pasien ISPA.

3) Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien ISPA


Pada pasien ISPa harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena,
karena resusitasi cairan secara agresif dapat memperburuk oksigen,
terutama dalam situasi terdapat keterbatasan ventilasi mekanis.

4) Pemantauan secara ketat terhadap pasien ISPA bila terdapat tanda-


tanda perburukan klinis, seperti gagal napas, hipoperfusi jaringan,
syok dan memerlukan perawatan intensif (ICU).

B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penyakit ISPA

1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). (Notoatmodjo, 2015)
Berdasarkan penelitian Suciasih, dkk (2010) hasil uji statistik dengan Chi
square diperoleh nilai X2 hitung = 8,242 dan ρValue= 0,004. Dengan tingkat
kepercayaan 95% (α=0,05) dan dk=1, maka diperoleh X 2 tabel=3,841
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan nelayan dengan kejadian penyakit ISPA di Kelurahan Talia
Kecamatan Abeli tahun 2010.

2. Kebiasaan merokok
Merokok adalah tindakan menyulut rokok dengan api kemudian menghisap
batang rokok tersebut dan menghembuskan asapnya. Asap rokok mengandung
lebih dari 4000 unsur rokok. Termasuk di dalamnya adalah karbon
monoksida, hidrogen sianida, aldehida, kadmium (menyebabkan emfisema),
ammonia, dan nikotin. Zat-zat tersebut tersuspensi di dalam droplet air
dengan inti resin yang diabsorpsi ke dalam dinding bronkus dan didorong
kembali oleh escalator ke mulut mukosilia, 98 % partikel ini dikeluarkan oleh
silia dalam 24 jam. Partikel yang lebih kecil masuk ke dalam alveoli dan jika
tidak larut akan dicerna oleh makrofag, kemudian dieliminasi melalui system
limfatik.
Merokok dapat menyebabkan banyak penyakit, termasuk Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), ateroma koroner, dan sejumlah kanker. PPOK
terdiri atas brokitis kronis, penyakit saluran napas kecil, dan emfisema paru.
Sedangkan merokok pasif meningkatkan risiko kanker paru serta penyakit
jantung iskemik dan berkaitan dengan peningkatan insiden asma serta infeksi
totaks. (Herrington, 2017)

Berdasarkan penelitian Suciasih, dkk (2010) hasil uji statistik dengan Chi
square diperoleh nilai X2 hitung = 22,39 dan ρValue= 0,000. Dengan tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05) dan dk=1, maka diperoleh X 2 tabel=3,841
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok nelayan dengan kejadian penyakit ISPA di Kelurahan
Talia Kecamatan Abeli tahun 2010.

3. Kepadatan Hunian
Secara umum menurut Kepmenkes RI No. 829/menkes/SK/VII/1999 luas
ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang
tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 2 tahun, berarti
kepadatan penghuni kamar tidur yang tidak memenuhi syarat (<4 m 2/orang
tidak termasuk balita) akan menghalangi proses pertukaran udara bersih
sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan dapat menjadi penyebab
terjadinya ISPA. Semakin banyak jumlah penghuni ruangan maka semakin
cepat udara di dalam ruangan mengalami pencemaran dan jumlah bakteri di
udara akan bertambah.

Berdasarkan penelitian Suciasih, dkk (2010) hasil uji Chi-square diperoleh


nilai X2 hitung (18,280) > X2 tabel (5,99) dan p=0,000 < 0,05, maka H0
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada masyarakat pesisir Kelurahan
Lapulu Kecamatan Abeli Tahun 2014.
4. Ventilasi (Perhawaan)
Hawa segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang
sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperature dan
kelembaban udara dalam ruangan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan
harus lebih rendah paling sedikit 40C dari temperatur udara luar untuk daerah
tropis. Umumnya temperatur kamar 220C-300C sudah cukup segar. Pergantian
udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m 3/orang/jam, kelembaban udara
berkisar 60% optimum.untuk memperoleh kenyamanan udara seperti yang
dimaksud di atas diperlukan adanya ventilasi yang baik.

Ventilasi yang baik dalam ruangan harus memenuhi syarat lainnya, yaitu:
a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan.
Sedangkan luas lubang ventilasi insidentik (dapat dibuka dan ditutup)
minimum 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% kali luas
lantai ruangan.
b. Udara yang masuk harus udara bersuh, tidak dicemari oleh asap dari
sampah atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu, dan lainlain.
(Kasjono,2011)

Berdasarkan penelitian Yusuf, dkk (2014) hasil uji chi-square diperoleh


nilai X2 hitung (16,131) > X2 tabel (3,84) dan p=0,000 < α=0,05, maka
H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
ventilasi dengan kejadian ISPA pada masyarakat pesisir Kelurahan Lapulu
Kecamatan Abeli Tahun 2014.

5. Pencahayaan
Cahaya yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam rumah merupakan
kebutuhan kesehtan manusia. Penerangan ini dapat dipeoleh dengan
pengaturan cahaya buatan dan cahaya alami. Pencahayaan alami dapat
diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela,
celah-celah, dan bangunan yang terbuka. Cahaya matahari ini berguna selain
untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruangan, membunuh
kuman-kuman penyakit tertentu seperti TBC, Influenza, penyakit mata, dan
lain-lain. Dan cahaya buatan yang baik tidak akan mengganggu atau
menurunkan produktifitas kerja. Malah dengan cahaya buatan yang baik dan
disaring dari kesilauan dapat mempertinggi produktifitas kerja dibandingkan
dengan cahaya alami. (Kasjono, 2011).

Pencahyaan alami dan/atau buatan yang langsung maupun tidak langsung


dapat menenrangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak
menyilaukan. (Kepmenkes No. 829, 1999)

Berdasarkan penelitian Yusuf, dkk (2014) hasil uji chi-square diperoleh nilai
X2 hitung (10,734) > X2 tabel (3,841) dan p=0,001 < α=0,05, maka H0
ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada masyarakat pesisir Kelurahan
Lapulu Kecamatan Abeli Tahun 2014.
C. Kerangka Teori Penelitian

mengacu kepada tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, kerangka teori dalam
penelitian ini digambarkan pada skema berikut:

Faktor predisposisi
Pengatahuan

Faktor pendukung ()
Kondisi fisik lingkungan rumah:
 Kepadatan hunian Kejadian Penyakit

 Ventilasi ISPA

 Pencahayaan

Faktor penguat
Peilaku (kebiasaan merokok)

Gambar 2.1
Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi Teori Perilaku Lawrence Green (Notoatmodjo, 2015)

Anda mungkin juga menyukai