Tugas Nima
Tugas Nima
HALAMAN JUDUL
Oleh :
Anak Agung Wira Ryantama
1302006257
Pembimbing :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya tinjauan pustaka yang berjudul “Respon Tubuh
Terhadap Nyeri” ini dapat selesai tepat waktu. Tinjauan pustaka ini merupakan
salah satu tugas dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
SMF/Bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan Tinjauan Pustaka ini penulis banyak memperoleh
bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian SMF Ilmu
Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An, MARS, selaku pembimbing atas segala
bimbingan dan masukan beliau,
3. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian
Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang
telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan tinjauan pustaka ini,
4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus
telah bersedia memberikan bantuan dan masukan.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan
pustaka ini. Semoga tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Klinis Nyeri Akut dan Nyeri Kronis ..................................... 4
Tabel 2.2 Konsekuensi Fisiologis terhadap Nyeri ................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Nyeri Akut Nyeri Kronis
Durasi yang pendek dan jelas Menetap setalah 3-6 bulan setelah
penyembuhan
Vadivelu N et al. Pain Pathway and Acute Pain Processing dalam Acute Pain
Management. Cambridge University Press. New York. 2009. p 3-20.
4
organnya. Nyeri neuropatik bersifat terus menerus atau episodik dan digambarkan
dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan
listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin
berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi perifer, timbulnya
aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur,
adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral yang
normal menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana
serabut saraf membuat koneksi yang lebih luas dari yang normal.5
5
Selama proses inflamasi, nosiseptor menjadi lebih peka dan mengakibatkan
nyeri yang terus menerus. Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan
jaringan sebagai sumber stimuli nyeri sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah
suatu proses elektrofisiologik yang disebut sebagai nosisepsi. Terdapat empat
proses dalam nosisepsi, yakni : transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.7,8
a. Transduksi
Transduksi merupakan proses pengubahan stimuli nyeri (noxious stimuli)
menjadi suatu impuls listrik pada ujung-ujung saraf.7 Proses transduksi
dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan
sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan
jaringan atau trauma.8 Trauma tersebut kemudian menghasilkan mediator-
medator nyeri perifer sebagai hasil dari respon humoral dan neural.
Prostaglandin beserta ion H+ dan K+ berperan penting sebagai activator
primer nosiseptor perifer serta menginisiasi respon inflamasi dan sensitisasi
perifer yang menyebabkan pembengkakan jaringan dan nyeri pada lokasi
cedera.5
b. Transmisi
Transmisi merupakan serangkaian kejadian-kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi
melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke
sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen akan ber-axon pada
dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem
contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju
cortex serebral. Proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris setelah
proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut Aδ fiber dan C
fiber sebagai neuron pertama dari perifer ke medula spinalis.7 Proses
tersebut menyalurkan impuls noxious dari nosiseptor primer menuju ke sel
di dorsal horn medulla spinalis.
6
c. Modulasi
Modulasi adalah proses yang mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya
mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan
sistem neural yang komplek. Impuls nyeri ketika sampai di saraf pusat
akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri
ini kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang
belakang untuk memodulasi efektor.8
d. Persepsi
Persepsi adalah proses yang subjective. Persepsi merupakan hasil akhir dari
proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan
suatui perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.7 Proses
persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses
anatomis saja, akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan
memory (mengingat). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional, dan
berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan
pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan
nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.8
7
Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya
terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II,
ADH, ACTH, GH dan Glukagon, sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon
anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hiperglikemia
melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis,
selanjutnya terjadi katabolisme protein dan lipolisis. Kejadian ini akan
menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan
terjadinya retensi NA dan air. Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga
intensitas nyeri bertambah sehingga terjadilah siklus vitrousus.7 Sirkulus vitiosus
merupakan proses penurunan tekanan O2 di arteri pulmonalis (PaO2) yang
disertai peningkatan tekanan CO2 di arteri pulmonalis (PCO2) dan penurunan pH
akan merangsang sentra pernafasan sehingga terjadi hiperventilasi.10 Respon nyeri
memberikan efek terhadap organ dan aktifitas. Berikut beberapa efek nyeri
terhadap oragan dan aktifitas:
a. Efek nyeri terhadap kardiovaskular
Pelepasan katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH dan aktifasi
Angiostensin II akan mennimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-
hormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembuluh
darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiostensin II menimbulkan
vasikontriksi. Katekolamin menimbulkan takikardia, meningkatkan otot
jantung dan resistensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hipertensi.
Takikardia serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Jika
retensi Na dan air bertambah makan akan timbul resiko gagal jantung.7
b. Efek nyeri terhadap respirasi
Bertambahnya cairan ekstra seluler di paru-paru akan
menimbulkan kelainan ventilasi perfusi. Nyeri didaerah dada atau
abdomen akan menimbulkan peningkatan otot tonus di daerah tersebut
sehingga muncul risiko hipoventilasi, kesulitan bernafass dalam
mengeluarkan sputum, sehingga penderita mudah hipoksia dan
atelektasis.7
8
c. Efek nyeri terhadap sistem oragan lain
Peningkatan aktifitas simpatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi
fungsi saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita
nyeri. Terhadap fungsi immunologik, nyeri akan menimbulkan limfopenia,
dan leukositosis sehingga menyebabkan resistensi terhadap kuman
patogen menurun.7
d. Efek nyeri terhadap psikologi
Pasien yang menderita nyeri akut yang berat akan mengalami
gangguan kecemasan, rasa takut dan gangguan tidur. Hal ini disebabkan
karena ketidaknyamanan pasien dengan kondisinya, dimana pasien
menderita dengan rasa nyeri yang dialaminya kemudian pasien juga tidak
dapat beraktivitas. Bertambahnya durasi dan intensitas nyeri, pasien dapat
mengalami gangguan depresi, kemudian pasien akan frustasi dan mudah
marah terhadap orang sekitar dan dirinya sendiri. Kondisi pasien seperti
cemas dan rasa takut akan membuat pelepasan kortisol dan katekolamin,
dimana hal tersebut akan merugikan pasien karena dapat berdampak pada
sistem organ lainnya, gangguan sistem organ yang terjadi kemudian akan
membuat kondisi pasien bertambah buruk dan psikologi pasien akan
bertambah parah.9
e. Efek nyeri terhadap mutu kehidupan
Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu
bergerak, susah tidur, tidak enak makan, cemas, gelisah, putus asa tidak
mampu bernafas dan batuk dengan tidak baik. Keadaan seperti ini sangat
mengganggu kehidupan pernderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat
rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk hidup mandiri layaknya orang
sehat. Penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak tertuju pada
mengurangi rasa nyeri melainkan untuk menjangkau peningkatan mutu
kehidupan pasien, sehingga dapat kembali menikmati kehidupannya.
Sementara kualitas hidup pasien menurun karena pasien tidak bisa
beristirahat dan beraktivitas 7,9
9
Tabel 2.4 Konsekuensi Fisiologis terhadap Nyeri
Sistem Tubuh Respon terhadap Nyeri Manifestasi Klinis
Endokrin/Metabolik Gangguan sekresi hormon Penurunan berat badan
ACTH, kortisol, Demam
katekolamin, insulin Peningkatan laju napas
dan laju jantung
Kardiovaskular Peningkatan laju jantung Unstable Angina
Peningkatan resistensi Infark miokardial
vaskular DVT
Peningkatan tekanan darah
Respirasi Keterbatasan usaha respirasi Pneumonia
Atelektasis
Gastrointestinal Penurunan laju pengosongan Anoreksia
lambung Konstipasi
Penurunan motilitas usus Ileus
Muskuloskeletal Muscle spasm Imobilitas
Lemah
Imun Gangguan fungsi imun Infeksi
Genitourinari Abnomalitas hormon yang Hipertensi
mengatur jumlah urin, Gangguan elektrolit
volume cairan dan elektrolit
Tennant F. The Physiologic Effects of Pain on the Endocrine System. Spinger
Healthcare. 2013. 2:75-86.
10
- Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka sebagai
langkah ketiga disarankan untuk menggunakan opioid keras
yaiut morfin.
Pada dasarnya prinsip “WHO Three Step Analgesic Ladder” dapat
diterapkan untuk nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu:7
Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks.
Jakarta Barat. 2010. hal 217-232.
Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambakan adjuvan atau
obat pembantu. Berbagai obat pembantu dapat bermanfaat dalam masing-masing
taraf penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektifitas
analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk
bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri.7
Obat anesthesia golongan opioid, terutama opioid kerja panjang atau opioid
intrathecal, dapat menekan beberapa produksi hormon terkait respon stres tubuh
menjelang operasi atau respon nyeri. Dosis pasti yang dapat menurunkan respon
hormonal sampai saat ini tidak bisa ditentukan karena bergantung pada masing-
masing individu.
11
BAB III
PENUTUP
12
DAFTAR PUSTAKA
13