Anda di halaman 1dari 12

Critical Journal

Review

M.K Agama Katholik

SKOR NILAI:

Kelompok 2

Nama : Dian Ronaldo Sihotang (4193321011)

Fitri Dalia Sihombing ( 4192451001)

Petrin Suranta Tarigan (4193331013)

Pimpy Sheila Sigalingging (4192421011)

Ruth Indah Sihotang (4191111036)

Sri Windi Br Ginting ( 4191111044)

Dosen pengampu : Dr. Yakobus Ndona, SS., M.Hum

Mata kuliah : Pendidikan Agama Katholik

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

Maret 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Limpahan Rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Critical Journal Review ini dalam  bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga Critical Journal Review ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Critical Journal Review ini disusun
dalam rangka untuk melaksanakan tugas dari dosen Bapak Dr. Yakobus Ndona, SS., M.Hum,
selaku pengampu mata kuliah Agama Katholik.

Saya berharap semoga Critical Journal Review ini membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman  bagi para pembaca. Critical Journal Review ini masih banyak kekurangan baik
dalam penulisan kata maupun cara  penyampaianya. Oleh karena itu penulis berharap kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan Critical Journal Review ini.

Medan, 2 Maret 2021

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 4

1.1. Latar Belakang...................................................................................................... 4

1.2. Tujuan Penulisan CJR........................................................................................... 4

1.3. Manfaat CJR......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5

2.1 Identitas Jurnal....................................................................................................... 5


2.2 Ringkasan Jurnal..................................................................................................... 5
2.3 Analisis Jurnal......................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 11

3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 11
3.2 Saran....................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Review (CJR)

Critical Journal Review (CJR) sangat penting buat kalangan pendidikan terutama buat
mahasiswa maupun mahasiswi karena dengan mengkritik  jurnal, maka mahasiswa/i ataupun si
pengkritik dapat membandingkan jurnal inti dengan jurnal pembanding dengan tema yang sama,
dapat melihat mana jurnal yang perlu diperbaiki dan mana jurnal yang sudah baik untuk
digunakan berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis jurnal tersebut, setelah
dapat mengkritik jurnal maka diharapkan mahasiswa/i dapat membuat suatu jurnal karena sudah
mengetahui bagaimana kriteria jurnal yang baik dan benar untuk digunakan dan sudah mengerti
bagaimanacara menulis atau langkah-langkah apa saja yang diperlukan dalam penulisan jurnal
tersebut.

1.2Tujuan Penulisan Critical Journal Review (CJR)


Critical journal Review ini dibuat bertujuan untuk penyelesaian tugas mata kuliah Ikatan
Kimia Universitas Negeri Medan untuk membandingkan Critical Journal Review (CJR) sehingga
dapat menambah pengetahuan untuk melihat atau membandingkan dua atau beberapa jurnal yang
baik dan yang benar. Setelah dapat membandingkan maka akan dapat membuat suatu jurnal
karenasudah dapat membandingkan mana jurnal yang sudah baik dan mana jurnal yang masih
perlu diperbaiki dan juga karena sudah mengerti langkah-langkah dari pembuatan suatu jurnal.

1.3 Manfaat Critical Journal Review (CJR)


1. Dapat meningkatkan analisis kita terhadap suatu jurnal
2. Supaya kita dapat mengetahui teknik-teknik penulisan CJR yang benar
3. Dapat menulis bagaimana jurnal yang baik dan benar
4. Menambah pengetahuan kita tentang isi-isi dari jurnal-jurnal penelitian.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Identitas Jurnal


Identitas Jurnal 1

Judul Jurnal Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe,1942-1970-


an
Penulis Ranika Br. Ginting
Nama Jurnal Jurnal Lembaran Sejarah
Volume/Nomor Vol.11, No.2
Tahun Terbit 2014
ISSN 6345-8789
Jumlah Halaman 170-187( 17 halaman)

Identitas Jurnal 2

Judul Jurnal Budaya dan solidaritas dalam kerukunan umat


beragama di Tanah Karo
Penulis Muhammad Abdul Lubis
Nama Jurnal Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan
Sosial
Volume/Nomor Vol. 11,No. 2
Tahun Terbit 2017
ISSN 1978-4457
Jumlah Halaman 239-258 ( 20 halaman)

2.2 Ringkasan Jurnal


Ringkasan Jurnal 1

Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an

 Masa Krisis Karya Misi di Tanah Karo (1942-1945)


Pada tahun 1942 terjadi perpidahan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah
Jepang. Pastor dan pendeta yang sedang menjalankan misi ditahan, termasuk Pastor
Elpidius yang sedang berkarya di Kabanjahe dipenjarakan di kamp tahanan Siringoringo,

5
Labuhan Batu. Para misionaris yang berkarya di tanah misi diputus hubungannya dengan
umat.
 Membangun kembali Gereja Katolik Pasca Kemerdekaan (1945-1948)
Selama masa penahanan dan pengasingan misionaris, kondisi Gereja Katolik di Tanah
Karo kacau dan hampir mati. Dalam kurun waktu ini, misionaris Belanda belum bebas
bergerak ke Tanah Karo. Misionaris Belanda melakukan tugas misi dari Medan dengan
dibantu awam dan kaum religius pribumi. Kondisi ini berlangsung sampai agresi militer
Belanda.
 Gereja Katolik di Karo Menuju Arah Kemandirian (1948-1970)
Pada tahun 1950, sesudah berakhirnya masalah dan persoalan dengan Belanda dan
pengakuan Indonesia secara de facto, keadaaan Geraja Katolik di Indonesia termasuk
Tanah Karo mengalami kemajuan. Ada kebebasan yang prinsipil bagi agama dan
minimnya rintangan dari pemerintah memudahkan pengembangan misi selanjutnya.
Kemajuan Gereja Katolik di Tanah Karo juga ditandai dengan dibukanya Paroki
Kabanjahe dan stasi-stasi baru di Tanah Karo. Perkembangan misi di daerah Karo
menunjukkan keberhasilan yang cukup baik, walaupun agama Katolik belum dapat
diterima secara sepenuhnya oleh agama sipemena (agama asli masyarakat Karo). Namun
keadaan ini berubah pada tahun 1965 ketika G30S meletus.
Pada masa pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Gereja Katolik dengan kerja keras
berusaha mengatasi kekejaman yang terjadi di mana-mana. Gereja Katolik
mengumandangkan bahwa yang harus dimusuhi adalah ideologi yang jahat bukan
orangnya. Sambil mengobati lukaluka batin umat Katolik didorong untuk ikut aktif dalam
proses pembangunan masyarakat dan negara dari situasi yang porak poranda.
 Pemekaran Stasi-stasi Baru di Paroki Kabanjahe
Kemampuan misionaris berbaur dengan kebudayaan Karo mendapat respon yang
positif dari masyarakat. Masyarakat mulai terbuka dan memberikan diri untuk menjadi
bagian dari gereja Katolik. Jumlah umat yang terus bertambah membuat gereja Katolik di
Tanah Karo melakukan pemekaran stasi-stasi baru.

Ringkasan Jurnal 2

Budaya Dan Solidaritas Sosial Dalam Kerukunan Umat Beragama di Tanah Karo
Kabanjahe adalah salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera
Utara. Kabanjahe juga merupakan Ibu Kota Tanah Karo. Nama lain Kabupaten ini adalah
“Tanah Karo Simalem” (Tanah Karo yang Permai). Masyarakat Karo di Kecamatan Kabanjahe
pada umumnya bkerja sebagai petani, masyarakat yang menggantungkan sumber kehidupannya
melalui hasil pertanian. Kondisi tanah yang subur menjadikan lahan pertanian seperti buah-
buahan dan sayur-sayuran dapat tumbuh subur. Dalam sejarah keagamaan, pada mulanya
masyarakat Karo adalah masyarakat yang hidup dengan kepercayaan lokal, sebuah kepercayaan

6
yang diwarisi dari para leluhur Karo. Kepercayaan itu dikenal dengan perbegu, sipelbegu, atau
yang sering disebut juga dengan agama pemena. Di tahun 50 an penyebaran keagamaan tersebut
juga tidak begitu signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat Karo akan tetapi perlahan
kepercayaan lokal mulai ditinggalkan oleh kebanyakan masyarakat Karo.
Beberapa faktor dalam proses konversi keagamaan tersebut salah satunya adalah situasi politik
Indonesia yang mengharuskan setiap rakyat Indonesia harus memeluk salah satu agama yang
diakui oleh negara berdasarkan sila pertama Pancasila sebagai konstitusi negara. Sedangkan
kepercayaan lokal akan dikategorikan sebagai komunitas yang belum beragama sehingga jika
tidak mematuhi peraturan pemerintah tersebut maka tidak mendapat haknya terutama dalam hal
administratif negara.
Saat ini agama bagi masyarakat karena merupakan hal yang sangat penting dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari, hampir semua masyarakat karo di kabanjahe adalah masyarakat yang
menganut suatu agama tertentu yang telah diakui negara. masyarakat karo juga merupakan
masyarakat yang sudah sejak dulu terikat oleh budaya dan adat istiadatnya, terhadap leluhur yang
telah memberi kehidupan.
1. Sejarah asal usul karo
Menurut Tengku Luckman Sinar SH (Lukman 2008; 18), masyarakat Karo merupakan
penduduk dari kerajaan Haru yang muncul pada abad XIII yang terbentang pada seluruh
wilayah di Sumatra Timur yaitu dimulai dari batas Tamiang sampai Rokan. Penduduk dari
kerajaan Haru itu terdiri dari campuran masyarakat Batak Karo dan Melayu yang telah
memeluk agama Islam atau setidaknya Raja, para bangsawan dan pembesar-pembesarnya.
Batak Karo termasuk di dalam ras Proto-Melayu (palaeo Mongolid) yang memiliki ciri khas
rambut yang tidak keriting dan kulitnya berwarna coklat muda.
Pada Abad ke XV terjadi sebuah gencatan senjata yang melibatkan antara kerajaan Haru dan
Kerajaan Pasai, pada saat itu kerajaan Haru dipimpin oleh Serbanaman Raja Purba dan Raja
kembat yang diketahui merupakan orang Karo yang telah menempati daerah sungai Deli.
Sebelum kedatangan Belanda di daerah Karo telah terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang
dikepalai oleh Datuk. Penduduk sekitar bagi orang Batak Karo yang masuk Islam mereka
disebut “enggo jadi Jawi” (Sudah dijadikan Jawi/Islam).
Dalam versi lain menyebutkan tentang asal-usul Karo juga berasal dari Hindu Tamil,
sebagaimana halnya marga sembiring, si- mbiring berarti si- hitam, pada umumnya orang
Hindu padang dikenal memiliki ciri khas dan warna kulit yang hitam, sehingga masyarakat
Karo yang bermarga sembiring merupakan keturunan dari orang Hindhu Tamil.
Setelah Indonesia merdeka daerah yang ditempati oleh masyarakat Karo tersebut dijadikan
satu kabupaten hingga saat ini, yaitu kabupaten Tanah Karo termasuk di dalamnya daerah
kabanjahe sebagai ibu kota. Terdapat tiga wilayah kewedanaan di Kabupaten Tanah Karo,
yaitu: kewedanaan Kabanjahe, kewedanaan Tigabinanga dan kewedanaan Deli Hulu yang
terbagi menjadi lima belas kecamatan, akan tetapi sejak 1958 kewedanaan Deli Hulu dengan
lima kecamatan dimasukkan ke dalam Kabupaten Deli Serdang.
2. Agama dan Kepercayaan Masyarakat Karo

7
Sejak dahulu masyarakat Karo telah hidup dengan memiliki kepercayaan lokal yang telah
diwariskan dari generasi ke generasi, kepercayaan lokal tersebut sering dikenal dengan
sebutan “perbegu” atau Sipelbegu nama itu merujuk pada kepercayaan masyarakat Karo
terhadap roh dan arwah, mereka mempercayai bahwa roh manusia yang hidup atau yang
disebut juga tendi dapat meninggalkan badan dan tidak kembali lagi kapanpun, agar segera
kembali ke badan maka perlu dilakukan sebuah ritual pengembalian roh yang dipimpin oleh
datu “guru si baso” agar tendi segera kembali ke badan manusia tersebut dan bisa hidup
sebagaimana biasanya.
Dalam pemanggilan arwah masyarakat Karo melakukan dialog antara manusia yang masih
hidup dengan arwah yang dipanggil masuk melalui tubuh dari guru si baso atau pimpinan
dari ritual, biasanya dialog itu digunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dengan
saudara atau kerabat terdekat yang telah meninggal atau menjadi begu.
Mengenai adanya Dibata (Tuhan) Sebagai pencipta alam semesta dan seluruh isi jagad raya,
kepercayaan tersebut meniscayakan atas energi gaib yang terdapat pada batu-batu besar, kayu
besar, sungai, gunung atau tempat-tempat lain yang dianggap sebagai tempat keramat. Energi
yang terdapat pada benda dan tempat-tempat tersebut dipercaya dapat memberikan rezeki,
nasib baik sekaligus dapat mendatangkan malapetaka. Maka agar terhindar dari malapetaka
setiap masyarakat Karo haruslah melakukan persembahan dan pemujaan terhadap benda
benda keramat tersebut.
Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari (Fitri 1986;
14):
A. Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang menguasai alam raya/langit
B. Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia
C. Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai di bawah atau di dalam bumi
Masuknya Agama Kristen di Tanah Karo tidak terlepas dari peran Belanda pada masa
Kolonial, Rita Kipp Smith dalam bukunya The Early Years of Dutch Colonial mission: The
Karo Field (Smith 1993; 34-35) menjelaskan misi Kristen di Tanah Karo dimulai pada tahun
1889 dimulai dengan keinginan Belanda untuk menguasai ladang tembakau yang berada di
daerah sekitar pemukiman masyarakat Karo dan Deli.
Pada saat itu meskipun agama Islam yang disebarkan dari Aceh, dan juga agama Kristen
melalui para missionaris yang didukung Belanda, agama tidak serta merta dapat diterima
oleh masyarakat Karo ini dikarenakan pemahaman masyarakat Karo terhadap kepercayaan
animisme dan dinamisme yang begitu kuat.
Namun penyebaran tersebut tergolong lamban dan kurang berhasil, terbukti pada tahun 50-an
baru sekian puluh ribu saja di antara ratusan ribu masyarakat Karo. Maka cara yang ditempuh
para missionaris dalam mengembangkan agama ialah diikuti dengan bidang pendidikan, ini
memang berhasil secara perlahan.
Kementrian Agama di Kabanjahe misalnya bekerjasama dengan Badan Koordinasi Dakwah
Islam (Dewan Dakwan Islamiyah) mengirim banyak para da’i yang akan mengajak untuk
masuk Islam dan mengajari orang-orang yang sudah masuk Islam di Kabanjahe. Kegiatan
tersebut juga diikuti dengan dibuatnya madrasah dengan dukungan organisasi organisasi
Islam seperti Muhammadiyah yang juga rutin mengadakan pengajian bagi masyarakat
sekitar, salah satunya adalalah pengajian merga si lima pengajian yang menggunakan bahasa

8
Karo sekaligus mengajari kepada masyarakat bahwa antara agama dan budaya merupakan
satu kesatuan.
Misi Kristen pada periode ini juga berkembang melalui GBKP selaku otoritas tertinggi
Kekristenan di kawasan tanah Karo. Gereja juga difungsikan sebagai kegiatan pendidikan
dan kesehatan terdapat beberapa sekolah, klinik dan panti asuhan untuk melayani masyarakat
Kabanjahe.
Tidak sedikit pula yang memeluk agama berdasarkan pemahaman dan kesadarannya sendiri,
tidak terpengaruh oleh keluarga yang sebelumnya telah memeluk satu agama tertentu,
sehingga saat ini banyak masyarakat Karo yang hidup dengan agama yang berbeda dalam
satu keluarga, misalnya seorang ayah beragama Islam, tetapi ibunya Protestan sedang
anaknya memeluk Katolik atau agama lain (Suwanto Sitepu 2017), semuanya bebas dalam
menjalankan ibadah dari agamanya masing-masing sikap saling menghormati itu biasa
dilakukan misalnya dalam perayaan keagamaan tertentu.
Mayoritas Masyarakat Kabanjahe saat ini menganut agama Kristen Protestan, kemudian
Islam, Katholik, Budha, Hindhu dan beberapa agama lain.
3. Budaya dan Solidaritas Masyarakat Karo di Kabanjahe
a. Merga Si Lima
Dalam masyarakat Karo terdapat lima marga induk yang di setiap induknya memiliki
cabang-cabangnya tersendiri, adapun marga-marga induk itu ialah:
1. Perangin-angin
2. Ginting
3. Tarigan
4. Karo-Karo
5. Sembiring
Merga berfungsi untuk mengetahui dan mengidentifikasi dari setiap keturunan
sekaligus pengikat kekerabatan bagi setiap masyarakat Karo.
b. Daliken Si Telu
Daliken Si Telu berasal dari Bahasa Karo, Daliken bermakna tungku batu tempat
memasak sedangkan Si telu adalah tiga, jadi Daliken Si Telu berarti tiga tungku batu,
ketiga tungku batu itu digunakan ketika ingin memasak hingga membentuk segitiga
yang memiliki ruang di ketiga sisinya, dari sisi tersebut kemudian dimasukkan kayu
sebagai bahan bakar. Pada umumnya masyarakat Karo dahulu menggunakan tungku
batu untuk memasak makanan dan menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya ketiga
tungku itu sebagai tiang penyangga dari tempat masak berdasarkan cara memasak
tersebut kemudian masyarakat Karo memahami yang disebut dengan Daliken Si Telu.

2.3 Analisis Jurnal


Jurnal 1

Berdasarkan hasil review yang dilakukan pada jurnal yang berjudul “Katolik di Tanah Karo:
Kabanjahe, 1942-1970an”, hanya menemukan sedikit kelemahan yaitu ada kalimat yang susah

9
dimengerti dan ada beberapa kata yang tidak sesuai EYD, kami tidak menemukan banyak
kelemahan jurnal ini. Melainkan kami menemukan banyak kelebihan dalam jurnal ini yaitu
jurnal ini memiliki identitas yang jelas, isi dari jurnal juga bagus dikarenakan jurnal ini
memaparkan secara jelas dan lengkap, memiliki sumber yang dapat dipercaya, penulisan dalam
jurnal ini juga sudah sangat bagus dan rapi.

Jurnal 2

Kelebihan:

 Tata bahasa yang dimuat baik dan bagus, pembaca dapat memahami isi bahasan dengan
baik dengan tata bahsa tersebut
 Kata kata yang tidak merumitkan pembaca dan tidak berbelit belit
 Dari aspek ruang lingkup, isi artikel sudah jelas. Judul dengan isi yang ada pada jurnal
sudah sesuai.
 Dari aspek tata bahasa sudah bagus. Bahasa yang digunakan bukan bahasa yang susah,
tetapi bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca.
 Dari aspek data yang dipakai sudah jelas dan valid. Karena jurnal tersebut memiliki data
yang valid dan tidak ada yang dimanipulasi. Data diambil secara langsung ke lapangan.
Sehingga pembaca jurnal percaya bahwa data yang ada adalah data yang akurat.

Kekurangan:

 Abstrak yang digunakan belum dapat mencakup semua isi jurnal sehingga sulit untuk
dipahami apabila hanya membaca abstrak saja.
 Tidak disertai dengan saran yang lengkap sehingga tidak terlalu mendukung.
 Pembahasan terlalu mengarah pada satu patokan saja tidak memandang luas.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Budaya pada masyarakat menempati peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Karo di Kabanjahe, Budaya menjadi pemersatu sekaligus penjaga terhadap perbedaan agama dari
masyarakat Karo, sistem marga yang diwariskan para leluhur dari generasi ke generasi masih
terus dijaga hingga saat ini. Daliken Si Telu Bagi masyarakat Karo di Kabanjahe memiliki arti
yang besar dalam mengurangi permasalahan sosial maupun sentimen yang memicu lahirnya
konflik agama, sistem kekerabatan pada Daliken Si Telu membentuk solidaritas masyarakat yang
saling besinergi, saling menghormati satu sama lain dan mampu menggerakkan
kegotongroyongan, atas dasar keterikatan emosi antar satu dengan yang lain dalam rumah
kekeluargaan. Solidaritas masyarakat dalam budaya tersebut membentuk ruang sosial yang
harmoni tanpa harus mempertentangkan perbedaan agama.

Perlunya melakukan identifikasi dan penilaian terhadap jurnal tersebut untuk meningkatkan
kemampuan menulis argumentasi dan peningkatan kemampuan menulis teks argumentatif yang
koheren pada tulisan mahasiswa. Berdasarkan penyajiannya dan tidak adanya penjelasan
mengenai metode penelitian,maka penyusun dapat memberikan kesimpulan jurnal itu lebih baik
dari jurnal yang lain. Di dalam jurnal yang di riview kelompok kami memiliki kelebihan dan
beberapa kekurangan nya juga. Jika dilihat dari kelebihan jurnal memang jurnal ini bagus tetapi
ada beberapa kekurangan nya juga.

B. Saran

Dalam penyajian jurnal tersebut sebenarnya bagus tetapi ada satu atau dua di dalam jurnal
tersebut yang harus di perbaiki sesuai dengan yang telah saya cantumkan di kelebihan dan
kekurangan jurnal. Dan saran kelompok agar kedepannya tidak lagi mengulangi kesalahan yang
telah kita lihat dan kami kelompok sebagai penyusun berharap agar jurnal tersebut di perbaiki
untuk kebaikan kedepannya dan agar pembaca lebih mudah memahami isi dari jurnal tersebut
Terimakasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ranika Br Ginting. (2014). Katolik di Tanah Karo: Kabanjahe, 1942-1970an. Jurnal Lembaran
Sejarah . vol 11 (2) : 170-187.

Lubis,M.,A.(2017). Budaya dan Solidaritas Dalam Kerukunan Umat Beragama di Tanah Karo.
Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial. 11(02): 1978-4457.

12

Anda mungkin juga menyukai