Anda di halaman 1dari 44

CRITICAL BOOK REVIEW

MENJUNJUNG IMAN MELESTARIKAN ADAT

NAMA Mahasiswa : Ido Yoseptian Simbolon

NIM : 1213311004

DOSEN PENGAMPU : Selfi Sihombing, S. Th., M.Si., M.PdK

MATA KULIAH : Pendidikan Agama Kristen

PROGRAM STUDI PENDIIDKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

November 2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkatnya saya dapat menyelesaikan Critical Book Report ini dengan tepat waktu. Meskipun
bentuknya sangat jauh dari kesempurnaan. Dalam penulisan Ctitical Book Report ini, saya
memberikan sejumlah materi yang terkait dengan materi yang disusun secara langkah demi
langkah, untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Kristen selain itu, Critical Book
Report ini bertujuan menambah wawasan tentang Pendidikan Agama Kristen bagi saya dan juga
pembaca.

Dan saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Ibu Selfi Sihombing,
S. Th., M.Si., M.PdK selaku pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Kristen atas
bimbingannya pada semester ini. Saya juga berharap agar Critical Book Report ini dapat
menjadi pengetahuan bagi saya dan pembaca. Serta sebagai manusia biasa tentu saya menyadari
Critical Book Report ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari dosen pembimbing mau pun pembaca.

Medan, 29 November 2022


Ido Yoseptian Simbolon

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I .........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR ............................................................................................1

B. Tujuan Penulisan CBR ........................................................................................................1

C. Manfaat CBR ......................................................................................................................1

D. Identitas Buku Yang di Review ...........................................................................................2

BAB II........................................................................................................................................3

RINGKASAN ISI BUKU ..........................................................................................................3

BAB III .................................................................................................................................... 39

PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 39

Kelebihan Buku ..................................................................................................................... 39

Kekurangan Buku .................................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB IV .................................................................................................................................... 40

PENUTUP ............................................................................................................................... 40

A. Kesimpulan....................................................................................................................... 40

B. Saran................................................................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 41

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR


Keterampilan membuat CBR pada penulis dapat menguji kemampuan dalam meringkas
dan menganalisi sebuah buku serta membandingkan buku yang dianalisis dengan buku yang lain,
mengenal dan memberi nilai serta mengkritik sebuah karya tulis yang dianalisis

Seringkali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan pahami,
terkadang kita hanya memilih satu buku untuk dibaca tetapi hasilnya masih belum memuaskan
misalnya dari segi analisis bahasa dan pembahasan, oleh karena itu penulis membuat CBR
Pendidikan Agama Kristen ini untuk mempermudah para pembaca dalam memilih buku referensi
terkhusus pada pokok bahasan tentang Agama Kristen Protestan.

B. Tujuan Penulisan CBR


 Untuk menambah pengetahuan tentang Agama Kristen Protestan

 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Kristen

 Mengetahui kelebihan dan kekurangan buku Menjunjung Tinggi Melestarikan Adat

 Mencari dan mengetahui informasi yang ada didalam buku.

C. Manfaat CBR
 Menambah pengetahuan para pembaca

 Memudahkan pembaca dalam memahami isi dari buku

 Menambah wawasan penulis. Melatih penulis berpikir kritis dalam mencari informasi
yang diberikan oleh setiap bab dari buku.

1
D. Identitas Buku Yang di Review

Buku Utama

Judul Buku : Menjunjung Iman Melestarikan Adat

Penulis : Pdt. Nikson Simanungkalit, S.Th., M.Ars

Penerbit : CV. Sibundong Grafika

Tahun Terbit : 2020

Kota Terbit : Medan

ISBN :

2
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

Ringkasan Buku Utama

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Kebudayaan sebagai Pola Hidup

Kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok yang dihayati dan diamalkan dalam
hubungan dengan sesama anggota kelompok atau sebuah komunitas. Kebudayaan berasal dari
bahasa Sanskerta, yaitu “budaya”. Budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” yang berarti
“roh” atau “akal”. Kata kebudayaan menyatakan : “segala sesuatu yang diciptakan oleh budi
manusia”. Jadi, budaya atau kebudayaan itu adalah segala sesuatu yang dihasilkan atau
diciptakan oleh akal atau budi manusia. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan berarti :
“Keseluruhan gagasan dan karya, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan
dari hasil budi dan karyanya itu”.

Th. Kobong mengatakan bahwa kebudayaan itu berdimensi horizontal, tidak bisa
dilepaskan dari dimensi vertikal, sama halnya seperti iman yang lebih berdimensi vertikal, yang
dihayati dan diamalkan dalam dimensi horizontal. Karena itu , iman dapat dinterprestasikan
sebagai sumber dan dasar kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sering diidentikan dengan
agama yang berdimensi vertikal (Kobong 2004,v)

2. Kebudayaan Batak Toba

Demikian pula halnya dengan Batak Toba sebagai salah satu suku di Indonesia yang juga
memiliki kebudayaan atau agama yang telah diwarisi secara turun – temurun sebelum agama –
agama besar (Kristen dan Islam) masuk ke Tanah Batak. Kebudayaan Batak Toba juga
mencakup berbagai kehidupan. Kehidupan Batak Toba lebih dikenal dengan sebutan adat, yang
mengatur seluruh tatanan dan perilaku, paho habatahon (moral kebatakan). Perumpaaan Batak
yang mengatakan : “ Adat do ugari, sinihathon ni ompunta Mulajadi”, menunjukkan bahwa adat
adalah ugari atau hukum yang diilhamkan Tuhan Pencipta Alam Semesta. Dari perumpamaan ini
dapat diketahui bahwa orang Batak memahami adat Batak sebagai hukum yang bukan ciptaan

3
manusia melainkan berasal dari Yang Ilahi, sehingga adat Batak bermakna religius (D.
Lumbantobing 2007, 324). Itulah sebabnya, adat Batak tidak terpisahkan dari kepercayaan atau
agama Batak, sebagaimana dikatakan Schreiner (1994, 217): “Adat adalah tata tertib sosial untuk
desa sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama.

Masyarakat Batak dikenal sebagai masyarakat yang sangat ketat memelihara adat – istiadatnya,
sekaligus sebagai masyarakat yang sangat religius, yang hidup dengan nilai – nilai keagamaan.
Semua tindakan dan rencana yang hendak dilakukan selalu dipahami dalam konteks adat dan
kepercayaan. Orang Batak percaya bahwa Sang Ilahi senantiasa campur tangan dalam kehidupan
manusia.

3. Kematian dan Pemakaman Orang Mati Menurut Adat Dalihan Na Tolu

Dalam adat atau agama Batak, sangat sulit ditentukan batas yang tegas antar orang mati dan
hidup, sehingga orang Batak yang masih teguh memegang adat selalu mencari pengaruh atau
berkat dari orang yang telah meninggal, terutama jika orang itu mulia, kaya,a tau mempunyai
banyak keturunan. Orang Batak memahami bahwa meskipun manusia sudah mati, rohnya (tondi)
masih tetap hidup, sebab kematian dipahami bukan akhir dari keberadaan dan tindakan dari roh
(tondi). Roh orang mati (begu) masih dapat berhubungan dengan orang yang masih hidup,
mampu memberi pengaruh, bahkan memberikan berkat bagi orang hidup. Orang Batak yakin
bahwa tubuh orang mati akan menjadi tanah sedangkan roh (tondi) nya akan menjadi begu (=
hantu).

Pelaksanaan adat pemakaman orang mati dalam masyarakat Batak merupakan pengakuan
bahwa masih ada kehidupan di balik kehidupan di dunia ini. Agama Batak tradisisonal mengakui
bahwa masih ada kehidupan dibalik kematian. Oleh karena itu, adat pemakaman orag mati itu
dilaksanakan dengan beberap maksud dan tujuan :

a. Memberikan perpisahan dan penghormatan terakhir kepada yang meninggal serta melengkapi
segala bekal yang diperlukan dalam perjalanannya menuju alam yang dituju.

b. Membebaskan diri dari roh si mati, sehingga yang hidup tak diganggu lagi.

c. Memberi makan kepada ilah – ilah supaya tidak mengganggu perjalanan roh si mati, atau
meminta pertolongan ilah – ilah itu untuk menghantar roh si mati sampai ke tempatnya.

4
Menyelesaikan segala kewajiban terhadap yang mati, sehingga perjalanan roh itu mencapai
tujuannya

Beberapa bentuk pemakaman yang dijumpai di kalangan orang Batak di mana gereja hidup dan
melayani, yaitu : Pemakaman di dalam tanah dengan mempergunakan peti mati, tetapi setelah
lewat beberapa tahun dan apabila memenuhi persyaratan menurut adat, jenazah orang tertentu
akan digali atau dibongkar kembai (mangongkalholi) dan tulang – tulangnya dipindahkan ke batu
na pir, sebuah makam atau kuburan baru yang di bangun tinggi atau bertingkat, terbuat dari batu,
yang biasanya dibangun secara bersama oleh kelompok satu marga atau saompu (satu nenek
moyang) yang dimotivasi oleh berbagai faktor, seperti : menunjukkan identitas diri,
mempersatukam anggota keluarga, atau menghormati roh nenek moyang agar diberikan
perlindungan dan berkat. Biasanya pesta pemakaman kembali, menggali tulang – belulang, ini
juga memakan biaya yang cukup besar. Dalam proses adat pemakaman kembali, menggali tulang
– belulang.

Pelaksanaan adat pemakaman orang mati dalam masyarakat Batak merupakan pengakuan
bahwa masih ada kehidupan di balik kehidupan di dunia ini. Agama Batak tradisional mengakui
bahwa masih ada kehidupan dibalik kematian. Oleh karena itu, adat pemakaman orang mati itu
dilaksanakan dengan beberapa maksud dan tujuan:

a. Memberikan perpisahan dan penghormatan terakhir kepada yang meninggal serta melengkapi
segala bekal yang diperlukan dalam perjalanannya menuju alam yang dituju.

b. Memberikan penghiburan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan, serta rasa syukur kepada
Mulajadi Na Bolon atas segala berkat yang telah diterima oleh almarhum atau almarhumah dan
keturunannya semasa hidupnya.

c. Membebaskan diri dari roh si mati, sehingga yang hidup tak diganggu lagi.

d. Memberi makan kepada ilah-ilah supaya tidak mengganggu perjalanan roh si mati, atau
meminta pertolongan ilah-ilah itu untuk menghantar roh si mati sampai ke tempatnya.

e. Menyelesaikan segala kewajiban terhadap yang mati, sehingga perjalanan roh itu mencapai
tujuannya.

5
Upacara ritual atau adat pemakaman orang mati ini juga diperuntukkan bagi orang-orang yang
hidup, dalam arti menunjukkan status sosial dan kesempatan untuk melunasi (manggararadat)
yang telah diterima almarhum atau almarhumah dan membalas sumbangan serta bantuan
terhadap keluarga.

4. Sebuah Kajian Terhadap Peranan Adat Batak dan Iman Kristen

Walaupun sebagian besar orang Batak sudah beragama Kristen dan sebagian kecil beragama
Islam, masyarakat Batak tetap menjalankan ritual adat kematian dan pemakaman orang mati
menurut Dalihan Na Tolu, termasuk penggalian tulang-belulang (pemakaman kembali) dan
pembangunan tugu, yang dalam pelaksanaannya memakai biaya yang tidak sedikit. Bahkan,
orang Kristen Batak yang tidak mampu dari segi ekonomi pun berusaha untuk tetap
melaksanakannya. Semua upacara tersebut sangat erat hubungannya dengan agama Batak
tradisional. Kondisi dan situasi ini mengandung pertanyaan, kenapa orang Batak, khususnya
Batak Toba, yang sudah menganut agama Kristen, masih tetap menjalankan pesta kematian dan
pemakaman orang mati menurut adat Dalihan Na Tolu yang disinyalir oleh sebagian masyarakat
Kristen Batak sebagai warisan kekafiran (sipelebegu). Tulisan ini adalah suatu kajian terhadap
peranan adat Batak dan iman Kristen yang telah menimbulkan kontroversi terhadap budaya
Batak, yang sampai saat ini tetap diperbincangkan, dikaji, bahkan dipermasalahkan di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Kristen Batak. Harus diakui bahwa masalah ini timbul disebabkan
oleh dampak langsung dari kesaling- terpengaruhan antara adat-budaya Batak dan nilai-nilai
teologis kekristenan secara timbal balik. Di samping itu, pelaksanaan adat kematian dan
pemakaman orang mati menurut Dalihan Na Tolu ini sudah sangat beragam, tidak efisien, dan
terlalu banyak menyita waktu, daya, dan dana, sehingga bagi sebagian.

5. Kontroversi Upacara Adat dan Pemakaman Orang Mati

Tesis ini berangkat dari hipotesis bahwa pelaksanaan upacara kematian dan pemakaman orang
mati menurut adat Dalihan Na Tolu telah menimbulkan kontroversi di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Kristen Batak. Hipotesis ini juga disinyalir oleh beberapa teolog maupun non-teolog
Kristen Batak yang prihatin atas pemahaman gereja (baca: Kristen Batak) di Indonesia yang
tecermin dalam kehidupan mereka bermasyarakat (Aritonang 2006b, 94):

6
Dalam kaitannya dengan iman kristologis, masihkah gereja tetap mempertahankan konsep
kristologis yang membangun rasa superioritas gereja, sehingga gereja cenderung menjadi
sombong dan angkuh dalam berhubungan dengan adat atau budaya, konteks di mana gereja hadir
dan menjalankan fungsinya? Ataukah gereja perlu dan harus merumuskan ulang konsep
kristologinya, dalam rangka perjumpaannya dengan adat atau budaya konteks di mana ia hadir
dan melaksanakan fungsinya, misalnya konsep kristologi kenosis, di mana Kristus yang
dipahami adalah seorang nabi yang telah merendahkan diri-Nya, mengosongkan diri-Nya, hadir
bersama-sama dengan orang dalam berbagai budaya, yang menderita, miskin dan tersisih di
masyarakat?

BAB 2 MITOLOGI SANG PENCIPTA DAN PENCIPTAAN DALAM AGAMA BATAK

Mitos berarti impian yang dianggap memberikan informasi dasar tentang dewa-dewi, dunia,
manusia, yang mempersatukan satu bangsa melalui asal-usul, kesetiaan dan nasib bersama. Pada
zaman modern maupun tradisional, asal-usul dan makna bahasa mitos dipandang dalam cara
yang berbeda-beda. Umumnya orang-orang rasionalis memahami mitos sebagai penafsiran yang
salah tentang gejala-gejala alam. Sementara itu, orang-orang intuisionalis berpendapat bahwa
bahasa mitos muncul dari keadaan-keadaan batin, satu fungsi intuisi. Mitos diciptakan terutama
oleh kecakapan bangsa-bangsa (Volksgeist) dan bukan kecakapan individu. Jika ditinjau dari
sudut fisosofis, pada umumnya ada empat jenis penyataan khusus yang sangat berbeda, yakni:
mitos; tulisan orang yang mendapat pencerahan; tulisan ilahi; dan tulisan yang diilhami. Ambil
contoh, mitos yang menceritakan bangsa Yamato kuno di Jepang yang menjadi dasar agama
Sinto dan kemudian dasar kekaisaran Jepang. Mitos Sinto telah memberikan dasar bagi
nasiolisme Jepang dan kewibawaan ilahi kepada sistem sosial politik yang masih menerima
kesetiaan total dari jutaan orang Jepang (Hesselgrave 1995, 60).

Apakah mitos dipahami sebagai hasil akal yang salah ataupun sebagai hasil kreatif dari intuisi,
nyata bahwa mitos menerima kesetiaan orang dan masyarakat. Lebih dari itu, orang-orang yang
menganutnya biasanya percaya bahwa mitos bukanlah sekadar hasil akal ataupun intuisi. Mitos
dianggap sebagai kebenaran yang diungkapkan oleh dewa-dewi atau nenek moyang yang
dihormati dan asalnya bersifat hampir ilahi. Mitos biasanya diturunkan secara lisan dari generasi
ke generasi dan tidak pernah disusun secara tertulis, baru di kemudian hari oleh para gerenasi

7
berikutnya dituliskan. Oleh sebab itu, apa pun asal-usulnya, mitos membawa kuasa penyataan
ilahi.

1. Mitos Sang Pencipta dan Penciptaan Dalam Pandangan Agama Batak

Menurut versi agama Batak, ada banyak kisah tentang sang pencipta dan penciptaan alam
semesta yang beredar di masyarakat Batak maupun yang ditulis dalam literatur berbahasa batak.
Misalnya, Schreiner berpendapat bahwa mitos adalah cara orang mengungkapkan pengalaman
mereka dalam dunia, pengenalan mereka akan dunia dan penguasaan mereka atas dunia.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa adat ialah bentuk konkret keseluruhan agama suku. Ia
merangkum, meresapi, danmenentukan kehidupan suku atau bangsa purba dengan cara
bagaimanapun. Adat menghubungkan orang- orang hidup yang kelihatan dengan orang-orang
mati, yang hidup tidak kelihatan. Adat adalah tata tertib sosial untuk desa sebagai persekutuan
hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama. Sebagai tata tertib yang ilahi asalnya,
adat memelihara dan mempertahankan, baik kehidupan hukum dan kehidupan ekonomi maupun
daya kehidupan perorangan; demikian pula persekutuan, dalam pertaliannya yang tiga rangkap,
yaitu dengan mitos, ritus, dan kelompok genealogis. Adat bersumber pada mitos, kekuatannya
terdapat dalam animisme, yaitu sifat hukumiah, yang alamiah, dan tujuannya ialah kelanggengan
keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Adat mempunyai corak normatif, sebab ia
mempunyai dasar dalam mite yang merupakan konsepsi bangsa purba itu untuk memahami
dunianya. Dengan demikian, adat adalah bagian lahiriah serta pengem- bangan mitos dalam
kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk-beluk kehidupan (Schreiner 1994,
217).

1.1. Kisah Sang Pencipta-The High God of The Toba-Batak

Menurut versi agama Batak, pencipta alam semesta adalah Mulajadi Na Bolon, yang telah diakui
oleh suku Batak sebagai Allah Yang Esa. Dia tiada awal dan tiada akhir, dia adalah awal dan
sumber berkat bagi manusia yang menaati hukumnya, juga hukuman bagi yang melanggar
hukumnya (Sinaga 1981, 190-95). Sebagai pencipta, dialah yang menjadikan (create, to create)
seluruh alam semesta. Baik alam materi, seperti bumi dan matahari, maupun alam flora atau
segenap tumbuhan. Demikian juga penciptaan alam fauna (dunia binatang) dan manusia
(antropologi), bahkan dewa-dewi, para hamba dan segala pembantunya, menurut

8
kemahakuasaannya. Mulajadi Na Bolon, sang pencipta alam semesta, ini tidak bersifat prinsip
belaka yang samar dan rancu. Untuk menegaskan kepribadiannya, ia mendapat gelar yang
menyifatkan kemahakuasaannya, seperti Ompu, Tuan, atau nama singkatnya Debata. la bergelar
Ompu Tuan Mulajadi Na Bolon atau Debata Mulajadi Na Bolon (Dewata Pemula Agung), yang
berarti: 'the big and the powerful one, the origin of the genesis'. Bagi pembentukan nama
Mulajadi Na Bolon, dua kata dijadikan unsur, yaitu: mula dan jadi, untuk membentuk
pemahaman menjadikan mula atau memulakan. Bolon berarti 'agung', 'akbar'. Selanjutnya, J.C.
Vergouwen, mengatakan bahwa Mulajadi Na Bolon adalah dewata asli orang Batak (Vergouwen
1986, 81).

Menurut versi agama Batak, ada tiga tingkatan "benua" (banua): Benua Atas (Banua Ginjang),
Benua Tengah (Banua Tonga) dan Benua Bawah (Banua Toru). Ketiga benua ini bersusun dari
atas ke bawah seolah bertindihan (triade cosmologis). Batas-batasnya jelas dan tidak untuk
sembarangan dilewati. Ketiga banua ini adalah satu kesatuan, tidak terpisahkan satu dengan yang
lain, dan ketiganya bersatu menghasilkan ketertiban kosmos. Benua Atas terdiri dari tujuh
lapisan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, yang jelas, pada lapis tertinggi (tingkat ketujuh)
bertakhta Sang Pencipta, Mulajadi Na Bolon. Dari sinilah bermula Kisah Penciptaan Pendasaran
Benua Tengah. Perumpamaan ini menekankan kehadiran dan campur tangan Mulajadi Na Bolon
dalam semua aspek kehidupan. Hal ini terlihat pada ungkapan tongo (doa) dan upacara ritus
pemujaan yang sering diucapkan para dukun pada upacara martonggo (memanggil ilah), sebagai
berikut. "Daompung Debata na Tolu Suhu, na Tolu Harajaon sian langit na pitu, sian ombun na
pitu lapis", yang berarti: "Allah yang Maha Agung" yang tiga rupa, yang menguasai tiga
kehidupan yang berkuasa atas tiga kerajaan yang terdapat di langit yang tujuh tingkat dan di atas
awan - awan yang terdiri dari tujuh lapis" (A. Lumbantobing 1992, 4).

1.2. Mulajadi Na Bolon dan Debata Na Tolu: Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan

Debata Na Tolu ('Three Gods') adalah ciptaan Mulajadi Na Bolon melalui Burung Hulambujati.
Hulambujati ini bertelur tiga butir dan menetaskan Debata na Tolu yakni Batara Guru, Soripada,
dan Mangala Bulan. Mengenai fungsi dari Debata na Tolu ini agama Batak membuat perbedaan
yang jelas antara watak dan fungsinya. Batara Guru adalah pandapotan di adat (He with whom
the adat is found) dan panungkunan (He who is always consulted). Ia adalah Guru (Teacher)
yang memberikan hikmat (wisdom), hukum (law), dan peraturan (rule), juga representasi dan

9
personifikasi aktivitas yang kreatif dari Mulajadi na bolon di Benua Tengah. Batara Soripada
adalah representasi dan personifikasi aktivitas pemerintahan (governing activity) dari Mulajadi
Na Bolon di Benua Tengah, sedangkan Batara Mangala Bulan adalah representasi dan
personifikasi dari aspek aktivitas pengadilan, penghakiman (judicial) dari Mulajadi Na Bolon
(Sinaga 1981, 71-75).

Sementara itu, J.C. Vergouwen berpendapat bahwa konsep Debata na Tolu tampaknya diambil
dari Trimurti Hindu. Orang Batak tidak membuat perbedaan yang jelas antara watak dan fungsi
ketiga dewata itu. Ketiganya agak tersisih oleh konsep Tuhan yang lebih umum, dewata yang
sesuai kesadarannya dianggap sebagai penjelmaan kekuatan tertinggi. Pemujaan terhadap para
dewata itu pada pokoknya dipusatkan pada upacara religius besar, seperti pesta-pesta
persembahan umum yang ditujukan untuk menangkal bencana dan wabah. Ini berlangsung dalam
bius, yaitu persekutuan yang diadakan untuk tujuan itu; dan selain itu pada upacara kelompok-
kelompok suku yang besar yang berupa pemujaan atau pada upacara spritualistik yang
memohonkan kehadiran roh para leluhur yang paling tua. Para dewata ini juga dipuja waktu
persembahan pertanian tahunan, asean taon (= penyucian tahun tanam padi pada waktu akhir
tahun panen padi; partaonan). Peristiwa ini dimaksudkan untuk memohonkan berkat dari
kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi bagi tahun yang akan datang, agar tanaman berbuah
banyak dan ternak berkembang biak: asa gabe na niula, asa sinur na pinahan, yang dengan
singkat kata mengikhtisarkan keinginan material orang Batak (Vergouwen 1986,81).

1.3. Debata Na Tolu dan Masyarakat Batak-Toba

Debata Na Tolu (Batara Guru, Batara Soripada, dan Batara Mangala Bulan) ini diakui sebagai
landasan struktur masyarakat Batak yang disebut Dalihan Na Tolu (the three hearth-stone) dalam
masyarakat Batak-Toba, yang terdiri dari hulahula, dongan tubu, dan boru. Batara Guru adalah
simbol untuk hulahula-sebagai sumber kebijakan, hukum, sopan santun dan moral, serta adat,
yang diberi simbol warna hitam. Soripada adalah simbol untuk dongan sabutuha-sebagai sumber
kebenaran atau kesucian, yang disimbolkan dengan warna putih, dan Mangala Bulan adalah
simbol untuk boru-sebagai sumber kekuatan yang disimbolkan dengan warna merah, perlambang
kegairahan untuk hidup. Dalihan Na Tolu ini adalah basis dari struktur sosial masyarakat Batak
Toba dan pilar yang kukuh serta menjadikan keharmonisan hidup pada masyarakat Batak (P.O.
Lumbantobing 1963, 83).

10
1.4. Dewata-dewata yang Lain (Other Deits)

Selain dewata-dewata yang telah disebutkan di atas, masih ada kuasa- kuasa alami yang penting
dan dapat menjelma, menurut pemahaman agama Batak-Toba, yaitu Boraspati Ni Tano, dewa
yang mengambil bentuk seekor kadal, hidup di bawah tanah demi kesuburan tanah, dan dengan
alasan ini, ia sering menduduki tempat utama dalam tonggo-tonggo (= doa). Kemudian, Boru
Saniang Naga adalah dewa air dalam bentuk ular. Ia memerintah kuasa-kuasa air yang berbahaya
dan mengancam nelayan dan orang lain yang ada hubungannya dengan aliran air (Sinaga 1981,
77-78).

2. Kisah Penciptaan Manusia dan Alam Semesta

Leluhur suku Batak telah bermukim di seputar Danau Toba sejak ribuan tahun yang lalu. Mereka
mendirikan permukiman yang disebut huta (kampung). Awalnya di Sianjurmulamula, di lembah
Sagala-Limbong, di kaki gunung legendaris Pusuk Buhit, sisi barat Danau Toba, yang kemudian
meluas ke seluruh wilayah yang belakangan disebut Tanah Batak. Sianjurmulamula adalah huta
(kampung) suku Batak menurut mite agama Batak yang terletak di seberang Pulau Samosir. Dari
tempat inilah suku Batak kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Huta ini menghadap Danau
Toba, terdapat pancuran besar, mata air jernih tempat mandi di pagi hari, dan penyucian
(pangurason) di malam hari. Tempat ini masih dianggap keramat atau dikeramatkan oleh
sebagian suku Batak walaupun sudah memeluk agama Kristen dan Islam. Pada bulan Agustus
2005, para Mula jadi Na Bolon menciptakan Debata Na Tolu melalui burung mitis, Hulambujati.
Burung ini bertelur tiga butir dan menetaskan Debata na Tolu yakni Batara Guru, Soripada, dan
Mangala Bulan. Kembali Hulambujati bertelur tiga butir dan menetaskan calon permaisuri
mereka, masing - masing Si Boru Pareme, Si Boru Panuturi, dan Si Boru Sunde. Batara Guru dan
Si Boru Pareme melahirkan putri sulung, Si Boru Deang Parujar atauDeang Parujar. Dari
Mangala Bulan dan Si Boru Sunde lahir putra sulung, Tuan Ruma Uhir Tuan Ruma Gorga. Mite
Boru Deang Parujar ini disarikan dari berbagai buku yang membicarakan tentang asal mula
manusia menurut mitologi Batak, antara lain: Philip Tobing, The Structur of The Toba Batak
Belief in the High God, hlm. 65-67; W.M. Hutagalung, Pustaha Batak, Tarombo dohot
Turiturian ni Bangso Batak (Medan: Tulus Jaya, 1991, hlm. 1-35); Andar Lumban Tobing,
Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak (Jakarta: BPK-GM, 1992), hlm. 4-20; A.B. Sinaga,
The Toba Batak High God, Transcendence and Immanence (St. Augustin Anthropos Institute,

11
1981), hlm. 82-83; J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pustaka
Azet, 1986), hlm. 7; D.J. Gultom Raja Marpodang, Dalihan Na Tolu, Nilai Budaya Suku Batak
(Medan: CV. Armada, cet. 10, 1992), hlm. 6-10. Dalam pemaparannya, para penulis buku
tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan dalam alur ceritanya.

2.1. Kisah Asal Mula Suku Batak

Setelah anak kembar Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia menginjak dewasa, Boru Deang
Parujar menyuruh Si Leang-leang Mandi ke Benua Atas mengundang semua sanak keluarganya,
yaitu Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu (Batara Guru, Batara Soripada, dan Batara Mangala
Bulan), dan para saudara lainnya.

Undangan itu dimaksudkan untuk meminta keselamatan dari Mulajadi na Bolon atas kedua
anak tersebut. Memenuhi undangan tersebut turunlah rombongan Mulajadi Na Bolon melalui
seutas tali yang dibuat Mulajadi Na Bolon dari benang hasil pemintalan Boru Deang Parujar
dahulu. Tali diikat di Benua Atas dan ujungnya mencapai bumi. Rombongan tiba dengan selamat
di sebuah gunung yang disebut Pusuk Buhit. Dari sana mereka berjalan kaki ke Siarjumulamula.

Saat pesta itulah, Mulajadi Na Bolon memberkati anak-anak itu dan mengajarkan sesuatu yang
boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Mulajadi Na Bolon juga mengajarkan cara
anak-anak itu berhubungan dengan dewa-dewi, yaitu dengan cara memberikan persembahan
kurban. Untuk menghubungi Mulajadi Na Bolon, manusia harus mempersembahkan seekor
ayam jantan, tujuh buah kue tepung beras, bane-bane (akar wangi), dan tujuh lembar daun sirih.
Batara Soripada dapat dihubungi dengan mempersembahkan tiga buah unte pangir (= jeruk
purut), tuak (= sejenis minuman khas suku Batak yang berasal dari pohon enau, bagot), dan akar
wangi (= bane-bane). Batara Bulan, kepadanya harus dipersembahkan dua buah kue tepung beras
yang dimasak dengan santan dan beberapa lembar daun sirih.

Setelah Mulajadi Na Bolon mengajarkan cara-cara mengadakan persembahan, rombongan


Mulajadi Na Bolon kembali ke Benua Atas. Mereka mendaki Gunung Pusuk Buhit dengan
benang pintalan Boru Deang Parujar meninggalkan Benua Tengah. Boru Deang Parujar dan
Tuan Ruma Gorga, Tuan Rumauhir juga ikut meninggalkan Benua Tengah kembali ke Benua
Atas. Kedua anak mereka berusaha juga memanjat tali itu, tetapi setelah semua rombongan

12
penghuni Benua Atas tiba di tempat tujuan, tali itu diputus dan kedua anak tersebut, Raja Ihat
Manisia dan Boru lhat Manisia, jatuh ke Gunung Pusuk Buhit.

2.3 Gunung Pusuk Buhit, Asal Mula Suku Batak

2.4. Tondi

Tondi berasal dari dan berada di bawah kekuasaan Mulajadi Na Bolon. Semua tondi yang hidup,
yang mati, dan yang akan lahir berada di bawah kekuasaannya. Dalam agama Batak, tondi itu
telah diterjemahkan sebagai 'zat bernyawa'. Tondi dalam pemahaman agama Batak itu dapat pula
digambarkan sebagai 'zat yang menghidupkan'. Tondi dinyatakan sebagai sesuatu yang
menyeluruh dan berdiam dalam semua bagian badan. Tondi dan badan dinyatakan bukanlah
bagian yang integral atau utuh tetapi sebagai satuan yang terpisah. Oleh sebab itulah, tondi bisa
saja terdapat pada binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk lainnya, bahkan tondi bisa terdapat
pada setiap aspek manusia, termasuk rambut, kuku, keringat, air mata, dan sampai kepada nama
seseorang. Dalam hubungan ini dinyatakan sebagai contoh adanya suatu keengganan bagi orang
Batak untuk menyebut nama kecilnya, sebab nama juga dianggap memiliki tondi yang perlu
dihormati (Pedersen 1975, 23-24).

2.5. Begu

Konsep agama Batak menyebutkan bahwa seluruh bumi ini didiami oleh roh-roh alamiah dan
roh-roh orang mati, yang disebut begu, sumangot, dan sombaon. Begu adalah tahapan pertama
bagi arwah sebelum menjadi sumangot dan sombaon. Roh jahat yang ditakuti disebut begu
nurnur, begu antuk, begu kolera, begu monggop, atau begu ganjang. Dalam gagasan agama
Batak dipercayai adanya perubahan dari hidup ke mati yang dinyatakan sebagai berikut. tubuh
menjadi tanah atau debu, napas menjadi angin, dan jiwa/roh menjadi begu. Sebutan begu dalam
agama Batak sudah mencakup roh-roh orang mati, roh-roh alam dan kedalamannya, termasuk
semua roh yang kerjanya semata-mata menyusahkan orang (begu na jahat), dan juga roh yang
jika disembah dan diberi sesajen bisa dibujuk untuk memberikan berkat dunia. Begu yang sangat
ditakuti dalam kepercayaan agama Batak adalah berasal dari orang-orang yang mati mendadak,
yang tidak mempunyai anak, dan wanita yang meninggal saat proses melahirkan (Schreiner 2001,
97-80).

13
Beberapa begu atau roh yang dikenal dalam agama Batak, yaitu: begu jau (begu orang non-
Batak), begu Toba (begu orang Batak), begu nurnur (begu yang tingginya sebatang pohon enau),
begu siharsihar atau begu ladang (begu orang yang tidak mempunyai peninggalan apa pun,
termasuk keturunan), begu sorposorpo adalah begu yang datang tiba-tiba untuk membuat
seseorang menjadi sakit; biasanya begu orang yang mati dalam peperangan dan bersemayam di
sanggar (= pimpin: 'sejenis rumput

2.6. Sumangot

Sebutan roh leluhur dalam agama Batak tradisional adalah perubahan dari roh manusia apabila
telah meninggal dunia. Jika roh telah meninggalkan jasad seseorang yang telah mati maka lama-
kelamaan diyakini roh orang tersebut (tondi ni na mate) akan berubah menjadi roh leluhur
(sumangot) dan menjadi sombaon. Dalam agama Batak tradisional, tidak semua begu dipuja
sebagai sumangot. Hanya mereka yang mempunyai keturunan anak laki-laki yang dapat menjadi
sumangot. Berdasarkan pengamatan penulis, di Samosir disebutkan bahwa agar roh seseorang
yang sudah mati dapat mencapai taraf sebagai roh nenek moyang (sumangot), harus dilakukan
penggalian terhadap jasadnya dan tulang-belulangnya dikuburkan kembali di tempat yang lebih
tinggi dan dirancang khusus sehingga rohnya dapat dipuja sebagai sumangot oleh para
keturunannya. Namun, ini hanya dapat berlaku bagi mereka yang mempunyai cucu laki-laki dari
anak laki-laki, baik sebelum atau sesudah mati. Kebaikan dan pengaruh seseorang semasa
hidupnya menjadi syarat panggilan derajat menjadi sumangot pada upacara pemakaman kembali.
Roh nenek moyang yang pada masa hidupnya makmur atau kaya, berkuasa, dan yang
keturunannya banyak, dapat dinaikkan menjadi sumangot. Roh leluhur (sumangot ni ompu) ini
biasanya disembah dan dihormati dengan sesajen, agar terus bergiat i dalam memajukan
kesejahteraan keturunannya yang banyak dan terhindar dari malapetaka, penyakit, dan bencana
lainnya. Sebaliknya, jika roh leluhur tersebut dilalaikan, itu akan mendatangkan malapetaka,
penyakit, dan kegagalan lainnya bagi keturunannya.

2.7. Sahala

Agama Batak-Toba memahami Sahala sebagai 'mutu dan aspek dari roh atau jiwa', yang
merupakan kekuatan yang dimiliki seseorang. Sahala berasal dari Mulajadi Na Bolon sebagai
sifat yang alamiah, sebagaimana halnya dengan nasib manusia. Menurut agama Batak, masuk

14
dan keluarnya sahala ke dalam hidup seseorang diberikan oleh Mulajadi Na Bolon ketika
seseorang itu masih di dalam kandungan. Mulajadi Na Bolon telah menanyakan manusia sejak
berada dalam kandungan, sahala apakah yang akan dimintanya. Sahala kekayaan bagi orang
yang meminta kekayaan, sahala kehormatan bagi orang yang meminta kekhormatan, kerajaan
bagi yang meminta kerajaan, pencuri bagi yang meminta sahala pencuri. Semakin bertambah
dewasa manusia, sahalanya pun bisa bertambah besar (P.O. Lumbantobing 1963, 101).

BAB 3 : DIMENSI RELIGIUS DAN KULTUS DALIHAN NA TOLU

1. Falsafah Dalihan Na Tolu

Di dalam praktik Dalihan Na Tolu, posisi hulahula, dongan tubu, dan boru memiliki kedudukan
yang sama, artinya kedudukan boru tidak menjadi lebih rendah daripada hulahula, dan
sebaliknya hulahula tidak boleh sesuka hati memerintah boru-nya, begitu juga dongan tubu-nya.
Dalam menjalankan fungsinya dalam setiap acara adat, setiap pribadi harus bersikap dan
bertingkah laku sesuai dengan kedudukannya, agar tercipta keharmonisan dalam kehidupan
sehari-hari. Hulahula harus elek marboru, artinya harus selalu bersikap membujuk, persuasif,
penuh kasih sayang terhadap boru-nya. Karena, boru-lah yang berfungsi sebagai penanggung
jawab segala jenis kegiatan dalam acara adat Batak. Boru adalah kekuatan, pemberi gairah hidup
pada setiap pelaksanaan adat Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak. Oleh karena itu, ia harus
selalu dibujuk, dikasihi, agar segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar. Di sisi lain, boru harus
selalu somba marhulahula, artinya setiap boru harus selalu bersikap hormat terhadap hulahula-
nya yang telah memberikan perhatian, kasih sayang terhadapnya, karena hulahula-lah sumber
pemberi kebijaksanaan, hukum, dan aturan dalam kehidupan.

2. Persekutuan Marga

Sistem kekerabatan masyarakat Batak, Dalihan Na Tolu, ini dipengaruhi oleh marga yang
mempunyai dimensi religius dan kultus yang akhirnya mencakup keseluruhan orang Batak.
Marga adalah ikatan persekutuan dari orang-orang yang sedarah, berdasarkan garis silsilah
tertentu (sebutan seperut). Marga juga mengikat hubungan persekutuan dengan bapak leluhur
melalui perjamuan bersama. Melalui marga, keturunan seseorang dapat berlanjut dan hal ini

15
hanya dapat dilakukan melalui anak laki-laki (anak perempuan akan berganti marga pada saat
menikah dengan lelaki marga lain). Orang Batak mempunyai kesadaran kesatuan yang kuat dan
hidup. Dasar kesatuan ini terletak pada daerah asal dan marga. Secara geografis daerah asal ini
diartikan Tanah Batak, yang dibagi-bagi menurut marga pada tempat yang berbeda-beda. Begitu
pentingnya marga bagi orang Batak terbukti dari tidak diakuinya seseorang sebagai orang Batak
kalau ia tidak mempunyai marga atau tidak mengetahui silsilahnya. Hampir seluruh karangan-
karangan tentang adat Batak selalu ditutup dengan silsilah (tarombo). Hal ini menyatakan bahwa
sebenarnya marga-marga itu penyangga identitas kebatakan itu. Marga pada umumnya adalah
nama nenek moyang yang diresmikan oleh seluruh warga dari nenek itu dengan segala hak dan
kewajiban yang diatur dalam tingkatan kedudukan, dalam kerangka yang dibenahi oleh darah roh
kesatuan. Bagi masyarakat Batak, marga merupakan ikatan persekutuan dari orang-orang yang
menganggap diri "sabutuha" (secara harfiah berarti: 'seperut') atau sedarah, berdasarkan struktur
genealogis atau silsilah tertentu.

Dengan mengacu pada mite penciptaan dan asal-muasal orang Batak, setiap orang Batak dapat
melihat asal-usul tiap marga dan melihat posisinya di dalam marga itu maupun di dalam
masyarakat Batak secara keseluruhan. Mite itu sendiri mempunyai dimensi religius dan kultus
sebagaimana dikatakan Schreiner bahwa marga juga merupakan persekutuan-persekutuan
pemujaan, yang anggotanya secara berkala memperkuat kesatuan antara sesama mereka maupun
ikatan persekutuan dengan bapak leluhur mereka melalui pesta-pesta bersama (Schreiner 2001,
46). Di samping dimensi sosial-genealogis dan religius-kultus, marga juga mempunyai dimensi
teritorial. Setiap marga sekurang-kurangnya memiliki tanah dan terikat kepada teritorial tertentu
(huta maupun kawasan yang lebih luas dari itu) dan sebaliknya setiap teritorial merupakan
wilayah sah dari marga tertentu. Orang Batak yang satu marga atau satu klan selalu
bermusyawarah dalam rencana-rencana, baik dalam pesta sukacita maupun dukacita seperti pada
upacara adat pemakaman orang mati. Karena itu, dalam kelangsungan hidupnya mereka harus
seia-sekata, "ringan sama dijinjing, berat sama dipikul". Mereka merasakan kerja sama yang erat,
misalnya sama-sama mengawinkan anak dan mengadakan upacara adat pemakaman anggota
keluarga yang meninggal, sehingga dalam urusan pesta sukacita dan dukacita tampak jelas sifat
kolektif di kalangan orang- orang semarga.

16
3. Persekutuan Pemujaan

Orang Batak semarga merasa satu pemujaan bersama, sangat sulit untuk meninggalkan gereja
yang "dimiliki" oleh marganya untuk bergabung dengan marga-marga yang lain dalam
melaksanakan ibadah di gereja. Sikap seperti ini terutama sekali masih terdapat di kampung
halaman, seperti: Silindung, Samosir dan Toba. Tidak menjadi sesuatu yang mengherankan di
daerah Silindung, para pengunjung gereja melintasi satu-dua gereja terdekat untuk bersama-sama
dengan teman semarganya bersatu dalam kebaktian.

Orang Batak Toba sangat setia mempertahankan tona ni ompu (perintah/pesan nenek moyang):
jangan berbaikan dengan satu cabang tertentu dari marga karena perbuatan tercela pada waktu
dahulu (misalnya, marga Simanjuntak, juga marga-marga lain). Tona ni ompu yang diberikan
kepada keturunannya itu diterima dan dilaksanakan tanpa kritik dan pengertian yang rasional.
Tona diterima sehakikat dengan adat yang diturunkan, sebagaimana terdapat dalam umpasa
berikut.

Adalah baik kalau tona itu berisikan hal-hal sekitar kasih, damai, dan kesatuan antara generasi-
generasi penerus. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Pada umumnya pesan itu berisikan
hal-hal negatif. Masih ada beberapa marga sampai saat ini yang mempertahankan pikiran/pesan
nenek moyang ini, karena takut roh nenek moyang menghukum dia kalau dia berbaikan atau
berdamai dengan satu keluarga semarganya

4. Makna Semantik Dalihan

Dalihan artinya 'tungku yang dibuat dari batu', na artinya 'yang', tolu artinya 'tiga'. Jadi, Dalihan
Na Tolu artinya 'tiga tiang tungku'. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa
sehingga bentuknya menjadi bulat panjang, ujung yang satu tumpul dan yang lain agak bersegi
empat sebagai kakinya. Kakinya + 10 cm, panjangnya ± 30 cm, dan diameternya + 12 cm,
ditanamkan berdekatan di tempat yang telah disediakan (dari papan empat persegi panjang yang
diisi dengan tanah liat yang dikeraskan) dan ditempatkan di dapur sebagai tempat memasak.
Ketiga dalihan yang ditanam secara berdekatan berfungsi sebagai tempat alat memasak.

17
5. Segi Positif dan Negatif dari Nilai Sistem Dalihan Na Tolu

Berdasarkan uraian di atas, pada bagian ini akan diuraikan nilai positif dan negatif dari tradisi
sistem Dalihan Na Tolu dalam kehidupan orang Batak. Pemakaian sistem Dalihan Na Tolu
dalam praktik kehidupan masyarakat Batak sudah tentu mempunyai pengaruh positif dan negatif
terhadap persekutuan orang percaya (gereja). Adapun nilai negatif dan positif dari sistem
Dalihan Na Tolu ini adalah sebagai berikut.

Nilai positif.

Adanya daya yang menghimpun dan mempersatukan, sekalipun hanya dalam lingkungan yang
terbatas (kemargaan, kesukuan). Di samping itu dapat juga kita jumpai sifat hidup kegotong
royongan yang pada gilirannya dapat diharapkan menjadi suatu proses menuju mentalitas
bergotong-royong secara umum. Di pihak lain, tidak dapat disangkal bahwa keberhasilan
Pekabaran Injil di Tanah Batak dipengaruhi oleh pendekatan sistem Dalihan Na Tolu yang tidak
terlepas dari kemargaan dan pemanfaatan tokoh-tokoh marga. Sikap seperti ini pada
kenyataannya membuat setiap orang Batak merasa mempunyai keterikatan yang kuat dengan
dongan tubunya, boru-nya, dan hulahula-nya dan turut melestarikannya. Dalam ruhut parsaoran
(tata krama hubungan dengan sesama) falsafah Dalihan Na Tolu mengandung nilai-nilai
solidaritas, kerja sama, dan saling memaafkan di antara sesama, sehingga tercipta hidup
persaudaraan yang rukun dan damai. Perpecahan atau konflik dalam beberapa marga dulu hingga
dewasa ini dapat dikatakan semuanya itu akibat dari pengabaian prinsip falsafah Dalihan Na
Tolu (Schreiner 1994, 44-48).

Nilai negatif.

Sampai saat ini, dalam cara-cara bertindak di dalam gereja ataupun dalam kehidupan sehari-hari,
Sebagian orang Batak tetap mempertahankan sifat pola persekutuan Dalihan Na Tolu sebagai
persekutuan pemujaan. Pengelompokan persekutuan Dalihan Na Tolu ini sering membawa
perpecahan dalam kehidupan masyarakat dan gereja. Susunan persekutuan yang religius-
etnologis itu tidak berubah dengan pergantian agama Kristen, melainkan terus berlangsung.
Namun, dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat, hal ini merintangi pemahaman tentang
sifat khas yang sejati dari ekklesia, dari Gereja Kristen. Sadar atau tidak sadar, sebagian orang
Batak dalam banyak hal telah menjadikan persekutuan Dalihan Na Tolu sebagai "pseudoagama".

18
Artinya, orang-orang tertentu menganggap dongan tubu-nya, boru-nya, dan hulahula-nya
mengandung kekuatan sakral dan magis, sehingga memperlakukan mereka lebih daripada segala
sesuatu. Dengan kata lain, ketiganya selalu diutamakan di atas kepentingan orang lain.

BAB IV : KEMATIAN DAN PEMAKAMAN ORANGTUA MENURUT ADAT BATAK

Dalam keyakinan orang batak, kematian bukanlah akhir keberadaan atau tindakan tondi. Dapat
dikatakan demikian, karena orang Batak masih memegang teguh tradisi mencri pengaruh atau
berkat dari orang yang telah meninggal. Dalam pandangan orang Batak, perubahan dari hidup ke
mati dinyatakan sebagai berikut: tubuh menjadi tanah atau debu, napas menjadi angin (alogo),
dan jiwa roh menjadi hantu (begu). Seperti yang disampaikan pada bab I bahwa terdapat enam
klasifikasi kematian menurut adat Batak, yakni mate tilahaon, mate diparalangalangan, mate
mangkar/ matipul ulu matompas tataring, mate sarimatua, mate saurmatua, dan mate
maulibulung yang kemudian dimakamkan menurut aturan adat orang Batak dengan
menggunakan adat Dalihan Na Tolu atau upacara kematian yang berdasarkan status sosial orang
yang meninggal (enam klasifikasi kematian menurut orang Batak).

Upacara pemakaman tilahaon, mate di paralangalangan, punu, mangkar, matipul ulu-matompas


tataring dimulai dengan acara pemberian ulos saput dan ulos tujung setelah mayat terlebih
dahulu dimasukkan ke dalam peti jenazah. Acara dilanjutkan dengan acara adatv mardok ni roho
(adat dukacita) yang dimulai oleh unsur Dalihan Na Tolu dan sihal-sihal, dengan jalan paidua ni
suhut membacakan riwayat hidup yang meninggal dan memohon doa dari khalayak agar
Mulajadi Na Bolon memberikan penghiburan bagi mereka yang berdukacita. Keesokan harinya,
semua keluarga yang meninggal pergi ke kuburan dan melakukan acara adat spiritual marsuap,
yaitu cuci muka dengan air berish di pusara yang meninggalkan sambil mengucapkan, “Ndang
biasan hami di ho, jolo ma ho, pudi ni pudi ma hami.” Yang dimana artinya, “Kami bukan bosan
kepadamu, berangkatlh engkau duluan, kami belakangan.”

Terdapat suatu acara penghormatan terhadap orang tua menurut Adat Dalihan Na Tolu, yakni
upacara manulangi- pasahat sipanganonna tabo (menyuapi- memberikan makanan yang enak)
yang dilakukan keturunan (pomparan) kepada orang tuanya yang sudah lanjut usia dan upacara
sulang¬-sulang hariapan (upacara adat memberikan makanan yang enak oleh unsur Dalihan Na
Tolu termasuk sihal-sihal yang dimana tujuan dari upacara penghormatan ini untuk

19
mempersiapkan diri orang tua yang sudah uzut atau lanjut usia itu menjalani dan menghadap
akhir hidupnya.

BAB V : MANUSIA, KEMATIAN, DAN PEMAKAMAN ORANG MATI MENURUT


KESAKSIAN ALKITAB

1. Manusia menurut Kesaksian Alkitab

Manusia (dalam bahasa Ibrani: 'adam), dibuat dari debu tanah (bahasa Ibrani: 'adama), lalu
dihidupkan oleh Allah dengan meniupkan napas (bahasa Ibrani: 'nefesy) ke dalam hidungnya
(Kej. 2:7). Tanpa nefesy dari Allah berarti manusia hanya berbentuk patung yang terbuat dari
debu tanah. Berita bahwa manusia diciptakan dari debu tanah menggaris bawahi adanya
hubungan yang akrab antara manusia dan bumi ini. Karena manusia diciptakan dari debu tanah
maka ia fana. Karena 'adam' diciptakan dari 'adama' maka ia adalah makhluk yang duniawi.
Manusia tidak turun dari langit; manusia juga tidak berasal dari atas langit. Ia bukan makhluk
yang dulu tinggal di atas dan turun ke bumi, sebagaimana terdapat dalam mitologi dan
kepercayaan agama-agama suku, khususnya dalam mitologi dan kepercayaan suku Batak Toba.

1.1. Berasal dari dunia

Sejak awal diciptakan, manusia tinggal di bumi ini, bahkan ia diciptakan dari debu tanah. Allah
juga menempatkan manusia dalam Taman Eden, yang meskipun sangat indah dan sempurna,
juga merupakan bagian dari bumi ini (Kej. 2:15). Manusia adalah makhluk yang mempunyai
tempat tinggal. la tidak melayang-layang, tidak seperti malaikat, tetapi membutuhkan tempat
berpijak. Dalam Taman Eden manusia ditempatkan untuk menghuni, memelihara, dan
mengelolanya. Manusia hidup dalam taman itu bersama binatang (Kej. 2:19-20) dan pepohonan
(Kej. 2:16). Ada hubungan yang akrab antara manusia dan binatang serta lingkungan hidupnya.
Menurut Kejadian 2, perempuan diciptakan dari bahan jasmani, yaitu rusuk Adam. Allah
mengambil tulang rusuk Adam kemudian membentuknya menjadi rupa wanita (ayat 21-23).
Allah membentuk Hawa setelah Allah mengambil rusuk Adam. Membentuk berarti menata
struktur penting yang membutuhkan upaya konstruktif. Waktu Adam pertama sekali bertemu
dengan Hawa, ia mengatakan, "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kej.

20
2:23). Jadi, perempuan itu bersifat jasmani juga. Tidak ada jarak yang memisahkan manusia dan
bumi secara mutlak Manusia merupakan makhluk duniawi yang napas hidupnya diberikan
langsung oleh Allah kepadanya. Bukan bumi yang memberikan napas hidup kepada manusia.
Allah adalah pemberi napas kepada manusia, makhluk yang tetap "duniawi". Penyifatan sebagai
"duniawi" itu tidak hanya berarti bahwa manusia jasmani sifatnya. Namun nilai-nilai spiritual,
seperti keindahan (Taman Eden), cinta kasih (antara Adam dan Hawa), kerja dan budaya
(mengolah alam), termasuk kenyataaan dunia ini dan semuanya tidak lepas dari 'adama'.

1.2. Gambar Allah

Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26- 27). Bagian lain dari
Alkitab yang relevan dengan pengajaran ini adalah Kej. 5:1, 3, yang memuat tentang penularan
gambar (citra) Adam kepada keturunannya; Kej. 9:6, tentang hukuman utama; 1Kor. 11:7,
menyangkut doktrin kekepalaan; Kol. 3:10, mengajak orang percaya mengenakan yang pantas.
Mazmur 8, walau tak mengandung frasa "gambar Allah" namun berisikan bentuk puitis tentang
penciptaan dan kedaulatan manusia. Menurut riwayat penciptaan yang pertama, bintang-bintang
diciptakan sebagai "jenis" (bnd. Kej. 1:21, 25). Secara harfiah dikatakan bahwa Allah
menciptakan binatang laut dan lain sebagainya "menurut jenisnya", "sebagai jenis". Binatang
merupakan ciptaan yang dikehendaki Allah dan ciptaan ini diciptakan "menurut". Kemudian,
manusia diciptakan juga, tetapi bukan "menurut jenisnya" melainkan "menurut gambar (bahasa
Ibrani: 'tselem) Allah dan rupa (bahasa Ibrani: 'demuth') Allah" (Kej. 1:26). Dua kata di atas,
dalam Alkitab bahasa Latin diterjemahkan dengan 'imago' dan 'similitudo'. Dalam Perjanjian
Baru, kata-kata yang mirip untuk itu ialah 'eikon' dan 'homolosis'. Walau ada sebagian ahli
membedakan arti dua kata tersebut, perbedaan yang tajam tak dapat dipertahankan secara
linguistik. Tselem berarti 'gambar yang dihiasi, suatu bentuk dan figur yang representatif; suatu
gambar dalam pengertian yang nyata' (2 Raj. 11:18; Yeh. 23:14; Am. 5:26). Demuth mengacu
pada arti 'kesamaan' tetapi lebih bersifat abstrak atau ideal.

21
1.3. Laki-laki dan Perempuan

Dalam Kejadian 1:27 dikatakan: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,
menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka."
Jadi, manusia sebagai gambar Allah adalah manusia laki-laki dan perempuan. Dalam Kejadian 2,
pertalian antara pribadi yang pertama ialah antara Adam dan Hawa. Manusia tidak sendirian,
karena ia hidup bersama dengan seorang dari jenis kelamin lain. Tanpa manusia lain ia tidak
lengkap dan tidak mempunyai arti. Pertemuan pertama antara Adam dan Hawa, sebagaimana
diceritakan dalam Kejadian 2:18-25, diwarnai oleh rasa gembira yang luar biasa. Ketika
diperhadapkan dengan binatang-binantang, Adam tidak menemui seorang pun "penolong yang
sepadan" (bnd. Kej. 2:18-20). Namun, ketika berhadapan dengan seorang perempuan (yang
"diciptakan dari rusuk Adam"), baru "berkatalah manusia itu, inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku" (Kej. 2:22). Perempuan dalam cerita penciptaan ini disebut sebagai
penolong laki-laki, yang sepadan dengan dia. Maksudnya ialah, seorang kawan hidup, seorang
partner, yang tidak sama benar dengan laki-laki, tetapi dijadikan begitu rupa sehingga keduanya
merupakan manusia yang lengkap, manusia yang komplet (Abineno 1990, 41- 49).

1.4 Struktur Diri Manusia

Manusia bagaikan intan dengan banyak bidangnya. Permukaan intan dengan banyak bidang itu
tidak terpisah satu dengan lainnya. Mereka memantulkan berbagai aspek dari keseluruhan.
Mereka biasa mempunyai fungsi yang sama tetapi tetap bisa dibedakan satu dengan yang lainnya.
Mereka bukan bagian yang terlepas. Mereka adalah aspek-aspek, segi-segi, wajah-wajah dari
keseluruhannya. Beberapa kata yang dipakai untuk menerangkan tentang struktur diri manusia
ialah: roh (bahasa Ibrani: ruakh, Yunani: pneuma), jiwa (bahasa Ibrani: nefesy, Yunani: psuche),
badan (hanya dalam Perjanjian Baru, bahasa Yunani: soma), daging (bahasa Ibrani: basar,
Yunani: sarx). Kata-kata ini dipakai bertalian dengan tekanannya yang khas, tetapi kata-kata itu
tidak boleh diartikan mengacu pada bagian-bagian yang terpisah-pisah, atau bagian-bagian yang
dapat dipisahkan, seolah-olah yang satu ditambahkan kepada yang lain untuk menciptakan
seorang manusia. Ada beberapa yaitu : Jiwa, Roh, Daging, Pikiran, Hati, Hati Nuraini
(Kesadaran), Kehendak.

22
2. Kematian Menurut Alkitab

Menurut kesaksian Alkitab, kematian bermuara dalam tiga arti, yaitu: keterpisahan dari Allah
karena dosa, keterpisahan kehidupan dari tubuh, dan keterpisahan selama-lamanya dari Allah
dalam hukuman yang kekal. Tinambunan dalam bukunya menuliskan dua hal berikut ini:
Apabila manusia mati, rohnya juga ikut mati, karena manusia adalah satu kesatuan antara tubuh
dan roh (tidak dapat dipisahkan). Sehingga, apabila manusia jatuh ke dalam dosa, tubuh dan
rohnya juga ikut berdosa. Karena upah dosa adalah maut, maka tubuh dan roh ikut juga
mengalami kematian. Di sisi lain apabila manusia mati, rohnya tetap hidup. Hal ini dapat
diketahui dengan merujuk ke beberapa ayat Alkitab, antara lain: (a). "Apabila engkau mengambil
roh mereka, mereka mati binasa dan kembali menjadi debu" (Mzm. 104:29). Di sini tidak
dikatakan bahwa rohnya dimatikan oleh Tuhan, melainkan diambil kembali oleh Allah, sehingga
roh orang mati tidak mati, melainkan kembali kepada Allah. (b). "Debu (tubuh) kembali menjadi
tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya" (Pkh. 12:7). (c).
Jesus mengumpamakan bahwa orang mati adalah ibarat orang yang sedang tidur (Mat. 9:24; Yoh.
11:11). Tinambunan berpendapat bahwa penjelasan nomor dualah yang paling umum diterima
oleh orang Kristen (Tinambunan 2006, 89-93).

2.2. Mati: Keadaan Terpisahnya Nyawa dari Tubuh

Dalam Kitab Kejadian 4 dapat kita baca bahwa Kain membunuh Habel, adiknya itu. Jadi, Habel
adalah manusia pertama yang terpisah nyawa dari tubuhnya menurut Alkitab. Setelah
pembunuhan itu, Allah bertanya kepada Kain: "Di manakah Habel, adikmu itu?" Meskipun Allah
bertanya, sebenarnya Allah mengetahui perbuatan keji Kain terhadap Habel, walaupun Habel
sudah dikuburkan. Kain mungkin lebih terkejut sewaktu Allah mengatakan: "Darah adikmu itu
berteriak kepada-Ku dari tanah" (Kej. 4:10b). Dari ayat ini kita dapat menarik makna bahwa
sekalipun manusia tidak kelihatan lagi karena telah mati, ia tetap dalam penglihatan Allah. Ia
tetap "ada" dalam perhatian dan kekuasaan Allah. Yang jelas, pembunuhan yang dilakukan Kain
mengakibatkan terpisahnya nyawa Habel dari tubuhnya, yang berarti ia mati. Dalam kejadian 5
dikatakan setelah Adam berumur 930 tahun, ia pun mati. Di luar Kitab Kejadian, banyak ayat
yang mengartikan kematian sebagai putusnya nyawa seseorang. Dalam Kitab Mazmur 13:4-5,
Daud dalam doanya kepada Tuhan mengatakan: "Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku
tertidur mati". Yang hendak digambarkan oleh ayat ini adalah sebagaimana orang kalau tidur

23
tidak bisa bergerak, demikianlah juga bila orang mati tidak akan bisa lagi bergerak. Tubuhnya
akan semakin menjadi kaku dan pada akhirnya menjadi busuk. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan mati di sini tidak lain adalah putusnya nyawa manusia. Dalam Perjanjian Baru, untuk
menuliskan kematian dalam arti putusnya nyawa seseorang, selain kata nekros ('kematian')
dipakai juga kata thanatos, yang secara harfiah berarti 'terpisah' (D. Lumbantobing 2007,361).
Dalam Kitab Injil Yohanes kita dapat membaca mengenai kematian Lazarus. Yesus datang ke
rumah Lazarus ketika Lazarus sudah empat hari mati (Yoh. 11:1-17, 39). Kematian dalam
konteks tersebut dikaitkan dengan ratap tangis. Pada umumnya, pada saat nyawa seorang putus,
yang ditinggalkannya merasa sedih dan berdukacita. Yesus menghibur Maria dan Marta dengan
mengatakan bahwa Lazarus akan dibangkitkan. Selanjutnya, Yesus berkata: "Akulah
kebangkitan dan hidup, barang siapa percaya kepada-Ku ia akan hidup walaupun ia sudah mati,
dan setiap orang hidup dan percaya kepada-Ku, tidak akan mati selamanya" (Yoh. 11:25-26).
Dalam ayat ini Yesus tidak menyangkali adanya kematian karena putusnya nyawa seseorang.
Akan tetapi, Dia juga mengatakan bahwa siapa yang percaya kepada-Nya akan hidup dan tidak
akan mati selama-lamanya.

2.3. Mati: Keadaan Keterpisahan Kekal dari Allah

Mati dalam Alkitab tidak hanya jatuhnya manusia ke dalam dosa dan putus nya nyawa seseorang,
tetapi juga berkaitan dengan penderitaan manusia, khususnya menyangkut masa depannya.
Kematian yang diwarnai penderitaan karena hukuman dapat kita jumpai antara lain dalam
Ulangan 19:6 dan Yeremia 26:11-16. Tingkat kematian dalam Perjanjian Lama dapat dibagi ke
dalam dua bagian, yaitu: mati muda dan mati tua atau lanjut usia. Mati muda, yaitu kematian
seseorang yang dianggap belum cukup umur atau masih muda. Misalnya, seseorang yang sakit
yang tidak dapat diobati, yang menjalani hidup yang sangat dekat dengan kematian, mengalami
bahwa kekuasaan kematian itu menakutkannya (bnd. Mzm. 88:3-4, 15). Bahkan, orang yang
meninggal belum berumur 100 tahun dipandang sebagai orang yang kena kutuk. Sebaliknya,
orang yang berumur 100 tahun ke atas dipandang sebagai yang hidup dalam berkat Tuhan.
Kematian yang belum pada waktunya selalu dianggap sebagai musuh kehidupan atau malapetaka.
Misalnya, kisah Raja Hizkia dalam Yesaya 38:10-12: "Aku ini berkata: dalam pertengahan
umurku aku harus pergi, ke pintu gerbang dunia orang mati aku dipanggil untuk selebihnya dari
hidupku. Aku berkata aku tidak akan melihat Tuhan lagi di negeri orang-orang yang hidup atau

24
tidak akan melihat seorangpun lagi di antara penduduk dunia. Pondok kediamanku dibongkar
dan dibuka seperti kemah gembala; seperti tukang tenun menggulung tenunannya aku
mengakhiri hidupku; Tuhan mengutus nyawaku dari benang hidup".Sementara itu, mati tua
adalah kematian orang yang hidupnya sudah lanjut usia. Ia mati pada waktu sudah putih
rambutnya, tua, dan suntuk umur. Misalnya, Abraham dalam Kejadian 25:7-8 disebutkan
mencapai umur 175 tahun, lalu ia meninggal. Abraham menjalani hidupnya penuh dengan
kebahagiaan, walaupun ia akan mengalami kematian. Hal yang sama juga dapat kita lihat pada
diri Ishak (Kej. 35:29), Daud (1Taw. 29:28).

3. Pemakaman Orang Mati Ditinjau dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Mulai zaman nenek moyang Israel sudah menjadi suatu tuntutan untuk menguburkan seorang
keturunan di kuburan yang telah disediakan oleh keluarga yang terbuat dari gua atau lubang
dalam karang. Misalnya, pemakaman Sara istri Abraham (Kej. 23:19), Abraham (Kej. 25:9),
Ishak dan Ribka, juga Lea (Kej. 49:31) dan Yakub (Kej. 50:13), yang telah dikuburkan di gua
Makhpela, sebelah timur Mamre, yaitu Hebron, di Tanah Kanaan. Samuel dikubur di rumahnya
di Rama (1Sam. 25:1), sedangkan Musa dikubur di Tanah Moab, tetapi tak seorang pun
mengetahui kuburannya (Ul. 34:6). Apabila karena situasi dan kondisi yang tidak mengizinkan,
seseorang yang meninggal itu jauh dari tempat kuburan yang telah disediakan oleh keluarganya,
terpaksa ia dikuburkan di tempat lain, misalnya dalam peristiwa kematian Debora yang
dikuburkan dekat Betel (Kej. 35:8) dan Rahel yang dikuburkan di jalan ke Efrata (Kej. 35:19-20).
Sebagai tanda, pada kuburan mereka dibangun sebuah tugu atau ditanam sebuah pohon besar.
Jadi, kalau masih memungkinkan, akan selalu diusahakan setiap orang Israel yang meninggal
dikuburkan di kuburan keluarga yang diwarisi dari nenek moyangnya, demikian juga halnya
dengan Gideon dan Simson (Hak. 8:32; 16:31), Asahel dan Achitofel (2Sam. 2:32; 17:23). Letak
kuburan biasanya di luar kota. Ada sedikit bukti arkeologis tentang kuburan-kuburan keluarga
yang mempunyai ruang atau beberapa ruang yang bentuknya tidak sama, dipahat pada batu
karang yang dilengkapi dengan bangku-bangku, dapat dicapai melalui jalan sempit dan rendah,
dan daun pintunya terbuat dari batu yang bentuknya sama dengan lubang pintunya. Di luar Kota
Yerusalem ada lahan yang dikhususkan untuk kuburan masyarakat biasa (2Raj. 23:6; Yer. 26:23).
Membangun kuburan yang tidak pada tempatnya akan mendatangkan kutuk bagi dia, seperti

25
yang terjadi kepada Sebna, bendahara kaya, yang dijatuhi hukuman oleh Tuhan karena
membangun kuburan yang besar di batu karang (Yes. 22:15).

3.1. Ritus Pemakaman Orang Mati dalam Perjanjian Lama

Ritus pemakaman orang mati di masa Perjanjian Lama dapat diketahui dari pemakaman orang
mati, dalam hal ini nenek moyang orang Israel, yang dicatat dalam Perjanjian Lama. Prosesnya
sebagai berikut.

 Pembalseman atau merempah-rempahi orang mati.


 Upacara perkabungan (meratapi) orang mati.

3.2. Pemakaman Orang Mati Ditinjau dari Perjanjian Baru

Adat pemakaman orang mati pada orang Yahudi pada zaman Perjanjian Baru hanya berbeda
sedikit dibandingkan pada zaman Perjanjian Lama. Urutan upacara pemakaman adalah: jenazah
terlebih dahulu dimandikan (Kis. 9:37), kemudian diurapi (Mrk. 16:1), lalu dikenakan pakaian
lenan berisi wangi-wangian (Yoh. 40:44), dan kemudian kaki dan tangan diikat dan muka
ditutupi dengan serbet (Yoh. 9:44). Menangisi dan meratapi orang mati (mangandungi) juga
adalah hal yang biasa terjadi dalam Perjanjian Baru sebagaimana terjadi juga dalam Perjanjian
Lama. Yesus sendiri menangis dekat kuburan Lazarus (Yoh. 11:35). Upacara adat pemakaman
orang mati dapat kita baca dalam Yohanes 19:38-42, ketika Yesus disalibkan, mati, dan
dikuburkan. Yusuf dari Arimatea meminta pada Pilatus agar diberi izin menurunkan mayat
Tuhan Yesus dari salib dan menguburkannya dengan baik. Bersama dengan Nikodemus mereka
melakukannya; mereka mengambil mayat Tuhan Yesus, mengafani dan meminyaki tubuh-Nya
dengan minyak mur dicampur dengan minyak gaharu serta membubuhinya dengan rempah-
rempah menurut adat pemakaman orang Yahudi. Seperti kebiasaan dalam Perjanjian Lama, letak
kuburan harus berada di luar kota. Ada kuburan yang dikhususkan untuk umum (Mat. 27:7) dan
ada juga kuburan yang telah dikhususkan bagi perseorangan dan satu keluarga. Misalnya, seperti
Yusuf dari Arimatea yang telah mempersiapkan kuburannya sebelum ia meninggal (Mat. 27:60).
Peti jenazah tidak dipakai seperti kebiasaan dalam Perjanjian Lama yang diadopsi dari
kebudayaan Mesir, tetapi jenazah dibawa ke kuburan dengan dipikul di atas tandu sederhana
(Luk. 7:12-14). Membakar jenazah atau kremasi tidak pernah dilakukan oleh orang Yahudi,

26
tetapi ada beberapa jenis kuburan, seperti kuburan yang biasa dalam tanah, kuburan tanpa tanda
(bnd. Luk. 11:44); kuburan atau gua dalam liang karang dengan tanda atau tiang yang didirikan
di atasnya. Kuburan keluarga sering mempunyai kamar-kamar terpisah. Dalam kamar ini dibuat
papan-papan (acrosalia) atau lubang-lubang di tembok (kokhim) untuk tempat jenazah. Di sinilah
tubuh ditaruh dalam tempat penyimpanan, misalnya peti atau sarkofagus (J.D. Douglas, dkk.
1992, 612-15).

4. Kematian Pemakaman Orang Mati dalam Gereja HKBP

Dalam lingkungan masyarakat Kristen Batak, khususnya HKBP, apabila ada seorang dari
anggota jemaat yang meninggal, lonceng gereja akan dibunyikan sebagai pemberitahuan kepada
seluruh warga jemaat. Panjangnya bunyi lonceng gereja disesuaikan dengan tingkat status sosial
orang yang meninggal, yaitu: anak-anak, pemuda/i, dan orangtua sarimatua atau saurmatua. Dari
bunyi lonceng gereja itu, setiap warga jemaat akan tahu bahwa yang meninggal itu anak-anak,
pemuda/i atau orangtua sarimatua atau saurmatua. Liturgi pemakaman orang mati ada dua yang
sering dipakai di dalam gereja HKBP, yaitu liturgi yang dimuat dalam agenda besar dan liturgi
yang dimuat dalam agenda kecil.

BAB VI : MISI DIALOGIS DAN TRANSFORMATIF GEREJA TERHADAP


KEBUDAYAAN

1. Injil Kebudayaan

Injil dan kebudayaan adalah masalah hidup sehari-hari umat manusia. Karena baik iman dan
kebudayaan adalah kesehari-harian umat manusia. Atinya, tidak pernah sejenak pun hidup umat
manusia dapat lepaskan dari iman yang dihayati dan dari kebudayaaan yang dihidupi. Bahkan,
sesungguhnyalah, tidak ada manusia yang tidak beriman dan tidak berbudaya. Memang ada
orang-orang yang tidak beragama, tetapi sebenarnya itulah "iman" mereka. Selain itu, ada juga
orang-orang yang kita anggap tidak ber-"adab", tetapi sebenarnya itu pulalah "budaya" mereka.
Jadi, hubungan iman dan kebudayaan bukanlah soal memilih "ini" atau "itu". Sikap seperti ini
tidak mungkin, seperti tidak mungkinnya membayangkan isi tanpa bentuk atau bentuk tanpa isi.
Iman memberi isi kepada budaya dan budaya memberi bentuk kepada iman.

2. Transformasi Budaya sebagai Misi

27
Biasanya istilah misi dimengerti sebagai perambatan agama/iman, budaya Kristen, perluasan
Kerajaan Allah, pertobatan orang Kristen, dan pembentukan gereja. Namun, pemahaman
semacam ini mulai bergeser pada abad ke-20. Dulu pengertian misi selalu dihubungkan dengan
penginjilan, padahal pengertian misi jauh lebih luas, artinya jika dibandingkan dengan
penginjilan. Memang harus diakui bahwa penginjilan juga adalah misi, tetapi misi tidak hanya
penginjilan. Misi adalah tugas total dari Allah kepada Gereja untuk keselamatan dunia. David J.
Boch mendefinisikan, penginjilan adalah dimensi dalam aktivitas misi Gereja, dengan kata dan
perbuatan dalam kondisi dan konteks tertentu, yang menawarkan kepada setiap orang dan
komunitas di mana-mana suatu kemungkinan yang sah untuk secara langsung ditantang terhadap
suatu reorientasi radikal atas hidup mereka, suatu reorientasi yang meliputi pembebasan dari
perbudakan terhadap dunia dan kekuatannya, untuk merangkul Kristus sebagai Juruselamat dan
Tuhan, menjadi anggota yang hidup dari komunitas gereja, terlibat dalam pelayanan rekonsiliasi,
damai, dan keadilan dunia, dan menjalankan tujuan Allah menempatkan semua hal di bawah
peraturan Kristus (Boch 1991, 1). Menurut Widyapranawa, arti pokok dari kata misi dan zending
ialah pengutusan ke luar kepada bangsa-bangsa (non-Kristen) di dunia untuk menyampaikan
berita kesukaan dan keselamatan (Injil) dan datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus
Kristus, dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan maupun pelayanan diakonial, yang
bersifat kesaksian dan pelayanan secara holistik (Majalah Gema Duta Wacana 1992, 7).

2.1. Missio Dei

Allah yang dicatat dan diceritakan di dalam Alkitab adalah Allah yang bertindak dan selalu hadir
di dalam dunia. Kehadiran-Nya di dunia menandakan bahwa la adalah Allah sejarah, Allah yang
tidak pernah meninggalkan dunia dan ciptaan-Nya. Tindakan Allah di dunia merupakan inisiatif
dari Allah sendiri. Inisiatif dan tindakan-Nya ini menunjukkan, secara langsung maupun tidak
langsung, akan hakikat Allah sendiri. Tindakan dan aktivitas Allah terhadap ciptaan-Nya (baca:
dunia) ini lebih dikenal dengan terminologi misi Allah atau missio Dei. Allah telah bertindak
semenjak la menciptakan bumi dan seluruh isinya (kisah penciptaan). Ia tidak hanya bertindak
dan berkreativitas setelah proses penciptaan selesai, tetapi terus bertindak, hadir dalam sejarah
hingga saat ini dan terus hidup hingga penggenapan akhir dipenuhi. Dalam melaksanakan apa
yang la kehendaki di bumi, la tidak melaksanakan-Nya sendiri. Untuk memenuhi dan mencapai
apa yang diharapkan, la selalu menggunakan pihak lain sebagai partner. Partner ini bisa berupa

28
seorang individu dan juga sekelompok orang. Ken Gnanakan berpendapat dalam bukunya,
Kingdom Concerns: A Theology of Mission Today, bahwa Allah memilih seseorang atau
sekelompok orang di dalam sebuah konteks tertentu, untuk menjadikannya sebagai kendaraan
yang melaluinya rencana-Nya dilaksanakan (Gnanakan 1993, 68-69).

2.2. Transformasi Budaya

Untuk menghindari salah pengertian mengenai istilah transformasi kebudayaan, perlu kiranya
terlebih dahulu dijelaskan apa maksud istilah...transformasi kebudayaan yang dipergunakan
dalam pokok bahasan ini. Transformasi berasal dari istilah Latin: "transformare" yang
merupakan kata majemuk. Trans mengisyaratkan 'suatu perpindahan; suatu gerak dari satu
tempat ke tempat yang lain'. Gerakan itu bisa loncatan, terobosan, peralihan, dan sebagainya.
Formare berarti 'membentuk'; formasi = 'pembentukan'. Transformasi berarti 'perpindahan;
perubahan dari bentuk lama ke bentuk baru'. Dengan demikian, transformasi berarti perubahan
dan pembaruan.

Injil bagi orang Kristen memberikan tanggung jawab untuk memelihara, dan melestarikan
konteks hidupnya, bukan untuk menghancurkan atau menghilangkan konteks di mana seseorang
menerima Injil. Oleh sebab itu, dalam berteologi perlu diupayakan pertemuan secara dialektis,
kreatif, serta eksistensial antara teks dan konteks; antara kerygma yang universal dengan
kenyataan hidup yang kontekstual. Berteologi berarti berpikir tentang sejarah Firman Allah.

2.3. Tiga Visi Dasariah dalam Melaksanakan Misi Transformasi Budaya

Untuk menjalankan transformasi budaya sebagai misi gereja, di bawah ini akan dijelaskan tiga
visi dasariah yang saling terkait dan merupakan refleksi terhadap pemahaman yang mendukung
konsep misi transformasi tersebut.

a. Visi Kristologis

Pertanyaan yang paling mendasar untuk konsep kristologis adalah "siapakah Kristus".
Pertanyaan "siapakah Kristus" menjadi sangat penting bagi gereja dalam menjadi gereja di
tengah-tengah konteks kemajemukan agama atau budaya. Identifikasi dan pemahaman terhadap
Kristus akan mewarnai refleksi teologis gereja yang akan diaktualisasikan di dalam
kehidupannya sehari-hari dalam persekutuan, diakonia, dan kesaksiannya. Yang lebih mendasar

29
lagi ialah bahwa pemahaman gereja terhadap konsep kristologis akan memberi semangat
terhadap misi gereja, karena hakikat gereja sesungguhnya adalah misi. Karena itu, konsep
kristologis yang dapat ditawarkan adalah bukan lagi hanya menekankan segi-segi keunggulan
Kristus, seperti gelar-gelar Raja, Tuhan, Maha Pemenang (Victor), Anak Allah, Penyelamat,
Firman Allah, dan sebagainya yang hanya menampilkan aspek kemenangan, yang

b. Visi Eklesiologis

Visi tentang eklesiologi didasarkan pada diri dan pelayanan Yesus kepada dunia. Gereja, sebuah
komunitas umat beriman yang telah dipanggil, dikumpulkan, dan diutus oleh Kristus, dapat
mulai berfungsi secara lebih efektif sebagai alat Kristus bila ia meneladani kehidupan Kristus.
Kristus yang telah mengosongkan dan membuka diri-Nya telah masuk ke dalam kehidupan
orang-orang yang di luar diri-Nya. Dengan pengosongan dan keterbukaan diri-Nya, orang lain
juga dapat datang kepada-Nya. Dengan cara yang demikian, la bersama-sama dengan orang yang
berada di sekitar Nya dapat melakukan transformasi, baik yang bersifat individu maupun sosial.
Karena itulah, gereja yang meneladani Kristus juga harus terbuka. Dengan demikian, visi dasar
eklesiologi yang ditawarkan adalah eklesiologi terbuka. Eklesiologi terbuka yang dimaksud
adalah di mana gereja terbuka kepada dunia. Komunitas umat beriman ini (baca: gereja) tidak
lagi menutup dirinya hanya pada gedung gereja yang membatasi dirinya dengan dunia luar, dan
yang membuat dirinya terpisah dari dunia di sekitarnya. Namun, ia harus menjadi komunitas
beriman yang terbuka bagi orang lain untuk bergabung di dalam peristiwa Kristus yang sentral.
Ia pun harus cukup terbuka bagi jemaat untuk keluar dari lingkaran komunitas tersebut untuk
melihat dan bergabung dalam peristiwa Kristus dengan orang-orang lainnya di mana pun hal
tersebut terjadi di dunia sekitarnya (Thomas 1998, 125).

relative dan berbekas (Given, 2014:188). Teori ini juga menganggap bahwa belajar adalah
pengorganisasian aspek- aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam
model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya. Sedangkan
situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat ditentukan oleh
proses berpikir internal yang terjadi selama proses belajar. Dalam teori ini menekankan pada

30
gagasan bahwa bagian-bagian dari situasi yang terjadi dalam proses belajar saling berhubungan
secara keseluruhan. Sehingga jika keseluruhan situasi tersebut dibagi menjadi komponen-
komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah, maka sama halnya dengan kehilangan
sesuatu (Muhaimin,dkk. 2012:199).

C. Visi Misiologis

Visi dasariah misiologis yang ditawarkan bukanlah visi misiologis yang mengandung
"pertobatan jiwa" agar percaya dan menerima Yesus sebagai Juruselamat, seperti yang dipahami
sebagian warga gereja selama ini. Namun, visi dasar misiologis yang akan tetap dipegang,
sebagai komitmen gereja atas "bahasa cinta"-nya yang mengatakan bahwa "Yesus adalah satu-
satunya jalan", adalah turut membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Kerajaan Allah yang akan
dibangun ada di dunia ini. Dengan kata lain, dunia inilah yang menjadi pusat dari misi gereja.
Untuk itu, gereja harus mengubah keyakinannya dari extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja
tidak ada keselamatan) menjadi extra mundum nulla salus (di luar dunia tidak ada keselamatan).
Pemahaman sebagian warga jemaat didasari atas pembacaan dari Yohanes 14:6 yang
menyebutkan bahwa "Yesus adalah satu-satunya jalan".... Jemaat seharusnya mengetahui bahwa
ketika penginjil Yohanes menyebutkan bahwa "Yesus adalah satu-satunya jalan" itu adalah
sebuah pengakuan iman atas pengalaman imannya terhadap Yesus, dan ketika Yohanes
menuliskan itu, ia bukan bermaksud untuk menisbikan penghayatan iman yang lain terhadap
Allah, di mana Allah juga menyatakan diri-Nya kepada komunitas mereka. Kalimat itu juga
harus dipahami dalam rangka pemeliharaan iman yang praktis di dalam ketaatan dan kemuridan
saat itu. Kata "satu-satunya" ini haruslah dipahami sebagai ungkapan "bahasa cinta" yang
didasari oleh pengalaman individu dan komunitas atas keselamatan atau transformasi atau
kesejahteraan yang mereka miliki di dalam dan melalui Yesus; ia adalah "bahasa tindakan" dan
bukan "bahasa eksklusif" agar memanggil pengikut Kristus dan orang lain melakukan pemuridan.
Kepercayaan.

31
BAB VII : TINJAUAN ULANG WARISAN BUDAYA – SEBUAH RELEKSI

1. Kepercayaan Masyarakat Batak

Harus diakui bahwa konsep agama tradisional dalam masyarakat Batak Toba dapat dikatakan
belum hilang sama sekali. Walaupun sebagian besar masyarakat Batak Toba sudah lama
menerima Injil atau menganut agama Kristen, kepercayaan tradisional atau agama Batak purba
masih hadir menyelimuti acara-acara adat masyarakat Batak Toba. Misalnya, masyarakat Batak
Toba yang tinggal di kampung halaman (bonapinasa), bahkan yang sudah merantau ke luar dari
Tapanuli Utara, Toba, dan Samosir, masih cenderung memahami bahwa adat pemakaman orang
mati ini berhubungan dengan kepercayaan agama asli masyarakat Batak Toba (hasipelebeguon).
Masyarakat Batak Toba masih banyak yang memercayai bahwa roh-roh nenek moyang mereka
masih hidup dan dapat memberikan berkat serta perlindungan kepada keturunannya. Karena itu,
agar tercapai satu keluarga yang kaya-raya (hamoraon), maju, serta banyak keturunannya
(hagabeon), mereka (kelompok marga) sepakat untuk melaksanakan upacara adat pemakaman
orang mati dan mendirikan tugu atau monumen nenek moyang mereka itu, dengan tujuan agar
sumangot (roh) nenek moyang berkenan memberikan berkat dan melindungi keturunannya.

Sikap dan perbuatan seperti ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan orang percaya yang
sudah menerima dan mengakui Kristus sebagai satu satunya juruselamat dan sumber segala
berkat yang diperoleh manusia. Orang Kristen yang masih tetap memercayai dan mengakui
bahwa roh-roh leluhurnya masih hidup dan mempunyai kemampuan (berkuasa) untuk
memberikan perlindungan dan berkat (kesejahteraan) bagi keturunannya yang hidup tentu sangat
bertentangan dengan iman Kristen. Sebab, satu satunya pemegang kekuasaan baik atas orang
mati maupun orang hidup adalah Kristus. Di dalam Kristus hubungan itu tidak hanya meliputi
hubungan darah tetapi berlaku bagi semua orang yang percaya kepada Nya (Schreiner 1994, 205).
Penghormatan dan penghargaan kepada orangtua memang harus dilakukan oleh seluruh orang
percaya (gereja). Namun, kesetiaan dan keyakinan akan "tona ni ompu" yang diwariskan kepada
kita perlu ditinjau kembali atau disoroti dari Injil yang telah kita terima. Tona ni ompu yang
diwariskan kepada kita tidak boleh diterima dan dilaksanakan tanpa kritik dan pengertian yang
rasional. Segala perintah nenek moyang yang bertentangan dengan perintah Kristus harus kita
tolak dan tidak perlu dituruti. Selaku orang-orang yang telah dimerdekakan oleh Kristus, kita
tidak boleh lagi diperbudak oleh adat (perintah nenek moyang). Orang percaya harus lebih taat

32
kepada Kristus daripada perintah manusia (nenek moyang). Namun, tidak boleh diklaim atau
dikatakan bahwa Kristus tidak menghormati orangtua.

4. Dalihan Na Tolu sebagai Nilai Budaya Batak

Dalihan Na Tolu ini menjadi penghimpun dan pemersatu orang Batak, sekalipun dalam
lingkungan yang terbatas (kemargaan). Di samping itu, dapat kita jumpai sifat kegotongroyongan
yang pada gilirannya dapat diharapkan menjadi suatu proses menuju mentalitas bergotong-
royong secara umum. Hal ini dapat kita lihat dalam upacara-upacara adat Batak, khususnya
dalam upacara adat pemakaman orang mati. Di pihak lain, tidak dapat disangkal bahwa
keberhasilan Pekabaran Injil di Tanah Batak dipengaruhi pendekatan Dalihan Na Tolu atau
kemargaan dan pemanfaatan tokoh-tokoh adat atau marga. Dalam bukunya, Schreiner
mengatakan, setelah Raja Pontas Lumbantobing (seorang raja, tokoh adat dan marga, dari marga
Lumbantobing) menerima baptisan tahun 1897, Nommensen menjadikannya sebagai teman
dalam melaksanakan misinya. Dan seterusnya, Raja Pontas Lumbantobing mengajak raja-raja
yang memusuhi agama Kristen. Masuknya Raja Pontas Lumbantobing menjadi anggota gereja
telah menarik marga-marga dan raja-raja lain untuk memeluk agama Kristen. Dengan demikian,
pendekatan Dalihan Na Tolu (kemargaan) dan pemanfaatan tokoh-tokoh adat dan marga
memainkan peranan yang asasi dalam menerobos masuknya agama Kristen ke Silindung
(Schreiner 1994, 44 - 48).

Nilai-nilai positif yang dikandung dari Dalihan Na Tolu seperti yang telah diuraikan, yakni
sebagai pengemban persatuan, solidaritas, diperhadapkan dengan isi penyataan Kristus yang
menebus dan memanggil manusia kepada kasih persaudaraan dalam kasih dan damai terhadap
sesamanya dan terhadap Allah. Nilai-nilai positif ini harus diperluas lagi dan diteruskan medan
cakupannya.

5. Adat Penghormatan Orangtua

Adat penghormatan orangtua yang sudah lanjut usia/umur adalah suatu persiapan orangtua
menghadapi kematiannya, yang dilakukan keturunan dan anggota keluarga yang melibatkan

33
Dalihan Na Tolu. Keturunan si orang tua berusaha berbuat sesuatu untuk memberi arti pada
kematian orang tuanya. Maksudnya, keturunan si orangtua mempersiapkan keadaan, sikap, dan
perasaan orangtuanya dalam menghadapi akhir hidupnya. Mungkin ada orang yang beranggapan
bahwa upacara penghormatan terhadap orangtua yang lanjut usia/uzur tidak manusiawi. Untuk
apa memberi upacara adat penghormatan kepada orang yang lanjut usia atau memberi makan
kepada orang yang sudah uzur? Atau, mungkin orang lain berkata, "Tidak perlu menyiapkan
kematian, sembarang waktu Tuhan panggil, harus siap." Sikap ini menunjukkan sikap
menganggap enteng kematian atau mengecilkan sikap terhadap kematian.

Kematian mengubah seluruh keberadaan hidup manusia. Manusia dicabut dari dunia ini lalu
ditaruh di dunia yang lain. Karena itu, berbagai perasaan dan pikiran akan muncul dan saling
bercampur dalam diri manusia pada hari-hari dan jam-jam terakhir saat ajalnya tiba. Banyak
orang tidak mampu mengolah segala perasaan dan pikiran itu, sehingga hari-hari terakhirnya
dijalani dengan krisis, ketegangan, dan kecemasan. Adat penghormatan kepada orangtua yang
sudah lanjut usia/umur itu sangat berguna apabila selagi masih segar, si orangtua ditolong dan
dibantu mulai mempertimbangkan dan mengolah segala perasaan dan pikirannya untuk
menghadapi kematian. Dengan kata lain, ia dibantu mulai menyiapkan diri menghadapi
kematiannya, sehingga pada waktu hidupnya berakhir, hidup si orangtua mempunyai arti dan
meninggalkan arti bagi keturunannya.

6. Kematian menurut Agama Batak

Memperhatikan konteks di mana pengakuan agama Batak muncul yang menyangkut ungkapan
"kematian manusia secara badani” sedangkan rohnya akan berubah menjadi begu, mengandung
makna yang sangat dalam dan perlu ditinjau ulang sesuai dengan pandangan iman Kristen.
Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu dicermati dari ungkapan tersebut: Pertama, dengan
ungkapan manusia mati hanya badannya, paham tentang adanya arwah immortal dari orang-
orang yang telah meninggal harus diterangi Firman Tuhan. Kedua, dengan adanya formulasi itu,
sebagian orang Batak masih menggantungkan kehidupan kepada arwah nenek moyang. Hal itu
perlu diterangi Firman Tuhan, bahwa bukan leluhur yang menentukan hidup, melainkan Yesus
Kristus. Akan tetapi, kita bisa berbicara mengenai nenek moyang dengan cara yang "baru" sesuai
status kita sebagai keluarga Allah.

34
Oleh iman kepada Yesus Kristus kita telah menjadi anggota persekutuan Kristus. Persekutuan
dalam Yesus Kristus memiliki ruang sebagai anggota keluarga Allah. Pemahaman akan
pengakuan bahwa kalau manusia mati, ia mati seutuhnya, perlu dijelaskan bagi kehidupan warga
jemaat. Sehingga, dengan adanya pengakuan manusia mati seutuhnya, warga gereja mengetahui
dan menyadari bahwa hidup manusia bukan dari dirinya sendiri, melainkan semata-mata dari
anugerah Tuhan dalam Yesus Kristus. Jadi, manusia adalah makhluk yang fana. Hidup yang
dimilikinya adalah pemberian Tuhan dan bukan terjadi secara alami. Pandangan agama Batak
yang membagi manusia secara dikotomi atau trikotomi perlu dicerahkan dengan pemahaman
yang benar melalui Firman Tuhan, bahwa manusia adalah suatu totalitas. Kalau manusia hidup,
ia hidup dalam suatu totalitas dan bila ia mati, ia mati secara

7. Persekutuan Orang yang Hidup dan yang Telah Mati

Dalam pemahaman agama Batak, persekutuan antara orang yang hidup dan yang mati tetap
berlangsung di dalam dan melalui adat, karena adat terikat kepada leluhur. Adat mempersatukan
orang yang masih hidup dengan yang mati, sehingga pelaksanaan pemakaman orang mati
menurut adat Dalihan Na Tolu bagi sebagian orang Batak dipahami sebagai jalan untuk tetap
memelihara agar persekutuan antara orang yang hidup dan yang mati tetap terjalin. Tujuannya,
agar roh para leluhur memberikan perlindungan dan berkat (kesejahteraan) bagi keturunannya
yang masih hidup. Diperhadapkan dengan kekristenan, konsep warisan pemahaman agama Batak
sebagaimana diuraikan di atas perlu ditinjau ulang dan diberikan rumusan/ pemahaman baru atau
solusi teologis yang berpedoman kepada Firman Tuhan, sebagai berikut.

(a). Persekutuan antara orang yang hidup dan yang telah mati hanya bisa berlangsung di dalam
dan melalui Kristus. Sebab, satu-satunya pemegang kekuasaan baik atas orang mati maupun
orang hidup adalah Kristus. Di dalam Kristus, hubungan itu tidak hanya meliputi hubungan
darah tetapi berlaku bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Persekutuan dengan orang
yang telah meninggal adalah persekutuan di dalam Kristus, yang memberi keselamatan.

Inti ajaran Yesus tentang hak ini dapat kita baca dalam Yohanes 11:2b, yang mengatakan: " ...
barangsiapa percaya kepada-Ku, Ia akan hidup walau pun ia sudah mati". Artinya, baik dalam
keadaan hidup maupun sesudah mati, hubungan kita dengan Tuhan tetap berlangsung. Hidup
adalah wujud hubungan yang utuh dan damai dengan Tuhan. Hidup adalah menerima selamat

35
dari anugerah Tuhan, dan hal itu tidak berakhir pada kematian, tetapi berlaku terus setelah
manusia mati. Sebab itu, kematian bukanlah kehilangan segala sesuatu, sebab rahmat Tuhan
tetap berlaku. Yesus menjelaskannya dengan pengalimatan yang lain: "... Setiap orang yang
hidup dan percaya kepada-Ku tidak akan mati selama-lamanya" (ay. 25) (Ismail 2002, 116).

8. Adat Pemakaman Orang Mati dan Mangongkal Holi

Kematian dalam agama Batak bukanlah akhir dari keberadaan hidup manusia. Kematian adalah
peralihan dari hidup oleh roh (tondi) menjadi begu. Hal ini terlihat dari perkataan orang Batak
yang sering kita dengar: "martondi na mangolu, marbegu na mate" (yang hidup memiliki tondi/
roh, yang mati memiliki begu/hantu). Dengan kematian, tondi orang yang sudah mati akan
berubah menjadi begu, dan begu ini masih dapat melakukan hubungan dengan para anggota
keluarganya yang masih hidup. Hubungan ini dapat tetap terpelihara dan dijaga hanya melalui
adat, sehingga adat merupakan inti bagi persekutuan antara orang mati dengan orang yang hidup.
Karena adat menyangkut semua sendi kehidupan dan inti persekutuan dengan orang mati dengan
tujuan untuk mencapai hidup tenteram dan kedamaian di alam yang penuh bahaya itu, orang
Batak harus mematuhi adat. Demikianlah orang Batak tetap menjalankan upacara adat
pemakaman orang mati. Upacara adat pemakaman orang mati dalam masyarakat Batak adalah
bagian dari adat yang harus dipatuhi. Kalau kehidupan dan kedamaian yang diterjemahkan dalam
hamoraon (banyak materi), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon (wibawa) yang mau
dimiliki, begu para leluhur selalu diyakini serta diharapkan dapat memberikan berkat dan rezeki
bagi keturunannya. Pemahaman inilah bagi sebagian orang Kristen Batak yang membuat upacara
adat pemakaman orang mati selalu dilaksanakan setiap ada orangtua yang meninggal dalam
keadaan sarimatua, saurmatua, dan maulibulung, dengan tujuan agar sumangot (roh) nenek
moyangnya berkenan memberikan berkat dan melindungi keturunannya. Penggalian tulang-
belulang dilaksanakan pada hakikatnya sebagai penghormatan, penghargaan, kultus pada tondi
orang mati itu.

36
Sikap dan perbuatan seperti ini tentu sangat berbahaya bagi kehidupan orang percaya yang
sudah menerima dan mengakui Kristus sebagai satu satunya juruselamat dan sumber segala
berkat yang diperoleh manusia. Orang Kristen yang masih tetap memercayai dan mengakui roh-
roh leluhurnya masih hidup dan mempunyai kemampuan (berkuasa) untuk memberikan
perlindungan dan berkat (kesejahteraan) bagi keturunannya yang hidup tentu sangat bertentangan
dengan iman Kristen. Sebab, satu - satunya pemegang kekuasaan baik atas orang mati maupun
orang hidup adalah Kristus. Untuk itu, perlu diberikan solusi teologis, yang berpedoman kepada
Firman Tuhan, antara lain: orang mati tidak dapat dan tidak mungkin lagi berhubungan dengan
yang masih hidup, demikian juga sebaliknya, dengan cara apa pun dan dengan bentuk apa pun
(Pkh. 9:5-6). Orang yang hidup dan mati adalah milik Tuhan. Yesus sendiri mengatakan:
"Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa yang percaya kepadaku, ia akan hidup walaupun ia
sudah mati" (Yoh. 11:25; bdk. Rm. 14:7-9).

8.1. Sanggul Marata – Sijagaron

Sanggul Marata - Sijagaron adalah simbol mahkota atau kehormatan yang diberikan kepada
orang tua yang meninggal dalam keadaan gabe (punya cucu dari anak laki-laki dan perempuan),
berumur panjang, kaya dalam materi dan moral, dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.
Sanggul Marata Sijagaron mengandung berbagai makna dan simbol-simbol kehidupan, sehingga
penggunaan Sanggul Marata-Sijagaron pada adat pemakaman sarimatua, saurmatua, dan
maulibulung dapat diberi isi yang baru dengan Injil Yesus Kristus. Sanggul Marata - Sijagaron
harus dipahami hanya berfungsi sebagai simbol, di mana padi atau ranting dan dedaunan pohon
beringin yang dipakai sebagai tanda atau simbol dalam Sanggul Marata - Sijagaron semuanya itu
adalah ciptaan Tuhan Allah. Oleh sebab itu, sumber berkat satu satunya adalah Tuhan Allah
pencipta langit dan bumi, bukan roh-roh nenek moyang atau yang sarimatua, saurmatua, dan
maulibulung. Di sinilah Injil dan kebudayaan itu berinteraksi dan nilai yang diyakini
kebenarannya itulah yang memberi warna dan corak kebudayaan yang dilakukan.

Dengan demikian, terjadilah perubahan nilai, perubahan sikap, perubahan bentuk budaya yang
diperbarui. Inilah yang disebut transformasi ke arah kebudayaan yang semakin sesuai dengan
kehendak Tuhan. Injil dan kebudayaan berinteraksi dalam bentuk dialektik yang membawa
pembaharuan, yaitu transformasi.

37
8.2. Dondon Tua

Pada akhir adat pemakaman rimatua, saurimatua, dan maulibulung, sebelum acara selanjutnya
diserahkan kepada petugas kepercayaan atau gereja untuk dilakukan kebaktian secara
kekristenan, dilakukan acara dondon tua. Ritus dondon tua ini juga dapat diberi isi yang baru dari
Injil Yesus Kristus. Pada zaman dulu, orang Batak percaya bahwa tuah orang mati sarimatua,
saurmatua, dan maulibulung dapat diseberangkan, dipindahkan, dan diambil sebelum si orangtua
yang meninggal dikubur, dengan cara menari mengelilinginya sebanyak tujuh kali sambil
membawa sanggul marata - sijagaron. Sikap mendapatkan tuah inilah yang perlu digaris bawahi
dan patut diisi dengan Injil Yesus Kristus, bahwa sumber berkat satu-satunya adalah Tuhan Allah
pencipta langit dan bumi, bukan roh-roh nenek moyang atau yang sarimatua, saurmatua dan
maulibulung (bdk. Ams. 3:16-17; Mzm. 128). Jadi, istilah yang mengandung makna religius
dalam dondon tua dan dalam adat pemakaman orang mati sarimatua, saurmatua, dan
maulibulung tidak harus dibuang tetapi lebih tepat mengisinya dengan Injil Yesus Kristus
sehingga menjadi lebih baik. Pada zaman dulu dondon tua ini ditarikan dengan alat musik Batak
tradisional, 'gondang sabangunan', tetapi sekarang di berbagai daerah sudah digantikan dengan
musik tiup atau keyboard dengan menyanyikan nyanyian dari Buku Nyanyian HKBP No. 119
(Buku Ende HKBP: Martua do Dohonan [Sungguh Berbahagia]). Dalam pergantian musik
tradisional ke musik modern ada beberapa pendapat yang berkembang, pertama, pergantian
musik tradisional ke musik modern (musik tiup, keyboard) adalah disebabkan karena semakin
sulitnya mencari musik tradisional dan orang yang ahli memainkannya. Kedua, bagi sebagaian
orang Kristen Batak, lebih merasa bahwa musik modern (musik tiup, keyboard) adalah lebih
"injili" daripada musik tradisional (gondang Batak), padahal kalau ditelisik baik musik tiup dan
keyboard diproduksi oleh yang bukan orang Kristen.

38
BAB III
PEMBAHASAN
1. KELEBIHAN BUKU :

1. Dari segi cover, buku ini memiliki cover yang bagus dan menarik dan mengunakan warna
yang cerah, sehingga membuat pembaca penasaran dengan isi buku ini.
2. Materi pembahasannya bagus dan meluas
3. Cetakan buku yang rapih dan jelas tidak buram maupun kata – kata yang hilang sehingga
pembaca lebih nyaman dan lebih mudah dipahami
4. Dari segi kerapihan tulisan, buku ini memiliki kerapian tulisan yang sangat baik

2. KEKURANGAN BUKU :

1. Ada sebagian kata yang sedikit jarang didengar


2. Tidak adanya penyajian gambar dibuku ini sehingga pembaca mudah bosan dalam
membacanya.

39
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Buku ini sangat menarik dan cocok dibaca untuk mahasiswa maupun calon pendidik,
karena buku ini menjelaskan bagaimana metode – metode pengajaran yang baik. Penjelasan dan
penjabaran materi nya juga sangat meluas sehingga cocok juga untuk dijadikan referensi. Pada
setiap bab penjelasannya saling berhubungan dan berketerkaitan satu sama lain. Setiap materi
dapat dengan mudah di terapkan dalam kehidupan sehari – hari.

B. Saran

Saran saya terhadap buku ini adalah agar bisa melengkapi kekurangan yang telah
dicantumkan pada bab pembahasan. Seperti kesalahan dalam tanda baca, dapat diperbaiki lagi
dan lebih jelas dalam penulisannya agar mudah dipahami pembaca. Kemudian pemaparan
materinya agar lebih diperdalam lagi agar bisa membangun pendidikan di Indonesia ini yang
lebih bermutu dan profesionalisme.

40
DAFTAR PUSTAKA

Pdt. Nikson Simanungkalit, S.Th., M.Ars. Menjunjung Iman Melestarikan Adat, 2020, Medan:
CV. Sibundong Grafika

41

Anda mungkin juga menyukai