Anda di halaman 1dari 13

ASPEK BUDAYA DALAM TERAPI KOMPLEMENTER

DI INDONESIA

Disusun oleh :
Kelompok 3

SISKA WINDIATI I1B016051 MOHAMAD ROMLI I1F017008

IRNA TRY UTAMI I1B016054 YANUAR I1F017010

AMEL WAHDIYATI I1B016058 NIKO SUTRISNO I1F017011

TRI HARNINGSIH I1B016064 ADITYA PANDU W I1F017015

DHIKRI FAIZAL AMRI I1B016068 SUGIONO I1F017016

FATHIYA JEMIMA I1B016071 IFFAH HUMAIDAH I1F017021

NAAFI WIJAYANTI I1B016074 BERNADETH YUNITA I1F017026

CINDY FERISTA TIANA I1B016077 MARSELINA MOLLE I1F017029

EMA SINTHIANA A I1B016080 SRI ASIH DIANA F I1F017032

ALANISH SHAHNIA T I1B016083 AGUS SUGENG T I1F018018

HENDRA ARI W. I1F017001 MUHAMAD AMIN E I1F018020

NOK IMROATUL A. I1F017004 NORMA TIARA D I1F018021

MUSLIHUDIN I1F017006 DIAN AMBARWATY I1F018022


KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PURWOKERTO
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang
dilakukan sebagai pendukung kepada pengobatan medis konvensional atau
sebagai pengobatan pilihan diluar pengobatan medis konvensional. Tujuan
terapi komplementer adalah untuk memperbaiki fungsi dan sistem kerja
organ-organ tubuh secara menyeluruh, meningkatkan sistem kekebalan
tubuh terhadap penyakit, serta menstimulasi dan mengaktifkan mekanisme
penyembuhan alami tubuh.
Pengobatan komplementer alternatif adalah pengobatan yang
prinsipnya tidak menekan gejala tetapi mencari penyebab dan
mengobatinya. Ruang lingkup pelayanan medik pengobatan komplementer
alternative yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi :
1. Mind and Body Interventions: hipnotherapi, meditasi, yoga dan doa.
2. Alternative Systems of Medical Practice: akupunktur, akupresur,
naturopati dan aromaterapi.
3. Manual Healing Methods: healing touch dan chiropractice.
4. Pharmacologic and Biologic Treatments: herbal.
5. Diet and Nutrition for Prevention and Treatment: diit makro nutrient
dan mikro nutrient.
6. Unclassified Diagnostic and Treatment Methods: terapi ozon dan
hiperbarik.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan tradisional (yankestrad) bahwa
sejumlah 89.753 dari 294.962 (30,4%) rumah tangga di Indonesia
memanfaatkan yankestrad. Jenis dari yankestrad ada empat, yaitu
yankestrad ramuan (pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu,
aromaterapi, gurah, homeopati dan spa), ketrampilan dengan alat
(akupunktur, chiropraksi, kop/bekam, apiterapi, ceragem dan akupresur),
ketrampilan tanpa alat (pijat-urut, pijat-urut khusus ibu/bayi, pengobatan
patah tulang dan refleki) dan ketrampilan dengan pikiran (hipnoterapi,
pengobatan dengan meditasi, prana dan tenaga dalam. Yankestrad yang
dimanfaatkan oleh rumah tangga terbanyak adalah ketrampilan tanpa alat
(77,8%) dan ramuan (49,0%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan
yankestrad tertinggi di Kalimantan Selatan (63,1%) dan terendah di Papua
Barat (5,9%). Propori rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad
ramuan tertinggi di Jawa Timur (65,2%) dan yang terendah di Bengkulu
(23,5%). Proporsi rumah tangga yang memanfaatkan yankestrad
ketrampilan dengan alat tertinggi di DKI Jakarta (20,7%) dan terendah di
Gorontalo (1,3%).

B. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mahasiswa mampu memahami definisi terapi komplementer.
2. Mahasiswa mampu memahami perkembangan terapi komplementer di
Indonesia.
3. Mahasiswa mampu memahami aplikasi terapi komplementer sebagai
terapi alternatif di masyarakat.
4. Mahasiswa mampu memahami aspek budaya dalam terapi
komplementer di Indonesia.
BAB II
MATERI INTI

A. DEFINISI TERAPI KOMPLEMENTER


Pengobatan komplementer adalah pengobatan nonkonvensional
yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi
(Kemenkes RI, 2011). Komplementer adalah semua terapi yang digunakan
sebagai tambahan untuk terapi konvensional yang direkomendasikan oleh
penyelenggara pelayanan kesehatan. Terapi komplementer dipergunakan
untuk melengkapi terapi konvensional (Potter, 2010). Terapi komplementer
dikenal dengan terapi tradisional yang digabungkan dalam pengobatan
modern.
Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam
pengobatan modern (Andrews et al., 1999). Terminologi ini dikenal sebagai
terapimodalitas atau aktivitas yang menambahkan pendekatan ortodoks dalam
pelayanan kesehatan (Crips & Taylor, dalam Widyatuti, 2008). Terapi
komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik.
Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara
menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan
pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al., 2004). Pendapat
lain menyebutkan terapi komplementer dan alternatif sebagai sebuah domain
luas dalam sumber daya pengobatan yang meliputi sistem kesehatan,
modalitas, praktik dan ditandai dengan teori dan keyakinan, dengan cara
berbeda dari sistem pelayanan kesehatan yang umum di masyarakat atau
budaya yang ada (Complementary and alternative medicine/CAM Research
Methodology Conference, 1997 dalam Snyder & Lindquis, 2002).
Terapi komplementer yang direkomendasikan untuk perawat
adalah masase, terapi musik, diet, teknik relaksasi, vitamin dan produk herbal
Di Amerika terapi komplementer kedokteran dibagi empat jenis terapi:
Chiropractic, Teknik Relaksasi (termasuk bagian dari Hypnomedis), Terapi
Masase dan Akupunktur. Menurut National Institute of Health (NIH), terapi
komplementer dikategorikan menjadi 5, yaitu:
1) Biological Based Practic: herbal, vitamin, dan suplemen lain
2) Mind-body techniques: meditasi, hypnomedis
3) Manipulative and body-based practice: pijat, refleksi
4) Energy therapies: terapi medan magnet
5) Ancient medical systems: obat tradisional chinese, aryuvedic, akupuntur.
Di Indonesia ada 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang
telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan untuk dapat diintegrasikan ke
dalam pelayanan konvensional, yaitu sebagai berikut :
1) Akupunktur medic yaitu metode yang berasal dari Cina ini diperkirakan
sangat bermanfaat dalam mengatasi berbagai kondisi kesehatan tertentu
dan juga sebagai analgesi (pereda nyeri). Cara kerjanya adalah dengan
mengaktivasi berbagai molekul signal yang berperan sebagai komunikasi
antar sel. Salah satu pelepasan molekul tersebut adalah pelepasan
endorphin yang banyak berperan pada sistem tubuh.
2) Terapi hiperbarik, yaitu suatu metode terapi dimana pasien dimasukkan ke
dalam sebuah ruangan yang memiliki tekanan udara 2 – 3 kali lebih besar
daripada tekanan udara atmosfer normal (1 atmosfer), lalu diberi
pernapasan oksigen murni (100%). Selama terapi, pasien boleh membaca,
minum, atau makan untuk menghindari trauma pada telinga akibat
tingginya tekanan udara.
3) Terapi herbal medik, yaitu terapi dengan menggunakan obat bahan alam,
baik berupa herbal terstandar dalam kegiatan pelayanan penelitian maupun
berupa fitofarmaka. Herbal terstandar yaitu herbal yang telah melalui uji
preklinik pada cell line atau hewan coba, baik terhadap keamanan maupun
efektifitasnya.
Berdasarkan Permenkes RI Nomor: 1109/Menkes/Per/2007 adalah:
1) Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions): Hipnoterapi,
mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga.
2) Sistem pelayanan pengobatan alternatif: akupuntur, akupresur, naturopati,
homeopati, aromaterapi, ayurveda
3) Cara penyembuhan manual: chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu,
osteopati, pijat urut. Pengobatan farmakologi dan biologi: jamu, herbal,
gurah. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan: diet makro
nutrient, mikro nutrient. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan: terapi
ozon, hiperbarik.

B. PERKEMBANGAN TERAPI KOMPLEMENTER DI INDONESIA


Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun
yang masih tradisional mulai meningkat (Widyatuti, 2008). Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya pengunjung praktik terapi komplementer dan
tradisional di berbagai tempat. Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun
kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat dibandingkan dengan
Cina yang telah memasukkan terapi tradisional Cina atau traditional Chinese
Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di negara tersebut (Snyder &
Lindquis, 2002; Widyatuti, 2008).
Masyarakat Indonesia juga sudah mengenal adanya terapi
tradisional seperti jamu yang telah berkembang lama. Kenyataannya klien
yang berobat di berbagai jenjang pelayanan kesehatan tidak hanya
menggunakan pengobatan Barat (obat kimia) tetapi secara mandiri
memadukan terapi tersebut yang dikenal dengan terapi komplementer
(Widyatuti, 2008).
Saat ini, pengawasan pada penyelenggaraan praktik terapi
komplementer di masyarakat baru berupa pendaftaran saja oleh pemerintah
daerah. Bahkan, dari hasil penelusuran terbaru oleh dinas kesehatan di
berbagai daerah, banyak sarana/tenaga terapi komplementer tidak terdaftar di
dinas kesehatan setempat, sehingga hal ini sangat dikhawatirkan banyak
merebak pengobatan palsu yang berkedok terapi kompelementer/ alternatif
yang dijalankan oleh tenaga yang tidak berkompeten, yang pada akhirnya
dapat membahayakan masyarakat. Saya yakin, dengan menjamurnya terapi
komplementer di masyarakat, di waktu mendatang Pemerintah akan
mengeluarkan standarisasi, pengaturan, dan pengawasan yang lebih gamblang
dan baku yang memuat perlindungan hukum bagi masyarakat, termasuk
tentang standarisasi tenaga pelaksana dan pendidikan yang harus ditempuh
sebagai syarat dalam menyelenggarakan terapi komplementer. Oleh karena
itu, perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di Indonesia harus segera
melakukan jemput bola agar dapat berperan dalam penyelenggaraan terapi
ini. Terutama pada institusi pendidikan keperawatan harus jeli dalam
menangkap peluang yang terdapat dalam isu etik terapi komplementer ini
dengan mengakomodir dalam pembelajaran (setelah melalui standarisasi
kurikulum pendidikan keperawatan terpadu) serta sebagai bahan kajian
diskusi ilmiah dan penelitian berkelanjutan dengan didukung pula upaya-
upaya strategis oleh organisasi profesi. Diharapkan, dalam praktik terapi
komplementer ini nantinya perawat tidak masuk lagi dalam zona abu- abu
(seperti pada praktik klinik mandiri) namun dapat memberikan warna yang
tegas dalam dunia profesi kepe rawatan.
Diperlukan adanya integrasi antara Permenkes No. 1109 tahun
2007 tentang tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan komplementer
alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan, dan tenaga pelaksana termasuk
tenaga asing dengan Permenkes Nomor 148 tahun 2110 tentang praktek
keperawatan. Selama ini ijin mereka berdasarkan praktek keperawatan. PPNI
masih membahas bagaimana mengintegrasikan peraturan Permenkes dan
peraturan praktik keperawatan (Erry et al, 2014).
C. APLIKASI TERAPI KOMPLEMENTER SEBAGAI TERAPI
ALTERNATIF DI MASYARAKAT
Banyaknya terapi pengobatan komplementer tidak semuanya
digunakan, tetapi untuk dipilih berdasarkan pertimbangan yang paling sesuai
bagi pasien dan keluarganya dari segi yaitu latar belakang kultural,
tersedianya terapis atau fasilitas, biaya. Persepsi-persepsi masyarakat
terhadap pengobatan komplementer antara lain berupa anggapan masyarakat
bahwa pengobatan komplementer sering bertentangan dengan keyakinan
agama, kurang berkhasiat, tidak ilmiah dan sebagainya akan berdampak pada
sikap yang tidak mendukung atau negatif terhadap penggunaan pengobatan
komplementer oleh masyarakat. Sedangkan anggapan-anggapan yang positif,
misalnya pengobatan komplementer terbukti berkhasiat dikalangan
masyarakat umum atau sesuai dengan contoh Nabi, maka persepsi tersebut
membentuk sikap positif pada diri masyarakat, yaitu mereka memiliki
kecenderungan menggunakan pengobatan komplementer tersebut.

D. ASPEK BUDAYA DALAM TERAPI KOMPLEMENTER DI


INDONESIA
Menurut Sudarma (2008), kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota masyarakat.
Menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Misalnya, setiap
orang ingin sehat (gagasan), merasa senang dan bahagia bila sehat, dan
menderita bila sakit (rasa), jika sakit akan mencari obat, baik ke apotek atau
Puskesmas (tindakan, dalam mengobati pasiennya dokter menggunakan obat
dan jarum suntik (karya).
Clyde Kluckhohn menyebutkan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan
yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup
dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan sistem kesenian
(Sudarma, 2008). Bahasa yaitu alat atau media komunikasi, baik yang
diwujudkan dalam bentuk bahasa lisan, tulisan atau simbolik. Pengetahuan
yaitu aspek fungsi dari akal-pikiran manusia. Organisasi sosial yaitu
kelembagaan sosial di masyarakat, baik yang bersifat primer (alamiah)
maupun sekunder (dibentuk). Kesenian yaitu wujud ekspresi seni masyarakat.
Dalam konteks kesehatan, yaitu penggunaan music yang digunakan dalam
terapi kesehatan, tata ruang kamar rumah sakit secara indah juga termasuk ke
dalam wujud kesenian. Alat dan teknologi yaitu perangkat bantu dalam
memperlancar aktivitas manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya. Religi
yaitu aspek kepercayaan dan keyakinan manusia pada al-khaliq atau sesuatu
yang suci. Mata pencaharian, setiap masyarakat memiliki unsur mata
pencaharian, muali bertani sampai menjual jasa. Aspek pendidikan, yaitu
proses manusia dalam mensosialisasikan nilai dan norma kepada anggota
masyarakatnya, baik di lingkungan rumah, keluarga atau lembaga sosial
tertentu.
Khusus yang terkait dengan musik dalam sebuah studi kasus yang
dilakukan Kristen L. Davis tahun 1998 (dalam Satiadarma, 2002) terhadap
pasien multiplesclerosis (gangguan pada susunan saraf pusat yang dapat
menyebabkan kelumpuhan serta kebutaan) membuktikan bahwa terapi musik
membantu pasien untuk mempu bertahan hidup dengan lebih baik.
Lidwina Banowati mengatakan bahwa bayi dalam kandungan dapat
mendengar dan merespons segala bunyi dan suara yang didengarnya. Bahkan
ketika janin masih berusia 24 minggu di kandungan, telinganya sudah bisa
berinteraksi dengan bunyi-bunyian. Selanjutnya Lidwina mengatakan bahwa
terapi music dapat berguna sebagai relaksasi bagi ibu hamil, stimulasi dini
pada janin, menjalin keterikatan emosional antara ibu hamil dan janinnya,
serta membantu para ibu hamil agar dapat mempertahankan keseimbangan
kesehatan jasmani, pikiran dan emosi. Terapi musik juga dapat
menyembuhkan, merehabilitasi, mendidik, melatih anak-anak dan orang
dewasa yang menderita gangguan fisik dan mental atau emosional. (Sudarma,
2008)
Aspek lain dalam memahami kebudayaan ini, yaitu menyangkut
kepribadian umum. Secara umum, yang dimaksud kepribadian umum yaitu
kesan umum dari sebuah masyarakat atau bangsa. Kepribadian ini ada dalam
setiap anggota masyarakat. Dalam satu sisi dapat terjadi sebagai sebuah
stereotype (pola yang umum dari buaya bangsa). Pada sisi yang lain setiap
individu memiliki kepribadian yang bersifat individual.
Selain itu, dalam konteks analisis ada fokus budaya, etos budaya
dan kepribadian umum (basic personality). Fokus budaya yaitu satu atau
beberapa unsur budaya yang menjadi pusat kebudayaan bangsa. Misalnya
Indonesia terkenal dengan budaya gotong-royong. Bali dengan tariannya,
Jawa dengan alat music Gamelan Kejawen, dan Sunda dengan tarian
Jaipongan. Etos budaya, yaitu watak/gaya tingkah laku individu atau
masyarakat.
Terapi komplementer juga bisa dipengaruhi oleh aspek
kebudayaan. Kebudayaan menanamkan garis pengarah sikap terhadap
berbagai permasalahan. Budaya disetiap lokasi berbeda-beda dan setiap
daerah mempunyai budaya komplementer yang beragam dan unik, seperti
daerah Jawa yang memiliki budaya minum jamu (ramuan herbal) karena
masyarakat Jawa meyakini bahwa jamu dapat mempertahankan kesehatan.
Hal ini tentu berbeda dengan pola pikir budaya masyarakat yang tinggal di
kota yang cenderung memilih untuk mengkonsumsi vitamin tablet untuk
mempertahankan kondisi daya tahan tubuh.
Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat
dalam mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural
yang dalam praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan
lain-lain. Hal ini didukung dalam catatan keperawatan Florence Nightingale
yang telah menekankan pentingnya mengembangkan lingkungan untuk
penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses
penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan
perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2002).
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pengobatan komplementer adalah pengobatan nonkonvensional
yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi
berlan. Perkembangan terapi komplementer atau alternatif sudah luas,
termasuk didalamnya orang yang terlibat dalam memberi pengobatan karena
banyaknya profesional kesehatan dan terapis yang terlibat dalam terapi
komplementer. Hal ini dapat meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan
melalui penelitian-penelitian yang dapat memfasilitasi terapi komplementer
agar menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta
berpartisipasi dalam terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuai
dengan peran-peran yang ada. Arah perkembangan kebutuhan masyarakat dan
keilmuan mendukung untuk meningkatkan peran perawat dalam terapi
komplementer karena pada kenyataannya, beberapa terapi keperawatan yang
berkembang diawali dari alternatif atau tradisional terapi.

B. SARAN
Adapun saran yang kami dapat dari pembuatan makalah ini adalah
perawat maupun mahasiswa keperawatan dapat memahami dan mengetahui
tentang terapi komplementer sehingga diharapkan dalam praktek di masa
depan mahasiswa bisa mengaplikasikan terapi ini sebagai pengobatan
alternatif dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki kepada
pasiennya.

DAFTAR PUSTAKA

Andrews, M., Angone, K. M., Cray, J. V., Lewis, J.A. & Johnson, P. H. (1999).
Nurse’s handbook of alternative and complementary therapies.
Pennsylvania: Springhouse.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2013).
Erry, Andy, L. S., Raharni & Rini, S. H. (2014). Kajian Implementasi Kebijakan
Pengobatan Komplementer Alternatif dan Dampaknya Terhadap Perijinan
Tenaga Kesehatan Praktek Pengobatan Komplementer Alternatif
Akupuntur. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli
2014: 275–284.
Hadibroto & Alam, S. (2006). Seluk beluk Pengobatan Komplementer. Jakarta:
Buanan Ilmu Popular.
Hamijoyo, L. (2003). Complementary medicine in Reumatology,
(http://medikaholistik.com).
Setiadarma, M. P. (2002). Terapi Musik. Jakarta: Milenia Populer.
Setyaningsih, Y. (2012). Hubungan Antara Persepsi Dengan Sikap Masyarakat
Terhadap Pengobatan Komplementer Di Kecamatan Grogol Kabupaten
Sukoharjo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Smith, S.F., Duell, D.J., & Martin, B.C. (2004). Clinical nursing skills: Basic to
advanced skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Sudarma, M. (2008). Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Synder, M. (2002). Complementary alternative therapies in nursing. Newyork:
Springer Publishing Company Inc.
Widyatuti. (2008). Terapi Komplementer dalam Keperawatan, Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57.

Anda mungkin juga menyukai