Anda di halaman 1dari 17

CRITICAL BOOK REPORT

AGAMA ISLAM
“Hukum Islam”

DOSEN PENGAMPU

Drs. RAMLI, M.A

OLEH

INTAN KEMALA SARI NS

4193321004

PENDIDIKAN FISIKA C

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini. Penulis juga berterimakasih kepada dosen mata
kuliah yang telah memberikan bimbingannya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan critical
book ini.

Penulis sangat berharap kiranya critical book ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk
mengetahui isi buku beserta kelebihan dan kekurangan dari buku tersebut sebelum membelinya.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam critical book ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan critical book yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi pembaca.

Medan, 3 Mei 2021

Intan Kemala Sari Ns

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR ........................................................................ 1


1.2 Tujuan Penulisan CBR ................................................................................... 1
1.3 Manfaat CBR ................................................................................................. 1

BAB II RINGKASAN ISI BUKU ............................................................................ 2

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Kelebihan Buku .............................................................................................. 12


3.2 Kekurangan Buku ........................................................................................... 12

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan............................................................................................... 13
4.2 Rekomendasi ............................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rasionalisasi pentingnya CBR

Pentingnya CBR adalah tugas menulis yang mengharuskan kitauntuk meringkas dan
mengevaluasi tulisan. Tugas CBR berupa buku, bab atau artikel. Dalam menulis CBR kita harus
membaca secara seksama dan juga membaca tulisan dari buku lain yang serupa agar kita bisa
memberikan tujuan dari tulisan dan evaluasi yang lebih komprehensif, obyektif dan faktual.

1.2 Tujuan Penulisan CBR

Tujuan penulisan CBR untuk menambah pengalaman, pengetahuan dan wawasan ilmu dan
juga untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dalam hal mengkritik buku dan
membandingkannya dengan buku lain serta untuk menguatkan kemampuan dan skill dalam
mengkritisi suatu buku untuk dijadikanbahan CBR.

1.3 Manfaat CBR

Manfaat CBR adalah memberikan informasi atau pemahamanyang komprehensif tentang apa
yang tampak dan terungkap dalam sebuah buku yang mengajak pembaca untuk
memikirkan,merenungkan dan mendiskusikan lebih jauh mengenai masalah yang muncul dalam
sebuah buku.

1
BAB II

RINGKASAN BUKU

2.1 BUKU I

Konsep Hukum Islam


a. Kedudukan Hukum Islam
Sesungguhnya, ketentuan dan hukum bagi manusia disyari'atkan Allah adalah untuk mengatur
tata kehidupan mereka, baik dalam masalah duniawi maupun ukhrawi. Dengan mengikuti hukum
tersebut, manusia akan memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup sejati. Fungsi hukum
Islam dinyatakan secara tegas oleh Allh swt. dalam surah an-Nisa ayat 105:

ِٓ‫اس‬ ُ‫َٓٱن‬
ٓ َّ ٍۡٛ‫ب‬ ‫ُى‬
ََٓ ‫َح‬
‫ۡك‬ َٓ
ِِٓ
‫نت‬ ‫ق‬ ۡ ِ
‫ٱنح‬َٓٓ
‫ب‬ َٓ
‫ب‬ِٓ
‫ت‬ ‫ٱنك‬ ٛ‫َِن‬
ۡ َٓ‫ۡك‬ ‫َآإ‬ ‫ََز‬
ُ‫َۡن‬ ‫ٓ ٓأ‬
‫َا‬َِّ
‫إ‬
ٓ٥٠١ٓ‫ًا‬ ِٗٛ ‫َٓخ‬
‫َص‬ ٍِٛ ‫هخَائ‬
ُِ ِ ُ
ۡ‫ٍٓن‬ ‫تك‬َٓ‫َََل‬
َُّٔٓ َٓ‫َىك‬
‫ٱلله‬
ٓ ‫َس‬
‫َآأ‬ًِ ‫ب‬
“Sesungguhnya Kami telah memurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu dapat hukum kepada mamusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu”
Setiap apappun yang disyariatkan oleh Allah, maka hal in akan menuntun kebahagian
hidup di dunia dan akhirat. Dengan demikian, menaati ketentuan-ketentuan hukum syariat, tidak
lain adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri di manapun ia berada. Semakin banyak
manusia menjalankan syariat maka semakin banyak pula kemashlahatan dan kebaikan hidup
yang akan diperolehnya.
b. Ciri Khas Syari'at Islam
1. Bersifat menyeluruh.
Di antara karekter Hukum Isiam yang terpenting adalah bersifat menyeluruh dan
tidak bisa dipisah-pisahkan. Selain karena pemisahan itu berlawanan dengan tujuan
Syari'at, juga nash sendiri melarang pengambilan sebagian hukum-hukum syari'at dengan
meninggalkan bagian yang lain. Dalam hal ini lihatlah firman Allah pada surah al-
Baqarah 85, dan an-Nisa 150:

2
ْٓ
‫ُٕا‬‫ِق‬‫َش‬
‫ف‬ٌَُٚٓ َ ‫ذ‬
‫ٌٔٓأ‬ ُِٚ‫ش‬َُٚ
ِِٔٓٓ
ّ
ٓ‫ۦ‬ ‫َس‬
‫ُسُه‬ َّ ِ
ِٔٓ‫ٱلل‬
ٓ َ ُ
ٌٓٓٔ
‫ب‬ ‫ُش‬ ‫ۡف‬
‫ك‬ََٚٓٓ ‫ٱنز‬
ٍِٚ َّ ٌَِّٓ
ٓ ‫إ‬
ٓ‫ض‬
ٖۡ‫َع‬
‫ِب‬ ‫ُش‬
‫ُ ٓب‬ ‫ۡف‬
‫َك‬ََ
ٔٓ ‫ض‬
ٖۡ‫َع‬
‫ِب‬‫ُ ٓب‬ ‫ۡي‬
ٍِ ُ ٌٕ
‫َٓؤ‬ َ ‫ٕن‬ُ ُ‫ق‬ََٚ
ٔٓ ِ
ِٓ
ّ
ٓ‫ۦ‬ ‫َس‬
‫ُسُه‬ َّ ٓ َ
ٔٓ ِ‫ٱلل‬
ٓ ٍۡٛ‫ب‬َ
‫ِ ا‬
ٓ٥١٠ٓ‫ًل‬ٛ ‫َن‬
‫ِكَٓسَب‬ ‫َٓر‬ٍۡ
ٛ‫ب‬ َْٓ ُ‫َّخ‬
‫ِزٔا‬ ‫ت‬ٚ ٌََٓ َ ‫ذ‬
‫ٌٔٓأ‬ ُِٚ‫ش‬َُٚٔ
“ Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan
bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan
(tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)”
Disebabkan hukum Islam disyariatkan untuk kepentingan dunia dan akhirat maka
keadaan ini menjadi faktor terpenting yang mendorong pemeluknya untuk mentaati hukum
tersebut secara publik dan pribadi pada waku suka atau duka. Setiap Mukmin percaya bahwa
ketaatan mengamalkan hukum-hukum tersebut merupakan ibadah dan akan mendapatkan pahala
karenanya. Oleh sebab itu, meskipun seseorang bisa melakukan jarimah (tindakan kriminal) dan
dapat terhindar dari hukum dunia, namun ia tidak akan lepas dari siksaan akhirat dan laknat
Allah terhadapnya.
2. Membentuk Adab dan akhlak yang baik
Ciri lain dari hubungan umat Islam dengan hukum Islam adalah bahwa syari'at
Islam mewajibkan kepada pemeluknya mempunyai akhlak yang utama. Orang yang
menegakkan syariat, orang yang membentuk kepribadian dan akhlaknya kepada pencipta-
Nya, makhluk, dan alam sekitarnya. Orang yang berakhlak demikian akan memproteksi
hawa nafsu melakukan tindakan kriminal.
3. Merasa di dalam Pengawasan Allah
Adanya kesadaran bahwa meskipun pengawasan manusia terhadap dirinya
dianggap enteng namun tidak demikian sikapnya terhadap pengawasan Tuhan. Ia merasa
tetap berada di bawah pengawasan Allah di manapun ia berada. Keadaan yang demikian
akan dapat memproteksi diri dari tindakan jarimah bagi orang yang benar benar beriman
kepada Allah dan RasullNya.
Hukum Islam berbeda dari hukum positif. Hukum positif tidak memiliki daya psikologis yang
cukup untuk mendorong manusia mentaatinya. Orang mematuhi hukum karena menghindari
ancaman yang akan dikenakan terhadap dirinya di dunia atau di lingkungan hukumnya.

3
Seseorang yang melakukan suatu jarimah merasa aman karena tidak tersentuh hukum positif.
Karena itu, besar kemungkinan ia akan melakukannya lagi. Artinya, tidak ada faktor lain yang
akan menahan perbuatan sesorang untuk tidak melakukan tindakan jarimah itu kecuali sanksi
dunia dan sosial semata. Namun di dalam hukum Islam, pelakunya dikontrol oleh hukuman
dunia dan kesadaran atas hukum akhirat. Oleh karena itu jumlah jarimah pada negeri-negeri yang
tidak menerapkan hukum syariat selalu bertambah dan nilai akhlak tidak lagi mempunyai
peranan. Bahkan, di antara pelaku jarimah banyak yang berasal dari kalangan terpelajar dan
berada, seiring dengan semakin tersebarnya kemerosotan akhlak Hal itu diperburuk lagi karena
orang-orang dari kalangan tersebut mampu menghindarkan diri dari tuntutan aturan pidana
(undang-undang) yang berlaku.
4. Sesuai setiap waktu dan tempat
Islam adalah agama yang disyariatkan Allah untuk umat akhir zaman. Karena itu, Allah
memberikan suatu kelebihan kepada syariat ini untuk mampu beradaptasi dalam
mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia di akhir zaman. Ajaran-ajaran Islam
selalu bersifat fleksibel dalam merespons segala sesuatu yang muncul. Dasar hukum
untuk merespons segala keadaan dan tempat telah dijelaskan oleh Allah di dalam Alquran
dan Sunnah. Karena itulah syariat Islam akan mampu menjadi pedoman hidup manusia
hingga akhir zaman.
c. Tujuan Hukum Islam
Pada dasarnya, tujuan Syari' dalam mensyariatkan ketentuan ketentuan hukum kepada
mukallaf (orang yang dibebani hukum) adalah untuk mewujudkan kebaikan bagi kehidupan
mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri, hajiy, ataupun tahsini.
Ketentuan-ketentuan dharuri adalah ketentuan hukum untuk memelihara kepentingan
hidup dan kemaslahatannya. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya mereka
akan dihadapkan pada mafsadah (kerusakan) dan berbagai kesukaran. Ketentuan ketentuan
dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal,
harta, dan keturunan.
Ketentuan-ketentuan hajiy adalah tatanan hukum yang memberi peluang bagi mukallaf
untuk memperoleh kemudahan dalam kondisi kesukaran guna mewujudkan ketentuan-ketentuan
dharuri. Karena itu kedudukannya menjadi penting untuk mendukung dan mewujudkan
kemaslahatan dharuri tersebut.

4
Tahsini adalah berbagai ketentuan untuk menjalankan ketentuan dharuri dengan cara
yang paling baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak
yang baik, kebiasaan terpuji, dan menjalankan berbagai ketentuan dharuri dengan cara yang
paling sempurna.
Sumber-Sumber Hukum Islam
Dalam satria Effendi Zein, terdapat banyak pakar Hukum Islam mengenai sumber-sumber,
salah satunya ialah dikemukakan oleh R. Abd. Majid Muhammad Al-Khafawi, ahli hukum
berkebangsaan Mesir. Ia mengatakan ada 4 sumber hukum islam, yaitu :
1) Al-Qura’ an
2) Hadist (Sunnsah Rasulullah SAW)
3) Ijma’
4) Qiyas
Keempat sumber tersebut berdasarkan surah An-Nisa (4) : 59.

ٓ‫ل‬
ٓ ‫ْٓٱنش‬
َُٕ‫َّس‬ ‫ُٕا‬ ‫َط‬
‫ع‬ِٛ ‫َأ‬ َّ ْٓ
َٔٓ‫ٱلل‬
ٓ ‫ُٕا‬‫ع‬ِٛ‫َط‬
‫ْٓأ‬
‫ي ُٕا‬
َ‫ءا‬ ََٓ
ٓ ‫ٱنز‬
ٍِٚ َّ ٓ‫ٓا‬
ََُّٚ
‫أ‬َٚ
ٓٗ‫َِن‬
‫ِ ٓإ‬ ‫َش‬
ُُّ
ُٔ‫د‬ ‫ٖٓف‬َٙ‫ٓش‬ِٙ
‫ۡء‬ ‫ۡٓف‬ ‫ُى‬
‫ۡت‬‫َع‬
‫َز‬ُ‫ت‬ َِ
ٌَٓ‫ئ‬
ٓ ‫ُى‬
ۡۖ
‫ۡٓف‬ ‫ُِك‬
‫ِٓي‬ٓ‫ي‬
‫ش‬ َۡ‫ٱۡل‬
ۡ ِٓٙ‫ْن‬ُٔ‫َأ‬ٔ
ِٓ
‫ش‬
‫ه‬ ۡ ِٓ
ِٓ‫ٱۡلخ‬ ٓۡ
‫و‬ َٕ ۡ َ
ٛ‫ٱن‬ ٔ َّ ِ
ٓٓ ِ‫ٱلل‬
ٓ َ ُِ
ٓٓ ٌٕ
‫ب‬ ‫ۡي‬ ُٓ ۡ
‫تؤ‬ ‫ُى‬‫ُُت‬
‫ٌِ ٓك‬
‫ِ ٓإ‬ ُٕٓ‫َّس‬
‫ل‬ ‫َٱنش‬ ٔ َّ
ٓٓ ِ‫ٱلل‬
ٓ
‫ِ ا‬
ٓ١٥ٓ‫ًل‬ٚ ٔۡ
‫تأ‬َُٓ
َٓ‫س‬
ٍ ٓۡ‫َح‬
‫َأ‬ٔٓٞ‫ۡش‬َٛ
‫ِكَٓخ‬‫َن‬‫ر‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Pendapat berbeda diutarakan oleh Mohammad Daud Ali yang membagi sumber hukum islam
menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Al-Qur’ an
2) Hadist ( Sunnah Rasulullah SAW)
3) Akal pikiran (rayu’ /ijtihad)
Namun perlu dipahami bahwa kedua pendapat tersebut tidak ada yang keliru ataupun yang
menyimpang. Jika dipahami dari pendapat Abd. Al-Majid Muhammad Al-Khafawi yang
mendasarkan pendapatnya dari surah An-Nisa : 59 maka dapat dipahami bahwa perintah

5
mentaati Allah dan Rasulullah dapat diketahui dengan jelas dari ayat tersebut sedangkan
mentaati ulil amri yang terdapat dari ayat diatas tercermin dari perintah mengikuti ijma’ , yaitu
hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil amri kaum
muslim dalam hal pembentukan hukum islam. Dan qiyas pula terdapat pada ayat tersebut karena
qiyas merupakan perintah mengembalikan segala sesuatu masalah kepada Al-Qur’ an dan
sunnah rasul.
Perihal ijma’ dan qiyas yang terdapat pada pendapat kedua Muhammad Daud Ali
memasukkannya kedalam sumber hukum islam ketiga, yaitu ijtihad, dimana posisi keduanya
sebagai 2 diantara 7 metode berijtihad.
1) Al-Qur’ an
Al-Qur’ an berasal dari kata qara-a yang artinya bacaan. Pemakaian kata Qur’ an dapat
dilihat dalam surah Al-Qiyamah (75) : 18.

ٓ٥١ٓٓ‫ۥ‬
ٓ
ّ َ ‫ء‬
َُ‫ا‬ ‫ُش‬
َۡ ‫ۡٓق‬
ِٓ
‫ع‬ َّ َ
‫ٱتب‬ ٓ ّ
‫ٓف‬ َۡ
َُ ‫َش‬
‫َأ‬ ‫َآق‬
‫ئر‬َِ
‫ف‬
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
Selain Al-Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain kepada kitab-Nya ini, yaitu
Al-Kitaab, Al-Furqaan, Adz-Dzikir, Al-Mubiin, Al-Kariim, Al-Kalam dan An-Nuur.
Kitab Al-Qur’ an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun atau 22 tahun, 2
bulan, 22 hari. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah disebut Makkiyah dan ayat-ayat
yang turun di Madinah disebut Madaniyyah. Al-qur’ an terdiri dari dari 30 juz, 114
surah, dan 6.240 ayat. Perbedaan antara ayat Makkiyah dan ayat Madaniyyah yaitu:
a. Ayat-ayat makkiyah pada umumnya pendek-pendek sedangkan ayat-ayat
Madaniyyah panjang-panjang ayatnya.
b. Dalam ayat Makkiyah terdapat kata-kata “ ya ayyuhannas” (wahai manusia)
sedangkan dalam ayat madaniyyah terdapat kata “ ya ayyuhalladziina” ( wahai
orang-orang yang beriman).
c. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengandug hal-hal yang berhubugan dengan
keimanan, ancaman dan pahala serta kisah umat terdahulu, sedangkan ayat-ayat
Madaniyyah mengandung hukum-hukum, seperti hukum kemasyarakatan, hukum
agama dan lain sebagainya.

6
2) Al-Hadist/As-Sunnah
As-Sunnah diartikan sebagai seluruh perkataan, perbuatan maupun ketetapan atau
sejenisnya dari Rasulullah SAW atau As-Sunnah adalah segala perkataan Rasulullah
SAW yang diriwayatkan baik perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum.
As-Sunnah atau Al-hadist merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’ an. Sudah
menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin.
Ditinjau dari maddah (bahan), sunnah dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Sunnah Qouliyah (sunnah yang berupa ucapan).
b. Sunnah Fi’ liyah ( sunnah yang berupa perbuatan Rasulullah Saw)
c. Sunnah Taqririyah ( ketetapan atau pengakuan Rasulullah SAW terhadap segala
ucapan atau perbuatan para sahabatnya).
d. Sunnah Hammiyah ( Keinginan Nabi SAW untuk melakukan suatu hal, seperti
keinginan untuk berpuasa tanggal 9 Muharram).
Ditinjau dari kuantitas periwayatannya, sunnah dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Mutawattir, hadist yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang menurut akal tidak
mungkinmereka bersepakat berdusta.
b. Masyhur, hadist yang diriwayatkan oleh banyak perawi tetapi tidak sampai
kepada derajat mutawattir.
c. Ahad, hadist yang diriwayatkan oleh seorang perwai atau lebih yang derajatnya
tidak sampai derajat mutawattir dan masyhur.
Ditinjau dari segi kualitas hadistnya, sunnah dibagi menjadi 4 yaitu :
a. Shahih, adalah hadist yang sehat, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang
terpercaya dan kuat hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya
dapat dipertanggung jawabkan.
b. Hasan, adalah hadist yang memenuhi persyaratan hadist shahih kecuali dari segi
hafalannya periwayatnya yang kurang baik.
c. Dha’ if, adalah hadist lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau
karena salah satu pembawanya kurang baik dan lain-lain.
d. Maudhu, adalah hadist palsu, hadist yang dibuat oleh seorang dan dikatakan
sebagai sabda atau perbuatan Rasul.

7
Ditinjau dari sumbernya atau dari segi orang yang berbuat, berkata, terbagi menjadi 3
yaitu:
a. Marfu’ adalah betul-betul rasul yang pernah bersabda dan memberi izin.
b. Mauquf adalah sahabat Rasul yang berbuat akan tetapi tidak menyaksikan
perbuatan sahabat tersebut.
c. Maqtu’ adalah tabi’ in yang berbuat Artinya perkataan yang berhubungan
dengan soal-soal keagamaan.
3) Akal Pikiran (Al-Rayu atau Ijtihad)
Ijtihad merupakan sumber hukum ketig setelah Al-Qur’ an dan hadist. Ijtihad adlah
akal pikiran manusia yang memenuhi syarat berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan yang ada untuk memahami kaidah-kaidah hukum fundametal yang terdapat
pada sunnah Rasul dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang dapat
diterapkan pada suatu kasus tertentu. Dasar diperbolehkannya ijtihad ialah surah Al-
Hasyr (59) : 2.

َٓ ۡ ِٓ َ ٍِ ‫ْ ٓي‬ ‫َش‬
‫ُٔا‬ ‫َف‬
‫َ ٓك‬ َّ ٓ َ
‫َج‬ ‫َخ‬ َّ ٓ َ ُ
ٍِٓ‫بِ ٓي‬ ‫ِت‬
‫ٱنك‬ ‫ْم‬ۡ‫ۡ ٓأ‬ ٓ ‫ٱنز‬
ٍِٚ ‫ۡش‬ ‫ٓ ٓأ‬ِ٘
‫ٱنز‬ ْٓ
ٕ
ْٓ َُ
‫ُّٕا‬ ‫َظ‬ٔٓ ْۡۖ
‫ُٕا‬‫ُج‬ َٓ ٌَ
‫خۡش‬ٚ ‫ُى‬
‫ۡ ٓأ‬ َُ
‫َُت‬ َٓ ِ
‫يا ٓظ‬ ٓۡ‫َش‬
‫ش‬
‫ه‬ ۡ ِٓ
‫ٱنح‬ َٔ‫ٓۡل‬
‫َّل‬ ِ ۡ‫ِى‬ِْ
‫ش‬َِٚ‫د‬
ُٓ
‫ۡث‬َٛ
‫ۡ ٓح‬ َّ ُٓ
‫ٱللُٓي‬
ٍِ ٓ ‫ٓى‬ ََ
ُٖ‫ت‬ ‫َأ‬ َّ ٓ َ
‫ٱللِٓف‬
ٓ ٍِ‫ٓىٓي‬ ُ ُ
َُٕ ‫ُص‬
‫ۡ ٓح‬ٓٓ
‫ى‬ ُُ
‫َت‬‫ِع‬ َّ ٓ
َ‫ىٓيا‬ ََّ
َُ ‫أ‬
َ ‫ب‬
ٌٕٓ ُِ ُٓ َ
‫خۡش‬ٚ ‫ه‬
ٓۡ
‫ب‬ ‫ُّع‬
‫ُ ٓٱنش‬ ِٓ
‫ِى‬ ‫هٕب‬ُُ‫ ٓق‬ِٙ‫َ ٓف‬ٓ‫ز‬
‫ف‬ ََ
‫َق‬ٔٓ ْۡۖ
‫ُٕا‬ ‫ِب‬‫َس‬‫ۡت‬ َٓ ۡ
‫ح‬ٚ ‫َنى‬
ْٓ
ٓ ُ
‫ٔا‬ ‫ِش‬‫َب‬ ‫َٱع‬
‫ۡت‬ ٓٓ َ
‫ف‬ ٓ ُِ
ٍِٛ ‫ُؤ‬
‫ۡي‬ ۡ ٓ ِ٘
ً‫ٱن‬ ‫ذ‬َٚۡ
‫َأ‬ٔٓ ۡ‫ِى‬
ِٓٚ‫ذ‬َٚۡ‫ِأ‬‫ٓى ٓب‬ َُٕ
ُ‫ت‬ ٛ‫ب‬ُ
ٓ٢ِٓ َٓ
‫ش‬ ‫ٱۡلَۡبص‬
ۡ ِٓٙ ‫ْن‬ُٔ
‫أ‬َٚ
“Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka; sehingga memusnahkan rumah-
rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!”
Selain dalam Al-Qur’ an dasar dibolehkannya berijtihad juga terdapat dalam hadist
riwayat Bukhari dan Muslim, artinya :
“ Apabila hakin memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya
benar maka ia menapat dua pahala dan jika ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu
pahala” .

8
Terdapat beberapa persyaratan seseorang yang dapat melakukan ijtihad, yaitu :
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’ an
baik menurut bahasa maupun syariah.
b. Mengetahui dan menguasai hadist-hadist tentang hukum, baik menurut bahasa
maupun syariah, akan tetapi tidak disyaratkan untuk menghapalnya, melainkan
cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkan jika ia
membutuhkannya.
c. Mengetahui Nasikh dan Mnasuh dalam Al-Qur’ an dan sunnah, supaya tidak
salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan menghafalnya.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga
ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ .
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya, karena qiyas merupakan kaidal
dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa
, serta berbagai problematikanya.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dalam berijtihad.
h. Mengetahui maqashidu al-syari’ ah (tujuan syariat) secara umum, karena
bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqasyidu al-syari’ a atau rahasi
disyariatkannya suatu hukum.
Pembagian Hukum Islam
1. Pembagian Hukum dari Perspektif Usui
Ketentuan Syari' terhadap mukallaf (orang yang telah dibebani hukum) ada tiga
bentuk, yaitu tuntutan, pilihan, dan wadh'i (kondisi). Ketentuan yang dinyatakan dalam
bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedang
yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh'i.
2. Hukum Taklifi
Dimaksud dengan hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut
para mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Hukum taklifi sebagai-mana
telah diuraikan di atas terbagi empat, yaitu wajib, mandub, haram dan makruh.

9
a. Wajib. Dimaksud dengan wajib dalam pengertian hukum Islam adalah ketentuan yang
menuntut para mukallaf untuk melakukannya dengan tuntutan yang mengikat, serta diberi
pahala bagi yang melaksanakannya dan ancaman dosa bagi yang meninggalkannya.
b. Mandub. Dimaksud dengan mandub adalah ketentuan-ketetuan Syari' tentang berbagai
amaliah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat. Pelakunya
diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa bagi yang meninggalkannya. Mandub terbagi
tiga, yaitu sunnah mu'akkadah, za'idah, dan fadhilah. Sunnah mu'akkadah adalah ketentuan
syara' yang tidak mengikat tetapi sangat penting, karena Rasulullah saw. senantiasa
melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya. Seperti azan sebelum shalat,
dua shalat 'ied, dan lainnya. Sunnah za'idah adalah ketentuan syara' yang tidak mengikat
dan tidak sepenting Sunnah muakkadah, karena Rasulullah saw. biasa melakukannya dan
sering juga meninggalkannya.
c. Haram. Dimaksud dengan haram adalah tuntutan Syari' kepada mukallaf untuk
meninggalkannya dengan tuntutan yang mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang
menaatinya, dan balasan dosa bagi yang melanggarnya. Tuntutan tersebut biasanya
dinyatakan dalam bentuk kalimat larangan (an-nahyi), misalnya dengan kata-kata, seperti
ayat 3 surah al-Ma'idah yang artinya:
ََ
ٓ‫يا‬ ٔٓ ِ
‫ش‬ ‫خُِز‬
ِٓٚ ۡ ُٓ
ٓ‫ٱن‬ ‫ۡى‬‫ََنح‬
ٔٓ ُ َّ َ
ٓ‫ٱنذ‬
‫و‬ َُ
ٓٓ ‫ة‬
ٔ ٓ َٛ
‫ۡت‬ ۡ ُٓ
ً‫ٱن‬ ‫ُى‬
‫ۡك‬ ََ
ٛ‫ه‬ ‫ٓ ٓع‬
‫يت‬
ۡ َِ‫ُش‬
‫ح‬
ِٓ
ِٓ
ّ
ٓ‫ۦ‬ َّ ِٓ
‫ٱللِٓب‬
ٓ َٛ
‫ۡش‬ ‫َّٓن‬
‫ِغ‬ ‫ِم‬ ُْ
‫أ‬
"Diharamkan bagi kamu bangkai, darah dan daging babi, dan apa-apa yang
disembelih selain nama Allah."
d. Makruh. Makruh menurut jumhur fuqahaadalah ketentuan-ketentuan syara yang menuntut
mukallaf untuk meninggalkannya, dengan tuntutan yang tidak mengikat. Meninggalkan
perbuatan makruh memperoleh imbal pahala, sementara pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi ancaman apa-apa. Ketentuan makruh
ini biasanya dinyatakan dengan shighat (nahyi) namun disertai dengan karinah yang
menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat. Seperti pada surah al-Maidah ayat 101:

ٌِٓ
‫ء ٓإ‬ ٛۡ‫َش‬
َ‫َا‬ ٍَ
‫ۡ ٓأ‬ ‫ْ ٓع‬ ُۡٓ
‫هٕا‬ ‫ٓس‬‫ت‬ َ ْ
َٓ ‫َٓل‬ ‫ي ُٕا‬ َٓ َ
َ‫ءا‬ َّ ٓ ‫ٓا‬
ٓ ‫ٱنز‬
ٍِٚ ََُّٚ
‫أ‬َٚ
ٓٓ٠ٓۡ‫ُى‬ َ ‫ذ‬
‫ٓنك‬ َۡ‫تب‬ُ

10
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian banyak bertanya tentang
berbagai hal, karena kalau dibeberkan semuanya justru akan membuat kalian sukar".
3. Hukum Takhyiri
Hukum takhyiri sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya adalah ketentuan-
ketentuan Tuhan yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Dalam pembahasan ilmu ushul, hukum takhyiri biasa disebut dengan mubah.
Asy-Syaukani mengatakan bahwa dalam hal ini melakukan perbuatan tersebut tidak memperoleh
jaminan pahala dan tidak diancam dosa.
4. Hukum Wadhi
Hukum wadhi', sebagaimana yang dijelaskan asy-Syaukani, adalah ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan syari' untuk menentukan ada atau tidak adanya hukum taklifi. Yakni, ketentuan-
ketentuan yang dituntut syari' untuk ditaati karena ia mempengaruhi terwujudnya perbuatan
perbuatan taklifi lain yang terikat langsung dengan ketentuan-ketentuan wadhi' tersebut.
1. Sabab, sebagaimana diungkapkan para ulama fikih, adalah sesuatu yang tampak dan jelas
yang dijadikan oleh Syari' sebagai penentu adanya hukum. Seperti masuknya waktu
shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat tersebut. Secara umum, sabab terbagi
dua, yaitu sabab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut terperosok pada
perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah.
2. Syarath. Dimaksud dengan syarath adalah sesuatu itu terwujud atau tidak tergantung
kepadanya. Kalau syarath tidak terpenuhi, maka perbuatan taklifi-nya tidak diterima
secara hukum. Berbeda dengan sabab, di sini setiap ada syarath pasti ada hukum, sah atau
tidak.
3. Mani, merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi
perbuatan hukum lain. Adanya mani' membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat
dijalankan. Dengan demikian, mani' itu tidak lebih dari sebab yang dapat menghalangi
pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum; atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain
yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum; atau sebab yang bertentangan
dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum.

11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kelebihan Isi Buku
Buku "ISLAM KAFFAH "Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi memilik
kelebihan yaitu :
1) Terkadang ada kata-kata yang istilah yang sulit dimengerti
2) Pengulangan informasi sering kali terjadi pada pembahasannya
3) Setiap bab penulis membuat semacam suatu kesimpilan yang dapat dimengerti
4) Pada akhir setiap bab buku ini disertakan kertas kosong yang diberi judul catatan dan
evaluasi
5) Disertakan daftar bacaan pada bagian akhir buku guna sebagai referensi

3.2 Kekurangan Isi Buku


1) Ringkasan buku lebih banyak membahas tentang materi-materi
2) Pengertian dari setiap kata banyak yang dibuat berulang-ulang dan pengertiannya itu
banyak menggunakan kata-kata pemborosan
3) Menggunakan kata-kata yang sederhana untuk dimengerti dikalangan pelajar maupun
mahasiswa
4) Disetiap akhir sub-bagian penulis tidak membuat latihan-latihan untuk dipraktikkan
dalam kehidupan untuk menjadi pemimpin
5) Disetiap bagian penulis membuat intisari dari tulisan tersebut.

12
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Kesimpulan Islam kaffah maknanya adalah: Islam secara menyeluruh, yang Allah 'Azza
wa Jalla perintahkan dalam Al-Qur`an surat Al Baqarah ayat 208. Perintah kepada kaum
mu'minin seluruhnya. Kepribadian muslim yang kaffah terbagi dua macam, yaitu:
 Kepribadian kemanusiaan (basyariyah). Kepribadian kemanusiaan dibagi dua bagian,
yakni: a) Kepribadian individu b) Kepribadian ummah
 Kepribadian Samawi Yaitu corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu
dalam kitab suci al-Qur'an.
Ada beberapa ciri-ciri orang yang masuk kedalam islam secara menyeluruh dan sempurna:
1. Mengerjakan atau meninggalkan sesuatu karena Allah Swt.
2. Tidak mengharap imbalan dan sanjungan dari manusia.
3. Sangat mengharap balasan dari Allah Swt.
4. Sangat takut akan dosa dan azab Allah Swt.
5. Sangat harap pada buah kebaikan.

4.2 SARAN
Saran yang dapat saya berikan, yaitu dari buku ini sangat bagus untuk dijadikan sebagai referensi
dalam belajar terkhusus bagi mahasiswa yang ingin menambah pengetahuan mata kuliah
Pendidikan Agama Islam. Rekomendasi Berdasarkan hasil kesimpulan diatas diharapkan
mahasiswa bisa menerapkan islam secara kaffah atau menyeluruh dalam kehidupannya. Agar
dapat menjadi insan yang diridhai oleh Allah SWT.

13
DAFTAR PUSTAKA

Tim MPK PAI Unimed, Husnel Anwar Matondang, dkk, (2020), Islam Kaffah : Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Medan : CV. Manhaji Medan.

14

Anda mungkin juga menyukai