Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

CORPORATION AND INTERNAL STAKEHOLDER

Disusun oleh kelompok 4:

Anjelina Frisca Junita Ponto A012202013

Muhammad Irfan A012202014

Aninditya Yumna Masiyaroh A012202036

Teguh Pernanda A012202075

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................................................ i

Daftar Isi ................................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1

1.3 Tujuan ................................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stakeholder ................................................................................................... 2

2.1.1 Peran dan Fungsi Stakeholder ............................................................................... 2

2.2 Budaya Organisasi, Kepatuhan, dan Manajemen Stakeholder ....................................... 3


2.2.1 Perusahaan Beretika Tinggi ................................................................................... 4
2.2.2 Budaya yang Lemah ............................................................................................. 5

2.3 Memimpin dan Mengelola Strategi dan Struktur ............................................................. 6


2.3.1 Struktur Organisasi dan Etika ............................................................................... 6

2.4 Memimpin nilai pemangku kepentingan dalam organisasi ............................................. 7

2.5 Regulasi Perusahaan dan Program Etika ........................................................................ 8

2.5.1 Organisasi dan Pemimpin sebagai agen moral ....................................................... 8

2.5.2 Kode Etik ............................................................................................................. 8

2.5.3 Permasalahan kode etik ........................................................................................ 9

2.5.4 Program Ombuds dan Peer Review ...................................................................... 9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 11

CONTOH KASUS............................................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu
yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Pemangku
kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu
sumberdaya alam tertentu (Brown et al 2001). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang
terkait dalam pengelolaan terhadap sumber daya. Dalam konteks perusahaan, Clarkson (dalam artikel
tahun 1994) memberikan definisi pemangku kepentingan secara lebih khusus sebagai suatu kelompok
atau individu yang menanggung suatu jenis risiko baik karena mereka telahmelakukan investasi
(material ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘Stakeholderssukarela’), ataupun karena mereka
menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘Stakeholders non-sukarela’).Berdasarkan
pandangan tersebut pemangku kepentingan adalah pihak yang akan dipengaruhi secara langsung oleh
keputusan dan strategi perusahaan. Dan berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pemangku kepentingan adalah seluruh pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang menjadi
fokus kajian atau perhatian. Misalnya terkait isu perikanan, maka makna pemangku kepentingan
sebagai para pihak yang terkait dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir, pemilik
kapal, anak buah kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta
di bidang perikanan, dan sebagainya. Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang
mempunyai sesuatu yang dapat iaperoleh at au akan kehilangan akibat dari sebuah proses
perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai kelompok kepentingan, dan
mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu proses politik. Seringkali
akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan
dan kepedulian berbagai pemangku kepentingan, terutama jika proyek diracang bertujuan
mempengaruhi kebijakan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu stakeholder?
2. Apa saja budaya organisasi, kepatuhan, dan manajemen stakeholder?
3. Apa saja regulasi perusahaan dan program etika?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian stakeholder
2. Untuk mengethaui budaya organisasi, kepatuhan dan manajemen stakeholder.
3. Untuk mengetahui regulasi perusahaan dan program etika.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stakeholder

Stakeholder adalah individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara
keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan.
Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika
memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk, 2008 yaitu mempunyai
kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan.

Berikut ini terdapat beberapa jenis-jenis stakeholder, antara lain:

1. Stakeholder Utama (primer)

Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung
dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama
dalam proses pengambilan keputusan.

2. Stakeholder Pendukung (sekunder)

Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan
secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian
(consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap
masyarakat dan keputusan legal pemerintah.

3. Stakeholder Kunci

Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal
pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya,
legisltif, dan instansi. Misalnya, stekholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level
daerah kabupaten.

2.1.1 Peran dan Fungsi Stakeholder

Peran pihak yang memiliki kepentingan utama atau stakeholder dalam organisasi bisnis
ataupun dalam perusahaan, adalah sebagai berikut :

1. Pemilik (owner) atau Pemegang Saham

Pada awalnya suatu bisnis dimulai dari ide seseorang atau lebih tentang suatu barang atau jasa
dan mereka mengeluarkan uangnya (modal) untuk membiayai usaha tersebut, karena mereka
memiliki keyakinan bahwa kelak dikemudian hari akan mendapatkan imbalan (keuntungan)
dan mereka mengorganisasi, mengelola dan menanggung segala resiko bisnis.

2. Karyawan

Orang yang diangkat dan ditugaskan untuk menjalankan kegiatan perusahaan. Kinerja
perusahaan sangat bergantung pada kinerja seluruh kinerja karyawan baik secara individu
maupun secara kelompok.

3. Kreditor (creditor)
2
Lembaga keuangan atau individu yang memberikan pinjaman kepada perusahaan. Kreditor
sebagai pemberi pinjaman, umumnya mengajukan persyaratan tertentu untuk meyakinkan
bahwa uang yang mereka pinjamkan kelak akan dapat dikembalikan tepat waktu ,sesuai
jumlah dan berikut prestasinya.

4. Pemasok (supplier)

Pemasok adalah partner kerja dari perusahaan yang siap memenuhi ketersediaan bahan baku,
oleh karena itu kinerja perusahaan juga sebagian tergantung pada kemampuan pemasok dalam
mengantarkan bahan baku dengan tepat waktu. Misalnya pemasok kepentingan, jika barang
dan jasa yang mereka pasok relative langkah dan sulit untuk memperoleh barang/jasa
subtitusi.Kekuatan relatif organisasi terhadap pemangku kepentingan tidak selalu lemah.

5. Pelanggan (customer)

Dengan mengidentifikasi pelanggan, perusahaan akan lebih fokus dalam memberikan produk
dan jasa yang diinginkan dan diharapkan oleh pelanggan mereka. Oleh karena itu perusahaan
memiliki kepentingan utama untuk mengidentifikasi individu yang menggunakan produk dan
jasa mereka (pelanggan, pesaing dan konsumen).

6. Pesaing

Kesuksesan perusahaan biasanya tergantung pada pengetahuan karyawan tentang pesaing dan
peranan mereka dalam bisnis. Bentuk yang paling umum dari pesaing langsung. Pesaing
langsung menyediakan produk atau jasa yang sama dalam industri, seperti yang diproduksi
oleh perusahaan kita. Sebagai contoh Toyota dan Suzuki, Jatayu Air dan Adam Air adalah
pesaing langsung satu sama lain.

7. Pemerintah

Pemerintah misalnya, memiliki kekuasaan untuk memberikan perijinan.Dalam masyarakat


yang masih ditandai dengan adanya KKN yang masih kuat, bukan tidak mungkin kekuasaan
pemerintah dalam memberikan perijinan dapat mengagalkan semua rencana yang disusun oleh
perusahaan.

2.2 Budaya Organisasi, Kepatuhan, dan Manajemen Stakeholder


Budaya organisasi adalah sistem kepercayaan, nilai, dan sikap bersama yang berkembang
dalam suatu organisasi dan membimbing perilaku para anggotanya. Budaya organisasi juga dapat
didefinisikan sebagai filosofi, ideologi, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, harapan, sikap dan norma-
norma yang menyatukan suatu organisasi yang diartikulasikan dan dipraktikkan oleh para pemimpin
organisasi serta disebarluaskan oleh para karyawannya. Menurut ERC, terdapat empat elemen yang
membentuk budaya etis perusahaan yaitu (1) kepemimpinan etis, (2) penguatan pengawasan, (3)
komitmen terhadap etika, (4) penanaman nilai-nilai etika. Diiringi oleh kepemimpinan, budaya
organisasi adalah pusat dari keseluruhan efektivitas dan efisiensi operasi perusahaan.
Berdasarkan Weiss, J. (2014), budaya perusahaan tersebar melalui:
1. Nilai-nilai dan gaya kepemimpinan yang didukung dan dipraktikkan oleh para pemimpin.
2. Sosok yang dihargai dan dijunjung oleh perusahaan sebagai panutan.
3
3. Ritual dan symbol yang menjadi/merupakan nilai perusahaan.
4. Cara eksekutif dan anggota organisasi berkomunikasi baik di dalam kawasan internal maupun
kepada pemangku kepentingan.
Panutan perusahaan memberikan contoh dan memberikan arah moral melalui pengalaman-
pengalaman mereka. Panutan perusahaan adalah simbol perusahaan dan mereka mendefinisikan apa
itu sukses dan pencapaian, melestarikan nilai perusahaan, menetapkan standar keunggulan dan
memotivasi anggota perusahaan. Beberapa contoh panutan budaya perusahaan adalah Warren Buffet
di Berkshire Hathaway, Bill Gates di Microsoft, dan Steve Jobs di Apple. Sedangkan, ritual
perusahaan mencerminkan budaya dan sifat moral perusahaan. Ritual perusahaan dapat menyatukan
anggota perusahaan, menumbuhkan keterbukaan, dan memudahkan komunikasi. Hal ini akan
menurunkan stress pegawai dan mendorong perilaku moral. Contoh dari ritual perusahaan adalah
piknik, pertemuan sosial, acara penganugerahan, dan acara perusahaan lainnya. Saat pemimpin
membagikan nilai, cerita, masalah, pencapaian, dan aspirasi kepada pegawai melalui pertemuan-
pertemuan terseut, dapat mengaktifkan nilai-nilai inti dan mengarahkan perusahaan ke dalam budaya
yang menghargai sesama dan menghargai tujuan perusahaan. Budaya perusahaan yang kuat
memberikan kesempatan untuk saling peduli dan berbagi sehingga rasa kebersamaan dapat
berkembang. Individu dan tim di dalam sebuah budaya perusahaan yang etis akan memiliki kasih
sayang, toleransi dan menghargai perbedaan, kemampuan untuk memaafkan dan menerima, serta
berani melakukan hal yang benar di dalam situasi yang sulit. Dibutuhkan progam etik dan budaya
yang kuat untuk menekan tekanan dan perilaku tercela.
2.2.1 Perusahaan Beretika Tinggi
Terdapat empat prinsip yang digunakan untuk menggambarkan perusahaan beretika tinggi,
yaitu:
1. Perusahaan beretika tinggi berinteraksi dengan mudah dan nyaman dengan berbagai pihak
pemangku kepentingan internal dan eskternal perusahaan. Perusahaan menganggap bahwa
kebaikan dan keuntungan yang diterima oleh pemangku kepentingan adalah bagian dari
keuntungan perusahaan.
2. Perusahaan beretika tinggi terobsesi dengan keadilan. Perusahaan menekankan bahwa
kepentingan pemangku kepentingan sama pentingnya dengan kepentingan mereka sendiri.
3. Perusahaan yang memiliki tingkat etis yang tinggi disebabkan oleh adanya tanggung jawab
individual yang ada daripada tanggung jawab kolaboratif.
4. Perusahaan yang etis cenderung melihat aktivitas sebagai sebuah tujuan untuk sebuah cara
mengoperasikan anggota untuk dapat mencapai nilai perusahaan.

4
2.2.2 Budaya yang Lemah

Perusahaan dengan banyak rahasia, agenda tersembunyi, memiliki sistem yang


mengisolasi eksekutif perusahaan dari manajer dan pegawainya, dan lebih mementingkan
status, cenderung memiliki budaya perusahaan yang bermasalah. Budaya perusahaan yang
bermasalah dapat berkembang dan mendorong aktivitas yang tidak etis. Selain itu, perusahaan
yang berprinsip pada kompetisi yang berlebihan, profit di atas segalanya, mementingkan
keuntungan pribadi dibandingkan kepentingan stakeholder, dan tidak memiliki arah moral, juga
cenderung memiliki budaya perusahaan yang bermasalah. ERC juga menemukan bahwa risiko
etika yang parah pada perusahaan dengan budaya yang lemah adalah sebagai berikut:

1. Berbohong kepada pegawai.


2. Perilaku kasar (abusive).
3. Diskriminasi
4. Berbohong kepada pemangku
kepentingan.
5. Pelaporan jam kerja yang
salah.
6. Pelanggaran keselamatan kerja.
7. Mengutamakan kepentingan
sendiri di atas organisasi.
8. Perekrutan yang tidak tepat.
9. Pelecehan seksual.
10. Pencurian/penyediaan barang
dan jasa dengan kualitas
rendah.
11. Pencemaran lingkungan.
12. Penyalahgunaan internet.
13. Penyalahgunaan informasi
rahasia perusahaan.
14. Perubahan catatan keuangan
perusahaan.

5
2.3 Memimpin dan Mengelola Strategi dan Struktur
Apabila budaya adalah perekat yang menyatukan organisasi, maka strategi merupakan aspek yang
memetakan arahnya. Dimensi moral dari strategi juga didasarkan pada etika. Orang-orang termotivasi
untuk menerapkan strategi yang mereka yakini, dapat diterapkan, dan membuahkan hasil. Proses
penyusunan strategi melibatkan manajemen pemangku kepentingan. Strategi perusahaan didorong dan
didukung oleh anggota perusahaan, pemangku kepentingan, budaya, dan kontribusi moral kepada
komunitas.
Pemimpin perusahaan bertanggung jawab untuk mengatur perkembangan dan pengeksekusian strategi.
Strategi perusahaan mempengaruhi legalitas, moralitas, inovasi, dan kompetisi melalui beberapa aspek
berikut:
1. Mengatur keseluruhan dari kegiatan usaha.
2. Mencerminkan nilai dan prioritas manajemen.
3. Menetapkan nada transaksi bisnis di dalam perusahaan.
Dalam pendekatan manajemen pemangku kepentingan yang berbasis nilai, pengembangan strategi
dan proses implementasinya harus mencerminkan visi dan misi perusahaan. Perusahaan harus
mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi kewajiban dan hubungan pemangku kepentingan dalam
proses pengembangan strategi. Perusahaan yang bertanggung jawab harus siap untuk secara adil
memungkinkan pegawai untuk mendapatkan pengembangan kemampuan teknis, mengintegrasikan
pegawai yang menua, dan imigran. Waktu kerja yang fleksibel, program perawatan kesehatan, dan gaya
manajemen yang fleksibel harus diterapkan untuk mengelola tenaga kerja yang mulai berubah secara
bertanggung jawab.

2.3.1 Struktur Organisasi dan Etika

Selain budaya dan strategi, struktur adalah dimensi berikutnya yang berada dalam susunan
infrastruktur perusahaan. Tidak ada pedoman mutlak mengenai struktur mana yang lebih kebal atau
mengarah pada masalah etika, Namun, berdasarkan Weiss, J (2014), struktur sentralisasi dapat
menyebabkan kurangnya komunikasi, kordinasi, dan meningkatkan konflik karena setiap area
perusahaan dipisahkan oleh batasan, manajer, dan sistem masing-masing. Di sisi lain, karyawan yang
sangat diawasi di dalam perusahaan birokrasi cenderung bertindak lebih etis dibandingkan karyawan
di perusahaan dengan sistem laissez-faire karena karyawan cenderung memikirkan risiko tertangkap
akibat tingginya pengawasan. Selain itu, studi juga membuktikan bahwa struktur desentralisasi dapat
mendorong lebih banyak perilaku tidak etis di antara karyawan dibandingkan denfan struktur yang
lebih diawasai dan terkontrol. Di sisi lain, beberapa struktur yang terdesentralisasi memungkinkan
profesional yang bertanggung jawab dan etis untuk mengkomunikasikan keyakinan mereka dan
6
melaporkan kesalahan lebih cepat. Tekanan dari manajer level atas yang menekankan target
keuntungan yang tidak realistis dan memberikan kebijakan dan prosedur yang tidak jelas untuk
memandu pengambilan kepitusan etis adalah beberapa hal yang turut berkontribusi pada perilaku
tidak bermoral dalam struktur yang lebih terdesentralisasi.

2.4 Memimpin nilai pemangku kepentingan dalam organisasi

Setiap organisasi bekerja dalam kerangka sosial dengan tujuan tertentu, dan karenanya, harus
berhubungan dengan sejumlah pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan ini memiliki berbagai
kepentingan dalam organisasi, dan demikian pula organisasi juga memiliki tingkat kepentingan yang
berbeda-beda pada pemangku kepentingan yang berbeda.

Sebagian besar organisasi mementingkan pemangku kepentingannya berdasarkan jumlah


keuntungan yang diperoleh organisasi dari pemangku kepentingan masing-masing atau kewajiban
organisasi kepada pemangku kepentingan tertentu. Jadi, organisasi bisnis sangat mementingkan
pemegang saham, atau pemilik karena orang-orang ini adalah investor di perusahaan dan perusahaan
bertanggung jawab mengembalikan keuntungan kepada orang-orang ini. Di sisi lain, pelanggan juga
merupakan pemangku kepentingan yang penting bagi perusahaan bisnis karena mereka mendatangkan
pendapatan bagi perusahaan yang membantunya dalam memenuhi kewajiban dan tujuannya.

Pada kenyataannya, organisasi nirlaba memiliki jenis tujuan yang berbeda. Mereka bekerja untuk
suatu tujuan; pemangku kepentingan yang terkait langsung dengan penyebabnya merupakan pemangku
kepentingan yang paling penting. Misalnya, setiap organisasi, yang bekerja untuk pendidikan anak-anak
miskin, mendefinisikan semua anak miskin sebagai pemangku kepentingan yang penting. Para donatur
juga disebut penting karena mereka menyediakan sarana untuk mencapai tujuan organisasi.

Dari pendekatan etis, memang benar bahwa beberapa pemangku kepentingan lebih penting
daripada yang lain dalam setiap situasi praktis. Alasannya jelas sekali adalah motif organisasi. Namun,
motif organisasi mana pun harus didefinisikan dengan benar dan etis untuk menentukan kepentingan
relatif berbagai pemangku kepentingan. Meskipun ada yang lebih penting dari satu pemangku
kepentingan, pemangku kepentingan lainnya tidak boleh diabaikan. Prinsip ini diikuti oleh sangat sedikit
organisasi yang peduli untuk memikul tanggung jawab atas dampaknya terhadap banyak pemangku
kepentingan dan mementingkan hubungan dengan yang sama untuk mematuhi pedoman etika.

Dari perspektif manajemen pemangku kepentingan, adalah peran pemimpin organisasi dengan
dukungan dari masing-masing profesional untuk memastikan bahwa integritas internal didasarkan pada
jenis hubungan dan nilai yang mewujudkan kepercayaan, kolaborasi, dan tujuan yang saling
7
menguntungkan bagi para pemangku kepentingan dan pemegang saham. Untuk mewujudkan integrasi
tersebut ada 4 komponan yang harus dijalankan, yaitu:

1. Engagement and Clarity

2. Berbagi ide dan kerjasama

3. Menghargai rencana inovasi dan pelaksanaan yang cepat.

4. Keyakinan organisasi dalam dan menghormati nilai intelektual dan emosional rekan kerja

2.5 Regulasi Perusahaan dan Program Etika

Menurut ahli etika Lynn Paine dalam artikel Harvard Business Review, pendekatan berbasis nilai
dalam program etika harus lebih efektif daripada pendekatan kepatuhan berbasis aturan yang ketat, karena
pendekatan nilai didasarkan dan dimotivasi dalam tata kelola diri pribadi. Karyawan lebih mungkin
termotivasi untuk "melakukan hal yang benar" daripada diancam jika mereka melanggar hukum dan
aturan.

2.5.1 Organisasi dan Pemimpin sebagai agen moral


Karena korporasi dikategorikan sebagai warga negara dan bangsa, mereka juga memiliki hak
dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Bagaimanapun mereka adalah agen moral yang
harus mengikuti hukum, aturan, dan peraturan lokal dan nasional mereka. Ketika korporasi melanggar
suatu undang-undang, mereka juga akan dikenai sanksi dan denda, dan bahkan dapat dicabut haknya
untuk beroperasi, bergantung pada temuan peradilan. Peran pemimpin sebagai agen moral belum
cukup ditekankan sebagai salah satu bahan kunci dalam membangun dan menopang program etika.
Pemimpin organisasi yang tidak memiliki karakter moral dan keyakinan yang kuat, membuat
perusahaan mereka rentan terhadap tindakan ilegal dan tidak etis meskipun mereka adalah ahli
strategi yang brilian dan eksekutor yang baik.

2.5.2 Kode Etik

Kode etik adalah pernyataan yang mendefinisikan organisasi. Nilai yang dipegang seorang
pemimpin sekali lagi memainkan peran yang signifikan dalam membentuk nilai-nilai organisasi
tempat mereka mengabdi. Tujuan penetapan kode etik yaitu sebagai berikut:

1. Menyatakan nilai-nilai dan keyakinan dominan para pemimpin perusahaan, yaitu fondasi budaya
perusahaan.
2. Mendefinisikan identitas moral perusahaan di dalam dan di luar perusahaan.
8
3. Untuk suasana atau corak lingkungan kerja.

Beberapa hal yang diatur dalam kode etik sebagai berikut:

1. Jaminan dan Integritas Keuangan 9. Pelecehan


2. E-mail yang Sah dan Efektif 10. Insider Trading
3. Anti pencucian Uang 11. Pencatatan & Penghancuran data perusahaan
4. Kekayaan intelektual 12. Praktik Bisnis Ilegal
5. Konflik kepentingan 13. Administrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
6. Informasi keamanan 14. Hadiah & Gratifikasi
7. Kesehatan dan Keamanan 15. Pedoman anti monopoli
8. Kekerasan di Tempat Kerja 16. Keberagaman

2.5.3 Permasalahan kode etik

Permasalahan kode etik perusahaan secara umum adalah sebagai berikut:

1. Kebanyakan kode etik terlalu kabur untuk menjadi bermakna; artinya, kode etik tidak
menginformasikan karyawan tentang bagaimana memprioritaskan kepentingan yang saling
bertentangan dari distributor, pelanggan, dan perusahaan. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan
"warga negara yang baik" dalam praktiknya?
2. Kode tidak memprioritaskan kepercayaan, nilai, dan norma. Haruskah laba selalu menggantikan
perhatian terhadap pelanggan atau karyawan?
3. Tidak semua karyawan diberi tahu tentang kode etik.
4. Kode etik tidak diberlakukan di perusahaan.

2.5.4 Program Ombuds dan Peer Review

• Program Ombuds dan peer review adalah metode tambahan yang digunakan perusahaan untuk
mengelola aspek hukum dan moral dari kegiatan yang berpotensi bermasalah di tempat kerja.
Pendekatan ombuds menyediakan cara bagi karyawan agar keluhan mereka didengar, ditinjau,
dan diselesaikan. Pihak ombuds, dengan persetujuan karyawan, dapat menemui manajer
karyawan tersebut untuk membahas keluhan tersebut. Ombudsman dapat melanjutkan melalui
rantai komando, sampai ke presiden perusahaan, jika masalah tersebut belum diselesaikan secara
memuaskan bagi karyawan tersebut. Para Ombudsman tidak memiliki kekuatan sendiri untuk
menyelesaikan perselisihan atau mengesampingkan keputusan manajer. Keluhan biasanya terkait
pada perselisihan gaji, penilaian kinerja pekerjaan, PHK, tunjangan, dan mobilitas pekerjaan.

9
Masalah dengan pendekatan ombuds adalah para manajer mungkin merasa otoritas mereka
terancam. Karyawan yang mencari ombudsman juga mungkin khawatir jika manajer mereka
membalas mereka karena takut atau dendam. Kerahasiaan juga harus diperhatikan dari pihak
ombudsman. Ombudsman sama efektifnya dengan dukungan dari para pemangku kepentingan
terhadap program tersebut. Keberhasilan seorang ombudsman diukur dari kepercayaan,
keyakinan, dan kerahasiaan yang dapat ia ciptakan dan pertahankan dengan para pemangku
kepentingan. Terakhir, keefektifan ombudsman bergantung pada penerimaan oleh manajer dan
karyawan dari solusi yang diadopsi untuk menyelesaikan masalah.
• Program peer review telah digunakan oleh lebih dari 100 perusahaan besar untuk memungkinkan
karyawan mengungkapkan dan menyelesaikan keluhan, sehingga menghilangkan stres yang dapat
berujung pada aktivitas amoral. Karyawan awalnya menggunakan rantai komando setiap kali ada
masalah. Jika supervisor atau eksekutif tidak menyelesaikan masalah, karyawan tersebut dapat
meminta panel peer review untuk membantu menemukan solusi. Dua pekerja yang dipilih secara
acak dalam klasifikasi pekerjaan yang sama dipilih untuk panel bersama dengan seorang
eksekutif dari unit kerja lain. Pemilihan tersebut harus ditinjau kembali dengan mengacu pada
kebijakan perusahaan. Program peer review bekerja ketika manajemen puncak mendukung
prosedur proses hukum tersebut dan ketika mekanisme ini dianggap sebagai program jangka
panjang dan permanen.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Stakeholder merupakan sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan
maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan.

2. Budaya organisasi, kepatuhan dan manajemen stakeholder hrus adanya sistem kepercayaan, nilai, dan
sikap bersama yang berkembang dalam suatu organisasi dan membimbing perilaku para anggotanya
dan perusahaan juga harus memiliki etika yang tinggi agar dapat berintegrasi dengan mudah dan
nyaman dengan pemangku kepentingan lainnya.
3. Pemimpin sebagai agen yang moral harus mengikuti hukum, aturan, dan peraturan lokal dan nasional
mereka dan pemimpin juga merupakan salah satu kunci dalam membangun dan menopang program
etika.

11
Contoh Kasus

1. Usaha Perbaikan Manajemen PT. ABC atas kasus kebakaran lahan

PT ABC merupakan perusahaan yang bergerak dibidang industry kehutanan dan maufaktur yang
menggasilkan kertas dan pulp (bubur kertas) terbesar di Indonesia. Dalam perjalanan operasional
perusahaan PT ABC mendapatkan beberapa permasalahan yang berasal dari sisi lingkungan, salah
satunya adalah Peristiwa kasus asap di Riau yang terjadi pada tahun 2015. Pada saat itu
beberapaperusahan yang beroperasi pada daerah tersebut termasuk PT ABCC dianggap sebagai salah satu
penyebab kebakaran lahan yang menyebabkan terjadinya asap yang tersebar di beberapa wilayah Pulau
Sumatera dan bahkan sampai ke Negara tetangga seperti singapura. Hal ini berdampak negative yang
signifikan kepada perusahaan. Kerugian akibat kasus asap di Riau yang diterima oleh manajemen PT
ABC terlihat secara materil dan non materil. Kerugian non materil dialami oleh manajemen perusahaan
karena mereka harus berurusan dengan hokum karena dianggap bertanggung jawab langsung terhadap
kebakaran lahan yang menyebabkan asap tersebut. stakeholder manajemen dianggap sangat penting bagi
PT ABC dikarenakan masing-masing stakeholder memiliki kepentingan yang berbeda-beda bahkan
berlawanan satu sama lain. Berdasarkan wawancara dengan manajer PT ABC terkait kebakaran hutandi
Riau PT ABC mengakui bahwa memnag terjadi kebakaran hutan di lahan daerah operasional mereka.
Pada saat itu stakeholder yang paling dirugikan ialah karyawan yang berada di daerah operasional PT
ABC. Hal ini dikarenakan karyawan berusaha memadamkan api secara terus menerus. Dinyatakan bahwa
kebakaran ini berdampak pada jam kerja mereka yang menjadi semkin panjang di mana mereka harus
tetap dilokasi kebakaran selama 2 minggu untuk memastikan bahwa api sudah benar-benar padam.
Setelah peristiwa ini terjadi PT ABC melakukan perubahan yang sangat mendasar dalam mencegah
kebakaran tersebut terulang kembali. Perubahanpertama ialah kebijakan perusahaan terkait kinerja
karyawannya ialah zero fire policy di mana kinerja mereka dalam penangan kebakaran telah dimasukan
ke dalam KPI (key performance index) sehingga apabila manajer dan karyawan dianggap lalai dalam
penanganan kebakaran maka, mereka akan mendapatkan hukumman seperti pengenaan denda. Perubhan
kedu ialah perusahaan mulai mengeluarkan investasi berskala bernilai USD 200 juta dalam melakukan
upaya pencegahan kebakaran seperti pembelian alat-alat pemadam kebakaran yang paling mutakhir,
pelatihan karyawan mengenai manajemen penanggulangan kebakaran oleh trainer ahli pemadam
kebakaran terbaik, serta perbaikan metode manajemen kebakaran semua lini.

12
2. Pelanggaran Hak Karyawan oleh Gucci di Shenzen, China

Keluhan karyawan pada tanggal 8 Oktober 2011, sebuah surat terbuka — “Surat Publik
kepada Manajemen Puncak Gucci dari Mantan Karyawan yang mengundurkan diri” secara
kolektif tersebar di Internet. Surat ini ditulis oleh lima mantan karyawan Gucci di Shenzhen,
China . Dalam surat tersebut, mereka menyatakan bahwa karyawan terkena penyakit akibat jam
kerja yang berlebihan dan tidak ada kompensasi atas kesulitan tersebut. Selain itu, mereka
menyatakan adanya pembatasan yang berlebihan terhadap perilaku karyawan, termasuk
keharusan meminta izin sebelum karyawan ingin mengkonsumsi minuman atau makanan ringan,
dan pembatasan waktu toilet yang ketat. Mereka juga menyatakan bahwa, meskipun pembatasan
diterapkan secara ketat untuk semua karyawan, termasuk yang sedang hamil, pembatasan
tersebut tidak berlaku untuk manajer. Surat tersebut juga menyatakan bahwa karyawan harus
membayar ganti rugi untuk setiap produk yang dicuri atau hilang, padahal produk mewah
tersebut sudah diasuransikan. Mereka juga mengkritik kebijakan pertukaran barang Gucci yang
tampaknya sewenang-wenang dan bergantung pada suasana hati manajer. Secara keseluruhan,
mereka menuduh Gucci kurang sistematis dan manajemen manusiawi dan mengeluh bahwa hak
dan martabat mereka dilanggar.

Setelah diungkapkan secara online, laporan ini memicu diskusi luas di kalangan
pengguna Internet. Informasi lebih lanjut muncul, menunjukkan bahwa kasus tersebut juga
melibatkan pemalsuan catatan tentang jam kerja, dan penerapan kerja lembur paksa dan tidak
dibayar. Gucci menerapkan sistem kerja satu hari penuh, dilanjutkan dengan hari libur. Secara
resmi, 1 hari kerja sekitar 10 jam. Namun para pekerja mengeluhkan bahwa, pada hari kerja
mereka, mereka diharuskan untuk mengscan jari atau mengscan id mereka tanda jam kerja telah
selesai untuk membuat catatan elektronik palsu padahal mereka tetap lanjut bekerja, menghitung
barang hingga pukul dua atau tiga pagi tanpa kompensasi.

Beberapa netizen menyebut Gucci sebagai "sweatshop". (sebuah pabrik atau bengkel,
terutama di industri pakaian, di mana pekerja dipekerjakan dengan upah sangat rendah untuk jam
kerja yang panjang dan dalam kondisi yang buruk). Banyak yang berpendapat bahwa praktik
manajemen tenaga kerja beberapa perusahaan multinasional dan pemilik merek tidak sesuai
13
dengan status internasional mereka. Beberapa hari kemudian, markas besar Gucci di China
mengeluarkan pernyataan, yang mengatakan bahwa "Gucci tidak dan tidak akan mendukung atau
menoleransi dugaan malpraktek." Gucci juga menyatakan bahwa perusahaan telah melakukan
penyelidikan menyeluruh dan telah menerapkan serangkaian tindakan, termasuk penggantian
manajer toko dan asisten manajer toko. Sementara itu, Biro Sumber Daya Manusia di
Departemen Hukum Distrik Luohu Shenzhen mengatakan mereka akan menyelidiki kasus ini
lebih lanjut. Pada 26 Oktober 2011, Gucci dan mantan karyawannya akhirnya tiba di
penyelesaian sehubungan dengan Federasi Serikat Buruh Shenzhen.

Cara Gucci dalam menggunakan mekanisme dispatch


Dispatch adalah model manajemen tenaga kerja yang memisahkan perekrutan dari
aktivitas bisnis mereka. Perusahaan leasing karyawan memiliki kontrak kerja dengan pekerja,
dan mereka mengirim pekerja ke perusahaan lain tempat pekerja tersebut benar-benar bekerja.
Hubungan kontrak kerja ada antara perusahaan leasing karyawan dan pekerja yang
diberangkatkan, namun hubungan kerja yang sebenarnya adalah antara pekerja dan perusahaan
tempat mereka bekerja. Hubungan di bawah sistem pengiriman digambarkan pada Gambar 1

Bentuk ketenagakerjaan ini, perusahaan yang benar-benar “memanfaatkan” para pekerja


tersebut hanya bertanggung jawab untuk membayar upah, sedangkan aspek lainnya, termasuk
jaminan sosial dan kompensasi pemecatan diteruskan kepada perusahaan leasing karyawan.
Pengaturan pengiriman tenaga kerja berfungsi untuk mengurangi biaya dan kontrak perusahaan
pengguna tanggung jawab untuk karyawan tersebut. Mereka dapat mengeluarkan biaya pelatihan
yang lebih rendah dan tidak diharuskan membuat pengaturan jaminan sosial. Model kerja ini
banyak digunakan di Cina. Toko Gucci di Shenzhen sebenarnya mengadopsi sistem pengiriman
yang lebih kompleks, yang melibatkan setidaknya tiga perusahaan leasing karyawan yang
berlokasi di Shanghai.

Pertimbangan hukum
Meskipun sistem dispatch telah secara resmi diadopsi sebagai aturan pekerjaan sementara saja,
Gucci menggunakan sistem tersebut untuk mempekerjakan orang untuk jangka waktu lebih dari
2 tahun. Disisi lain, banyak karyawan toko Gucci adalah wanita dan karyawan hamil. Menurut
14
"Undang-Undang Kontrak Tenaga Kerja", pekerja wanita selama kehamilan mereka tidak boleh
berpartisipasi dalam pekerjaan intensif fisik. Bagi pekerja perempuan yang hamil lebih dari 7
bulan, tidak boleh ada kerja lembur, dan tidak diwajibkan untuk mengikuti shift malam. Selain
itu, merupakan persyaratan hukum bahwa waktu istirahat yang cukup harus diatur untuk
karyawan tersebut.

Solusi yang dapat diambil:

1. Tindakan oleh Gucci:


Mengembangkan dan menerapkan kode etik yang komprehensif tentang standar
etika. Kode etik ini harus berlaku untuk semua cabang dan toko di negara maju dan
berkembang (Beschorner dan Müller 2007). Berdasarkan informasi diidentifikasi dalam
literatur tentang etika manajemen ketenagakerjaan internasional, kode etik ini dapat
mencakup hal-hal berikut ini: penggunaan kontrak kerja tertulis dengan semua pekerja,
menghindari penyalahgunaan dispatch (sistem pengiriman tenaga kerja), pembayaran
yang setara untuk pekerjaan dengan nilai yang sama, pelarangan kerja wajib namun
tidak dibayar, kepatuhan terhadap undang-undang dan peraturan tentang jam kerja,
ketentuan upah dan tunjangan tidak di bawah persyaratan hukum minimum, anti
diskriminasi, anti harassment, anti pelecehan, dan penghormatan terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja.
Selain itu, pembentukan sistem manajemen yang bertanggung jawab secara sosial
harus mencakup pernyataan tujuan dan target tanggung jawab sosial, bersama dengan
sumber daya manusia dan keuangan yang memadai untuk memastikan bahwa objek dan
target ini dikomunikasikan dengan jelas, bahwa sistem diterapkan secara memadai, dan
bahwa ada adalah mekanisme untuk memantau dan mengaudit sistem secara teratur dan
untuk tindakan korektif jika terjadi kekurangan.
Meskipun implementasi kode etik di lapangan akan sulit namun kantor pusat
Gucci, Italia, harus mendesak dan mendorong cabangnya di China untuk mematuhi
standar etika yang diperlukan di China dan setiap negara lainnya. Dorongan harus kuat,
karena manajemen di China mungkin mencari alasan dan mengklaim bahwa akan ada
biaya finansial yang berlebihan, atau bahwa kode tersebut mungkin sulit diterapkan
15
karena hambatan budaya. Kantor pusat dapat mengatur audit oleh pihak ketiga yang
independen, seperti LSM. Jika tidak, penegakannya mungkin lemah atau tidak ada sama
sekali.

16

Anda mungkin juga menyukai