Anda di halaman 1dari 126

JURNAL

PSIKOLOGI
HIMPSI INDONESIA
ISSN: 0853-3098 2017, Juni, Vol XII, No 1, h. 1-117

• CONTRIBUTING FACTORS TO PORNOGRAPHY DISTRESS IN PORNOGRAPHY


USERS’ WIVES (h. 1-18)
Inez Kristanti and Dinastuti
Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia

• ‘AKTIF’ TEACHER TRAINING PROGRAM TO INCREASE TEACHERS’ SELF


EFFICACY IN TEACHING CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS (h. 19-30)
Amitya Kumara, Dian Mufitasari, Krysna Yudy Nusantari, and Iga Serpianing Aroma
Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

• EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY UNTUK DEWASA MUDA


DENGAN ACROPHOBIA (h. 31- 40)
Garvin
Universitas Bunda Mulia
Monty Satiadarma dan Denrich Suryadi
Universitas Tarumanagara

• EMOSI POSITIF PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN


SPEKTRUM AUTIS (h. 41- 62)
Nurussakinah Daulay
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

• BENARKAH UKURAN SAMPEL MINIMAL = 30 ? (h. 63-84)


Agung Santoso
Universitas Sanata Dharma

• PRAKTEK KESELAMATAN KERJA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG


KARYAWAN (h. 85-104)
Raden Siti Ayunda Nurita dan Rayini Dahesihsari
Magister Psikologi Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

• ART THERAPY BERBASIS CBT UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS ANAK


KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (h. 105-117)
Yustisia Anugrah Septiani dan Maria Goretti Adiyanti
Universitas Gadjah Mada
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab


Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia

Ketua Dewan Redaksi


Dr. Tjipto Susana, M.Si., Psikolog

Sekretaris Dewan Redaksi


Juneman Abraham, S.Psi., M.Si.

Anggota Dewan Redaksi


Prof. Dr. Faturochman, M.A.
Prof. A Supratiknya, Ph.D., Psikolog
Dr. Moordiningsih, M.Si., Psikolog
J. Seno Aditya Utama, S.Psi., M.Si.
Mitra Bestari
FENDY SUHARIADI
HERA LESTARI
Penerbit
Himpunan Psikologi Indonesia

Alamat Redaksi
Sekretariat Himpunan Psikologi Indonesia
Jl. Kebayoran Baru No. 85 B, Kebayoran Lama, Velbak
Jakarta 12240
Telp/Fax: 021-72801625
Situs web: http://jurnal.himpsi.or.id ;
https://independentscholar.academia.edu/JurnalPsikologiIndonesia
Surat elektronik: jpi_himpsi@yahoo.com
Media Sosial: http://twitter.com/himpsipusat ; http://instagram.com/himpsipusat
http://facebook.com/himpsi H

Jurnal Psikologi Indonesia terbit dua kali dalam setahun, pada bulan Juni dan Desember. Redaksi
menerima tulisan berupa laporan hasil penelitian dalam bidang psikologi yang dilakukan oleh para ahli atau
pemerhati psikologi. Tulisan dikirimkan dalam bentuk soft copy (DOC/DOCX) melalui surat elektronik.
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
PORNOGRAPHY DISTRESS
2017, Vol. XII, No. 1, 1-18, ISSN. 0853-3098 1

CONTRIBUTING FACTORS TO
PORNOGRAPHY DISTRESS IN
PORNOGRAPHY USERS’ WIVES
(FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
PORNOGRAPHY DISTRESS PADA ISTRI
PENGGUNA PORNOGRAFI)
Inez Kristanti and Dinastuti
Faculty of Psychology, Atma Jaya Catholic University of Indonesia

Some women react negatively to their husbands’ habit of using pornographic materials and this reaction is
called pornography distress which can potentially bring damage to a marriage such as lowering the quality of
sexual activities and marital satisfaction. To help solve the issue, the differentiating factors between women
who experienced pornography distress and those who did not were identified. Seven contributing factors to
pornography distress were proposed: perceived frequency of husband’s pornography use, the duration of
knowledge about husband’s pornography use, the way of knowing about husband’s pornography use, attitude
towards pornography use, and exposure to sexual content from the media, religious salience, and
differentiation of self. This research aimed to discuss factors that significantly contribute to pornography
distress. Data from 161 women who are married to pornography users were obtained through accidental
sampling. All participants were currently residing in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, or Bekasi. Multiple
linear regression analysis found four significant contributing factors: the way the subjects found out about their
husbands’ pornography use, attitude towards pornography, religious salience, and differentiation of self.
Results showed that contributing factors to pornography distress came from various sources. Each spouse
should work together to achieve some sort of agreement and understanding to solve pornography distress
issues. Several suggestions regarding the issue are discussed.

Keywords: marriage, pornography, pornography distress, sexuality, wives

Sebagian perempuan menunjukkan reaksi negatif terhadap kebiasaan suami menggunakan pornografi.
Reaksi ini disebut sebagai pornography distress. Pornography distress dapat mendatangkan dampak buruk
dalam pernikahan, misalnya menurunkan kualitas hubungan seksual dan kepuasan pernikahan. Untungnya,
tidak semua perempuan menunjukkan tanda-tanda pornography distress. Untuk membantu penyelesaian
masalah ini, faktor yang membedakan antara perempuan yang mengalami dan tidak mengalami pornography
distress perlu diidentifikasi. Terdapat tujuh faktor yang diduga berkontribusi terhadap pornography distress;
persepsi tentang frekuensi penggunaan pornografi suami, lama mengetahui penggunaan pornografi suami,
cara mengetahui penggunaan pornografi suami, sikap terhadap pornografi secara umum, keterapaparan
terhadap konten seksual dalam media, religious salience, dan diferensiasi diri. Penelitian ini bertujuan untuk
menemukan faktor-faktor yang berkontribusi secara signifikan terhadap pornography distress. Data dari 161
istri pengguna pornografi diperoleh dengan accidental sampling. Semua partisipan tinggal di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, atau Bekasi pada saat pengambilan data. Analisis menggunakan multiple linear
regression menunjukkan adanya empat faktor yang berkontribusi secara sgnifikan: cara mengetahui
penggunaan pornografi suami, sikap terhadap pornografi, religious salience, dan diferensiasi diri. Hasil

1
2 KRISTANTI & DINASTUTI

penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berkontribusi terhadap pornography distress datang dari
sumber yang beragam. Oleh karena itu, masing-masing pihak dalam pernikahan perlu bekerjasama untuk
memperoleh kesepakatan dan pemahaman satu sama lain yang dapat menyelesaikan masalah pornography
distress. Beberapa langkah praktis akan didiskusikan dalam artikel ini.

Kata kunci: pernikahan, pornography, pornography distress, seksualitas, istri

Pornography is “any sexually oriented partners while women tend to use it to


material that is created simply for the elevate sexual pleasure before having
purpose of arousing viewer” (Carroll, 2010). sexual intercourse. These findings are
Pornography materials are easily accessed consistent with Hald (as cited in Carroll,
from almost all kinds of media-internet, in 2010) and Strager (2003) that most of men
particular (Copper et al., as cited in Stewart use pornography to achieve sexual
& Szymanski, 2012; P.M. Markey & pleasure, by masturbating.
Markey, 2012). It is hard to tell the exact The primary purpose of men’s
number of pornography users in Indonesia, pornography use as sexual gratification
however most people agree that this leads to further question about how the
country shows high usage of pornography usage might psychologically affect their
materials, occupying first to fifth rank in the wives. There has not been a single study
world (“Kominfo sebut”, 2012; Olivia, 2013; that addresses this issue in the context of
Pitoyo, 2012; Suryanto, 2009). marriage; however, there are at least two
Research on pornography in Indonesia United States studies (Bergner & Bridges,
is largely emphasized on teenage 2002; Bridges, Bergner, & Hesson-McInnis,
population (Ramadhan, 2013; Roviana, 2003) that question the impact of men’s
2011; “Sebagian besar”, 2013), when there pornography use towards women who are
are plenty of married individuals actively involved with them romantically. The first
seeking pleasure from pornography study conducted by analyzing online
materials. A pilot study conducted to 98 messages written by 100 women in four
married individuals in Jabodetabek (an internet message boards about their
acronym referring to five big cities in West partners’ heavy pornography usage
Java: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, (Bergner & Bridges, 2002). This study
Bekasi) shows that 81.63% of them uses concluded that men’s pornography use can
pornography. Thirty percent of them uses potentially alter their partners’ view about
pornography once to seven times a week. themselves: they tend to view themselves
Large proportion (83.33%) of married more negatively; they tend to feel less
women admit the tendency to use worthy or attractive, they tend to feel weak
pornography with their partners while more and stupid because their male partners
men (56.82%) prefer to do it alone. Men have treated them inappropriately. These
tend to use pornography as a mean to negative conceptions are not only
achieve sexual pleasure without their developed towards themselves, but also
PORNOGRAPHY DISTRESS 3

their partners. They tend to view their (Bridges et al., 2003). In general, this group
partners as perverts or sex addicts. Men’s of women showed neutral to positive
pornography use might also affect their reactions towards their partners’
partners’ view on their relationships. pornography use. This same kind of
Women in these relationships tend to feel variation was also found to the
betrayed, as if their partners have Jabodetabek pilot study (conducted by the
“cheated”. Bridges, et al. (2003) summed authors). Sixteen percent out of 33 women
up these negative responses with one term: also supported their husbands’
pornography distress, or negative pornography use, 63.16% of them had
experience/condition that is felt by an neutral attitude, while only 21.05% if them
individual as a response to her partner’s felt surprised or uncomfortable.
pornography use. The presence of these women who
These findings by Bergner and Bridges shows more positive reactions towards
(2002) serve as empirical evidence that their husbands’ pornography use may
women might be significantly affected by serve as the key to solve pornography
their partners’ pornography use. distress problems. The next critical step is
Meanwhile, men’s pornography use is to identify factors that differentiate between
proved to correlate significantly with the women who experience pornography
overall relationship satisfaction (Poulsen, distress and those who do not. In
Busby, & Galovan, 2013). Moreover, a identifying these differentiation factors, we
survey by American Academy of took account both empirical and theoretical
Matrimonial Lawyers in Chicago (as cited in supporting evidence from several
Manning, 2006) shows that 56% of divorce perspectives. Based on extensive review of
cases in 2002 involved internet literatures which focus on how pornography
pornography usage issue by one of the impacts marriage, we found seven factors
spouses. The presence of this long-term which have been proven empirically to be
effect makes pornography distress as an related to pornography distress, or, at least
issue that needs to be addressed. One have been expected to be theoretically
thing to keep in mind is that not all women related (Bergner & Bridges, 2002; Bridges
who are married to pornography users et al., 2003; Cavaglion & Rashty, 2010;
actually experience pornography distress. Ford, Durtschi, & Franklin, 2012; W. Maltz
Bergner and Bridges (2002) acknowledged & Maltz, 2009; Ogas & Gaddam, 2011;
that the data that they gathered for their Schneider, Weiss, & Samenow, 2012;
first study was obtained from a highly Sessoms, 2011; Stewart & Szymanski,
distressed population (women who 2012; Ward & Friedman, 2006; Zitzman &
deliberately complained and sought help Butler, 2009). These seven factors are: (1)
regarding their partners’ pornography use). perceived frequency of pornography use,
They then conducted a quantitative study to (2) the duration of knowledge about
100 women who were involved in romantic pornography use, (3) the way of knowing
relationships with pornography users about husband’s pornography use, (4)
4 KRISTANTI & DINASTUTI

attitude towards pornography use, (5) literature that specifically addresses this
exposure to sexual content from the media, issue, however, from case descriptions
(6) religious salience, and (7) differentiation found in Ford, Durtschi, and Franklin (2012)
of self. Their relations to pornography and Ogas and Gaddam (2011) we can
distress will be discussed below. conclude that the reaction of distressed as
The inclusion of first factor (perceived feelings of being cheated or sense of
frequency of pornography use) was worthlessness tended to be found in
supported by Bridges et al.’s (2003) study, women who discover their partners’
which concluded that perceived frequency pornography use by catching their partners
of husbands’ pornography use was on their acts or finding the evidence of their
positively correlated with pornography usage (such as internet histories or
distress. Husbands’ frequency of VCD/DVD materials). Meanwhile, we have
pornography use-as reported by their not found any distress with the same level
wives-was negatively correlated with of intensity on women whose husbands
relationship quality, sexual satisfaction, and honestly disclosed their pornography habit.
self-esteem (Stewart & Szymansky, 2012). This pattern of response would seem
The second factor (duration of logical as study successfully concluded that
knowledge about pornography use) were some women felt that the heart of the
supported by findings that women showed problem did not lie on the usage per se, but
fluctuated responses towards their on the dishonesty and deceit performed by
partners’ pornography use from time to their partners (Zitzman & Butler, 2009).
time (Cavaglion & Rashty, 2010; These findings set a good foundation to
Schneider, Weiss, & Samenow, 2012; include the third factor (the way of knowing
Zitzman & Butler, 2009). W. Maltz and about husband’s pornography use) into our
Maltz (2009) discussed several stages that hypothesis.
women experiences during their discovery Fourth, Bergner and Bridges (2002)
of partners’ pornography use. They found women who experienced
explained that women in general would feel pornography distress developed a more
surprised and hurt right after the discovery negative view towards their partners as
of partners’ pornography use. However, individuals, such as seeing their partners
over time they would be expected to show as perverts or degraded in terms of
a more accepting attitude towards this sexuality. This finding raised further
situation. question: “are those negative conceptions
Third, feelings of surprise and hurt emerged simply because it was their
might not be experienced universally by all partners who used the pornography
women in this situation. We suspected that materials or these women had actually
how women responding to their partners’ possessed those negative attitudes,
pornography use would be partially regardless of the subjects who were using
determined by how they discover the the materials?” The logic was to suspect
usage. There has not been found a single that if women have been indeed holding
PORNOGRAPHY DISTRESS 5

negative attitudes towards pornography showed that there was negative correlation
usage in general, it would be more likely for between religiosity and individual
them to show high pornography distress acceptance to pornography materials
when their partners were also users. (Carroll; Woodrum; Lambe; Nelson et al.,
Therefore, it was reasonable to suspect as cited in Sessoms, 2011). It is probably
that women’s general attitude to safe as well to expect that the higher
pornography use also served as religious salience, the harder it is for her to
determinant for their pornography distress. accept if one of their significant others (e.g.
Fifth, it is also important to address that spouse) is actively involved in pornography.
pornography was never a sole provider of Hypothetically, it is logical enough to expect
sexual contents, as people may also find that this acceptance difficult might result in
them in other forms of media, such as high pornography distress.
movies, TV series, music videos, or Last, a focus to individual internal factor
internet. While all kinds of information from might also beneficial in determining the
media have strong influence to individual’s contributing factors to pornography
opinions and beliefs, sexual content seen distress. In this regard, the authors
from media is also potential to alter proposed differentiation of self-the degree
individual opinions and beliefs regarding to which one is able to balance (a)
sexual matter. Moreover, Ward and emotional and intellectual functioning and
Friedman (2006) also found that the habit (b) intimacy and autonomy in relationships
of viewing sexual content from television as another possible contributing factor.
had significant and positive correlation with Highly differentiated individual is able to
individual support towards recreational regulate her emotion under stressful
sexual behavior, including pornography. situation. In contrast, a poorly differentiated
Therefore, women who are exposed daily person tends to experience more difficulties
to sexual content from numbers of media to remain calm in response to the
are expected to show less rejection emotionality of others and tends to be
towards husbands’ pornography habit. In easily affected by their close ones’
the other words, it is less likely that those behavior. The authors argue that these
women would experience pornography tendencies might serve as one possible
distress compared to their counterparts. explanation underlying pornography
Therefore, it was safe to conclude that fifth distressed individuals’ behavior.
factor (exposure to sexual content from the The purpose of this study is to examine
media) might contribute to women’s whether those seven factors-as a whole-
experience of pornography distress. contribute to pornography distress. If those
Sixth, the authors would also like to seven factors together had shown
raise a religious factor as a contributor to significant contribution, it would be
pornography distress. Pornography is examined further which factors that show
usually seen as something that goes significant contribution individually.
against religious values. Several studies The importance of this study lay
6 KRISTANTI & DINASTUTI

primarily on the significance of pornography distress.


distress issue in marital context, while at R1: Which factors among the seven
the same time there had not been a single proposed contribute individually to
study intending to address this issue in pornography distress?
Indonesia. Despite of the low number of
women admitting their disapproval towards Methods
their husbands’ pornography use in the
pilot study, almost half of them (42.42%)
Participants
further admitted that they intend to
Participants were 161 Indonesian
eliminate or at least alleviate the usage.
women who met the following criteria: (1)
This slight inconsistency between the two
married; (2) were aware of their husbands’
data might be mediated by the nature of
pornography use; (3) resided in Greater
collectivistic culture in Indonesia which
Jakarta which include Jakarta, Bogor,
shows less favor on the expression of
Depok, Tangerang, or Bekasi. There was
negative emotions (Eisenberg, Pidada, &
no age limitation for participation as one of
Liew, 2001; Markus & Kitayama, 1991;
most important part of this study is the
Oyserman, 1993). It is highly possible that
variation of its subjects (participants aged
women who showed support or ignorance
from 19-57 years). Mean age of
towards their husbands’ pornography use
participants was 35.81 years (SD = 9.77).
might secretly feel the negative emotion or
City of residence were check against the
pornography distress. It is important to take
estimated population of married women
this possibility into account as an indication
living in Jabodetabek (estimated through
that the pornography distress problem in
the number of household within the five
Jabodetabek might be more serious than it
areas; Badan Pusat Statistik Jawa Barat,
looks on the raw data. This study then
2010; Badan Pusat Statistik Kota Depok,
might become the first ever culturally
2010; Badan Pusat Statistik Kota
sensitive reference for treating the problem
Tangerang, 2011; “Provinsi DKI”, 2010).
and anticipating its negative consequences
Participants were found to be
in marital context.
representative in terms of domicile.
Based on the above, this research
aimed to test one hypothesis and answer
Procedure
one question: H1: Perceived frequency of
Online and hard copy questionnaires
husband’s pornography use, the duration of
were administered to 565 married women
knowledge about husband’s pornography
living in Jabodetabek with the help from 8
use, the way of knowing about husband’s
enumerators (second year students of
pornography use, attitude towards
psychology undergraduate program in
pornography use, exposure to sexual
Atma Jaya Catholic University of
content from the media, religious salience,
Indonesia). 167 out of the 565 did not
and differentiation of self, contributed
manage to finish all the questions and 237
together and significantly to pornography
did not aware of their husbands’
PORNOGRAPHY DISTRESS 7

pornography use. Complete responses how often does your husband use
were obtained from 161 eligible pornography?” with the following options: 1)
participants. less than once a month; 2) two to four
times a month; 3) one to two times a week;
Measures 4) three to five times a week; 5) once a
The instrument consisted of 120 items day; 6) several times a day.
and was divided into seven parts. Part one Duration of knowledge about
consisted of a short instruction and items husband’s pornography use. This
related to socio-demographic variable was measured by asking
characteristics (age, sex, city of residence, participants with the following question:
education, religion, ethnicity, economic “How long have you known about your
status, occupation, marriage status, age of husband’s pornography use? (please give
spouse, and age of marriage). To preserve your best estimate)” Participants were
confidentiality, participants were allowed to asked to respond in year and month (___
provide initials instead of their real names. year(s) and ___ month(s)).
To avoid misinterpretation, participants The way of knowing about
were informed about the definition of husband’s pornography use. This
pornography use: the act of seeing, variable was measured by asking
reading, or hearing pornographic materials participants with the following question:
(e.g. pictures, sketches, illustrations, “How did you first find out about your
photos, narrations, sounds, moving images, husband’s pornography use?” with the
animations, conversations) with the following options: 1) had been asked by
purpose of obtaining sexual pleasure. Any husband to join his pornography use; 2)
kinds of sexual contact with real persons had been told by husband about his
are not considered as pornography here. pornography use; 3) had found proof of his
Part two, three, four, five, and six consisted pornography use; 4) had caught him in his
items to measure our research variable: pornography using act; 5) others (please
Pornography distress: Pornography specify).
Distress Scale-Short Form (32-PDS). 32- Exposure to sexual content from the
PDS was constructed by Bridges et al. media. This variable was measured by a
(2003) measuring the extent of negative method of measuring exposure to a specific
feelings experienced by women as the content from media introduced by Bleakley,
response to their partners’ pornography Fishbein, Hennessy, Jordan, Chernin, and
use. This measure was adapted to Stevens (2008), with slight adjustment to fit
Indonesian version for the purpose of this this research context. First, participants
study (Cronbach’s alpha= .96). were asked to mention three television
Perceived frequency of husbands’ shows, three internet sites, three
pornography use. This variable was newspapers or magazines, and three music
measured by asking participants with the artists that they watch, access, read, or
following question: “To your knowledge, listen to the most. They then were asked to
8 KRISTANTI & DINASTUTI

rate: 1) the frequency of their consumption (1998) measuring the degree to which one
to those media from the last 12 months is able to balance (a) emotional and
(from the scale of 1 to 4; 1 = “rarely”; 2 = intellectual functioning and (b) intimacy and
“sometimes”; 3 = most of the time”; 4 = autonomy in relationships (Bowen, as cited
“always”); 2) the intensity of sexual content in Skowron & Friedlander, 1998). This
involved in those media (from the scale of 1 measure originally consists of four
to 4: 1 = “no sexual content”; 2 = “a little subscales (Skowron & Friedlander, 1998):
sexual content”; 3 = “some sexual content”; Emotional Reactivity (ER; “the degree to
4 = “a lot of sexual content”). Because the which a person responds to environmental
scale of 1 refers to no sexual content at all, stimuli with emotional flooding”, I Position
for analytical purpose the intensity of (IP; “reflects a clearly defined sense of self
sexual content scale of 1 to 4 would be and the ability to thoughtfully adhere to his
converted to 0 to 3. For each television convictions when pressured to do
show, internet site, newspaper, and otherwise”), Emotional Cutoff (EC; “reflects
magazine, the frequency score would then feeling threatened by intimacy and feeling
be multiplied by the intensity score, and excessive vulnerability in relations with
finally the result of those multiplications others”), and Fusion with Others (FO;
would be added to produce the final “reflects emotional over involvement with
exposure to sexual content from the media others, including triangulation and over
score. identification with parents”). Based on
Attitude towards pornography use: personal correspondence with the original
Attitude towards Pornography Use author, only ER, IP, and EC subscales
Scale (APUS). APUS was constructed were adapted to Indonesian version for the
originally for the purpose of this study, purpose of this study, as these three
measuring individual psychological subscales translate better across culture.
tendency to give favorable or unfavorable Cronbach’s alpha on full scale and three
evaluation towards pornography use (e.g. subscales (ER, IP, and EC) were .84, .76,
how individual thinks, feels, or reacts to .77, and .77 respectively.
pornography use). Cronbach’s alpha on
this scale was .92. Results
Religious salience: Religious
Salience Scale (RSS). RSS was
constructed originally for the purpose of this Considering the range of the
study, measuring the extent which religious instruments and the actual median
belief influences individual’s thoughts and obtained from the research data (Table 1),
feelings in his daily lives. Cronbach’s alpha the authors made conclusion about each
on this scale was .96. research variables. We present the data in
Differentiation of self: Differentiation median because it is less susceptible to
of Self Inventory (DSI). DSI was extreme scores (Gravetter & Wallnau,
constructed by Skowron and Friedlander 2013). Considering that the lowest possible
score was 7 and the highest possible score
PORNOGRAPHY DISTRESS 9

Table 1
Descriptive Statistics of Continuously-Scaled Research Variables

Score range of Score range of the


Mean Median
the instruments obtained data

Pornography distress 92.7343 88.0000 7-224 34-189


Duration of
knowledge about 8.535 5.000 1 (week)-40
-
husband’s (years) (years) (years)
pornography use
Attitude towards
38.8137 39.0000 6-84 12-79
pornography use
Exposure to sexual
content from the 17.2422 16.0000 0-144* 0-80
media
Religious salience 29.4886 31.0000 7-35 13-35
Differentiation of self 127.4846 127.0000 6-204 83-180

Table 2
Hypothesis Testing using Multiple Regression Analysis (Enter Method)

Standard
B β t p
of error
Constant 225.504 20.687 10.901 .000
Perceived frequency of
1.190 2.292 .034 .519 .604
husband’s pornography use
Way of knowing about
-6.646 6.298 -.078 -1.055 .293
husband’s pornography use
Had been told by husband
15.796 6.445 .190 2.451 .015
about his pornography use*
Had found proof of his
44.647 9.758 .315 4.575 .000
pornography use*
Had caught him in his
21.687 15.935 .088 1.361 .176
pornography using act*
Others* .102 .298 .021 .344 .731
Duration of knowledge about
-.862 .178 -.333 -4.846 .000
husband’s pornography use
Attitude towards pornography
.097 .159 .039 .613 .541
use
Exposure to sexual content from
-1.717 .425 -.262 -4.036 .000
the media
Religious salience 225.504 20.687 10.901 .000
Differentiation of self 1.190 2.292 .034 .519 .604
* Dummy variable

was 224, it can be concluded that the


10 KRISTANTI & DINASTUTI

Table 3
Hypothesis Testing using Multiple Regression Analysis (Stepwise Method)

Standard
B β t p
of error
Constant 228.285 20.052 11.385 .000
Way of knowing about husband’s
pornography use:
47.693 9.010 .337 5.294 .000
Had caught him in his
pornography using act*
Attitude towards pornography use -.833 .166 -.322 -5.024 .000
Differentiation of self -.497 .123 -.250 -4.033 .000
Religious salience -1.672 .419 -.255 -3.993 .000
Way of knowing about husband’s
pornography use:
17.881 5.303 .215 3.372 .001
Had found proof of his
pornography use*
* Dummy variable

research participants tended to show low Another descriptive statistics showed a


pornography distress (median = 88). The diverse figure on participants’ ways of
data also showed that the participants tend knowing about their husbands’
to acknowledge their husbands’ pornography use. However, it might be
pornography use for quite short time (5 concluded that the majority of participants
years). Considering the possible range of acknowledged their husbands’ pornography
6-84, the data also showed that participants use by finding proof of their husbands’
tended to hold normal to negative attitude pornography use themselves (31.06%),
towards pornography use (median = 39). through their husbands’ invitation to join
The median of 16 (compared to 0-144 of them (29.19%), or through their husbands’
range) showed that participants tended to disclosure (29.19%).
be exposed to little amount of sexual
content from media. On the other hand, Hypothesis testing
median of 31 (compared to 7-35 of range)
and 127 (compared to 6-204 of range) also Hypothesis 1: Perceived frequency of
showed that research participants tended husband’s pornography use, the duration of
to have high religious salience and knowledge about husband’s pornography
differentiation of self. use, the way of knowing about husband’s
The descriptive statistics also showed pornography use, attitude towards
that the majority of participant perceived pornography use, exposure to sexual
very low frequency of husbands’ content from the media, religious salience,
pornography use (over 44% of them and differentiation of self, contribute
reported less than once a month usage). together and significantly to pornography
PORNOGRAPHY DISTRESS 11

distress. religious salience (F (5,155) = 23.456, p <


To test this hypothesis, we made use of 0.05). This regression model contributed for
multiple regression analysis, using Enter 41.20% of the variation among
method (Table 2). One variable (way of pornography distress.
knowing about husband’s pornography The direction of each contribution may
use) was measured in nominal scale, and also be concluded. The biggest contributor
for this case we made use of dummy (way of knowing about husband’s
variables to include it on the regression pornography use, dummy variable: 1) had
analysis. caught him in his pornography using act (t
The result showed that perceived = 5.294, p < .05); 2) had found the proof of
frequency of husband’s pornography use, his usage (t = 3.372, p < .05)) contributed
the duration of knowledge about husband’s in positive direction. In other words, if a
pornography use, the way of knowing about woman discovered her husband’s
husband’s pornography use, attitude pornography use by one of those two
towards pornography use, exposure to modes, her pornography distress would be
sexual content from the media, religious increased. This finding confirmed the initial
salience, and differentiation of self, notion that women who find out about their
contributed together and significantly to husbands’ pornography use in a way that
pornography distress (F (10,150) = 12.200, p < does not suggest their husbands’ openness
0.05). However, this analysis had not yet about the issue to them, would then
determined which of the seven factors experience higher pornography distress.
individually contributed to pornography On the other hand, attitude towards
distress. This issue will be addressed on pornography use (t = -5.024, p < .05),
next research question. religious salience (t = -4.033, p < .05), and
differentiation of self (t = -3.993, p < .05) all
Answering research question contributed in negative directions. In other
Research question 1: Which factors words, the higher women’s attitude towards
among the seven proposed contribute pornography use, religious salience, or
individually to pornography distress? differentiation of self, the lower
Using the Stepwise method of multiple pornography distress she would
regression analysis (Table 3) it was found experience. Variable regarding women’s
that not all of the seven proposed factors attitude towards pornography use showed
actually contributed individually to a consistent direction with the initial idea
pornography distress. Only four of them that a positive attitude would help women
were: the way of knowing about husband’s to accept their husbands’ habits. A high
pornography use (significant only on two differentiation of self-orthe ability to balance
dummy variables: had caught him in his intimacy and autonomy function in a
pornography using act and had found proof relationship-also seemed to be helpful in
of his pornography use), attitude towards acceptinghusband’s pornography habit
pornography use, differentiation of self, and without showing any exaggerated feelings.
12 KRISTANTI & DINASTUTI

An interesting result was shown by using pornography tended to show lower


religious salience variable. The research level of distress compared to women who
data showed that this variable contributed were not involved in pornography (U = 931,
to pornography distress negatively, that the p < .05). Moreover, women whose
higher religious salience, the lower husbands’ usually used pornography with
pornography distress would be. This result their friends experienced more
was not consistent with the initial pornography distress compared to women
expectation. This interesting inconsistency whose husbands’ had usually used the
would be further discussed in discussion. pornography with them (U = 321, p < .167).

Additional Findings Discussion


This research also addressed several
other aspects that may be related to
pornography distress in marital context. This study found that the regression
Some additional information was gathered model consisting seven proposed variables
regarding participants’ religion, marital age, contributed significantly to pornography
their own pornography use (whether they distress in pornography users’ wives.
themselves actively use pornography), However, this was actually not the best
frequency of their own pornography use, model to predict the level of distress they
pattern of husbands’ pornography habits are experiencing. It was also found that the
(whether their husbands use pornography better model consists of only four
in a solitary way, with the wives’ contributors: way of knowing about
companion, or with their friends’ husband’s pornography use, attitude
companion), and when the discovery of towards pornography use, differentiation of
their husbands’ pornography use took self, and religious salience. While there
place (was it before or after marriage). was at least a factor outside women’s
Due to the unevenness of the control that determine her pornography
distributions, analysis for these additional distress (i.e. the way of knowing about their
variables was conducted using non- husbands’ pornography use), there were
parametric statistics. The results indicated also factors related to women’s own
that some of the variables (participants’ psychological aspect (i.e. their own attitude
religion, their own pornography use, and towards pornography use, their
pattern of husbands’ pornography habits) differentiation of self, and their religious
might add more information to our salience). Looking at this result, we are
understanding of pornography distress. It convinced that the nature of pornography
was found that Buddhist women tended to consumption issue in marital context
show lower level of distress in regards of cannot be attributed solely to one party
husbands’ pornography use, compared to within the marriage. Therefore, counselors
Christian women (U = 145.5, p < .125). and individuals who are dealing with this
Also, women who themselves were actively problem should be aware that each party in
the marriage needs to work together to
PORNOGRAPHY DISTRESS 13

achieve some sort of agreement and different light, that high religious salience
understanding to solve pornography may provide women to evaluate her
distress issues. husband pornography use more positively.
This finding also showed that despite of Hence, she experiences lower pornography
the absence of similar study conducted in distress.
Indonesia, the present study was Despite delivering interesting results,
successful on giving valuable information. this study also met some limitations. One of
This study also showed an interesting them was low participation rate. Large
result in regards to religious salience number of participants (at total of 237
variable. This particular variable actually people) refused to continue their
showed significant contribution in the participation in this study. This might be
opposite direction compared to the initial explained by several factors: 1) lengthy
hypothesis. It was expected that high questionnaire and 2) the nature of talking
identification to religious values might about sexuality in Indonesia, which is still
prevent women to accept their husbands’ considered taboo.
pornography use. In other words, the The second limitation was
higher religious salience, the higher generalization. Most of the samples were
pornography distress. women with low pornography distress. This
This unconfirmed hypothesis might be is an important matter to be addressed as
explained by revisiting the role of religious these research findings may not be
salience in woman’s dynamic of emotion applicable to the more varied sample of
and distress while facing this issue. A women. The conception of sexual taboo in
couple of findings showed that religiosity Indonesia may explain the low pornography
can play a vital card in helping individual to distress showed by the majority of sample.
be more resilient and adaptable while It is very possible that women who agree to
facing difficult situation (Van Dyke, participate fully in this research are the
Glenwick, Cecero, & Kim, 2009; Jang & ones who no longer hold negative attitude
Johnson, 2004; Marks, 2005; Roemer, towards sexual discussion. Therefore, it
2010; Salsman & Carlson, 2005). seems logical if they also showed positive
Moreover, some findings showed that reactions towards their husbands’
religiosity has become one of the main pornography use.
coping strategy for Indonesian individuals Third, we want to address three
(Fathi, Nasae, & Thiangchanya, 2010; variables (perceived frequency of
Ismail & Basuki, 2012; Safaria, Othman, husband’s pornography use, duration of
&Wahab, 2010). Findings by Permatasari knowledge about husband’s pornography
(2006) and Felicia (2005) also showed that use, and exposure to sexual content from
one of the most popular coping strategies the media) which were expected to
used by married women in Indonesia was contribute significantly to pornography
turning to religion. With this notion in mind, distress, but the research data failed to
we might see this present finding in confirm this hypothesis. There are several
14 KRISTANTI & DINASTUTI

possible explanations why the first variable approximately did the participants find out
failed to show its contribution. Firstly, most about their husbands’ pornography use
of data (44.72%) were skewed on the might force participants to retrieve old
lowest frequency (most participants memories (almost half of the participants
perceived their husband pornography use have been married for 15 years).
to be less than once a month). This Participants’ limitation on remembering
homogenous data might lower statistical such information might produce inaccurate
power of rejecting null hypothesis. Despite data.
this methodological limitation, it is possible There might also another interesting
that this result reflected the real relationship way to interpret this particular finding. The
between perceived frequency of husband’s reason why this variable was included in
pornography use and pornography distress, this research model and became subject to
that this variable was not a contributor to be hypothetically tested was the notion
pornography distress. In this case, the from W. Maltz and Maltz (2009) about
heart of the problem may not lie on how stages that women experienced while
frequent the pornography use is, it is discovering about their partners’
actually about the honesty of partners in pornography use. We translated these
disclosing their habits. This notion is stages to the variable of duration. The idea
supported by one of this research finding was: if stages were seen as a reflection of
that the way of finding out about husband’s women’s acceptance from time to time,
pornography use significantly contributed to then their duration of knowing about their
participants’ pornography distress, husbands’ pornography use would also
especially if this revelation came from play part on their experience of
catching husbands’ act firsthand or finding pornography distress. However, this
proof of their husbands’ behavior. Hence, it research finding raised the need of
is possible that the perceived frequency of revisiting this translation. It is possible that
pornography use doesn’t play a significant each woman goes through these stages
role in building the problem, as long as the differently: there might be women who
husbands are not being secretive about quickly moved between stages, but there
their usage. might also be women who need longer time
The reason why the second variable to move between stages. Therefore, their
(duration of knowledge about husband’s duration of knowing their husbands’
pornography use) did not show significant pornography use does not always reflect
contribution might also be due to the their current and advanced stages.
skewed data (most participants had just The last variable to be discussed is
found out about their husbands’ exposure to sexual content from the media.
pornography use) and this condition might This variable’s failure to show significant
also lower the statistical power of rejecting contribution might be explained by its
null hypothesis. The second possibility is measurement method. As explained
related to memory bias. Asking about when before, this variable was measured by
PORNOGRAPHY DISTRESS 15

asking the participants to judge the degree Badan Pusat Statistik Kota Tangerang
of sexual content contained in their each of (2011). Kota Tangerang dalam angka
media consumption. This self-report 2011. Tangerang: BPS.
method was actually supported by Bleakley Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat
et al. (2008), as the impact that a sexual (2010). Jawa Barat dalam angka 2010.
media has on an individual is determined Bandung: BPS.
largely by how he/she perceived it rather Bergner, R., & Bridges, A. (2002). The
than the actual content it has. However, significance of heavy pornography
there is a possibility that participants who involvement for romantic partners:
frequently exposed to sexual contents had Research and clinical implications.
actually get used to the exposure and Journal of Sex & Marital Therapy, 28,
experience less awareness on what they 193-206.
receive. Without this awareness, the Bishara, A. J., & Hittner, J. B. (2012).
subjective report would no longer give an Testing the significance of a correlation
accurate description on what the with non-normal data: Comparison of
participants actually perceived. Therefore, Pearson, Spearman, transformation,
we suggest that future researcher may and resampling approaches.
consider using judges in determining the Psychological Methods, 17, 399-417.
degree of sexual content. Blaine, B., & Crocker, J. (1995).
To end this discussion, we would like to Religiousness, race, and psychological
address one more important thing that the well-being: Exploring social
readers should keep in mind related to the psychological mediators. Personality
interpretation of research findings. This and Social Psychology Bulletin, 21(10),
research was designed from women’s point 1031-1041.
of view to capture the overall trend of Bleakley, A., Fishbein, M., Hennessy, M.,
pornography distress in Indonesia. While Jordan, A., Chernin, A., & Stevens, R.
the research had been successful on its (2008). Developing respondent based
part, it had only covered one side of the multi-media measures of exposure to
story. Therefore, it is strongly suggested sexual content. Common Methods of
that future researcher would address this Measurement, 2(1-2), 43-64.
issue from the husband or couple’s Bridges, A., Bergner, R., & Hesson-
perspective and also make use of McInnis, M. (2003). Romantic partner’s
qualitative designs to get more in-depth use of pornography: Its significance for
data. women. Journal of Sex and Marital
References Therapy, 29, 1-14.
Carroll, J. L. (2010). Sexuality now:
Embracing diversity (3th ed.). Belmont:
Badan Pusat Statistik Kota Depok (2010). Wadsworth.
Hasil sensus penduduk 2010: Data Cavaglion, G., & Rashty, E. (2010).
agregat per Kecamatan di Kota Depok. Narratives of suffering among Italian
Depok: BPS.
16 KRISTANTI & DINASTUTI

female partners of cybersex and cyber- among African Americans. Journal for
porn dependents. Sexual Addiction and the Scientific Study of Religion, 43(2),
Compulsivity, 17, 270-287. 239-260.
Eisenberg, N., Pidada, S., & Liew, J. Kominfo Sebut Indonesia Pengakses Situs
(2001). The relations of regulation and Porno Terbesar di Dunia (2012, 16
negative emotionality to Indonesian Juni). Seruu.com. Retrieved from
children’s social functioning. Child http://utama.seruu.com/read/2012/06/1
Development, 72(6), 1747-1763. 6/103621/kominfo-sebut-indonesia-
Fathi, A., Nasae, T., & Thiangchanya, P. pengakses-situs-porno-terbesar-di-
(2010, April). Workplace stressors and dunia.
coping strategies among public hospital Maltz, W., & Maltz, L. (2009). The porn
nurses in Medan, Indonesia. Presented trap: The essentials guide to
in International Conference of overcoming problems caused by
Humanities and Social Sciences, pornography. New York City, NY:
Songkhla, 10 April 2010. William Morrow Paperbacks.
Felicia, J. P. (2005). Stress dan coping Manning, J. C. (2006). The impact of
stress perempuan korban kekerasan internet pornography on marriage and
dalam rumah tangga yang tetap the family: A review of the research.
mempertahankan pernikahannya: Studi Sexual Addiction and Compulsivity, 13,
pada perempuan berpendidikan tinggi 131-165.
dan bekerja dan menjadi korban oleh Markey, P. M., & Markey, C. N. (2012).
suaminya. Unpublished undergraduate Online pornography seeking behaviors.
thesis. Universitas Katolik Indonesia In Zheng, Y. (Ed.), Encyclopedia of
Atma Jaya, Jakarta. cyber behavior. (pp. 837-847).
Ford, J. J., Durtschi, J. A., & Franklin, D. L. Hershey, PA: IGI Global Snippet.
(2012). Structural therapy with a couple Marks, L. (2005). Reljgion and bio-psycho-
battling pornography addiction. The social health: A review and conceptual
American Journal of Family Therapy, model. Journal of Religion and Health,
40, 336-348. 44, 173-186.
Gravetter, F. J., & Wallnau, L. B. (2013). Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991).
Statistics for the behavioral sciences. Culture and the self: Implications for
Belmont, CA: Wadsworth/Cengage cognition, emotion, and motivation.
Learning. Psychological Review, 98(2), 224-253.
Ismail, R. I., & Basuki, B. (2012). Coping Ogas, O., & Gaddam, S. (2011). A billion
strategies related to total stress score wicked thoughts: What the internet tells
among post gradual medical students us about sexual relationships. New
and residents. Health Science Journal York City, NY: Penguin Group.
of Indonesia, 3(2), 1-5. Olivia, I. (2013, 28 March). Netty Heryawan
Jang, S. J., & Johnson, B. R. (2004). Sesalkan Tingginya Pengakses Konten
Explaining religious effects on distress Pornografi. Indonesia Raya News.
PORNOGRAPHY DISTRESS 17

Retrieved from psychological distress in Japan. Social


http://indonesiarayanews.com/news/na Forces, 89(2), 559-583.
sional/03-28-2013-15-48/netty- Roviana, A. F. (2011). Perilaku seks bebas
heryawan-sesalkan-tingginya- pranikah dan penggunaan media
pengakses-konten-pornografi. pornografi atau sexual explicit material
Oyserman, D. (1993). The lens of (sem) pada mahasiswa Universitas
personhood: Viewing the self and Diponegoro. Unpublished
others in multicultural society. Journal undergraduate thesis. Universitas
of Personality and Social Psychology, Diponegoro, Semarang.
65(5), 993-1009. Safaria, T., Othman, A. B., & Wahab, M.
Permatasari, P. (2006). Stress dan Coping N.A. (2010). Religious coping, job
Stresspada Perempuan Hamil insecurity, and job stress among
Pengidap HIV. Unpublished Javanese academic staff: A moderated
undergraduate thesis. Universitas regression analysis. International
Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Journal of Psychological Studies, 2(2),
Pitoyo, A. (2012, 22 March). Akses Situs 159-169.
Porno: RI Masih Duduki Peringkat 1. Salsman, J. M., & Carlson, C. R. (2005).
Bisnis.com. Retrieved from Religious orientation, mature faith, and
http://archive.bisnis.com/articles/akses- psychological distress: Elements of
situs-porno-ri-masih-duduki-peringkat- positive and negative associations.
1. Journal for the Scientific Study of
Poulsen, F. O., Busby, D. M., & Galovan, Religion, 44(2), 201-209.
A. M. (2013). Pornography use: Who Schneider, J. P., Weiss, R., & Samenow,
uses it and how it is associated with C. (2012). Is it really cheating?
couple outcomes. Journal of Sex Understanding the emotional reactions
Research, 50(1), 72-83. and clinical treatment of spouses and
Provinsi DKI Jakarta Per Kab/Kota Tahun partners affected by cybersex infidelity.
2010. (2010). Badan Pusat Statistik Sexual Addiction and Compulsivity, 19,
Provinsi DKI Jakarta. Retrieved from 123-139.
http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWV Sebagian Besar Pengguna Internet Buka
udT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9 Film Porno (2013, February 18).
MDQmaWQ9MTE=. Poskotanews.com. Retrieved from
Ramadhan, M. (2013, 14 January). Tekan http://m.poskotanews.com/2013/02/18/
Pornografi, Pelajar di Tangerang sebagian-besar-pengguna-internet-
Dibatasi Gunakan HP. Merdeka.com. buka-film-porno/.
Retrieved from Sessoms, J. (2011). The cyber
http://www.merdeka.com/peristiwa/teka pornography use inventory: Comparing
n-pornografi-pelajar-di-tangerang- a religious and secular sample.
dibatasi-gunakan-hp.html. Unpublished master thesis. Liberty
Roemer, M. K. (2010). Religion and University, Lynchburg.
18 KRISTANTI & DINASTUTI

Stewart, D. N., & Szymanski, D. M. (2012).


Young adult women’s reports of their
male romantic partner’s pornography
use as a correlate of their self-esteem,
relationship quality, and sexual
satisfaction. Sex Roles, 67, 257-271.
Strager, S. (2003). What men watch when
they watch pornography. Sexuality &
Culture, 7, 50-61.
Suryanto (2009, November 4).
Menkominfo: Indonesia Pengakses
Situs Porno Terbesar di Dunia. Antara
News. Retrieved from
http://www.antaranews.com/berita/1257
335727/menkominfo-indonesia-
pengakses-situs-porno-terbesar-dunia.
Van Dyke, C. J., Glenwick, D. S., Cecero,
J. J., & Kim, S. K. (2009). The
relationship of religious coping and
spirituality to adjustment and
psychological distress in urban early
adolescents. Mental Health, Religion &
Culture, 12(4), 369-383.
Ward, L. M., & Friedman, K. (2006). Using
TV as guide: Associations between
television viewing and adolescents’
sexual attitudes and behavior. Journal
of Research on Adolescence, 16(1),
133-156.
Zitzman, S. T., & Butler, M. H. (2009).
Wives’ experience of husbands’
pornography use and concomitant
deception as an attachment threat in
the adult pair-bond relationship. Sexual
Addiction and Compulsivity, 16, 210-
240.

Alamat surel: inezkristanti@gmail.com;


dinastuti@atmajaya.ac.id
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING
2017, Vol. XII, No. 1, 19-30, ISSN. 0853-3098
19

‘AKTIF’ TEACHER TRAINING PROGRAM TO


INCREASE TEACHERS’ SELF EFFICACY IN
TEACHING CHILDREN WITH SPECIAL
NEEDS
(PROGRAM PELATIHAN GURU ‘AKTIF’
UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS GURU
DALAM MENGAJAR ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS)
Amitya Kumara, Dian Mufitasari,
Krysna Yudy Nusantari, and Iga Serpianing Aroma
Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

The purpose of this research is to examine the effectiveness of AKTIF Teacher training program to
increase the teachers’ self-efficacy in teaching children with special needs. Untreated Control Group Design
with Dependent pre-test and post-test sample method was used. 17 teachers were selected through
purposive sampling method as experiment group and 5 teachers as control group. One-Way ANOVA test
showed the three methods (case discussion, roleplay, and simulation) indicatedno fundamental difference
in improving self-efficacy (F = 2.852, p = .091). Data analysis using the Mann Whitney U Test showed that
the case discussion method significantly increased self-efficacy (z case discussion = -2.410, p = .016; z simulation = -
0.754, p = .451; z role play = -1.916, p = .055). Wilcoxon-signed rank test showed that case discussion (p =
0.043) and roleplay (p = 0.035) were significant to improve self-efficacy, as opposed to simulation method
which was not (p = 0.063).

Keywords: teacher training program, children with special needs, teacher’s self efficacy

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas program pelatihan Guru AKTIF (Asih Kreatif
Terampil InspiratiF) guna meningkatkan efikasi diri guru dalam mengajar anak berkebutuhan khusus.
Desain penelitian menggunakan metode untreated control group with dependent pre-test and post-test.
Subjek penelitian ditentukan dengan metode purposive sampling melibatkan 17 guru sebagai kelompok
eksperimen dan 5 guru sebagai kelompok kontrol. Berdasarkan uji One Way ANOVA diketahui bahwa
diantara ketiga metode (diskusi kasus, roleplay, dan simulasi), tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dalam meningkatkan efikasi diri (F = 2.852, p = .091). Hasil uji statistika dengan Mann Whitney U Test
menunjukkan metode diskusi kasus signifikan meningkatkan efikasi diri (z diskusi kasus = -2,410, p = 0,016;
z simulasi = -0,754, p = 0,451, z role play = -1,916, p = 0,055). Uji Wilcoxon signed rank menunjukkan metode
diskusi kasus (p = 0,043) dan role play (0,035) signifikan meningkatkan efikasi diri. Sedangkan metode
simulasi tidak signifikan untuk meningkatkan efikasi diri guru (p = 0,063).

Kata kunci: pelatihan guru, anak berkebutuhan khusus, efikasi diri guru

19
20 KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA

Survey results from a research about discovered that teachers faced many
Children with Special Needs in problems in implementing inclusive
Gunungkidul DIY performed by Kumara education, especially in dealing with
(2015) showed that during the four years of students of various disabilities, shortage of
implementation of inclusive education teaching and learning materials,
(2011-2015), continuous training for inadequate training, and unfavorable
teachers was still underdeveloped. Only 1 working environment. Teachers with low
to 2 persons from each school were ever self-efficacy tend to face more problems in
trained about the basic of inclusive implementing inclusive education
education and how to attend to children compared to teachers with high self-
with special needs. Teachers with seminars efficacy. Clearly, self-efficacy is a variable
and workshops experiences still that is consistently correlated with positive
encountered problems in understanding the teaching and student learning outcomes
training materials, and therefore impeding (Penrose, Perry, & Ball, 2007).
the implementation of said system. The statement was further reinforced
Teachers were not confident enough of by Logan and Wimer (2012) who found that
their ability, for the training was not the factor of belief in the ability of teaching
continual and was limited. In addition to children with special needs has a
that, seminars and workshops they ever significant effect on teachers’ attitude
attended only covered the pedagogical side towards inclusive education. The concept
of their job, but overlooked the of self-efficacy was initially developed by
psychological one. This speaks about how Bandura (1997) as a part of social cognitive
the seminars and workshops were lacking theory. Bandura’s self-efficacy is based on
both in quantity and quality. one’s belief about his or her abilities that
The lack of knowledge and skills of the affects confidence in completing tasks as
staff and its inclusion makes teachers feel well as in performing optimally. In terms of
less able to teach children with special educational setting, teachers’ self-efficacy
needs. Teachers are considered to have will affect the students’ learning outcome in
low self-efficacy. Regular school teachers a positive way. This affirms the importance
feel they have difficulty in meeting the of studying the concept of self-efficacy of
needs of students with special teachers as it has direct impact on the
circumstances although they have been implementation of inclusive education at
supported with a special education school. Research conducted by Hofman &
program. Gallis and Tanner (1995) stated Kilimo (2014) found that teachers who have
that regular teachers usually have low low self-efficacy face more problems in
confidence in their ability to implement implementing inclusive education.
inclusive education system in regular Teachers’ self-efficacy becomes a very
classrooms. Research conducted by important factor in education, both in
Hofman and Kilimo (2014) later also general education system and the inclusive
one. It influences how teachers teach
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING 21

students, how they conduct classroom It refers to teachers’ competency in


management, and get everyone in the managing the class in a purposeful and
classroom involved. It also affects student orderly way. The indicators are: (1)
achievement in the classroom.Teachers teachers are able to handle problems that
with high self-efficacy can affect into arise in the classroom and ensure the
increased motivation, self-esteem, self- teaching plan is implemented well.
direction, and positive attitudes toward This study developed a teacher training
school. program called AKTIF, an acronym for
According to Hofman and Kilimo Asih Kreatif Terampil Inspiratif” (Caring,
(2014), teachers with high level of self- Creative, Skillful, Inspirative). This program
efficacy are as follows: (a) Able to use was manifested into a training that did not
teaching methods adequately to promote only cover the pedagogical side, but also
independence of students with special the psychological one. This training module
needs; (b) Equipped with adequate was modified from Teacher Effectiveness
classroom management skills and are able Training (TET), a moduledeveloped by
to handle problems in class; (c) Innovative; Gordon (1986) and the Teacher Training in
and (d) Able to get all students engaged in Handling Children with Special Needs
classroom activities. module compiled by Haifani (2011). Based
A study done by Bandura (Tschannen- on TET, there are six skills that should be
Moran & Hoy, 2001) revealed three aspects delivered by teachers: being open, active
of teachers’ self-efficacy: listening, observing and identifying
a. Student engagement problems, confrontation, resolving conflicts
It refers to how confident teachers feel of values, and problem-solving. The
in establishing relationship with students, materials of the training consist of inclusive
including motivating and resolving students’ education, basic knowledge and
issues. Some of the indicators shown are identification of children with special needs,
signs of friendliness towards students, as well as various teaching strategies. This
helping them overcome problems, and program was given to inclusive elementary
knowing the way to face difficult students. school teachers who had no previous
b. Instructional strategies. training experience in related field and
This refers to how teachers believe in organized by the Department of Education
their ability to help students score in Gunungkidul. Specification in elementary
academic achievement. The indicators are: school teachers was brought out on these
(1)the presence of confidence in following reasons; (a) teachers tend to
addressing questions from the students, occupy morenegative perspectives when
(2)possessing a comprehensive approach they teach children with special needs
in explaining study materials, and (3) being compared to adolescents with the same
well-informed about students’ level of situation (Hastings &Oakford, 2003), (b)
understanding. teaching children require more interaction
c. Classroom management. and more intense help (Ratcliff, 2009), and
22 KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA

(c) teachers need more varied instructional that have been designated as samples on
strategies to teach elementary school the coast. Through the case method, the
children with special needs compared to teacher will be honed to get an overview of
ones in the secondary education level the case and the solution (Gibson, 1998);
(Cipkin & Rizza, 2000). Bridging the gap between theory and
The basic theory used in producing practice and develop the skills of reflection
Teacher Effectiveness Training module by and analysis (Darling-Hammond, 2006);
Thomas Gordon (1986) is one belonging to and explore and apply new ideas and
Carl Rogers. Carl Roger’s theory of solutions under the supervision of
learning is one among other humanistic professionals (Lengyel & Vernon-Dotson,
learning theories that emphasizes mutual 2010). Kauffman (2005) also confirmed that
respect and no prejudice in helping people the case method allows learners to
to tackle life problems. Rogers (Schunk, understand the material more vividly by
2012) also said that a teacher needs to pay assessing the real situation rather than just
attention to the class atmosphere by way of by reading textbooks.
emotional approach to the students. A Roleplay methods help teachers to
teacher must be responsive to the needs of produce a different perspective about
students, in terms of both learning things to develop empathy (Fry, Ketteridge,
materials and the emotional needs. & Marshall, 1999). Learners will acquire
Teachers should also create a comfortable direct experience, participate actively and
learning environment so that students feel associate experiences so that it can be
comfortable in class. According to Rogers, categorized as a constructive way of
a teacher should also have a congruent learning (Joyner & Young, 2006). As such,
attitude, unconditional acceptance, and an active and constructive learning process
empathy. will be more memorable than apassive one.
The AKTIF teacher training By doing role plays, learners can create a
programused experiential learning new attitude in accordance with the
approach. According to Beard & Wilson interpretation of the experience that they
(2006), experiential learning is a process in feel (Sotto, 2007). Role play also proves
which it involves active engagement useful to prepare teachers in addressing
between one and outside environment. learning problems in class (Crow & Nelson,
Experiential learning was conceptualized 2014).
by Kolb (1984) and contains five cycles of Simulation method has been proven to
learning: experiencing, publishing, help teachers engage more actively, as if
processing, generalizing, and applying. The they are living the experience for real.
AKTIF program is divided into three According to Pant (2009), the advantages
delivery methods, there are role play of using simulation method in training are
method, case discussion method, and as follows; (1) it allows real life interaction,
simulation methods. Guru AKTIF program social processes and behaviors in
will be given at 4 inclusive primary schools situations that are relatively non-
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING 23

threatening, (2) it allows for complex social increases teachers’ self-efficacy in teaching
processes to be experienced and children with special needs. While the
understood throughout the learning minor hypotheses proposed by this
process, (3) it is completely dependent research are: (1) Role-play method works
upon individual’slearning ability, (4) it significantly to improve the teachers’ self
involves universal participation, (5) the efficacy in teaching children with special
learning takes place at the level of needs; (2) Case-based method works
consciousness. significantly to improve the teachers’
Case discussions, role play and efficacy in teaching children with special
simulations are all part of the experiential needs; and (3) Simulation method works
learning method that allows individuals to significantly increases the efficacy of
be actively involved in the learning process teachers in teaching children with special
(Kolb, 1984). In the study, individuals needs.
receive information or experience
(experiencing) on inclusive education and Methods
children with special needs through case
discussions, role play, and then share their
simulated experiences. Individuals then Participants and Design
publish what they have been given to other The independent variable in the study
participants. Individual review the is AKTIF teacher training program, while
experience (processing) and then make an teachers’ self-efficacy in teaching children
abstract of the experience and draw with special needs serves as the
conclusions (generalizing) regarding dependent variable. The study consists of
inclusive education and teaching children three stages: research preparation,
with special needs. Individuals become preparation of modules and implementation
more knowledgeable and confidence (self- of pilot research module.
efficacy). The last cycle involves individuals Experimental method Untreated
to apply this knowledge to the real world Control Group Design with Dependent Pre-
(applying). The self-efficacy of each Test and Post-Test Samples design was
teacher increased while teaching students applied as shown in the Diagram 1.
with special needs. A total of 32 inclusive elementary
The objective of this umbrella research school teachers around Purwosari were
isto examine the effectivenessof invited to attend the training. Participants
AKTIFteacher training programto improve were divided into three experimental
teachers’ self-efficacy in teaching children groups, and each group was subjected to
with special needs. The research held in three alternate delivery methods which
inclusive primary schools in the coastal were case discussion method, role play
areas of Gunungkidul. The major method, and simulation method. There
hypothesis proposed by this research is were 5 others placed into a control group
that the AKTIF program significantly and were not given any treatment. Criteria
24 KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA

for research subjects include some of the Favorable items were weighed 0-3, as were
following: (1) Regular teachers from the unfavorable ones. The scale of teacher
inclusive elementary schools around efficacy obtained alpha reliability coefficient
Purwosari and Panggang Gunungkidul, and of 0.893.
(2) Homeroom teachers or subject teachers This umbrella research consists of
in the elementary schools three studies with three different methods
The program was held for two program that are AKTIF Teacher Training
consecutive days and delivered by trainers with case discussion method, role play, and
with the following qualifications: (1) simulation. Each research data from all
Psychologist, (2) Experienced in inclusive three studies will be analyzed using Mann
education and issues alike, and (3) Have Whitney and Wilcoxong Signed Rank
good communication skills in Indonesian& analysis. After which, the data analysis of
Javanese language. this research umbrella will be analyzed
quantitatively using analysis of variance F
Measurement and Procedure Test. F-test analysis is used to compare
Research instruments: First, Basic scores obtained by the three research
knowledge inventory for teachers. It refers groups, which are groups who received
to an inventory used to measure the extent training using case discussion method, role
of the accuracy of teachers in responding play, and simulation. Then, based on the
to information obtained during the training statistical analysis result, we can acquire
about inclusive education and children with the most proven effective method in
special needs. This test was a modification increasing teachers’ self efficacy when
of the knowledge test prepared byHaifani teaching students with special needs.
(2011), consistingof 18 itemswith item
discrimination index rangingfrom0.407 to Results
0.848 and item difficulty index rangingfrom
0.320 to 0.973.
The AKTIF program for experimental
Second, Teachers’ Self-Efficacy
group was held on Thursday and Friday (3-
inventory. The said scale used in this study
4 December 2015). Thirty two participants
derived from Krisnindita (2013). The self-
were invited to attend the training, but only
efficacy scale was adapted from Teacher’s
28 attended it. On the second day of the
Sense of Efficacy Scale that originally
training, participants were divided into three
belonged to Tschannen-Moran & Hoy
groups randomly. Each group consisted of
(2001) based on Bandura’s theory of self-
9-10 participants.Within the group of case
efficacy. Teachers’ self-efficacy in dealing
discussion method, the number of
with students include three aspects, namely
participants who stayed until the end of
student engagement, instructional
training was five in total, with four
strategies, and classroom management.
participants disqualified for permission to
The scale consists of 32 statements with 19
leave early with a variety of reasons.
favorable itemsand 13 unfavorable items.
Meanwhile, in the simulation group, only
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING 25

Diagram 1. Research Design


Notes:
NR : Non Random Assignment;
O1 : Teachers’ self-efficacy before training
X : AKTIF training
O2 : Teachers’ self-efficacy after training

PRE TEST

Graphic 1. Changes of Self-Efficacy Score in Case Discussion Group

Pre‐Test
Post‐Test

Graphic 2. Changes of Self-Efficacy Score in Role Play Group

pretes
postes

four out of nineGraphic


people stayed throughout
3. Changes of Self-Efficacy Score in Simulation Group
26 KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA

the two days training. There was no efficacy compared to case discussion and
absenteeism found in the role play group. roleplay method. The value of case
Through normality test, it was safe to discussion method added up to z = -2.023,
say that all data gathered from three p = 0.043 (0.043 < 0.05), role play method
groups had a normal distribution was of z = -2.103 and p = 0.035 (0.035 <
(z casediscussion = -0.468; p = 0.981, z role play = 0.05). On the other hand, the simulation
0.579; p = 0.890, and z simulation = 0.614; p = method obtained a value of only z = -1.857
0.846). Advanced data analysis was and p = 0.063 (0.063 > 0.05).
brought out by F-test to find outthe Significant changes of self-efficacy
differences between the three experimental score took place within the experimental
groups. Based One Way ANOVA test, the group with case discussion method. All
three methods did not share any significant participants showed a maximum increase
differences in improving self-efficacy (F = of self-efficacy score (100%) as shown by
2.852, p = 0.091 by 0.091 > 0.05 ). the Graphic 1, both before and after
The Mann Whitney U test compared training.
the score of pre-test and post-test, later The Graphic 2 comparison of the
revealing a higher increase in self-efficacy pretest and posttest scores of trainee with
in the case discussion experimental group role play method showed a significant
compared to the control group (z = -2.410, change. The number of participants
p = 0.016), while participants that were whoactively displayedan increase in self-
trained with simulation method did not efficacy was five out of eight (62.5%). The
exhibit any escalation in self-efficacy mean obtained on the pretest was 94, while
between the experimental group and the that of the posttest was 103.
control group (z = -0.754, p = 0,451 with Self efficacy score of participants using
0.451 > 0.05). Likewise, participants who the simulation method showed insignificant
received training with roleplay method also difference (Graphic 3). All participants
shared similar outcome (z = -1.916, p = experienced a decrease in self efficacy
0.055, with 0.055 > 0.05). This evidence score before and after training. Based on
confirms the minor hypothesis which states observation, decrease in the score was
that case discussion method significantly caused by uncondusive environment during
increases teachers’ self-efficacy in teaching post-test. Subjects seemed to conduct the
children with special needs. Two other self efficacy scale hastily because
hypotheses were adverse and therefore to participants of other groups have finished
be denied. training. A condusive training delivery
Further tests with Wilcoxon Signed affects the training result.
Rank were conducted to examine the There was no significant difference of
differences in the level of self-efficacy of self-efficacy scores from the simulation
teachers before and after training in each group. All participants exhibited a decline in
group. The simulation method was reported self-efficacy scores before and after the
to be less significant in improving self- training. A couple of external factors were
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING 27

suspected as the cause, such as increase self-efficacy.


unconducive atmosphere that occurred
during the post-test and the likes. Discussion
This study highlights the importance of
conducting research on self-efficacy of
inclusive primary school teachers, The finding about the effectiveness of
especially in the coastal areas of case discussion method was in line with
Gunungkidul. The results showed there that of Lengyel and Vernon-Dotson (2010),
was no significant difference between the which revealed that the use of methods
three methods in terms of increasing self- based on case provided an opportunity for
efficacy (F = 2.852, p = 0.091 (0.091 > learners to engage in discussion and
0.05). One among other possible reasons receivefeedback, further developing their
behind this was because the training collaborative skills as professional
materials that were delivered to the teachers. Individuals were also trained to
participants in all three groups were the understand the concept of a case through
same. The difference lied only in the understanding the alternatives and a
delivery methods. Further analysis using variety of assumptions. Moreover, case
the Wilcoxon Signed Rank indicated that discussion method also helps the
case discussion method could significantly development of the disposition of teachers
increase self-efficacy in the experimental to understand inclusive education better
group (z = -2.023, p = 0.043 (0.043 < 0.05). and improve their knowledge about
The level of self-efficacy on the subjects theneeds of students with disability. The
that belonged to the case discussion group increased knowledge of teachers regarding
increased after training in comparison with students with special needs will
subjects in the control group (z = -2.410, p simultaneously affect their confidence in
= 0.016 (0.016 < 0.05). Role play method teaching. Pendergast, Garvis, and Keogh
was known to increase self-efficacy in the (2011), also highlighted some key points in
experimental group (z = -2.103, p = 0.035 the development of teachers’ self-efficacy
(0.035 <0.05), but the increase in efficacy which were mastery experience, vicarious
itself was quite insignificant compared to experience, verbal feedback and emotional
the control group (z = -1.916, p = 0.055, support. Through case discussions,
with 0.055 > 0.05). Simulation method was teachers were allowed some space to gain
found to be effective in improving self- experience that would help them
efficacy in the experimental group (z = - successfully interact with children with
1.857 and p = 0.063 (0.063 > 0.05), and special needs and at the same time boost
there was no increase in self-efficacy when their confidence.
compared with the control group (z = - The results of training with simulation
0.754, p = 0.451, 0.451 > 0.05). Based on methods and role play were not significant
these results, we can conclude that case due to several factors, just like the study
discussion is the most effective method to done by Sanjeevkumar&Yanan (2011);
suggesting several factors that might affect
28 KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA

the effectiveness of training that come from innovations in class, and encourage
both internal and external factors. Most students to do their tasks. All being said,
participants seemed to be in a hurry and training modules delivered by means of
the condition at the end of training was case discussion method can be used to
already far from conducive. Internal factors train teachers of inclusive schools that
consist of personal characteristics of the require increased efficacy in teaching
trainees, namely age, gender, educational children with special needs. The stronger
level, cognitive abilities, learning styles, and sense of self-efficacy a teacher has, the
other psychological characteristics such as more effectivethe implementation of
confidence in the ability already possessed. inclusive education will be.
External factors consist of circumstances
beyond the control of individuals such as Conclusion and Suggestion
environmental conditions (conducive or
boisterous), training facilities (refreshment,
training aids), and training materials. The results showed that among the
According to observational result, almost all three methods of case discussions, role
subjects in each group showed enthusiasm plays and simulations, there was no
and were passionate during the training. significant difference in increasing self-
However, self-efficacy score declined in the efficacy. However, the three different
simulation method group as a result from groups have proven that the case
the no-more conducive situation near the discussion is the most effective method to
end of training. Participants were doing increase self-efficacy than the method of
self-efficacy scale hastily asit was getting simulation and role play.
late and people in other groups had Based on the results of the research
completed the whole training. and discussion, a couple of advices that
Logan and Wimer (2013) found that the can be listed down are: First, for
belief on the ability in teaching children with Psychologists: Case discussion method
special needs had a significant effect on can be used as a way to improve self-
the attitudes of teachers about inclusive efficacy of teachers in teaching children
education. Teachers with high self-efficacy with special needs in inclusive schools. The
would be able to increase pupils’ use of the training modules of course
motivation, self-esteem, self-direction, and needs to be adapted beforehand to the
positive attitudes toward school. In addition, respective conditions of participants and be
according to Hofman and Kilimo (2014) improved based on criticism and advice
teachers equipped with high self-efficacy given after the study has been carried out.
would be adequate in using variedteaching Second, for Inclusive Elementary
methods to alleviate the independence of School Teachers (Trainees): The trainees
students with special needs, able to are expected to apply their knowledge and
manage class amiably, handleproblems in skills in dealing with children with special
the classroom, implement didactic needs that have been acquired during the
training consistently and continuously.
‘AKTIF’ TEACHER TRAINING 29

Implications for forthcoming Fry, H., Ketteridge, S., & Marshall, S.


researchers: (a) Implementation of training (1999). A handbook for teaching and
for future researchers should be carried out learning in higher education: Enhancing
with the same time discipline among the academic practice (2nd ed.). London:
three methods so that a constructive RoutledgeFalmer
atmosphere could be easily managed Galis, S. A., & Tanner, C.K. (1995).
within three places, (b) Researchers also Inclusion in elementary school: A
need to further consider personal survey and policy analysis. Education
characteristics of participants such as age Analysis Archieve, 3(15), 1-24.
gap, (c) The training module should better Gibson, J. T. (1998). Discussion teaching
undergo some adjustment in accordance through case methods. Education,
with the criticism and advice given after the 118(3), 345-348.
implementation of this study. Gordon, T. (1986). Guru yang efektif
(translated). Jakarta: Penerbit Rajawali
References Haifani, A. (2011). Pengaruh pelatihan
“Guru peduli anak berkebutuhan
khusus (ABK)” pada pengetahuan dan
Bandura, A. (1997). Self efficacy: The sikap penerimaan guru terhadap anak
exercise of control. New York: W.H berkebutuhan khusus di sekolah dasar
Freeman and Company inklusi. (Unpublished thesis), Fakultas
Beard, C., & Wilson, J. P. (2006). Psikologi, Universitas Gadjah Mada,
Experiential learning: A best practice Yogyakarta, Indonesia.
handbook for educators and trainers Hastings R. P., & Oakford, S. (2003).
(2nd ed.). London: Thomson-Shore, Student teachers’ attitudes towards the
Inc. inclusion of children with special needs.
Cipkin, G., & Rizza, F. (2000). The attitude Educational Psychology, 23(1), 87-94.
of teacher on inclusion. Retrieved from Hofman, R. H., & Kilimo, J. S. (2014).
https://www.researchgate.net/publicatio Teachers’ attitudes and self efficacy
n/260302863_THE_ATTITUDE_OF_T towards inclusion of pupils with
EACHERS_ON_INCLUSION disabilities in Tanzanian schools.
Crow, M. L., & Nelson, L. P. (2014). Do Journal of Education and Training, 1(2),
active-learning strategies improve 177-198.
students’ critical thinking? Do active- Joyner, B., & Young, L. (2006). Teaching
learning strategies improve students’ medical students using role play:
critical thinking?. Higher Education Twelve tips for successful role plays.
Studies, 4(2), 77-90. Medical Teacher, 28(3), 225-229.
Darling-Hammond, L. (2006). Powerful Kauffman, J. M. (2005). Cases in emotional
teacher education: Lessons from and behavioral disorders of children
exemplary programs. San Francisco: and youth. Upper Saddle River, NJ:
Jossey-Bass Pearson Education.
30 KUMARA, MUFITASARI, NUSANTARI, & AROMA

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: efficacy: the contribution of teacher


Experience as the source of learning status and length of experience.
and development. New Jersey: Journal of Educational Psychology,
Prentice Hall 17(1). 100-125
Krisnindita, R. W. (2013). Program “teacher Ratcliff, O. Y. M. (2009). Voices of
effectiveness training” untuk classrooms managers: their realities of
meningkatkan efikasi guru full inclusion. Electronic journal for
(Unpublished thesis). Universitas inclusive education, 2(4), Art.6, 1-15.
Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Sanjeevkumar, V., & Yanan, Hu. (2011). A
Kumara, A. (2015). Survey kebutuhan study on training factors and its impact
pendampingan anak berkebutuhan on training effectiveness in kedah state
khusus di pesisir Daerah Istimewa development corporation. International
Yogyakarta (Unpublished article). Journal of Human Resource Studies,
Yayasan Edukasi Anak Nusantara, 1(2), 136-156.
Yogyakarta, Indonesia. doi:10.5296/ijhrs.v1i2.1130
Lengyel, L., & Vernon-Dotson, L. (2010). Schunk, D. H. (2011). Learning Theories:
Preparing special education teacher An Educational Perspectives Sixth
candidates: extending case method to Edition. Boston: Pearson Education
practice. Teacher Education and Inc.
Special Education, 33(3), 248-256. Sotto, E. (2007). When teaching becomes
doi:10.1177/0888406409357371. learning: A theory and practice of
Logan, B. E., & Wimer, G. (2012). Tracing teaching. London: Continuum.
inclusion: determining teacher Tschannen-Moran, M., & Hoy, A. W.
attitudes. Research in Higher (2001). Teacher efficacy: Capturing an
Education Journal. elusive construct. Teaching and
Pant, M. (2009). Participatory training Teacher Education, 17, 783-805.
methodology and materials.
Participatory Adult Learning,
Documentation and Information Alamat surel: amikumara@ugm.ac.id,
Networking (PALDIN). UNESCO. dianmufit@gmail.com,
Retrieved from ckrysna.yudy@gmail.com,
http://www.unesco.org/education/aladin diga.aroma@gmail.com
/paldin/pdf/course_01.pdf
Pendergast, D., Garvis, S., & Keogh, J.
(2011). Pre-service student-teacher
self-efficacy beliefs: an insight into the
making of teachers. Australian Journal
of Teacher Education, 36(12), 46-58.
Penrose, A., Perry, C., & Ball, I. (2007).
Emotional intelligence and teacher self
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 31-40, ISSN. 0853-3098
EFEKTIVITAS CBT 31

EFEKTIVITAS COGNITIVE BEHAVIOR


THERAPY UNTUK DEWASA MUDA DENGAN
ACROPHOBIA
(THE EFFECTIVITY OF COGNITIVE
BEHAVIOR THERAPY FOR YOUNG ADULTS
WITH ACROPHOBIA)
Garvin1, Monty Satiadarma2, dan Denrich Suryadi2
1
Universitas Bunda Mulia
2
Universitas Tarumanagara

Acrophobia is one of anxiety disorders characterized by irrational fear and anxiety, resulting in the
impedance of one's daily activity. The fear and anxiety are based on irrational thoughts and appear in
behavior, so Cognitive Behavior Therapy is believed to be effective in treating acrophobia. The study
involves three participants in the young adult stage. Each of the participants underwent seven sessions,
consist of functional analysis, understanding irrational belief, cognitive restructuring, systematic
desensitization, and in vivo exposure. Pretest-posttest design was used in this research, using
measurement of heart rate for quantitative data and observation for qualitative data. The heart rate
measurement was used and observation was conducted before and after intervention, when the subject
was dealing with height phobia. The result of paired sample t-test showed that there was a significant
decrease in heart rate when subject was exposed back to the height after therapy. Through observation,
researchers found changes in behavior when dealing with fear of height after participating the therapy
sessions.

Keywords: acrophobia, cognitive behavior therapy, young adult

Acrophobia merupakan gangguan kecemasan yang ditandai dengan rasa takut dan kecemasan yang tidak
beralasan terhadap ketinggian sehingga mengganggu aktivitasnya sehari-hari. Ketakutan dan kecemasan
tersebut didasari oleh pemikiran yang tidak rasional dan muncul dalam bentuk perilaku, sehingga diprediksi
Cognitive Behavior Therapy efektif untuk menangani acrophobia. Penelitian melibatkan tiga partisipan yang
berada pada tahap usia dewasa muda. Masing-masing dari partisipan menjalani tujuh sesi terapi, terdiri
dari functional analysis, memahami irrational belief, restrukturisasi kognitif, systematic desensitization, dan
in vivo exposure. Desain yang digunakan adalah pretest-posttest design, menggunakan data kuantatif
melalui pengukuran denyut jantung dan data kualitatif melalui observasi. Pengukuran denyut jantung dan
observasi dilakukan sebelum dan sesudah menjalani intervensi, saat subjek berhadapan dengan objek
ketinggian. Hasil paired sample t-test menunjukkan bahwa adanya penurunan denyut jantung yang
signifikan ketika subjek dihadapkan kembali pada ketinggian setelah mendapatkan terapi. Melalui
observasi, ditemukan juga adanya perubahan perilaku pada ketiga subjek terhadap objek ketinggian
setelah melalui terapi.

Kata kunci: acrophobia, cognitive behavior therapy, dewasa muda


31
32 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Specific phobia merupakan salah satu dimiliki oleh individu adalah fobia
gangguan psikologis yang memiliki ketinggian atau acrophobia (Taylor &
prevalensi paling lebar dalam kehidupan Vaidya, 2009). Depla et al (2008)
manusia (Depla, Have, Balkom, & Graaf; menemukan bahwa acrophobia merupakan
2008). Data menggambarkan bahwa specific phobia dengan prevalensi paling
sekitar 12% dari populasi dunia memiliki lebar. Penderita acrophobia merasakan
specific phobia (Taylor & Vaidya, 2009). kecemasan dan ketakutan terhadap
Penderita specific phobia merasakan lingkungan yang berkaitan dengan
kecemasan yang intens ketika harus ketinggian, termasuk tangga, teras balkon,
menghadapi objek fobia tersebut, namun apartemen, dan kantor yang berlokasi di
dalam kehidupan sehari-hari mereka gedung-gedung tinggi, dan terkadang juga
terkadang harus berhadapan dengan objek termasuk jembatan dan lift (Coelho &
tersebut sehingga membuat penderita Wallis, 2010).
specific phobia harus menjauhkan diri atau Pada individu dewasa awal, beberapa
bahkan melarikan diri dari objek fobia tugas perkembangan yang penting adalah
tersebut (Halgin & Whitbourne, 2009). bekerja dan menjalin relasi dengan orang
Bahkan, penderita fobia juga merasakan lain (Kail & Cavanaugh, 2010; Papalia &
kecemasan yang intens dan cepat ketika Feldman, 2012). Tugas-tugas
mereka juga mempercayai bahwa ada perkembangan tersebut, dapat terganggu
kemungkinan mereka akan menghadapi jika seseorang mengalami phobia. Bourne
objek fobia tersebut (Nolen-Hoeksema, dan Garano (2003) menyatakan bahwa
2004). Williams (2003) menyatakan bahwa rasa takut dan kecemasan pada phobia
penderita phobia sebenarnya secara logis cukup kuat untuk menganggu rutinitas
mengetahui bahwa situasi objek tersebut normal, pekerjaan, atau relasi dan
tidak akan menyakiti, namun rasa menyebabkan distress yang signifikan.
kecemasan tersebut tetap muncul. Individu dengan acrophobia, jika
Kring, Johnson, Davison, dan Neale dipertemukan dengan ketinggian, akan
(2010) menyatakan bahwa terkadang berusaha menghindar dengan kecemasan
specific phobia dapat mengganggu tujuan tinggi. Namun, dalam kehidupan saat ini,
hidup seseorang. Hal ini dikarenakan sulit untuk menghindari aktivitas yang
penderita specific phobia akan berusaha berkaitan dengan ketinggian. Hal ini tentu
untuk menghindari atau bahkan melarikan menyulitkan individu dengan acrophobia
diri dari objek yang ditakuti dengan untuk melakukan beberapa aktivitas yang
kecemasan yang intens (Halgin & terkait dengan ketinggian, seperti
Whitbourne, 2009). Sebagian besar menumpangi pesawat untuk kepentingan
penderita specific phobia tidak mencari pekerjaan, menaiki lift, bekerja pada kantor
penanganan fobia atau tidak mendapatkan dalam gedung tinggi, atau hanya sekadar
penanganan yang efektif (Adler & Cook- menyeberangi jembatan yang tinggi. Hal ini
Nobles, 2011). bisa menyebabkan distress. Tentu saja,
Salah satu specific phobia yang umum diperlukan penanganan untuk acrophobia
EFEKTIVITAS CBT 33

agar individu dapat melakukan aktivitas- therapy terhadap acrophobia pada dewasa
aktivitas tersebut tanpa harus melewati muda di Indonesia.
kecemasan yang intens. Berdasarkan pertimbangan-
Terdapat beberapa penanganan untuk pertimbangan di atas, maka penulis
acrophobia. Studi menemukan bahwa bermaksud untuk melakukan penelitian
virtual reality exposure, yakni mengajak berjudul “Efektivitas Cognitive Behavior
penyandang fobia untuk berhadapan Therapy untuk Dewasa Muda dengan
dengan objek fobia dalam kehidupan nyata, Acrophobia”. Penelitian ini bertujuan untuk
mampu mengatasi acrophobia. (Coelho, mengetahui bagaimana efektivitas
Santos, Silverio, & Silva; 2006; Quervain et penerapan cognitive behavior therapy
al., 2010; Emmelkamp, Bruynzeel, Drost, & dalam mengatasi acrophobia pada dewasa
Der Mast 2001). Selain psikoterapi, terapi muda.
fisik yakni vestibular physical therapy juga
ditemukan mampu mengatasi acrophobia Metode
yang terkait dengan vertigo (Whitney et al.,
Penelitian ini merupakan penelitian
2005). Antony dan Barlow (dalam Kring et
eksperimen, dengan pengumpulan data
al (2010) menemukan bahwa exposure
secara kuantitatif dan kualitatif. Pada data
therapy lebih efektif dibandingkan dengan
kuantitatif, teknik analisis yang digunakan
cognitive therapy. Wilding dan Milne (2008)
adalah paired sample t-test. Kriteria dari
berpendapat bahwa cognitive behavior
subjek penelitian ini adalah berusia 20-40
therapy dapat memberikan hasil untuk
tahun (masa dewasa muda) dan
specific phobia. Adler dan Cook-Nobles
menyandang acrophobia. Tidak ada
(2011) menemukan bahwa penanganan
pembatasan jenis kelamin, suku budaya,
spesific phobia dengan cognitive-
maupun agama dalam penentuan subjek
behavioral therapy dengan penekanan
penelitian. Metode sampling yang
pada in vivo exposure memberikan hasil
digunakan adalah purposive sampling.
yang efektif.
Pengukuran kecemasan pada subjek
Cognitive-behavioral therapy efektif
acrophobia dilakukan dengan mengukur
dalam menangani specific phobia karena
denyut jantung, menggunakan alat Omron.
selain mengubah pemikiran individu
Peneliti juga melakukan observasi terhadap
terhadap objek fobia, juga mengubah
perilaku subyek ketika dihadapkan dengan
perilaku individu jika terpapar oleh objek
objek ketinggian. Pengukuran dan
fobia tersebut. Hal ini dikarenakan
observasi dilakukan sebelum dan sesudah
cognitive-behavioral therapy mengatasi
pemberian intervensi (pre-test dan post-
kognisi dan perilaku individu. Asumsi dasar
test) agar peneliti bisa melihat efektivitas
CBT adalah perilaku didasari oleh pikiran
dari intervensi yang diberikan kepada
(Hofmann, Asnaani, Vonk, Sawyer, & Fang,
subjek. Intervensi yang digunakan adalah
2012; Sudak, 2006). Namun, hingga saat
cognitive behavior therapy, yang diberikan
ini, penulis belum menemukan penelitian
dalam 7 sesi, dengan rincian sebagaimana
yang meneliti efektivitas cognitive behavior
tercantum pada Tabel 1.
34 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Tabel 1
Rincian Rancangan Intervensi

Pertemuan Rancangan Kegiatan


Initial interview Perkenalan dan penjelasan mengenai penelitian yang peneliti
(screening) lakukan, identifikasi keluhan, konfirmasi komitmen untuk
berpartisipasi dalam penelitian.

Sesi 1 Pre-test dengan pengukuran denyut jantung untuk mengukur


kecemasan, penjelasan rancangan terapi kepada partispan,
psikoedukasi mengenai CBT dan fobia.
Sesi 2 Analisis fungsional
Sesi 3 Relaksasi
Sesi 4 Memahami irrational beliefs
Sesi 5 Systematic desensitization, cognitive restructuring
Sesi 6 In-vivo exposure, cognitive restructuring
Sesi 7 Post-test, terminasi

Tabel 2
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada IH

Jumlah Denyut Jumlah Denyut


Situasi yang Memunculkan Acrophobia Jantung Sebelum Jantung Setelah
Intervensi Intervensi
Membayangkan berada di dalam gedung 93 kali/menit 80 kali/menit
tinggi dan memandang dari jendela
Melihat pemandangan dari jendela gedung 102 kali/menit 88 kali/menit
lantai 5
Melihat pemandangan dari jendela gedung 98 kali/menit 83 kali/menit
lantai 7
Melihat pemandangan dari jendela gedung 102 kali/menit 86 kali/menit
lantai 9
Melihat pemandangan dari jendela gedung 124 kali/menit 93 kali/menit
lantai 11
Melihat pemandangan dari jendela gedung 128 kali/menit 91 kali/menit
lantai 13

Tabel 3
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DO

Jumlah Denyut Jumlah Denyut


Situasi yang Memunculkan Acrophobia Jantung Sebelum Jantung Setelah
Intervensi Intervensi
Membayangkan berada di tepi gedung 96 kali/menit 73 kali/menit
mall lantai 5 dan melihat ke bawah
Melihat pemandangan lantai dasar mall 92 kali/menit 72 kali/menit
dari tepi mall lantai 3
Melihat pemandangan lantai dasar mall 96 kali/menit 74 kali/menit
dari tepi mall lantai 4
Melihat pemandangan lantai dasar mall 98 kali/menit 75 kali/menit
dariInitial
tepi mallinterview
lantai 5 bertujuan untuk
EFEKTIVITAS CBT 35

melakukan screening. Pada sesi ini, calon IH mengaku pertama kali menyadari
subjek akan menjalani wawancara, mengalami acrophobia ketika ia berada
observasi, serta psikotes. Wawancara pada usia 4 tahun. Saat itu, ia berada di
dilakukan secara tidak terstruktur, eskalator mall dan berloncat-loncat di sana.
mengenai acrophobia serta keluhan- Karena tidak seimbang, ia pun terjatuh
keluhan yang terjadi akibat acrophobia dengan posisi kepala berada di bawah dan
tersebut, guna memastikan peneliti bahwa melihat ke lantai bawah secara langsung.
calon subjek memang benar mengalami Hal ini membuat ia sejak itu merasa cemas
masalah acrophobia. Melalui tahapan ini, dan takut dengan ketinggian, dan selalu
terpilihlah 3 subjek yang memenuhi kriteria. menghindari ketinggian.
Partisipan penelitian berjumlah 3 Subjek 2 berinisial DO, berjenis
orang. Subjek 1 berusia 23 tahun dengan kelamin perempuan dan berusia 26 tahun.
keluhan acrophobia, sehingga merasakan Saat ini tinggal di sebuah kamar kost di
kecemasan yang berlebih ketika menaiki kawasan Jakarta Barat, beragama Kristen,
eskalator di dalam pusat perbelanjaan dan dan bersuku Tionghoa, dengan pendidikan
menaiki pesawat terbang. Subjek 2 berusia terakhir SMA. Saat ini DO belum menikah.
25 tahun datang dengan keluhan Dalam keluarganya, DO adalah anak ke-4
mengalami acrophobia sehingga selalu dari empat bersaudara. Kedua orangtuanya
menghindari ketinggian, termasuk ketika masih hidup dan saat ini ia bekerja sebagai
harus berada di pusat perbelanjaan dengan karyawan di sebuah perusahaan swasta.
jumlah lantai banyak maupun DO mengaku tidak dapat mengingat
menyeberangi jembatan. Subjek 3 berusia kejadian pertama kali yang menyebabkan
36 tahun, datang dengan keluhan ia mengalami acrophobia. Namun ia
acrophobia sehingga sering mengalami mengingat pertama kali ia menyadari
kecemasan berlebihan dan menghindari bahwa ia menyandang acrophobia pada
berada di ujung ruangan ketika harus saat ia masih duduk di bangku sekolah
berada di dalam gedung tinggi. dasar kelas 4. Saat itu ia sedang mengikuti
Subjek 1 berinisial IH, seorang laki-laki program karyawisata, dan di sana ia selalu
berusia 23 tahun. Saat ini menetap di merasa takut serta ingin menghindar ketika
rumah orang tuanya di daerah Serpong, didekatkan dengan ketinggian.
beragama Katolik, dan bersuku Jawa, Subjek 3 berinisial DD, seorang laki-
dengan pendidikan terakhir S1 Akuntansi. laki berusia 39 tahun. Saat ini tinggal di
Saat ini IH belum menikah. Ia merupakan Jakarta Selatan di sebuah kamar kost,
anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya beragama Islam, dan bersuku Jawa,
saat ini berusia 47 tahun dan bekerja dengan pendidikan terakhir S1 Arsitektur.
sebagai karyawan swasta, sedangkan Saat ini DD belum menikah. Ia merupakan
ibunya berusia 43 tahun dan saat ini anak 3 dari 5 bersaudara. Saat ini, DD
beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. bekerja sebagai freelancer yang bekerja di
Saat ini, IH baru menyelesaikan pendidikan dalam mall.
sarjananya dan sedang mencari pekerjaan. DD mengaku pertama kali mengalami
36 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Tabel 4
Perbandingan Jumlah Denyut Jantung Sebelum dan Sesudah Intervensi pada DD

Jumlah Denyut Jumlah Denyut


Situasi yang Memunculkan Acrophobia Jantung Sebelum Jantung Setelah
Intervensi Intervensi
Membayangkan berada di tepi gedung mall 105 kali/menit 73 kali/menit
lantai 5 dan melihat ke bawah
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari 103 kali/menit 71 kali/menit
tepi mall lantai 3
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari 106 kali/menit 78 kali/menit
tepi mall lantai 4
Melihat pemandangan lantai dasar mall dari 109 kali/menit 73 kali/menit
tepi mall lantai 5

Tabel 5
Hasil Intervensi Ketiga Subyek Berdasarkan Respon Fisiologis (Denyut Jantung)

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3


Keterangan
(IH) (DO) (DD)
Rata-rata denyut jantung dalam kondisi
83 70,13 71,5
normal
Rata-rata skor pre-test ketika dihadapkan
107,83 93,5 103,25
dengan objek ketinggian
Rata-rata skor post-test ketika dihadapkan
86,83 72,5 73
dengan objek ketinggian

Tabel 6
Hasil Paired Sample t-test dari Denyut Jantung Ketiga Subjek

Std. Std. Error


Mean T df Sig.
Deviation Mean
Denyut jantung 24,08333 5,34049 3,08333 7,811 2 0,016

Tabel 7
Hasil Intervensi Ketiga Subyek berdasarkan Perilaku

Subyek Sebelum Sesudah


IH 1. Tidak berani menaiki eskalator 1. Sudah berani menaiki eskalator
sendirian sendirian.
2. Tidak berani melihat pemandangan 2. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari dalam gedung bertingkat ke bawah dari dalam gedung bertingkat.
DO 1. Tidak berani melihat pemandangan 1. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall. ke bawah dari tepi mall.
2. Tidak berani menyeberangi jembatan 2. Sudah berani menyeberangi jembatan
penyeberangan. Bila terpaksa, dilakukan penyeberangan tanpa harus berlari.
dengan berjalan cepat dan berlari.
DD 1. Tidak berani melihat pemandangan 1. Sudah berani melihat pemandangan
ke bawah dari tepi mall. ke bawah dari tepi mall.
2. Tidak berani melihat pemandangan 2. Sudah berani melihat pemandangan
dari balkon kost. dari balkon kost.

acrophobia ketika ia masih duduk di


EFEKTIVITAS CBT 37

bangku SMP. Saat itu, rumahnya belum gejala acrophobia. Hasil pre-test dan post-
selesai direnovasi. Pada saat itu, ia datang test pada DO dapat dilihat pada Tabel 3.
melihat-lihat rumahnya yang sedang Pada DD, ia mengaku lebih tenang
diperbaiki dan menaiki tangga rumahnya dalam menghadapi ketinggian setelah
yang belum memiliki pegangan. Tiba-tiba, mengikuti program intervensi. Ia mengaku
ia terpeleset dan terjatuh dari tangga tidak memiliki pemikiran negatif lagi
tersebut, sehingga badannya terjatuh dan terhadap ketinggian, sehingga ketika ia
menghantam lantai. Ia sangat terkejut, menatap dari tepi mall ke lantai dasar, ia
meski tidak mengalami luka fisik yang sudah mampu memahami bahwa
serius. Sejak saat itu, ia selalu berpikir ketakutan tersebut tidak rasional. Hal ini
bahwa ketinggian adalah hal yang memudahkannya karena ia seringkali
berbahaya dan harus ia jauhi. bekerja di dalam mall. Hasil pre-test dan
post-test DD dapat dilihat pada Tabel 4.
Hasil Ketiga subjek mengalami penurunan
denyut jantung ketika dihadapkan pada
objek ketinggian, hal ini mengindikasikan
Berdasarkan pengukuran denyut bahwa kecemasan pun menurun ketika
jantung, ditemukan adanya penurunan ketiga subjek dipaparkan pada objek
frekuensi denyut jantung yang fobianya, dan mendekati rata-rata jumlah
mengindikasikan turunnya kecemasan denyut jantung dalam kondisi normal. Hal
pada ketiga subjek. IH mengaku, setelah ini terangkum dalam Tabel 5.
mengikuti program intervensi, ia merasa Kemudian, peneliti juga melakukan
lebih tenang ketika menghadapi ketinggian. analisis data kuantitatif dengan
Ia sudah mampu menaiki eskalator tanpa menggunakan paired sample t-test untuk
harus berpegangan pada pundak atau baju mengetahui apakah perubahan jumlah
temannya lagi, sehingga ia tidak lagi denyut jantung antara pre-test dan post-
ditertawakan oleh teman-temannya. Selain test menurun secara signifikan. Hasil
itu, ia juga sudah berani untuk menatap paired sample t-test menunjukkan
pemandangan dari dalam jendela gedung signifikansi p = 0,016 < 0,05; yang berarti
bertingkat. Ia mengaku mengalami ada perubahan jumlah denyut jantung
penurunan gejala acrophobia. Hasil pre- secara signifikan pada ketiga subjek
test dan post-test pada IH dapat dilihat setelah menjalani sesi intervensi.
pada Tabel 2. Selain melalui pengukuran denyut
Pada DO, ia mengaku mengalami jantung, evaluasi juga dilakukan melalui
peningkatan yang cukup baik setelah observasi. IH pada awalnya tidak berani
mengikuti program intervensi. Ia mengaku menaiki eskalator sendirian, sehingga
sudah mampu mengabaikan pemikiran seringkali memegang pundak temannya
negatifnya ketika berada di tepi mall. Hal ini untuk menenangkan diri ketika menaiki
membuat ia lebih nyaman ketika sedang eskalator. Kini, IH sudah berani untuk
berada di dalam mall. Selain itu, ia juga menaiki eskalator sendirian. Selain itu, IH
mengaku merasakan adanya penurunan
38 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

yang sebelumnya tidak berani melihat ketinggian. Baik IH, DO, maupun DD;
pemandangan dari jendela gedung tinggi, selalu meyakini bahwa jika mereka dekat
kini sudah berani. Demikian juga dengan dengan ketinggian, mereka dapat
DO, yang awalnya selalu menjauhi tepi terjungkal dan terjatuh hingga
mall karena takut melihat ke bawah, kini menyebabkan luka berat atau kematian.
sudah berani melakukannya. DO juga Selain itu, mereka juga selalu meyakini
sudah berani menyeberangi jembatan bahwa ada temannya yang akan iseng dan
penyeberangan setelah mengikuti program mendorong mereka hingga jatuh bila
intervensi. DD, yang sebelumnya juga mereka berada dekat dengan ketinggian.
selalu menjauhi tepi mall karena takut Hal ini yang kemudian membuat mereka
melihat ke bawah, kini sudah berani merasa cemas dan menjauhi ketinggian.
mendekati tepi mall ketika berada di dalam Baik pada ketiga subyek, keyakinan yang
mall. DD juga sudah tidak merasa cemas tidak rasional tersebut berasal dari
lagi ketika berada di balkon kostnya yang pengalaman traumatis di masa kecil yang
berada di lantai 3. Hasil intervensi dalam berkaitan dengan ketinggian.
bentuk observasi perilaku terangkum dalam Kesadaran subjek bahwa acrophobia
Tabel 7. yang ia alami berasal dari keyakinannya
yang tidak rasional mulai muncul pada sesi
Diskusi keempat, yakni sesi memahami irrational
belief. Pada sesi ini, peneliti menjelaskan
bahwa acrophobia muncul dari keyakinan
Acrophobia merupakan salah satu jenis yang salah, dan subjek memiliki keyakinan
specific phobia. IH mengalami acrophobia yang salah ini sehingga memunculkan
sehingga tidak berani menaiki eskalator gejala kecemasan dan ketakutan yang
sendirian, selalu merasa cemas berlebihan intens ketika didekatkan dengan
ketika menaiki pesawat, dan tidak berani ketinggian. Ketiga subjek, IH, DO, dan DD
menyeberangi jembatan gantung. DO mengaku mulai memiliki perubahan
menyandang acrophobia sehingga tidak pandangan terhadap ketinggian setelah
berani menaiki tangga untuk mengganti melewati sesi keempat ini, namun masih
lampu, merasa cemas ketika menaiki belum mampu mengatasi acrophobia.
pesawat, dan tidak berani melihat ke Pada akhirnya, ketiga subjek mengaku
bawah ketika berada di tepi mall. Demikian mengalami penurunan intensitas
juga DD yang merasa terganggu dengan acrophobia setelah mengikuti program
acrophobia yang ia sandang sehingga ia Cognitive Behavior Therapy dengan
kerapkali menjauhi tepi mall agar tidak lengkap, baik yang berjenis kelamin laki-
perlu melihat ke bawah. Baik ketiganya laki maupun perempuan. Hal ini berarti
merasakan gangguan dari acrophobia bahwa program Cognitive Behavior
tersebut ke dalam kehidupannya, baik Therapy untuk acrophobia tidak dibatasi
secara sosial maupun pekerjaan. Baik oleh jenis kelamin. Namun IH dan DO
ketiganya juga memiliki irrational belief atau menyatakan bahwa tujuh sesi yang dijalani
keyakinan yang tidak rasional terhadap
EFEKTIVITAS CBT 39

terlalu lama, sehingga terkadang tangga, atau menaiki pesawat.


mengalami kesulitan untuk menyesuaikan Selain itu, dua dari tiga subjek
waktu antara jam pulang kerja dan sesi. mengeluhkan bahwa program intervensi
yang cukup lama. Pada penelitian
Kesimpulan, Implikasi, dan Saran selanjutnya, disarankan untuk dapat
mencari dan merumuskan program
intervensi acrophobia yang lebih singkat,
sehingga dapat menghemat waktu, tanpa
Berdasarkan hasil penelitian yang
mengurangi efektivitas dari terapi tersebut.
dilakukan pada ketiga partisipan dengan
gangguan acrophobia, dapat disimpulkan
bahwa Cognitive Behavior Therapy efektif Referensi
untuk mengatasi acrophobia pada dewasa
awal, yang berada pada rentang usia 20 Adler, J. M., & Cook-Nob les, R. (2011).
sampai dengan 40 tahun, baik pada jenis The successful treatment of spesific
kelamin perempuan maupun laki-laki. Hal phobia in a college counseling center.
ini dapat dilihat dari penurunan denyut Journal of College Student
jantung serta perubahan perilaku pada Psychotherapy, 25(1), 56-66.
ketiga partisipan setelah mengikuti program Bourne, E. J., & Garano, L. (2003). Coping
terapi, masing-masing sebanyak tujuh sesi with anxiety: 10 simple ways to relieve
selama sekitar 2 bulan atau 8 hingga 10 anxiety, fear, and worry. CA: New
minggu. Hal ini mengimplikasikan bahwa Harbinger Publications.
Cognitive Behavior Therapy dapat Coelho, C. M., Santos, J. A., Silverio, J., &
digunakan untuk mengatasi acrophobia Silva, C.F. (2006). Virtual reality and
pada dewasa muda dalam jangka waktu acrophobia: One-year follow-up and
kurang lebih 2 bulan, sehingga dapat case study. Cyberpsychology &
membantu dewasa muda penyandang Behavior, 9(3), 336-341.
acrophobia agar dapat beraktivitas sesuai Coelho, C. M., & Wallis, G. (2010).
perannya tanpa harus mengalami Deconstructing acrophobia:
kecemasan terhadap ketinggian. Physiological and psychological
Pada penelitian selanjutnya, dapat precursors to developing a fear of
disarankan untuk menambah jumlah heights. Depression and Anxiety, 27,
partisipan dengan latar belakang yang lebih 864-870.
beragam, misalnya dari bidang pekerjaan Depla, M., Have, M. T., Balkom, A. J., &
dan usia yang berbeda-beda. Selain itu, Graaf, R. (2008). Specific fears and
disarankan untuk menambah partisipan phobias in the general population:
dengan jenis acrophobia yang lebih Results from the Netherlands Mental
beragam juga. Dalam penelitian ini, lebih Health Survey and Incidence Study
ditekankan pada ketinggian dari dalam (NEMESIS). Psychiatry Epidemiology,
gedung, sedangkan masih banyak jenis 43, 200-208.
acrophobia lainnya seperti jembatan, Emmelkamp, P. M. G., Bruynzeel, M.,
40 GARVIN, SATIADARMA, & SURYADI

Drost, L., & Van Der Mast, C. A. disorders. UK: Cambridge University
(2001). Virtual reality treatment in Press.
acrophobia: A comparison with Whitney, S. L., Jacob, R. G., Sparto, P. J.,
exposure in vivo. Cyberpsychology & Olshanky, E. F., Detweiler-Shostak, G.,
Behavior, 4(3), 335-339. Brown, E. L., & Furman, J. M. (2005).
Halgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2009). Acrophobia and pathological height
Abnormal psychology: Clinical vertigo: Indications for vestibular
perspective on psychological disorders physical therapy? Physical Therapy,
(6th ed.). NY: McGraw-Hill. 8(5), 443-458.
Hofmann, S. G., Asnaani, A., Vonk, I. J., Wilding, C., & Milne, A. (2008). Cognitive
Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The behavioural therapy. UK: Bookpoint.
efficacy of cognitive behavioral therapy: Williams, C. (2003). Overcoming anxiety: A
A review of meta-analyses. Cognitive five areas approach. NY: Oxford
Therapy and Research, 36(5), 427-440. University Press.
Kail, R. V., & Cavanaugh, J. C. (2010).
Human development: A life-span view
(5th ed.). NY: McGraw-Hill. Alamat surel: garvin.goei@gmail.com,
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. monty_satiadarma@yahoo.com,
C., & Neale, J.M. (2010). Abnormal angiedenrich@yahoo.com
psychology (11th ed.). NY: McGraw-
Hill.
Nolen-Hoeksema, S. (2004). Abnormal
psychology (3rd ed.). NY: McGraw-Hill.
Papalia, D. E., & Feldman, R. D. (2012).
Experience human development (12th
ed.). NY: McGraw-Hill.
Quervain, D. J., Bentz, D., Michael, T., Bolt,
O. C., Wiederhold, B. K., Margraf, J., &
Wilhelm, F. H. (2010). Glucoticoids
enhance extinction-based
psychotherapy. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the
United States of America, 108(16),
6621-6625.
Sudak, D. M. (2006). Cognitive behavioral
therapy for clinicians. PN: Lippincott
Williams & Wilkins.
Taylor, M. A., & Vaidya, N. A. (2009).
Descriptive psychopathology: The
signs and symptoms of behavioral
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 41-62, ISSN. 0853-3098
EMOSI POSITIF 41

EMOSI POSITIF PADA IBU YANG MEMILIKI


ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM
AUTIS
(POSITIVE EMOTIONS IN MOTHERS OF
CHILDREN WITH AUTISM SPECTRUM
DISORDER)
Nurussakinah Daulay
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

This research is an empirical study aims to explore the positive emotions felt during the maternal care of
autistic children. Participants in this study involves 58 mothers of children with autism in the city of Medan.
Sampling was done by purposive sampling. Subjects were asked to complete a questionnaire open
questions related to positive emotions felt by the mother. The results showed that positive emotions in
mothers of children with autism will appear after the mother is able to accept her condition. The admission
process against her mother influenced by social support, knowledge mother, religious coping, and symptom
severity of the child. Displayed positive emotions such as compassion mothers, quiet, relieved, happy.
Positive emotions make people more open to new experiences that expand the personal resources, both
physical resources, cognitive, and social.

Keywords: positive emotions, parenting, mothers, children with autism

Penelitian ini merupakan penelitian empiris, bertujuan untuk mengeksplorasi emosi positif yang ibu rasakan
selama mengasuh anak autis. Partisipan dalam penelitian ini melibatkan 58 ibu-ibu yang memiliki anak
autis di kota Medan. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Subjek diminta untuk
mengisi angket terbuka dengan pertanyaan yang berkaitan dengan emosi positif dirasakan ibu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa emosi positif pada ibu yang memiliki anak autis akan muncul setelah ibu
mampu menerima kondisi anaknya. Proses penerimaan ibu terhadap anaknya dipengaruhi oleh dukungan
sosial, pengetahuan ibu, koping religius, dan gejala tingkat keparahan anak. Emosi positif yang ditampilkan
ibu seperti kasih sayang, tenang, merasa lega, dan bahagia. Emosi positif membuat individu lebih terbuka
pada pengalaman baru sehingga memperluas sumber daya pribadi, baik sumber daya fisik, kognitif,
maupun sosial.

Kata kunci: emosi positif, pengasuhan, ibu, anak autis

Kehadiran anak bagi orang tua sendiri kedewasaannya dalam kehidupan. Orang
merupakan upaya untuk memenuhi tua sebagai individu yang mengasuh,
kebutuhan dasar orang tua akan melindungi, dan membimbing anaknya dari
kedekatan, rasa pencapaian dan bayi hingga tahapan dewasanya, berupaya
41
42 DAULAY

untuk memberikan tanggung jawab dengan rett.


penuh kasih sayang pada setiap tahapan Istilah spektrum menunjukkan bahwa
perkembangan anak. Setiap orang tua gejala gangguan ini bervariasi antara anak
(khususnya ibu) juga berharap bahwa anak yang satu dengan anak lainnya. Ada anak
yang dilahirkannya dalam keadaan sehat, yang gejalanya ringan sehingga sedikit
cerdas dan normal layaknya anak-anak membutuhkan bantuan dari lingkungan,
lain. Ibu adalah sosok individu yang telah namun terdapat juga anak yang gejalanya
mengandung, melahirkan dan merawat sangat berat dan membutuhkan dukungan
anak sesuai tahapan perkembangan anak. yang intens dari lingkungan, seperti
Setiap ibu memiliki gambaran ideal tentang perilaku tantrum dan menyakiti dirinya
anaknya sendiri, namun ketika anaknya sendiri. Mash dan Wolfe (1999) juga
lahir dalam keadaan tidak normal ataupun menekankan bahwa beberapa individu
mengalami penurunan perkembangan didiagnosa autis terlibat dalam perilaku
dalam dua tahun pertama kehidupan anak, yang sangat agresif dan merugikan diri
maka hal ini akan memunculkan sendiri. Secara keseluruhan, derajat tingkat
kekecewaan yang mendalam pada diri ibu. keparahan setiap anak dan area
Memiliki anak berkebutuhan khusus gangguannya sangat berbeda satu dengan
terutama autis menjadi pengalaman lainnya.
tersendiri buat ibu. Gangguan spektrum Wing (1997) mengungkapkan bahwa
autis adalah gangguan perkembangan gangguan spekrum autis adalah kondisi
yang ditandai dengan penurunan dalam neurodevelopmental sepanjang kehidupan
bahasa dan komunikasi, interaksi sosial, yang dikarakteristikkan dengan penurunan
dan bermain serta imajinasi, dengan dalam komunikasi sosial, hubungan timbal
terbatasnya perhatian akan minat dan balik sosial, dan perilaku stereotipe dan
perilaku yang berulang-ulang (American minat yang berulang. Gangguan spektrum
Psychiatric Association [APA], 2013). Pada autis didiagnosa selama masa anak-anak
DSM-IV-TR (APA, 2000), autis masuk awal menggunakan observasi perilaku
dalam payung gangguan perkembangan dan/atau interview klinis (Lord et al., 1994,
pervasif bersama dengan gangguan 2000, dalam Ecker, 2016)). Perkiraan
asperger, gangguan disintegratif masa prevalensi berkisar 1% dalam populasi
kanak-kanak (childhood disintegrative umum (Baird et al., 2006, dalam Ecker,
disorder), gangguan rett (rett’s disorder), 2016).
dan gangguan perkembangan pervasif Bailey, Phillips & Rutter (1996, dalam
yang tidak dapat dikategorikan (pervasive Zillmer, Spiers & Culbertson, 2008)
developmental disorder-not otherwise menjelaskan bahwa dalam perilakunya,
specified atau PDD-NOS). Pada DSM-5 anak dengan gangguan spektrum autis
(APA, 2013), autis dipandang sebagai menunjukkan diskoneksi sosial dengan
entitas tunggal dan diubah menjadi sebuah karakteristik sebagai berikut: (1) Kesadaran
spektrum yang meliputi seluruh gangguan terbatas, ketertarikan, hasrat, kebutuhan,
perkembangan pervasif kecuali gangguan tekanan atau kehadiran orang lain, (2)
EMOSI POSITIF 43

Keterpurukan emosi dan sikap acuh tak juga menekankan bahwa ibu dengan anak
acuh, (3) Kegagalan berbagi aktivitas, autis akan lebih stres dibandingkan ibu
kesenangan, dan menjalin hubungan dengan anak mental retardasi, atau anak
dengan orang lain, (4) Kurang memahami dengan cystic fibrosis, penyakit fisik kronik
pada konvensi sosial, (5) Kerusakan dalam (Bouma & Schweitzer, 1990, dalam Weiss,
perspektif sosial dan peran empati, (6) (2002; Baker-Ericzen et al., 2005; Bromley
Kemampuan sosial terbatas, seperti et al., 2004; Eisenhower et al., 2005; Estes
perilaku pemberian salam, dan (7) et al. 2009; Pisula & Kossakowska, 2010;
Canggung dalam merespon orang lain. dalam McStay et al., 2014).
Ibu yang memiliki anak autis umumnya Ibu adalah orang yang terlibat langsung
reaksi pertama kali ketika mengetahui dalam kepengasuhan anak sepanjang hari.
anaknya terdiagnosa autis akan merasa Ibu merasakan beban dan stres dalam
kaget, mengalami goncangan batin, takut, mengasuh dan merawat anak autis. Ibu
sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak mengalami emosi-emosi negatif seperti
atau marah terhadap diri sendiri maupun menolak, menyalahkan diri sendiri, cemas,
marah terhadap Tuhan. Kondisi tersebut malu, takut, sehingga ibu tidak optimal
memicu tekanan dan kesedihan terhadap dalam mengasuh anaknya, sedangkan di
orangtua, khususnya ibu sebagai figur sisi lain anak autis sangat membutuhkan
terdekat dan umumnya lebih banyak perhatian dan kasih sayang dari orang-
berinteraksi secara langsung dengan anak. orang terdekat. Hal ini akan berakibat
Adapun ibu yang mengalami depresi buruk dalam pengasuhan karena stres dan
cenderung (1) menyembunyikan anak dari emosi negatif yang sering dialami membuat
orang lain; (2) meminimalkan tanggung ibu berperilaku tidak sehat, tidak positif dan
jawab dalam pengasuhan dan perawatan akan memperparah keadaan anak autis,
anak; dan (3) membatasi interaksi dengan seperti menelantarkan anaknya bahkan
anak yang terbelakang mental tersebut berperilaku kasar terhadap anaknya.
(Larsson et al., 2005). Pada awal diagnosa anak, ternyata
Ibu yang memiliki anak autis memiliki tidak semua ibu dapat menerima kondisi
ciri-ciri profil stres (Koegel et al., 1992, anaknya, sebab mengasuh anak autis
dalam Weiss, 2002). Profil ini menunjukkan membutuhkan kerja keras serta berbagai
fokus berlebih pada ketergantungan anak permasalahan yang muncul seperti
dan terbatasnya kesempatan keluarga besarnya biaya untuk terapi dan
dianggap menjadi kontributor stres pengobatan anak, pandangan negatif dari
pengasuhan ibu. Senada dengan itu, masyarakat yang belum mengetahui akan
Abbeduto et al. (2004) juga menjelaskan kondisi anak autis, perhatian dan
bahwa ibu yang memiliki anak dengan pengasuhan yang intens dilakukan
gangguan spektrum autis secara umum sepanjang kehidupan anak, rendahnya
dilaporkan memiliki tingkat stres yang lebih waktu luang yang dimiliki ibu untuk dirinya
tinggi dibandingkan ibu yang memiliki anak sendiri, ibu juga tidak mempunyai
dengan gangguan lain. Donovan (1988) keyakinan akan kemampuan pada anaknya
44 DAULAY

untuk menghadapi kehidupannya sendiri, Sebaliknya, emosi sekunder meliputi


bahkan ada beberapa diantara ibu-ibu yang semua variasi dan campuran berbagai
memberikan pengasuhan anak sepanjang emosi yang bervariasi antara satu
hari di sekolah-sekolah autis (boarding) kebudayaan dengan kebudayaan lainnya
dan membiarkan mereka diasuh orang lain serta berkembang secara bertahap sesuai
tanpa pengasuhan ibunya langsung. Ibu dengan tingkat kebudayaan kognitif. Hardy
yang kurang mampu menerima kondisi dan Heyes (1985) menjelaskan bahwa
anaknya tentu dapat berpengaruh terhadap emosi dapat dikategorikan sebagai yang
munculnya emosi-emosi negatif dalam diri positif (misal kesenangan, keriangan, cinta)
ibu, sikap ibu yang kurang sabar dalam dan yang negatif (misal benci, marah,
merawat anak, hal ini akan berdampak ibu takut). Hampir semua orang secara aktif
menjadi kurang tangguh dalam mengasuh mencari perasaan emosional yang positif
sepanjang kehidupan anak. Disinilah letak serta berusaha menolak perasaan yang
pentingnya memiliki emosi positif sebagai negatif.
kekuatan internal ibu agar tetap sehat di Emosi positif merupakan salah satu
bawah tekanan permasalahan anak. faktor yang mempercepat recovery
Mengingat peran emosi positif memiliki (penyembuhan) yang adaptif terhadap
pengaruh yang kuat dalam menumbuhkan stres (Sholichatun, 2008). Menurut Zautra
ketangguhan dan proses pengasuhan (dalam Sholichtun, 2008) dalam teori
positif pada ibu, maka penelitian ini dynamic model of affect (DMA) dalam
merupakan studi awal dalam menjelaskan keadaan normal atau keadaan biasa,
emosi positif pada ibu yang memiliki anak emosi positif dan emosi negatif merupakan
autis. emosi yang berdiri sendiri/independen.
Menurut Wade dan Tavris (2007), Namun pada saat individu mengalami
emosi merupakan suatu stimulus yang stres, emosi positif dan emosi negatif
melibatkan perubahan pada tubuh dan mempunyai hubungan yang berbeda.
wajah, aktivasi pada otak, penilaian Berkurangnya emosi positif pada masa
kognitif, perasaan subjektif, dan stres akan meningkatkan kepekaan
kecenderungan melakukan suatu tindakan, individu terhadap efek negatif stres.
yang dibentuk seluruhnya oleh peraturan- Dengan kata lain, jika individu
peraturan yang terdapat di suatu mengembangkan emosi positif dalam
kebudayaan. Penelitian mengenai aspek- kondisi stres, maka emosi positif akan
aspek fisiologis dari emosi menunjukkan menyumbang resistensi stres dan
bahwa manusia, dimanapun berada, telah penyesuaian terhadap stres melalui
memiliki dasar-dasar emosi atau telah terganggunya pengalaman emosi negatif
memiliki emosi primer semenjak mereka yang terjadi stres berlangsung.
dilahirkan. Emosi primer umumnya meliputi Menurut Frederickson (2000, dalam
rasa takut (fear), marah (anger), sedih Yeni 2013), emosi positif dapat berfungsi
(sadness), senang (joy), terkejut (surprise), sebagai koping dalam tiga hal. Pertama,
jijik (disgust), dan sebal (comptempt).
EMOSI POSITIF 45

Tabel 1
Karakteristik Demografi pada Ibu dan Anak Autis

No Variabel Kategori Freku Persen Mean SD


ensi
1. Usia ibu 20 – 30 tahun 8 13.7% 46.8 5.6
30 – 40 tahun 31 53.4% 49 4.4
40 - 50 tahun 18 31.03% 48.2 5.6
> 50 tahun 1 1.7% 53
2. Suku Jawa 22 37.9% 49.7 5.3
Batak 16 27.5% 48.6 5.1
Tionghoa 10 17.2% 48.4 4.5
Minang 5 8.6% 49 3.3
Melayu 4 6.8% 46 4
Bali 1 1.7% 49
3. Status pernikahan Menikah 50 86.2% 48.8 4.9
Janda (suami meninggal) 4 6.8% 51 3.9
Janda (bercerai) 4 6.8% 47.2 4.7
4. Hidup bersama Hidup bersama anak, 8 13.7% 49.6 5.01
orang dewasa lain
Hidup bersama anak, 30 51.7% 49.2 4.3
suami
Hidup bersama anak, 20 34.4% 48 5.5
suami dan orang dewasa
lain
5. Status pekerjaan Wiraswasta 10 17.2% 48.5 5.3
PNS 9 15.5% 49.3 6.1
Guru 3 5.1% 52 7
Dokter 4 6.8% 47 5.2
Pegawai swasta 4 6.8% 51.5 3.5
Ibu rumah tangga 28 48.2% 48.4 4.1

6. Pendidikan Tamatan SD 0 0 0 0
Tamatan SMP 0 0 0 0
Tamatan SMA 7 12.06% 47.3 3.9
Tamatan S1 51 87.9% 49.1 4.9
7. Jumlah anak 1 11 18.9% 48.9 3.8
2 25 43.1% 48.8 5.7
3 16 27.5% 49.8 4.01
>3 6 10.3% 47.8 4.8
8. Pendapatan < Rp. 1.000.000 1 1.7% 50
Rp. 1.000.000 – Rp. 8 13.7% 47.5 6.02
2.000.000
Rp. 2.000.000 – Rp. 9 15.5% 47.8 4.8
3.000.000
Rp. 3.000.000 - Rp 16 27.5% 50.4 3.7
4.000.000
>Rp. 4.000.000 24 41.3% 48.6 5.1
9. Jenis autis Autis mild 36 63.8% 48.9 4.4
Autis moderate 17 27.5% 48.9 5.7
Autis severe 5 8.6% 48.2 5.4
10. Usia anak 2-5 tahun 9 15.5% 45.7 4.4
5-10 tahun 31 53.4% 49.1 3.8
10-15 tahun 12 22.4% 50.5 6.2
15-20 tahun 6 8.6% 48.8 5.9

11. Jenis kelamin Laki-laki 46 79.3% 49.3 4.8


anak Perempuan 12 20.6% 47 4.5
46 DAULAY

bahwa emosi positif akan membantu Pada ibu yang memiliki anak autis akan
seseorang menghadapi permasalahan sering mengalami stres jika ibu memaknai
karena emosi positif membantu seseorang pengasuhan terhadap anak autis lebih
agar lebih berpikir objektif. Kedua, emosi banyak dipengaruhi emosi negatif. Sanders
positif dan dukungan sosial sangat dan Morgan (1997) melaporkan bahwa
berhubungan, dimana dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak autis akan
akan sangat membantu meningkatkan mengalami stres yang lebih tinggi
keadaan kestabilan emosi seseorang. dibandingkan ibu dengan anak yang
Ketiga, emosi positif akan meningkatkan mengalami gangguan perkembangan
kemampuan dalam menangani dampak lainnya (seperti down syndrome). Menurut
fisik karena stress. Koping dapat diartikan Sharpley, Bitsika, dan Efremidis (1997),
sebagai mekanisme penyesuaian diri terdapat tiga faktor terpenting stres
secara psikologis terhadap stimulus yang berhubungan dengan pengasuhan anak
dinilai sebagai ancaman ataupun autis, yaitu (a) konsentrasi penuh pada
tantangan. Menurut Lucas, Diener, dan kondisi ketidakmampuan anak; (b)
Larsen (2006), emosi positif merupakan penerimaan lingkungan yang rendah akan
pengalaman emosional yang perilaku anak autis; juga dari anggota
menyenangkan atau menggembirakan. keluarga; (c) rendahnya dukungan sosial
Menurut Frederickson (2000, dalam yang diterima dari orang tua.
Yeni, 2013), pola pikir yang menyertai Pengambilan data pada penelitian ini
emosi positif pada gilirannya membawa menggunakan angket terbuka, berdasarkan
keuntungan adaptif jangka panjang karena angket terbuka menjelaskan bahwa hampir
memperluas sumber daya pribadi. Sumber keseluruhan ibu-ibu yang memiliki anak
daya ini mencakup; sumber daya fisik, autis pada awalnya mengalami emosi
misalnya perbaikan kesehatan, umur negatif dalam dirinya, seperti stres, sedih,
panjang; sumber daya sosial, misalnya menyalahkan diri, mengeluh, marah,
persahabatan, dukungan sosial; sumber depresi, menolak anak. Emosi negatif ini
intelektual, misalnya menguasai yang mempengaruhi ibu menjadi terhambat
pengetahuan; dan sumber daya psikologis, dalam menerima kondisi anak. Proses
misalnya resiliensi, optimis dan kreatif. penerimaan terhadap anak autis pada
Sumber daya ini bertahan lama, efeknya setiap ibu akan berbeda-beda, tergantung
adalah peningkatan sumber daya pribadi dari tingkat gejala keparahan anak,
seseorang. Sumber daya ini dapat dukungan sosial yang ibu terima, dan
digunakan dalam keadaan emosi yang pengetahuan yang ibu miliki. Hal ini selaras
berbeda. Menurut Tugade, Frederickson, dengan penelitian yang dilakukan oleh
dan Barret (2004), melalui pengalaman Mashita (2015) tentang penerimaan orang
emosi positif maka individu dapat tua terhadap anak penderita autis. Hasil
mengubah diri, menjadi lebih kreatif, penelitiannya menunjukkan bahwa (1)
berpengalaman, ulet, sosial dan menjadi permasalahan awal yang dihadapi orang
individu yang sehat. tua adalah orang tua merasa sedih saat
EMOSI POSITIF 47

mengetahui anaknya mengalami autis, membangun sumber daya fisik,


bingung apa yang harus dilakukan oleh meningkatkan produktivitas, dan
orang tua, biaya terapi serta kebutuhan membangun sumber daya sosial.
anak, tipe suami yang kurang perhatian, Penelitian ini merupakan studi awal
membutuhkan waktu yang ekstra untuk untuk mengeksplorasi peran emosi positif
memperhatikan anak; (2) proses dalam mempengaruhi pengasuhan ibu
penerimaan orang tua pada anak autis terhadap anak autis. Penelitian ini
diawali dengan proses penolakan bertujuan untuk menggali emosi positif
ditunjukkan dengan ketidakpercayaan serta yang ibu rasakan dan ibu alami selama
kebingungan orang tua atas kondisi anak, mengasuh anak, maka penelitian ini
selain itu orang tua merasa sedih, shock. menarik sekali dikaji lebih lanjut untuk
Kemudian proses kemarahan terhadap diri memperkaya ilmu pengetahuan khususnya
sendiri, anak dan orang lain. Selanjutnya dalam bidang psikologi positif, psikologi
proses tawar menawar, diwujudkan dengan perkembangan, psikologi klinis dengan
cara berbicara dalam hati dan melakukan menjelaskan emosi-emosi positif pada ibu
pembenaran serta pembelaan sebagai yang memiliki anak dengan gangguan
wujud untuk bisa menentramkan hati orang spektrum autis.
tua. Kemudian proses depresi, yang
ditunjukkan orang tua dengan perasaan Metode
bersalah, kecewa atas kondisi yang terjadi
Penelitian ini menggunakan
pada anak, kemudian proses terakhir yaitu
pendekatan fenomenologi (Moustakas,
penerimaan, ditunjukkan dengan sikap
1994). Penelitian fenomenologi umumnya
pasrah orang tua atas kondisi anaknya
membahas pertanyaan tentang
serta memperhatikan perkembangan anak
pengalaman manusia sehari-hari yang
selama proses terapi dan belajar di rumah
diyakini sebagai fenomena penting di
serta memasrahkan kesembuhan anak
lapangan ilmu sosial. Ibu-ibu yang memiliki
pada Tuhan.
anak autis merupakan komunitas khas
Penelitian mengenai efek emosi positif
tersendiri yang perlu digali pengalamannya
dalam menghadapi kesulitan pernah
selama mengasuh anak autis. Subjek
dilakukan oleh Rick Snyder (dalam
penelitian berjumlah 58 orang ibu yang
Lazarus, 2005). Hasil penelitiannya
memiliki anak autis dan berdomisili di kota
menunjukkan bahwa orang yang
Medan Sumatera Utara (Tabel 1). Peneliti
mempunyai emosi positif mampu bertahan
bekerjasama dengan 2 sekolah dan 6
dalam menghadapi kesulitan dan
terapi anak autis di kota Medan, dari
melakukan langkah pencegahan terhadap
sekolah dan terapi tersebut didapatkan 58
masalah-masalah yang sedang
orang subjek penelitian.
dihadapinya. Lazarus (2005) juga
Selanjutnya subjek diminta untuk
mengungkapkan lebih banyak lagi manfaat
mengisi angket terbuka dengan pertanyaan
emosi positif bagi individu, seperti
sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa yang
memperluas dan membangun intelektual,
membuat ibu mampu bertahan dalam
48 DAULAY

mengasuh anak autis?, (2) Ceritakan Faktor-faktor yang Membuat Ibu Mampu
bagaimana emosi positif yang ibu rasakan Bertahan Dalam Mengasuh Anak Autis
selama memiliki anak autis?, (3) Usaha-
usaha apa saja yang ibu lakukan untuk Jika dilihat dari sisi anak autis sendiri
dapat membangkitkan emosi positif dalam yang mengalami gangguan perkembangan
diri ibu?, (4) Bagaimana peran emosi positif dan terjadi sepanjang rentang kehidupan
dalam mempengaruhi pengasuhan ibu anak, dengan ciri-ciri memiliki perilaku
terhadap anak?, dan (5) Bagaimana excessive (berlebihan) ditandai dengan
perasaan ibu sekarang? hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa
Data yang diperoleh pada tahap ini menjerit, menggigit, memukul diri sendiri,
kemudian dianalisis dengan menggunakan mencakar, serta perilaku yang deficit
teknik koding (Strauss & Corbin, 2003) (berkekurangan) ditandai dengan
yang terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) open gangguan bicara, senang menyendiri,
coding, dimana peneliti mulai tatapan mata kosong, perilaku sosial
mengidentifikasi kategori-kategori tema rendah. Bagi ibu, bukanlah hal yang mudah
yang muncul, (2) axial coding, dimana untuk mengasuh anak autis. Oleh karena
peneliti berusaha melihat hubungan- itu dibutuhkan pertanyaan awal yang
hubungan antara kategori satu dengan penting diajukan adalah faktor apa yang
yang lainnya, dan (3) selective coding, membuat ibu mampu bertahan dalam
dimana peneliti menyeleksi kategori yang mengasuh anak autis. Berdasarkan analisis
paling mendasar, secara sistematis koding terhadap angket terbuka, diperoleh
menghubungkannya dengan kategori- faktor-faktor yang membuat ibu mampu
kategori lain dan memvalidasi hubungan bertahan yaitu peran agama, dukungan,
tersebut. pengetahuan tentang anak autis, emosi
Berdasarkan hasil penelitian ini akan positif, dan naluri ibu.
menghasilkan faktor-faktor yang membuat Salah satu faktor yang membuat ibu
ibu mampu bertahan dan salah satunya mampu bertahan adalah adanya emosi
adalah peran emosi positif ibu, kondisi positif yang ibu rasakan selama mengasuh
emosi ibu selama mengasuh anak pada anak autis, yaitu kasih sayang, perduli,
saat sebelum terdiagnosa autis dan setelah tenang, bersyukur, bahagia. Hal ini sesuai
terdiagnosa autis, perasaan ibu sekarang dengan pendapat Lazarus (1991), terdapat
mengasuh anak autis. empat aspek emosi positif yaitu bahagia
(happy), bangga (pride), kasih sayang
Hasil dan Diskusi (love/affection), dan lega (relief). Bahagia
muncul pada saat ibu merasa bahwa ibu
telah berbuat dan berjuang demi kemajuan
Hasil dari penelitian ini adalah yang berarti untuk anak, biasanya ini terkait
berupaya untuk menggali perasaan positif dengan tujuan jangka panjang, seperti ibu
ibu selama mengasuh anak autis hingga berusaha untuk membawa anak ke terapi,
sekarang. ke sekolah autis, berkonsultasi dengan
EMOSI POSITIF 49
Tabel 2
Gambaran emosi positif ibu berdasarkan teori Frederickson (1998)

Aspek Verbatim Wujud Emosi Positif


Emosi
Positif
Joy “Rasanya luar biasa banget kalau melihat anak sudah  Subjek merasa senang
bisa makan sendiri, pakai baju sendiri...meskipun ketika anak mampu
awalnya berat...” (Subjek 3) menunjukkan
“Saya menyadari peran saya sebagai ibu..jadi saya kemajuan dalam
harus bertanggung jawab untuk bisa mandiri” (Subjek perilaku.
7)
“Perasaan saya lebih baik, setelah sekian lama saya
terapi anak sekarang mulai mandiri” (Subjek 11)
“Dulu saya harus berjuang lebih keras.. membawa anak  Subjek merasa bahagia
ke terapi.. sekarang anak sudah bisa diajak karena anak mampu
bicara...sekali-kali ada kontak mata juga...” (subjek 14) berinteraksi sosial,
“Alhamdulillah..melihat kemajuan yang dialami anak sudah mulai ada
kami sudah membuat kami bahagia dan bangga, sedikit hubungan timbal balik
demi ucapan yang keluar dari bibirnya, dan saat ini
anak kami sudah mulai memahami apa yang
diperintahkan.Cuma saja terkadang emosi yang muncul
tiba-tiba membuatnya marah dan menangis” (subjek 4)
“Kalau diingat-ingat.. dulu parah tantrumnya, sampai  Subjek merasa bahagia
kepala dibentur ke dinding.. tapi dengan kesabaran kita karena berkurangnya
mengatasi perilaku anak...syukurlah tantrumnya sudah perilaku tantrum anak
sangat berkurang..” (Subjek 23)
“Saya berharap anak saya bisa berbicara dan
berinteraksi dengan orang lain seperti anak normal
lainnya. Anak saya bisa mengenal saya sebagai
mamanya dan mengenal papanya.” (Subjek 31)
“Perasaan saya sekarang lebih tenang dan sabar
dalam menghadapi permasalahan yang ada pada R,
berusaha terus melakukan segala hal untuk kemajuan
perkembangan R anak saya dan tentunya saya harus
kuat dan sehat, harus membagi waktu dan melihat dan
memantau terus perkembangan abangnya R juga”.
(subjek 37).

Interest “Saat saya melihat tingkah lakunya berbeda dengan  Subjek berkeinginan
abangnya dan anak-anak pada umumnya, saya untuk mencari
mengalami ketakutan dan kesedihan yang laur biasa, informasi tentang
gimana masa depan anak Saya berusaha terus bawa pengasuhan positif
ke beberapa psikolog, konsul dengan beberapa dokter, terhadap anak
THT, dr spesialis anak & tingkah laku, segala macam
cara saya lakukan, tes darah, urin, diet makan organik,
gutenfree, logam berat yang tidak boleh anak saya
konsumsi.”(subjek 7)
“Bagi saya dengan membawa K ke mall, ke tempat  Subjek berkeinginan
undangan merupakan pengalaman yang berarti, karena berbagi pengalaman
banyak orang memperhatikan dan bertanya-tanya akan dalam mengasuh anak
kondisi anak...ya jadi harus saya jelaskan..” (subjek 29).
“Saya sangat bersemangat ketika ada kegiatan di terapi  Subjek bersedia
autis ini dalam rangka meningkatkan kemampuan mengikuti kegiatan
motorik anak” (subjek 45) terkait pengasuhan
“Pemerintah sekarang sudah mulai mensosialisasikan anak autis
kondisi anak autis, seperti dengan adanya Hari Anak
Autis Nasional” (subjek 34).
50 DAULAY

Tabel 2 (lanjutan)
Gambaran emosi positif ibu berdasarkan teori Frederickson (1998)

Aspek Verbatim Wujud Emosi Positif


Emosi
Positif
Content “Saya memiliki keyakinan bahwa tidak akan ada usaha  Subjek merasa puas
yang sia-sia dengan keikhlasan dan kesabaran pasti J dan bangga bisa
ment
bisa melewati semua ini” memberikan pelayanan
“Meskipun perjalanan ke tempat terapi sangat jauh.. terbaik untuk anak
karena kita tinggal di kota kecil.. bisa dua jam
perjalanan, saya gak putus asa.. pasti usaha yang
dilakukan akan berbuah manis.” (subjek 30).
“Saya tidak merasa berkecil hati atas kondisi anak  Subjek bersyukur
saya, justru saya banyak diberi pengalaman, anugerah, dianugerahi anak autis
rezeki yang lumayan dan hikmah yang tidak terhingga dengan segala
besarnya sejak saya memiliki L...” (Subjek 2) kelebihan dan
“Apapun yang terjadi pada anak saya tetap saya terima kekurangannya
karena anak adalah anugerah” (subjek 11)
“Saya merasa banyak kemudahan dalam rezeki juga  Subjek bersyukur anak
dengan kehadiran R dalam kehidupan keluarga kami” anugerah bagi
(subjek 42) keluarga, sehingga
banyak hal yang
dimudahkan dalam
urusan

“Sudah 17 tahun usia T sekarang.. banyak sekali yang  Subjek menjadi lebih
saya rasakan perubahan dalam diri saya..menjadi lebih positif
bersabar, lebih dewasa dalam menyikapi masalah”
(Subjek 56)
Love “Saya yakin dengan kasih sayang yang kami berikan,  Subjek sangat
anak saya dapat merasakannya” (subjek 14) menyayangi anaknya
“Setiap orang tua pasti menyayangi anaknya, kasih
sayang ini yang sangat mempengaruhi dalam
menerima anak kita.” (subjek 19)
“Terkadang saya sering ditanyain juga yang  Subjek senang bisa
berhubungan dengan pengalaman selama memiliki berbagi pengalaman
anak autis...bagi saya hal ini positif karena memberikan dengan orang lain
informasi yang baik” (subjek 26)
“Terkadang saya membawa anak ke mall, ke  Subjek membawa anak
restauran.. dia sangat senang sekali...” (subjek 55) ke masyarakat agar
“Meskipun ada saja orang yang mencemoh anak, saya anak dapat mengenal
tidak perduli.. ini demi kebaikan U juga” (subjek 40). lingkungannya

dokter atau psikolog untuk tumbuh disebabkan karena upaya yang optimal,
kembang anak, ibu juga berupaya kerja keras dan ikhtiar dari ibu. Kasih
mengajarkan anak agar mampu mandiri. sayang tidak akan muncul jika ibu belum
Bangga muncul ketika anak sudah bisa menerima anaknya, di awal diagnosa
menampakkan kemajuan yang signifikan anak biasanya emosi yang muncul adalah
akan kemampuannya. Keberhasilan ini emosi negatif seperti sedih, menyalahkan
EMOSI POSITIF 51

diri, takut, cemas, marah, dibarengi dengan Informasi yang jauh lebih banyak
perasaan kasihan akan kondisi anak. Pada mengenai autisme dan bakat yang
ada di dalam anak saya (subjek 27)
setiap ibu prosesnya berbeda dalam
menerima keterbatasan anak. Ketika ibu Anak adalah titipan Tuhan yang
sudah mampu menerima anaknya maka amat berharga. Tuhan menitipkan
rasa kasihan ini akan berubah menjadi anak autis karena orang tuanya
mampu merawatnya (subjek 34)
kasih sayang, dan akan diwujudkan ibu
dalam bentuk sikap yang sabar, jarang Suatu ujian dari Tuhan dan melatih
marah, jarang mengeluh, dan berusaha kesabaran orang tua (subjek 36)
melakukan yang terbaik untuk anak. Lega
Untuk membuktikan pada
akan muncul pada saat tujuan yang semula
lingkungan bahwa seorang anak
dinilai tidak sesuai menjadi kebutuhan yang autis sama dengan anak biasa pada
penting dan terjadi penurunan emosi yang umumnya, dan mereka juga
negatif. Ketika anak mulai menunjukkan mempunyai kelebihan (subjek 42)
kemajuan perilaku, emosi, dan komunikasi,
Dukungan keluarga, beribadah dan
ibu akan mengalami penurunan emosi berdoa (subjek 47)
yang negatif yaitu berkurangnya rasa
cemas, takut akan masa depan, sedih, ada Rasa sayang, dukungan dari
keluarga, suami, pemahaman saya
kelegaan yang ibu rasakan. Ibu juga
yang sudah lebih meningkat tentang
merasa lega karena cukup menerima anak autisme (subjek 51)
dukungan informal (keluarga, pasangan)
dan dukungan formal (sekolah, terapi). Selain dukungan pasangan,
dukungan dari ibu-ibu yang
Faktor-faktor yang membuat ibu
mempunyai anak yang autis juga
mampu bertahan dalam mengasuh anak penting (subjek 53).
autis dapat terlihat pada ungkapan
pengalaman berikut ini. Emosi yang Ibu Rasakan dengan
Memiliki Anak Autis
Dukungan suami dan keluarga,
dukungan lingkungan sekitar (subjek 3) Pada dasarnya individu memiliki dua
macam emosi, yaitu emosi positif dan
Seorang ibu mempunyai tanggung
jawab besar terhadap anak- emosi negatif. Emosi merupakan reaksi
anaknya, mempunyai doa dan menyenangkan atau tidak menyenangkan
harapan besar buat aak-anaknya, terhadap suatu peristiwa tertentu (Mashar,
ingin anak mandiri nantinya, yang
2008). Emosi positif merupakan emosi
pasti dukungan keluarga membuat
saya mampu bertaha (subjek 12) yang menimbulkan dampak atau reaksi
menyenangkan pada orang yang
Anak saya membutuhkan saya, merasakannya. Contoh emosi positif
merasa bangga dan menyayangi
seperti senang, santai, tenang. Sedangkan
anak saya (subjek 19)
emosi negatif merupakan emosi yang
menimbulkan dampak atau reaksi yang
52 DAULAY

tidak menyenangkan bagi orang yang berperan dalam mengeksplorasi dan


merasakannya (Safaria & Nofrans, 2012). meningkatkan pengetahuan yang dimiliki
Contoh emosi negatif adalah sedih, marah, seseorang. Menurut Frederickson (1998),
depresi. Ketika seorang individu kecenderungan individu untuk melakukan
merasakan emosi negatif, maka individu tindakan dipicu oleh ketertarikan. Interest
tersebut akan merasakan suasana yang dapat berupa perasaan curosity
tidak menyenangkan. (keingintahuan), intrigue (minat), excitment
Ekawati (dalam Fitroh, 2011) (gairah), wonder (heran), intrinsic
menyatakan bahwa individu yang matang motivation (motivasi intrinsik). Sebagai
emosi akan memiliki kemampuan untuk contoh agar ibu memiliki pengetahuan dan
menilai situasi secara kritis sebelum pemahaman tentang anak autis, maka ibu
bertindak dan kemampuan mengontrol akan lebih aktif untuk terus belajar
emosi dengan baik sehingga memberikan menggali informasi tentang pengasuhan
hasil pada penyesuaian diri yang baik. positif terhadap anak autis.
Memperkuat juga teori Sheridan & Ketiga, Contentment (kepuasan hati).
Radmacher (1992) yang menyatakan Mashar (2008), contentment merupakan
bahwa individu yang mampu melakukan sebuah perasaan tenang. Menurut
penyesuaian diri dengan baik terhadap Frederickson, de Rivera, dan Izard (dalam
kehidupannya karena memiliki karakteristik Frederickson, 1998) menjelaskan
kepribadian yang sehat yaitu ketangguhan. contentment mendorong individu untuk
Menurut Frederickson (1998), emosi menikmati hidup mereka pada saat ini dan
positif mempunyai empat aspek. Pertama, keberhasilan yang baru saja
Joy (kegembiraan). Joy merupakan bagian didapatkannya. Contohnya ibu akan
dari kegembiraan yang berperan dalam merasakan kebahagiaan ketika anak
pengembangan intelektual seseorang. mengalami kemajuan dalam
Dalam beberapa kasus, joy dianggap perkembangannya, misal anak sudah
sebagai sebuah peristiwa atau keadaan mampu untuk makan sendiri.
menuju pencapaian sebuah tujuan. Joy Keempat, Love (cinta). Love lebih
dapat berupa happiness (kebahagiaan), berperan dalam menguatkan ikatan sosial
amusement (keceriaan), elation dan kelekatan. Love sendiri merupakan
(kegirangan hati), gladness (kesenangan gabungan dari berbagai emosi positif yang
hati) sebagai kondisi yang muncul mencakup joy, interest, dan contentment
berkaitan dengan kecenderungan yang dengan orang lain dalam mendukung
berupa aktivitas bebas seperti melompat, interaksi sosial dan kelekatan pada setiap
berlari, bermain Sebagai contoh, ibu akan pembentukan sebuah hubungan.
mengajak anak untuk belajar di tempat- Contohnya Ibu akan mengajar dan
tempat terapi serta berjalan-jalan keluar mengasuh anak dengan kasih sayang, ibu
rumah agar pengetahuan anak akan merasa sangat bertanggung jawab atas
lingkungan juga berkembang. kehidupan anak.
Kedua, Interest (ketertarikan). Interest Berdasarkan teori Frederickson (1998),
EMOSI POSITIF 53

maka dapat terlihat emosi positif pada ibu akan permasalahan dalam mengasuh
yang memiliki anak autis adalah anak. Faktor dukungan dari keluarga dan
sebagaimana nampak pada . suami juga sangat mempengaruhi ibu.
Emosi positif dalam diri seseorang Orang tua dengan anak berkebutuhan
tentu tidak akan muncul dengan begitu memiliki stres yang tinggi dan rasa ketidak
saja. Emosi positif yang dirasakan seimbangan dalam sistem keluarga (Burrel,
seseorang sangat tergantung pada Thompson & Sexton, 1994). Ini penting
interpretasi orang tersebut terhadap bahwa orang tua mampu memaknai koping
peristiwa yang terjadi (Safaria & Nofrans, terhadap stres, dan satu faktor yang
2012). Emosi positif dalam diri ibu, seperti mengurangi stres orang tua adalah
menerima keterbatasan anak, rasa sayang, dukungan sosial (Bristol, 1984; Dyson,
lebih tenang, lega, bersyukur dengan 1997; Sharpley, Bitsika & Efremidis, 1997,
kehadiran anak, sehingga membuat ibu dalam Boyd, 2002). Seligman (2005) juga
sekarang menjadi tangguh dalam menjelaskan individu yang terbuka dan
mengasuh anak autis, juga tidak akan banyak melakukan sosialisasi dengan
muncul dengan begitu saja. Selain orang lain akan meningkatkan
dukungan sosial yang ibu terima dalam kebahagiaan. Keterbukaan dan banyaknya
menerima anak, faktor kepribadian ibu relasi yang dimiliki membuat hubungan
sendiri juga berperan penting dalam sosial yang kaya sehingga mampu
memunculkan emosi positif ibu. Ketika ibu mendatangkan dukungan secara sosial.
menginterpretasikan anak autis sebagai Kedua, rasa syukur. Ketangguhan ibu
sesuatu yang positif, seperti ibu dalam mengasuh anak autis karena ibu
menganggap bahwa anak adalah anugerah telah menerima kondisi anak dan ibu
Tuhan dan anak adalah sebagai ladang bersyukur dengan kehadiran anak dalam
ibadah ibu dengan harapan ibu kehidupannya. Ibu sangat merasakan
mendapatkan keberkahan hidup dari perubahan dalam dirinya sekarang menjadi
Tuhan. Sedangkan ibu yang lebih bijaksana dalam menyelesaikan
menginterpretasikan anak autis sebagai permasalahan hidup, ibu menjadi lebih
sesuatu yang buruk maka akan timbul tenang karena ibu menganggap anak
emosi negatif dalam diri ibu, seperti ibu merupakan anugerah yang telah dititipkan
akan terus mengalami stres pengasuhan, Tuhan kepadanya, ada keyakinan bahwa
cemas, sedih dan menolak kehadiran anak. anak sebagai penolong (syafa’at) bagi ibu
Seligman (2005) menjelaskan bahwa agar ibu mendapatkan tempat yang terbaik
ada beberapa hal yang mempengaruhi di Hari Akhirat. Sesuai dengan penelitian
emosi positif. Pertama, Keluarga dan Seligman (2005) bahwa rasa syukur dalam
lingkungan. Salah satu faktor yang diri individu akan meningkatkan
mempengaruhi ketangguhan ibu sekarang kesejahteraan individu tersebut. Selain itu
adalah dengan bergabungnya ibu ke dalam mengekspresikan rasa syukur atas apa
komunitas ibu yang memiliki anak autis, ibu yang diperoleh dalam kehidupan akan
menjadi lebih tenang dengan saling berbagi meningkatkan perasaan positif pada diri
54 DAULAY

Tabel 3
Hal-hal yang mempengaruhi emosi positif ibu berdasarkan teori Seligman (2005)
Faktor Verbatim Keterangan
Rasa syukur “Ikhlas terhadap ketentuan Yang Maha Kuasa”  Subjek bersyukur
(subjek 2) dianugerahi anak autis
“Perasaan saya sekarang menerima dengan dengan segala kelebihan
ikhlas kondisi anak saya yang terpenting berusaha dan kekurangannya
terbaik buat anak, saya percaya ada kekurangan
pasti ada kelebihan” (subjek 24)
“Apapun yang terjadi pada anak saya tetap saya  Subjek bersyukur anak
terima karena anak adalah anugerah” (subjek 11) anugerah bagi keluarga,
“Saya merasa banyak kemudahan dalam rezeki sehingga banyak hal
juga dengan kehadiran R dalam kehidupan yang dimudahkan dalam
keluarga kami” (subjek 42) urusan
“Sudah 17 tahun usia T sekarang..banyak sekali  Subjek menjadi lebih
yang saya rasakan perubahan dalam diri positif
saya..menjadi lebih bersabar, lebih dewasa dalam
menyikapi masalah” (Subjek 56)
Religi “Kehadirran D membuat saya semakin yakin akan  Subjek menjadi lebih rajin
kekuasaan Tuhan, bahwa tidak ada yang tidak dalam beribadah
mungkin bagiNya, ini merupakan cobaan buat
keluarga kami..saya banyak berdoa agar
dimudahkan segala permasalahan yang sedang
dihadapi”.(subjek 11).
“Kehidupan di dunia ini hanya sementara,  Subjek memasrahkan
kehadiran anak seperti H ini mudah-mudahan segala permasalahan
menjadi penolong bagi saya di hari Akhirat..saya hanya kepada Tuhan
mendapatkan amal ibadah yang banyak dengan
merawat H.” (subjek 16)
Lingkungan “Saya akhirnya dapat menerima kondisi anak saya  Subjek mendapat
berkat dukungan atasan tempat saya bekerja, dukungan baik secara
teman-teman dan juga keluarga yang mengatakan emosional maupun
bahwa anak saya itu anak yang istimewa dan material dari lingkungan
memiliki kelebihan dari anak-anak lain.Akhirnya tempat tinggal
saya pun sadar bahwa itu adalah titipan Tuhan
yang harus saya jaga dengan sebaik-baiknya”
(subjek 57).
“Memasukkan anak ke sekolah yang tepat  Subjek mendapat
merupakan salah satu cara dalam meminimalisir dukungan dari
perilaku anak yang bermasalah..di sini saya sekolah/terapi autis
mendapatkan motivasi yang membuat saya
semakin kuat”. (subjek 29)
“Saling berbagi dengan sesama ibu-ibu yang  Subjek mendapat
memilik anak autis akan membuat kita menjadi dukungan dari komunitas
termotivasi” (subjek 8) ibu yang memiliki anak
autis
Keluarga “Syukurnya....suami saya mengerti dengan kondisi  Subjek mendapat
anaknya..dan mau membantu juga menyiapkan dukungan dari suami
makanan anak” (subjek 53)”
“Suami biasanya memberikan biaya buat  Subjek mendapat
kebutuhan R..meskipun ayahnya sibuk”. (subjek dukungan dari keluarga
46). pihak suami dan keluarga
besarnya sendiri.
EMOSI POSITIF 55

seseorang (Sheldon & Sonja, 2006).


Ketiga, Religi. Ibu adalah individu yang Berdasarkan hasil angket terbuka pada
kuat, sehingga Tuhan menitipkan anak penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa
autis dengan segala kelebihan dan emosi positif pada ibu akan muncul seiring
kekurangannya. Ibu meyakini bahwa dengan kemajuan perkembangan anak dan
semua yang ibu lakukan untuk kebaikan dukungan sosial yang ibu dapatkan. Ibu
anak adalah karena ibu semata-mata akan lebih bahagia, senang, dan lebih
mengharapkan ridho dari Tuhan agar tenang ketika melihat anaknya sudah
mendapatkan keberkahan hidup. Hal ini mampu menunjukkan perkembangan yang
yang membuat ibu menjadi lebih bijaksana signifikan, seperti berbicara, cukup mandiri,
dalam hidup, ketika ibu mendapati masalah berkurangnya perilaku tantrum dan
ataupun cobaan maka ibu akan menyakiti diri sendiri. Namun terkadang,
mengembalikan permasalahan tersebut emosi positif ini sifatnya tidak menetap,
dengan mengadu dan meminta artinya meskipun ibu merasakan
pertolongan kepada Tuhan. Seligman kebahagiaan namun ibu terkadang juga
(2005) mengungkapkan bahwa Individu merasa sedih dan cemas mengingat akan
yang religius lebih bahagia dan lebih puas masa depan anak. Usaha-usaha yang ibu
terhadap kehidupannya dibandingkan lakukan untuk membangkitkan emosi positif
individu yang tidak religius. Agama mengisi diantaranya seperti ibu tetap menjalin
manusia dengan harapan akan masa komunikasi dan saling berbagi pengalaman
depan dan menciptakan makna dalam bersama komunitas ibu-ibu yang memiliki
kehidupan. Hubungan antara harapan akan anak autis, ibu berdoa dan mengadu akan
masa depan dan keyakinan beragama masalah yang dihadapi hanya kepada
merupakan landasan mengapa keimanan Tuhan, ibu dapat melakukan aktivitas yang
sangat efektif melawan keputusasaan dan membantu pemulihan kondisi fisik dan
meningkatkan kebahagiaan. Berdasarkan psikologisnya, seperti memenuhi
pendapat Seligman di atas, dapat kebutuhan pribadi, menyalurkan hobi,
disimpulkan bahwa hal-hal yang bercanda dan bersosialisasi dengan
mempengaruhi emosi positif diantaranya teman-teman. Menurut Frederickson (2000)
adalah keluarga dan lingkungan, rasa bahwa emosi positif akan sangat
syukur, religi. Berdasarkan hasil penelitian membantu mengatasi stres dalam
ini, maka peneliti menambahkan hal yang beberapa hal. Pertama, bahwa emosi
mempengaruhi emosi positif khususnya positif akan membantu seseorang
pada ibu yang memiliki anak autis adalah menghadapi permasalahan karena emosi
adanya rasa ikhlas, bersyukur, yakin, dan positif membantu seseorang agar lebih
kasih sayang dalam pengasuhan positif ibu berpikir objektif. Kedua, emosi positif dan
(lihat Tabel 3). dukungan sosial sangat berhubungan,
karena dukungan sosial sangat membantu
Usaha-usaha yang Ibu Lakukan Untuk meningkatkan keadaan kestabilan emosi
Dapat Membangkitkan Emosi Positif seseorang. Ketiga, emosi positif akan
56 DAULAY
Tabel 4
Ungkapan Emosi Positif
Peran Verbatim Keterangan
Secara “Saya mengubah pemikiran saya dari anak yang  Berpikir
saya menimbulkan masalah menjadi punya positif atas
kognitif
pemikiran bahwa anak adalah anugerh” (subjek 5) kehadiran
“Dengan kehadiran anak..membuat hidup saya anak
menjadi menantang..hari ini dan besok adalah
sebuah peristiwa yang menyenangkan dlam
mengasuh anak”. (subjek 12)

Secara sosial “Awalnya saya sering uring-uringan dan stres ketika  Memiliki
menghadapi anak saya..bingung..tapi semakin kita emosi positif
stres akan semakin memperburuk hubungan saya akan mudah
denga anak...semakin lama saya mulai menerima menjalin
kehadiran F..dan ini sangat membantu hubungan
saya..menjadi lebih tenang..ditambah lagi sosial
berkumpul dengan komunitas ibu..ini sangat dengan
membantu” (subjek 9) orang lain.

Secara fisik “Saya selalu berusaha menjaga kondisi  Meskipun


tubuh..jangan sampai sakit..karena kalau saya lelah, namun
sakit..siapa yang akan merawat D..kalau bukan ibu tetap
saya...” bahagia
“Ketika kita ibunya bersemangat..anak pasti akan  Jarang sakit
merasakannya..dan dia juga senang...tentu dengan
selalu bersemangat dalam hidup akan
mempengaruhi kondisi tubuh juga baik.

Gambar 1. Dinamika Emosi Positif


EMOSI POSITIF 57

Tabel 5
Ungkapan Perasaan Ibu
Perasaan Verbatim
Bahagia Perasaan saat ini lebih baik meskipun selalu lelah menghadapi anak saya (subjek 3)
(bangga,
lega, lebih Alhamdulillah melihat kemajuan yang dialami anak kami sudah membuat kami bahagia
baik, lebih dan bangga, sedikit ucapan yang keluar dari bibirnya merupakan kebahagiaan yang
tenang) sangat luar biasa bagi kami, dan saat ini anak kami sudah mulai memahami apa yang
kami inginkan atau perintahkan, cuma saja terkadang emosi yang muncul tiba-tiba dan
membuatnya marah dan menangis (subjek 6 )

Lebih tenang dan sabar dalam menghadapi permasalahan yang ada pada anak,
berusaha terus melakukan segala hal untuk kemajuan perkembangan anak saya dan
tentunya saya harus kuat dan sehat, harus membagi waktu dan melihat dan memantau
terus perkembangan abang-abangnya juga (subjek 12)

Merasa lega, karena anak autisme bisa dididik dan bisa menjadi kebanggaan buat saya,
karena anak saya banyak kemajuan (subjek 20)

Sudah lebih nyaman dan lebih enjoy, yakin kalau anak saya hebat (subjek 26)

Lega dan bersyukur (subjek 35)


Saya merasa bangga dengan anak saya (subjek 38)
Sangat bahagia (subjek 43)
Optimis Bahagia, bersemangat, antusias (subjek 1)
(antusias,
terus Optimisme untuk membantu anak, ikhlas dan berusaha (subjek 5 )
berusaha, Optimis bahwa anak saya bisa sembuh walaupun tidk seperti anak-anak normal lainnya
bersemangat (subjek 10 )
, tetap sabar,
berdoa, Saya harus berusaha sekuat tenaga, berdoa, dan tetap sabar, kuat, dan tabah dalam
tabah) menerima cobaan ini (subjek 19 )

Saya harus berusaha sekuat tenaga, berdoa, dan tetap sabar, kuat, dan tabah dalam
menerima cobaan ini (subjek 25 )

Berusaha mencari cara mengajarinya supaya mengerti, bisa mengerjakan apapun


sendiri, berusaha mencari tahu cara mengatasi kesulitan belajarnya (subjek 29 )
Lebih Sudah bisa menerima kondisi anak dan saya sangat menyayanginya (subjek 4)
menerima
(lebih ikhlas, Sudah bisa menerima keadaan yang ditentukan Tuhan (subjek 14 )
pasrah) Menerima dengan ikhlas kondisi anak saya yang terpenting berusaha terbaik buat anak,
saya percaya ada kekurangan pasti ada kelemahan (subjek 23)

Menerima dan terus bertekad bahwa anak kami akan diperjuangkan (subjek 27)

Saya sekarang sudah bisa menerimanya, setiap saya putus asa berusaha untuk berdoa
dan berkata Tuhan pasti tidak tutup mata untuk pengorbanan saya untuk anak-anak saya
(subjek 33)

Lebih tenang, sabar, ikhlas (subjek 43)


Lebih sayang Saya lebih menyayanginya (subjek 11)
Kadang ngerasa lebih sayang ke J daripada ke kakaknya juga, mungkin karena J masih
butuh perhatian lebih (subjek 17)
Sedih Masih sedih tetapi lebih berniat dan berusaha untuk mengusaha lebih baik (subjek 18)
(cemas,
takut) Sedih, takut, berpasrah pada Tuhan (subjek 23)

Sedih jika melihat kondisi anak saya karena sangat berbeda dengan teman2 sebayanya
(subjek 54)
58 DAULAY

meningkatkan kemampuan dalam baik. Hal ini senada dengan pendapat


menangani dampak fisik karena stres. Frederickson (2000) bahwa emosi positif
Usaha-usaha yang ibu lakukan untuk berfungsi sebagai koping karena emosi
dapat membangkitkan emosi positif dapat positif membantu seseorang agar lebih
terlihat pada ungkapan pengalaman di berpikir objektif dalam menghadapi
bawah ini: permasalahan. Pola pikir yang mneyertai
emosi positif pada gilirannya membawa
Berusaha positive thinking, meskipun keuntungan adaptif jangka panjang karena
orang lain sering menghina dan memperluas sumber daya pribadi. Sumber
mencemoh anak saya.. akan jauh lebih
daya ini mencakup : a) sumber daya fisik,
baik saya diam aja dan berpikir positif
aja (subjek 9 ) misalnya perbaikan kesehatan, umur
panjang; b) sumber daya sosial, misalnya
Ketika anak mulai tantrum dan persahabatan, dukungan sosial; c) sumber
Ketika anak mulai tantrum dan
intelektual, misalnya menguasai
bermasalah perilakunya...ibu harus
kuat dan harus tenang dulu..sehingga pengetahuan, dan d) sumber daya
ini akan berpengaruh ke pengasuhan psikologis, misalnya resiliensi, optimis dan
positif (subjek 11) kreatif.
Peran emosi positif berdasarkan
Dengan rajin membaca, cari info di
google, dan sharing ke teman-teman pendapat Frederickson (1998) adalah
tentang pengasuhan anak autis dapat sebagai berikut. Pertama, secara kognitif.
membantu saya untuk lebih tenang dan Ibu mengakui bahwa dengan memiliki anak
tidak panik mengasuh K (subjek 14).
autis membuat ibu menjadi lebih dewasa
dan bijaksana dalam memecahkan
Peran Emosi Positif Pada Diri Ibu
masalah. Permasalahan perilaku anak
autis membuat ibu lebih bersabar dalam
Pada awal anak terdiagnosa autis, ibu
mengasuh anak, kesabaran dan dibarengi
cenderung menunjukkan emosi negatif
dengan berpikir positif dapat membuat ibu
seperti sedih, menolak, marah,
menjadi lebih tenang dan mampu bertahan.
menyalahkan diri, cemas. Mengingat
Secara kognitif, emosi positif berperan
beratnya hambatan yang dialami anak autis
dalam membantu individu untuk berprestasi
dan kompleksnya penanganan yang
dan melakukan coping yang lebih fleksibel
mereka butuhkan. Ada beberapa cara yang
sebagai upaya pemecahan masalah
ibu lakukan untuk mengatasi masalah
(Mashar, 2008). Selain itu, Isen (dalam
dengan menggunakan strategi koping yaitu
Frederickson, 1998) berspekulasi bahwa
mengubah kognitif dan perilakunya agar
emosi positif mampu memperluas
dapat mengatasi tekanan atau masalah
kemampuan kognitif individu dalam hal ide
yang ibu rasakan. Pada ibu, strategi koping
atau konsep sehingga emosi positif akan
yang tepat akan membantu ibu tidak
meningkatkan kreativitas yang dimiliki
mudah mengalami stres selama mengasuh
seseorang.
anak. Emosi positif juga dapat dianggap
Kedua, secara sosial. Kesabaran,
sebagai salah satu strategi koping yang
EMOSI POSITIF 59

ketenangan selama mengasuh anak autis positif. Emosi positif yang ibu rasakan
dapat berdampak positif pada diri ibu. terlihat pada ungkapan pengalaman
Emosi positif membantu individu dalam hal sebagaimana nampak pada Tabel 4.
kelekatan atau kedekatan dengan individu
lain. Ketika seseorang sedang berada
dalam emosi positif, hubungan pertemanan Kondisi Perasaan Ibu Sekarang
dan hubungan sosial lain akan lebih mudah
terjalin. Hal ini disebabkan karena pada Fungsi emosi positif bagi ibu adalah
saat individu merasakan emosi positif, mampu meningkatkan kesejahteraan
keadaan mental seseorang bersifat lebih psikologis ibu dan ibu lebih menerima
fleksibel, toleran, dan kreatif sehingga lebih kondisi anaknya, meskipun masih saja
terbuka terhadap pengalaman baru terdapat ibu-ibu yang memiliki emosi
(Seligman, 2005). negatif, seperti sedih, cemas, takut. Emosi
Ketiga, secara fisik. Individu yang sehat positif tersebut selanjutnya diperkaya
akan mampu melihat lingkungannya secara dengan pengalaman ibu. Menurut Folkman
objektif dan cerdas. Atas dasar pandangan dan Moskowitz (2000), seseorang dapat
inilah, ibu-ibu akan mengambil manfaat dari mengalami emosi positif, bahkan di saat
berbagai karunia dan cobaan Tuhan situasi yang penuh stres. Hasil penelitian
dengan penuh rasa tanggung jawab akan semakin menunjukkan bahwa emosi positif
perannya sebagai seorang ibu. Ibu akan dapat memiliki pengaruh yang unik pada
memberikan usaha yang terbaik buat anak, kesehatan, bebas dari pengaruh negatif.
agar tumbuh kembangnya optimal. Fredrickson (2004) juga mengungkapkan
Menjalani hidup degan penuh keikhlasan, fungsi emosi positif antara lain adalah
kesabaran, bersyukur dan berpikir positif emosi positif mengatur emosi negatif, yang
akan membuat ibu lebih bahagia secara pada akhirnya menghasilkan konsekuensi
bathin dan tampil dalam fisik yang sehat. yang menguntungkan bagi kesejahteraan
Seligman (2005) menyatakan bahwa psikologis dan fisiologis. Berdasarkan
kesehatan dan umur yang panjang penelitian yang telah dilakukan, emosi
merupakan suatu indikator yang digunakan positif memiliki beberapa keuntungan
untuk mengukur daya tahan fisik. seperti emosi positif memperluas
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat pemikiran, emosi positif dapat
bukti langsung bahwa emosi positif mampu membatalkan emosi negatif, emosi positif
mempengaruhi kesehatan dan umur menjadi energi untuk resiliensi psikologis,
panjang. Emosi positif mempunyai energi emosi positif membangun sumber daya
yang tinggi, misalnya saja keceriaan. individu, dan emosi positif menjadi energi
Emosi positif juga melindungi individu dari untuk kesejahteraan fisik dan psikologis.
kondisi buruk yang biasanya mengiringi Berdasarkan analisis koding terhadap
proses penuaan, dan memiliki sistem angket terbuka, diperoleh kategori tema-
kekebalan tubuh yang lebih kuat daripada tema tentang emosi positif yang ibu
individu yang tidak merasakan emosi rasakan sekarang. Perasaan yang ibu
60 DAULAY

rasakan sekarang akan terlihat pada DC : American Psychiatric Association.


ungkapan pengalaman sebagaimana American Psychiatric Association. (2013).
nampak pada Tabel 5. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders, 5th edition. (DSM-5
TM). Washington, DC: American
Kesimpulan dan Saran Psychiatric Association.
Boyd, B. A. (2002). Examining the
Penelitian ini bertujuan untuk menggali relationship between stress and lack of
emosi positif yang ibu rasakan selama social support in mothers of children
mengasuh anak autis. Emosi positif sangat with autism. Focus on Autism and
tergantung pada penilaian individu Other Developmental Disabilities,
terhadap suatu keadaan atau peristiwa, 17(4). doi:
dan dapat memberi pengaruh pada seluruh 10.1177/10883576020170040301
aspek kehidupan, baik aspek fisik, kognitif, Burrel, B., Thompson, B., Sexton, D.
dan sosial individu. Penelitian ini (1994). Predicting child abuse potential
merupakan penelitian awal untuk across family types. Child Abuse and
memahami peran emosi positif dalam Neglect, 18, 1039-1049.
mempengaruhi ketangguhan ibu mengasuh Donovan, A. M. (1988). Family stress and
anak dengan gangguan spektrum autis. ways of coping with adolescents who
Penelitian ini memiliki keterbatasan have handicaps: Maternal perceptions.
yaitu pengambilan data hanya American Journal of Mental
menggunakan angket terbuka sehingga Retardation, 92, 502-509.
disarankan untuk melakukan wawancara Ecker, C. (2017). The neuroanatomy of
mendalam agar dapat tergali informasi autism spectrum disorder: An overview
mengenai perasaan ibu dalam mengasuh of structural neuroimaging findings and
anak autis dan ketangguhan ibu yang their translatability to the clinical
dipengaruhi oleh emosi positif. setting. Autism, 21(1). doi:
10.1177/1362361315627136
Referensi Frederickson, B. L. (1998). What good are
positive emotions? Review of General
Abbeduto, L., Seltzer, M. M., Shattuck, P.,
Psychology, 2(3), 300-319.
Krauss, M. W., Orsmond, G., &
Frederickson, B. L. (2000). Cultivating
Murphy, M. M. (2004). Psychological
positive emotion to optimize health and
well being and coping in mothers of
well being. Prevention & Treatment,
youths with autism, down syndrome, or
3(1), 1a.
fragile X syndrome. American Journal
Frederickson, B. L. (2004). The broaden-
on Mental Retardation, 109, 237-254.
and-build theory of positive emotion.
American Psychiatric Association. (2000).
Philosophical Transactions of the Royal
Diagnostic and statistical manual of
Society B: Biological Sciences,
mental disorders, 4th edition, Text
359(1449), 1367.
Revision (DSM-IV-TR). Washington,
EMOSI POSITIF 61

Fitroh, S. F. (2011). Hubungan antara Surakarta (Unpublished bachelor’s


kematangan emosi dan hardiness thesis). Universitas Muhammadiyah.
dengan penyesuaian diri menantu Surakarta.
perempuan yang tinggal di rumah ibu McStay, R., Dissanayake, C., Scheeren, A.,
mertua. Psikoislamika, 8(1), 83-89. Koot, H., Begeer, S. (2014). Parenting
Folkman, S., & Moskowitz, J. T. (2000). stress and autism: The role of age,
Positive emotion, and coping. American autism severity, quality of life and
Psychological Society, 9(4), 115-118. problem behaviour of children and
Hardy, M., & Heyes, S. (1985). Pengantar adolescents with autism. Autism, 18(5),
psikologi (Soenardji, Trans.). 502-510.
Yogyakarta: Erlangga. doi:10.1177/1362361313485163
Larsson, H., Eaton, W., Madsen, K., Mash, E.J., & Wolfe, D.A. (1999). Abnormal
Vestergaard, M., Olesen, A., Agerbo, child psychology. Belmont, CA:
E., & Mortensen, P. (2005). Risk Wadsworth Publishing Company.
factors for autism: Perinatal factors, Moustakas, C. (1994). Phenomenological
parental psychiatric history, and research methods. London: SAGE Pub.
socioeconomic status. American Safaria, T., & Nofrans, E. S. (2012).
Journal of Epidemiology, 161(10), 916- Manajemen emosi: Sebuah panduan
925. cerdas bagaimana mengelola emosi
Lazarus, R. S. (1991). Progress on a positif dalam hidup. Jakarta: Bumi
cognitive-motivational-relational theory Aksara.
of emotion. American Psychologist, Sanders, J. L., & Morgan, S. B. (1997).
46(8), 819-834. doi:10.1037/0003- Family stress and management as
066X.46.8.819 perceived by parents of children with
Lazarus, R.S. (2005). Emotion & autism or down syndorme: Implications
adaptation. New York: Oxford for intervention. Child and Family
University Press. Behavior Therapy, 19, 15-32.
Lucas, R. E., Diener, E., & Larsen, R. J. Seligman, M. E. P. (2005). Authentic
(2006). Measuring positive emotion. In happiness: Menciptakan kebahagiaan
S. J. Lopez & C. R. Snyder (Eds.), dengan psikologi positif. Bandung:
Positive psychological assessment: A Mizan Pustaka.
handbook of models and measure. Sharpley, C. F., Bitsika, V., & Efremidis, B.
Washington: American Psychological (1997). Influence of gender, parental
Association. health, and perceived expertise of
Mashar, R. (2008). Pengaruh stimulasi assistance upon stress, anxiety, and
“Aku anak ceria” terhadap peningkatan depression among parents of children
emosi positif anak usia dini. Humanitas, with autism. Journal of Intellectual and
5(2), 149-164. Developmental Disability, 22, 19-28.
Mashita, P. (2015). Penerimaan orang tua Subandi. (2011). Sabar: Sebuah konsep
terhadap anak penderita autis di psikologi. Jurnal Psikologi, 38(2), 215-
62 DAULAY

227. (Lansia) di kota Padang Provinsi


Sheldon, K. M., Sonja, L. (2006). How to Sumatera Barat. Ners Jurnal
increase and sustain positive emotion: Keperawatan, 9(1), 10-21.
The effect of expressing gratitude and Zillmer, E., Spiers, M., Culbertson, W.
visualizing best possible selves. The (2008). Principles of neuropsychology.
Journal of Positive Psychology, 1(2), USA: Thomson Higher Education.
73-82.
Sholichatun, Y. (2008). Hidup setelah Alamat surel:
menikah, mengurai emosi positif dan nurussakinah.daulay@mail.ugm.ac.id
resiliensi pada wanita tanpa pasangan.
Egalita, 3(1). Retrieved from
http://ejournal.uin-
malang.ac.id/index.php/egalita/article/vi
ew/1969/pdf
Sheridan, C. L & Radmacher, S. A. (1992).
Health psychology: Challenging the
biomedical model. Oxford, England:
John Wiley & Sons.
Strauss, A., & Corbin, J. (2003). Dasar-
dasar penelitian kualitatif (Muhammad
Shodiq & Imam Muttaqien, Trans.).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tugade, M. M., Fredrickson, B. L. & Barrett,
L. F. (2004). Psychological resilience
and positive emotional granularity:
examining the benefits of positive
emotion on coping and health. Journal
of Personality, 72(6), 1175-1182.
Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi.
(Padang Mursalin & Dinastuti, Tans.).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Weiss, M. J. (2002). Hardiness and social
support as predictors of stress in
mother of typical, children with autism,
and children with mental retardation.
Autism, 6(1), 115-130.
Wing, L. (1997). The autistic spectrum. The
Lancet, 350(9093), 1761-1766.
Yeni, F. (2013). Hubungan emosi positif
dan kepuasan hidup pada lanjut usia
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 63-84, ISSN. 0853-3098
UKURAN SAMPEL 63

BENARKAH UKURAN SAMPEL MINIMAL = 30 ?


(IS IT TRUE THAT THE MINIMUM SAMPLE SIZE IS 30 ?)

Agung Santoso
Universitas Sanata Dharma

The current article is written as an effort to answer the question about the sample size needed in a
research. First, the article examines two arguments that have been referred to by many researchers
supporting the opinion that the minimum sample size is 30. The two arguments are as follow: (a) sample
size of 30 well represents the population characteristics; (b) the sample size tends to provide data that
follow normal distribution. Three simulations were conducted; One for testing the first argument and two for
testing the second argument. The results did not support the two arguments. Samples that are larger than
30 still have a large increase of precision. The sample size is not the determinant of the sample to pass the
normality test or the statistics, the mean in this study, to follow normal distribution, particularly when the
distribution in the population considerably deviates from the normal distribution. Then, the article offers to
use power analysis as a way to determine the sample size.

Keywords: sample size, power analysis, effect size, type I error, type II error

Artikel ini ditulis sebagai usaha penulis untuk menjawab pertanyaan mengenai banyaknya jumlah partisipan
yang perlu dilibatkan dalam penelitian. Terlebih dahulu, penulis menguji dua argumen yang sering diacu
banyak peneliti yang mendasari pendapat bahwa besarnya ukuran sampel minimal adalah 30 orang. Kedua
argumen tersebut adalah: (a) sampel dengan ukuran 30 cukup mewakili karakteristik populasi dan, (b)
sampel dengan ukuran 30 cenderung menghasilkan data yang berdistribusi normal . Penulis melakukan
satu simulasi untuk menguji argumen pertama dan dua simulasi untuk menguji argumen kedua. Hasil
simulasi tidak menunjukkan dukungan memadai pada kedua argumen. Sampel dengan ukuran lebih dari 30
masih mengalami peningkatan presisi yang besar. Ukuran sampel yang makin besar juga bukan
merupakan determinan dari lolosnya uji normalitas dari sampel. Ukuran sampel sebesar 30 juga tidak
menjamin sebaran statistik, dalam hal ini mean, mengikuti distribusi normal khususnya ketika distribusi di
populasi sangat jauh dari distribusi normal. Penulis menawarkan penggunaan analisis power sebagai salah
satu cara untuk menentukan ukuran sampel.

Kata kunci: ukuran sampel, analisis power, ukuran efek, kesalahan tipe 1, kesalahan tipe 2

Penentuan ukuran sampel merupakan oleh para dosen dan peneliti yang lebih
salah satu masalah yang sering muncul mapan di bidang Psikologi. Pertanyaan ini
dalam penelitian di bidang Psikologi di penting untuk dijawab karena ukuran
Indonesia. Pertanyaan mengenai ukuran sampel, sebagai bagian dari desain
sampel minimal, seringkali diajukan tidak penelitian, merupakan salah satu faktor yang
hanya oleh mahasiswa S1 dalam proses menentukan mutu penelitian (Burmeister &
penyusunan skripsi mereka, tetapi juga Aitken, 2012; Columb & Stevens, 2008;

63
64 SANTOSO

(a)

Data dari semua responden (b) Data dari pengajar rutin statistik
Gambar 1. Pilihan Responden Terhadap Pernyataan 1

(a) Data dari semua responden (b) Data dari pengajar rutin statistik
Gambar 2. Pilihan Responden Terhadap Pernyataan 2

Gambar 3. Grafik Mean, IK dan Range dari Mean Hasil Simulasi A


UKURAN SAMPEL 65

Stokes L, 2014). didapatkan secara lisan yang mencakup (a)


Sampel sebesar 30 merupakan keterwakilan karakteristik populasi dan (b)
jawaban yang paling sering diberikan pemenuhan asumsi yang terkait dengan
sebagai persyaratan minimal ukuran bentuk distribusi data
sampel dalam penelitian. Hal ini dapat Argumen yang diajukan terkait dengan
dilihat dari hasil survey kecil yang pertimbangan (a) adalah bahwa sampel
dilakukan penulis mengenai ukuran sebesar 30 subjek dianggap sudah cukup
sampel minimal yang dibutuhkan dalam baik untuk mewakili karakteristik populasi.
suatu penelitian. Dua pertanyaan diajukan Sayangnya, tidak cukup jelas apa yang
dalam survey tersebut terkait dengan isu dimaksud dengan mewakili karakteristik
mengenai ukuran sampel ini: (1) Besarnya populasi ini. Saat ini, penulis baru dapat
sampel minimal untuk analisis statistik memikirkan dua kemungkinan maksud yang
parametrik adalah 30 SECARA dikandung dalam “mewakili karakteristik
KESELURUHAN, dan; (2) Besarnya populasi” ini. Pertama, estimasi parameter
sampel minimal untuk analisis statistik populasi yang diperoleh dari sampel sebesar
parametrik adalah 30 TIAP KELOMPOK. 30 amatan, memiliki akurasi yang memadai.
Dua grafik pie dalam Gambar 1 Akurasi berarti estimasi parameter populasi
menunjukkan persentase responden dari sampel tidak mengalami bias (Casella &
survey yang menyatakan “Benar”, “Salah” Berger, 2001). Kedua, estimasi parameter
dan “Tidak Tahu” terkait dengan dari sampel sebesar 30 dianggap sudah
pernyataan 1. Kurang lebih 30% (n=17) memiliki tingkat presisi yang baik. Presisi di
responden menjawab “Benar” pada sini berarti estimasi parameter populasi
pernyataan tersebut (lihat Gambar 1a). memiliki fluktuasi (variasi) yang kecil dari
Dari keseluruhan responden yang sampel satu ke sampel yang lain (Casella &
menjawab “Benar” tersebut, dua di Berger, 2001). Ukuran sampel lebih dari 30
antaranya adalah pengajar rutin statistik dianggap tidak membuat estimasi memiliki
(lihat Gambar1b). presisi yang jauh lebih baik, sehingga
Persentase menjawab “Benar” ukuran sampel 30 ini ditentukan sebagai
menjadi lebih banyak lagi pada ukuran sampel minimal.
pernyataan 2 yaitu 60% (lihat Gambar 2a). Sampel sebesar 30 juga dianggap
Pengajar statistik yang menjawab “Benar” mencukupi untuk menghasilkan data yang
dan “Salah” pada pernyataan ini memiliki mengikuti distribusi normal. Pertimbangan ini
jumlah yang sama yaitu 2 responden (lihat memiliki dua kemungkinan makna:(a) Data
Gambar 2b). dari sampel sebesar 30 amatan itu sendiri
Sayangnya, sejauh yang dapat yang mengikuti distribusi normal atau (b)
diketahui penulis, tidak ada kajian dan / Distribusi estimasi parameter yang
atau publikasi yang memadai yang dihasilkan dari sampel sebesar 30 lah yang
menyebutkan asal dari nilai sebesar 30 ini mengikuti distribusi normal. Tidak jarang
dan dasar pertimbangannya. Beberapa pertimbangan ini muncul dalam pernyataan
pertimbangan yang diketahui oleh penulis yang kurang lebih berbunyi, “Jika jumlah
66 SANTOSO

Gambar 4. Gambaran Fluktuasi Mean-mean Sampel dari Replikasi Pertama hingga


ke-1000
UKURAN SAMPEL 67

subjek minimal 30, kita bisa menggunakan Penulis berharap artikel ini dapat
statistik parametrik tanpa pengecekan memberikan sumbangan pemikiran bagi
asumsi”, atau bahkan, “meskipun peningkatan mutu penelitian Psikologi di
pengecekan asumsi menunjukkan data Indonesia khususnya terkait dengan
tidak mengikuti distribusi normal”. penetapan ukuran sampel penelitian.
Artikel ini ditulis untuk menguji
pendapat “ukuran sampel minimal 30 Studi Simulasi A
amatan” ini beserta kedua argumen yang
mendukungnya, sekaligus Tujuan
memperkenalkan pendapat lain mengenai Simulasi ini dirancang untuk menguji
penetapan ukuran sampel dalam suatu argumen bahwa sampel sebesar 30 akan
penelitian. Pendapat lain ini didasarkan memberikan hasil estimasi parameter
pada studi dan tulisan yang sebenarnya populasi yang memiliki akurasi dan presisi
sudah lama ada dalam literatur metode yang baik.
penelitian di Psikologi seperti Cohen
(1988); Dattalo (2008); Hsu (1993); dll, Rancangan Simulasi
yang tampaknya tidak terlalu dikenal Simulasi dilakukan dengan membuat
dalam penelitian Psikologi di Indonesia. (generate) data dari sebuah populasi yang
Ukuran sampel, dalam pandangan ini, memiliki distribusi normal dengan µ = 100
ditetapkan untuk memperoleh besarnya dan σ = 15 yang disebut sebagai variabel X.
power yang diinginkan dari analisis. Penulis membuat data yang memiliki ukuran
Penulis menyusun artikel ini dalam sampel yang bervariasi dari n = 10 hingga n
beberapa bagian sebagai berikut. = 500 dengan interval 10. Untuk setiap
Pertama, penulis akan mengkaji pendapat ukuran sampel, penulis mengambil sampel
“ukuran sampel minimal 30” beserta sebanyak NR = 1000 dan menghitung mean
kedua argumen yang pendukungnya, aritmatik dari setiap sampel yang kemudian
dengan menggunakan studi simulasi. disimpan sebagai data. Penulis kemudian
Pada bagian berikutnya, penulis akan menghitung mean aritmatik, standard
memberikan perkenalan dan paparan deviasi, batas atas (U), batas bawah (L) dan
sekilas mengenai penetapan ukuran jarak dari interval kepercayaan 95% (IK) dan
sampel yang didasarkan pada analisis nilai minimum (Min), maksimum (Max) dan
power. Paparan yang menyeluruh akan range (R) dari mean-mean sampel tersebut,
sulit dilakukan karena ruang lingkup topik untuk setiap ukuran sampel.
mengenai analisis power ini sangat luas, Nilai-nilai ini akan digunakan untuk
karena setiap teknik analisis memiliki melihat apakah sampel dengan ukuran
fungsi power -nya sendiri-sendiri. Paparan tertentu dapat memberikan estimasi
penulis akan dibatasi pada gambaran parameter populasi dengan akurasi dan
umum mengenai analisis power dan presisi yang baik. Akurasi akan ditunjukkan
aplikasinya pada teknik analisis yang oleh kecilnya bias atau dekatnya nilai mean
sederhana. dari mean-mean sampel ( ), dari nilai µ;
68 SANTOSO

semakin dekat dari µ, berarti mean yang Hasil Simulasi


berasal dari sampel dengan ukuran Hasil simulasi A dapat dilihat dalam
tertentu semakin akurat. Gambar 3 dan Gambar 4. Untuk semua
Perlu dicatat di sini bahwa bias tidak ukuran sampel, mean dari mean-mean
mengacu pada hasil estimasi dari satu sampel mendekati nilai µ = 100 (lihat
sampel saja, melainkan mean dari hasil Gambar 3). Ini berarti dalam simulasi ini,
estimasi dari banyak sampel jika sampel ukuran sampel tidak mempengaruhi bias
terus menerus diambil sampai tak yang dialami oleh mean sampel. Hal ini
terhingga (Casella & Berger, 2001). Dalam diakibatkan estimator yang digunakan,
simulasi ini “tak terhingga” didekati yaitu memang tidak bias, terlepas dari
dengan jumlah replikasi sebanyak 1000. ukuran sampel yang digunakan.
Presisi akan ditunjukkan oleh Presisi dari mean yang dihitung dari
seberapa besar fluktuasi nilai mean-mean sampel dengan ukuran yang lebih besar
sampel dari 1000 replikasi yang dilakukan. lebih baik daripada presisi dari mean
Semakin kecil fluktuasi, semakin tinggi sampel dengan ukuran yang lebih kecil.
presisi hasil estimasi parameter populasi. Hal ini ditunjukkan oleh area berwarna
Dalam penelitian ini, presisi dikuantifikasi abu-abu yang mengecil ketika mean
dengan menggunakan IK dan range. Ini dihitung dari sampel dengan ukuran yang
berarti makin kecil IK atau range yang lebih besar. Area berwarna abu-abu ini
dihasilkan dari suatu ukuran sampel, dibatasi oleh dua garis merah yang
makin tinggi presisi estimasi yang merupakan nilai maksimum dan minimum
dihasilkan dari ukuran sampel tersebut. mean sampel yang merupakan nilai mean
Untuk memudahkan penilaian, hasil terbesar dan terkecil dari mean yang
simulasi akan dipaparkan dalam bentuk dihitung berdasarkan sampel-sampel hasil
grafik. Grafik pertama akan replikasi. Garis berwarna hijau merupakan
menggambarkan nilai mean, IK 95%, nilai perhitungan IK 95% dengan standard error
maksimum dan minimum dan range. (SE) yang dihitung berdasarkan data mean-
Penilaian dapat diberikan terhadap mean sampel dari hasil replikasi.
performansi dari estimasi parameter Penulis juga menghitung range dan
populasi jika menggunakan ukuran interval antara batas atas dan batas bawah
sampel tertentu dengan menggunakan IK 95% dari 4 ukuran sampel untuk dijadikan
grafik tersebut. gambaran mengenai seberapa baik presisi
Grafik kedua akan menunjukkan dari mean yang dihitung dari sampel dengan
mean-mean sampel dari replikasi pertama ukuran tertentu. Mean dari sampel dengan
hingga replikasi ke-1000 untuk empat ukuran 30 memiliki range sebesar 16.94
ukuran sampel: 30, 100, 250, 500. Empat dan IK 95% sebesar 10.81. Ini berarti
ukuran sampel dipilih sebagai contoh ketika seorang peneliti menghitung mean
untuk memberikan gambaran seberapa dari sampel dengan ukuran 30, untuk
besar fluktuasi nilai mean-mean sampel. mengestimasi µ populasi sebesar 100,
ia akan memperoleh nilai mean sampel
UKURAN SAMPEL 69

Gambar 5. Persentase Sampel yang Lolos Paling Tidak Satu Uji Normalitas

Gambar 6. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100,
250, 500 yang Diambil dari Populasi Berdistribusi Normal
70 SANTOSO

yang dapat bergerak antara 91.87 simulasi ini.


hingga 108.81. Dengan menggunakan
IK 95%, nilai mean dari sampel Simulasi B
dengan ukuran 30 memiliki probabilitas
95% untuk berada di antara 94.73 Tujuan
hingga 105.54. Dalam simulasi ini, range Simulasi ini dilakukan untuk menguji
dan IK ini menjadi paling kecil ketika apakah sampel dengan n = 30 akan
mean dihitung dari sampel dengan menghasilkan data yang mengikuti
ukuran 500 (range=4.26, interval=2.55). distribusi normal.
Fluktuasi nilai mean dari sampel
dengan ukuran 30, 100, 250, dan 500 Rancangan Simulasi
juga dapat dilihat lebih jelas dalam Simulasi dilakukan dengan cara
Gambar 4. Ketika sampel dengan membuat data sampel dengan ukuran
ukuran 30 digunakan, nilai mean yang yang berbeda-beda dari 10 hingga 500
diperoleh memiliki fluktuasi yang sangat dengan interval 10. Data sampel
lebar dari sampel yang satu ke sampel tersebut diambil dari populasi dengan
yang lain, sementara ketika menggunakan distribusi yang berbeda: distribusi normal,
sampel dengan ukuran 500, kisaran nilai distribusi t dengan db = 5, dan distribusi
mean sampel tidak terlalu lebar. F dengan db 1 = 2, db 2 = 50. Dua
Kedua gambar ini menunjukkan distribusi selain distribusi normal dipilih
bahwa penggunaan sampel dengan untuk menggambarkan kondisi ketika
ukuran kecil memperbesar kemungkinan populasi tempat sampel diambil itu
untuk memperoleh estimasi yang nilainya sendiri tidak mengikuti distribusi normal.
jauh berbeda dari parameter di populasi. Distribusi t dengan db = 5 dipilih untuk
Melibatkan sampel dengan ukuran yang menggambarkan distribusi yang heavy-
lebih besar akan memperkecil tailed tetapi simetris, sementara distribusi
kemungkinan ini. Dalam simulasi ini, F dengan db 1 = 2, db 2 = 50 dipilih untuk
menambah ukuran sampel menjadi 100 menggambarkan distribusi yang juling.
akan membuat range menjadi 40% lebih Untuk setiap ukuran sampel, penulis
kecil daripada jika ukuran sampel melakukan replikasi sebanyak 1000,
sebesar 30. Sementara, kemudian melakukan uji normalitas
menggunakan ukuran sampel sebesar menggunakan enam teknik pada tiap
250 dan 500 mengurangi range hingga sampel dan menghitung persentase
60% dan 75% dari ukuran sampel 30. sampel yang lolos paling tidak satu uji
Ukuran sampel sedikit lebih besar dari normalitas yang dilakukan. Enam uji
30 juga masih menunjukkan peningkatan normalitas yang digunakan dalam studi
presisi yang tajam sehingga argumen ini adalah uji Anderson-Darling, Shapiro
bahwa peningkatan presisi menjadi tidak Wilk, Cramer-von Mises, Kolmogorov-
terlalu besar setelah ukuran sampel Smirnof dengan koreksi dari Lilliefors, Chi
mencapai 30 tidak didukung oleh hasil Square dari Pearson, dan Shapiro-
UKURAN SAMPEL 71

Francia dengan menggunakan salah mencapai kurang lebih 75%, dan menjadi
satu paket dari R bernama nortest sekitar 20% ketika n = 30. Persentase ini
(Gross & Ligges, 2015). mendekati nol ketika sampel memiliki
ukuran sebesar 70 atau lebih. Ini berarti
Hasil Simulasi makin besar sampel, makin kecil
Hasil simulasi ditampilkan dalam kemungkinan sampel tersebut lolos uji
Gambar 5. Ketika populasi memiliki normalitas ketika populasi memiliki
distribusi normal, semua ukuran distribusi yang juling.
sampel memiliki persentase sampel Berdasarkan hasil simulasi di atas,
yang lolos paling tidak satu uji asumsi dapat disimpulkan bahwa besarnya
hampir 100%. Ini berarti ukuran sampel ukuran sampel tidak dapat memberikan
tidak berpengaruh terhadap jaminan untuk memperoleh data sampel
kenormalan data jika diambil dari yang lolos tes normalitas. Ukuran
populasi yang memiliki distribusi sampel yang makin besar justru makin
normal. memperbesar kemungkinan sampel
Hal ini berbeda dengan sampel tidak lolos uji normalitas ketika populasi
yang diambil dari populasi dengan tempat sampel itu berasal, tidak
distribusi heavy-tailed. Besarnya berdistribusi normal.
persentase sampel yang lolos paling Ketika sampel berasal dari populasi
tidak satu uji normalitas semakin kecil yang berdistribusi normal, ukuran
ketika ukuran sampel membesar. sampel sebesar 30 tidak menunjukkan
Ketika sampel berukuran n = 30, perbedaan persentase lolos uji
persentase banyaknya sampel yang normalitas yang mencolok dengan
lolos paling tidak satu uji normalitas ukuran sampel lain. Semua ukuran
adalah sekitar 95%, dan menjadi sampel, bahkan dengan n = 10
sekitar 80% ketika ukuran sampel sekalipun, memiliki persentase lolos uji
sebesar 100 amatan, 70% ketika normalitas mendekati 100%. Oleh
ukuran sampel sebesar 250, dan karena itu argumen yang menyatakan
hanya sekitar 40% ketika sampel bahwa besar sampel 30 cenderung
berukuran 500. Ini berarti semakin akan menghasilkan data yang memenuhi
besar ukuran sampel, makin besar asumsi normalitas tidak didukung oleh
kemungkinan data dari sampel tidak hasil simulasi ini. Distribusi di populasi lah
lolos uji asumsi normalitas ketika yang merupakan determinan dari lolos
populasi tidak mengikuti distribusi tidaknya uji normalitas data di sampel.
normal.
Persentase sampel yang lolos Simulasi C
paling tidak satu uji asumsi normalitas
makin kecil ketika populasi memiliki Tujuan
distribusi yang juling. Ketika n = 10, Simulasi ini dirancang untuk menguji
persentase sampel yang lolos argumen bahwa dengan ukuran sampel
72 SANTOSO

Gambar 7. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30,
100, 250, 500 yang Diambil dari Populasi Heavy-tailed.

Gambar 8. Kurva Sebaran Nilai Mean dari Sampel dengan Ukuran 30, 100,
250, 500 yang Diambil dari Populasi Berdistribusi Juling
UKURAN SAMPEL 73

Gambar 9. Ilustrasi Besarnya Power

Tabel 1
Hasil Uji Normalitas Sampel dari Populasi Berdistribusi Normal
Anderson- Shapiro Cramer Lilliefors-KS Pearson Shapiro
Darling -Wilk -von Mises Chi Square -Francis
(A) (W) (W) (D) (P) (W)

n=10 0.343 0.998 0.054 0.018 21.952 0.999

( p = 0.49 ) ( p = 0.54 ) ( p = 0.46 ) ( p = 0.63 ) ( p = 0.82 ) ( p = 0.56 )

n=30 0.499 0.997 0.066 0.022 29.248 0.997

( p = 0.21 ) ( p = 0.08 ) ( p = 0.31 ) ( p = 0.27 ) ( p = 0.45 ) ( p = 0.12 )

n=100 0.232 0.999 0.036 0.022 28.608 0.999

( p = 0.8 ) ( p = 0.75 ) ( p = 0.75 ) ( p = 0.3 ) ( p = 0.49 ) ( p = 0.67 )

n=250 0.317 0.999 0.04 0.017 41.536 0.999

( p = 0.54 ) ( p = 0.72 ) ( p = 0.68 ) ( p = 0.73 ) ( p = 0.06 ) ( p = 0.61 )

n=500 0.245 0.998 0.031 0.017 23.04 0.998

( p = 0.76 ) ( p = 0.43 ) ( p = 0.84 ) ( p = 0.69 ) ( p = 0.77 ) ( p = 0.25 )

Tabel 2
Hasil Uji Normalitas Sampel dari Populasi Heavy-tailed
Anderson- Shapiro Cramer Lilliefors-KS Pearson Shapiro
Darling -Wilk -von Mises Chi Square -Francis
(A) (W) (W) (D) (P) (W)

n = 10 0.913 0.996 0.139 0.029 34.816 0.996

( p = 0.02 ) ( p = 0.02 ) ( p = 0.03 ) ( p = 0.05 ) ( p = 0.21 ) ( p = 0.02 )

n = 30 0.214 0.996 0.028 0.014 24 0.995

( p = 0.85 ) ( p = 0.01 ) ( p = 0.87 ) ( p = 0.88 ) ( p = 0.73 ) ( p = 0.00 )

n = 100 0.241 0.999 0.034 0.017 25.92 0.999

( p = 0.77 ) ( p = 0.84 ) ( p = 0.79 ) ( p = 0.69 ) ( p = 0.63 ) ( p = 0.67 )

n = 250 0.218 0.999 0.035 0.017 30.72 0.999

( p = 0.84 ) ( p = 0.8 ) ( p = 0.76 ) ( p = 0.71 ) ( p = 0.38 ) ( p = 0.77 )

n = 500 0.6 0.998 0.096 0.023 28.736 0.998

( p = 0.12 ) ( p = 0.14 ) ( p = 0.13 ) ( p = 0.25 ) ( p = 0.48 ) ( p = 0.25 )


74 SANTOSO

sebesar 30, estimasi parameter akan dapat dilihat bahwa semua ukuran
mengikuti distribusi normal. sampel menghasilkan distribusi mean
sampel yang mengikuti distribusi normal
Rancangan Simulasi dengan standard deviasi yang berbeda.
Simulasi ini dilakukan dengan Tabel 1 juga menunjukkan hal yang
menarik sampel dari tiga populasi yang sama. Tidak satupun uji normalitas
memiliki distribusi yang berbeda memiliki statistik yang signifikan yang
seperti pada simulasi B: distribusi berarti data mean sampel yang
normal, distribusi t dengan df = 5 dihasilkan dari semua ukuran sampel
(distribusi heavy-tailed) dan distribusi F mengikuti distribusi normal.
dengan df 1 = 2, df 2 = 50 (distribusi Gambar 7 memberikan gambaran
juling). Ukuran sampel yang sebaran mean dari sampel-sampel
digunakan juga dipilih dari 10 hingga yang diambil dari populasi berdistribusi
500 dengan interval 10. Untuk setiap heavy-tailed. Kita dapat melihat bahwa
ukuran sampel, penulis menarik 1000 dari gambar tersebut, ketika n = 10 dan
sampel yang kemudian dihitung nilai n = 30, bentuk distribusi mean sampel
meannya dan disimpan sebagai data. terlihat agak juling, sementara ukuran
penulis kemudian mengecek apakah sampel yang lebih besar cenderung
distribusi dari mean-mean sampel menghasilkan data mean sampel yang
untuk tiap ukuran sampel ini mengikuti mengikuti distribusi normal. Tabel 2
distribusi normal. Distribusi dari mean- memberikan informasi yang mendekati
mean sampel ini dilihat hasil pengamatan ini. Untuk n = 10
kesesuaiannya dengan distribusi dan n = 30, ada beberapa uji asumsi
normal dengan menggunakan grafik normalitas yang memberikan hasil
garis dan 6 uji normalitas yang yang signifikan. Misalnya untuk n = 10,
digunakan pada simulasi B. hanya uji normalitas menggunakan
Pearson-Chi Square yang melaporkan
Hasil Simulasi nilai p > 0.05. Sementara untuk n = 30,
Hasil simulasi ini dijabarkan dalam dua uji normalitas memberikan hasil
tiga grafik dan tiga tabel. Masing- yang signifikan. Ini berarti sampel
masing grafik dan tabel menampilkan sebesar 10 dan 30 masih dapat
distribusi dari mean-mean sampel menghasilkan data mean sampel yang
yang berasal dari tiga populasi tidak berdistribusi normal. Dalam simulasi
dengan distribusi yang berbeda. ini, hanya sampel sebesar 100 atau
Gambar 6 menampilkan sebaran lebih besar yang memiliki hasil uji
mean dari sampel-sampel dengan normalitas yang tidak signifikan untuk
ukuran 10, 30, 100, 250 dan 500 yang semua uji.
diambil dari populasi berdistribusi Ketika tingkat ketidaknormalan
normal. Dengan pengamatan subjektif semakin parah di populasi, yang diwakili
UKURAN SAMPEL 75

Tabel 3
Hasil Uji Normalitas dari Sampel yang Diambil dari Populasi Berdistribusi
Juling
Anderson- Shapiro Cramer Lilliefors-KS Pearson Shapiro
Darling -Wilk -von Mises Chi Square -Francis
(A) (W) (W) (D) (P) (W)

n = 10 4.877 0.977 0.785 0.053 73.216 0.978


( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )
n = 30 2.064 0.987 0.228 0.029 69.248 0.987
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )( p = 0.05 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 )
n = 100 2.291 0.988 0.377 0.039 42.688 0.988
( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.00 ) ( p = 0.05 ) ( p = 0.05 ) ( p = 0.00 )
n = 250 0.532 0.998 0.083 0.025 29.248 0.998
( p = 0.17 ) ( p = 0.24 ) ( p = 0.19 ) ( p = 0.15 ) ( p = 0.45 ) ( p = 0.16 )
n = 500 0.478 0.998 0.07 0.026 33.216 0.998
( p = 0.24 ) ( p = 0.49 ) ( p = 0.28 ) ( p = 0.11 ) ( p = 0.27 ) ( p = 0.44 )
dengan distribusi juling, distribusi menunjukkan bahwa argumen yang
sampel mean juga semakin sulit mendasari klaim tersebut tidak didukung
untuk mengikuti distribusi normal. Hal oleh data simulasi dalam studi ini. Akurasi
ini dapat terlihat pada Gambar 8 dan estimasi parameter di populasi tidak
Tabel 3 . Dibutuhkan sampel yang terkait langsung dengan ukuran sampel,
makin besar agar bentuk distribusi yang ditunjukkan oleh kecilnya bias
mean sampel dapat mengikuti estimasi meskipun ukuran sampel
distribusi normal. Dalam simulasi ini, bahkan lebih kecil daripada 30. Hal ini
dibutuhkan n = 250 atau lebih besar menunjukkan bahwa penentu bias
agar distribusi mean sampel dapat estimasi parameter bukanlah ukuran
lolos semua uji normalitas. sampel melainkan pilihan estimatornya.
Sementara jika sampel berukuran 100 Ukuran sampel sebesar 30 memiliki
atau lebih kecil, bentuk distribusi dari masalah dalam hal presisi. Peningkatan
mean sampel akan cenderung tidak presisi pada ukuran sampel lebih besar
mengikuti distribusi normal. dari 30 juga masih cukup besar. Ini
berarti argumen bahwa presisi dari
Kesimpulan Hasil Simulasi ukuran sampel sebesar 30 sudah baik
dan ukuran sampel lebih besar dari 30
Tiga simulasi telah dilakukan untuk tidak mengalami banyak peningkatan
menguji argumen yang mendasari tidak didukung oleh studi simulasi ini.
klaim bahwa ukuran sampel minimal Simulasi juga menunjukkan bahwa
dalam sebuah penelitian adalah 30. argumen yang menyatakan bahwa
Hasil ketiga simulasi tersebut ukuran sampel sebesar 30 cenderung
76 SANTOSO

menghasilkan data yang mengikuti di sampel yang tidak menggambarkan


normalitas tidak didukung oleh data. keadaan populasinya. Kedua, ukuran
Distribusi data di sampel lebih banyak sampel tidak dapat digunakan sebagai
dipengaruhi oleh bentuk distribusi data cara untuk mengatasi ketidaknormalan
di populasinya. Bahkan, ukuran sampel data di sampel, karena bentuk distribusi
sebesar 30 cenderung memberikan di populasi lah yang merupakan
informasi yang keliru mengenai bentuk determinan yang berpengaruh. Ketiga,
distribusi di populasi mengingat ketika distribusi populasi sangat jauh
persentase sampel dengan ukuran dari distribusi normal, ukuran sampel
30 yang lolos paling tidak satu uji yang dibutuhkan untuk menghasilkan
normalitas ketika distribusi di populasi statistik, misalnya mean, yang
tidak mengikuti distribusi normal masih berdistribusi normal juga semakin
tinggi: (a) Lebih dari 90% ketika besar. Ukuran sampel sebesar 30 tidak
distribusi di populasi mengikuti memadai untuk menghasilkan distribusi
distribusi heavy-tailed, (b) Sekitar 20% statistik yang mengikuti kurve normal
ketika distribusi di populasi mengikuti dalam kondisi ini.
distribusi juling. Lebih jauh lagi, kedua kriteria yang
Hasil simulasi juga menunjukkan digunakan untuk menetapkan besarnya
bahwa ukuran sampel sebesar 30 sampel memiliki beberapa kelemahan.
cenderung tidak menghasilkan Kelemahan pertama terkait dengan
distribusi mean sampel yang mengikuti subjektivitas yang terlalu besar yang
distribusi normal ketika populasi tidak dilibatkan dalam penentuan besarnya
mengikuti distribusi normal. Hanya sampel. Misalnya apa batasan
ketika populasi mengikuti distribusi besarnya sampel memberikan presisi
normal saja, ukuran sampel sebesar 30 estimasi yang baik? Kelemahan kedua
menghasilkan mean sampel yang terkait dengan informasi yag dapat
berdistribusi normal. disajikan oleh kriteria tersebut. Misalnya
Dari paparan di atas dapat jika besarnya sampel tertentu dianggap
disimpulkan bahwa penggunaan ukuran mewakili populasi, seberapa mewakili?
sampel minimal sebesar 30 memiliki Selain itu, kedua kriteria tersebut lebih
beberapa kelemahan. Pertama, statistik banyak terkait dengan bentuk distribusi di
yang dihasilkan dari ukuran sampel populasi daripada besarnya sampel.
lebih besar dari 30 memiliki tingkat Misalnya, dari hasil simulasi juga dapat
presisi yang masih jauh lebih baik kita lihat bahwa bentuk distribusi sampel
dibandingkan statistik dari sampel atau mean sampel lebih ditentukan oleh
dengan ukuran 30. Oleh karena itu bentuk populasinya. Oleh karena itu,
menjadikan ukuran sampel sebesar penting untuk mempertimbangkan
30 sebagai ukuran minimal, akan kriteria atau pendekatan lain untuk
meningkatkan besarnya menetapkan besarnya sampel yang
kemungkinan memperoleh estimasi dapat mengatasi kelemahan-
UKURAN SAMPEL 77

kelemahan ini. menetapkan α sebesar 0.05. Jika ternyata,


korelasi antara X dan Y sama dengan nol di
Analisis Power: Alternatif Penentuan populasi (tidak ada korelasi atau H 0 benar),
Ukuran Sampel maka besarnya kemungkinan peneliti
Power adalah probabilitas menolak menolak H 0 tersebut (atau memperoleh
H0 ketika H0 salah di populasi, yang hasil yang signifikan) adalah 0.05. Jika
dilambangkan dengan (1 − β) (Cohen, ternyata, korelasi antara X dan Y sama
1988; Dattalo, 2008; Murphy et al., dengan 0.5 (atau nilai lain yang tidak sama
2003). Untuk memahami power ini, perlu dengan nol, atau H 0 salah), maka besarnya
kiranya penulis membahas terlebih probabilitas ‘gagal menolak’ H 0 (atau
dahulu mengenai dua tipe kesalahan memperoleh hasil yang tidak signifikan)
yang mungkin terjadi ketika seorang adalah sebesar  dan probabilitas menolak
peneliti mengambil keputusan untuk H 0 sebesar (1 - ) atau sama dengan
menolak atau gagal menolak hipotesis besarnya power.
nul (H 0 ). Tipe kesalahan 1 merupakan Besarnya power dipengaruhi oleh,
kesalahan yang dilakukan peneliti ketika paling tidak, tiga komponen; yaitu:
memutuskan untuk menolak H 0 ketika H 0 Pertama, Besarnya kesalahan tipe 1
benar. Probabilitas melakukan kesalahan atau α yang diijinkan dalam uji hipotesis
tipe 1 ini dilambangkan dengan α. Tipe nul. Dalam penelitian di Psikologi, α
kesalahan 2 merupakan kesalahan biasanya ditetapkan sebesar 0.05
pengambilan keputusan ‘gagal menolak‘ dengan beberapa pertimbangan
H 0 ketika H 0 salah. Probabilitas (Howell, 2009; Santoso, 2009).
melakukan kesalahan tipe 2 ini Besarnya α ini berbanding lurus dengan
dilambangkan dengan . Besarnya  power; semakin kecil α yang digunakan,
hanya dapat diketahui jika besarnya efek semakin kecil power dari uji yang
di populasi juga diketahui. Oleh karena dijalankan.
peneliti biasanya tidak mengetahui Kedua, Standard error (SE) dari
besarnya efek di populasi, maka estimasi parameter atau oleh Cohen
besarnya  juga tidak diketahui secara (1988) disebut sebagai reliabilitas hasil
pasti. Peneliti hanya dapat mengestimasi yang diperoleh dari sampel. SE dari
besarnya efek di populasi berdasarkan estimasi parameter yang diuji
hasil penelitian sebelumnya, sehingga  berbanding terbalik dengan power;
yang diperoleh juga hanya berupa semakin besar SE semakin kecil power
perkiraan. Power didefinisikan sebagai (1 dari uji yang dijalankan. SE sendiri
- ) atau probabilitas menolak H 0 ketika dipengaruhi oleh karakteristik dari teknik
H 0 salah. estimasi yang digunakan. Misalnya
Ilustrasi power ada dalam estimasi koefisien regresi dengan
Gambar 9. Misalnya seorang peneliti menggunakan metode Least Squares
hendak menguji H 0 yang menyatakan (LS) dianggap memiliki SE terkecil
tidak ada korelasi antara X dan Y. Ia dibandingkan metode lain.
78 SANTOSO

Besarnya sampel merupakan efek variabel independen pada variabel


faktor lain yang mempengaruhi SE; dependen.
semakin besar sampel, SE dari Kedua, mengetahui besarnya
estimasi parameter akan menjadi sampel yang dibutuhkan untuk
semakin kecil. Hal ini dapat dilihat, mengidentifikasi efek dengan besaran
misalnya, dalam rumus SE untuk mean tertentu. Pengetahuan ini biasanya
sampel berikut: berguna dalam tahap perencanaan,
yaitu untuk menentukan besarnya
sampel yang akan diambil dalam
(1)
penelitian.
Analisis power ini memiliki prosedur
σmerupakan standard deviasi
yang sangat beragam, masing-masing
dari X di populasi dan n adalah
bergantung pada teknik analisis yang
besarnya sampel. Semakin besar n
digunakan dan bentuk distribusi dari
akan membuat nilai menjadi
semakin kecil. statistik yang diujikan, misalnya t, F, χ2 ,
Ketiga, besaran efek (effect size). dll. Oleh karena itu, dalam artikel ini,
Ada beberapa besaran efek yang penulis hanya akan memberikan contoh
diperkenalkan oleh Cohen (1988), dan aplikasi analisis power pada uji
sering digunakan dalam penelitian perbedaan mean dua kelompok
independen dengan menggunakan uji t
psikologi, misalnya d, f2 , dan r. Ketiga
untuk menentukan besarnya sampel.
besaran efek ini dapat saling
ditransformasi ke nilai yang lain.
Contoh ilustrasi
Besaran efek ini berbanding lurus
Seorang penulis hendak mempelajari
dengan power; semakin besar efek
efek dari tritmen yang dirancangnya
dalam suatu penelitian, semakin besar
untuk meningkatkan motivasi belajar
power dari uji yang dilakukan terhadap
siswa. Ia memasukkan partisipan-
efek tersebut.
partisipan penelitiannya ke dalam dua
Analisis power merupakan analisis
kelompok secara random, satu kelompok
yang digunakan untuk menghitung
eksperimen dan satu kelompok kontrol.
besarnya power dari suatu analisis
Banyaknya partisipan yang terlibat
statistik dalam suatu penelitian. Ada
sebesar 15 untuk tiap kelompok.
dua tujuan dilakukannya analisis
Besarnya mean dan standard deviasi
power ini (Cohen, 1988; Dattalo,
yang diperoleh dari setiap kelompok
2008; Murphy et al., 2003):
ditunjukkan dalam tabel 4 . Hasil analisis
Pertama, Mengetahui besarnya
menggunakan uji t sampel independen
power dari suatu analisis yang telah
memberikan hasil yang tidak signifikan
dilakukan. Misalnya apakah analisis
(t(df = 28) = 1.0531, p = 0.301). Berapakah
yang telah dijalankan memiliki power
besarnya power dalam analisis tersebut?
yang memadai untuk mengidentifikasi
Jika besarnya efek dalam penelitian ini
UKURAN SAMPEL 79

dianggap sebagai efek dalam ditemukan dengan melihat tabel 2.3.5


populasi, berapakah ukuran sampel yang disediakan Cohen (1988, h.36).
yang seharusnya diambil agar analisis Dalam tabel tersebut, tidak ditemukan
ini memiliki power sebesar 80%? angka d = 0.385. Oleh karena itu
digunakan nilai yang terdekat yaitu 0.4.
Tabel 4 Dengan n = 15 untuk tiap kelompok dan
Mean dan Standard Deviasi untuk d = 0.4, power dari analisis yang
Setiap Kelompok dilakukan adalah sebesar 18%.
Besarnya power dapat juga ditemukan
Kelompok Mean SD dengan menggunakan perintah
Kontrol 100.064 4.740 pwr.t.test dari paket pwr (Champely,
Eksperimen 100.786 4.200 2015) dalam program R (R Core Team,
2015). Dengan menggunakan perintah
ini, ditemukan power dari analisis ini
Perhitungan power dalam kasus ini
sebesar 17.47%, mendekati nilai yang
dimulai dengan menghitung besarnya
ditemukan dalam tabel Cohen (1988). Ini
besaran efek (effect size) d dalam
berarti, jika hipotesis nul di populasi
analisis tersebut. Untuk menghitung
salah, besarnya probabilitas ditemukan
besarnya d ini perlu dihitung lebih dulu
hasil yang signifikan dalam analisis ini
spool yang merupakan standard
hanya sebesar 18%.
deviasi dari gabungan standard deviasi Untuk menjawab pertanyaan kedua,
kedua kelompok, yang dihitung sebagai tabel 2.4.1 yang disediakan Cohen
berikut: (1988, h.55) dapat digunakan. Dalam
tabel tersebut, dengan d = 0.4, α =
0.05, dan power = 0.8, besarnya n yang
dibutuhkan untuk tiap kelompok adalah
99 orang. Besarnya n ini juga dapat
dihitung menggunakan perintah yang
pwr.t.test. Besarnya n yang ditemukan
adalah 106.87, sedikit berbeda dari
Besarnya d kemudian dapat tabel 2.4.1 Cohen (1988). Ini berarti
dihitung sebagai berikut (Cohen, dibutuhkan sampel dengan total
1988): partisipan sebesar kurang lebih 214
orang agar probabilitas memperoleh
hasil signifikan dalam analisis ketika
hipotesis nul salah adalah 80%.

Pembahasan

Besarnya power dapat Artikel ini ditulis untuk mencapai


80 SANTOSO

dua tujuan: (a) menguji argumen pada unit pengukuran dari data yang
yang mendasari pendapat bahwa diperoleh. Misalnya data yang berasal
ukuran sampel minimal dalam dari tes yang terdiri dari 20 item akan
penelitian sebesar 30, dan (b) memiliki unit pengukuran yang berbeda
memperkenalkan pendekatan lain dari tes yang terdiri dari 40 item.
dalam menentukan besar sampel Sementara itu, bentuk distribusi data di
yang didasarkan pada analisis power. sampel dan distribusi statistik lebih
Hasil simulasi dalam penelitian ini banyak ditentukan oleh bentuk
tidak menunjukkan dukungan distribusi populasi, bukan ukuran
terhadap argumen yang mendasari sampel. Oleh karena itu dibutuhkan
penentuan ukuran sampel sebesar kriteria lain yang dapat mengatasi
30. Ukuran sampel sebesar 30 tidak kedua kelemahan tersebut.
memiliki presisi yang memadai untuk Penggunaan ukuran sampel
mewakili karakteristik populasi. sebesar 30 ini dapat menurunkan
Statistik yang diperoleh dari sampel kualitas penelitian Psikologi di
dengan ukuran lebih besar dari 30 Indonesia. Kemampuan peneliti untuk
masih mengalami peningkatan besar. mengidentifikasi parameter yang
Ukuran sampel sebesar 30 tidak memiliki nilai kecil di populasi akan
menjamin data di sampel akan lolos menjadi makin kecil dikarenakan power
uji asumsi normalitas. Faktor penentu yang rendah. Ukuran sampel sebesar
dari lolos uji asumsi ini adalah bentuk 30 akan cenderung memberikan hasil
distribusi di populasi, bukan ukuran estimasi yang memiliki presisi yang
sampel. Distribusi statistik tidak rendah. Presisi yang rendah ini berarti
ditentukan oleh ukuran sampel, hasil estimasi di sampel akan
melainkan oleh bentuk distribusi di cenderung memiliki penyimpangan
populasi. Oleh karena itu, dapat yang lebar dari parameter yang
disimpulkan bahwa argumen yang diestimasi, atau memberikan gambaran
mendukung pendapat ukuran sampel yang tidak sebenarnya dari kondisi di
sebesar 30 tidak memperoleh populasi.
dukungan dalam penelitian ini. Pendekatan analisis power dapat
Lebih jauh lagi, kriteria yang mengatasi kedua kelemahan
digunakan dalam kedua argumen pendekatan sebelumnya. Dalam
tidak dapat digunakan sebagai cara analisis power, kriteria yang digunakan
menentukan besarnya sampel. untuk menentukan besarnya sampel
Penentuan besarnya sampel adalah power yang bergerak dari 0
berdasarkan presisi memiliki hingga 1. Power ini tidak dipengaruhi
kelemahan dalam hal tidak adanya oleh unit pengukuran dari data yang
kriteria yang dapat diberlakukan diperoleh, sehingga nilainya dapat
secara universal. Hal ini dikarenakan diberlakukan secara universal.
SE sebagai ukuran presisi tergantung Meskipun besarnya power ditentukan
UKURAN SAMPEL 81

secara subjektif, saat ini ada dapat digunakan untuk menentukan


kesepakatan mengenai nilai power ukuran sampel agar analisis memiliki
yang dianggap memadai yaitu satu probabilitas memperoleh hasil yang
dikurangi empat kali besarnya α yang signifikan dengan besaran yang
ditentukan (1 – 4*α) (Dattalo, 2008). diharapkan peneliti.
Oleh karena itu, jika peneliti Oleh karena itu, penulis
menentukan α sebesar 5% maka merekomendasikan penggunaan
besarnya power yang memadai analisis power untuk menentukan
adalah 80%. besarnya sampel. Pemahaman
Ukuran sampel dalam peneliti psikologi di Indonesia
pendekatan sebelumnya bukan mengenai ukuran sampel minimal
merupakan penentu bentuk distribusi sebesar 30 perlu diluruskan, baik
di sampel atau bentuk distribusi melalui jalur pendidikan formal,
statistik. Hal ini berbeda dengan seminar atau workshop agar dampak
analisis power: ukuran sampel dari penggunaan ukuran sampel
merupakan salah satu faktor yang terhadap kualitas penelitian psikologi
menentukan besarnya power. Power di Indonesia dapat diatasi.
ditentukan oleh α, besaran efek dan
SE yang dipengaruhi secara Referensi
langsung oleh ukuran sampel. Oleh
karena itu, dengan mengendalikan α
dan besaran efek, power dapat dicari Burmeister, E. & Aitken, L. M. (2012).
berdasarkan ukuran sampel tertentu Sample size: How many is enough?
dan sebaliknya ukuran sampel yang Australian Critical Care, 25(4), 271–
diharapkan dapat dicari berdasarkan 274.
power yang dianggap memadai. Casella, G. & Berger, R. L. (2001).
Penentuan besarnya sampel Statistical inference ( 2nd ed.).
dengan pendekatan analisis power juga Pacific Grove, CA: Duxbury Press.
memberikan manfaat yang lebih besar Champely, S. (2015). pwr: Basic functions
dibandingkan dengan pendekatan for power analysis. R package version
sebelumnya. Dengan menggunakan 1.1-3. Retrieved from http://CRAN.R-
pendekatan ini, peneliti dapat project.org/package=pwr
menggunakan informasi yang diperoleh Cohen, J. (1988). Statistical power
melalui analisis power untuk analysis for the behavioral sciences.
mengevaluasi hasil analisis yang telah Hillsdale, N.J: Routledge.
dijalankan atau menentukan besarnya Columb, M. O. & Stevens, A. (2008).
sampel yang dapat mengidentifikasi Power analysis and sample size
efek dengan kuantitas yang berbeda. calculations. Current Anaesthesia &
Jika peneliti mengantisipasi ukuran efek Critical Care, 19(1), 12–14.
yang kecil, maka analisis power ini Dattalo, P. (2008). Determining sample size
balancing power, precision, and
82 SANTOSO

practicality. New York, NY: Oxford Apendiks A


University Press.
Gross, J. & Ligges, U. (2015). nortest: Skrip R Untuk Menjalankan Simulasi
Tests for normality. R package untuk Menguji Keterwakilan Populasi
version 1.0-3. Retrieved from
http://CRAN.R- ####################################
## Simulasi Mean dari Satu Sampel ##
project.org/package=nortest ####################################
Howell, D. C. (2009). Statistical
methods for psychology (7th ed.). X<-NULL
seqn<-seq(10,500,10)
Belmont, CA: Cengage Learning. for(j in seqn){
Hsu, L. M. (1993). Using Cohen’s tables x.col<-NULL
to determine the maximum power for(i in 1:1000){
x<-rnorm(j,100,15)
attainable in two-sample tests x.col<-cbind(x.col,x)
when one sample is limited in size. }
X<-cbind(X,colMeans(x.col))
Journal of Applied Psychology,
}
78(2), 303–305. mean.X<-colMeans(X)
Murphy, K. R., Myers, B., Murphy, K., & sd.X<-apply(X,2,sd)
minx<-apply(X,2,min)
Wolach, A. (2003). Statistical power
maxx<-apply(X,2,max)
analysis: A simple and general CIx.L<-mean.X-1.96*sd.X
model for traditional and modern CIx.U<-mean.X+1.96*sd.X

hypothesis tests (2nd ed.). ### plotting mean and 95%CI ##


Mahwah, N.J: Routledge. #drawing shade 95%
R Core Team. (2015). R: A language plot(seqn,mean.X,type='n',ylim=c(85,115),yla
b="X",xlab="n",xlim=c(0,max(seqn)+10))
and environment for statistical xx<-c(seqn,rev(seqn))
computing. R Foundation for yy<-c(minx,rev(maxx))
Statistical Computing, Vienna, #yy<-c(CIx.U,rev(CIx.L))
polygon(xx,yy,col='lightgrey',border='white'
Austria. Retrieved from )
http://www.R-project.org/.
Santoso, A. (2009). Menyoal taraf #plotting mean and 95% CI
lines(seqn,mean.X,ylim=c(90,110),lty=3,ylab=
signifikansi: Tanggapan terhadap "X",xlab="n",xlim=c(0,max(seqn)+10),lwd=2)
artikel "Aplikasi llmu statistika di lines(seqn,minx,type='l',col='red')
lines(seqn,maxx,type='l',col='red')
Fakultas Psikologi" (Hadi, 2005).
lines(seqn,CIx.L,type='l',col='green')
MANASA, 3(2), 129 – 139. lines(seqn,CIx.U,type='l',col='green')
Stokes L (2014). Sample size
texting<-function(n){
calculation for a hypothesis test.
x<-which(seqn==n)
JAMA, 312(2), 180–181. abline(v=seqn[x],col='blue',lty=3)
text(x=seqn[x],y=85,label=paste("n=",
seqn[x]),col='blue')
Alamat surel: agungsan_psy@yahoo.com text(x=seqn[x],y=minx[x],label=paste(
"Min=",round(minx[x],digits=2)),pos=1)
text(x=seqn[x],y=maxx[x],label=paste(
"Max=",round(maxx[x],digits=2)),pos=3)
UKURAN SAMPEL 83
text(x=seqn[x],y=101,label=paste("R ###################################
=",round(maxx[x]-minx[x], # n=30, distribusi sampel normal? #
digits=2))) ###################################
text(x=seqn[x],y=CIx.L[x],label=pas library(nortest)
te("L=",round(CIx.L[x],digits=2)),pos=1,of
fset=0.1) nr<-1000
text(x=seqn[x],y=CIx.U[x],label=pas ave.f<-ave.normal<-ave.t<-NULL
te("U=",round(CIx.U[x],digits=2)),pos=3,of
fset=0.1) for(j in seqn){
text(x=seqn[x],y=99.2,label=paste(" y1<-0
CI=",round(CIx.U[x]-CIx.L[x], y2<-0
digits=2))) y3<-0
} for(i in 1:nr){
texting(30) normal<-rnorm(j)
texting(100) f<-rf(j,2,50)
texting(250) t<-rt(j,5)
texting(500) y1<-y1+ifelse((ad.test(normal)$p.value>.05
legend("topright",legend=c("Maksimum-
Minimum","95% Confidence |shapiro.test(normal)$p.value>.05
Interval","Mean"), |cvm.test(normal)$p.value>.05
col=c('red','green','black'),lty=c(
1,1,3),lwd=c(1,1,2),bg='white') |lillie.test(normal)$p.value>.05

### plotting fluctuations ### |pearson.test(normal)$p.value>.05


layout(matrix(1:5, ncol = 1), widths = 1,
heights = c(1,4,4,4,5), respect = |sf.test(normal)$p.value>.05),1,0)
FALSE) y2<-y2+ifelse((ad.test(t)$p.value>.05
par(mar=c(0, 4, 0, 0)) |shapiro.test(t)$p.value>.05
plot(1, type = 'n', axes = FALSE, bty = |cvm.test(t)$p.value>.05
'n', ylab = '') |lillie.test(t)$p.value>.05
par(mar=c(0, 4, 2, 1), bty = 'o') |pearson.test(t)$p.value>.05
plot(X[,3],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max( |sf.test(t)$p.value>.05),1,0)
X[,3])),main="n=30",xaxt='n',ylab="") y3<-y3+ifelse((ad.test(f)$p.value>.05
plot(X[,10],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max |shapiro.test(f)$p.value>.05
(X[,3])),main="n=100",xaxt='n',ylab="") |cvm.test(f)$p.value>.05
plot(X[,25],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max |lillie.test(f)$p.value>.05
(X[,3])),main="n=250",xaxt='n',ylab="") |pearson.test(f)$p.value>.05
par(mar=c(4, 4, 2, 1)) |sf.test(f)$p.value>.05),1,0)
plot(X[,50],type='l',ylim=c(min(X[,3]),max }
(X[,3])),main="n=500",xaxt='n',ylab="",xla ave.normal<-c(ave.normal,sum(y1)/nr)
b="Nomor Replikasi") ave.t<-c(ave.t,sum(y2)/nr)
mtext("Kecerdasan",side=2,at=135,line=2.5, ave.f<-c(ave.f,sum(y3)/nr)
cex=1.1) }
axis(1, 1:1000, cex.axis = 1.5) plot(ave.normal,type='l',ylim=c(0,1),xaxt='n
',col='blue',ylab="%",xlab="Ukuran Sampel")
axis(1,1:50,labels=seqn)
lines(ave.t,lty=2,lwd=2,col='red')
Apendiks B lines(ave.f,lty=3,lwd=2,col='green')
abline(v=3,lty=3)
text(3,0.03,label='n=30',pos=2,offset=0.1)
Skrip R Untuk Menjalankan Simulasi abline(v=10,lty=3)
untuk Menguji Normalitas Data Sampel text(10,0.03,label='n=100',pos=2,offset=0.1)
abline(v=25,lty=3)
dengan n = 30 text(25,0.03,label='n=250',pos=2,offset=0.1)
abline(v=50,lty=3)
84 SANTOSO

text(50,0.03,label='n=500',pos=2,offset=0. tic,digits=3))
1) test[2*(j-1)+2,2]<-paste("(
legend(26,0.3,legend=c('Distribusi p=",round(shapiro.test(dat.z[,j])$p.value,di
Normal','Distribusi t (df=5)', gits=2),")")
'Distribusi F test[2*(j-1)+1,3]<-
(df1=2,df2=50)'),lty=c(1,2,3),lwd=c(1,2,2) paste(round(cvm.test(dat.z[,j])$statistic,di
, gits=3))
col=c('blue','red','green'),bg='whi test[2*(j-1)+2,3]<-paste("(
te') p=",round(cvm.test(dat.z[,j])$p.value,digits
=2),")")
test[2*(j-1)+1,4]<-
paste(round(lillie.test(dat.z[,j])$statistic
################################### ,digits=3))
# n=30 distribusi mean sampel normal? test[2*(j-1)+2,4]<-paste("(
# p=",round(lillie.test(dat.z[,j])$p.value,dig
################################### its=2),")")
set.seed(8888) test[2*(j-1)+1,5]<-
dat.z<-NULL paste(round(pearson.test(dat.z[,j])$statisti
for(j in c(10,30,100,250,500)){ c,digits=3))
mean.z<-NULL test[2*(j-1)+2,5]<-paste("(
for(i in 1:1000){ p=",round(pearson.test(dat.z[,j])$p.value,di
z<-rnorm(j) gits=2),")")
#z<-rt(j,5) test[2*(j-1)+1,6]<-
#z<-rf(j,2,50) paste(round(sf.test(dat.z[,j])$statistic,dig
mean.z<-c(mean.z,mean(z)) its=3))
} test[2*(j-1)+2,6]<-paste("(
dat.z<-cbind(dat.z,mean.z) p=",round(sf.test(dat.z[,j])$p.value,digits=
} 2),")")
colnames(dat.z)<- }
c('n=10','n=30','n=100','n=250','n=500') colnames(test)<-c("Anderson-Darling
(A)","Shapiro-Wilk (W)",
###Plots "Cramer-von Mises
plot(density(dat.z[,5]),xlim=c(- (W)","Lilliefors-KS (D)",
1.2,1.2),lty=6,lwd=2,xlab="X",ylab="",main "Pearson chisquare
="") (P)","Shapiro-Francis (W)")
lines(density(dat.z[,4]),lty=4,lwd=2) rownames(test)<-
lines(density(dat.z[,3]),lty=3,lwd=2) c("n=10","","n=30","","n=100","","n=250","",
lines(density(dat.z[,2]),lty=2,lwd=2) "n=500","")
lines(density(dat.z[,1])) xtable(test)
legend('topright',legend=c('n=10','n =
30','n = 100','n = 250','n = 500'),
lty=c(1,2,3,4,6),lwd=c(1,2,2,2,2))

###Tests
colm<-1:5
test<-matrix(NA,ncol=6,nrow=10)
for(j in colm){
test[2*(j-1)+1,1]<-
paste(round(ad.test(dat.z[,j])$statistic,d
igits=3))
test[2*(j-1)+2,1]<-paste("(
p=",round(ad.test(dat.z[,j])$p.value,digit
s=2),")")
test[2*(j-1)+1,2]<-
paste(round(shapiro.test(dat.z[,j])$statis
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 85-104, ISSN. 0853-3098

PRAKTEK KESELAMATAN KERJA DITINJAU


DARI SUDUT PANDANG KARYAWAN
(WORK SAFETY PRACTICES FROM
EMPLOYEES PERSPECTIVES)
Raden Siti Ayunda Nurita dan Rayini Dahesihsari
Magister Psikologi Profesi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

In Indonesia, there are still high levels of workplace accidents and safety rule violations with human error as
the main factor. It is assumed that this condition happened because of lack of employees' involvement.
Effective employees' involvement can only be done when there is focus on understanding the employees'
perspective. This research aims to describe safety practices from the employees' perspective. In-depth
interviews are conducted to three mechanics from a workshop in a heavy equipment distribution company
in Jakarta, which is considered as a high risk workplace. Participants are selected by using typical case
sampling. Results show that participants view that there are many safety practices conducted by their
immediate supervisor, but with no strict disciplinary action. Participants also perceive a conflict between
priority given to work productivity and safety. According to participants, safety departement has not involved
them when implementing the practices. As a consequence, safety is not perceived as a priority. Individual
factors such as unsafe behaviors habits, minimal job experience, and fatique could also inhibit the display of
safety behaviors, which lead to high levels of accidents and unsafe behaviors in the workshop. Results of
this study could be used as a feedback for the management, not only in implementing safety practices, but
also in planning efforts to achieve greater acceptance and support from their employees.

Keywords: safety practices, unsafe behavior, employee involvement, employee perception

Tingkat kecelakaan dan pelanggaran aturan keselamatan kerja di Indonesia masih tergolong tinggi dengan
kelalaian manusia sebagai penyebab utama. Hal ini diasumsikan terjadi akibat kebijakan praktek
keselamatan kerja yang bersifat searah dari manajemen dan kurang melibatkan karyawan sebagai
pelaksana dari kebijakan tersebut. Pelibatan karyawan secara efektif hanya dapat dilakukan apabila sudut
pandang karyawan menjadi perhatian dalam perancangan kebijakan keselamatan kerja. Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan praktek keselamatan kerja perusahaan yang ditinjau dari sudut pandang
karyawan. Wawancara mendalam dilakukan kepada tiga orang mekanik workshop yang merupakan area
dengan risiko kecelakaan tinggi di suatu perusahaan distribusi alat berat di Jakarta. Responden dipilih
berdasarkan kasus tipikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden memandang atasan langsung
sudah berupaya melakukan berbagai praktek keselamatan kerja, namun belum dalam bentuk sanksi yang
tegas. Di sisi lain responden juga melihat adanya inkonsistensi atasan langsung dalam menerapkan
prioritas antara produktivitas kerja dengan keselamatan kerja yang seringkali saling bertolak belakang.
Prioritas pada produktivitas kerja terkadang membuat pengabaian pada keselamatan kerja. Menurut
responden, divisi keselamatan kerja kurang melibatkan karyawan dalam melakukan praktek keselamatan
kerja. Akibatnya, keselamatan kerja tidak dianggap prioritas oleh karyawan. Faktor individual seperti
kebiasaan melakukan perilaku tidak aman, minimnya pengalaman kerja dan kondisi fisik yang kurang
optimal juga dapat menghambat diterapkannya perilaku aman oleh karyawan. Sebagai dampaknya, masih
banyak terjadi kecelakaan kerja dan perilaku tidak aman di workshop. Hasil penelitian diharapkan dapat
85
86
NURITA & DAHESIHSARI

menjadi masukan bagi organisasi, tidak hanya dalam menetapkan kebijakan praktek keselamatan kerja,
namun juga dalam merancang upaya pendekatan yang tepat kepada karyawan agar mereka dapat
menerima dan menjalankan praktek tersebut secara optimal.

Kata kunci: praktek keselamatan kerja, perilaku tidak aman, kecelakaan kerja, pelibatan karyawan, sudut
pandang karyawan

Di Indonesia, isu keselamatan kerja menunjukkan masih belum tercapainya


sudah mendapatkan perhatian sejak lama target perusahaan terkait keselamatan
dari pemerintah. Untuk mencegah kerja karyawan yaitu zero accident (tidak
terjadinya kecelakaan kerja, pemerintah adanya kecelakaan sama sekali) (Jeffries,
menetapkan sejumlah peraturan, 2011). Kecelakaan kerja tidak hanya
diantaranya Undang-Undang No. 1 tahun menyebabkan kerugian bagi karyawan
1970 dan Peraturan Pemerintah No. 50 namun juga menyebabkan kerugian
tahun 2012 yang mewajibkan setiap finansial bagi perusahaan. Data ILO
perusahaan untuk memastikan menunjukkan kerugian yang harus
keselamatan kerja karyawannya. Sebagian ditanggung akibat kecelakaan kerja di
besar perusahaan juga pada umumnya negara-negara berkembang mencapai 4%
sudah mempunyai sistem pengelolaan dari Produk Nasional Bruto (“Kecelakaan
keselamatan kerja yang tidak hanya Kerja”, 2013). Data yang ada menunjukkan
mematuhi standar nasional (SMK3) namun bahwa upaya-upaya yang dilakukan belum
juga standar internasional (ISO 14001, efektif untuk meminimalisir tingkat
OHSAS 18001). Beberapa perusahaan kecelakaan kerja.
bahkan memiliki divisi tersendiri yang Menurut National Safety Council (dalam
bertanggung jawab untuk menetapkan Zohar, 2002), perilaku manusia memainkan
kebijakan dan prosedur serta mengelola peranan besar dalam menyebabkan
program-program keselamatan kerja kecelakaan kerja. Hal ini didukung oleh
karyawan. pendapat Desmukh (2006) bahwa
Adanya upaya-upaya yang dilakukan kecelakaan kerja umumnya disebabkan
oleh pemerintah dan pihak manajemen oleh kelalaian manusia yang menciptakan
perusahaan diharapkan dapat menekan kondisi-kondisi atau situasi yang tidak
tingkat kecelakaan kerja di Indonesia, aman, baik secara sengaja atau tidak. Hal
namun pada kenyataannya kecelakaan ini menunjukkan bahwa untuk mencegah
kerja masih sering terjadi. Data PT. terjadinya kecelakaan kerja, hal yang harus
Jamsostek menunjukkan total kecelakaan dilakukan terlebih dahulu adalah mengubah
kerja mencapai 103.000 kasus pada tahun perilaku karyawan dari perilaku tidak aman
2012, dengan sembilan pekerja yang menjadi perilaku yang aman.
meninggal dunia setiap harinya akibat Setiap bentuk perubahan, termasuk
kecelakaan kerja (“Jamsostek: Setiap hari”, perubahan perilaku, merupakan hal yang
2013). Banyaknya kecelakaan sulit untuk dilakukan oleh karyawan.
87
KESELAMATAN KERJA

Adanya perubahan menuntut karyawan Menurut Bartlett dan Ghoshal (dalam


untuk melepaskan diri dari apa yang Miltersen, 2009) proses perubahan
mereka ketahui dan memasuki wilayah sebaiknya mengikuti emerging change
yang asing bagi mereka (Cummings & process, yaitu perubahan sikap dan
Worley, 2009). Karyawan juga umumnya mentalitas individu untuk mempersiapkan
merasa tidak yakin akan kemampuan yang mereka menghadapi perubahan proses
dimiliki, kontribusi yang dapat dilakukan, dan struktur. Upaya ini akan memperbesar
dan manfaat dari perubahan yang terjadi peluang sukses perubahan yang dilakukan.
untuk mereka sendiri. Hal-hal ini dapat Peningkatan kemungkinan karyawan untuk
menyebabkan kecemasan dan penolakan menerima dan melakukan perubahan juga
dari pihak karyawan untuk berubah dapat dilakukan dengan menunjukkan rasa
(resistance to change) (Cummings & empati dan dukungan kepada karyawan,
Worley, 2009). mengomunikasikan perubahan beserta
Praktek keselamatan kerja yang manfaatnya bagi karyawan, dan melibatkan
dilakukan oleh pihak manajemen karyawan dalam merencanakan dan
perusahaan umumnya bertujuan untuk melakukan perubahan (Cummings &
mengubah perilaku karyawan menjadi lebih Worley, 2009).
aman, namun sejauh ini kurang efektif Pelibatan karyawan dalam
dalam mencapai tujuan tersebut. Kurang merencanakan dan melaksanakan
efektifnya praktek keselamatan kerja dapat perubahan juga penting untuk dilakukan
disebabkan oleh diberlakukannya suatu pihak manajemen perusahaan. Menurut
kebijakan tanpa terlebih dahulu Zohar dan Luria (2010), gaya manajemen
memastikan bahwa orang-orang yang yang partisipatif atau melibatkan karyawan
terlibat bersedia dan terdorong untuk lebih dapat memrediksikan keselamatan
mengubah perilakunya. Proses ini oleh kerja dibandingkan manajemen yang
Bartlett dan Ghoshal (dalam Miltersen, otoritatif. Pelibatan karyawan dapat
2009) disebut dengan traditional change meningkatkan kepatuhan dan partisipasi
process. karyawan dalam menjaga keselamatan
Karyawan juga seringkali dihadapkan kerja, dan juga meningkatkan kepuasan
pada sejumlah praktek kerja yang tidak kerja dan produktivitas (O’Creevy dalam
konsisten atau bertolak belakang. Dalam Ariss, 2003; Borbidge, 2007).
kondisi ini, karyawan mencoba Salah satu pendekatan yang berkaitan
memahaminya dengan menyimpulkan pola erat dengan pelibatan karyawan adalah
yang menunjukkan prioritas sebenarnya di Behavior-Based Safety (BBS) (Blair, 1999).
tempat kerja (Zohar & Luria, 2005). Jika Dalam BBS, keselamatan kerja dikelola
karyawan menyimpulkan bahwa sendiri oleh karyawan. Karyawan juga
keselamatan kerja sebenarnya bukanlah diharapkan untuk terus berupaya
prioritas dari pihak manajemen, maka akan mengembangkan perilaku-perilaku mereka
semakin menghambat munculnya perilaku untuk menjamin terjadinya keselamatan di
aman. tempat kerja. Karyawan akan memiliki rasa
88
NURITA & DAHESIHSARI

kebanggaan dan kepemilikan jika mereka yaitu tingkat organisasi dan kelompok.
mengembangkan dan mengelola sendiri Hasil penelitian Tomas, Melia, dan Oliver
proses perilaku pribadi mereka (Blair, (dalam Yule dkk., 2007) juga menunjang
1999). Program-program keselamatan adanya dua tingkatan analisis tersebut,
kerja pada umumnya masih bersifat searah dimana dijelaskan bahwa manajemen
dan ditentukan secara sepihak oleh memiliki pengaruh terhadap kondisi
manajemen, sehingga diasumsikan kurang keselamatan kerja, namun kepatuhan
efektif karena tidak menggunakan tenaga kerja terhadap aturan dan regulasi
pendekatan BBS. Untuk menggunakan keselamatan kerja juga dipengaruhi oleh
pendekatan BBS, perlu diketahui terlebih persepsi terhadap keadilan yang
dahulu pandangan karyawan mengenai ditunjukkan Supervisor. O’Dea (dalam
semua program yang sudah dilakukan. Yule, Flin & Murdy, 2007) juga menemukan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa komitmen Supervisor terhadap
pandangan karyawan tersebut. keselamatan kerja memrediksi dorongan
Salah satu konstruk yang dapat yang dimiliki karyawan untuk mengambil
digunakan untuk mengeksplor sudut inisiatif keselamatan kerja dan mematuhi
pandang karyawan adalah iklim aturan.
keselamatan kerja (safety climate), yaitu Selain tingkat organisasi dan kelompok,
persepsi karyawan mengenai keselamatan Robbins (2005) menambahkan satu
kerja (Yule, Flin, & Murdy, 2007). Zohar tingkatan analisa dalam menjelaskan
dan Luria (2002) mendefinisikan iklim perilaku dalam organisasi, yaitu tingkat
keselamatan kerja sebagai persepsi yang individual. Setiap individu memiliki
dimiliki oleh seluruh karyawan terhadap keunikan yang mempengaruhi perilaku
kebijakan, prosedur, dan praktek kerja mereka dalam bekerja, diantaranya sikap
yang mengindikasikan kepedulian dan pembelajaran yang sudah dilakukan.
perusahaan terhadap keselamatan dan Tingkat analisa ini dapat digunakan untuk
kesehatan karyawan. Zohar (dalam Cooper melihat aspek-aspek individual yang
& Phillips, 2004) menambahkan iklim mempengaruhi cara pandang karyawan
keselamatan kerja sebagai tingkat terhadap praktek keselamatan kerja dalam
kepercayaan karyawan bahwa suatu organisasi. Dengan demikian dalam
keselamatan kerja merupakan prioritas penelitian ini, praktek keselamatan kerja
sebenarnya dari organisasi. Jika akan dianalisa pada tingkat organisasi,
keselamatan kerja tidak dipersepsikan kelompok, dan individu.
karyawan sebagai prioritas perusahaan, Penelitian dilakukan di PT. X, sebuah
maka karyawan juga tidak akan perusahaan distribusi alat berat yang
memrioritaskan keselamatan kerja dan berlokasi di Jakarta. PT. X dipilih karena
menghambat dilakukannya perilaku aman sejak pertama kali berdiri, keselamatan
(Zohar & Luria, 2005). kerja karyawan sudah menjadi perhatian
Zohar dan Luria (2005) membagi iklim pihak manajemen. PT. X bahkan memiliki
keselamatan kerja dalam dua tingkatan, departemen khusus, yaitu departemen
89
KESELAMATAN KERJA

Environment, Health and Safety (EHS), seputar sistem dan kebijakan keselamatan
yang menangani pengelolaan lingkungan, kerja yang diterapkan, dan kemudian
kesehatan, dan keselamatan kerja. Upaya secara bertahap mengelaborasi
mencegah terjadinya kecelakaan dilakukan pandangan, penghayatan serta
dengan menciptakan lingkungan kerja yang pengalaman personal terkait praktek-
aman misalnya dengan menyediakan praktek keselamatan kerja. Data dianalisis
rambu-rambu keselamatan kerja dan secara induktif, melalui proses pemaknaan
pengolahan serta pembuangan limbah data-data yang ada secara sistematis untuk
menggunakan prosedur dan sarana yang menghasilkan tema-tema yang dapat
aman bagi karyawan. Selain itu, menjelaskan pandangan partisipan tentang
dicanangkan pula sejumlah program untuk praktek keselamatan kerja (Patton, 2002).
menciptakan kesadaran berperilaku aman, Kredibilitas penelitian ini dijaga
misalnya program induksi untuk menggunakan teknik argumentatif, dimana
keselamatan di tempat kerja, diskusi rutin hasil penelitian dianalisis berdasar
tentang keselamatan kerja serta analisis kerangka teori yang ada serta hasil studi
terhadap kondisi keselamatan kerja. lain yang terkait, serta didukung oleh bukti
Meskipun berbagai program keselamatan yang didapatkan dari hasil wawancara
kerja telah dilakukan, namun data (Poerwandari, 2001).
perusahaan menunjukkan bahwa walaupun Responden adalah para mekanik yang
tingkat kecelakaan memang cenderung bekerja di Workshop PT. X Cabang Jakarta
menurun, namun masih sering terjadi dan berstatus sebagai karyawan tetap.
perilaku-perilaku tidak aman. Pengambilan Responden yang dipilih berjumlah tiga
data khususnya dilakukan di bagian orang dengan menggunakan teknik
Workshop sebagai lokasi kerja yang rawan pengambilan sampel berdasarkan kasus
terhadap kecelakaan. Tujuan dari tipikal, yaitu responden yang dianggap
penelitian ini adalah mendapatkan memiliki karakteristik dan pengalaman
gambaran mengenai praktek keselamatan yang mewakili kelompok yang diteliti
kerja dari sudut pandang karyawan (Poerwandari, 2001). Dengan
Workshop PT. X. Cabang Jakarta. penggunakan teknik sampling tersebut
maka tiga orang responden diasumsikan
Metode memadai untuk mendapatkan pandangan
yang kaya mengenai kebijakan dan praktek
Penelitian ini menggunakan pendekatan keselamatan kerja yang dialami. Kekayaan
kualitatif untuk mengeksplorasi secara dan kedalaman informasi lebih ditekankan
mendalam pandangan-pandangan yang dalam disain penelitian ini dibanding variasi
dimiliki karyawan mengenai praktek berbagai pengalaman dari sumber data
keselamatan kerja. Metode pengambilan yang meluas (Patton, 2002).
data dilakukan dengan wawancara Metode pengumpulan data yang
mendalam (Patton, 2002), sehingga digunakan adalah wawancara, untuk dapat
panduan wawancara dirancang secara menggali pengalaman yang kaya dari
terbuka, diawali dengan pertanyaan umum
90
NURITA & DAHESIHSARI

Tabel 1
Gambaran Responden
Responden 1 Responden 2 Responden 3
Inisial AN AS GA
Jabatan Mekanik Mekanik Mekanik
Jenis Kelamin Pria Pria Pria
Usia 33 tahun 24 tahun 26 tahun
Lama Bekerja di 6 tahun 3 tahun 8 tahun
Workshop
Pengalaman Terjatuh dari Rekan kerja terkena Terkena
Kecelakaan Kerja excavator ledakan piston semburan oli
(responden terlibat
dalam kegiatan yang
menyebabkan
kecelakaan)

setiap responden terkait pandangan terkait dengan pentingnya memperhatikan


mereka tentang kebijakan dan praktek keselamatan kerja, kebutuhan mereka
keselamatan kerja yang dijalani dalam akan keselamatan kerja, dan kebiasaan
tugas sehari-hari. Panduan wawancara bekerja mereka yang terkait dengan
disusun berdasar konsep yang dibangun keselamatan kerja. Di samping itu dalam
oleh Zohar dan Luria (2005) yang membagi wawancara yang dilakukan juga digali hal-
iklim keselamatan kerja dalam dua hal lain yang muncul dan bermakna dalam
tingkatan, yaitu tingkat organisasi dan pandangan responden terkait pengalaman
kelompok. Pertanyaan umum disusun mereka dalam topik keselamatan kerja
untuk menggali pandangan terhadap tanpa membatasi hanya secara khusus
kebijakan dan praktek keselamatan kerja di pada acuan teori di atas.
kedua tingkatan tersebut, baik di tingkat Untuk memastikan hasil penelitian yang
organisasi maupun kelompok. Aspek akurat dan dapat dipercaya maka dilakukan
organisasi yang digali meliputi antara lain beberapa strategi dalam menjaga
tentang sistim pengelolaan, kebijakan, kredibilitas penelitian. Kredibilitas
pengawasam dan penegakan aturan, serta komunikatif dilakukan dengan
implementasi keputusan di lapangan terkait mengkonfirmasi hasil wawancara yang
dengan keselamatan kerja. Pada aspek telah dicatat oleh peneliti (data verbatim)
kelompok, digali data tentang perilaku dan dengan masing-masing responden.
interaksi dengan atasan langsung dan Konfirmasi tersebut dimaksudkan untuk
rekan kerja dalam kelompok yang terkait memastikan bahwa apa yang dicatat oleh
dengan keselamatan kerja. Disamping itu peneliti sama dengan apa yang
ditambahkan pula tingkatan individu disampaikan langsung oleh setiap
sebagai aspek yang dipandang juga responden. Dengan demikian bukti hasil
berperan dalam pandangan responden wawancara yang digunakan untuk
(Robbins, 2005). Aspek individu yang digali membangun interpretasi hasil penelitian
meliputi nilai-nilai yang diyakini karyawan dapat dipertanggungjawabkan
91
KESELAMATAN KERJA

keakuratannya. Di samping itu juga Mekanik)


kredibilitas argumentatif digunakan untuk Supervisor juga berperan dalam
memastikan bahwa alur penelitian dapat mengupayakan secara cepat tersedianya
dipertanggungjawabkan berdasarkan peralatan kerja dan alat pelindung diri yang
acuan teori dari Zaher dan Luria (2005) layak bagi karyawan.
serta Robbins (2005) dan disertai dengan “Kalo misalkan kita mengajukan BAK
bukti hasil wawancara yang mendukung [Berita Acara Kerusakan] itu kan kalo ga
(Patton, 2002). berdasarkan atas rekomendasi
Supervisor itu kan proses turunnya
Hasil lama…kita masukkan dalam
briefing…“Pak ini kacamata udah rusak,
Gambaran responden tampak dalam tolong di-pushkan lagi biar BAK-nya
Tabel 1. cepet keluar”. (AS, Mekanik)
Pengembangan kemampuan karyawan
Iklim Keselamatan Kerja Kelompok. yang berhubungan dengan keselamatan
Berkaitan dengan pelaksanaan praktek kerja, juga dilakukan atasan langsung
keselamatan kerja dalam tingkat kelompok, misalnya dengan mewajibkan karyawan
yaitu pada Workshop Cabang Jakarta PT. mengikuti pelatihan dan lomba tanggap
X, pandangan karyawan yang menonjol darurat.
meliputi hal-hal berikut: “Disini kan diadakan perlombaan TKTD.
Itu kan tujuannya kan untuk kita
Atasan langsung memberikan perhatian seberapa tanggap kita terhadap terjadi
pada keselamatan kerja di workshop. kecelakaan…Sebelum perlombaan
Supervisor sebagai atasan langsung pasti diadakan training TKTD
dipandang responden telah memberikan dulu…Supervisor tuh melibatkan semua
perhatian pada keselamatan kerja karyawan yang disini bisa dapet
karyawan di workshop melalui program kesempatan untuk mengikuti.” (AS,
seperti briefing pagi harian, mempercepat Mekanik)
diperolehnya peralatan keselamatan kerja,
serta pengembangan kemampuan Pelibatan karyawan dalam menjaga
karyawan terkait keselamatan kerja. Dalam keselamatan kerja.
briefing pagi harian, Supervisor tidak hanya Karyawan juga melihat adanya upaya
mengulas pekerjaan yang telah dan akan Supervisor untuk melibatkan mereka dalam
dilakukan namun juga mengingatkan menjaga keselamatan kerja. Semua
karyawan akan risiko pekerjaan dan masukan dan pendapat yang diberikan
pentingnya keselamatan kerja. karyawan terkait upaya mengoptimalkan
“…sebelum memulai aktivitas aja kita keselamatan kerja segera ditanggapi oleh
tiap hari rutin melakukan briefing Supervisor sehingga proses berjalan
pagi…Supervisor itu selalu dengan cepat.
mengingatkan tentang safety sebelum “Kalo masukan sering banget
melakukan aktivitas pekerjaan. (AS,
92
NURITA & DAHESIHSARI

banyak…Pasti pertanyaan gimana Di satu sisi, Supervisor telah


caranya supaya cepet. Cepet selesai, mengupayakan terjadinya perilaku aman
aman. Kan dari kita masukannya kan. oleh karyawan misalnya dengan
Karena kita yang mengerjakan.” (AN, melakukan pemantauan atau inspeksi
Mekanik) keliling di area Workshop secara intensif.
Menurut karyawan, adanya upaya terus
Tidak adanya sanksi tegas untuk menerus dari Supervisor dalam
pelanggar aturan. mengingatkan tentang keselamatan kerja
Meskipun sudah berupaya untuk dapat mencegah mereka untuk melakukan
melakukan praktek keselamatan kerja, perilaku tidak aman.
Supervisor belum memberikan sanksi yang “Supervisor setiap saat dia bisa ngasih
tegas dan cenderung hanya menegur dan tau, bukan cuma pagi. Misalnya lagi
mengingatkan karyawan yang berperilaku keliling Workshop, liat ada yang ga
tidak aman. safety, dia ngasih tau juga. Setiap jam
“Di PT. X ini..misalkan kaya kesalahan- juga bisa” (AN, Mekanik)
kesalahan kaya itu, ga adanya Namun di sisi lain, Supervisor
hukuman sih Mba.” (AS, Mekanik) terkadang mengizinkan dan bahkan
Responden berpandangan bahwa memerintahkan karyawan untuk
peringatan yang diberikan Supervisor mengabaikan perilaku aman agar
kurang efektif karena mereka seringkali pekerjaan terselesaikan, misalnya
tetap lupa akan aturan yang ada. penggunaan alat kerja yang tidak layak
“..untuk itu, hal yang lupa itu ya. Ngga pakai sementara alat baru belum
efektif, kan sering kita diingatkan, tapi didapatkan.
jika sudah bekerja sering lupa juga…” “Semacam serabut-serabut kabel-kabel
(GA, Mekanik) listrik...dr audit itu kan ga bole
Menurut karyawan, pemberian sanksi dipake…untuk fasilitas emang stoknya
yang tegas oleh Supervisor perlu dilakukan blum ada. Jadi karena pekerjaan
agar karyawan lebih disiplin dalam bekerja dituntut lebih cepet, kita tetep
dan meminimalisir terjadinya perilaku tidak pake…kan kita juga bekerja
aman. berdasarkan aturan Supervisor kan.
“…mungkin kalo Supervisor lebih ketat Kalo Supervisor mengijinkan ya udah
lagi, lebih menegakkan aturan. Jadi kan pake dulu…” (AS, Mekanik)
orang mungkin berfikir bisa lebih Supervisor juga terkadang mengetahui
disiplin. Dan mungkin risiko untuk atau bahkan memberikan perintah kepada
terjadinya pelanggaran-pelanggaran karyawan untuk mengoperasikan alat berat
kan mungkin bisa di-minimize.”(AS, meskipun karyawan tersebut tidak memiliki
Mekanik) ijin. Hal tersebut menyebabkan karyawan
merasa tidak masalah dengan perilaku
Inkonsistensi Prioritas Keselamatan tersebut.
Kerja oleh Supervisor. “…kita ngga punya SIO [ijin]. Tapi kalo
93
KESELAMATAN KERJA

emang Supervisor membikinkan memo menjalankan praktek keselamatan kerja


untuk kita mengoperasikan unit, berarti dalam kelompok kerja juga memengaruhi
kan…udah ada yang nyuruh, ada yang perilaku aman karyawan.
mau bertanggung jawab…kan ga
disebut kaya inisiatif lagi kan, itu emang Perilaku tidak aman rekan kerja.
udah perintah.” (AS, Mekanik) Terkadang, karyawan sudah mematuhi
Pelanggaran lain yang dilakukan atas aturan keselamatan kerja namun tetap
perintah atasan adalah penempatan lebih mengalami kecelakaan akibat perilaku tidak
satu unit dalam satu base. Hal tersebut aman yang ditunjukkan oleh rekan
dapat menyebabkan risiko kecelakaan kerjanya.
akibat area kerja yang sempit, namun tetap “…dia sebenernya bekerja udah
dilakukan karena keterbatasan mekanik aman…jarak 3 meter itu ada teman
dan tuntutan untuk menyelesaikan membersihkan pake gerinda.
pekerjaan yang diminta oleh pelanggan. Percikannya itu lari..tau-tau dikira
“Ya karena kita juga…keterbatasan mungkin apa kotorannya masuk mata,
mekanik, terus kerjaan lagi dia kucek matanya, tau-tau berdarah”
banyak…dari customer banyak (AS, Mekanik)
problem…mau ngga mau ya kita harus
nanganin secara langsung untuk Rasa segan karyawan yunior untuk
kepuasan customer juga sih.“ (AS, menegur karyawan senior.
Mekanik) Menurut responden, terdapat pula
Pemberian perintah untuk bekerja tidak perasaan segan yang menghambat
sesuai aturan menurut karyawan dilakukan karyawan yunior ketika ingin menegur
Supervisor dengan menimbang risiko. karyawan senior yang melakukan perilaku
Keselamatan tetap diprioritaskan dalam tidak aman. Terkadang karyawan senior
bekerja, namun ada situasi dimana marah ketika ditegur oleh karyawan junior.
Supervisor mempertimbangkan besarnya “…Ada yang gampang emosi, ada
risiko suatu pekerjaan untuk menentukan yang..kalo diperingatin tuh kaya malah
apakah pekerjaan tetap bisa dilakukan ngga mau… yunior sama senior untuk
meskipun tidak sesuai aturan. peringati hal safety kan harusnya kan
“…Supervisor juga melihat, dia bisa ga memandang itu. Tapi kan ada aja
melihat seberapa sih risiko bahaya yang orang yang diingetin malah marah.”
terjadi? Kalo emang ini risikonya besar, (AS, Mekanik)
pasti Supervisor juga lebih
bijaksana…Kalo menurut dia emang Iklim Keselamatan Kerja Organisasi
bisa, mekanik saya bisa, Supervisor
pasti mereka akan menyuruh untuk Untuk praktek keselamatan kerja yang
menjalankannya…” (AS, Mekanik) diberlakukan di seluruh perusahaan, hal-
Selain yang berhubungan dengan hal yang dipandang menonjol oleh
atasan langsung, bagaimana rekan kerja karyawan adalah:
94
NURITA & DAHESIHSARI

Kepedulian manajemen akan didokumentasikan. Sayangnya kecelakaan


keselamatan karyawan di tempat kerja. minor yang lebih sering terjadi justru tidak
Berbagai program yang dicanangkan dilaporkan dan hanya dibahas pada saat
manajemen seperti program induksi briefing pagi oleh Supervisor. Penilaian
keselamatan kerja bagi karyawan baru, perlu atau tidaknya sebuah kecelakaan
diskusi rutin tentang keselamatan kerja, dilaporkan dilakukan oleh manajemen
serta pengisian analisis keselamatan kerja Workshop.
sebelum memulai suatu pekerjaan “Sebenernya sih kalo emang terjadi
dipandang responden menunjukkan banyak banget ya, kaya
kepedulian manajemen terhadap kejepit…terpeleset karena penggunaan
keselamatan kerja mereka. alat. Itu kan yang ga ter-record-ter-
“Mulai saya awal masuk itu udah record itu kan cuman kita masukin di
pertama kita induction… disitu kita briefing pagi.” (AS, Mekanik)
pelajari apa sih bahayanya yang ada di Menurut responden, kecelakaan ringan
site ini? Kita harus mengenali seharusnya dilaporkan untuk diketahui
lingkungan...itu lebih basic lah.“ (AS, penyebabnya dan agar karyawan lebih
Mekanik) waspada terhadap risiko di area kerja.
“Kemaren dikasih tau kalo ini kita pake “…sekecil apapun kecelakaan itu kan
sembarangan kan bahaya nih…Terus harus dilaporkan…ya lebih untuk
kita bisa langsung ngelakuin, “Oh mengantisipasi lagi...lebih kita lebih
kemaren dia perintahin kalo gini dari waspada lagi ya.” (GA, Mekanik)
EHS harus kaya gini”. Kan jadi tau, Terdapat juga kecelakaan yang
yang aman seperti ini. Tapi jika lebih seharusnya dilaporkan tetapi tidak
sering akan lebih bagus lagi” (AN, dilakukan atas keputusan Supervisor.
Mekanik) Kecelakaan yang terjadi juga tidak selalu
“…sebelum mengerjakan sesuatu, itu dilaporkan karyawan kepada Supervisor,
bikin JSA-nya, Job Safety Analysis-nya khususnya untuk kecelakaan minor.
…apa sih risikonya, ataukah terjepit, “Kalo pas Supervisor lagi mo kesitu, lagi
terjatuh, atau tertimpa…sebelum inspeksi kesitu bisa tau. Kalo lagi…pas
pekerjaan dilakukan, JSA itu harus di- ngga di tempatnya itu mungkin kalo dia
share terlebih dahulu.” (AS, Mekanik) ngga ada laporan ya jadi ngga tau.”
(GA, Mekanik)
Pelaporan kecelakaan yang tidak
lengkap. Pengawasan yang kurang intensif.
Salah satu upaya lain yang dilakukan Para karyawan menilai pengawasan
untuk mengurangi tingkat kecelakaan keselamatan kerja yang dilakukan tidak
adalah dengan mewajibkan pelaporan intensif.
kecelakaan yang terjadi di Workshop, “Kenyataan aktualnya belum terjadi
khususnya yang menyebabkan hilangnya disini setiap waktu ada Safety Officer
jam kerja (Loss Time Injury/LTI), yang (SO). Jadi cuman SO mungkin
95
KESELAMATAN KERJA

berkeliling pagi, memantau keadaan, pandangan..gimana sih cara supaya


udah. Cuma kan pagi, siang, sore, itu bisa kerja lebih cepet? Selesai lebih
kan keadaan berbeda-beda kan…Dan cepet? Ga ada. Ini mesti aman, ya
kecelakaan itu kan ga melihat waktu udah. Pokoknya aman aja dia. Kaya
kan, kapanpun bisa terjadi.” (AS, gitu.” (AN, Mekanik)
Mekanik) Terkadang, karyawan merasa kecewa
Supervisor memiliki banyak tanggung karena pekerjaan mereka terhenti akibat
jawab sehingga tidak bisa fokus hanya keputusan karyawan bagian keselamatan
pada keselamatan karyawan. Untuk kerja yang menurut mereka tidak
mengurangi resiko kecelakaan, responden mempertimbangkan aspek teknis pekerjaan
mengharapkan karyawan bagian dan lebih berfokus ada aspek pelaksanaan
keselamatan kerja dapat melakukan kerja secara aman.
pengawasan dengan lebih intensif, “..Kita dituntut pekerjaan selesai. Tapi
termasuk dalam menegur karyawan yang menurut SO ngga, ga usah dilakukan.
berperilaku tidak aman. Itu kan menghambat.” (AS, Mekanik)
“…Supervisor mungkin ngga cuman ke
safety-nya doang. Karena pekerjaannya Melarang tanpa ada penjelasan.
kan banyak banget yang mesti Kondisi lain yang terjadi adalah perilaku
diurusin…harusnya kan yang lebih karyawan bagian keselamatan kerja yang
condong ke safety disini kan SO, dia menurut karyawan terkadang lebih
bisa meng-keep, dalam arti menjaga berfokus pada dokumentasi perilaku aman
supaya keadaan tuh tetep aman. Kalo dan hanya melarang karyawan untuk
misalkan Supervisor lagi ngga ada di melakukan perilaku tersebut. Perilaku
tempat gitu kan.” (AS, Mekanik) tersebut tidak diharapkan oleh karyawan,
Sayangnya justru menurut responden, karena mereka menginginkan karyawan
karyawan bagian keselamatan kerja jarang bagian keselamatan kerja berupaya
berada di area Workshop. Selain tidak menjelaskan kepada mereka mengenai
intensif dalam pengawasan, jarangnya cara bekerja yang lebih aman.
mereka berada di workshop membuat “Biasanya dia langsung netapkan.
karyawan berpandangan bahwa mereka Langsung nge-judge, wah ini ga boleh.
kurang memahami pekerjaan yang Ini harusnya begini, gitu. Ga ada
dilakukan karyawan Workshop, sehingga timbang-timbang lagi, ga ada.” (AN,
keamanan kerja ditekankan tanpa Mekanik)
mempertimbangkan karakteristik dan target “Kan image-nya tuh kadang dia suka
pekerjaan yang ada. maen foto aja kan. Dengan dia
“…SO kan ga setiap saat. Kalo yang datengin, dia kasih ilmu kita, informasi
disini kan dia bisa tau lagi ngerjain apa, kita kan, “Oh itu bakal terjadi ini kalo
kasarannya gitu lebih tau situasinya kerja ngga safe. ini ngga safe, posisi
lah.”(AN, Mekanik) ngga safe. Kaya gini. Harusnya seperti
“SO nya tetep safety aja. Ga ada ini kan” Jangan udah foto terus, “Mas itu
96
NURITA & DAHESIHSARI

ntar diganti yah”, jalan, gitu kan. Jangan kerja, bukan karena menghindari
sekedar gitu. “Itu ngga aman ini.” Gitu.” kecelakaan.
(AN, Mekanik) “Ya kaya polisi aja jadinya...Jadi kita
Intensitas keterlibatan dalam kebijakan ntar takutnya pas ada dia doang...” (AN,
maupun praktek keselamatan kerja juga Mekanik)
diharapkan oleh para karyawan Workshop.
Hal ini dirasa bermanfaat agar terjadi Inkonsistensi Keputusan yang Diberikan
pertukaran ilmu antara karyawan bagian Atasan Langsung dengan yang
keselamatan kerja dengan karyawan diberikan oleh Divisi Keselamatan Kerja.
Workshop. Dengan proses tersebut Inkonsistensi terjadi antara keputusan
diharapkan karyawan bagian keselamatan yang diberikan oleh Supervisor dengan
kerja dapat lebih memahami mengenai karyawan bagian keselamatan kerja terkait
aspek teknis dari pekerjaan karyawan pekerjaan yang dilakukan karyawan.
Workshop, sementara karyawan dapat Supervisor menginstruksikan karyawan
lebih memahami aspek keselamatan kerja. untuk menyelesaikan pekerjaan, sementara
“..dia kan tau tentang teori, secara karyawan bagian keselamatan kerja
teknisnya dia kan ngga menguasai. meminta karyawan untuk menghentikan
Kalo dia lebih sering disini, dia kan lebih pekerjaan karena dianggap tidak aman.
cenderung terbuka, lebih cenderung Kondisi ini menyebabkan kebingungan
bisa share bareng-bareng belajar. Kita pada karyawan. Jika menghadapi kondisi
belajar teorinya, dia belajar teknisnya.” ini, karyawan mengacu pada keputusan
(AS, Mekanik) yang diambil oleh Supervisor.
Saling memahami posisi pekerjaan “…Supervisor dia juga menyuruh kita
masing-masing juga dipandang perlu untuk supaya pekerjaannya selesai...menurut
menghindari adanya perdebatan yang tidak SO ini ngga aman. Jadi kita kan memilih
perlu antara karyawan Workshop dengan kita mau lanjutkan pekerjaan tapi
karyawan bagian keselamatan kerja. menurut SO kita ga aman, kita berhenti
“Kalo udah sharing itu kan bisa itu juga dituntut selesai. Serba salah
menghindari miscommunication ato hal- mekaniknya kan. Ya kita kembali ke
hal perdebatan yang ngga perlu keputusan Supervisor lagi. Apa
didebatin…” (AS, Mekanik) Supervisor mengizinkan ini ato ada cara
Perilaku karyawan bagian keselamatan lain untuk menyelesaikan kerjaan.” (AS,
kerja yang sekedar melarang karyawan Mekanik)
untuk berperilaku aman tanpa memberikan
solusi pada karyawan memberikan kesan Faktor Individu yang Mempengaruhi
bahwa mereka hanya menjadi pengawas Cara Pandang Karyawan terhadap
dan penindak karyawan yang melakukan Praktek Keselamatan Kerja.
perilaku tidak aman. Akibatnya, karyawan Selain iklim keselamatan kerja pada
berperilaku aman karena merasa takut tingkat kelompok dan organisasi,
terhadap karyawan bagian keselamatan ditemukan sejumlah faktor individual yang
97
KESELAMATAN KERJA

juga mempengaruhi cara pandang menjaga keselamatan kerja, karyawan juga


karyawan terhadap praktek keselamatan mengakui bahwa terkadang mereka
kerja. menomorduakan keselamatan kerja karena
lebih memprioritaskan produktivitas. Hal ini
Kesadaran akan pentingnya disebabkan adanya kebutuhan pribadi
keselamatan dalam bekerja. untuk menyelesaikan pekerjaan.
Para karyawan menyadari pentingnya “…saya lebih mementingkan ke
keselamatan saat bekerja serta dampak produktivitas. Dalam arti saya lebih
negatif perilaku tidak aman terhadap mementingkan pekerjaan ketimbang
karyawan secara pribadi, misalnya saya berfikir tentang safety saya
terjadinya kecelakaan yang menyebabkan sendiri.” (AS, Mekanik)
cacat fisik. Perilaku tidak aman juga “ Sebenarnya sih kita ingin kerjaan itu
disadari dapat berdampak negatif terhadap cepet kelar Mba.” (AS, Mekanik)
pekerjaan mereka, misalnya terhambatnya
pencapaian target akibat kehilangan jam Kebiasaan berperilaku tidak aman.
kerja. Perilaku tidak aman pada umumnya
“Ya itu, karena sering denger banyak merupakan kebiasaan yang dimiliki oleh
terjadi kecelakaan karena ngga karyawan, sehingga sulit untuk diubah.
memakai APD, ngga memakai earplug, Perilaku tersebut juga belum menyebabkan
melihat banyak sekali orang-orang yang terjadinya kecelakaan sehingga dirasa
bekerja itu menjadi cacat karena faktor aman untuk terus dilakukan.
accident, kelalaian.” (AS, Mekanik) “Ya kebiasaan itu, “Ah kemarin ga papa
Meskipun mementingkan keselamatan kok”, gitu kan. Udah pernah
bekerja, karyawan juga merasakan pengalaman dia.” (AN, Mekanik)
perlunya menyeimbangkan antara Terdapat pula anggapan karyawan
keselamatan dengan pelaksanaan bahwa pelaksanaan perilaku aman
pekerjaan mereka. menghambat produktivitas kerja, sehingga
“Karena segala sesuatu mau pekerjaan mereka memilih untuk berperilaku tidak
model apa kan selain hasil maksimal, aman.
kualitas, waktu dicapai, kosong hasilnya “Saya ngga mau buang [limbah pada
kalo ada sedikit kecelakaan. Karena tempatnya]. Karena load kerjaan saya
memang factor utama safety itu. Tapi kan juga banyak.” (GA, Mekanik)
bukan berarti gara-gara safety kerjaan
ketahan. Kan kita mesti tau gimana Pengalaman kerja karyawan.
caranya, prosedurnya ada.” (AN, Kecelakaan kerja umumnya terjadi pada
Mekanik) karyawan yang belum menyadari bahaya
yang ada di lingkungannya dan melakukan
Prioritas karyawan terkadang lebih pada suatu tindakan atas inisiatif sendiri tanpa
produktivitas kerja. mempertimbangkan risiko yang ada.
Meskipun telah menyadari pentingnya
98
NURITA & DAHESIHSARI

Kelelahan fisik karyawan. menggunakan alat pelindung diri, dan


Selain adanya keyakinan dan sikap membuang limbah tidak pada tempatnya.
terhadap perilaku aman, kelelahan yang “Sebenernya menurut saya mah ga
dialami oleh karyawan juga dapat boleh karena masih lingkungan
memengaruhi kinerja dan juga Workshop. …Cuman saya juga
menyebabkan kecelakaan. ngerokok disitu…” (AN, Mekanik)
“Sebetulnya sih kebanyakan
kecelakaan terjadi itu karena faktor Diskusi
kelelahan… terus badan kondisi yang
ga fit, diem…Ngga tau pas mungkin Hasil penelitian secara umum
disuruh ngangkat berat, dia lagi sakit, menunjukkan bahwa aspek-aspek yang
keadaan kondisi yang ga fit kan. dinyatakan dalam iklim keselamatan kerja
Ngangkat, jatoh, banyak sih kaya dari Yule, Flin dan Murdy (2007) muncul
gitu.(AS, Mekanik) pula secara menonjol dalam penelitian ini.
Para karyawan khususnya mekanik Dengan demikian hasil penelitian selaras
banyak mengunakan tenaga fisik saat dengan hasil dari studi-studi pada topik
bekerja. Lokasi tempat mereka bekerja yang sama yang menunjukkan bahwa
juga cenderung sempit dan alat yang peran faktor organisasi, kelompok dan
digunakan banyak yang menghasilkan individu sama-sama penting. Misalnya,
panas, sehingga kelelahan mudah untuk dalam iklim kerja kelompok ditemukan
dialami karyawan. bahwa walaupun ada perhatian melalui
pertemuan rutin dan fasilitasi yang
Masih Tingginya Tingkat Kecelakaan dibutuhkan untuk keselamatan kerja,
dan Perilaku Tidak Aman di Area namun di sisi lain pelanggaran di lapangan
Workshop tidak diberikan sanksi yang tegas. Hal ini
yang menyebabkan responden tidak
Dengan adanya praktek-praktek memandang penting untuk berperilaku
keselamatan kerja yang diupayakan oleh aman di tempat kerja. Pandangan
pihak manajemen, ternyata masih responden tersebut selaras dengan hasil
ditemukan adanya kecelakaan-kecelakaan studi lain yang menyatakan bahwa belum
di area Workshop. Kecelakaan yang terjadi adanya sanksi yang tegas bagi karyawan
diantaranya terbentur, terjatuh dari yang berperilaku tidak aman dapat
ketinggian, dan terpeleset. menyebabkan karyawan kurang memiliki
“...yang sering saya alami..kepukul. dorongan untuk mengubah perilakunya,
Kepukul sama kejedot.” (GA, Mekanik) dan dapat mengurangi efektivitas praktek
Selain kecelakaan, karyawan juga keselamatan kerja. Pendisiplinan karyawan
masih melihat dan melakukan sejumlah secara tegas dapat mengurangi tingkat
perilaku tidak aman di area Workshop. kecelakaan kerja (Brahmasrene & Smith,
Contoh pelanggaran yang dilakukan adalah 2009).
merokok di area Workshop, tidak Temuan lain dalam penelitian ini
99
KESELAMATAN KERJA

menunjukkan bahwa Supervisor selalu berdampak pada iklim keselamatan kerja


menekankan keselamatan kerja sebagai yang dipersepsikan oleh responden. Iklim
prioritas, namun terdapat tindakan dan keselamatan kerja yang demikian
keputusan yang menunjukkan lebih berdampak pada kurangnya kesadaran
diprioritaskannya produktivitas daripada karyawan untuk berperilaku aman dan
keselamatan kerja. Hal ini selaras dengan memperbesar kemungkinan terjadinya
hasil studi lain yang menunjukkan bahwa kecelakaan.
meskipun banyak perusahaan Hasil penelitian juga menunjukkan
memromosikan keselamatan kerja dalam bahwa Karyawan Workshop sudah memiliki
bentuk aturan dan kebijakan formal kemauan untuk mematuhi aturan
organisasi, pada aktivitas sehari-hari keselamatan kerja dan menegur rekannya
umumnya produksi lebih diutamakan yang berperilaku tidak aman, yang
dibandingkan keselamatan kerja (Zohar berpengaruh terhadap munculnya perilaku
dalam Wallace & Chen, 2006). Jika aman. Meskipun begitu, sikap senior yang
karyawan memersepsikan bahwa pihak tidak mau ditegur dapat mengurangi
manajemen lebih memrioritaskan perilaku peneguran oleh karyawan yunior
produktivitas dibandingkan keselamatan karena mereka merasa bahwa perilaku
kerja, maka karyawan dapat berasumsi tersebut tidak diharapkan. Akibatnya,
bahwa mereka lebih baik memiliki prioritas perilaku tidak aman dapat terus dilakukan
yang sama (Fleming, Flin, Mearns & oleh para karyawan Workshop. Temuan ini
Gordon dalam Diaz & Resnick, 2000). sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
Inkonsistensi pemberian prioritas dapat yang menunjukkan bahwa interaksi dengan
melemahkan iklim keselamatan kerja rekan kerja membentuk pemahaman
kelompok yang dipersepsikan oleh individu mengenai apa yang diharapkan
karyawan (Zohar dalam Zohar, 2002). dari mereka dalam bekerja (Chiaburu &
Pandangan responden tentang Harrison dalam Lingard, Cooke, & Blismas,
inkonsistensi lain yang ditemukan dalam 2011; Hoffman & Stetzer dalam Lingard,
penelitian ini adalah inkonsistensi kebijakan Cooke, & Blismas, 2011).
di tingkat organisasi dan di tingkat Temuan tentang pandangan responden
kelompok. Aturan dan larangan di tingkat terhadap pelaporan kecelakaan kerja yang
organisasi seringkali dipandang oleh belum menyeluruh juga sesuai dengan
responden kurang memfasilitasi kebutuhan hasil studi sebelumnya. Pelaporan
produktivitas dan kendala yang dihadapi kecelakaan merupakan salah satu elemen
unit kerja di lapangan. Lemahnya utama dalam pengelolaan kesehatan dan
pemahaman dan perhatian pengambil keselamatan kerja (Bhattacharya, 2012).
kebijakan tentang bagaimana penerapan Pelaporan memungkinkan organisasi untuk
aturan keselamatan kerja di dalam kondisi belajar dari kecelakaan yang terjadi dengan
lapangan yang ada dipandang responden menganalisa faktor-faktor penyebab untuk
sebagai penyebab dari terjadinya mencegah terjadinya kecelakaan serupa di
inkonsistensi tersebut, yang kemudian masa depan. Menurut responden, di
100
NURITA & DAHESIHSARI

Workshop tempatnya bekerja, pelaporan tersebut, yaitu pemberian prioritas pada


dan pendokumentasian kecelakaan hanya produktivitas kerja. Pemberian prioritas
difokuskan pada lost time injury sementara kerja berasal dari kebutuhan pribadi untuk
insiden yang lebih sering terjadi yaitu menyelesaikan pekerjaan, namun juga
kecelakaan minor dan near miss (kondisi dapat dipengaruhi pemberian prioritas oleh
yang hampir menyebabkan kecelakaan) atasan langsung. Sementara itu, perilaku
tidak terdokumentasi dan terlaporkan aman dianggap menghambat produktivitas
dengan lengkap. Padahal kegagalan untuk kerja. Ditambah lagi, terdapat pandangan
mengenali dan mempelajari tanda-tanda bahwa perilaku tidak aman yang biasa
awal tersebut seringkali menyebabkan dilakukan tidak menyebabkan dampak
terjadinya kecelakaan yang sifatnya lebih negatif sehingga aman untuk dilakukan.
besar (Sanne dalam Littlejohn, Margaryan, Pandangan-pandangan ini dapat
& Lukic, 2010). Near miss juga umumnya menyebabkan menurunnya sikap positif
lebih sering terjadi daripada kecelakaan karyawan terhadap pelaksanaan perilaku
besar sehingga lebih banyak kasus yang aman sehingga dilakukan pengabaian
bisa dipelajari (Wright & van der Schaaf terhadap perilaku tersebut. Sikap terhadap
dalam Bhattacharya, 2012). Pembelajaran suatu perilaku dapat menurunkan atau
dari near miss juga menunjukkan sikap meningkatkan tingkat intensi seseorang
preventif terhadap upaya menjaga untuk melakukan perilaku tersebut
keselamatan dan kesehatan karyawan. (Fishbein & Ajzen, 1975). Sikap yang
Menurut Lauver, Lester, dan Le (2009), kurang positif terhadap perilaku aman
salah satu alasan karyawan tidak dapat menyebabkan karyawan kurang
melaporkan kecelakaan adalah asumsi termotivasi untuk melaksanakan perilaku
bahwa pihak manajemen tidak melakukan tersebut.
perubahan atau tidak merespon adanya Terkait dengan hasil penelitian yang
pelaporan kecelakaan. Kurangnya respon terkait dengan pengalaman kerja, hal ini
Supervisor terhadap terjadinya kecelakaan sesuai dengan penelitian Chi dan Wu
minor juga dapat menyebabkan karyawan (dalam Diaz & Resnick, 2000) yang
merasa tidak perlu melaporkan kecelakaan menyatakan bahwa risiko terjadinya
minor yang dialami. kecelakaan lebih dipengaruhi oleh
Di tingkat individu, kepercayaan dan pengalaman dibandingkan dengan usia.
evaluasi seseorang terhadap konsekuensi Karyawan yang baru memiliki pengalaman
dari suatu perilaku akan menentukan sikap kerja kurang dari satu tahun memiliki
terhadap perilaku tersebut (Fishbein & tingkat risiko yang lebih tinggi untuk
Ajzen, 1975). Para karyawan memiliki sikap mengalami kecelakaan.
positif terhadap perilaku aman karena Di samping keselarasan dengan hasil
mengetahui dampak negatif yang dapat studi sebelumnya di area iklim keselamatan
dialami jika perilaku tersebut tidak kerja, penelitian ini menunjukkan bahwa
dilakukan. Meskipun begitu, terdapat aspek perspektif pengelolaan perubahan yang
lain yang dapat mengurangi sikap positif juga digunakan sebagai kerangka
101
KESELAMATAN KERJA

konseptual ternyata dapat diterapkan menunjukkan kepedulian manajemen


dalam menelaah tentang keselamatan terhadap keselamatan kerja karyawan,
kerja. Perubahan perilaku karyawan dari namun dalam prakteknya kurangnya
perilaku berisiko menjadi perilaku aman pelibatan karyawan dalam program-
adalah bagian dari perubahan yang perlu program tersebut, konflik prioritas antara
dikelola oleh perusahaan. Tidak hanya produktivitas dan keselamatan kerja yang
mengandalkan kesiapan di aspek individu diterapkan, serta lemahnya pengawasan,
karyawan semata sebagai hal yang pelaporan yang kurang lengkap dan sanksi
umumnya menjadi perhatian banyak studi membuat karyawan masih belum
psikologi tentang kesehatan dan memberikan perhatian yang serius untuk
keselamatan kerja, sudut pandang menjaga perilaku aman di tempat kerja.
pengelolaan perubahan yang digunakan Akibatnya, kecelakaan dan perilaku tidak
membantu untuk memahami adanya upaya aman masih sering terjadi.
sistemik yang penting dilakukan. Kebijakan Mengacu pada pendekatan behavior
dan aturan keselamatan kerja, walaupun based safety dan change management,
dengan tujuan yang baik, yang kurangnya keterlibatan karyawan
disampaikan pihak manajemen secara menyebabkan mereka lebih ditempatkan
sepihak tanpa melibatkan karyawan dalam posisi pasif penerima program.
menyebabkan karyawan tidak melihat Kesadaran pribadi untuk menjalankan
manfaat positif dari kebijakan tersebut. praktek keselamatan kerja cenderung
Konsekuensinya, dalam situasi kerja yang minimal dan kedisiplinan hanya terjadi
tanpa pengawasan, karyawan tidak pada saat dilakukan pengawasan yang
tergerak untuk mengubah perilaku berisiko intensif.
mereka menjadi perilaku aman.
Mengundang keterlibatan karyawan dalam Saran
bentuk diskusi tentang aturan dan Penelitian ini membahas topik yang
kesesuaiannya dengan tantangan serta cukup sensitif yang menuntut keterbukaan
kendala di lapangan bisa berdampak positif responden dalam wawancara. Pendekatan
yang mendorong karyawan untuk yang baik membutuhkan waktu yang cukup
mengusahakan perilaku aman di tempat panjang sehingga terbangun hubungan
kerja. yang terbuka dan saling percaya antara
peneliti dan responden. Keberadaan
Simpulan peneliti selama beberapa bulan proses
Penelitian ini bertujuan untuk magang di perusahaan tersebut
mendapatkan gambaran mengenai praktek menyebabkan ruang membangun
keselamatan kerja dari sudut pandang kedekatan dan keterbukaan tersedia dan
karyawan Workshop PT. X Cabang dapat dioptimalkan dalam pengambilan
Jakarta. Walaupun berbagai program data penelitian ini. Keterbukaan yang
sudah diterapkan baik di tingkat kelompok terjadi membantu peneliti untuk menggali
kerja maupun organisasi yang data yang kaya di lapangan.
102
NURITA & DAHESIHSARI

Namun di samping kekayaan data kerja kelompok dan organisasi juga


karena keterbukaan responden, kekayaan sebaiknya dilengkapi dengan data yang
data sebenarnya juga akan lebih optimal bersumber dari atasan dan petugas
apabila pendekatan peneliti dalam keselamatan kerja untuk mendapatkan
wawancara lebih berorientasi pada sudut pandang yang lebih komprehensif.
eksplorasi pengalaman di lapangan Di luar hal-hal yang perlu
dibandingkan dengan wawancara yang dipertimbangkan dan diperbaiki dalam
mengacu sepenuhnya pada kerangka teori penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini
yang digunakan. Panduan wawancara cukup tajam untuk digunakan sebagai
yang mengacu sepenuhnya pada kerangka dasar pengambilan kebijakan oleh
teori agak membatasi peneliti untuk manajemen. Kebijakan dan program
menggali data lapangan secara lebih keselamatan kerja pada umumnya
komprehensif. Walaupun sudah diperoleh menuntut perubahan perilaku karyawan.
data-data di luar apa yang telah dibahas Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam teori, namun pengalaman di untuk mempermudah pelaksanaan
lapangan masih memiliki ruang yang lebih perubahan adalah peningkatan pelibatan
untuk dieksplorasi apabila panduan karyawan dalam program-program
wawancara lebih diarahkan pada keselamatan kerja yang sudah
pengalaman responden di lapangan secara dikembangkan. Di samping itu konsistensi
nyata dibanding kerangka teoritis. kebijakan di tingkat organisasi dan praktek
Di samping itu, mengingat cukup pelaksanaannya di lapangan melalui
banyak pandangan responden yang instruksi atasan langsung perlu dijaga.
mengacu pada kebijakan dan aturan Pelaporan seluruh jenis kecelakaan dan
tertentu yang ada di perusahaan terkait near miss yang dialami di lapangan berikut
dengan keselamatan kerja, maka penelitian sanksi yang lebih tegas yang diberikan
ini akan lebih komprehensif apabila kepada karyawan yang tidak melaporkan
dilakukan triangulasi metode dengan studi kecelakaan atau berulang kali melakukan
dokumen tentang kebijakan, aturan dan perilaku tidak aman di area kerja perlu
pelaporan keselamatan kerja yang ada. diupayakan untuk menunjukkan komitmen
Triangulasi metode juga bisa dilakukan dalam upaya menjaga keselamatan kerja
dengan pengambilan data menggunakan karyawan.
metode observasi untuk mengamati
praktek keselamatan kerja dan perilaku Referensi
aman karyawan di workshop. Namun
observasi langsung di lapangan memang
mendapatkan kendala mengingat kegiatan Ariss, S. (2003). Employee involvement to
di workshop yang sangat berisiko dari sisi improve safety in the workplace: An
keselamatan sehingga tidak semua orang ethical imperative. Mid-American
bisa masuk dan melakukan pengamatan di Journal of Business, 18 (2), 9.
sana dengan leluasa. Iklim keselamatan Bhattacharya, S. (2012). Sociological
factors influencing the practice of
103
KESELAMATAN KERJA

incident reporting: The case of the News. Diakses pada 24 April 2013 dari
shipping industry. Employee Relations, www.antaranews.com/berita/360749/ja
34 (1), 4-21. msostek-setiap-hari-9-meninggal-
Blair, E. (1999). Behavior-based safety: karena-kecelakaan-kerja
Myths, magic & reality. Professional Jeffries, F. L. (2011). Predicting safety
Safety, 44 (8), 25-29. related attitudes in the workplace: The
Borbidge, D. J. (2007). Fostering influence of moral maturity and
participation in behavior-based safety: emotional intelligence. Journal of
Trust is needed throughout your Behavioral and Applied Management,
organization. ISHN, 41 (1), 58-59. 12(3), 200-216.
Brahmasrene, T., & Smith, S. S. (2009). Kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi.
The influence of training, safety audits, (2013, 15 Januari). Metro TV News.
and disciplinary action on safety Diakses pada 12 Mei 2013 dari
management. Journal of Organization www.metrotvnews.com/metronews/read
Culture, Communications and Conflict, /2013/01/15/2/122976/Kecelakaan-
13 (1), 9-19. Kerja-di-Indonesia-masih-Tinggi
Cooper, M. D., & Phillips, R. A. (2004). Lauver, K. J, Lester, S., & Le, H. (2009).
Exploratory analysis of the safety Supervisor support and risk perception:
climate and safety behavior relationship. Their relationship with unreported
Journal of Safety Research, 35 (5), 497- injuries and near misses. Journal of
512. Managerial Issues, 21(3), 327-343.
Cummings, T. G., & Worley, C. G. (2010). Lingard, H., Cooke, T., & Blismas, N.
Organizational development and (2011). Coworkers’ response to
change (9th ed). Canada: South- occupational health and safety.
Western. Engineering, Construction and
Desmukh, L. M. (2006). Industrial safety Architectural Management, 18(2), 159-
management: Hazard identification and 175.
risk control. Delhi: Tata McGraw-Hill. Littlejohn, A., Margaryan, A., & Lukic, D.
Diaz, Y. F., & Resnick, M. L. (2000). A (2010). How organizations learn from
model to predict employee compliance safety incidents: A multifaceted
with employee corporates’s safety problem. The Journal of Workplace
regulations factoring risk perception. Learning, 22 (7), 428-460.
Proceedings of the Human Factors and Miltersen, M. S. (2009). The relationship
Ergonomics Society Annual Meeting, 4. between international management and
Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief, organizational behaviour: A comparative
attitude, intention and behavior: An study of the theories and ideas of Geert
introduction to theory and research. Hofstede, and Christopher A. Bartlett
Massachusetts: Addison-Wesley. and Sumantra Ghoshal. Tesis, tidak
Jamsostek: setiap hari 9 meninggal karena diterbitkan. Aarhus School of Business,
kecelakaan kerja. (2013). ANTARA Aarhus University, Aarhus.
104
NURITA & DAHESIHSARI

Patton, M. Q. (2002). Qualitative research


and evaluation methods. (3rd.ed).
Thousand Oaks: Sage Publications.
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian perilaku
manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Robbins, S. P. (2005). Organizational
Behavior (11th ed.). New Jersey:
Prentice Hall.
Yule, S., Flin, R., & Murdy, A. (2007). The
role of management and safety climate
in preventing risk-taking at work. [Versi
elektronik]. International Journal of Risk
Assessment and Management, 7 (2),
137-151.
Wallace, C., & Chen, G. (2006). A
multilevel integration of personality,
climate, self-regulation, and
performance. Personnel Psychology,
59(3), 529-557.
Zohar, D. (2002). The effects of leadership
dimensions, safety climate, and
assigned priorities on minor injuries in
work groups. Journal of Organizational
Behavior, 23(1), 75-92.
Zohar, D., & Luria, G. (2005). A multilevel
model of safety climate: Cross-level
relationships between organization and
group-level cimates. Journal of Applied
Psychology, 90(4), 616-628.
Zohar, D., & Luria, G. (2010). Group
leaders as gatekeepers: Testing safety
climate variations across levels of
analysis. Apllied Psychology: An
International Review, 59 (4), 647-673.

Alamat surel: ayunda_trouble@yahoo.com,


rayini@gmail.com
Jurnal Psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia
2017, Vol. XII, No. 1, 105-117, ISSN. 0853-3098

ART THERAPY BERBASIS CBT UNTUK


MENURUNKAN AGRESIVITAS ANAK
KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
(ART THERAPY BASED ON CBT TO REDUCE
AGGRESSIVENESS OF CHILD VICTIMS OF
DOMESTIC VIOLENCE)
Yustisia Anugrah Septiani dan Maria Goretti Adiyanti
Universitas Gadjah Mada

Children who had experienced domestic violence will loose affection and coping behaviour other than
violence. They have difficultiesin understanding how to express their emotion. One of them is aggresion.
Aggresive behaviour derived from the result of modelling domestic violence. Art therapy as a means of
children to learn to feel their emotions and cope with their aggressive behaviour through alternative thinking.
The aim of this study is to see the effectiveness art therapy based on Cognitive Behaviour Therapy (CBT) to
lower aggressive behavior in children victims of domestic violence. Research method used was the single
case ABA ad givenin 8 sessions. Subjects are 2 children who had aggresive behaviour and domestic
violence. They lived in a orphanage. Manipultion check used Buss-Perry aggresive scale to measure
intention of child aggresive behaviour. The result showed a decrease in intention of aggression after
treatment. Effect of intervention is measured by visual inspection. The result shows that art therapy can
lower the aggressiveness of the behavior of children in the orphanage. Art therapy could lower the
aggressiveness of the behavior of children.

Keywords: domestic violence, art therapy, CBT

KDRT mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak. Anak terpapar KDRT sehingga kurang mendapat
afeksi dan alternatif perilaku selain kekerasan. Anak menjadi sulit memahami dan mengekspresikan
emosinya. Salah satu bentuk coping dari sulit memahami dan mengekspresikan emosi yaitu agresivitas.
Perilaku agresif berasal dari hasil modeling anak dari kekerasan yang diterima. Art therapy menjadi sarana
anak untuk belajar merasakan emosinya dan mengubah coping agresifnya melalui berpikir alternatif.
Tujuan penelitian untuk melihat keefektivan modul Art therapy berbasis CBT terhadap penurunan perilaku
agresif anak korban KDRT. Penelitian ini dilakukan dengan single-case ABA dan diberikan dalam 8 sesi
selama 1,5-2 jam kepada 2 anak yang tinggal di Panti Sosial Asuh Anak dengan kecenderungan agresif
korban kdrt. Cek manipulasi menggunakan skala agresivitas Buss-Perry untuk mengukur intensi agresivitas
anak. Hasilnya menunjukan adanya penurunan intensi agresi setelah tritmen. Pengaruh intervensi diukur
dengan visual inspection. Hasilnya menunjukan bahwa art therapy dapat menurunkan perilaku agresivitas
anak di dalam panti asuhan.

Kata kunci: KDRT, art therapy, CBT


105
106
SEPTIANI & ADIYANTI

Kekerasan menurut World Health tidak diberikan penanganan akan


Organization (WHO) adalah intensi perilaku berdampak pada anak tersebut dan
yang menggunakan kekuatan fisik atau lingkungan sekitar.
kekuasaan dalam bentuk ancaman Anak yang mengalami atau sekedar
terhadap diri sendiri, orang lain, atau menyaksikan tindak kekerasan dalam
terhadap kelompok yang mengakibatkan keluarga menjadi rentan berbuat agresif,
cedera, kematian, kerugian psikologis, apatis terhadap orang lain, kecemasan
gangguan perkembangan atau tinggi, sulit untuk bersosialisasi dan tidak
perampasan (Krug, Dahlberg, Mercy, Zwi, merasa nyaman di dalam rumah (Ah Yoo &
& Lozano, 2002). Kekerasan dalam rumah Huang, 2012; Jeevasuthan & Hatta, 2013;
tangga (KDRT) merupakan hal yang Holmes, 2013; Sim Doh et al., 2012). Pada
sensitif dan sering terjadi dalam sebuah anak laki-laki khususnya berpotensi
hubungan keluarga. Setiap tahun kasus menumbuhkan perilaku agresif dalam fase
KDRT diperkirakan meningkat, namun perkembangannya hingga masa dewasa
masih banyak masyarakat yang tidak mau (Bergen, dalam Hidayat, 2009; Burk, 2008;
melapor (Gandhi, 2013). Komisi Choi & Goo, 2012; Tachie, 2010).
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seseorang yang mengalami kejadian
mencatat bahwa jumlah kekerasan anak stressful, panca inderanya menangkap
paling banyak terjadi di dalam lingkungan kejadian tersebut kemudian otak
keluarga. Mulai dari Januari – Agustus memprosesnya lewat memori dan
KPAI 2012 mencatat ada 3.332 kasus. mengirimkan impuls ke seluruh tubuh.
Wilayah DIY dan sekitarnya juga memiliki Proses kognitif berjalan bagaimana
catatan terhadap kekerasan anak. seseorang mempersepsikan kejadian itu
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Rifka sehingga berpengaruh pada regulasi emosi
Annisa (RA) mencatat kekerasan yang dan kondisi fisik. Saat anak mendapat
dilakukan oleh anak di bawah umur 18 kekerasan baik fisik maupusn psikis yang
tahun tahun 2010-2013 sejumlah 42 pelaku berulang kali dari orang terdekatnya maka
kekerasan usia anak. Tahun 2009 RA ia akan mempersepsikan kejadian tersebut
mencatat 209 kasus dengan 6 orang menjadi peristiwa traumatik dan stresful.
remaja sebagai korban langsung, 2010 ada Anak perlu melakukan coping untuk
236 kasus, 2011 ada 228 kasus dengan 5 memulihkan kembali kondisi emosinya jika
remaja korban langsung, 2012 ada 239 kejadianya berulang. Untuk itu anak
kasus dengan 3 remaja sebagai korban menyalurkan energi-energi negatifnya
langsung, 2013 ada 256 kasus, dan 2014 melalui perilaku seperti bertindak agresif
ada 185 kasus. LPA Yogyakarta mencatat dan jika tidak maka akan menganggu
tahun 2013 terdapat 6 kasus KDRT aspek kehidupan anak seperti prestasi
terhadap anak, tahun 2014 terdapat 11 sekolah menurun, kondisi psikis yang
kasus kekerasan pada anak. Hal ini terganggu, dll.
menunjukan bahwa setiap tahun terjadi Agresivitas adalah cara untuk
kasus kekerasan terhadap anak, apabila melampiaskan rasa frustasi dan sarana
107
ART THERAPY

mencapai tujuan untuk sengaja menyakiti, dan membuat clay (Bishop, 2012; Cristina
membahayakan serta mengancam orang & Aneta, 2012; Eaton, Dorhetty, & Widrick,
lain (Baron & Byrne, 1991; Berkowitz, 2007; Farokhi, 2011; Riley, 2001). Art
2003). Perilaku agresif merupakan bentuk therapy memfasilitasi klien menggunakan
simptom dari dampak anak mengalami media seni, proses berpikir kreatif dan hasil
kekerasan baik fisik maupun psikis (Hemsi, karya seni untuk mengekslorasi perasaan,
2006; Sprinkle, 2007). Rasa frustasi mendamaikan konflik emosional, lebih
terhadap figure lekat, penolakan orang tua, membuat seseorang aware terhadap
perilaku kekerasan, dan penganiayaan dirinya, mengelola perilaku,
menyebabkan agresivitas anak muncul mengembangkan keterampilan sosial,
(Berkowitz, 2003). Menurut perspektif meningkatkan orientasi realitas,
belajar sosial oleh Bandura, perilaku mengurangi kecemasan, dan
agresif merupakan perilaku yang dipelajari meningkatkan harga diri. Art therapy efektif
dari pengalaman lalu melalui imitasi serta dalam menangani para pasien disorder
me-modeling. Proses imitasi membutuhkan yang memiliki kecenderungan bertindak
kerja kognitif dalam menangkap informasi kekerasan (Broek, De Vos, & Bernstein,
yang masuk dan mempersepsikannya 2011; Malchiodi, 2003). Penelitian lain juga
sehingga anak dapat dapat menyikapi menunjukan bahwa Art therapy bisa
suatu perilaku (Fantuzzo & Mohr, 1999). menjadi sarana belajar anak yang tidak
Anak-anak belajar perilaku dari informasi membosankan untuk menurunkan perilaku
yang terlihat di hadapan mereka, lalu agresif, meningkatkan regulasi emosi dan
mereka menginternalisasi perilaku tersebut sangat efektif bagi anak yang mengalami
untuk digunakan di lingkungan sosialnya peristiwa traumatis karena art therapy bisa
(Berkowitz, 2003; Simmons., Starsworth, & memfasilitasi ekspresi emosi dalam setting
Wentzel, 1999). Proses kerja kognitif juga yang aman (Atkinson & Robson, 2012;
berkaitan dengan emosi dan perilaku, Aviv, Regev, & Guttmann, 2014; Bishop,
sehingga apabila anak melihat kekerasan 2012; Brown & Sack, 2013; Samadzadeh,
sebagai suatu hal yang biasa maka ia Abbasi, & Shahbazzadegan, 2013; Khadar,
mengalami kesulitan dalam problem Bapaour, & Sabourimoghaddam, 2013).
solving. Pemanfaatan seni dapat membantu anak
Art therapy dapat menjadi sarana yang untuk mengamplifikasi hubungan
tepat bagi proses intervensi anak yang interpersonal yang belum terselesaikan dan
mengalami KDRT. Proses art making memungkinkan terapis untuk menyadari
dianggap sebagai cara untuk pengalaman anak terlepas dari
berkomunikasi yang menekankan pada kemampuan verbal (Malchiodi, 2003;
gambar, lukisan, dan ekspresi-seni lainnya Rankanen, 2014).
(Farokhi, 2011; Waller, 2006). Anak-anak Anak korban KDRT mengalami banyak
dapat mengkomunikasikan dan emosi negatif sehingga hal ini
mengekspresikan perasaan lewat proses mempengaruhi proses perkembangan
art making seperti: menggambar, melukis, emosi serta kognitifnya. Mereka banyak
108
SEPTIANI & ADIYANTI

Tabel 1
Metode Single-case ABA
Baseline (A) Tritmen (B) Baseline (A)

O 1 -O 2 - O 3 - O 4 - O 5 - O 1 -O 2 -O 3 -O 4 -O 5 -O 6 - O1- O2- O3- O4- O5-


O6- O7 O 7 -O 8 O 6 -O 7

Tabel 2
Hasil Analisis Interclass Correlation Coefficient Reliabilitas antar Rater Modul
Art Therapy

95% Confidence F test with True Value


Intraclass Interval
Correlationa Lower Upper Value df1 df2
Bound Bound
Single Measures .662a .445 .893 47.932 7 161
Average Measures .979b .951 .995 47.932 7 161

 
Gambar 1. Grafik Perilaku Agresivitas Subjek IK

Gambar 2. Grafik Perilaku Agresivitas Subjek SA


109
ART THERAPY

terpapar pola perilaku kekerasan rasakan, menanggapi suatu peristiwa atau


orangtunya, sehingga mereka memiliki pengalaman, dan bekerja pada perubahan
sedikit alternatif dalam mengelola dan emosi dan perilaku. Setelah proses
mengontrol emosinya. Anak pun mereduksi tegangan, terapis membimbing
mengimitasi perilaku itu dan masuk ke anak untuk merekonstruksi belief system
dalam belief-nya. Hambatan dalam atau pikiran negatifnya terhadap kekerasan
meregulasi emosi dan belief agresif tadi lewat gambar. Cerita yang keluar dari anak
memunculkan pikiran atau ide-ide dapat melihat bagaimana anak
melakukan perilaku kekerasan dalam mempersepsi stressor tersebut. Terapis
menghadapi stressor. Maka dari itu coping dapat membantu anak dalam mengubah
yang terjadi adalah perilaku agresif, sikap distorsi kognitifnya dengan visual coping
bermusuhan, dan menghindar. seperti bertanya “what if” dan feedback.
Art therapy dengan pendekatan CBT Tujuan penelitian ini untuk melihat
adalah bentuk terapi seni dimana klien kefektifan art therapy terhadap dampak
terlibat dalam cara berpikir tentang penurunan agresivitas anak korban KDRT.
masalah mereka. Klien dapat
mempersepsikan masalah mereka dari
perspektif baru melalui gambar dan sadar Metode
terhadap perasaan dan pikiranya
(Alavinezhad, Mousavi, & Sohrabi, 2014;
Malchiodi, 2003). Art therapy CBT Prosedur dalam penelitian ini yaitu
menekankan anak untuk aware terhadap melakukan preliminary study dengan
perasaan dan pikiranya. Proses ini penting mewawancari significant other dan study
agar anak belajar untuk menerima literature data sekunder laporan hasil
pengalaman stresornya lewat habituasi pemeriksaan psikologis sebelumnya dari
agar terbentuk coping skill yang baik masing-masing subjek.
(Alavinezhad et al., 2014; Samadzadeh et Desain penelitian menggunakan single-
al., 2013). case A-B-A (Tabel 1). Dasar penelitian
Proses art therapy dalam single-case terletak pada pengukuran
mengintervensi anak terletak pada mediasi observasi yang berulang untuk melihat
ekspresi emosi lewat gambar kemudian keefektifan tritmen setelahnya (Kazdin,
dari gambar tersebut anak diminta untuk 2011). Metode rating scale dalam
bercerita. Dalam menggambar terdapat penelitian ini menjadi pengukur jumlah
proses ekspresi yang membutuhkan ide periaku agresivitas subjek.
kreatif sehingga melibatkan proses otak Subjek dalam penelitian ini terdiri dari
visual cortex, dan keterlibatan fisiologis dua orang anak laki-laki memiliki
seperti gerakan tangan. Ketika pengalaman KDRT dengan kecenderungan
menuangkan gambar, anak dapat perilakua agresif. Instrumen penelitian
mereduksi tegangan (Malchiody, 2003), adalah: skala agresivitas Buss-Perry
membingkai ulang apa yang mereka (1992), modul art therapy, dan lembar
observasi perilaku agresivitas. Hasil data
110
SEPTIANI & ADIYANTI

 
Gambar 3. Grafik Pengukuran Skala Agresivitas Kedua Subjek

skor skala agresivitas dan observasi rater bahwa modul sesuai dengan tujuan.
perilaku agresivitas kedua subjek diolah Analisa hasil profesional judgement
dalam visual inspection. . Validasi skala agresivitas Buss-Perry (1992)
instrumen skala agresivitas menggunakan menggunakan aiken’s V. Aitem skala yang
profesional judgement dan ujicoba skala. memiliki v < 0,5 ada dua dan dinyatakan
Analisa hasil profesional judgement gugur. Skor daya beda ujicoba skala < 0,25
menggunakan aiken’s v. Peneliti juga dengan α = 0,779 (n of items = 31). Rerata
melakukan telaah observasi perilaku, skor total = 59,56 dengan standard
gambar dan perspektif anak selama proses deviation 16,407. Kategorisasi skor empirik
art therapy. adalah SR sebanyak 3 (5.9%), R sebanyak
Modul art therapy berisi 8 sesi 13 (25.5%), S sebanyak 18 (35.3%), T
(Alavinezhad et al., 2014) antara lain: sesi sebanyak 13 (25.5%), dan ST sebanyak 3
Free drawing, sesi Egg Drawing, Sesi Cave (5.9%). Ada 1 (2%) missing.
Drawing, Sesi Family drawing, Sesi Human Grafik visual inspection terlihat
Figure, Sesi Best and Worst Self, sesi Bad penurunan yang terjadi pada fase baseline,
Situatuion, dan sesi terminasi. Setiap sesi intervensi dan baseline (setelah intervensi)
dilakukan selama 1,5 - 2 jam pertemuan. (Gambar 1). Pada baseline jumlah rata-rata
Validasi modul menggunakan beberapa perilaku agresivitas subjek IK adalah 3 kali
pengukuran antara lain: profesional muncul perperilaku agresif per hari,
judgement dianalisis dengan Intraclass sedangkan saat intervensi rata-rata
Correlation Coefficient dan ujicoba modul perilaku yang muncul per hari sebanyak 1
dengan menggunakan kesepakatan antar kali, dan setelah intervensi hanya muncul
rater. sekali pada hari ke-4 saja selama 7 hari.
Hasil validasi modul (24 butir) Grafik visual inspection perilaku
menggunakan Intraclass Correlation agresivitas subjek SA menunjukan adanya
Coefficient (ICC) menunjukan α = 0,979, penurunan (Gambar 2). Pada baseline
artinya ada kesepakatan yang tinggi antar jumlah rata-rata perilaku agresivitas SA
111
ART THERAPY

adalah 3 kali muncul per hari, sedangkan art therapy dengan pendekatan CBT dapat
pada intervensi rata-rata perilaku yang menurunkan agresivitas anak korban
muncul per hari sebanyak 2 kali, dan KDRT. Berdasarkan hasil visual inspection
setelah intervensi muncul 1-2 kali. perilaku agresivitas kedua subjek menurun.
Di akhir sesi, terapis selalu memberikan Hasil tersebut dikuatkan dengan cek
feedback sebagai penguat apa yang telah manipulasi perspektif intensi agresivitas
didapat anak selesai sesi. Perubahan kedua subjek yang menurun. Pengukuran
distorsi kognitif terjadi setelah diberikan art cek manipulasi yang berulang tersebut
therapy. Hal itu dibuktikan dari cek bertujuan untuk melihat perubahan subjek
manipulasi terhadap kedua subjek dengan terjadi akibat art therapy atau maturitas.
mengisi skala agresivitas Buss-Perry Perubahan intensi agresivitas tersebut
(1992). Peneliti mengukur intensi tidak diikuti oleh penurunan perilaku agresif
agresivitas kedua subjek pada pre-test I anak. Hasil visual inspection masing-
sebelum pengukuran fase baseline masing subjek menunjukan bahwa
kemudian pre-test II setelah fase baseline. penurunan perilaku agresif tidak terlalu
Tujuanya untuk mengetahui apakah terjadi tampak.
maturitas sebelum diberikan tritmen. Harapanya dalam penelitian ini, apabila
Kemudian post-test dilakukan setelah intensi agresivitas menurun maka
proses tritmen selesai. Hasilnya terjadi perilakunya ikut menurun. Peneliti melihat
penurunan skor skala agresivitas kedua ada dua aspek yang mempengaruhi
subjek pada pre-test II dengan post -test. perubahan perilaku yaitu afeksi dan kontrol
Subjek SA mengalami penurunan skor modeling anak. Perubahan perilaku terjadi
skala Buss-Perry (1992) sebanyak 26 poin apabila individu mengalami suatu kejadian
dari pre-test II ke post-test (Gambar 3). yang dipersepsikan ke dalam kognitif dan
Pada pre-test I dan pre-test II intensitas ia rasakan sebagai emosi tertentu. Pada
agresivitas subjek SA naik 6 poin dan tritmen art therapy ini masih mengajak
masih berada dalam kategori sedang ke anak untuk menyadari perasaan dan
tinggi. Pada pre-test II ke post-test intensi pikiran yang muncul saat mengingat
agresivitas subjek SA turun ke dalam kejadian tertentu. Penelitian ini masih
kategori rendah. Subjek IK pada pre-test I berfokus pada perubahan distorsi kognitif
ke pre-test II mengalami penurunan skor agar anak mendapat alternatif ide selain
skala agresivitas sebanyak 3 poin, kekerasan Tritmen ini masih sebatas
sedangkan dari pre-test II ke post-test turun memfasilitasi pada ekspresi emosi dalam
sebanyak 8 poin. Keduanya masih dalam gambar. Anak belum dapat memaknai
tarah sedang. emosi pada setiap peristiwa. Pemaknaan
emosi dalam suatu peristiwa dibutuhkan
proses yang panjang dan dalam,
Diskusi sedangkan proses art therapy berlangsung
sedikitnya 8 sesi dengan 8 pertemuan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Selain itu perubahan perilaku biasanya
112
SEPTIANI & ADIYANTI

tidak terjadi dalam waktu yang singkat dan Dengan menggambar, anak dapat
membutuhkan range waktu 18-265 hari. mempersepsikan masalah mereka dari
Setiap orang memiliki waktu yang berbeda. perspektif baru dan menekankan anak
Untuk membentuk perilaku menjadi habit untuk aware terhadap perasaan dan
dibutuhkan pula reward eksternal. Semakin pikiranya (Alavinezhad et al., 2014;
pendek range waktu yang dibutuhkan, Malchiodi, 2003). Hal ini terlihat dari sesi
semakin besar pula motivasi dalam diri dan family drawing pada kedua subjek karena
faktor eksternal yang mendukung (Lally, menolak menggambar figur keluarga.
Pots, Van Jaarsveld, & Wardle, 2010). Hal Mereka mengalami kebingungan dalam
ini tidak dapat terlepas dari faktor eksternal merasakan atau menyikapi suatu peristiwa.
subjek. Sehari-hari para subjek tinggal Hal ini terjadi karena tidak adanya figur
dengan teman-temannya yang memiliki dewasa yang mengajarkan anak. Hasil art
rendahnya kontrol dari orang dewasa. therapy menunjukan bahwa mereka tidak
Menurut Duru, Redzuan, Hamsan, dan paham mengenai emosi yang dirasakan,
Sharimin (2015) ada tingkat moderat dari hanya tahu peristiwa yang menyertai emosi
kelekatan peer grup untuk mempengaruhi tersebut atau perilaku yang tampak,
intensi perilaku agresif yang menghasilkan misalkan emosi sedih disebut sebagai
perilaku. Mereka belum memiliki kontrol orang menangis, marah disebut dengan
pada diri sendiri atas konsekuensi yang jika ada orang yang nakal dengan kita, dll.
akan dialami, sehingga apa yang dilihatnya Mereka akan sulit untuk mengatakan nama
akan dilakukannya di situasi lainnya. emosi tersebut kecuali jika terapis
Rendahnya kontrol dari orang dewasa memberikan gambar emoticon.
membuat mereka tidak tahu apa yang Proses menggambar memunculkan
semestinya dilakukan dan tidak saat emosi tertentu pada anak. Gambar dapat
menghadapi situasi-situasi yang kurang digunakan sebagai media ekspresi. Proses
menyenangkan. tersebut dianggap sebagai cara untuk
Selama proses art therapy dengan berkomunikasi yang menekankan pada
pendekatan CBT, anak diajak untuk gambar dan memfasilitasi proses berpikir
memikirkan risiko-risiko intensi untuk mengekslorasi perasaan,
agresivitasnya terhadap lingkungan dan mendamaikan konflik emosional, lebih
dirinya melalui proses menggambar. Anak- membuat seseorang aware terhadap
anak yang mengalami KDRT akan dirinya, mengelola perilaku,
menimbulkan perasaan kurang nyaman mengembangkan keterampilan sosial,
saat menceritakan kembali keluarganya. meningkatkan orientasi realitas,
Kekerasan dalam keluarganya mengurangi kecemasan, serta
diidentifikasikan sebagai sesuatu meningkatkan harga diri (Broek et al.,
pengalaman yang menakutkan dan 2011; Farokhi, 2011; Malchiodi, 2003;
mengecewakan, serta menimbulkan Waller, 2006). Cerita yang muncul dari
kemarahan pada diri anak. Emosi yang gambar merupakan persepsi anak
dirasakan termanifestasi ke dalam perilaku. terhadap suatu kejadian. Persepsi anak
113
ART THERAPY

merupakan proses berpikir, sehingga cerita KDRT yang dialami anak berasal dari
yang disampaikan anak merupakan media berbagai faktor antara lain: faktor internal
proses kognitif pada art therapy. Dalam art yaitu tingkat menghargai antar anggota
therapy teknik pertanyaan “what if” keluarga, karakter orangtua atau pelaku
membantu anak merestruktur distorsi kekerasan yang memiliki coping sosial skiil
kognitif, sehingga anak dapat mencari yang rendah; dari faktor eksternal seperti
alternatif solusi selain melakukan rendahnya tingkat sosial ekonomi,
kekerasan. Teknik pertanyaan what if pendapatan keluarga; dari faktor
adalah teknik bertanya dengan situasional ada seperti interaksi dengan
memprobing kalimat yang diucapkan anak anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut
dengan membalikan situasi yang apabila tidak dihilangkan akan
bertentangan. mengembalikan perilaku kekerasan
Keberhasilan tritmen art therapy ini tidak terhadap anak lagi. Untuk itu peneliti perlu
terlepas dari kerjasama terapis, peneliti mempertimbangkan pula melakukan
dengan subjek. Keberhasilan tersebut intervensi di keluarga minimal orangtua,
terbagi menjadi beberapa aspek yaitu: seperti memberikan konseling terhadap ibu
minat anak terhadap gambar, perasaan yang dinilai sebagai korban, memberikan
anak setelah menggambar per sesi, psikoedukasi dalam mengasuh anak, dsb.
pemahaman anak mengenai materi baru Tujuannya untuk mempersiapkan anak
yang diperoleh anak, dan anak masih apabila kembali dalam lingkungan keluarga
mempertahankan aktivitas menggambar sehingga orangtua tahu bagaimana
meskipun tritmen sudah selesai. memperlakukan anak tanpa adanya
Peneliti melakukan cek minat gambar kekerasan. Penelitian ini masih berfokus
sebelum memberikan tritmen art therapy dalam melakukan tritmen terhadap anak.
dengan bertanyan kepada subjek. Hasilnya Secara kode etik psikologi selain
para subjek mengatakan tidak keberatan melakukan tritmen terhadap seorang klien,
dengan aktivitas menggambar. Maka dari psikolog perlu mempertimbangkan
itu terapis melanjutkan untuk member pemberian tritmen di lingkungan klien agar
tritmen art therapy. Peneliti juga melakukan tercapai keberhasilan terapi secara holistik.
cek emosi subjek sebelum dan setelah
menggambar. Hal ini untuk mengetahui Keterbatasan
Perilaku agresif dapat menjadi salah
perbedaan yang diberikan art therapy pada
satu alternatif perilaku yang muncul di
afeksi anak. Hasilnya anak mengalami
lingkungan panti saat berhadapan dengan
perubahan emosi sebelum dan setelah
situasi yang tidak menyenangkan.
menggambar. Perbedaan emosi tidak
Lingkungan tempat tinggal anak
hanya emosi senang namun juga emosi
mempengaruhi perilakunya. Anak-anak
yang kurang nyaman.
yang tinggal di panti bersama teman-teman
Peneliti perlu mempertimbangkan
sebaya, teman-teman yang lebih tua serta
intervensi dari faktor lingkungan anak
jauh dari orang tua membuat anak akan
sebagai penyebab KDRT. Faktor penyebab
memodelling perilaku yang tampak.
114
SEPTIANI & ADIYANTI

Perilaku agresif dapat menjadi salah satu Art therapy dengan pendekatan CBT
alternatif perilaku yang muncul di dapat membantu anak merekonstruksi
lingkungan panti saat berhadapan dengan pikiran yang sebelumnya berpikiran bahwa
situasi yang tidak menyenangkan. Subjek kekerasan membuat lega dan dapat
melihatnya sebagai cara bertahan hidup menyelesaikan masalah menjadi
jauh dari figur pelindung (keluarga, kekerasan itu tidak membuat puas dan jika
orangtua, dll). Untuk itu anak takut itu berarti banci menjadi harus tetap
membutuhkan rasa aman dari seorang berani meskipun takut.
figur dewasa, sehingga kedatangan terapis Teknik feedback dan teknik pertanyaan
kepada dapat memenuhi kebutuhan afeksi “what if” dari terapis dapat membimbing
dan rasa amanya. Perubahan intensi anak menemukan cara lain dalam
agresivitasnya menurun karena attachment mengatasi situasi yang tidak
dengan terapis. Hasil tritmen art therapy menyenangkan selain melakukan
tersebut belum dapat digeneralisasikan kekerasan. Maka dari itu Art therapy dapat
pada kasus anak lainnya membantu anak menemukan alternatif
Pengukuran perilaku agresif dengan berpikir bahwa ada cara lain menghadapi
metode observasi rating scale tidak dapat peristiwa yang menimbulkan emosi negatif
melihat perilaku anak pada situasi tertentu. selain dengan permusuhan atau kekerasan
Subjektivitas observer dalam mencatat yaitu dengan menggambar, bermain bola,
perilaku agresif dan saat mencatat hasil bermain dengan teman yang lain, berbicara
tritmen setiap sesi masih ada. Untuk dengan orang yang mengganggu, dan
meminimalisir subjektivitas tersebut, sholat.
peneliti membuat indikator keberhasilan Art therapy membantu anak yang
untuk sesi art therapy dan indikator perilaku tadinya sulit mengatakan emosinya ke
agresif. Namun subjektivitas masih tetap dalam kata-kata menjadi lebih sadar
ada karena masinng-masing observer terhadap perasaan dan pikirannya. Cek
mengukur subjek yang berbeda. Peneliti emosi dalam yang dilakukan sebelum dan
belum mengukur kesamaan pandangan setelah tritmen membantu terapis mengerti
antar observer dalam melihat perilaku seberapa emosionalkan pengalaman
agresif. tersebut bagi anak. Bagi anak sendiri, cek
emosi membantunya untuk lebih sadar
Kesimpulan terhadap perasaan dan pikiran saat
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat menceritakan suatu peristiwa.
disimpulkan bahwa penelitian Art therapy
dapat menurunkan perilaku agresivitas Saran
anak korban KDRT. Hal ini terlihat dari Kehadiran peneliti dan terapis dapat
intensitas agresivitas kedua subjek yang menjadi supportive grup bagi anak yang
menurun dari hasil skor skala agresivitas. tinggal di panti, yang menjadi bahan
Hal tersebut terlihat dalam visual inspection pertimbangan hasil anak dalam art therapy.
perilaku agresivitas kedua subjek meskipun Selain itu subjektivitas antar observer dapat
tidak banyak penurunan perilakunya.
115
ART THERAPY

diminimalisir dengan melakukan cek aspects. The Arts in Psychotherapy, 41,


kesepakatan antar dua observer pada dua 293-301.
anak. Peneliti perlu menambah jumlah sesi Baron, R. A., & Byrne, D. E. (1991). Social
atau memperpanjang tritmen art therapy psychology: Understanding human
agar tercapai penurunan intensi dan interaction. (6th ed). Boston: Allyn &
perilaku agresivitas yang optimal. Bacon.
Anak dengan KDRT memiliki regulasi Berkowitz, L. (2003). Aggression: Its
emosi yang kurang baik sehingga causes, consequence, and control. New
berdampak pada coping perilakunya. Untuk York: McGraw-Hill.
itu sangat penting dan disarankan Bishop, K. (2012). The role of art in a
memberikan psikoedukasi emosi. Psikolog paediatric healthcare environment from.
dengan dibantu oleh pekerja sosial dapat Asia Pacific International Conference on
mengajak anak untuk menyadari Environment-Behaviour Studies (pp. 81-
perasaannya dengan menanyakan pada 88). Kuching: Social and Behavioural
anak. Gambar emoticon sangat berguna Science 38.
bagi anak yang sedang dalam tahap Broek, E. V., De Vos, M. K., & Bernstein, D.
menentukan emosi yang dirasakanya. P. (2011). Arts therapies and Schema
Pemberian checking emotion sebaiknya Focused therapy: A pilot study. The Arts
dilakukan setiap sesi agar anak terbiasa in Psychotherapy, 38, 325-332.
dengan nama-nama emosi. Brown, E. D., & Sack, K. L. (2013). Arts
enrichment and preschool emotions for
Referensi low-income children at risk. Early
Childhood Research Quarterly, 28, 337-
346.
Ah Yoo, J., & Huang, C. C. (2012). The Burk, L. R. (2008). Identification of early
effects of domestic violence on children's child and family risk factors for
behavior problems: Assessing the aggressive victim status in the first
moderating roles of poverty and marital grade. Abnormal Child Psychology, 36,
status. Children and Youth Services 513-526.
Review, 34(12), 2464-2473. Buss, A.H., & Perry, M. (1992). The
Alavinezhad, R., Mousavi, M., & Sohrabi, aggression questionnaire. Journal of
N. (2014). Effects of art therapy on anger Personlity and Social Psychology, 63,
and self-esteem in aggressive. Social 452-459.
and Behavioural Science, 113, 111-117. Choi, S., & Goo, K. (2012). Holding
Atkinson, S., & Robson, M. (2012). Arts environment: The effects of group art
and health as a practice of liminality: therapy on mother–child. The Arts in
Managing the spaces. Health & Place, Psychotherapy, 39, 19-24.
18(6), 1348-1355. Cristina, C., & Aneta, F. (2012). How can
Aviv, T. P., Regev, D., & Guttmann, J. we improve the existing assessments
(2014). The unique therapeutic effect of used in art therapy. A meta-analysis on
differen art materials on psychological
116
SEPTIANI & ADIYANTI

art therapy assesments. Procedia-Social child maltreatment. Child Abuse Neglect,


and Behavioral Sciences, 33, 358-362. 37, 8, 520-530.
Duru, C. K., Redzuan, M., Hamsan, H., & DOI: 10.1016/j.chiabu.2012.12.006.
Sharimin, M. I. (2015). Peer attachment Jeevasuthan, S., & Hatta, Z. A. (2013).
and intention of aggressive behavior Behavioural Problems of Children
among school children. Journal of Exposed to Domestic Violence in Rural
Humanities and Social Science, 20(1), Villages: A Micro Social Work Inquiry in
66-72. Piranpattru Village at Chankanai
Eaton, L. G., Dorhetty, K., & Widrick, R. M. Divisional Secretariat, Jaffna, Sri Lanka.
(2007). A review of research and Procedia-Social and Behavioral
methods used to establish art therapy. Sciences, 91, 201-207.
The Arts in Psychotherapy, 34, 256-262. Kazdin, A. E. (2011). Single-case research
Fantuzzo, J., & Mohr, W. (1999). designs: Method for clinical and applied
Prevalence and effects of child exposure setting (2nd ed.). New York: Oxford
to domestic violence. The Future of University Press.
Children, 9(2), 21-32. Khadar, M. G., Bapaour, J., &
Farokhi, M. (2011). Art therapy in Sabourimoghaddam, H. (2013). The
humanistic psychiatry. Procedia-Social effect of Art therapy based on painting
and Behavioral Sciences, 30, 2088 - therapy in reducing symptoms of
2092. separation anxiety disorder (SAD) in
Gandhi, T. (2013, Februari). Dianggap aib elementary school boys. Social and
dan makan biaya, korban kekerasan Behavioural Sciences, 84, 1872-1878.
enggan melapor. Pusat Pelayanan Krug, E. G., Dahlberg, L. L., Mercy, J. A.,
Terpadu Perempuan dan Anak “Rekso Zwi, A. B., & Lozano, R. (2002). World
Diah Utami”. Retrieved from report on violence and health. World
http://reksodyahutami.blogspot.co.id/201 Health Organization. Ganeva.
3/02/dianggap-aib-dan-makan-biaya- Lally, P., Pots, H. W. W., Van Jaarsveld, C.
korban.html H. M., & Wardle, J. (2010). How are
Hemsi, M. H. (2006). What is art therapy. habits form: Modelling habits formation
Journal of Mental Health, 6 (2 & 3), 78- in real world. European Journal of Social
70. Psychology, 40, 998-1009.
Hidayat, R. (2009). Wajah kekerasan: doi:10/1002/ejsp.614.
Analisis atas data kasus kekerasan Malchiodi, C.A. (2003). Handbook of art
terhadap perempuan di Rifka Annisa therapy. New York: The Guilford Press.
Tahun 2000 – 2006. Yogyakarta: Rifka Rankanen, M. (2014). Clients’ positive and
Annisa Woman Crisis Centre. negative experiences of experiential art
Holmes, M. (2013). Aggressive behavior of therapy group process. The Arts in
children exposed to intimate partner Psychotherapy, 41(2), 193-204.
violence: An examination of maternal Riley, S. (2001). Art therapy with
mental health, maternal warmth and adolescence. Western Journal of
117
ART THERAPY

Medicine, 175(1), 54.


Samadzadeh, M., Abbasi, M., &
Shahbazzadegan, B. (2013). The effect
of visual arts on education of coping
strategies in annoyed children. Procedia-
Social and Behavioral Sciences, 83,
771-775.
Sim Doh, H., Shin, N., Kim, M. J., Hong, J.
S., Choi, M. K., & Kim, S. (2012).
Influence of marital conflict on young
children's aggressive behavior in South
Korea: The mediating role of child
maltreatment. Children and Youth
Services Review, 34(9), 1742-1748.
Simmons, B. J., Starsworth, K., & Wentzel,
H. (1999). Television Violence and Its
Effects on Young Children. Early
Childhood Education Journal, 26(3),
149-153.
Sprinkle, J. E. (2007). Domestic Violence,
Gun Ownership, and Parental
Educational Attainment: How do They
Affect the Aggressive Beliefs and
Behaviors of Children?. Child and
Adolescent Social Work Journal, 24(2),
133.
Tachie, R. M. (2010). Aggression in siblings
exposed to domestic violence
(Unpublished thesis). Department of
Family Social Sciences University of
Manitoba Winnipeg, Ottawa. Retrieved
from
http://mspace.lib.umanitoba.ca/bitstream
/1993/4233/1/Tachie_Rose-Marie.pdf.
Waller, D. (2006). Art therapy for children:
How it leadsto change. Clinical Child
Psychology and Psychiatry, 11(2), 271-
282. doi: 10.1177/1359104506061419.

Alamat surel: anugrahseptiani@gmail.com


 
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
 
PETUNJUK  BAGI  PENULIS    
 
1. Artikel  dapat  berbahasa  Indonesia  atau  berbahasa  Inggris.  
2. Judul   artikel   harus   spesifik   dan   efektif,   serta   tidak   boleh   lebih   dari   14   kata   dalam  
tulisan  berbahasa  Indonesia  atau  10  kata  bahasa  Inggris.  
3. Artikel   harus   dilengkapi   dengan   nama   penulis,   nama   lembaga   tempat   kegiatan  
penelitian   dilakukan   (universitas,   lembaga   atau   pusat   penelitian,   atau   organisasi  
lain),  dan  alamat  korespondensi  termasuk  alamat  e-­‐mail  yang  jelas.  
4. Artikel   harus   dilengkapi   dengan   satu   paragraf   abstrak   berbahasa   Indonesia   dan  
terjemahannya   dalam   bahasa   Inggris.   Abstrak   harus   ditulis   secara   gamblang,   utuh,  
dan  lengkap  menggambarkan  esensi  isi  keseluruhan  tulisan.  
5. Artikel   belum   pernah   diterbitkan   dalam   bentuk   artikel   jurnal,   artikel   dalam   buku,  
atau  artikel  dalam  prosiding  lengkap.  
6. Artikel   harus   berupa   laporan   penelitian   empiris,   kecuali   artikel   atas   undangan  
Redaksi   (dapat   berupa   paparan   gagasan   atau   kajian   teoritis).   Topik   artikel   harus  
dalam  bidang  psikologi  serta  relevan  dengan  perkembangan  zaman.  
7. Artikel   harus   dilengkapi   dengan   kata   kunci   yang   dipilih   secara   cermat   sehingga  
mampu  mencerminkan  konsep  yang  terkandung  di  dalamnya.  
8. Artikel   ditulis   dengan   sistematika   dan   pembaban   yang   baik   mengikuti   sistem  
American   Psychological   Association   (APA).   Pembaban   tidak   boleh   menyerupai  
penulisan   skripsi   dengan   mencantumkan   kerangka   teori,   perumusan   masalah,  
manfaat  penelitian,  saran,  dan  sejenisnya.  
9. Artikel   dilengkapi   dengan   daftar   acuan,   bukan   bibliografi.   Perujukan   daftar   acuan  
dalam  naskah  dan  penyusunan  daftar  acuan  mengikuti  sistem  APA.  
10. Diutamakan   artikel   yang   mengedepankan   keuniversalan,   bukan   kenasionalan  
apalagi  kelokalan.  
11. Diutamakan   artikel   dengan   sumber-­‐sumber   acuan   yang   terbit   dalam   10   tahun  
terakhir.   Pengacuan   terhadap   karya   sendiri   yang   terlalu   banyak   dalam   satu   artikel  
seyogyanya  dihindari.  
12.  Khusus   untuk   penelitian   kuantitatif-­‐survey   (non-­‐psikometri,   non-­‐eksperimen),  
penelitian  harus  melibatkan  minimal  3  (tiga)  variabel.  
13.  Penulis  membuat  pernyataan  bahwa  artikelnya  merupakan  hasil  karya  sendiri,  dan  
jika  didasarkan  pada  karya  lain  yang  melibatkan  penulis/peneliti  lain  (skripsi,  tesis,  
disertasi,   penelitian   kelompok),   penulis   harus   menyertakan   pengakuan   tentang  
kontribusi  para  penulis  lain  dan  surat  izin  dari  peneliti/penulis  lain  yang  terkait.  
14.  Penulis  akan  menerima  hasil  review  dalam  waktu  maksimal  1  (satu)  bulan,  dengan  
kategori  hasil  review:  (1)  Diterima  tanpa  perbaikan,  (2)  Diterima  dengan  perbaikan  
(disertai  catatan  tentang  hal-­‐hal  yang  harus  diperbaiki),  (3)  Ditolak  (disertai  alasan  
penolakan).   Apabila   naskah   diterima   dengan   perbaikan,   maka   penulis   wajib  
merevisi  tulisannya  sesuai  dengan  hasil  review  maksimal  1  (satu)  bulan.  
15.  Sistematika   dan   format   penulisan   artikel   (Template   dapat   diunduh   melalui  
media sosial Himpsi).

 
 
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
 
 
JUDUL  
(Center)
[Maksimum 14 kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul sebaiknya ringkas dan
lugas menggambarkan isi tulisan. Kata pengaruh, hubungan, dan studi kasus sebaiknya tidak
digunakan sebagai judul. Lokasi penelitian dipaparkan di bagian metode, tidak disebut di judul]

Penulis1, Penulis2, Penulis3


[Tuliskan nama lengkap penulis tanpa gelar, instansi tempat penulis bekerja/ belajar, dan alamat
korespondesi (e-mail) penulis]
1,2
Institusi/afiliasi; alamat, telp/fax of institusi/afiliasi
e-mail: *1xxxx@xxxx.xxx, 2xxx@xxxx.xxx, 3xxx@xxxx.xxx
(Center, Garamond 12 spasi 1)
 
Abstrak  
Kata  Kunci  
 
 
Abstract  
Keywords  
 
Abstrak/abstract. Maksimal 150 kata, spasi 1. Abstrak harus jelas, deskriptif dan harus
memberikan gambaran singkat masalah yang diteliti. Abstrak meliputi alasan pemilihan topik
atau pentingnya topik penelitian, hipotesis/tujuan penelitian, metode penelitian (rancangan
penelitian, subjek, alat pengumpul data, dan cara analisis data), ringkasan hasil, dan implikasi hasil
penelitian.
Kata kunci: (dicetak miring, ditulis secara alfabetis) 3-5 kata
 
 
Pengantar  
(Memuat  latar  belakang  dan  rumusan  masalah/hipotesis)  
 
Uraikan tentang latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori, dan
diakhiri dengan hipotesis (untuk penelitian kuantitatif) atau pertanyaan penelitian (untuk
penelitian kualitatif. Jumlah halaman maksimal bagian pengantar 20% dari keseluruhan halaman
naskah. Bagian Pengantar berisi antara lain: (a) paparan perkembangan terkini bidang ilmu yang
diteliti yang argumentasinya didukung oleh hasil kajian pustaka primer dan mutakhir; (b) paparan
kesenjangan; (c) argumentasi peneliti dalam menutup kesenjangan tersebut sebagai janji
kontribusi penelitian bagi perkembangan ilmu; dan (d) paparan tujuan penelitian.
 

 
 
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
 
Metode  
 
Memuat rancangan penelitian, subjek/sampel, instrumen/teknik pengambilan data disertai
pertanggungjawaban mutu berupa validitas dan reliabilitas instrumen, dan rancangan analisis data
yang dilengkapi dengan informasi uji asumsi. Untuk penelitian kualitatif, ditambah dengan
pertanggungjawaban refleksivitas

 
 
Hasil  Penelitian  
 
Hasil penelitian merupakan pemaparan tentang hasil analisis dan pemaknaan dari hasil analisis
data. Untuk studi kuantitatif, selain hasil uji hipotesis, perlu juga mencantumkan statistik
deskriptif. Sementara itu untuk studi kualitatif selain mencantumkan hasil analisis data perlu
dilengkapi dengan kredibilitas data. Jumlah halaman maksimal adalah 20 % dari jumlah halaman
keseluruhan naskah.
 
Diskusi  
 
Penjelasan mengenai hasil penelitiaan, merupakan pemaknaan secara substansial terhadap hasil
analisis serta telaah kritis terhadap hasil penelitian-penelitian sebelumnya dan literatur terkini
yang relevan (jumlah halaman maksimal 30-40% dari keseluruhan halaman naskah). Berdasarkan
telaah kritis tersebut, peneliti memaparkan potensi kontribusi penelitiannya bagi pengembangan
ilmu atau aplikasi Psikologi.  
 
Kesimpulan  dan  Implikasi  
 
Kesimpulan berisi rumusan jawaban atas pertanyaan penelitian, keterbatasan penelitian,
kontribusi penelitian atau implikasi dari penelitian ini. dan saran bagi peneliti lain atau praktisi.

Saran

Saran sebaiknya dirumuskan secara kongrit, ringkas dan padat. Saran dirumuskan berdasarkan
hasil penelitian yang sudah diintegrasikan dengan kajian kritis terhadap literatur yang relevan,
konteks penelitian, dan penelitian-penelitian sebelumnya. Saran bisa ditujukan kepada peneliti
lain, praktisi, atau pengambil kebijakan.

 
 
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
 
Daftar  Acuan  
 
16.  Contoh  penyusunan  daftar  acuan  (Semua  sitasi  di  badan  naskah  harus  tercantum  di  
dalam  Daftar  Acuan  ini):  
   
Buku  (urut  abjad):    
 
Gibbs,  J.  T.,  &  Huang,  L.  N.  (Ed.).  (1991).  Children  of  color:  Psychological  interventions  with  minority  
youth.  San  Fransisco:  Jossey-­‐Bass.  
Mitchell,  T.  R.,  &  Larson,  J.  R.,  Jr.  (1987).  People  in  organizations:  An  introduction  to  organizational  
behavior  (ed.  ke-­‐3).  New  York:  McGraw-­‐Hill.  
 
Naskah  dalam  Buku  Suntingan  (urut  abjad):  
 
Beiser,   M.   (1985).   A   study   of   depression   among   traditional   Africans,   Urban   North   Americans,   and  
Southeast   Asian   Refugees.   Dalam   Kleinman,   A.   &   Good,   B.   (Eds.),   Culture   and   Depression  
(hh.272-­‐298).  London:  University  of  California  Press.  

 
Jurnal  tanpa  Digital  Object    Identifier  (doi)  (urut  abjad):  
 
Bjrok,   R.   A.   (1989).   Retrieval   inhibition   as   an   adaptive   mechanism   in   human   memory.   Dalam   H.   L.  
Roediger  III  &  F.  I.  M.  Craik  (Ed.),  Varieties  of  memory  &  consciousness  (hh.  309-­‐330).    
Kandel,  E.  R.,  &  Squire,  L.  R.  (2000,  10  November).  Neuroscience:  Breaking  down  scientific  barriers  to  
the  study  of  brain  and  mind.  Science,  290,  1113-­‐1120.  
Mellers,  B.  A.  (2000).  Choice  and  the  relative  pleasure  of  consequences.  Psychological  Bulletin,  126,  
910-­‐924.  
VandenBos,  G.,  Knapp,  S.,  &  Doe,  J.  (2001).  Role  of  reference  elements  in  the  selection  of  resources  
by  psychology  undergraduates.  Journal  of  Bibliographic  Research,  5,  117-­‐123.    
 
Jurnal  dengan  Digital  Object    Identifier  (doi)  (urut  abjad):  
 
Herbst-­‐Damm,  K.  L.,  &  Kulik,  J.  A.  (2005).  Volunteer  support,  marital  status,  and  the  survival  times  of  
terminally   ill   patients.   Health   Psychology,   24(1),   225-­‐229.   http://dx.doi.org/10.1037/0278-­‐
6133.24.2.225  
 
Naskah  dari  harian/mingguan/bulanan  (urut  abjad):  
 
a. Ada  penulis  
 
Yossihara,  A.  (2008,  17  Mei).  Banten  lama,  tak  sekadar  wisata  ziarah.  KOMPAS,  h.  27.  
 
 
b. Tidak  ada  penulis  

 
 
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
 
Sektor  industri  mulai  menggeliat.  (2008,  17  Mei).  KOMPAS,  h.  21.  
 
Naskah  dari  majalah  online  (urut  abjad):  

Clay,   R.   (2008,   June).   Science   vs.   ideology:   Psychologists   fight   back   about   the   misuse   of   research.  
Monitor  on  Psychology,  39(6).  Diunduh  dari:  http://www.apa.org/monitor/  tanggal  10  Agustus  
2012.  

Naskah  dari  Internet  (urut  abjad):  

Rinholm,   J.   (2001).   Classroom   behavior   strategies:   Helping   children   stay   on   task.   Diakses   pada  
tanggal  28  Maret  2001  dari  http://members.home.net/jrinholm/Tidbits/offtask.htm.  
 

Skripsi,  Tesis  atau  disertasi  yang  tidak  dipublikasikan  (urut  abjad):  

Wilfley,  D.  E.  (1989).  Interpersonal  analyses  of  bulimia:  Normal-­‐weight  obese.  Disertasi  doktor  yang  
tidak  diterbitkan,  University  of  Missouri,  Columbia.  
 
Naskah  dari  universitas  yang  tidak  dipublikasikan  (urut  abjad):  

Nuryati,   A.,   &   Indati,   A.   (1993).   Faktor-­‐faktor   yang   memengaruhi   prestasi   belajar.   Naskah   tidak  
dipublikasikan,  Fakultas  Psikologi,  Universitas  Airlangga,  Surabaya.  

Naskah  yang  disajikan  dalam  pertemuan  ilmiah(urut  abjad):  


 
Ruby,  J.,  &  Fulton,  C.  (1993,  Juni).  Beyond  redlining:  Editing  software  that  works.  Sesi  poster  disajikan  
dalam  pertemuan  tahunan  the  Society  for  Scholarly  Publishing,  Washington,  DC.  
Ryder,   A.   G.,   Yang,   J.,   Yao,   S.,   Zhu,   X.,   Yi,   J.,   &   Bagby,   R.   M.,     (2006,   July).   Depression   in   China   and  
Canada:   Does   alexithymia   modify   cross-­‐cultural   presentation   of   symptoms?.   Paper   disajikan  
dalam  konvensi  dua  tahunan  the  International  Association  for  Cross-­‐Cultural  Psychology  ke-­‐18,  
Spetses,  Yunani.    

 
Naskah  dalam  proses  publikasi      (urut  abjad):  
 
Zuckerman,  M.,  &  Kieffer,  S.  C.  (dalam  proses  penerbitan).  Race  differences  in  faceism:  Does  facial  
prominence  imply  dominance?  Journal  of  Personality  and  Social  Psychology.  
 

Sumber  dari  media  massa  (urut  abjad):  


 
Hillsdale,   NJ:   Erlbaum.Crystal,   L.   (Produser   Pelaksana).   (1993,   11   Oktober).   The   MacNeil/Lehrer   news  
hour  [Tayangan  televisi].  New  York  dan  Washington,  DC:  Public  Broadcasting  Service.  

 
 
JURNAL PSIKOLOGI INDONESIA
HIMPUNAN PSIKOLOGI INDONESIA
 
Scorsese,  M.  (Produser),  &  Lonergan,  K.  (Penulis/Sutradara).  (2000).  You  count  on  me  [Film].United  
States:  Paramount  Pictures.  
Shocked,  M.  (1992).  Over  the  waterfall.  Dalam  Arkansas  traveler  [CD].  New  York:  PolyGram  Music.    
Diunduh  13  Oktober  2001,  dari  http://jbr.org/articles.html      

 
 

Anda mungkin juga menyukai