DOSEN PENGAMPU:
NS. Ari Rahmat Aziz,S.Kep,M.Kep
DISUSUN OLEH :
Nadia Aufa (180101147)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatan kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan tugas Makalah ini dengan
sebaik-baiknya dan tepat waktu. Kelompok kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada
setiap dukungan yang telah mendorong kelompok untuk menyelesaikan tugas askep mental ini.
Kelompok kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan
serta pengetahuan pembaca mengenai “ penyakit mental, kecacatan, dan gelandangan atau
terlantar” kelompok kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kelompok kami berharap adanya
kritikan, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat, mengingat tidak
adanya sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun
ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar................................................................................................................................ii
Daftar isi.........................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan masalah................................................................................................................1
C. Tujuan..................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep teori........................................................................................................................3
b. Penyakit cacat/disabilitas.......................................................................................11
A. Kesimpulan........................................................................................................................20
B. Saran..................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang
atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope &
Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan
rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor
pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang
mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian
undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat
bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya
mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok
rentan.
Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan
hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat
kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi
kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
2. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
3. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
4. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat kelompok telantar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi
yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi
gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku,
atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan
dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau adanya (impairment/disability) di adalm satu
atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi
itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak
semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari
penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental
disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:
1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau
pola psikologik
2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan sebagai
bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan
oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli
ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural
dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000).
Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80),
yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat
psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis
yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit
atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri.
Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh
otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak
(extracerebral). (Maslim, tth:22).
2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan
segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun
orang lain (Maslim, tth:102).
8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan
sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9) Gangguan perkembangan psikologis.
b) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan
mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang
berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis,
yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya.
Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban
psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar
menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya
akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
2) Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang
mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan
ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip yang dimaksud
adalah:
Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri
maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan, serta
hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri,
keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang yang
menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia
yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat
atau ketidakmampuan.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri
dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas
fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan
karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena
karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-
haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki
defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan
IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks,
sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-
pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan
rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari,
penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri
dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas
fisik dan mental.
Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik
khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang
berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai
manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang
sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga
fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.
b. Jenis-jenis Disabilitas
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap
penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.
1) Disabilitas Mental.
Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan
intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap
tugas.
Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di
bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow
learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus.
Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh
Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Jadi,
populasi adalah kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu
(Budi Anna, 2012).
Penelantaran atau neglect merupakan hal yang sudah tidak asing, lansia atau anak yang
tidak diasuh dan dirawat sebagaimana mestinya oleh anak atau keluarganya serta
penelantaran lansia karena berbagai alasan dari keluarga sangat sering terjadi. Contoh nyata
yang dapat kita lihat adalah penelantaran lansia dapat kita lihat dengan penitipan lansia di
panti jompo tanpa pernah di jenguk lagi (Iman, 2014).
Populasi terlantar adalah seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal secara tetap
maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Populasi terlantar biasanya di golongkan ke
dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga (Efendi, 2010).
Masyarakat yang menjadi populasi terlantar bisa dari semua lapisan masyarakat seperti
orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah
tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka
menjadi populasi terlantar karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga
mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh
keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu
apapun penyebabnya, Populasi terlantar lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses
ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
8) Faktor Lingkungan
Menjadi Populasi terlantar gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-
ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari
uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya
untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan
lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.
9) Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat
yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus
meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya
untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia
untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan
membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis
sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta.
1) Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga Populasi terlantar agar tetap berada di
rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,
mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan
bantuan bagi Populasi terlantar yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu Populasi terlantar untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak
terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada Populasi terlantar.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi Populasi terlantar untuk membayar rumah
dan kebutuhan dasar.
2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system
pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga
dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak
yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi terlantar adalah mereka menjalani
medikasi dan regimen terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah
c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali,
dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di
jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan
raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta
ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas
sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.
Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi
para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka
takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis
(gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian
dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna
untuk menguatkan kembali spiritualitas para Populasi terlantar gelandangan dan
pengemis.
BAB III
TINJAUAN KEPERAWATAN
a. Core
Bagaimana status pekerjaan, jenis pekerjaan, jenis makanan yang dibeli, jumlah
pendapatan yang di terima, pemahaman bendapatan, pengeluaran perbulan.
e. Transportasi dan keamanan
Apakah alat transportasi yang digunakan, jarak antara pemukiman dan pelayanan
kesehatan, sarana transportasi yang tersedia
f. Politik dan pemerintahan
Bagaimana jenis informasi yang tersedia, sarana komunikasi yang di sediakan, media
komunikasi yang disebar
h. Pendidikan
Seberapa sering rekreasi populasi terlantar, kemana rekreasi dituju, banyaknya reaksi
yang dilakukan
- kontak mata
kurang
- menolak umpan
balik positif
- kegagalan hidup
berulang
- rasa malu meremehkan
kemampuan mengatasi
situasi
Defesiensi Ketiadaan atau - Ketidakakuratan - kurang informasi
pengetahua defesiensi mengikuti
n - kurang minat untuk
informasi perintah
belajar
kognitif yang - ketidakakuratan
- kurang sumber
berkaitan dengan melakukan tes
pengetahuan
topik tertentu - perilaku tidak
- keterangan
atau kemahiran tepat
- yang salah dari orang lain
- kurang pengetahuan
4 Hambatan Kurang atau - ketidaknyamanan dalam - kendala komunikasi
interaksi kelebihan situasi social
- gangguan konsep diri
sosial kuantitas, atau - ketidakpuasan dengan
- gangguan proses piker
tidak efektif hubungan social
- kendala lingkungan
kualitas - disfungsi interaksi
pertukaran - hambatan mobilitas fisik
dengan orang lain
sosialnya - kurang pengetahuan
- keluarga melaporkan
tentang bagaimana
perubahan dalam
meningkatkan mutualitas
berinteraksi gangguan
- kurang keterampilan
fungsi sosial
untuk meningkatkan
mutualitas
- ketidaksesuaiansosiokultural
3. Intervensi Keperawatan
B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat mengaplikasikan pada
kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC