Anda di halaman 1dari 32

KEPERAWATAN KOMUNITAS

“ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN:


PENYAKIT MENTAL, KECACATAN, dan POPULASI TERLANTAR”

DOSEN PENGAMPU:
NS. Ari Rahmat Aziz,S.Kep,M.Kep

DISUSUN OLEH :
Nadia Aufa (180101147)

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN AL-INSYRAH PEKANBARU


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatan kepada Tuhan yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan tugas Makalah ini dengan
sebaik-baiknya dan tepat waktu. Kelompok kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada
setiap dukungan yang telah mendorong kelompok untuk menyelesaikan tugas askep mental ini.

Kelompok kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah wawasan
serta pengetahuan pembaca mengenai “ penyakit mental, kecacatan, dan gelandangan atau
terlantar” kelompok kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kelompok kami berharap adanya
kritikan, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat, mengingat tidak
adanya sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun

Pekanbaru ,17 Mei 2021

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar................................................................................................................................ii

Daftar isi.........................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.....................................................................................................................1

B. Rumusan masalah................................................................................................................1

C. Tujuan..................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep teori........................................................................................................................3

a. Gangguan mental (mental disorder)........................................................................4

b. Penyakit cacat/disabilitas.......................................................................................11

c. Populasi terlantar ..................................................................................................14

d. Asuhan keperawatan pada agregat populasi Terlantar..........................................17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................................................20

B. Saran..................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang
atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope &
Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan
rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor
pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk
menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang
mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian
undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat
bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya
mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok
rentan.
Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan
hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat
kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi
kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi
masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?


2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
3. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?
4. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat populasi terlantar ?

C. Tujuan
1. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental
2. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan
3. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar
4. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat kelompok telantar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI

1. Gangguan Mental (Mental Disorder)

a. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder)

Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi
yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi
gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah:
“Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku,
atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan
dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau adanya (impairment/disability) di adalm satu
atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi
itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak
semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari
penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental
disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:

1) Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau
pola psikologik

2) Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.

3) Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan


sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup
(mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).

Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan sebagai
bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan
oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli
ekstern dan ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural
dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000).
Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80),
yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan kondisi lingkungan yang
mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat
psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis
yang gawat”.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah
ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun
phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya.

b. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder).

Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis merujuk


pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:

1) Gangguan mental organik dan simtomatik;

Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit
atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri.
Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh
otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak
(extracerebral). (Maslim, tth:22).
2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.

Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh


penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46).
Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya
tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan
pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).
4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).

Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan


(mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang
menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).
5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.

Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan
segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna
dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun
orang lain (Maslim, tth:102).
8) Retardasi mental

Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan
sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9) Gangguan perkembangan psikologis.

Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang


berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan
berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas.
Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan
bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap sampai
masa dewasa) (Maslim, tth:122).
10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.

Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.


Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan
sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan
yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136).

Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian


yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak.

Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-16),


mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki rentang yang
lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:

a) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari


perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.

b) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan
mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang
berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder)

Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi


timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah
faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis
merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang
mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:

1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.

2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis,
yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya.
Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara
yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban
psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.

3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan


modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri
terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit.
Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang
lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis.

d. Pencegahan Gangguan Mental

Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar
menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya
akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental.

1) Pengertian Pencegahan Gangguan Mental

Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya


mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan yang dapat
menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205). Sementara AF. Jaelani
(2000:87), berpendapat bahwa pencegahan mempunyai pengertian sebagai metode
yang digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna
meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian
pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan
orang lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental
sesuai dengan kemampuannya.

2) Upaya pencegahan

Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang
mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan
ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip yang dimaksud
adalah:

a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri

Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri
maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan, serta
hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri,
keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83).

b) Keterpaduan atau integrasi diri

Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan


pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi
(stres) (Yahya, 1993:84).

c) Pewujudan diri (aktualisasi diri)

Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan


mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri-
sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar
terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin mengaktualisasikan diri dan
memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan
demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi untuk
menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya pasrah pada kemampuan
dasar manusia seperti menggembangkan bakat dan sebagainya.

d) Kemampuan menerima orang lain

Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat


tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab timbulnya gangguan mental,
juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan mental.
Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan
dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan kata
lain disebtkan bahwa mereka yang tidak mempunyai ikatan status di masyarakat dan
mereka yang tidak mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah
mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya
manusia sedapat mungkin menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial
dalam masyarakat, dan lain sebagainya.

e) Agama dan falsafah hidup.


Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan
terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap
kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi
kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang
telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan
terwujud kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud
dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan
ketentuannya. Dengan demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan
dapat menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).

2. Penyandang Cacat / Disabilitas

a. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang yang
menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia
yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat
atau ketidakmampuan.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri
dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas
fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan
karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena
karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-
haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki
defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan
IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks,
sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-
pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan
rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari,
penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri
dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas
fisik dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik
khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang
berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai
manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang
sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga
fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.

b. Jenis-jenis Disabilitas

Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap
penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan
bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.

Jenis-jenis penyandang disabilitas 5 :

1) Disabilitas Mental.
 Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan
intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap
tugas.
 Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di
bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow
learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan
anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak
berkebutuhan khusus.
 Berkesulitan Belajar Spesifik
Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh

2) Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7:


 Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

 Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)


Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra
dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
 Kelainan Pendengaran (Tunarungu)
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik
permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran
individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara.
 Kelainan Bicara (Tunawicara)
Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui
bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan
bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat
fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang
memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya
gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
 Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat
fisik dan mental)
3. Populasi Terlantar

a. Defenisi Populasi Telantar

Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Jadi,
populasi adalah kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu
(Budi Anna, 2012).

Penelantaran atau neglect merupakan hal yang sudah tidak asing, lansia atau anak yang
tidak diasuh dan dirawat sebagaimana mestinya oleh anak atau keluarganya serta
penelantaran lansia karena berbagai alasan dari keluarga sangat sering terjadi. Contoh nyata
yang dapat kita lihat adalah penelantaran lansia dapat kita lihat dengan penitipan lansia di
panti jompo tanpa pernah di jenguk lagi (Iman, 2014).

Populasi terlantar adalah seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal secara tetap
maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Populasi terlantar biasanya di golongkan ke
dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga (Efendi, 2010).

Masyarakat yang menjadi populasi terlantar bisa dari semua lapisan masyarakat seperti
orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah
tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka
menjadi populasi terlantar karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga
mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh
keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu
apapun penyebabnya, Populasi terlantar lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses
ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.

b. Faktor Penyebab Munculnya Populasi Terlantar


Menurut Kolle (Riskawati dan Syani, 2012), faktor penyebab munculnya populasi terlantar
yaitu :
1) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya Populasi
terlantar, gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang
menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan
mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak
menentu berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi
tunawisma untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi
risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang
menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung.
2) Rendah Tingginya Pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang.
Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan
pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya.
Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga
menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
3) Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang
lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak
dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang perhatian, kenyamanan
dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan, belas kasih dan
ketenangan dari orang lain.
4) Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang
lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi
kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan
hidup.
5) Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan.
Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat
bertahan hidup. Kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya
seperti kesehatan.
6) Rendahnya Keterampilan
Keterampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang dapat
memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui
pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang
menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki.
Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk
bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7) Masalah Sosial Budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi Populasi
terlantar, gelandangan dan pengemis. Antara lain:
 Rendahnya harga diri
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak
memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah sesuatu
yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang
berusia produktif.
 Sikap pasrah pada nasib
Mereka menganggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai gelandangan
dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakuan perubahan.
 Kebebasan dan kesenangan hidup sebagai Populasi terlantar

8) Faktor Lingkungan

Menjadi Populasi terlantar gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-
ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari
uang untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya
untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan
lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.

9) Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat
yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus
meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya
untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam sedia
untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan
membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis
sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta.

10) Lemahnya penanganan masalah gelandangan dan pengemis

Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pemerintah


hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia,
rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Pada
kenyataannnnya, penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu
saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses
penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti sosial untuk
mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial
sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak
bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi.
hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi
gelandangan dan pengemis.

c. Level Pencegahan Populasi Terlantar


Menurut (Budiarto, 2013), level pencegahan populasi terlantar yaitu :

1) Pencegahan Primer

Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga Populasi terlantar agar tetap berada di
rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a) Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,
mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan
bantuan bagi Populasi terlantar yang membutuhkan.
b) Bantuan hukum
Membantu Populasi terlantar untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak
terjadinya pengusiran.
c) Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada Populasi terlantar.
d) Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi Populasi terlantar untuk membayar rumah
dan kebutuhan dasar.

2) Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system
pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga
dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak
yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :
a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi terlantar adalah mereka menjalani
medikasi dan regimen terapi.
b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah

c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan


agar Populasi terlantar tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di
tempat penampungan tersebut.
d) Memberikan vitamin kepada Populasi terlantar untuk mengompensasi defisit
nutrisi
e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para Populasi terlantar selalu melakukan
usaha terbaik untuk mengikuti program terapi
f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para Populasi terlantar agar
tetap mendapatkan pelayanan kesehatan
3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)
Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Langkah pencegahan tersier pada Populasi terlantar antara lain:
a) Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada
para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan
rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada
dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan
jauh di dalam dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar,
hanya saja belum memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan
potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis
(gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada
yang memasang muka memelas ada juga yang dengan santainya mengikuti semua
proses dalam therapy ini, dalam therapy individu dilakukan pengecekan terhadap
semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b) Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih dahulu
para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan
kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian
kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya
kesehatan badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok
gigi dan memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang
sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu
masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang
diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan
mereka.

c) Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali,
dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di
jalan raya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan
raya, karena keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta
ketertiban lalu lintas. Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas
sosial mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.
Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi
para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka
takut berhadapan dengan polisi, karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis
(gepeng) dijalanan sangat berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian
dipenjarakan.
d) Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna
untuk menguatkan kembali spiritualitas para Populasi terlantar gelandangan dan
pengemis.
BAB III
TINJAUAN KEPERAWATAN

FOKUS PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA AGREGAT


POPULASI TERLANTAR
1. Pengkajian

a. Core

Jumlah populasi terlantar, riwayat perkembangan populasi terlantar, kebiasaan,


perilaku yang ditampilkan, nilai keyakinan dan agama.
b. Lingkungan Fisik

Kebersihan lingkungan pemukiman, aktivitas tunawisma yang dilakukan diluar


rumah, kesadaran dan bentuk kegiatan tuna wisma di luar rumah, keberadaan dan
bentuk kegiatan di luar rumah, kondisi tempat tinngal, batas wilayah, makanan,
pasokan air bersih, air kotor, penyimpanan makanan, gizi buruk, kebersihan personal
hygiene.
c. Pelayanan kesehatan dan social

Bagaimana jenis pelayanan kesehatan, akses layanan kesehatan, biaya dalam


pelayanan kesehatan, jumlah polulasi terlantar yang memiliki jaminan kesehatan,
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, posyandu, antusias masyarakat akan
pelayanan kesehatan, pemanfaatan jaminan kesehatan
d. Ekonomi

Bagaimana status pekerjaan, jenis pekerjaan, jenis makanan yang dibeli, jumlah
pendapatan yang di terima, pemahaman bendapatan, pengeluaran perbulan.
e. Transportasi dan keamanan

Apakah alat transportasi yang digunakan, jarak antara pemukiman dan pelayanan
kesehatan, sarana transportasi yang tersedia
f. Politik dan pemerintahan

Bagaimana peran serta politik dalam bidang kesehatan, organisasi di wilayah


setempat yang peduli terhadap kesehatan
g. Komunikasi

Bagaimana jenis informasi yang tersedia, sarana komunikasi yang di sediakan, media
komunikasi yang disebar
h. Pendidikan

Sarana pendidikan yang tersedia, pendidikan yang dimiliki masyarakat, pendidikan


terkait kesehatan
i. Rekreasi

Seberapa sering rekreasi populasi terlantar, kemana rekreasi dituju, banyaknya reaksi
yang dilakukan

2. Diagnosa Keperawatan Kemungkinan Muncul

No Diagnosa Defenisi Batasan Karakteristik Etiologi


1 Defisit Ketidakmampuan - Ketidakmampuan - Ansietas
perawatan melakukan mengakses kamar
- Penurunan motivasi
diri: mandi pembersihan diri mandi
- Kendala lingkungan
saksama secara - Ketidakmampuan
- Nyeri
mandiri menjangkau sumber
air - Kelemahan
- Ketidakmampuan
mengeringkan tubuh
- Ketidakmampuan
mengambil
perlengkapan mandi
- Ketidakmampuan
mengatur air mandi
- Ketidakmampuan
membasuh tubuh
Harga diri Evaluasi - Bergantung pada - Ketidaksesuain budaya
Rendah diri/perasaan pendapat orang lain
- kurang kasih saying
Kronik negative tentang - melebih-lebihkan - kurang rasa memiliki
diri sendiri atau umpan balik negative - kurang keanggotaan dalam
kemampuan diri tentang diri sendiri kelompok
yang berlangsung - secara berlebihan - kurang respek dari orang
minimal tiga mencari penguatan tua
bulan - rasa bersalah - koping terhadap
kehilangan tidak efektif
- enggan mencoba hal
- merasa persetujuan orang
baru
lain tidak cukup
- perilaku bimbang
- ketidaksesuaian spiritual
- perilaku tidak
asertif
- sering kali
mencari penegasan
- pasif

- kontak mata
kurang
- menolak umpan
balik positif
- kegagalan hidup
berulang
- rasa malu meremehkan
kemampuan mengatasi
situasi
Defesiensi Ketiadaan atau - Ketidakakuratan - kurang informasi
pengetahua defesiensi mengikuti
n - kurang minat untuk
informasi perintah
belajar
kognitif yang - ketidakakuratan
- kurang sumber
berkaitan dengan melakukan tes
pengetahuan
topik tertentu - perilaku tidak
- keterangan
atau kemahiran tepat
- yang salah dari orang lain
- kurang pengetahuan
4 Hambatan Kurang atau - ketidaknyamanan dalam - kendala komunikasi
interaksi kelebihan situasi social
- gangguan konsep diri
sosial kuantitas, atau - ketidakpuasan dengan
- gangguan proses piker
tidak efektif hubungan social
- kendala lingkungan
kualitas - disfungsi interaksi
pertukaran - hambatan mobilitas fisik
dengan orang lain
sosialnya - kurang pengetahuan
- keluarga melaporkan
tentang bagaimana
perubahan dalam
meningkatkan mutualitas
berinteraksi gangguan
- kurang keterampilan
fungsi sosial
untuk meningkatkan
mutualitas
- ketidaksesuaiansosiokultural

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa keperawatan Kriteria hasil Intervensi


`1. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan Manajemen Perilaku :
keperawatan selama 1 x 24 Overaktivitas / kurang
jam diharapkan masalah Perhatian (4352)
keperawatan Hambatan 1. Berikan lingkungan
Interaksi Sosial dapat yang aman
diteratasi dengan kriteria hasil 2. Gunakan pendekatan
: tenang dan sesuai fakta
4. Ketrampilan 3. Pertimbangan perilaku
Interaksi dan konsekuensi yang
 Menggunakan diharapkan yang akan
pembukaan/dis mampu memberikan
closure secara tepat klien kemampuan
 Menunjukkan mengontrol diri sesuai
penerimaan dengan tingkat kognisi
 Bekerjasama dan kapasitas klien
dengan orang Lain 4. Hindari argumentasi atau
 Menunjukkan tawar menawar mengenai
perhatian batasan yang sudah
 Menunjukan disepakati
ketulusan 5. Monitor asupan cairan

 Menunjukan dan nutrisi

kehangatan 6. Bantu klien libatkan

 Menunjukkan sikap orang lain

yang Tenang 7. Fasilitasi koping

 Tampak santai keluarga melalui


dukungan keompok,
 Terlihat dengan
orang Lain
 Menunjukan
kepercayaan
5. Keterlibatan Sosial
 Berinteraksi dengan teman
dekat
 Berinteraksi dengan
tetangga
 Berinteraksi dengan
anggota keluarga
 Berinterkasi dengan
anggota kelompok kerja
 Berpartisipasi dalam
aktivitas yang terorganisir
 Berpartisipasi dalam
aktivitas waktu luang
dengan orang lain
2. Harga diri rendah kronik Setelah dilakukan tindakan Konseling
keperawatan selama 1 x 24 1. Bangun hubungan
jam diharapkan masalah terapeutikyang didasarkan
keperawatan Defisiensi pada [rasa] saling percaya
Pengetahuan dapat diteratasi dan saling menghormati
dengan kriteria hasil : 2. Tunjukkan empati,
1. Perilaku Patuh kehangatan, dan
 Menanyakan pertanyaan ketulusan
terkait kesehatan 3. Tetapkan lama hubungan
 Mencari infromasi konseling
kesehatan dari 4. Tetapkan tujuan-tujuan
berbagai macam 5. Sediakan informasi faktual
sumber yang tepat dan sesuai
 Mengevaluas dengan kebutuhan
keakuratan dan 6. Dukung pengembangan
Informasi kesehatan ketrampilan baru dengan
yang Diperoleh tepat
 Menggunakan
Informasi kesehatan
yang dipercaya untuk
mengembangkan
strategi
 Mempertimbangkan
risiko/keuntungan
dari perilaku sehat

Defesiansi pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Peningkatan Koping


keperawatan selama 1 x 24 1. Bantu klien dalam
jam diharapkan masalah mengidentifikasi tujuan
keperawatan Harga Diri jangka pendek dan jangka
Rendah Situasional dapat panjang yang tepat
diteratasi dengan kriteria 2. Bantu klien
hasil : menyelesaikan masalah
dengan cara yang
Harga Diri konstruktif
 Verbalisasi penerimaan 3. Berikan penilaian
diri mengenai dampak dari
 Penerimaan terhadap situasi kehidupan
keterbatasan diri pasien terhadap peran dan
 Mempertahankankonta hubungan
k mata 4. Gunakan pendekatan

 Gambaran diri yang tenang dan

 Menghargai orang lain memberikan jaminan


5. Bantu klien untuk
 Komunikasi Terbuka
mengklarifikasi
 Mempertahankan
kesalahpahaman
penampilan dan
6. Dukung klien untuk
kebersihan Diri
mengevaluasi
 Keseimbangan dalam
perilakunya sendiri
berpartisipasi dan
mendengarkan dalam
Kelompok
 Tingkat kepercayaa diri
 Perasaan tentang nilai
Diri

4. Hambatan Setelah dilakukan tindakan Berpakaian


interaksi sosial keperawatan selama 1 x 24 1. Monitor kemampuan
jam diharapkan masalah klien untuk berpakaian
keperawatan Defisit sendiri
Perawatan Diri : Berpakaian 2. Pakaikan pakaian
dapat diteratasi dengan pribadi
kriteria hasil : 3. Ganti pakaian klien pada
Perwatan Diri : Berpakaian saat waktu tidur
 Memilih pakaian 4. Tawari untuk mencuci
 Mengambil pakaian pakaian
5. Dukung penggunaan
perawatan diri yang tepat
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam
Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain
genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome
negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau
rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang relatif
atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia
memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan,
tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya
mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan
kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di
negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan- kepentingan
mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang
diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga
membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga
mempunyai dampak bagi masyarakat.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk dapat mengaplikasikan pada
kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC

Budi Anna Kelliat. 2012. Proses Keperawatan Komunitas. Jakarta: EGC


Bulechek, etc. 2016. Nursing Intervention Classifiation (NIC). Jakarta: Elsevier.
Efendi, Ferry Uddan Makhfudi. 2010. Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Moorhead,sue etc. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier.
Mary A. Nies, Melaine McEwen.Keperawatan kesehatan komunitas dan
keluarga.2019.Elsevier.Singapore
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi.
Jakarta : Salemba Medika
Nur Arif dan Kusuma.2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarakan Nanda NIC-NOC.
Edisi Revisi. Jilid 1 dan 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC:Jakarta
Riyadi. Sugeng (2007), Keperawatan Kesehatan Masyarakat, retieved may 12nd.
Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. Bedah Brunner dan Suddarth.
Jakarta : EGC
R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta: Nuha Medika
Vaughan, 2000, General Oftamology, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai