Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

AGREGAT KOMUNITAS
POPULASI RENTAN
KOMUNITAS II S1 KEP
Definisi
 Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004)
 Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki
peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan Kesehatan
 Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang
lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam
Kelompok Rentan adalah:
a.    Refugees (pengungsi)
b.    Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c.    National Minoritie (kelompok minoritas)
d.   Migrant Workers (pekerja migran )
e.    Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)
f.     Children (anak)
g. Women (wanita)
 Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya.
Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik,
Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental.
Gangguan Mental (Mental Disorder)
 Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental
disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ
(Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa).
 Definisi gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada
DSM-III adalah: “Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah
sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup
bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau
hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia.
 Dapat disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku,
psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam
hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim)
Di dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut :

1)   Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom
atau pola psikologik

2)   Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa
nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.

3)   Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas


kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan
kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).
 Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat
didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi
mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme
adaptasi dari fungsi - fungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan
ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau
struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental
(Kartono, 2000)
Sutardjo A. Wiramihardja (2004), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat.

Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang


tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak.
2. Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku
abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.

3. Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental, namun
penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak
atau disorganisasi kepribadian yang berat.

4. Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan gangguan
yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun
sering digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan.

.
5. Ganguan perilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk
gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari
kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola
penanggulangan masalah yang maladaptif.

6. Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa


individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalahma-
salahnya atau melihat konsekuensi - konsekuensi dari tindakannya. Istilah
ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama penggunaan
istilah yang bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang
melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya
Gangguan Mental (Mental Disorder)
 Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya
gangguan mental (mental disorder) ke dalam tiga faktor, yaitu:
a) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.

b) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis,
yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasukan dari pengalaman-
pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya.
Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui
kesanggupan memikul beban tersebut.
c) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha
pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industrialisasi
menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi
sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-
perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak
orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan
orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis.
Pencegahan Gangguan Mental

 Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental


yang sakit agar menjadi sehat mental dan menjaga mental yang sehat agar
tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu
tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
a)   Pengertian Pencegahan Gangguan Mental

Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya


mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan yang dapat
menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205). Sementara AF.
Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan mempunyai pengertian sebagai
metode yang digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain
guna meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan
demikian pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu terhadap
diri dan orang lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan
mental sesuai dengan kemampuannya.
b)   Upaya pencegahan
Pada dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip
kesehatan mental. Prinsip - prinsip yang dimaksud adalah:
1. Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri
Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri
sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam
lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh
dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada
diri-sendiri (Yahya, 1993)
2. Keterpaduan atau integrasi diri
Adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri,
kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi
ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993).
3. Pewujudan diri (aktualisasi diri)
Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai
kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan
sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan
semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar dari gangguan mental,
maka sedapat mungkin mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan
dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986).
4. Kemampuan menerima orang lain.

Mereka yang tidak mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka


yang tidak mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah
mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999). Sebagai upaya
pencegahannya manusia sedapat mungkin menghindarinya, yaitu dengan
melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
5. Agama dan falsafah hidup.
Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan
terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah
(preventif) terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor
pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975). Dengan
keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan
serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan
mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari
kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai
dengan ketentuannya. Dengan demikian apabila seseorang memiliki
falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah
(Fahmi, 1982).
6. Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan
mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah orang yang
mampu mengendalikan keinginannya dan mampu menunda sebagian dari
pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatan -
kelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang
lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982). Manfaat lain dari
pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku.
Penyandang Cacat / Disabilitas

 Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan


karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada
umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan
pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia
yang hidup di muka bumi ini.
 Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas,
mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ
(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat
kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.
Jenis-jenis penyandang disabilitas:
1)   Disabilitas Mental.
Kelainan mental ini terdiri dari:
a) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain
memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan
tanggungjawab terhadap tugas.
b) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ
(Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak
lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient)
antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70
dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar. Spesifik Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar
(achievment) yang diperoleh
2)   Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu:

a) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau
akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

b) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra


dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low
vision.
c) Kelainan Pendengaran (Tunarungu)

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik


permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran
individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara.

d) Kelainan Bicara (Tunawicara)

Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui


bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan
bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan
organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan
bicara.
Tunawisma/ Gelandangan

 Definisi Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat
tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.
 Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki
keluarga. Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti
orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah
tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan.
 Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan
pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau
cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah
kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma
a) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya
gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa
seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang
layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan
seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya
dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding
terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma
untuk tetap bertahan hidup. Selain itu anak dari keluarga miskin
menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena
kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang
terlindung.
b) Rendah tingginya pendidikan

Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang.


Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan
pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan
hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis relatif rendah
sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
c) Keluarga

Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan


yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak
harmonis atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa
kurang perhatian, kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung
mencari kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.

d) Umur

Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat
seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit
untuk memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif
terakhir mereka untuk bertahan hidup.
e) Cacat Fisik

Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan.
Kebanyakan seseorang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat
bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 ) kondisi kesejahteraan
seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan.

f)  Rendahnya ketrampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan, dengan ketrampilan seseorang dapat
memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui
pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang
menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimiliki.
Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk
bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja
g)  Masalah sosial budaya

Ada beberapa faktor sosial budaya yang mengakibatkan seseorang menjadi gelandangan dan
pengemis. Antara lain:

1. Rendahnya harga diri. Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan
mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah
sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma yang
berusia produktif.

2. Sikap pasrah pada nasib. Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka
sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk
melakuan perubahan.

3. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.


h)  Faktor Lingkungan Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan
oleh faktor lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan
ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai
pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu
suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk
melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang
didapatkan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
i)  Letak Geografis

Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat


masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat
masyarakat harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain.
Akan tetapi, keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan.
Tidak adanya potensi yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut
semakin masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan.
Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya
sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta
j) Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan
oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang
telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial,
kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Penanganan ini
tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat
mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis.
Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan
pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi.
hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan yang
sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.

Anda mungkin juga menyukai