Anda di halaman 1dari 22

KEGIATAN BELAJAR 1

Keuangan dan Perbankan


A. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KEBIJAKAN PERBANKAN
Pada akhir pemerintahan Orde Lama (tahun 1959-1965) dikeluarkannya kebijakan yang
berdampak terhadap kinerja perbankan sampai awal tahun 1960-an, yaitu dikeluarkannya
peraturan pemerintah dalam pengendalian moneter tanggal 24 Agustus 1959 yang isinya:
1. Adanya kebijakan pemotongan nilai uang kertas atau sanering.Kebijakan ini memotong
uang Rp500,00 dan Rp1000,00 menjadi tinggal sepersepuluhnya (10 persennya).
2. Pembekuan simpanan di bank-bank sebesar 90 persen untuk jumlah simpanan di atas
Rp25.000,00. 3.
3. Penghapusan sistem bukti ekspor menjadi pungutan ekspor dan pungutan impor.
Kebijakan tersebut merugikan banyak bank dan masyarakat yang menyimpan uangnya
di bank. Sebagai contoh kasus yang dialami oleh Bank Rakyat Indonesia yang menderita
kerugian sebesar Rp230 juta akibat penurunan nilai uang.
Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pusat Nomor 41 tentang
pembentukan Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). BKTN merupakan penggabungan dari
tiga bank antara lain BRI, Bank Tani dan Nelayan, serta Nederlandsche Handels Maatschappij
(NHM). Pembentukan bank ini untuk mendukung revolusi agraria yang dicetuskan tanggal 24
September 1960. Tugas BKTN adalah menyediakan kredit bagi petani dan nelayan yang
disertai dengan pendidikan, pelatihan, bimbingan dan pengawasan (supervised credit). Pada
tahun 1965 terjadi perubahan pada bank-bank milik pemerintah Peraturan Presiden No. 8 tahun
1965 memutuskan untuk mengintegrasikan BTN ke dalam Bank Indonesia. Sementara Penpres
No. 9 tahun 1965 mengintegrasikan BKTN ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank
Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelayan (BIUKTN).
Masa represi keuangan terjadi antara periode tahun 1966-1983, yakni pada saat
peralihan dari masa Orde Lama ke Orde Baru. Kebijakan represi keuangan pemerintah Orde
Baru meliputi program stabilisasi dan rehabilitasi. sedangkan dalam jangka panjang diarahkan
dalam bentuk program pembangunan. Untuk menunjang program tersebut, pada tanggal 3
Oktober 1966 pemerintah mengeluarkan peraturan yang berisi antara lain:
1. Peninjauan kembali kredit perbankan dengan memberikan batasan dalam jumlah kredit,
agunan, dan tingkat suku bunga.
2. Diberlakukan prinsip anggaran pendapatan dan belanja negara berimbang sebagai
salah satu upaya pengendalian inflasi.
3. Adanya kebijakan debirokratisasi yang ditujukan untuk mengurangi intervensi
pemerintah dalam perekonomian agar tercipta sistem ekonomi yang demokratis.
4. Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang bertujuan memberikan porsi yang
lebih besar bagi eksportir dan mengurangi intervensi pemerintah dalam tata niaga
ekspor dengan sistem insentif ekspor.
5. Kebijakan penundaan pembayaran utang luar negeri dan penarikan utang-utang luar
negeri baru yang tujuannya untuk mengurangi tekanan neraca pembayaran.
Setelah periode tersebut mulailah terjadi perubahan sistem perbankan di antaranya
melalui pembentukan BRI unit desa dan kredit program (subsidized credit). Dalam penyaluran
kredit program Bimbingan Massal (BIMAS), BRI menjadi bank pelaksana yang ditunjuk oleh
pemerintah. Salah satu tugas dari bank pelaksana program ini adalah menyediakan kebutuhan
dana bagi pembiayaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, dan pestisida. Koperasi juga
berperan dalam program BIMAS melalui pembentukan Badan Usaha Unit Desa (BUUD).
Permasalahan yang terjadi pada program BIMAS adalah tingkat pengembalian kredit
yang cenderung menurun. Sebelum tahun 1973, jumlah kredit macet hanya sekitar 5 persen,
sepuluh tahun kemudian naik menjadi sebesar 35 persen. Kredit macet tersebut sepenuhnya
ditanggung oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Tabel 3.1. menunjukkan besarnya
tunggakan debitor terhadap bank dari tahun 1971-1984.

Tabel 3.1.

Kredit Macet di BRI tahun 1971-1984

Tahun Tunggakan Jumlah (ribuan Tunggakan %


rupiah)

1971 40.412 5,61

1972 147.185 5,75

1973 316.840 6,42

1974 1.301.147 10,38

1975 2.429.445 14,12

1976 3.331.956 14,85

1977 3.970.724 22,65

1978 3.578.834 20,17

1979 1.962.683 15,13

1980 2.500.526 17,59

1981 3.760.876 24,14

1982 4.352.019 33,93

1983 3.408.632 36,20

1984 430.028 26,93


Dengan kondisi ini maka bank pelaksana akan kurang terpacu untuk bekerja keras
dalam program BIMAS yang dicanangkan pemerintah padahal kredit ini bersumber dari Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Kebijakan pemerintah saat itu untuk jangka panjang mungkin
kurang tepat, sehingga perlu diadakan perubahan yang mendasar. Beberapa indikator
ketidakberhasilan program BIMAS ini dipengaruhi berbagai faktor antara lain:
1. Pencapaian target dengan luas areal sawah yang ditetapkan. Penyaluran kredit hanya
rata rata 61 persen dari total luas areal sawah yang ditetapkan selama program BIMAS.
2. Realisasi kredit yang disalurkan rata-rata hanya 44 persen dari target.
3. Rata-rata besarnya pembayaran kembali kredit BIMAS selama 15 tahun hanya
mencapai Rp531,8 miliar dari target Rp1,446 triliun atau 36,8 persennya saja.

B. DEREGULASI PERBANKAN
Pada periode sebelum krisis yakni tahun 1983 sampai 1997 terdapat beberapa
kebijakan perbankan yang berpengaruh luas terhadap perekonomian. Paket kebijakan yang
pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1903 (Pakjun'83) dan yang kedua adalah Paket
Kebijakan Oktober 1988 (Pakto'88). Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk mendorong
ekspor non-migas sebagai antisipasi atas merosotnya penerimaan devisa dari minyak.
Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menerapkan prinsip prinsip
manajemen yang berorientasi pada pasar. Bentuk-bentuk subsidi bunga dibatasi dan hanya
diberikan untuk skala prioritas tertentu, sedangkan penentuan suku bunga kredit non prioritas
diserahkan pada pasar. Isi Paket Kebijakan Juni 1983 adalah:
1. Penghapusan pagu kredit sehingga perbankan dapat memberikan kredit secara lebih
fleksibel sesuai dengan kemampuan.
2. Bank diberi kebebasan dalam menentukan suku bunga, baik deposito,tabungan maupun
kredit dalam meningkatkan mobilisasi dana dari dan kepada masyarakat.
3. Pengaturan volume kredit likuiditas dapat mengurangi ketergantungan bank-bank
kepada bank sentral dengan memperkenalkan alat kebijakan moneter berupa Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan fasilitas diskonto.

Dengan kebijakan tersebut, pada bulan Mei 1983 tingkat suku bunga deposito jangka
waktu 6 bulan untuk bank-bank milik pemerintah dibebaskan. Pada bulan Juni 1983
pengendalian atas suku bunga dihilangkan.
Sementara itu paket kebijakan yang kedua (Pakto'88) dilakukan untuk: pertama
meningkatkan pengerahan dana masyarakat, kedua memperluas jangkauan layanan bagi
masyarakat terutama pelaku ekspor, ketiga mendorong tercapainya efisiensi dan
profesionalisme dalam pengelolaan bank dengan kompetisi yang sehat.

Isi Paket Kebijakan Oktober 1988 adalah:


1. Pembukaan pasar bagi industri perbankan nasional dengan cara memberi kemudahan
perijinan bagi bank devisa dan kemudahan untuk membuka kantor cabang.
2. Penetapan pajak atas bunga deposito sebesar 15 persen, sama halnya dengan pajak
keuntungan dari sekuritas dan obligasi.
3. Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 15 persen utang lancar menjadi 2 persen
dari DPK (Dana Pihak Ketiga).
4. Penentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan batasan sampai dengan
20 persen dari total modal kepada peminjam tunggal atau 50 persen kepada peminjam
grup.
5. Penempatan dana BUMN di bank-bank pemerintah sampai 50 persen dan 20 persen
pada setiap bank lainnya.
6. Diperbolehkannya bank-bank untuk melakukan diferensiasi produk DPK baik dalam
tabungan maupun deposito.
7. Adanya kelonggaran persyaratan untuk memperoleh ijin perdagangan valuta asing

Dengan demikian cakupan paket deregulasi ini tidak terbatas pada sektor perbankan
saja, akan tetapi juga pada sektor keuangan pada umumnya seperti perusahaan asuransi dan
pasar modal. Dengan kebijakan ini pula pendirian dan perluasan cabang sangat mudah,
sehingga saat itu berdiri ratusan bank baru di Indonesia, bahkan oleh pengusaha besar yang
tidak menguasai dunia perbankan sekalipun. Bank-bank didirikan hanya untuk memudahkan
pembiayaan perusahaan mereka sendiri..
Sebelum krisis ekonomi dan finansial melanda Indonesia, perbankan Indonesia
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya
jumlah bank di wilayah Indonesia. Akan tetapi perkembangan ini diikuti dengan pertumbuhan
tingkat suku bunga riil yang negatif. Hal itu karena tingkat bunga nominal yang dikoreksi dengan
inflasi. Peristiwa booming minyak merupakan salah satu sebab kebijakan moneter yang diambil
oleh pemerintah berfungsi ganda yakni sebagai alat untuk pengendalian tekanan inflasi dan
juga sebagai alat mempengaruhi alokasi dana.
Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada tahun 1974 dan 1983 mendorong
diterapkannya plafon kredit bagi setiap bank, tingkat reserve requirement yang tinggi, dan kredit
yang selektif. Kebijakan tersebut menyebabkan lembaga keuangan menjadi terfokus pada
bank-bank milik pemerintah yang bertugas melayani BUMN.

Peran bank pemerintah mulai mengalami penurunan dari tahun 1984 sampai dengan
tahun 1992, walaupun masih mendominasi jumlah pemberian kredit yaitu dari 75,6 persen
tahun 1984 dan mulai menurun pada tahun 1992 menjadi hanya 55,8 persen. Penurunan
persentase peranan bank pemerintah memberikan peluang bagi swasta untuk berkembang,
mengingat pangsa pasar perbankan Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk yang
banyak.

C. PERBANKAN PADA PERIODE KRISIS MONETER 1997/1998


Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari krisis moneter yang
melanda Asia pada tahun 1997. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya
pada tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai pilihan
kebijakan (policy response) yang diambil Pemerintah pada waktu itu. Penyaluran Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan pilihan kebijakan yang paling banyak disorot
karena menyangkut aliran dana yang sangat besar dan sangat berpengaruh bagi pengelolaan
keuangan negara pasca krisis.
Krisis moneter tersebut berdampak luas dan lama terhadap perekonomian dan
khususnya perbankan di Indonesia. Sebenarnya sejak digulirkannya Pakto'88 sudah dapat
terindikasi lemahnya perbankan Indonesia. Ciri-ciri yang memperkuat indikasi tersebut antara
lain: pertama, rendahnya rasio modal terhadap aktiva produktif, kedua rendahnya persyaratan
modal minimum untuk mendirikan suatu bank di Indonesia (merupakan yang terendah di Asia
saat itu), dan faktor ketiga adalah tingginya jumlah kredit yang bermasalah.
Banyaknya jumlah bank sejak kebijakan Pakto'88 menyebabkan terjadinya persaingan antar
bank yang lebih tinggi. Dengan demikian bank cenderung melakukan ekspansi kredit yang
berisiko tinggi. Padahal saat itu analisis allalisis kredit dan penanggulangan resiko belum begitu
dipahami. Di bank Janin swasta banyak kredit yang tersedot hanya kepada beberapa kelompok
usaha saja atau individu yang terkait dengan pihak bank. Di bank milik Pemerintah terjadi
campur tangan berlebihan sehingga sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang oleh
oknum pejabat.
Kredit macet yang terjadi pada tahun 1997 mencapai 7,7 persen atau sebesar Rp. 10,2
triliun. Tingginya kredit bermasalah tersebut terutama disebabkan oleh pelanggaran BMPK bagi
bank-bank swasta yang bermodal kecil pasca deregulasi. Besarnya kredit yang kurang
terkontrol, lemahnya pengawasan dan sistem internal, serta rendahnya kemampuan dalam
mendeteksi resiko membuat kondisi ini semakin parah saat krisis ekonomi terjadi.
Mengingat kondisi perbankan saat itu yang kurang kondusif, maka pemerintah melakukan
penjaminan terselubung (implicit guarantee) dari Bank Sentral agar bank yang tidak sehat tetap
dipertahankan dengan alasan mencegah kegagalan sistemik perbankan. Pengawasan bank
sentral saat itu belum dapat mengimbangi perkembangan perbankan yang begitu pesat dan
makin kompleks. Hal itu membuat potensi krisis menjadi terakumulasi, yang makin membuat
perbankan nasional sangat sensitif terhadap krisis. Banyak bank mengalami kesulitan likuiditas
dan akibatnya fungsi intermediasinya terganggu. Kondisi perbankan yang demikian
menyebabkan dampak yang negatif bagi perekonomian secara keseluruhan.

1. Penyaluran BLBI
Dimensi krisis nilai tukar pada bulan Agustus 1997 sangatlah besar dan implikasinya
sangat luas. Pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi depresiasi
Rupiah memberikan dampak buruk bagi
perbankan dan sektor riil. Terlebih lagi, penutupan 16 bank pada tanggal 1
November 1997 yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan, ternyata mengakibatkan keadaan yang sebaliknya.
Kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional runtuh. Kekhawatiran akan
terjadinya pencabutan ijin usaha berikutnya dan tidak adanya program penjaminan simpanan
telah menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Hal ini
mendorong masyarakat melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran
dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang kurang schat ke bank lain yang
dianggap lebih sehat. Sebagai gambaran, uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak
tajam dari Rp24.9 triliun pada akhir Oktober 1997 menjadi Rp37,5 triliun pada akhir Januari
1998 dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 yang
mencapai Rp45,4 triliun.
Sementara itu, berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan
pokok yang sangat mengkhawatirkan karena menyangkut pula kelangkaan kebutuhan
medis/obat-obatan seperti infus yang menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi
semakin tinggi. Hal ini mendorong pembelian barang-barang secara berlebihan dan
peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valas. Akibatnya bukan saja inflasi melonjak mencapai
6,88 persen pada bulan Januari 1998 (sekitar 89,8 persen year to year pada bulan Maret 1998)
dan nilai tukar merosot tajam hingga Rp16.000,00 pada tanggal 22 Januari 1998, melainkan
juga menyebabkan penarikan simpanan di bank-bank.
Istilah BLBI dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah
dalam Letter of Intent kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang
ditandatangani oleh Menko Ekuin itu, pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas
(liquidity support) BI kepada perbankan sehingga secara jelas dapat disimpulkan BLBI
merupakan program pemerintah yang di-acknowledge oleh IMF bahkan menjadi conditionality
yang ditetapkan oleh IMF. Meskipun dalam pengertian luas liquidity support itu meliputi juga
kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat, dan fasilitas diskonto I dan II, BLBI yang diberikan
dalam masa krisis itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup
kekurangan likuiditas terutama yang berupa saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus,
serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.

D. DAMPAK KRISIS TERHADAP PERBANKAN


Dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunya kepercayaan
masyarakat terhadap bank. Dilikuidasinya 16 bank pada tahun 1997 merupakan bukti
perbankan Indonesia sangat rapuh. Lumpuhnya sektor perbankan saat itu sangat berpengaruh
dalam kegiatan ekonomi masyarakat, terutama yang menggunakan fasilitas bank.
Dalam kondisi yang demikian pemerintah melakukan langkah pengetatan moneter
sebagai reaksi merosotnya nilai rupiah terhadap valuta asing. Bank Indonesia juga melakukan
penghentian transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), menarik dana BUMN, dan
menaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Terhentinya dana dari Bank Indonesia
mengakibatkan tingkat suku bunga kredit antar bank meningkat. Untuk menarik dana dari
masyarakat, setiap bank bersaing meningkatkan suku bunga simpanannya. Pada saat itu
bunga deposito dapat mencapai 30-40 persen.
Meningkatnya pasokan dana masyarakat dari tabungan, deposito, maupun produk bank lainnya
menghadapi resiko yang tinggi. Tingginya bunga pinjaman sebagai konsekuensi dari bunga
simpanan bank yang tinggi menyebabkan peminjam dapat mengalami kesulitan pengembalian
kreditnya. Kesulitan likuiditas perusahaan mengakibatkan pengembalian kredit terhambat dan
bank akan menghadapi kredit macet.
Upaya untuk menyehatkan bank dimulai tahun 1998 dengan proses due diligence oleh
BPPN terhadap 176 bank nasional dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Ada 99 bank yang
masuk dalam kategori A, 49 dalam kategori B, dan 28 masuk kategori C. Dasar dari
pengkategorian tersebut pada Rasio Kecukupan Modal/CAR (Capital Adequacy Ratio) yang
syaratnya sebagai berikut:
1. Kategori A untuk bank yang memiliki CAR di atas 4 persen.
2. Kategori B untuk bank yang memiliki CAR antara 4 persen sampai 25 persen.
3. Kategori C untuk bank yang CARnya dibawah 25 persen.

Pada bulan Maret tahun 1999 pemerintah mengambil alih tujuh bank, menutup 38 bank,
dan merekapitalisasi 9 bank kategori B, 12 bank BTO, 12 BPD, dan seluruh bank BUMN. Bulan
Desember 1998 defisit modal perbankan mencapai Rp80 triliun sampai dengan Rp90 triliun.
Di beberapa negara umumnya digunakan dua tahap untuk mengatasi krisis perbankan. Tahap
pertama dengan menentukan tujuan yang jelas, yaitu memulihkan kepercayaan nasabah dan
menjamin dananya, mencegah likuidasi aset, menghindari fluktuasi moneter, dan melindungi
bank bank yang solvent. Tahap kedua, membuat blue print yang jelas, perbaikan pengaturan
regulasi perbankan, restrukturisasi perbankan, dan dukungan pendanaan dari pemerintah.
Ada beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah untuk menyehatkan perbankan Indonesia,
yaitu:

1.Likuidasi Bank
Kebijakan pemerintah untuk mclikuidasi 16 bank pada bulan November 1997
menimbulkan biaya sosial yang besar, yaitu anjloknya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Tidak berjalannya mekanisme intermediasi bank berdampak buruk bagi
perekonomian. Adanya kontraksi penawaran agregat dan sisi lain terjadi pula ekspansi
permintaan agregat mengakibatkan angka inflasi yang tinggi.
Kondisi krisis keuangan dan ekonomi yang pernah terjadi di Amerika Latin menunjukkan
beberapa hal:. a. Panic buying terhadap barang-barang tahan lama karena uang tunai
memiliki time value of money yang negatif. b. Melebarnya defisit neraca perdagangan. C.
Capital flight yang mendorong masyarakat tidak percaya terhadap
lembaga intermediasi finansial domestik. d. Nilai mata uang akan mengalami depresiasi yang
besar dan fluktuasinya
sangat sulit dikendalikan.

2. Penggabungan Bank (Merger)


Salah satu cara menyehatkan bank adalah dengan menggabungkan beberapa bank
yang dinilai efektif untuk menghasilkan bank yang kuat dan tahan terhadap goncangan
ekonomi. Merger akan meningkatkan efisiensi yang berasal dari penghematan biaya
operasional bank. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1997 dapat
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan segala kewenangan
pemegang saham untuk melakukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan bank
tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Bagi perbankan, merger kadang sulit dilakukan karena tidak setiap bank cocok dan
sesuai. Selain itu merger juga memerlukan biaya yang cukup Dengan merger, maka karyawan
bank dapat di PHK dengan alasan lalu banyaknya jumlah karyawan sehingga kurang efisien.
Oleh karena itu merger atau konsolidasi lebih sesuai bila dilakukan pada bank yang memiliki
jenis usaha sama.

3. Restrukturisasi Perbankan
Restrukturisasi perbankan bertujuan untuk mengubah perbankan dari yang tidak sehat
menjadi sehat dengan berbagai strategi. Untuk jangka pendek restrukturisasi ditujukan untuk;
memulihkan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan, penggunaan sumber daya secara
efisien, dan memiliki investor dan pengelola yang profesional. Dalam jangka panjang,
restrukturisasi ditujukan untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan jangka panjang dan
menciptakan pelaku ekonomi dan keuangan yang handal,
Restrukturisasi harus dilakukan pada level makro maupun mikro. Pada level makro
berkaitan dengan peran pemerintah pada kebijakan, khususnya rekapitalisasi perbankan.
Sedangkan pada level mikro dengan upaya bank bank menata dan melakukan perbaikan pada
perusahaannya. Hal itu karena program restrukturisasi terkait dengan kondisi makro ekonomi
yang stabil dan langkah penyehatan seta pemberdayaan sektor riil.
Selain membutuhkan dana yang cukup besar, restrukturisasi perbankan membutuhkan
waktu yang tidak cepat dalam pemulihannya. Negara seperti Swedia membutuhkan waktu 4-5
tahun, Chili 5-6 tahun, Meksiko 2-3 tahun, dan Korea Selatan 2-3 tahun. Selain itu pola yang
digunakan juga berbeda. Di Chili dilakukan dengan melikuidasi, merger dan konsolidasi bank,
sedangkan di Swedia pola yang dilakukan dengan mengklasifikasikan bank dalam dua kategori
yaitu good banks dan bad banks.

4. Rekapitalisasi Perbankan
Untuk mengikuti skema rekapitalisasi, bank diwajibkan dapat mencapai CAR tidak
kurang dari 25 persen. Target adanya rekapitalisasi adalah menjadikan bank domestik
mencapai CAR sampai 4 persen pada saat setelah krisis. Besarnya CAR ini setengahnya dari
standar yang ditetapkan oleh BIS (Bank for International Settlement), yakni 8 persen.
Untuk bank yang telah memenuhi syarat CAR antara 25 sampai 4 persendapat mengikuti
program rekapitalisasi atau ditutup. Modal baru yang disetor untuk rekapitalisasi oleh pemilik 20
persen, sedangkan pemerintah sebanyak 80 persen. Dengan demikian besarnya dana yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk rekapitalisasi sangatlah besar. Sampai September tahun
1998 besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah sebanyak Rp233, 3 triliun
berdasarkan hasil due diligence.
Rekapitalisasi menyebabkan beban yang berat bagi pemerintah. Total obligasi yang
diterbitkan oleh pemerintah tercatat sekitar Rp644 triliun yang berupa obligasi rekap Rp425
triliun, obligasi BLBI Rp145 triliun, dan obligasi yang berasal dari dana penjaminan deposan
mencapai Rp74 triliun. Selain itu bunga yang harus dibayarkan sampai tahun 2002 mencapai
Rp155 triliun.

E. PERBANKAN PASCA KRISIS


Sampai dengan periode tahun 2003-an, perbankan Indonesia boleh dikatakan
disibukkan oleh kegiatan konsolidasi, melakukan berbagai efisiensi dari soal operasional,
jaringan, kantor cabang, serta efisiensi biaya modal dengan membuang beban. Yang paling
terlihat adalah pergeseran sumber dana dari dana mahal berupa deposito ke dana murah
berupa tabungan dan giro.
Pada Juni 2003 posisi deposito berjangka masih 52 persen dari total dana pihak ketiga, dan
terus turun sehingga pada Desember 2003 menjadi 48 persen. Saat ini, total deposito
berjangka Rp405 triliun, atau 45 persen dari total dana pihak ketiga yang Rp897 triliun. Jadi, 55
persen dana pihak ketiga telah berbentuk dana murah berupa tabungan dan giro. Struktur
pendanaan ini lebih baik daripada masa sebelum krisis, di mana porsi deposito di atas 50
persen bahkan bisa mencapai 54 persen dari dana pihak
ketiga.
Tahun 2004, perbankan nasional memasuki pertumbuhan tinggi. Ini adalah tahun milik
sektor perbankan. Emiten perbankan memimpin pergerakan saham di pasar modal.
Penyelenggaraan pemilu memang sedikit menghambat laju penyaluran kredit di kuartal
pertama, tetapi fundamental yang kuat menghasilkan optimisme besar dalam memandang
perbankan.
Konsolidasi perbankan dapat dikatakan telah usai di tahun 2004. Pembubaran Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan divestasi Bank Permata menjadi pertanda telah
berakhirnya masa itu. Semua bank yang tadinya di bawah BPPN telah menyelesaikan program
restrukturisasi, terutama sekali restrukturisasi kredit bermasalah (NPL). Konsolidasi lain, yaitu
konsolidasi secara akuntansi, seperti halnya kuasi reorganisasi juga telah selesai. Kuasi
reorganisasi adalah prosedur akuntansi yang ditetapkan perusahaan dan disetujui pemegang
saham untuk menghapus saldo negatif laba ditahan dengan menurunkan saldo akun (pos) paid-
up capital (modal disetor). Dalam proses ini, aktiva yang dinilai terlalu tinggi juga harus
diturunkan.
Sekalipun Loan to Deposit Ratio (LDR) belum kembali ke masa sebelum krisis, tetapi
fungsi intermediasi perbankan nasional secara bertahap terus menunjukkan perbaikan. Hal ini
terutama pada pertumbuhan kredit di sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan
konsumen. Posisi kredit perbankan pada bulan Juni Jahun 2004 meningkat Rp15,3 triliun
menjadi Rp528,7 triliun. Sekalipun pada kuartal pertama penyaluran kredit sempat seret, hanya
tumbuh Rp6,8 triliun, tetapi kondisi itu pada kuartal kedua membaik. Dalam bulan Juni 2004
saja, kredit baru yang dikucurkan mencapai Rp. 11,8 trilyun di mana 44,4 persen di antaranya
disalurkan untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM). Secara kumulatif, sampai Juni 2004,
total kredit baru perbankan mencapai Rp31,9 triliun.
Peningkatan kredit tersebut di sisi penawaran antara lain disebabkan oleh peningkatan
Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar Rp17,7 triliun atau sekitar 2 persen dari total DPK yang
Rp897 triliun. Di sisi permintaan, kenaikan kredit didorong oleh relatif rendahnya tingkat suku
bunga kredit perbankan. Meskipun demikian, dalam bulan Juni 2004 terdapat tambahan
undisbursed loan, kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan, yakni Rp 1,7 triliun. Secara
keseluruhan, kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan pada tengah tahun 2004
mencapai Rp127,6 triliun.
Tingginya jumlah kredit yang telah disetujui bank tetapi belum ditarik tersebut
menunjukkan betapa sektor riil masih menghadapi banyak kendala, sehingga hanya memiliki
sedikit ruang gerak. Tidak heran kalau porsi kredit terbesar masih dari kredit konsumsi,
sementara kredit investasi nilainya paling rendah. Per Mei 2004, dari total kredit baru sebesar
Rp24,4 triliun, kredit investasi hanya sebesar Rp5,1 triliun atau 20,1 persen, kredit konsumsi
Rp7,8 triliun atau 32 persen, dan kredit modal kerja Rp11,5 triliun atau 47 persen.
Dari sudut kualitas kredit, pada bulan Juni terjadi peningkatan kualitas yang terlihat pada
penurunan rasio NPL kotor maupun bersih yang masing masing menurun menjadi 7,6 persen
dan 2,4 persen. Aspek permodalan industri perbankan masih memadai, yakni tercatat sebesar
20,9 persen. Meskipun demikian, harus diperhatikan pengaruh faktor besamya aset berbentuk
obligasi pemerintah terhadap CAR dan LDR tersebut.
F. ARSITEKTUR PERBANKAN INDONESIA (API)
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem
perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan
industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan
pengembangan industri perbankan di masa datang oleh API dilandasi oleh visi mencapai suatu
sistem perbankan
yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan L dalam rangka
membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Mengingat API merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program restrukturisasi
perbankan maupun white paper penyehatan perbankan nasional pasca IMF, maka Bank
Indonesia akan mulai mengimplementasikan API pada tahun 2004.
Ada enam pilar sistem perbankan nasional dalam API yaitu:
1. Struktur perbankan yang sehat,
2. sistem pengaturan yang efektif,
3. sistem pengawasan yang independen dan efektif,
4. industri perbankan yang kuat,
5. infrastruktur pendukung yang mencukupi,
6. perlindungan konsumen.

Pada tahun 2013 Bank Indonesia akan mengklasifikasikan bank-bank di Indonesia


menjadi empat kelas, yaitu:
1. Bank internasional dengan jumlah modal Rp.50 triliun ke atas,
2. Bank nasional dengan jumlah modal antara Rp. 10 triliun-Rp.50 triliui,
3. Bank dengan fokus, yaitu yang memiliki modal Rp.0,1 triliun-Rp.10 triliun,
4. Bank dengan kegiatan usaha terbatas yang meliputi BPR dan bank bank kecil yang
modalnya di bawah Rp. 100 miliar.

Mencermati rancangan blue print API dengan strategi jangka panjangnya dan syarat
bagi perbankan pada tahun 2013 kemungkinan bank-bank akan kesulitan untuk mencapainya.
Hal itu mengingat pertumbuhan dan kemampuan dari bank-bank di Indonesia masih belum
mencukupi untuk ditarget sedemikian besarnya.

G. PERBANKAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT


Pengembangan ekonomi rakyat merupakan cara untuk menanggulangi kemiskinan ini.
Menanggulangi kemiskinan berarti memberikan akses pada si miskin untuk bisa terlibat dalam
produksi dan distribusi tersebut. Namun demikian, keterbatasan aset produktif yang dimiliki dan
keterbataan pendidikan serta ketrampilan telah membatasi si miskin untuk terlibat dalam
aktivitas ekonomi ini.
Salah satu upaya tersebut misalnya memberikan akses dalam mendapatkan fasilitas
finansial, seperti kredit mikro dari sektor perbankan. Sejauh ini alokasi kredit yang diberikan
kepada bank-bank lebih banyak masuk ke sektor modern, yang secara relatif hanya sebagian
kecil masyarakat menggelutinya. Tabel 3.8. menunjukkan tentang distribusi secara sektoral
kredit perbankan.

Tabel 3.8. mencerminkan "wajah" distribusi perkreditan yang dilakukan perbankan di


tanah air yang hanya dinikmati sebagian kecil rakyat Perkembangan tersebut menunjukkan
bahwa sektor ekonomi rakyat banyak yakni pertanian hanya menikmati sebagian kecil dari porsi
kredit yang ada. Sektor industri, perdagangan dan jasa-jasa, walaupun hanya menampung
relatif sedikit tenaga kerja, merupakan penyerap terbanyak dari kredit perbankan nasional. Dan
dapat diduga bahwa nilai terbesar dari kredit tersebut juga tidak merata di kalangan usaha
industri/perdagangan/jasa tersebut, karena hanya sebagian kecil saja yang memanfaatkan
kredit bernilai besar dari bank-bank yang ada.
Gambaran demikian sebenarnya tidaklah menjadi terlalu jelek apabila memang sektor-
sektor kecil itu tidak membutuhkan dana untuk pengembangan usaha atau peningkatan
produksinya. Namun kenyataannya adalah tidak selalu demikian. Persoalan yang masih sering
dihadapi adalah masalah akses untuk mendapatkan kredit itu sendiri, yang memang tidak
gampang bagi usaha-usaha kecil atau mereka yang bekerja di sektor-sektor informal.
Akibatnya, mereka terpaksa meminjam kepada lembaga keuangan informal, atau kepada
lembaga keuangan formal semacam BPR, yang tingkat bunganya lebih tinggi dari tingkat bank
umum tersebut. Hal ini menjadi sangat ironis, karena unit-unit usaha kecil dan miskin tersebut
terpaksa menanggung biaya produksi yang tinggi, sementara unit-unit usaha besar yang telah
banyak memperoleh berbagai fasilitas dan perlindungan, bisa memperoleh tingkat bunga yang
rendah, yang berarti pula bisa berproduksi dengan biaya relatif rendah tersebut.
Jika dilihat para pelaku ekonomi di tanah air, maka alokasi kedit yang demikian secara
nyata menunjukkan ketidakmerataan dan ketidakadilannya karena pelaku ekonomi di tanah air
sebagian besar bukanlah unit-unit usaha besar ataupun kelas konglomerat, melainkan adalah
unit-unit usaha kecil yang jumlahnya lebih dari 90 persen dari total pelaku ekonomi nasional.
Hal inilah yang mengarahkan kita pada pentingnya alokasi kredit berskala mikro dan kecil untuk
memberdayakan para pelaku ekonomi tersebut. Dengan adanya bantuan kredit tersebut
diharapkan akses mereka menjadi semakin terbuka dalam aktivitas ekonomi, dan mengangkat
mereka yang masuk kategori miskin ke jenjang pendapatan yang lebih wajar dan manusiawi.
Artinya, mereka bisa diangkat dari lembah kemisknan absolut tersebut melalui kebijakan yang
mengarahkan mereka terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi tersebut.
Peran penting lain dari ekonomi rakyat adalah dalam penyerapan tenaga keria, yang
sangat terkait dengan permasalahan kemiskinan. Masalah kekurangan kapital (investasi) yang
dihadapi Indonesia dipecahkan dengan pola investasi yang padat tenaga kerja. Data empirik
menunjukkan dengan investasi terbatas unit usaha ekonomi rakyat bisa menciptakan lebih
banyak unit usaha dan juga kesempatan kerja.
Ekonomi (sebagian besar) rakyat Indonesia sejauh ini masih memberikan sumbangan
relatif kecil dalam output nasional, demikian pula pangsa pasar yang dikuasainya. Namun
demikian dari sisi jumlah pelakunya atau unit usaha serta penyerapan tenaga kerjanya ternyata
sangat dominan dibanding ekonomi usaha besar dan konglomerat (UBK).

Tabel 3.9. menyiratkan bahwa dengan investasi relatif sedikit, usaha usaha kecil yang
merupakan usaha sebagian besar rakyat Indonesia, bisa membantu memecahkan masalah
pengangguran. Sebagaimana ditunjukkan tabel 3.9. unit usaha kecil rata-rata hanya
membutuhkan investasi Rp1,5 juta per unit usaha per tahun, dan untuk usaha menengah
adalah Rp1,3 miliar per usaha per tahun. Jadi, jika unit usaha besar dengan investasi Rp91,4
miliar hanya bisa menciptakan satu unit usaha, maka dengan investasi yang sama bisa
diciptakan 61 ribu unit usaha baru pada di usaha kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika dari sisi pelakunya sebagian besar pelaku ekonomi Indonesia tergolong usaha menengah
dan kecil, termasuk usaha mikro.
Banyaknya unit usaha yang bisa diciptakan dengan investasi terbatas di usaha kecil,
mencerminkan juga banyaknya kesempatan kerja baru yang dapat diciptakannya jika unit
usaha tersebut didorong untuk tumbuh dan berkembang. Dengan data di atas dapat
dikemukakan bahwa unit usaha kecil dan menengah bisa lebih diharapkan untuk mengatasi
masalah kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu pengurangan pengangguran
membutuhkan perubahan paradigma pembangunan yang tidak bias pada skala usaha besar
(padat modal), melainkan sebaliknya untuk lebih memberi kesempatan lebih banyak pada unit
usaha ekonomi rakyat, yakni unit usaha kecil, termasuk usaha mikro, dan menengah.

UKMK : Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi UBK : Usaha Besar dan konglomerasi
Tanda kurung menunjukkan situasi setelah krisis
Dari tabel 3.10. terlihat, unit usaha besar yang jumlahnya hanya 0,2 persen menguasai lebih
dari 60 persen PDB. Pangsa pasarnya lebih besar lagi, yakni mencapai 80 persen, yang berarti
hanya menyisakan 20 persen untuk 99,8 persen pelaku ekonomi di tanah air. Ketimpangan lain
ditunjukkan dalam sumbangannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Segelintir unit
usaha besar tersebut merupakan “mesin” pertumbuhan yang memberi andil 83,6 persen atas
laju perekonomian Indonesia.
Ketimpangan yang demikian tinggi berpotensi untuk munculnya kecemburuan sosial,
yang bukan saja mengancam semua pelaku ekonomi tersebut, melainkan juga stabilitas dalam
masyarakat. Unit usaha besar juga tidak bisa bertahan lama apabila potensi pasar dari UKMK
(termasuk usaha mikro) tidak berkembang. Apalagi jika dilihat karakteristik UBK di tanah air
yang sangat tinggi konsentrasinya, namun orientasi ekspornya sangat rendah, atau dikenal
dengan istilah “jago kandang”.
Dapat dikatakan bahwa fondasi ekonomi Indonesia sejak lama sebenarnya adalah
berbasiskan perekonomian rakyat. Dilihat secara absolut, dari 39,72 juta unit usaha (1972),
sebanyak 39,71 juta merupakan sektor ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat ini juga yang mampu
bertahan pada saat krisis ckonomi terjadi. Angka yang ada menunjukkan pada saat krisis
jumlah UKMK ini justru bertambah dari 99,8 persen menjadi 99,9 persen, dan sumbangannya
terhadap PBD juga naik dari 39,8 persen menjadi 59,36 persen. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau ckonomi rakyat sering diberi predikat sebagai “katup pengaman
perkonomian nasional". Namun demikian dalam realitas kebijakan publik, ekonomi rakyat ini
pula yang scolah selalu tersia-sia, kurang mendapat perhatian/perlindungan, dan juga tidak
dipercaya. Fasiltas yang diberikan pada usaha kecil sangat terbatas.

H. KEUANGAN MIKRO
Menurut Krisnamurti (2013), keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha
penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana
penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan
kelompok miskin dan peluang mereka untuk ke luar dari kemiskinan, melalui: 1. tingkat
konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi, 2. mengelola resiko dengan lebih baik, 3.
secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset, 4. mengembangkan kegiatan
usaha mikronya, 5. menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan 6. dapat merasakan
tingkat hidup yang lebih baik.
Dari berbagai studi yang dilakukan ADB menunjukkan kegiatan keuangan mikro sangat
berperan untuk mengurangi kemiskinan. Hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 3.11.
Sebagaimana disinggung di muka, salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh
usaha mikro, kecil, dan menengah adalah berkaitan dengan permodalan. Sumber dana yang
digunakan umumnya adalah dari modal sendiri, atau modal keluarga. Sumber dana dari pihak
luar umumnya berasal dari lembaga keuangan informal, yang biasanya mengenakan bunga
yang tinggi. Hal ini dilakukan karena para pelaku UKMK sulit memenuhi persyaratan yang
diminta oleh lembaga keuangan formal. Di samping persyaratan dan prosedur yang dipandang
sukar, usaha ekonomi rakyat ini mayoritas dianggap tidak bankable, walaupun dilihat dari
kelaikan usaha unit usaha tersebut banyak yang feasible.
Oleh karena itu, dalam konteks dukungan pada ekonomi rakyat ini perlu kebijakan yang
tegas untuk membuka akses seluas-luasnya pada unit-unit usaha ekonomi rakyat yang kecil
dan mikro. Sebagaimana dikemukakan di atas, hambatan utama bagi unit usaha ini adalah
ketiadaan jaminan (collateral). Di sisi lain, perbankan secara ketat menerapkan prinsip
prudential banking yang mengharuskan adanya jaminan tersebut. Akibatnya mereka hanya
mengandalkan modal sendiri atau dengan meminjam dari pelepas uang dengan tingkat bunga
yang sangat tinggi sehingga menyulitkan perkembangan usaha lebih lanjut. Kebijakan yang
membuka akses pada lembaga keuangan formal tersebut seharusnya dilakukan secara
menyeluruh di tanah air dengan cara
a) menyediakan lembaga keuangan nonbank yang memberi peluang usaha ekonomi
rakyat untuk meminjam tanpa jaminan;
b) pemerintah (Pusat/Daerah) membeli premi risiko lembaga keuangan bank; dan dalam
jangka panjang kemungkinan mengkaji untuk mengamandemen UU Perbankan yang
membuka peluang memberikan pinjaman tanpa jaminan.

Penyediaan kredit tanpa agunan dengan premi risiko yang ditanggung Pemerintah atau
Pemkab menyediakan dana kredit untuk UKMK tanpa agunan, sudah mulai disadari dan
dilakukan oleh beberapa pemerintahan di daerah. Sejak tahun 2004, misalnya, Pemerintahan di
Kabupaten Kutai Barat yang hampir separo penduduknya (2002) miskin, telah mengalokasikan
dana kredit tanpa agunan sebanyak Rp.5 miliar untuk UKMK, Ini dapat dikatakan sebagai suatu
perubahan paradigma dalam perkreditan UKMK di Kutai Barat. Pemerintah Kabupaten Kutai
Barat menyadari bahwa sebagian unit usaha kecil-menengah ini memiliki keterbatasan modal,
tidak mempunyai harta-benda untuk jaminan, atau karena ketiadaan surat-surat formal yang
berkaitan dengan kepemilikan harta atau izin usahanya. Pinjaman tertinggi yang diberikan untuk
UKMK tersebut mencapai Rp50 juta. Sedangkan pola pembayaran pinjaman ini juga
disesuaikan dengan pola pendapatan/penerimaan masyarakatnya. (Hamid, 2004).

I. OTORITAS JASA KEUANGAN


Otoritas Jasa Keuangan atau OJK dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam undang-undang
tersebut disebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan. OJK pada dasarnya didirikan untuk menggantikan tugas dan
fungsi dari Bapepam - LK terkait dengan perannya dalam pengaturan dan pengawasan pasar
modal dan lembaga keuangan, serta menggantikan peranan Bank Indonesia mengatur dan
mengawasi operasional perbank Indonesia. Selain itu OJK juga melakukan peran untuk
melindungi melindungi konsumen pada industri jasa keuangan.
Visi OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya,
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa
keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat
memajukan kesejahteraan umum. Sedangkan Misi OJK adalah:
1. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara
teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;
3. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,
dan
3. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang


terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. OJK mempunyai tugas
melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor IKNB.
Adapun mengenai pembentukan OJK, salah satunya dilatarbelakangi oleh peran Bank
Indonesia sebagai bank sentral dalam pengaturan dan pengawasan industri perbankan, yang
dinilai belum dapat berjalan secara efektif. Berbagai kebijakan dan regulasi yang dibentuk oleh
BI dianggap belum mampu membawa aktor utama khususnya pejabat pemerintah yang terlibat
dalam kejahatan di industri perbankan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Prinsip
BI dalam melakukan pengawasan dan pengaturan seperti prinsip independensi, transparansi,
dan akuntabilitas belum dapat berjalan optimal. Berdasarkan hal tersebut maka dibentuklah
OJK yang diharapkan mampu menjalankan peran pengaturan dan pengawasan perbankan
yang optimal.

RANGKUMAN
Pada periode sebelum krisis yakni 1983 sampai 1997 terdapat beberapa kebijakan
deregulasi perbankan. Paket kebijakan yang pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1983 atau
disebut Pakjun 1983 dan yang kedua adalah Paket Kebijakan Oktober 1988 atau Pakto 1988.
Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk mendorong ekspor non-migas sebagai antisipasi
atas penerimaan devisa dari minyak. Pakto 1988 ditujukan untuk membuka pasar industri
perbankan nasional,
Krisis moneter 1997/1998 yang menghantam perbankan nasional mendorong
pemerintah dan BI mengeluarkan serangkaian kebijakan penyelamatan di antaranya dengan
melakukan restrukturisasi, - rekapitalisasi, penggabungan, penjaminan, penerbitan BLBI,
setelah kebijakan likuidasi bank berdampak negatif bagi merosotnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional.
Guna meningkatkan kinerja perbankan nasional BI menyusun enam pilar Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yang meliputi struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan
yang efektif, sistem pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat,
infrastruktur pendukung yang mencukupi, dan perlindungan konsumen.
Pengembangan keuangan mikro bagi pelaku ekonomi rakyat berperanan penting dalam hal
mengatur tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak berfluktuasi, mengelola risiko dengan
lebih baik, secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset, mengembangkan
kegiatan usaha mikronya, menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan dapat
merasakan tingkat hidup yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai