Tabel 3.1.
B. DEREGULASI PERBANKAN
Pada periode sebelum krisis yakni tahun 1983 sampai 1997 terdapat beberapa
kebijakan perbankan yang berpengaruh luas terhadap perekonomian. Paket kebijakan yang
pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1903 (Pakjun'83) dan yang kedua adalah Paket
Kebijakan Oktober 1988 (Pakto'88). Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk mendorong
ekspor non-migas sebagai antisipasi atas merosotnya penerimaan devisa dari minyak.
Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menerapkan prinsip prinsip
manajemen yang berorientasi pada pasar. Bentuk-bentuk subsidi bunga dibatasi dan hanya
diberikan untuk skala prioritas tertentu, sedangkan penentuan suku bunga kredit non prioritas
diserahkan pada pasar. Isi Paket Kebijakan Juni 1983 adalah:
1. Penghapusan pagu kredit sehingga perbankan dapat memberikan kredit secara lebih
fleksibel sesuai dengan kemampuan.
2. Bank diberi kebebasan dalam menentukan suku bunga, baik deposito,tabungan maupun
kredit dalam meningkatkan mobilisasi dana dari dan kepada masyarakat.
3. Pengaturan volume kredit likuiditas dapat mengurangi ketergantungan bank-bank
kepada bank sentral dengan memperkenalkan alat kebijakan moneter berupa Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan fasilitas diskonto.
Dengan kebijakan tersebut, pada bulan Mei 1983 tingkat suku bunga deposito jangka
waktu 6 bulan untuk bank-bank milik pemerintah dibebaskan. Pada bulan Juni 1983
pengendalian atas suku bunga dihilangkan.
Sementara itu paket kebijakan yang kedua (Pakto'88) dilakukan untuk: pertama
meningkatkan pengerahan dana masyarakat, kedua memperluas jangkauan layanan bagi
masyarakat terutama pelaku ekspor, ketiga mendorong tercapainya efisiensi dan
profesionalisme dalam pengelolaan bank dengan kompetisi yang sehat.
Dengan demikian cakupan paket deregulasi ini tidak terbatas pada sektor perbankan
saja, akan tetapi juga pada sektor keuangan pada umumnya seperti perusahaan asuransi dan
pasar modal. Dengan kebijakan ini pula pendirian dan perluasan cabang sangat mudah,
sehingga saat itu berdiri ratusan bank baru di Indonesia, bahkan oleh pengusaha besar yang
tidak menguasai dunia perbankan sekalipun. Bank-bank didirikan hanya untuk memudahkan
pembiayaan perusahaan mereka sendiri..
Sebelum krisis ekonomi dan finansial melanda Indonesia, perbankan Indonesia
mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Perkembangan ini ditandai dengan meningkatnya
jumlah bank di wilayah Indonesia. Akan tetapi perkembangan ini diikuti dengan pertumbuhan
tingkat suku bunga riil yang negatif. Hal itu karena tingkat bunga nominal yang dikoreksi dengan
inflasi. Peristiwa booming minyak merupakan salah satu sebab kebijakan moneter yang diambil
oleh pemerintah berfungsi ganda yakni sebagai alat untuk pengendalian tekanan inflasi dan
juga sebagai alat mempengaruhi alokasi dana.
Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada tahun 1974 dan 1983 mendorong
diterapkannya plafon kredit bagi setiap bank, tingkat reserve requirement yang tinggi, dan kredit
yang selektif. Kebijakan tersebut menyebabkan lembaga keuangan menjadi terfokus pada
bank-bank milik pemerintah yang bertugas melayani BUMN.
Peran bank pemerintah mulai mengalami penurunan dari tahun 1984 sampai dengan
tahun 1992, walaupun masih mendominasi jumlah pemberian kredit yaitu dari 75,6 persen
tahun 1984 dan mulai menurun pada tahun 1992 menjadi hanya 55,8 persen. Penurunan
persentase peranan bank pemerintah memberikan peluang bagi swasta untuk berkembang,
mengingat pangsa pasar perbankan Indonesia yang besar dengan jumlah penduduk yang
banyak.
1. Penyaluran BLBI
Dimensi krisis nilai tukar pada bulan Agustus 1997 sangatlah besar dan implikasinya
sangat luas. Pengetatan likuiditas yang dilakukan Pemerintah untuk mengatasi depresiasi
Rupiah memberikan dampak buruk bagi
perbankan dan sektor riil. Terlebih lagi, penutupan 16 bank pada tanggal 1
November 1997 yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan, ternyata mengakibatkan keadaan yang sebaliknya.
Kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional runtuh. Kekhawatiran akan
terjadinya pencabutan ijin usaha berikutnya dan tidak adanya program penjaminan simpanan
telah menyebabkan kepanikan masyarakat atas keamanan dananya di perbankan. Hal ini
mendorong masyarakat melakukan penarikan simpanan dari perbankan secara besar-besaran
dan perpindahan simpanan dari satu bank yang dipandang kurang schat ke bank lain yang
dianggap lebih sehat. Sebagai gambaran, uang kartal yang dipegang masyarakat melonjak
tajam dari Rp24.9 triliun pada akhir Oktober 1997 menjadi Rp37,5 triliun pada akhir Januari
1998 dan jumlah ini terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998 yang
mencapai Rp45,4 triliun.
Sementara itu, berbagai isu tentang kelangkaan pasokan barang-barang kebutuhan
pokok yang sangat mengkhawatirkan karena menyangkut pula kelangkaan kebutuhan
medis/obat-obatan seperti infus yang menyebabkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi
semakin tinggi. Hal ini mendorong pembelian barang-barang secara berlebihan dan
peningkatan kegiatan spekulasi di pasar valas. Akibatnya bukan saja inflasi melonjak mencapai
6,88 persen pada bulan Januari 1998 (sekitar 89,8 persen year to year pada bulan Maret 1998)
dan nilai tukar merosot tajam hingga Rp16.000,00 pada tanggal 22 Januari 1998, melainkan
juga menyebabkan penarikan simpanan di bank-bank.
Istilah BLBI dikenal sejak tanggal 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan Pemerintah
dalam Letter of Intent kepada International Monetary Fund (IMF). Dalam surat yang
ditandatangani oleh Menko Ekuin itu, pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas
(liquidity support) BI kepada perbankan sehingga secara jelas dapat disimpulkan BLBI
merupakan program pemerintah yang di-acknowledge oleh IMF bahkan menjadi conditionality
yang ditetapkan oleh IMF. Meskipun dalam pengertian luas liquidity support itu meliputi juga
kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat, dan fasilitas diskonto I dan II, BLBI yang diberikan
dalam masa krisis itu hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup
kekurangan likuiditas terutama yang berupa saldo debet, fasilitas diskonto dan SBPU khusus,
serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.
Pada bulan Maret tahun 1999 pemerintah mengambil alih tujuh bank, menutup 38 bank,
dan merekapitalisasi 9 bank kategori B, 12 bank BTO, 12 BPD, dan seluruh bank BUMN. Bulan
Desember 1998 defisit modal perbankan mencapai Rp80 triliun sampai dengan Rp90 triliun.
Di beberapa negara umumnya digunakan dua tahap untuk mengatasi krisis perbankan. Tahap
pertama dengan menentukan tujuan yang jelas, yaitu memulihkan kepercayaan nasabah dan
menjamin dananya, mencegah likuidasi aset, menghindari fluktuasi moneter, dan melindungi
bank bank yang solvent. Tahap kedua, membuat blue print yang jelas, perbaikan pengaturan
regulasi perbankan, restrukturisasi perbankan, dan dukungan pendanaan dari pemerintah.
Ada beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah untuk menyehatkan perbankan Indonesia,
yaitu:
1.Likuidasi Bank
Kebijakan pemerintah untuk mclikuidasi 16 bank pada bulan November 1997
menimbulkan biaya sosial yang besar, yaitu anjloknya kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Tidak berjalannya mekanisme intermediasi bank berdampak buruk bagi
perekonomian. Adanya kontraksi penawaran agregat dan sisi lain terjadi pula ekspansi
permintaan agregat mengakibatkan angka inflasi yang tinggi.
Kondisi krisis keuangan dan ekonomi yang pernah terjadi di Amerika Latin menunjukkan
beberapa hal:. a. Panic buying terhadap barang-barang tahan lama karena uang tunai
memiliki time value of money yang negatif. b. Melebarnya defisit neraca perdagangan. C.
Capital flight yang mendorong masyarakat tidak percaya terhadap
lembaga intermediasi finansial domestik. d. Nilai mata uang akan mengalami depresiasi yang
besar dan fluktuasinya
sangat sulit dikendalikan.
3. Restrukturisasi Perbankan
Restrukturisasi perbankan bertujuan untuk mengubah perbankan dari yang tidak sehat
menjadi sehat dengan berbagai strategi. Untuk jangka pendek restrukturisasi ditujukan untuk;
memulihkan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan, penggunaan sumber daya secara
efisien, dan memiliki investor dan pengelola yang profesional. Dalam jangka panjang,
restrukturisasi ditujukan untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan jangka panjang dan
menciptakan pelaku ekonomi dan keuangan yang handal,
Restrukturisasi harus dilakukan pada level makro maupun mikro. Pada level makro
berkaitan dengan peran pemerintah pada kebijakan, khususnya rekapitalisasi perbankan.
Sedangkan pada level mikro dengan upaya bank bank menata dan melakukan perbaikan pada
perusahaannya. Hal itu karena program restrukturisasi terkait dengan kondisi makro ekonomi
yang stabil dan langkah penyehatan seta pemberdayaan sektor riil.
Selain membutuhkan dana yang cukup besar, restrukturisasi perbankan membutuhkan
waktu yang tidak cepat dalam pemulihannya. Negara seperti Swedia membutuhkan waktu 4-5
tahun, Chili 5-6 tahun, Meksiko 2-3 tahun, dan Korea Selatan 2-3 tahun. Selain itu pola yang
digunakan juga berbeda. Di Chili dilakukan dengan melikuidasi, merger dan konsolidasi bank,
sedangkan di Swedia pola yang dilakukan dengan mengklasifikasikan bank dalam dua kategori
yaitu good banks dan bad banks.
4. Rekapitalisasi Perbankan
Untuk mengikuti skema rekapitalisasi, bank diwajibkan dapat mencapai CAR tidak
kurang dari 25 persen. Target adanya rekapitalisasi adalah menjadikan bank domestik
mencapai CAR sampai 4 persen pada saat setelah krisis. Besarnya CAR ini setengahnya dari
standar yang ditetapkan oleh BIS (Bank for International Settlement), yakni 8 persen.
Untuk bank yang telah memenuhi syarat CAR antara 25 sampai 4 persendapat mengikuti
program rekapitalisasi atau ditutup. Modal baru yang disetor untuk rekapitalisasi oleh pemilik 20
persen, sedangkan pemerintah sebanyak 80 persen. Dengan demikian besarnya dana yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk rekapitalisasi sangatlah besar. Sampai September tahun
1998 besarnya dana yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah sebanyak Rp233, 3 triliun
berdasarkan hasil due diligence.
Rekapitalisasi menyebabkan beban yang berat bagi pemerintah. Total obligasi yang
diterbitkan oleh pemerintah tercatat sekitar Rp644 triliun yang berupa obligasi rekap Rp425
triliun, obligasi BLBI Rp145 triliun, dan obligasi yang berasal dari dana penjaminan deposan
mencapai Rp74 triliun. Selain itu bunga yang harus dibayarkan sampai tahun 2002 mencapai
Rp155 triliun.
Mencermati rancangan blue print API dengan strategi jangka panjangnya dan syarat
bagi perbankan pada tahun 2013 kemungkinan bank-bank akan kesulitan untuk mencapainya.
Hal itu mengingat pertumbuhan dan kemampuan dari bank-bank di Indonesia masih belum
mencukupi untuk ditarget sedemikian besarnya.
Tabel 3.9. menyiratkan bahwa dengan investasi relatif sedikit, usaha usaha kecil yang
merupakan usaha sebagian besar rakyat Indonesia, bisa membantu memecahkan masalah
pengangguran. Sebagaimana ditunjukkan tabel 3.9. unit usaha kecil rata-rata hanya
membutuhkan investasi Rp1,5 juta per unit usaha per tahun, dan untuk usaha menengah
adalah Rp1,3 miliar per usaha per tahun. Jadi, jika unit usaha besar dengan investasi Rp91,4
miliar hanya bisa menciptakan satu unit usaha, maka dengan investasi yang sama bisa
diciptakan 61 ribu unit usaha baru pada di usaha kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika dari sisi pelakunya sebagian besar pelaku ekonomi Indonesia tergolong usaha menengah
dan kecil, termasuk usaha mikro.
Banyaknya unit usaha yang bisa diciptakan dengan investasi terbatas di usaha kecil,
mencerminkan juga banyaknya kesempatan kerja baru yang dapat diciptakannya jika unit
usaha tersebut didorong untuk tumbuh dan berkembang. Dengan data di atas dapat
dikemukakan bahwa unit usaha kecil dan menengah bisa lebih diharapkan untuk mengatasi
masalah kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena itu pengurangan pengangguran
membutuhkan perubahan paradigma pembangunan yang tidak bias pada skala usaha besar
(padat modal), melainkan sebaliknya untuk lebih memberi kesempatan lebih banyak pada unit
usaha ekonomi rakyat, yakni unit usaha kecil, termasuk usaha mikro, dan menengah.
UKMK : Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi UBK : Usaha Besar dan konglomerasi
Tanda kurung menunjukkan situasi setelah krisis
Dari tabel 3.10. terlihat, unit usaha besar yang jumlahnya hanya 0,2 persen menguasai lebih
dari 60 persen PDB. Pangsa pasarnya lebih besar lagi, yakni mencapai 80 persen, yang berarti
hanya menyisakan 20 persen untuk 99,8 persen pelaku ekonomi di tanah air. Ketimpangan lain
ditunjukkan dalam sumbangannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Segelintir unit
usaha besar tersebut merupakan “mesin” pertumbuhan yang memberi andil 83,6 persen atas
laju perekonomian Indonesia.
Ketimpangan yang demikian tinggi berpotensi untuk munculnya kecemburuan sosial,
yang bukan saja mengancam semua pelaku ekonomi tersebut, melainkan juga stabilitas dalam
masyarakat. Unit usaha besar juga tidak bisa bertahan lama apabila potensi pasar dari UKMK
(termasuk usaha mikro) tidak berkembang. Apalagi jika dilihat karakteristik UBK di tanah air
yang sangat tinggi konsentrasinya, namun orientasi ekspornya sangat rendah, atau dikenal
dengan istilah “jago kandang”.
Dapat dikatakan bahwa fondasi ekonomi Indonesia sejak lama sebenarnya adalah
berbasiskan perekonomian rakyat. Dilihat secara absolut, dari 39,72 juta unit usaha (1972),
sebanyak 39,71 juta merupakan sektor ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat ini juga yang mampu
bertahan pada saat krisis ckonomi terjadi. Angka yang ada menunjukkan pada saat krisis
jumlah UKMK ini justru bertambah dari 99,8 persen menjadi 99,9 persen, dan sumbangannya
terhadap PBD juga naik dari 39,8 persen menjadi 59,36 persen. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau ckonomi rakyat sering diberi predikat sebagai “katup pengaman
perkonomian nasional". Namun demikian dalam realitas kebijakan publik, ekonomi rakyat ini
pula yang scolah selalu tersia-sia, kurang mendapat perhatian/perlindungan, dan juga tidak
dipercaya. Fasiltas yang diberikan pada usaha kecil sangat terbatas.
H. KEUANGAN MIKRO
Menurut Krisnamurti (2013), keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha
penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana
penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan
kelompok miskin dan peluang mereka untuk ke luar dari kemiskinan, melalui: 1. tingkat
konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi, 2. mengelola resiko dengan lebih baik, 3.
secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset, 4. mengembangkan kegiatan
usaha mikronya, 5. menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan 6. dapat merasakan
tingkat hidup yang lebih baik.
Dari berbagai studi yang dilakukan ADB menunjukkan kegiatan keuangan mikro sangat
berperan untuk mengurangi kemiskinan. Hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 3.11.
Sebagaimana disinggung di muka, salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh
usaha mikro, kecil, dan menengah adalah berkaitan dengan permodalan. Sumber dana yang
digunakan umumnya adalah dari modal sendiri, atau modal keluarga. Sumber dana dari pihak
luar umumnya berasal dari lembaga keuangan informal, yang biasanya mengenakan bunga
yang tinggi. Hal ini dilakukan karena para pelaku UKMK sulit memenuhi persyaratan yang
diminta oleh lembaga keuangan formal. Di samping persyaratan dan prosedur yang dipandang
sukar, usaha ekonomi rakyat ini mayoritas dianggap tidak bankable, walaupun dilihat dari
kelaikan usaha unit usaha tersebut banyak yang feasible.
Oleh karena itu, dalam konteks dukungan pada ekonomi rakyat ini perlu kebijakan yang
tegas untuk membuka akses seluas-luasnya pada unit-unit usaha ekonomi rakyat yang kecil
dan mikro. Sebagaimana dikemukakan di atas, hambatan utama bagi unit usaha ini adalah
ketiadaan jaminan (collateral). Di sisi lain, perbankan secara ketat menerapkan prinsip
prudential banking yang mengharuskan adanya jaminan tersebut. Akibatnya mereka hanya
mengandalkan modal sendiri atau dengan meminjam dari pelepas uang dengan tingkat bunga
yang sangat tinggi sehingga menyulitkan perkembangan usaha lebih lanjut. Kebijakan yang
membuka akses pada lembaga keuangan formal tersebut seharusnya dilakukan secara
menyeluruh di tanah air dengan cara
a) menyediakan lembaga keuangan nonbank yang memberi peluang usaha ekonomi
rakyat untuk meminjam tanpa jaminan;
b) pemerintah (Pusat/Daerah) membeli premi risiko lembaga keuangan bank; dan dalam
jangka panjang kemungkinan mengkaji untuk mengamandemen UU Perbankan yang
membuka peluang memberikan pinjaman tanpa jaminan.
Penyediaan kredit tanpa agunan dengan premi risiko yang ditanggung Pemerintah atau
Pemkab menyediakan dana kredit untuk UKMK tanpa agunan, sudah mulai disadari dan
dilakukan oleh beberapa pemerintahan di daerah. Sejak tahun 2004, misalnya, Pemerintahan di
Kabupaten Kutai Barat yang hampir separo penduduknya (2002) miskin, telah mengalokasikan
dana kredit tanpa agunan sebanyak Rp.5 miliar untuk UKMK, Ini dapat dikatakan sebagai suatu
perubahan paradigma dalam perkreditan UKMK di Kutai Barat. Pemerintah Kabupaten Kutai
Barat menyadari bahwa sebagian unit usaha kecil-menengah ini memiliki keterbatasan modal,
tidak mempunyai harta-benda untuk jaminan, atau karena ketiadaan surat-surat formal yang
berkaitan dengan kepemilikan harta atau izin usahanya. Pinjaman tertinggi yang diberikan untuk
UKMK tersebut mencapai Rp50 juta. Sedangkan pola pembayaran pinjaman ini juga
disesuaikan dengan pola pendapatan/penerimaan masyarakatnya. (Hamid, 2004).
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan:
1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,
dan
3. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
RANGKUMAN
Pada periode sebelum krisis yakni 1983 sampai 1997 terdapat beberapa kebijakan
deregulasi perbankan. Paket kebijakan yang pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1983 atau
disebut Pakjun 1983 dan yang kedua adalah Paket Kebijakan Oktober 1988 atau Pakto 1988.
Paket Kebijakan Juni 1983 ditujukan untuk mendorong ekspor non-migas sebagai antisipasi
atas penerimaan devisa dari minyak. Pakto 1988 ditujukan untuk membuka pasar industri
perbankan nasional,
Krisis moneter 1997/1998 yang menghantam perbankan nasional mendorong
pemerintah dan BI mengeluarkan serangkaian kebijakan penyelamatan di antaranya dengan
melakukan restrukturisasi, - rekapitalisasi, penggabungan, penjaminan, penerbitan BLBI,
setelah kebijakan likuidasi bank berdampak negatif bagi merosotnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan nasional.
Guna meningkatkan kinerja perbankan nasional BI menyusun enam pilar Arsitektur
Perbankan Indonesia (API) yang meliputi struktur perbankan yang sehat, sistem pengaturan
yang efektif, sistem pengawasan yang independen dan efektif, industri perbankan yang kuat,
infrastruktur pendukung yang mencukupi, dan perlindungan konsumen.
Pengembangan keuangan mikro bagi pelaku ekonomi rakyat berperanan penting dalam hal
mengatur tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak berfluktuasi, mengelola risiko dengan
lebih baik, secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset, mengembangkan
kegiatan usaha mikronya, menguatkan kapasitas perolehan pendapatannya, dan dapat
merasakan tingkat hidup yang lebih baik.