Anda di halaman 1dari 59

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

TUGAS AKHIR
PENELITIAN BIOMEKANIK EKSPERIMENTAL

PENURUNAN KEKUATAN TULANG DAN PENINGKATAN RESIKO


FRAKTUR TERHADAP GAYA BENDING DAN TORSIONAL AKIBAT
PENCABUTAN SCREW YANG PATAH DENGAN HOLLOW REAMER

Oleh :
Dr. Najmudin

Pembimbing :
Dr. Iwan Budiwan Anwar Sp.OT

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FK UNS / RSUD. Dr. MOEWARDI /
RSOP. PROF. DR. R. SOEHARSO
SURAKARTA
2010

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan oleh Pembimbing Tugas Akhir


Program Pendidikan Dokter Spesialis I Orthopaedi & Traumatologi
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret / RSUD. Dr. Moewardi /
RSOP. Prof. DR. R. Soeharso Surakarta. Hasil penelitian yang berjudul :

PENURUNAN KEKUATAN TULANG DAN PENINGKATAN RESIKO


FRAKTUR TERHADAP GAYA BENDING DAN TORSIONAL AKIBAT
PENCABUTAN SCREW YANG PATAH DENGAN HOLLOW REAMER

Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Pendidikan


Dokter Spesialis I Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Negeri Sebelas Maret / RSUD. Dr. Moewardi / RSOP Prof. DR. R. Soeharso
Surakarta

Surakarta, 30 Oktober 2010

Pembimbing Tugas Akhir :

1. Dr. Iwan Budiwan Anwar, SpOT. FICS

(…........…………………………….)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Telah diuji dan diseminarkan pada hari Sabtu, 30 Oktober 2010,


di RSOP Prof. DR. R. Soeharso, penelitian tugas akhir yang berjudul:

PENURUNAN KEKUATAN TULANG DAN PENINGKATAN RESIKO


FRAKTUR TERHADAP GAYA BENDING DAN TORSIONAL AKIBAT
PENCABUTAN SCREW YANG PATAH DENGAN HOLLOW REAMER

KPS PPDS I Orthopaedi & SPS PPDS I Orthopaedi &


Traumatologi FK UNS / Traumatologi FK UNS /
RSUD Dr. Moewardi / RSUD Dr. Moewardi /
RSOP Prof. DR. R. Soeharso RSOP Prof. DR. R. Soeharso

Dr. Ismail Mariyanto, SpOT. FICS Dr. Mujaddid Idul Haq, SpOT. FICS
NIP. 19570907198410100 NIP. 197110222009121001

Mengetahui :

Ka. Bagian Orthopaedi & Traumatologi FK UNS /


RSUD Dr. Moewardi /
RSOP Prof. DR. R. Soeharso

Dr. Agus Priyono, SpOT. FICS


commit
NIP: 130to543
user975
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BIOMECHANICS - EXPERIMENTAL STUDY


DECREASED BONE STRENGTH AND INCREASED FRACTURE RISK
AGAINST BENDING AND TORSIONAL LOADS AFTER
BROKEN SCREW REMOVAL WITH HOLLOW REAMER

Najmudin * Iwan Budiwan Anwar **


* Resident of Orthopaedic & Traumatology School of Medicine 11 Maret University
** Senior Staff of Orthopaedic & Traumatology School of Medicine 11 Maret University
Soeharso Orthopaedic Hospital, Solo
ABSTRACT
Background : Broken screw can often be identified on preoperative radiograph,
but it may also be encountered unexpectedly during surgery. Broken screw
removal can be a time-consuming process, and no single technique is uniformly
successful. Special tools are needed for removing stripped or broken screw. When
the broken screw should be removed, the surgeon and patients face increasing
potential risk of fracture. The aim of this study is to understand and to compare
the potential risk of fracture when a broken screw is removed or leaved.
Method : This biomechanics study was conducted in 120 bones, devided in
2 groups. Group A-60 tibial sheep bones, each with six 3,5 mm cortical screws.
Group B-60 tibial cow bones, each with eight 4,5 mm cortical screws. All the
bones are measured and compared to those of the diameter of 20-40 years-old man
radius and tibial bones. The over- and undersized bones will be discarded.
Then every group was divided in 3 sub-groups and receive 3 different kinds of
interventions, each with 20 bones :
1 - Removal of all screw without broken screw like routine plate & screw removal
2 - Removal of all screw with one broken screw left
3 - Removal of all screw with one broken screw taken by hollow reamers and
extraction bolts so that creating a large cortical bone defect.
Then every sub-group (20 bones) was tested quantitatively using 2 different
machines. 10 bones were tested with bending machine. Bending loads will be
given until the bone fractured. The other 10 bones were tested with torsional
machine. Torsional loads will be given until the bone fractured. The minimum
force that makes the bone fractured was recorded and analysed for each subgroup
with one-way Anova method of statistics with α=0,01.
Result : Statistical analysis using software SPSS (one-way Anova), the study
shows that : There is a significant difference (p<0,01) between all the bone
and the intervention (divided in 12 subgroup), except for the tibial sheep
bone given torsional force (subgroup 5 and 6), that no significant difference
between removed and leaved broken screw.
Conclussion : A broken screw, either removed or leaved, will decreased the
bending or torsional force to break the bone. It also decreased the bone
strength. The decreased is much higher when it was removed with hollow
reamer. At the other side, the removal of broken screw increased the fracture
risk compared to those of normal plate-screw removal and leaved broken
screw.
Keyword : Bone Strength, Broken commit
Screwto Removal,
user Hollow Reamer, Refracture
Risk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

STUDI BIOMEKANIK – EXPERIMENTAL


PENURUNAN KEKUATAN TULANG DAN PENINGKATAN RESIKO
FRAKTUR TERHADAP GAYA BENDING DAN TORSIONAL AKIBAT
PENCABUTAN SCREW YANG PATAH DENGAN HOLLOW REAMER

Najmudin * Iwan Budiwan Anwar **


* Residen Orthopedi & Traumatologi FK Univ 11 Maret / RSOP Prof. Dr. R. Soeharso, Solo
** Staff Senior Orthopedi & Traumatologi FK Univ 11 Maret/RSOP Prof. Dr. R. Soeharso, Solo
ABSTRACT
Latar Belakang : Screw yang patah kadang dapat diidentifikasi pada foto
radiologi pre-operatif, namun juga dapat ditemukan saat pembedahan. Pencabutan
screw yang patah ini dapat memakan waktu yang lama, dan tidak ada satu teknik
pun yang paling unggul. Alat – alat khusus diperlukan untuk pencabutan screw
yang macet atau rusak ini. Jika screw yang patah ini dicabut, maka ahli bedah
ortopedi dan penderita akan berhadapan dengan peningkatan resiko refraktur.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan
peningkatan resiko fraktur pada screw patah yang ditinggalkan dan yang dicabut.
Metode : Penelitian biomekanik ini dilakukan pada 120 tulang yang terbagi dalam
2 grup. Grup A-60 tulang tibia kambing, lalu dipasang enam screw korteks 3,5
mm. Grup B-60 tulang tibia sapi, lalu dipasang enam screw korteks 4,5 mm.
semua tulang diukur dan dibandingkan dengan diameter dari tulang radius dan
tibia manusia, pria dewasa 20-40 tahun. Diameter yang melebihi range ini akan
dikeluarkan dari penelitian. Kemudian setiap grup akan dibagi menjadi 3 sub-grup
dan mendapat 3 perlakuan yang berbeda :
1. Pencabutan semua screw seperti pencabutan plate-screw normal
2. Pencabutan semua screw ditambah satu screw yang patah dan ditinggalkan
3. Pencabutan semua screw ditambah satu screw yang patah dan dicabut dengan
hollow reamer dan extraction bolts.
Kemudian setiap sub-grup (A1-3&B1-3), masing-masing 20 tulang, akan dites
secara kuantitatif dengan 2 mesin yang berbeda. 10 tulang akan dites dengan
bending machine. Gaya bending akan diberikan hingga tulang tersebut patah.
10 tulang yang lain akan dites dengan torsional machine. Gaya torsional akan
diberikan hingga tulang tersebut patah. Gaya minimum yang diperlukan untuk
mematahkan tulang – tulang akan dicatat untuk setiap sub-grup dan dianalisis
menggunakan metode One-way Anova dengan α=0,01.
Hasil : Analisis statistik menggunakan piranti lunak SPSS 12.0 dan metode
One-way Anova didapatkan hasil : terdapat perbedaan yang nyata (p<0,01)
diantara semua tulang dan intervensi dalam 12 sub-grup, kecuali pada tulang tibia
kambing yang diberi gaya torsional (sub-grup 5 dan 6), yang tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antara screw patah yang ditinggalkan dan yang dicabut.
Kesimpulan : Adanya screw yang patah, baik dicabut maupun ditinggalkan, akan
mengurangi gaya bending atau torsional yang diperlukan untuk mematahkan
tulang. Hal ini berarti mengurangi kekuatan tulang. Pengurangan ini akan jauh
lebih besar jika screw yang patah tersebut dicabut dengan hollow reamer karena
akan membuat defek yang besar pada tulang panjang. Disisi lain, screw patah
yang dicabut akan meningkatkan commitresiko
to userrefraktur dibandingkan dengan
pencabutan plate – screw yang normal ataupun screw patah yang ditinggalkan.
Kata Kunci : Bone Strength,Broken Screw Removal,Hollow Reamer, Refracture
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT oleh karena nikmat dan anugerahnya
semata maka penelitian ini dapat selesai tepat waktu. Sholawat dan salam semoga
selalu tercurah pada Nabi Muhammad SAW. Semoga kita tetap berpegang pada
tali yang kuat dan selalu berada pada jalan yang lurus.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui penurunan kekuatan tulang
bila dilakukan prosedur pencabutan screw yang patah dengan hollow reamer,
sehingga kita bisa lebih berhati – hati untuk melakukannya dan menyiapkan
perawatan pasca operatif yang lebih baik.
Terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang membantu
menyelesaikan penelitian ini :
1. Dr. Iwan Budiwan Anwar Sp.OT selaku pembimbing utama penelitian ini
dan staf senior orthopedi / pembimbing semester VII (Adult Recontruction
Surgery) di RSOP. Prof. DR. R. Soeharso Surakarta
2. Prof. DR. Dr. Respati Suryanto Dradjat Sp.OT selaku pembimbing
metodologi penelitian ini dan direktur utama / staf senior orthopedi /
pembimbing semester VIII (Spine Surgery) di RSOP. Prof. DR. R.
Soeharso Surakarta
3. DR. Suyitno ST. MSc. selaku pembimbing mekanik di Laboratorium
Material Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Univ. Gadjah Mada.
4. DR. Rahmad Dwi Jatmiko SE. MM. selaku pembimbing statistik.
5. Dr. Ismail Maryanto Sp.OT selaku Kepala Program Studi (KPS) dan staf
senior orthopedi / pembimbing semester III dan IX di RSOP. Prof. DR. R.
Soeharso Surakarta
6. Dr. Puntodewo Sp.OT selaku staf senior orthopedi di RSUP. Dr. Sardjito
Jogjakarta atas ijin untuk melakukan penelitian di Laboratorium Material
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Univ. Gadjah Mada.
7. Dr. Tangkas Sibarani Sp.OT selaku Kepala SMF Orthopedi dan staf senior
orthopedi / pembimbing semester V di RSOP. Prof. DR. R. Soeharso
Surakarta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8. Dr. Agus Priyono Sp.OT selaku Kepala Bagian Orthopaedi &


Traumatologi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi / RSOP Prof. DR. R.
Soeharso
9. Dr. Pamudji Utomo Sp.OT selaku Sekretaris Program Studi (SPS) dan staf
senior orthopedi / pembimbing semester IV di RSOP. Prof. DR. R.
Soeharso Surakarta
10. Guru – guru kami Dr. Bintang Soetjahjo Sp.OT, Dr. Anung B. Satriadi
Sp.OT, dan Dr. Mujaddid Sp.OT
11. Istri kami yang tercinta Tri Aprilani S yang telah banyak merelakan waktu
dan kebersamaan kami di rumah selama penelitian ini dan selama
menjalani program pendidikan ini.
12. Orang tua kami tercinta yang banyak memberikan bantuan moril dan dana
yang tanpa batas.
13. Semua rekan seperjuangan PPDS Orthopedi RSOP. Prof. DR. R. Soeharso

Namun demikian masih banyak kekurangan yang terkandung dalam


penelitian ini. Hal ini hendaknya justru menjadi penyemangat bagi kita untuk
lebih memperdalam pengetahuan dibidang ilmu yang kita cintai ini.
Semoga penelitian ini menjadi bukti syukur kami atas segala nikmat yang
telah kami terima selama ini. Semoga penelitian ini membawa barokah bagi kita
semua. Dan bila ada kesalahan semoga Allah SWT memaafkan dan mengampuni
semua dosa kami.

Surakarta, Oktober 2010

Penulis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meskipun pencabutan plate & screw sudah biasa dikerjakan, namun kadang
kala prosedur ini memiliki tingkat kesulitan yang tidak dapat diprediksi
sebelumnya, baik pada operasi elektif maupun rekonstruksi (1).
Broken screw seringkali dapat teridentifikasi pada foto polos pre-operatif,
namun kadangkala baru didapat saat pembedahan oleh karena berbagai macam
sebab, diantaranya lubang recess pada head screw sudah rusak, atau screw macet
karena bagian shaft screw mencengkeram kuat tulang cortical sehingga tidak mau
berputar dan bila dipaksa akan patah pada bagian neck screw, atau screw yang
memang sudah patah sebelumnya (2).
Hal tersebut diatas membuat tingkat kesulitan dan kompleksitas operasi
menjadi bertambah. Dibutuhkan alat – alat khusus berupa screw retractors,
trephines, hollow reamers, dan extraction bolts. Pencabutan plate & screw dapat
berubah menjadi prosedur yang menguras waktu dan tenaga serta tidak ada
satupun teknik yang secara seragam dapat terbukti efektif (2).
Akibat dari prosedur pencabutan screw yang patah ini adalah adanya defek
pada tulang panjang yang berukuran lebih besar dan akan meningkatkan resiko
refraktur dikemudian hari, meski tanpa pembebanan yang berarti.
Penelitian ini mencoba untuk menemukan korelasi antara adanya cortical
bone defect yang disebabkan oleh pencabutan screw yang patah dengan
peningkatan resiko terjadinya fraktur akibat pembebanan dengan gaya bending
dan torsional.
Sehingga ahli bedah orthopedi dapat menjelaskan terhadap pasien tentang
seberapa besar resiko dari prosedur tersebut. Selain itu ahli bedah orthopedi dapat
mengetahui pengaruh gaya bending dan torsional terhadap defek pada tulang
panjang ini sehingga dapat dipersiapkan tindakan paska operatif yang tepat untuk
mencegah terjadinya fraktur dikemudian hari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah – masalah sebagai berikut :
· Seberapa besar penurunan kekuatan tulang bila dilakukan pencabutan screw
yang patah dengan hollow reamer dibandingkan bila screw yang patah
tersebut ditinggalkan ?
· Seberapa besar peningkatan resiko fraktur bila dilakukan pencabutan screw
yang patah dengan hollow reamers dibandingkan bila screw yang patah
tersebut ditinggalkan?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk :
· Mengukur seberapa besar penurunan kekuatan tulang bila dilakukan
pencabutan screw yang patah dengan hollow reamer dan bila screw yang
patah tersebut ditinggalkan.
· Mengukur seberapa besar peningkatan resiko fraktur bila dilakukan
pencabutan screw yang patah dengan hollow reamers dibandingkan bila
screw yang patah tersebut ditinggalkan.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat teoritis yang akan didapat ahli orthopedi dari penelitian ini adalah :
· Mengetahui seberapa besar persentase penurunan kekuatan tulang bila
dilakukan pencabutan screw yang patah dengan hollow reamer dan bila
screw yang patah tersebut ditinggalkan.
· Mengetahui seberapa besar rasio peningkatan resiko fraktur terhadap tulang
yang dilakukan prosedur pencabutan screw yang patah dengan hollow
reamer.
· Mengetahui seberapa besar peran defek pada tulang panjang yang
disebabkan oleh prosedur pencabutan screw yang patah dengan kejadian
refraktur akibat gaya bending dan rotasional.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Manfaat praktis yang akan didapat ahli orthopedi dari penelitian ini adalah :
· Dapat memberi penjelasan kepada ahli bedah ortopedi tentang seberapa
besar penurunan kekuatan tulang beserta peningkatan resiko refraktur
setelah dilakukan pencabutan screw yang patah.
· Mengetahui bagaimana gaya bending dan torsional dapat menyebabkan
refraktur sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan paska operatif.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencabutan Implant


Pencabutan implant bagi kebanyakan penderita sering dianggap sebagai
suatu akhir dari pengobatan terhadap patah tulang. Hal ini tentunya tidak
sepenuhnya benar okarena pencabutan implant merupakan suatu prosedur operasi
tersendiri yang memiliki indikasi, kontra-indikasi, dan resiko tertentu. Pengobatan
patah tulang dapat dinyatakan selesai setelah penderita dapat kembali beraktifitas
penuh seperti semula dan dapat berolah raga (3).
Keputusan untuk mencabut implant dapat bersumber dari ahli bedah
orthopedi dikarenakan ada indikasi untuk melakukannya, atau berasal dari
permintaan penderita dikarenakan alasan subyektif. Penelitian Langkamer &
Ackroyd (1990) menyebutkan dari 55 pasien yang menjalani pencabutan plate –
screw pada tulang radius – ulna, 11 pasien (20%) meminta dilakukan pencabutan,
sedangkan sisanya 44 pasien (80%) merupakan saran ahli bedah atau stafnya. Dari
operasi ini didapatkan komplikasi yang signifikan dalam 22 kasus (40 %) (4).

2.1.1 Indikasi Pencabutan Implant


Terdapat beberapa indikasi pencabutan implant, diantaranya :
· Indikasi absolut / mutlak
1. Infeksi
2. Non union
3. Implant failure
4. Soft tissue compromised
5. Fiksasi yang melewati sendi
Pembebanan yang berulang pada implant yang melewati
sendi dapat berakibat fatique failure. Oleh karena itu fiksasi yang
melalui distal tibio-fibular syndesmosis sering dicabut sebelum
penderita melakukan partial weight bearing dengan alasan
commit to user
mencegah patahnya implant (1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada wanita muda dengan fiksasi yang melewati symphisis


pubis, dikhawatirkan terjadi kesulitan saat persalinan pervaginam
oleh karena jalan lahir yang sempit dan tidak bisa melebar.
Kekhawatiran ini mendasari pencabutan implant pada kasus ini (1).
· Indikasi relatif
1. Pasien anak / pediatri
Alasan yang sering diutarakan untuk mencabut implant
pada pasien anak adalah kesulitan untuk mencabut implant ini
dikemudian hari apabila diperlukan oleh karena tertutup callus atau
pertumbuhan tulang. Tidak ada penelitian yang membahas hal ini
dan beberapa ahli berbeda pendapat tentang masalah ini. Chapman
menyebutkan dalam textbooknya untuk mencabut implant pada
pasien pediatrik, sedangkan Green dan Swiontkowski tidak
sependapat (1).
2. Alergi metal dan korosi metal
Korosi dapat didefinisikan sebagai perusakan metal melalui
suatu reaksi kimia atau elektro-kimia dengan lingkungan
sekitarnya. Dalam kasus ini, terdapat tiga jenis korosi, yaitu :
(5)
chemical, pitting, dan intergranular . Lokasi tersering untuk
terjadinya korosi adalah pada perbatasan antar komponen pada
implant (6).
Plate yang beredar sekarang umumnya menggunakan tipe
316-L 18/8/Mo (18 % Cr, 8% Ni, 2-3 % Mo) dimana perimbangan
ion Co, Cr, dan Mo sudah seimbang dengan ion Ni sehingga
dengan processing yang tepat dapat menghasilkan fase austenitik
dan non-ferritik sehingga konduktivitas dan permeabilitasnya dapat
diturunkan (5,6).
Pasien dengan alergi metal biasanya mengeluhkan nyeri
dalam yang non spesifik dan menyeluruh disekitar area
pemasangan implant. Hal ini dikarenakan sensitivitas terhadap tiga
commit to user
ion yang terkandung didalam stainless steel yaitu Cr, Ni, dan Co.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pemeriksaan meliputi riwayat alergi terhadap berbagai


metal, seperti kalung dan anting. Pencabutan implant akan segera
memberikan perbaikan gejala yang dramatis (1).
3. Karsinogenesis
Pathogenesis dari metal-induced carcinogénesis meliputi
2 kategori, yaitu : (1) Perlekatan metal ion pada DNA dan
(2) Alterasi DNA dan síntesis protein (1).
Oleh karena perlekatan ini reversibel, maka diperlukan
faktor lain untuk menciptakan kondisi ini. Biasanya didapat korosi
dari metal dan perbedaan potensial antar implant, misal antara
plate & screw, yang akan menyebabkan pelepaskan ion oksigen
reaktif. Diperlukan waktu laten yang panjang antara pemasangan
stimulus karsinogenik dengan perkembangan tumor (1,7).
Biasanya akan terbentuk high-grade sarcoma yang
terbentuk beberapa tahun setelah pemasangan implant. Namun
demikian, insiden karsinogenitas ini sangat rendah sekali, sehingga
tidak dapat menjadi alasan untuk pencabutan implant elektif (1).
4. Deteksi metal
Saat ini adalah era dimana keamanan ketat diterapkan di
berbagai tempat, mulai dari hotel hingga bandara. Sebagian
penderita mengutarakan kekhawatiran mereka bila implant yang
mereka pakai akan menyalakan alarm dari detektor metal (1).
Penelitian Pearson dan Matthews (1992) menyebutkan
bahwa hanya implant yang memiliki kandungan besi dalam kadar
yang tinggi yang akan menyalakan alarm metal detektor. Hal ini
diperbaiki oleh penelitian Beaupre (1994) yang menyebutkan
bahwa deteksi metal justru tergantung pada konduktivitas dan
permeabilitas implant itu sendiri. Permeabilitas disini adalah
kemampuan suatu obyek untuk menghalangi medan magnet secara
temporer (1).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Meskipun implant modern dari jenis stainless steel 316-L


memiliki kadar besi 60 %, namun oleh karena teknik
pemrosesannya dapat meminimalisir konduktivitas dan
permeabilitas implant ini, maka kemungkinan untuk terdeteksi
metal detector adalah kecil, sehingga hal ini juga bukan indikasi
untuk pencabutan implant elektif (1).
· Permintaan penderita karena alasan yang subyektif
1. Nyeri
Nyeri adalah alasan tersering dari para pasien untuk
meminta pencabutan implant. Harapannya tentu saja penghilangan
nyerinya. Namun demikian, hasil yang didapat tidak dapat
diprediksi dan tergantung pada jenis implant yang digunakan dan
lokasi anatomisnya (8).
Penelitian Brown dkk (2001) menyebutkan dari 22 pasien
yang dilakukan pencabutan implant di sendi engkel dengan
indikasi nyeri engkel setelah union, 11 diantaranya (50 %)
mengalami pengurangan nyeri. Penelitian serupa oleh Jacobsen
dkk (1994) menyebutkan angka 75 %. Penelitian Keating dkk
(1997) pada pasien dengan nyeri lutut setelah pemasangan nail
tibia menyebutkan 45 % pengurangan nyeri yang menyeluruh,
35 % pengurangan sebagian, dan 20 % tidak berkurang. Penelitian
Court-Brown dkk (1997) justru menyebutkan angka 3,2 % pasien
dengan nyeri memburuk setelah dilakukan pencabutan implant (1,8).
Oleh karena ketidakseragaman ini, maka ahli orthopedi
tidak diperbolehkan untuk menjamin penghilangan nyeri yang
komplit kepada para pasien (1).
2. Implant yang teraba atau mengiritasi jaringan disekitarnya
3. Keinginan penderita
Kekhawatiran mengenai efek sistemik dan lokal dari
implant yang ditinggal dalam tubuh sering mendorong penderita
commit to user
untuk meminta pencabutan elektif (1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.1.2 Kontra-Indikasi Pencabutan Implant


Tidak ada kontra-indikasi yang mutlak untuk prosedur pencabutan
implant, namun pada beberapa kondisi dibawah ini harus dipertimbangkan untuk
tidak melakukan pencabutan implant, yaitu :
1. Kondisi umum penderita, terutama pada pasien yang berusia lanjut
2. Defisiensi imunologi, seperti : penderita HIV, tuberkulosis, dan pengguna
steroid lama
3. Adanya gangguan sirkulasi pembuluh darah lokal, seperti : diabetes
mellitus dan peripheral arterial thrombosis
4. Implant yang asimptomatik pada tempat yang beresiko terjadi kerusakan
iatrogenik, seperti humerus, pelvis, dan acetabulum (3).

2.1.3 Implikasi Pencabutan Implant


Keputusan untuk melakukan pencabutan implant sendiri memiliki
implikasi di bidang ekonomi, diantaranya adalah :
· Direct cost, yang meliputi : biaya untuk melakukan prosedur ini
· Indirect cost, yang meliputi : waktu kerja efektif yang hilang pada periode
poska operatif dan produktivitas yang menurun sesudahnya (1).
Penelitian Boerger dan Murphy (1999) menyebutkan bahwa pada pasien
yang dilakukan pencabutan intramedullary nail pada ekstremitas bawah
diperlukan rata – rata 11 hari untuk kembali pada aktivitasnya semula (1).
Penelitian Langkamer & Ackroyd (1990) menyebutkan dari 55 pasien
yang menjalani pencabutan implant di radius – ulna : (4)

Rata- rata Semua Uncomplicated Complicated


Masa tinggal di RS 40 jam (3–168 jam) 28 jam 56 jam
Kehilangan hari kerja 3,4 minggu 2,1 minggu 5,2 minggu
Full recovery --- 2,5 minggu 6,8 minggu
(4)
Tabel 1. Implikasi pencabutan implant dibidang ekonomi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.1.4 Komplikasi Pencabutan Implant


Setiap prosedur bedah selalu memiliki resiko, baik yang berkaitan dengan
operasi, anestesi, dan resiko paska operasi (1).
Pencabutan implant dapat berubah menjadi prosedur yang menantang dan
memiliki potensi komplikasi, diantaranya infeksi, refraktur, cedera pada struktur
(1)
neuro-vaskuler, dan deformitas . Penelitian Langkamer & Ackroyd (1990)
menyebutkan dari 55 pasien yang menjalani pencabutan implant di radius – ulna,
terdapat 22 kasus (40 %) yang mengalami komplikasi (4). Diantaranya :
1. Masalah neurologis 17 pasien (31 %) diantaranya ;
· Lokal anesthesia 6 pasien
· PIN 6 pasien
· N. Medianus 3 pasien
· N. Ulnaris 1 pasien
Pada semua pasien ini dilakukan anterior approach
2. Scar yang buruk 5 pasien (9,0 %) à Lebih lebar & jelas
3. Luka infeksi 4 pasien (7,3 %) à Staph. aureus
4. Refraktur 2 pasien (3,6 %) à Inappropriate IF
5. Delayed healing 1 pasien (1,8 %)

Penelitian Muller dkk dari AO/ASIF (1979) telah memberikan panduan /


guidelines untuk pemasangan implant pada radius-ulna berupa small fragment /
3,5 mm system, beserta waktu pencabutannya, sekitar 18 bulan, dengan harapan
insiden refraktur pada kasus ini dapat berkurang hingga 1,5 % (9).
Namun demikian pada penelitian Hidaka & Gustillo (1984) didapat 6
refraktur dari 23 pasien (26 %) yang dilakukan removal pada radius-ulna. Hal ini,
menurut penelitian Chapman dkk (1989) disebabkan karena penggunaan sistem
large fragment / 4,5 mm system. Chapman meneliti kasus refraktur pada radius-
ulna yang melewati residual screw holes pada sistem 4,5 mm (9).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 1. (1) Menunjukkan union radius-ulna post ORIF pada wanita 40 tahun. (2) Empat belas
hari setelah dilakukan pencabutan implant terjadi refraktur yang melewati initial / original fracture
(4)
site dan hanya disebabkan oleh trauma yang umumnya tidak mengakibatkan patah tulang .

Penelitian DeLuca dkk (1987) mengenai faktor predisposisi untuk


refraktur, menyebutkan cedera dengan energi tinggi, fraktur terbuka, kegagalan
untuk mencapai kompresi yang adekuat, dan kegagalan memberikan bone graft
pada kasus fraktur yang kominutif akan meningkatkan resiko untuk terjadinya
refraktur (9).

2.1.5 Waktu Untuk Pencabutan Implant


Waktu yang tepat untuk pencabutan implant bergantung pada lokasi
dipasangnya implant dan karakter dari implant yang digunakan. Namun secara
umum diperlukan setidaknya 1-2 tahun dimana x-ray telah menunjukkan
penyembuhan fraktur yang komplit (complete fracture healing) (3).
Penelitian Rosson dan Shearer (1991) menunjukkan bahwa pada implant
di radius – ulna yang dicabut sebelum 12 bulan, didapat 3 refraktur dari 6 pasien.
Ketiganya terjadi hanya dengan trauma yang umumnya tidak mengakibatkan
patah tulang. Dua diantaranya melewati initial fracture site, sedangkan satu kasus
melewati residual hole bekas countersunk interfragmentary screw (9).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2. (1) Menunjukkan tempat dari countersunk interfragmentary screw. (2) Refraktur
(9)
nampak melewati residual hole ini dan bukan melewati initial / original fracture site .

Namun pada implant yang dicabut setelah 12 bulan, didapat 1 refraktur


dari 43 pasien. Itupun dikarenakan pasien ini telah mengalami operasi
rekonstruksi sebanyak 3 kali dengan ORIF dan bone graft (9).

Tabel 2. Insiden refraktur pada radius-ulna yang dilakukan pencabutan implant sebelum dan
(9)
sesudah 12 minggu. Dihitung dengan chi-squared test (Yates’ correlation)

Bila limit waktu pencabutan implant ditambah hingga 18 bulan, maka


dengan perhitungan dengan chi-squared test (Yates’ correlation) maka tidak
didapat perbedaan yang signifikan secara statistik (9).

2.1.6 Perawatan Paska Operatif Setelah Pencabutan Implant


Setelah pencabutan selesai, foto polos x-ray harus selalu dibuat, karena :
1. Bukti bahwa penyembuhan patah tulang telah sempurna
2. Bukti bawa implant telah dicabut, dengan atau tanpa komplikasi
commitkondisi
3. Menyediakan informasi tentang to usertulang pasca pencabutan implan (3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada perawatan poska operatif, penting untuk memberitahu penderita dan


keluarganya, sesuai dengan arahan / guidelines dari AO/ASIF bahwa setelah
pencabutan implant, olah raga kompetisi dan kerja fisik yang berat harus ditunda
(3)
hingga sekurangnya 4 bulan . Aktivitas ekstrim ditunda hingga 6 bulan.
Ditambah dengan penggunaan light functional brace (4).
Namun demikian, immobilisasi paska operatif ini bukan dimaksudkan
untuk mencegah refraktur, namun untuk menundanya selama mungkin sambil
menunggu terjadinya konsolidasi yang adekuat (9).

2.1.7 Kepercayaan Dan Persepsi Ahli Bedah Tentang Pencabutan Implant


Pencabutan implant secara rutin setelah fraktur menyembuh masih
menjadi perdebatan diantara para ahli orthopedi. Sebagian masih menganggapnya
sebagai bagian dari pengobatan fraktur namun sebagian menolak kebijakan ini.
Hal ini dikarenakan belum adanya panduan / guideline yang jelas dan disertai
dengan evidence-based (1,10).
Bila mana ahli bedah memutuskan untuk mencabut implant, maka ia harus
menjelaskan secara lengkap kepada pasien tentang kegunaan, resiko, dan
implikasi dari prosedur pencabutan implant ini.
Penelitian Hanson dkk (2007) menjelaskan beberapa hal tentang
kepercayaan dan persepsi ahli bedah tentang pencabutan implant, diantaranya
adalah (10) :
· 58 % partisipan tidak setuju dengan pencabutan implant secara rutin.
· 49 % dan 58 % partisipan tidak setuju bahwa implant yang dibiarkan akan
meningkatkan resiko refraktur dan resiko yang lain
· 48 % partisipan merasa bahwa pencabutan itu lebih beresiko dibanding
membiarkan implant in situ
· 85 % partisipan setuju bahwa pencabutan implant akan membebani
sumber daya rumah sakit
· Prioritas pencabutan pada beberapa tipe implant

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 3. Prioritas pencabutan pada beberapa tipe implant (10)

· Indikasi utama untuk pencabutan implant

Tabel 4. Indikasi utama untuk pencabutan implant (4)

2.2 Screw
Screw merupakan salah satu komponen dasar internal fiksasi. Karakter
dari screw tergantung dari (1) Material pembuatnya, (2) Dimensinya, (3) Desain
ujung dan kepalanya (11).
Kegunaan screw adalah untuk (1) Memfiksasi plate pada tulang dan
(2) Memfiksasi fragmen tulang dan menjaganya pada posisi yang anatomis.
Namun demikian, screw sendiri tidak bisa melindungi fragmen fraktur dari gaya
commit to user
bending, rotasi, maupun axial sekalipun (12).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.2.1 Material Pembuat Screw


Dari segi material, screw dibedakan menjadi :
1. Biodegradable
2. Non-biodegradable, yang
terbuat dari :
o Stainless steel
o Titanium (11) Gambar 3. Biodegradable screw
(12)

Material pembuat implant orthopedi harus memenuhi beberapa


persyaratan, diantaranya :
- Cukup kuat dan memiliki fatique strength dan modulus elastisitas yang
tinggi.
Fatique strength adalah kemampuan dari suatu bahan / material untuk
menahan gaya yang diberikan kepadanya secara berulang – ulang.
Modulus elastisitas adalah kemampuan dari suatu bahan / material untuk
kembali pada bentuk asli / awalnya tanpa mengalami deformitas yang
permanen jika kepadanya diberikan gaya secara berulang – ulang.
- Tidak terlalu kaku. Sehingga stress shielding pada tulang tidak terlalu besar.
- Biokompatibilitas yang tinggi.
Dapat ditoleransi oleh jaringan tubuh (12).

Karakteristik mekanik dari material pembuat implant orthopedi :


Karakteristik Stainless Steel Cobalt-Chromium Titanium
- Kekakuan Tinggi Cukup Rendah
- Kekuatan Cukup Cukup Tinggi
- Ketahanan Korosif Rendah Cukup Tinggi
- Biocompatibility Rendah Cukup Tinggi
Tabel 5. Karakteristik mekanik dari material pembuat implant orthopedi (12)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.2.2 Anatomi Screw


Bagian – bagian screw meliputi : Head, Neck, Shaft dan Thread Screw.
Thread depth adalah selisih antara outer dan inner diameter. Makin besar thread
depth maka makin besar surface area dari screw tersebut yang berarti pullout
strengthnya juga makin besar. Namun penentu utama fatique strength dari screw
adalah inner / core diameter. Bagian – bagian ini digambarkan dibawah ini (11) :

Gambar 4. Anatomi screw

2.2.3 Desain dan Ukuran Screw


Dari segi headnya, screw terbagi menjadi (1) Conventional screw,
(11,13)
(2) Locking screw dan (3) Headless screw . Dibawah ini adalah desain dari
screw :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 5. Desain screw

Dari segi thread dan tipnya, screw terbagi menjadi (1) Cortical screw
dengan bullet tip, (2) Cancellous screw dengan corkscrew tip, dan (3) Malleolar
screw dengan self tapping tip (11,13).
Sedangkan self tapping tip terbagi menjadi (a) Thread-forming tip, untuk
tulang cancellous, dan (b) Thread-cutting trocar tip, untuk tulang cortical (11,13).

2.3 Pencabutan Screw Yang Rusak Atau Patah


Screw yang rusak pada lubang recessnya merupakan masalah yang paling
sering dijumpai pada prosedur pencabutan plate & screw. Kondisi ini sering
dijumpai pada small fragment / 3,5 mm screw system. Penyebabnya adalah slip
antara screwdriver dan lubang recess pada head screw. Hal ini bisa diakibatkan
hexagonal tip dari screwdriver yang sudah tidak bagus atau karena hexagonal tip
tersebut belum fit kedalam lubang recess pada head screw saat diputar (14).

2.3.1 Indikasi Pencabutan Screw Yang Rusak Atau Patah


Terdapat beberapa indikasi pencabutan implant yang patah, diantaranya :
1. Infeksi. Dilakukan untuk meminimalisir kolonisasi bakteri.
2. Non-union dan implant failure
commit to user
3. Operasi rekonstruksi yang mengharuskan pencabutan screw yang patah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.3.2 Algoritma Untuk Pencabutan Screw Yang Macet Atau Patah

Removal of Intact Screws ( in Plates )

Clean the Screw Recess ( with Sharp Hook )

Unscrew the Screws ( with Hexagonal Drives )

Success

Damaged Recess (in Plates ) Jammed Screws (in Plates )

Change with New Screw Driver With Broken Without Broken


Instrument Instrument

Wet Gauze Swab Wrapped around


the Tip of the Screw Driver Remove with Sharp Hook

Success Failed Success Failed

Apply Conical Extraction Screw


Apply HSS Drill Bit

Remove the Screw

Remove the Plates

Success Failed

Apply HSS Drill Bit


BROKEN SCREW
commit to user PROCEDURE
Remove the Plates
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BROKEN SCREW
PROCEDURE

Shaft Visible Shaft Not Visible

Expose the Shaft Screw


Apply the Gouge

Apply the Vise Grip-type Pliers

Remove the Screw

Success Failed Apply Hollow Reamer

Apply Extraction Bolts

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.3.3 Alat Untuk Pencabutan Screw Yang Patah Dan Cara Penggunaannya
Adalah penting untuk selalu menyiapkan ‘broken screw set’ dalam kondisi
steril dan siap pakai, terutama untuk mengantisipasi kejadian yang tidak
diharapkan saat melakukan semua prosedur pencabutan implant. Selain itu setiap
ahli bedah juga harus mengetahui cara penggunaan masing – masing alat, oleh
karena tidak ada satupun teknik yang secara seragam dapat terbukti efektif (2,11).
Ada banyak jenis dan merk ‘broken screw set’ yang tersedia dipasaran,
masing – masing dengan kelebihannya. Namun disini kami mengambil contoh
dari ‘Screw Removal Set System’ buatan Synthes®, USA.
‘Screw Removal Set System’ buatan Synthes® ini terdiri atas tiga module,
berdasarkan atas ukuran screwnya, diantaranya :
· Screw extraction module untuk screw ukuran 1.0/1.5/2.0/2.4/2.7/3.0 mm
· Screw extraction module untuk screw ukuran 3.5/4.0/4.5 mm
· Screw extraction module untuk screw ukuran 5.0/6.0/6.5/7.0/7.3 mm

commit to user
Gambar 6. Synthes’ Screw Extraction Module untuk screw ukuran 3.5/4.0/4.5 mm (15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Instrumen untuk pencabutan screw normal :


Screwdriver shafts

Gambar x. Screwdriver
(Hex, Stardrive and cruciform) (15)

Bisa digabung dengan :

Gambar 7. (1) T-handle with quick coupling (2) Universal chuck (3) Handle with quick couple (15)

Alat bantú :

Gambar 8. (1) Extraction pliers untuk pencabutan screw (2) Sharp hook untuk membersihkan
screw recess (15)

Proses pencabutan screw normal :

commit
Gambar 9. (1) Perhatikan bahwa screwdriver to user
tip harus masuk dan fit kedalam screw recess.
(2) Proses pencabutan screw normal (15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Instrumen untuk pencabutan screw yang macet atau rusak :


Conical extraction screw
Digunakan untuk mencabut screw
dengan screw recess yang rusak

Gambar 10. Conical extraction screw (15)


Cara kerja :
Diputar melawan jarum jam dan
ditekan sampai screw tercabut atau
gagal.
Bila gagal lanjutkan dengan
penggunaan HSS atau Carbide dril
bit
Gambar 11. Cara kerja extraction screw (15)

Carbide / HSS dril bit : bor untuk merusak head screw dan lubang recessnya

(15)
Gambar 12. (1) Carbide dril bit (untuk screw titanium) (2) HSS dril bit (untuk screw dari baja)
Cara kerja :

Gambar 13. (1) Bor lubang recess dari screw dengan HSS dril bit. Lalu coba cabut screw tersebut
dengan conical extraction screw. (2) Bila gagal lanjutkan sampai head screw terlepas (15)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Instrumen untuk pencabutan screw patah :

Gouge :
Lebar 10 mm. Digunakan untuk mengekspose broken shaft screw

Gambar 14. (1) Gouge (2) Cara kerja : buat lubang pada tulang hingga shaft screw nampak (15)

Vise Grip-type Pliers


Digunakan untuk mencabut broken shaft screw

(15)
Gambar 15. (1) Vise Grip-type Pliers (2) Cara kerja : putar anti clockwise

Bila broken shaft screw tidak nampak pada permukaan, gunakan ;


Hollow reamer, terdiri atas :
Reamer tube, centering pin, dan shaft
Diputar melawan jarum jam
Digunakan untuk mengekspose shaft
screw

commit to user Gambar 16. Hollow reamer (15)


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Cara kerja :

Gambar 17. Cara kerja hollow reamer : (1) Masukkan centering pin pada shaft, lalu (2) Masukkan
reamer tuve, lalu (4) Gunakan untuk mengekspose broken shaft screw yang tidak nampak. (15)

Extraction bolts :
Digunakan untuk mencabut shaft screw yang telah terekspose

Gambar 18. (1) Extraction bolts (2) Caracommit berlawanan dengan jarum jam (15)
to user
kerja : putar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.3.4 Cara Alternatif Untuk Pencabutan Screw Yang Rusak Atau Patah

Ada beberapa cara alternatif


untuk mencabut screw yang macet,
yang pertama adalah menggergaji
plate tersebut pada lubang screw
dengan diamond cutting wheel.
Kemudian screw tersebut diputar
(2)
Gambar 19. Menggergaji screw
dengan vise grip-style pliers (2).
Alternatif kedua adalah dengan
menggergaji plate tersebut pada
kedua sisi di sekitar lubang screw
dengan diamond cutting wheel.
Kemudian plate tersebut diputar
dengan vise grip-style pliers (2).
(2)
Gambar 20. Memutar plate + screw

Cara lain untuk melepaskan implant adalah dengan mencapainya melalui far
cortex. Caranya adalah dengan :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 21. (1) Membuat incisi kecil pada


tempat diatas far cortex. Perdalam lapis
demi lapis. (2) Dengan bantuan C-Arm maka
ujung dari screw dapat diidentifikasi.
Dilakukan reamer dengan trephines dan
hollow reamer hingga bebas dari tulang
sekitar. (3) Plate diangkat dengan screw
(11)
masih melekat erat pada lubang plate .

2.3.5 Komplikasi Pencabutan Screw Yang Rusak Atau Patah


Komplikasi tersering dari prosedur ini adalah refraktur, yang diakibatkan
oleh defek pada tulang kortikal dengan diameter yang lebih besar (11).
Pencegahan untuk terjadinya komplikasi diatas meliputi ;
· Pemasangan eksternal support berupa splinting atau casting
· Delayed weight bearing
· Pemasangan cancellous bone grafting (11)

2.4 Struktur Tulang Saat Union Fracture


Pengobatan terhadap patah tulang, baik dengan eksternal support,
eksternal fiksasi, maupun dengan pemasangan internal fiksasi, baik
intramedullary maupun extramedullary, akan menciptakan suatu lingkungan
biologis yang mengarah pada perubahan adaptif pada tulang. Terdapat dua prinsip
penyembuhan tulang, yaitu :
1. Primary / Direct Fracture Healing
(1)
2. Secondary / Indirect Fracture Healing .

2.4.1 Direct Bone Healing


Direct fracture healing dapat kita amati pada fraktur dimana terpasang
internal fiksasi yang rigid, seperti compression plating. Osseus channnels baru
tumbuh dan menyeberangi daerah fraktur (13).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Direct fracture healing ini ditandai oleh :


1. Tidak terbentuknya callus formation pada fracture site
2. Tidak adanya resorpsi permukaan tulang pada fracture site
3. Direct bone formation tanpa melalui intermédiate repair tissue (13)
Terdapat dua tipe dari penyembuhan tulang ini :
1. Contact Healing
Penyembuhan tulang yang terjadi diantara dua ujung fragmen tulang yang
saling bertemu dan difiksasi dengan rigid tanpa pergerakan mikro sehingga
terjadi internal remodelling tanpa melalui intermédiate stages.
2. Gap Healing
Penyembuhan tulang yang terjadi diantara dua ujung fragmen tulang yang
difikasasi secara stabil dan terdapat celah kecil diantara keduanya. Gap
healing ini terjadi melalui dua fase :
i) Pengisian celah tersebut dengan lamellar bone bila celah kurang dari
200 µM. Celah yang lebih besar akan diisi oleh woven bone
ii) Remodelling melalui dua cara, yaitu :
(a) Dari lamellar bone menuju ke fragmen–fragmen (plugging)
(b) Dari satu fragmen melewati lamellar bone menuju ke fragmen
lainnya (13,16).

2.4.2 Indirect Bone Healing


Indirect fracture healing dapat kita amati pada fraktur yang tidak diterapi
secara layak atau pada fiksasi yang kurang rigid, seperti intramedullary nail atau
eksternal fiksasi (1,13).
Indirect fracture healing ini ditandai oleh :
1. Terbentuknya callus formation pada fracture site
2. Adanya resorpsi permukaan tulang pada fracture site
3. Bone formation melalui fase intermédiate repair tissue (13)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(18)
Gambar 22. Fase–fase bone healing

Indirect / secondary bone healing terbagi atas 5 stage (18) :


1. Tissue destruction dan haematoma formation
Terjadi ruptur pembuluh darah dan hematom disekeliling fraktur. Pada
fase ini dilepaskan sinyal biokimia berupa cytokines dan growth factors
(GF) termasuk bone morphogenic proteins (BMP).
2. Inflammation dan celular proliferation
Terjadi keradangan. Macrophage akan mencerna jaringan yang mati dan
terbentuk jaringan granulasi.
3. Callus formation
Terbentuk soft callus. Sel – sel mesenchymal yang berasal dari periosteum,
endosteum, dan bone marrow akan bermigrasi menuju callus. Sel ini akan
berdiferensiasi menjadi fibroblast, chondroblast, dan osteoblast,
tergantung dari kondisi mekanik dan biologis disekitarnya. Kemudian
terbentuk jaringan fibrous, cartilage, dan woven bone.
4. Consolidation
Terjadi pertumbuhan pembuluh darah baru yang menyediakan oksigenasi
sehingga cartilage dan woven bone diganti oleh lamellar bone. Setelah
commit to user
bagian tengah dari callus terossifikasi, maka fase ini telah selesai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Remodelling
Pada fase ini external callus akan diresorbsi dan terjadi proses apoptosis.
Tulang akan kembali pada bentuk dan strukturnya yang asli (18).

2.4.3 Efek Gerakan Terhadap Adaptasi Tulang


Jaringan muskuloskeletal membutuhkan gerakan dan pembebanan untuk
mempertahankan integritas struktural, fungsi, dan susunan biokimianya. Hal ini
nampak pada orientasi trabeculae mengikuti garis dari beban terbesar pada tulang.
Hal ini didemonstrasikan oleh Von Meyer (1867) pada femoral neck dan head (26).

Gambar 23. a. Trabeculae pada tulang femur. b. Wolff’s Law

Prinsip kontrol mekanik dari arsitektur internal tulang telah diteliti dengan
detil dan dirumuskan oleh Julius Wolff, anatomist Jerman (1892) dalam bukunya
“ Das Gesetz der Transformation der Knochen / The Law of Bone Remodelling
(1986) “. Ia menyebutkan bahwa orientasi trabeculae (struktur tulang) dapat
berubah bila terjadi perubahan arah pembebanan mekanik. Artinya remodelling
tulang berlangsung terus menerus sepanjang hidup untuk mempertahankan
keseimbangan tulang (19).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Harold Frost (1960) menyelidiki tentang mekanisme adaptasi fisiologis


pada tulang. Ia menyatakan teori bahwa tulang remaja (adolescent) beradaptasi
secara berbeda dengan tulang dewasa (adult). Tulang remaja jauh lebih sensitif
terhadap stimulus mekanik karena ia bisa mengalami modelling dan remodelling.
Sementara pada tulang dewasa, dimana aktifitas dari osteoblast selalu beriringan
dengan osteoclast, maka hanya ada proses remodelling.

Gambar 24. Mekanisme adaptasi fisiologis

Pertumbuhan tulang sendiri membutuhkan gerakan. Proses dimana gaya


mekanik ini dideteksi dan dikonversi menjadi signal biokimia dan bioelektrik
untuk dapat memicu respon di tingkat seluler dinamakan mechanotransduction.
Hal ini terbagi atas empat tingkatan, yaitu (19):
1. Mechanocoupling
Pendeteksian beban mekanik melalui sel sensor yang akan menghasilkan
sinyal mekanik local. Terjadi aliran cairan interstitial yang akan
menimbulkan gaya shear pada osteocytes di dalam lacunar-canalicular
network.
2. Biochemical coupling
Konversi sinyal mekanik local menjadi sinyal biokimia melalui sistem
integrin-cytoskeleton-nuclear matrix structure ( sel sebagai mechano-
sensor)
3. Transmission of biochemical signal
Ditujukan untuk sel efektor
4. Effector cell response
Efek dari ketiga hal diatas yang akan mendorong atau menghambat respon
dari sel. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 25. Mechanotransduction

Hal ini dimungkinkan oleh adanya sistem komunikasi inter-celluler pada


tulang, yang dijalankan oleh sistem lacunar-canalicular, sehingga mekanisme
kontrol biofisik dapat memacu pertumbuhan dan perbaikan tulang.

Gambar 26. Sistem komunikasi inter-celluler


lacunar-canalicular

2.5 Keadaan Tulang Setelah Dilakukan Pencabutan Implant


Pengobatan patah tulang dapat dinyatakan selesai setelah penderita dapat
kembali beraktifitas penuh seperti semula dan dapat berolah raga (3).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.5.1 Efek Plate-Screw Terhadap Tulang


Penggunaan plate-screw sebagai salah satu metode fiksasi memiliki
berbagai keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang didapat diantaranya :
1. Stabilitas yang sempurna pada semua arah gerakan, baik lateral-bending,
torsional, axial, dan distraksi
2. Rehabilitasi yang cepat dan bebas nyeri (20)
Namun demikian, ada pula beberapa kekurangan metode ini, diantaranya :
1. Kerusakan periosteum dan pembuluh darah periosteal dibawah plate
2. Osteoporosis lokal dibawah plate, baik pada intra-cortical dan endosteal.
Osteoporosis ini disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah sifat plate
yang rigid sehingga memberi efek stress shielding / protection terhadap
tulang.
3. Pemasangan dengan metode absolute stability akan memberi efek
menghilangkan signal biologis normal yang terjadi saat fraktur dengan
pelepasan berbagai macam agen kimia dan biologis. Sehingga tidak
terbentuk callus dengan akibat kekuatan tulang saat union akan berkurang.
4. Kebutuhan akan operasi berikut berupa pencabutan plate – screw dan
resiko refraktur. Refraktur ini merupakan kombinasi dari osteoporosis
lokal karena stress protection pada fracture site dengan terjadinya stress
riser / concentration pada lubang bekas screw (20,21).

2.5.2 Struktur Tulang Setelah Dilakukan Pencabutan Implant


Selama beberapa bulan awal dari penyembuhan tulang, nampak
pengurangan sebagian massa tulang pada tempat perlekatan plate dengan tulang.
Hal ini dikatakan sebagai ‘efek stress shielding’, dimana plate tersebut akan
melindungi tulang dari pembebanan yang normal dan fungsional sehingga
mengakibatkan pengurangan massa tulang (1).
Penelitian Perren dan Rahn (1980) menyebutkan bahwa osteoporosis lokal
ini adalah suatu fenomena sementara dan akan sembuh dengan sendirinya pada
tulang kambing dalam waktu setahun.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penelitian tentang hal ini pada manusia dilakukan oleh Rosson, Petley, dan
Shearer (1991) yang menyebutkan bahwa dibutuhkan waktu sekitar 21 bulan
setelah pemasangan plate-screw pada radius ulna untuk mengembalikan densitas
tulang seperti pada level sebelum fraktur. Penelitian mereka menggunakan single-
(21)
photon absorptiometry pada union radius ulna yang baru dicabut implantnya .

2.5.3 Kelemahan Tulang Setelah Dilakukan Pencabutan Implant


Salah satu hal yang harus diwaspadai setelah pencabutan implant adalah
peningkatan resiko refraktur. Resiko ini disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) Adanya
defek pada tulang kortikal yang mengakibatkan terjadinya ‘stress riser / stress
concentrator’ dan (2) Atrofi dari korteks tulang yang diakibatkan oleh plate yang
rigid dan bersifat load bearing dan stress protection (22,23).
Lubang bekas screw umumnya masih nampak pada foto polos hingga
beberapa bulan. Penelitian Bechtol (1952 dan 1959) menyebutkan bahwa adanya
lubang bekas screw pada tulang akan mengakibatkan konsentrasi beban (stress
concentrator) disana dan membuat tulang tersebut menjadi lebih lemah
menghadapi gaya bending dan torsional. Kelemahan ini mulai nampak bila
diameter lubang tersebut melebihi 30 % dari diameter tulang. Pada femur dari
mongrel dog, lubang dengan diameter 3,5 mm akan membuat peningkatan beban
puntir (torsional stress) sebesar 1,6 kali dibanding pada bagian lain. Disisi lain,
lubang bekas screw tersebut dilewati garis fraktur spiral sebanyak kurang lebih
90 % pada saat diberikan gaya torsional. Garis fraktur yang terjadi juga sederhana
yang menandakan tulang tersebut telah melemah dan menyerap gaya lebih sedikit
dibanding sebelum fraktur (22).
Lubang bekas screw umumnya dilapisi oleh membran jaringan fibrous.
Hal ini diakibatkan oleh : (1) Terdapat celah kosong antara screw dan tulang, dan
(2) Adanya gerak relatif antara screw dan tulang yang diakibatkan perbedaan
modulus elastisitas tulang ( 15.000 N/M2 ) dibandingkan screw (207.000 N/M2 ).
Namun demikian, menurut penelitian Burstein et all (1972), usaha untuk
menghilangkan jaringan fibrous ini dan mengisinya dengan suatu benda, baik
metal, soft silastic, absorbablecommit
screw,to ataupun
user bone graft, terbukti tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mempercepat proses pengisian lubang ini dengan jaringan tulang yang baru dan
tidak dapat mengurangi stress concentration baik pada gaya bending maupun
torsional. Meskipun adanya metal atau solid inclusion lainnya dapat menahan
beban kompressif pada tulang (22).
Jadi meskipun lubang bekas screw umumnya masih nampak pada foto
polos hingga beberapa bulan, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena lubang ini
akan segera diisi oleh woven bone, yang dapat menghilangkan efek stress riser
dalam waktu empat minggu (22).
Bilamana terjadi patah tulang baru pada tulang yang telah sembuh, maka
kita harus membedakan apakah ia tergolong ‘refracture atau secondary fracture’.
Kelima kriteria ini harus terpenuhi sebagai kriteria dari refraktur, yaitu :
1. Patah tulang melewati garis patah yang lama / original
2. Penyembuhan sebelumnya didapat melalui teknik osteosynthesis yang
sempurna atau perawatan non-operatif / konservatif yang layak
3. Rehabilitasi paska operatif yang benar
4. Pencabutan implant yang benar dan tepat waktu
5. Tidak adanya trauma baru yang adekuat
Jika salah satu dari kelima kriteria ini tidak terpenuhi, maka patah tulang
tersebut dapat digolongkan sebagai ‘secondary fracture’ (3).

2.6 Biomekanika Terjadinya Fraktur Setelah Pencabutan Implant


Biomekanika merupakan salah satu unsur yang harus selalu
dipertimbangkan dalam pemberian terapi yang efektif dan adekuat terhadap
fraktur. Diantaranya adalah : gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur dan
respon tulang / jaringan terhadap trauma (25).

2.6.1 Efek Gaya Terhadap Tulang


Tulang merupakan suatu struktur yang anisotropik. Tiap tulang memiliki
structural properties dan mechanical properties yang berbeda – beda tergantung
dari pembebanan yang diterimanya. Sedangkan material properties tulang
commitmineral
tergantung pada densitas dan kandungan to user dan kolagennya (28).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gaya yang bekerja pada tulang tergantung pada 3 karakteristik, yaitu :


besar gaya, arah gaya, dan lama aplikasi gaya. Terdapat lima jenis gaya yang
bekerja di tulang, yaitu : gaya compression, tension, shear, bending, dan torsion.
Gaya ini bisa menyebabkan fraktur secara sendiri maupun berkombinasi. Adapun
stabilisasi fraktur yang adekuat harus dapat mengenali dan menetralisir gaya –
gaya yang menyebabkan fraktur ini (25).
Gaya bending akan menghasilkan tension stress pada satu sisi dan
compressive stress pada sisi yang lain dari suatu struktur. Gaya torsional akan
menghasilkan tension dan compressive stress pada arah 45o dari suatu struktur.

(16)
Gambar 27. Bentukan garis fraktur yang disebabkan oleh berbagai gaya

Gaya yang bekerja pada tulang manusia sangat sulit diukur secara in-vivo,
namun batas atas kekuatan tulang manusia bisa diukur dengan pemberian beban
secara in-vivo. Secara in-vitro, dapat diketahui nilai ambang kekuatan tulang
(ultímate strength) melalui perhitungan dengan cadaver manusia, karena struktur
mekanis tulang tidak banyak terpengaruh dengan kematian dan pembekuan (27).
Dari sudut pandang biomekanik, tulang panjang paling rentan bila
menerima gaya bending dan torsional, dibanding gaya lainnya. Oleh sebab itu
biasanya dilakukan pengukuran dengan three-point dan four-point bending dan
torsional test untuk mengukur kekuatan tulang (ultímate strength) dan modulus
elastisitas. Keduanya merupakan indikator yang baik untuk mengukur kekuatan
mekanik dari tulang kortikal (28).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.7 Kerangka Konseptual

TULANG

TIBIA TIBIA
KAMBING SAPI
(60) (60)

CORTEX CORTEX
SCREW SCREW
3, 5 MM 4, 5 MM

CABUT CABUT CABUT CABUT CABUT CABUT


P+S P+S P+S P+S P+S P+S
SCREW SCREW SCREW SCREW
PATAH DI PATAH PATAH DI PATAH
TINGGAL DIAMBIL TINGGAL DIAMBIL

BF TF BF TF BF TF

BF TF BF TF BF TF

Catatan :
BF : Bending Force
TF : Torsional Force

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.8 Hipotesis
· Pencabutan screw yang patah dengan hollow reamer akan menyebabkan
perlemahan pada tulang saat menghadapi gaya bending dan torsional
sehingga meningkatkan resiko fraktur.
· Screw patah yang ditinggal akan lebih kuat dalam menahan gaya bending
dan torsional dibandingkan dengan pencabutan screw patah dengan hollow
reamer.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini bersifat eksperimental in vitro, yaitu suatu penelitian
eksperimental murni di laboratorium dengan menggunakan material dari hewan
coba dimana antara perlakuan yang diberikan dan efek yang terjadi akan diukur
sekali pada saat yang sama. Penelitian ini akan membandingkan penurunan
kekuatan tulang dan resiko fraktur yang mengikutinya pada tulang dengan defek
kortikal yang besar dengan kontrol.

3.2 Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di dua tempat. Untuk penilaian gaya bending
dilakukan di : Laboratorium Material Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Negeri 11 Maret ( FTM UNS ) Surakarta. Sedangkan untuk penilaian
gaya torsional dilakukan di : Laboratorium Bahan Jurusan Teknik Mesin Fakultas
Teknik Universitas Gadjah Mada ( FTM UGM ) Yogyakarta.

3.3 Waktu Penelitian


Penelitian ini dijadwalkan selama tiga bulan. Bulan Juli dan Agustus untuk
pengerjaan proposal. Pengerjaan penelitian di Laboratorium Material Jurusan
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Sebelas Maret (FTM UNS)
Surakarta berlangsung selama 4 hari antara tanggal 6 - 9 September 2010.
Sedangkan untuk Pengerjaan penelitian di Laboratorium Bahan Jurusan Teknik
Mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ( FTM UGM ) Yogyakarta
berlangsung selama 6 hari kerja antara tanggal 20 - 28 September 2010. Analisis
statistik dilakukan pada bulan Oktober 2010.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3.4 Populasi dan Sampling


Populasi aktual dalam penelitian ini meliputi seluruh sapi dan kambing,
yang memenuhi kriteria berikut :
1. Kriteria inklusi :
a) Jantan atau betina
b) Usia diatas 4 tahun
c) Sehat secara fisik
2. Kriteria eksklusi :
a) Memiliki cacat pada alat gerak
b) Menderita kelainan sistemik yang melemahkan tulang

Penggunaan hewan coba ini disebabkan karena tidak mungkin melakukan


penelitian dengan setting seperti ini pada tulang manusia hidup (in-vivo). Hewan
coba yang ideal harusnya mendekati manusia dalam hal dimensi, metabolisme,
dan pembebanan tulang (20). Namun kondisi ideal ini tidak akan pernah ada.
Tibia belakang kambing dipilih karena dimensinya hampir sama dengan
radius manusia, sedangkan tibia belakang sapi dipilih karena dimensinya hampir
sama dengan tibia manusia. Secara umum, kedua hewan ini jinak, mudah didapat
dan relatif murah (28).
Dari pengukuran pada tulang manusia yang dioperasi di RSOP Prof. DR.
R. Soeharso Solo diketahui bahwa diameter rata – rata tulang radius pada bagian
1/3 tengah berukuran 14 mm ± 6 mm dan diameter rata – rata tulang tibia pada
bagian 1/3 tengah berukuran 28 mm ± 8 mm.
Sedangkan teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
simple random sampling. Perkiraan besar sampel ditentukan dengan rumus :

2
Zα x s
n=2 ------------
đ

n commit
: besar to user
sampel masing-masing kelompok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Zα : ditetapkan oleh penelti (1,96)


S : standar deviasi pada dua kelompok
đ : tingkat ketepatan absolut dari mean deviasi
perbedaan
Jadi sampel pada penelitian ini menggunakan tulang tibia sapi sebanyak
60 buah yang dibagi menjadi 30 tulang diberi gaya bending dan 30 tulang diberi
gaya torsional, dan tulang tibia kambing sebanyak 60 buah dibagi menjadi
30 tulang diberi gaya bending dan 30 tulang diberi gaya torsional. Total sampel
120 buah tulang.

3.5 Perlakuan Sampel


Tulang didapat secara segar dari rumah pemotongan hewan. Tulang –
tulang ini lalu diseleksi agar ukurannya menyerupai range ukuran yang
sebenarnya pada manusia. Ukuran yang terlalu besar dan terlalu kecil akan
dikembalikan. Setiap hari rata – rata didapat 6 tulang sapi dan 6 tulang kambing
dengan ukuran yang layak. Lalu tulang dibersihkan dari jaringan lunak yang
tersisa. Kemudian tulang dicuci dengan air bersih dan direndam dalam air bersih
dengan suhu kamar. Kemudian tulang diberi perlakuan.
Perlakuan sampel dilakukan dengan cara pemasangan plate & screw large
fragment / 4,5 mm cortical screw pada 60 tulang tibia sapi (grup 1) dan
plate & screw small fragment / 3,5 mm cortical screw pada 60 tulang tibia
kambing (grup 2), kemudian dari tulang tersebut, 20 tulang sapi dan 20 tulang
kambing hanya dilakukan pencabutan implant ( sub-grup I dan IV ), 20 tulang
sapi dan 20 tulang kambing dilakukan pencabutan implant dengan meninggalkan
sebuah screw yang patah ( sub-grup II dan V), serta 20 tulang sapi dan 20 tulang
kambing dilakukan pencabutan implant dengan mengambil sebuah screw yang
patah dengan hollow reamer dan extraction bolts ( sub-grup III dan VI ). Pada
tulang yang dilakukan pencabutan screw patah dengan hollow reamer, terjadi
peningkatan diameter lubang screw, dari 3,5 mm menjadi 6 mm pada tulang
kambing dan dari 4,5 mm menjadi 7 mm pada tulang sapi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kemudian semua tulang sapi akan dipotong dengan panjang 30 cm oleh


karena menyesuaikan dengan alat yang tersedia di laboratorium. Lalu kedua ujung
tulang direndam dalam epoxy resin berbentuk kotak berukuran 8,5 x 8,5 x 6 cm
dengan penambahan carbon fiber sebagai kerangka penguat.
Pengeringan epoxy resin ini berlangsung selama 3 jam. Kemudian tulang
tersebut telah siap untuk diberi gaya dan pembebanan.

Gambar 28. Perlakuan terhadap tulang sapi.


Perlakuan yang sama juga diberikan pada tulang kambing

Sedangkan semua tulang kambing akan dipotong dengan panjang 20 cm.


Lalu kedua ujung tulang direndam dalam epoxy resin berbentuk kotak berukuran
8,5 x 8,5 x 6 cm dengan penambahan carbon fiber sebagai kerangka penguat.
Pengeringan epoxy resin ini berlangsung selama 3 jam. Kemudian tulang terbebut
commit to user
telah siap untuk diberi gaya dan pembebanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dari masing - masing sub-grup tersebut, pada 10 tulang sapi dan 10 tulang
kambing diberikan pembebanan dengan three-point bending force. Sedangkan
pada 10 tulang sapi dan 10 tulang kambing yang lain diberikan pembebanan
dengan torsional force dengan besar gaya yang meningkat secara konstan hingga
tulang tersebut menjadi fraktur.

Gambar 29. Mematahkan tulang pada perlakuan I dan II

Tes bending dapat dilakukan dengan 3-point bending test atau 4-point
bending test. Three-point bending test memiliki keuntungan sederhana dan mudah
dilakukan, namun menghasilkan beban shear yang tinggi pada bagian 1/3 tengah
tulang. Pada four-point bending test, beban shear ini nyaris tidak ada, namun tes
ini lebih sulit dilakukan dan tidak semua laboratorium memiliki alat ini (28).

3.6 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Pencabutan implant
2. Pencabutan implant dengan meninggalkan sebuah screw yang patah
3. Pencabutan implant dan screw yang patah dengan hollow reamer
Variabel ini tergolong variabel independent dan berskala Nominal
4. Gaya bending
5. Gaya torsional
Variabel ini tergolong variabel dependent dan berskala Rasio

3.7 Rancangan Protokol / Alur Penelitian


commit to user
Protokol dan alur penelitian sama dengan kerangka konseptual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3.8 Definisi Operasional


1. Pencabutan implant yaitu : prosedur untuk mengambil implant dari tulang
yang dilakukan setelah terjadi penyembuhan dari patah tulang
2. Pengambilan implant dengan meninggalkan screw yang patah yaitu :
prosedur untuk mengambil implant dari tulang yang dilakukan setelah
terjadi penyembuhan dari patah tulang, dimana terdapat screw yang patah
dan screw tersebut tidak dicabut
3. Pengambilan implant dan screw yang patah dengan hollow reamer yaitu :
prosedur untuk mengambil implant dari tulang yang dilakukan setelah
terjadi penyembuhan patah tulang, dimana terdapat screw yang patah dan
dicabut dengan cara memperbesar lubang screw dengan hollow reamer
4. Gaya bending yaitu : gaya yang diberikan pada sisi lateral dari tulang
sehingga terjadi peningkatan beban kompresi pada satu sisi dari tulang dan
beban tensile pada sisi yang lain dari tulang
5. Gaya torsional yaitu : gaya yang diberikan pada kedua ujung dari tulang
yang menyebabkan kedua ujung tulang tersebut terpuntir ke arah yang
berlawanan / berbeda.

3.9 Instrumen Penelitian


Pengambilan data dari penelitian ini menggunakan dua jenis alat :
1. Manual torsional testing machine
Alat yang digunakan untuk menilai gaya torsional yang bekerja pada
tulang. Alat ini terdapat pada Laboratorium Bahan Jurusan Teknik Mesin
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ( FTM UGM ) Yogyakarta.

commit to user
Gambar 31. Torsional test machineComputerized bending testing machine
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Alat yang digunakan untuk menilai gaya bending yang bekerja pada
tulang. Alat ini terdapat pada Laboratorium Material Jurusan Teknik
Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri 11 Maret ( UNS ) Surakarta.

Gambar 30. Three-point bending machine

3.10 Tehnik Pengolahan Data dan Analisa Statistik


Analisa statistik yang digunakan adalah one way Anova (analysis of
variance), yaitu uji untuk membandingkan rata – rata gaya bending dan torsional
yang dibutuhkan untuk mematahkan tulang tibia kambing dan tibia sapi yang
telah diberi tiga macam perlakuan yang berbeda.
Selanjutnya dilakukan multiple comparisons terhadap setiap variabel
dependen dengan post-hoc test.
Derajat kemaknaan yang digunakan sebesar α = 0,01. Data diolah dengan
software ‘Statistical Product and Service Solution (SPSS) 13.0 for Windows’.
Data yang telah didapatkan pada penelitian ini diolah dan disajikan dengan
tabel, grafik, dan narasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Pada penelitian yang dilakukan untuk mematahkan tulang kambing dan sapi ini,
didapatkan hasil sebagaimana dibawah ini :

4.1 Hasil Perhitungan Gaya Bending Yang Dibutuhkan Untuk Mematahkan Tulang
Tibia Kambing
Terdapat 30 tulang tibia kambing yang diberi 3 jenis perlakuan yang berbeda dan
dipatahkan dengan mengaplikasikan gaya bending. Masing – masing kelompok terdiri dari 10
tulang tibia kambing. Rata – rata gaya bending minimal yang diperlukan untuk mematahkan
tulang ini adalah :
Kelompok 1 : Pencabutan P+S normal ( kontrol ) sebesar 0,995 kN
Kelompok 2 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dibiarkan sebesar 0,638 kN
Kelompok 3 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dicabut sebesar 0,274 kN

Diagram 1. Rata – rata gaya bending yang diperlukan untuk mematahkan tibia kambing

Pada ketiga puluh tulang kambing yang dipatahkan dengan gaya bending ini, kesemua
garis fraktur melalui titik tengah pembebanan dimana gaya bending terbesar terjadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.2 Hasil Perhitungan Gaya Torsional Yang Dibutuhkan Untuk Mematahkan Tulang
Tibia Kambing
Terdapat 30 tulang tibia kambing yang diberi 3 jenis perlakuan yang berbeda dan
dipatahkan dengan mengaplikasikan gaya torsional. Masing – masing kelompok terdiri dari
10 tulang tibia kambing. Rata – rata gaya torsional minimal yang diperlukan untuk
mematahkan tulang ini adalah :
Kelompok 4 : Pencabutan P+S normal ( kontrol ) sebesar 5,72 KgM
Kelompok 5 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dibiarkan sebesar 2,35 KgM
Kelompok 6 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dicabut sebesar 1,66 KgM

Diagram 2. Rata – rata gaya torsional yang diperlukan untuk mematahkan tibia kambing

Pada ketiga puluh tulang kambing yang dipatahkan dengan gaya torsional ini, 8 dari 10
(80 %) garis fraktur pada perlakuan I melewati lubang tempat screw patah ditinggalkan.
Sedangkan pada perlakuan II, 9 dari 10 (90 %) garis fraktur melewati lubang tempat screw
patah diambil dengan hollow reamer.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4.3 Hasil Perhitungan Gaya Bending Yang Dibutuhkan Untuk Mematahkan Tulang
Tibia Sapi
Terdapat 30 tulang tibia sapi yang diberi 3 jenis perlakuan yang berbeda dan
dipatahkan dengan mengaplikasikan gaya bending. Masing – masing kelompok terdiri dari
10 tulang tibia sapi.

Rata – rata gaya bending minimal yang diperlukan untuk mematahkan tulang ini adalah :
Kelompok 7 : Pencabutan P+S normal ( kontrol ) sebesar 12,882 kN
Kelompok 8 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dibiarkan sebesar 8,793 kN
Kelompok 9 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dicabut sebesar 5,071 kN

Diagram 3. Rata – rata gaya bending yang diperlukan untuk mematahkan tibia sapi

Pada ketiga puluh tulang sapi yang dipatahkan dengan gaya bending ini, kesemua garis
fraktur melalui titik tengah pembebanan dimana gaya bending terbesar terjadi.

4.4 Hasil Perhitungan Gaya Torsional Yang Dibutuhkan Untuk Mematahkan


Tulang Tibia Sapi

Terdapat 30 tulang tibia sapi yang diberi 3 jenis perlakuan yang berbeda dan
dipatahkan dengan mengaplikasikan gaya torsional. Masing – masing kelompok terdiri dari
commit
10 tulang tibia sapi. Rata – rata gaya torsional to user yang diperlukan untuk mematahkan
minimal
tulang ini adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kelompok 10 : Pencabutan P+S normal ( kontrol ) sebesar 55,463 KgM


Kelompok 11 : Pencabutan P+S dengan screw patah yang dibiarkan adl 32,303 KgM
Kelompok 12 : Pencabutan P+S dengan screw patah yg dicabut sebesar 16,736 KgM

Diagram 4. Rata – rata gaya torsional yang diperlukan untuk mematahkan tibia sapi

Pada ketiga puluh tulang sapi yang dipatahkan dengan gaya torsional ini, 7 dari 10
(70 %) garis fraktur pada perlakuan I melewati lubang tempat screw patah ditinggalkan.
Sedangkan pada perlakuan II, 9 dari 10 (90 %) garis fraktur melewati lubang tempat screw
patah diambil dengan hollow reamer.

4.5 Hasil Uji Statistik

Uji statistik menggunakan One-way Anova memperlihatkan bahwa :


· Pada tulang kambing yang dipatahkan dengan gaya bending terdapat perbedaan yang
nyata antara kontrol (pencabutan P + S) dengan perlakuan (screw yang patah yang
ditinggal dan dicabut dengan hollow reamer) serta antar perlakuan. Derajat kemaknaan
0,01. Penurunan kekuatan tulang pada screw yang patah yang ditinggal mencapai
35,88 % sedangkan pada screw yang patah yang dicabut dengan hollow reamer
mencapai 72,46 %. Dengan kata lain, screw yang patah yang dicabut dengan hollow
reamer memiliki kemungkinan patah 3,63 Xtodibanding pencabutan plate screw dalam
commit user
kondisi normal dan 2,33 X dibanding bila screw yang patah tersebut ditinggal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

· Pada tulang kambing yang dipatahkan dengan gaya torsional terdapat perbedaan yang
nyata antara kontrol (pencabutan P + S) dengan perlakuan (screw yang patah yang
ditinggal dan dicabut dengan hollow reamer). Namun tidak didapat perbedaan yang
bermakna antar perlakuan (screw yang patah yang ditinggal dan dicabut). Derajat
kemaknaan 0,01. Penurunan kekuatan tulang pada screw yang patah yang ditinggal
mencapai 58,92 % sedangkan pada screw yang patah yang dicabut dengan hollow
reamer mencapai 70,98 %. Dengan kata lain, screw yang patah yang dicabut dengan
hollow reamer memiliki kemungkinan patah 3,45 X dibanding pencabutan plate screw
dalam kondisi normal dan 1,42 X dibanding bila screw yang patah tersebut ditinggal.
· Pada tulang sapi yang dipatahkan dengan gaya bending terdapat perbedaan yang nyata
antara kontrol (pencabutan P + S) dengan perlakuan (screw yang patah yang ditinggal
dan dicabut dengan hollow reamer) serta antar perlakuan. Derajat kemaknaan 0,01.
Penurunan kekuatan tulang pada screw yang patah yang ditinggal mencapai 31,74 %
sedangkan pada screw yang patah yang dicabut dengan hollow reamer mencapai
60,63 %. Dengan kata lain, screw yang patah yang dicabut dengan hollow reamer
memiliki kemungkinan patah 2,54 X dibanding pencabutan plate screw dalam kondisi
normal dan 1,73 X dibanding bila screw yang patah tersebut ditinggal.
· Pada tulang sapi yang dipatahkan dengan gaya torsional terdapat perbedaan yang nyata
antara kontrol (pencabutan P + S) dengan perlakuan (screw yang patah yang ditinggal
dan dicabut dengan hollow reamer) serta antar perlakuan. Derajat kemaknaan 0,01.
Penurunan kekuatan tulang pada screw yang patah yang ditinggal mencapai 41,76 %
sedangkan pada screw yang patah yang dicabut dengan hollow reamer mencapai
69,82 %. Dengan kata lain, screw yang patah yang dicabut dengan hollow reamer
memiliki kemungkinan patah 3,31 X dibanding pencabutan plate screw dalam kondisi
normal dan 1,93 X dibanding bila screw yang patah tersebut ditinggal.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V
DISKUSI

Adanya lubang screw yang diperlebar dengan hollow reamer pada


kelompok perlakuan II, baik pada tulang kambing maupun tulang sapi, terbukti
mengurangi kekuatan tulang (ultimate strength) yang ditunjukkan dengan
berkurangnya gaya bending dan torsional yang diperlukan untuk mematahkan
tulang. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
diameter lubang / defek pada tulang kortikal yang melebihi 30 % dari diameter
tulang akan menurunkan kekuatan tulang secara bermakna. Pada tulang
kambing, terjadi pelebaran defek dari 3,5 mm menjadi 6 mm dari diameter
rata – rata tulang kambing yang berukuran16 ± 4 mm. Sedangkan pada tulang
sapi, terjadi pelebaran defek dari 4,5 mm menjadi 7 mm dari diameter
rata – rata tulang sapi yang berukuran 30 ± 6 mm.
Adanya screw patah yang ditinggalkan pada kelompok perlakuan I,
baik pada tulang kambing maupun tulang sapi, terbukti mengurangi kekuatan
tulang (ultimate strength) yang ditunjukkan dengan berkurangnya gaya
bending dan torsional yang diperlukan untuk mematahkan tulang. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa adanya metal
inclusion akan menurunkan kekuatan tulang secara bermakna bila tulang
tersebut terpapar gaya bending dan torsional. Namun metal inclusion ini akan
mempertahankan kekuatan tulang sama baiknya dibandingkan dengan void
inclusion bila tulang tersebut terpapar gaya tension dan compression.
Inspeksi terhadap fraktur yang terjadi memperlihatkan bahwa tulang
tersebut patah di sepanjang area tensile terbesar dan posisi keenam lubang
screw yang ada ternyata tidak mempengaruhi orientasi ini. Hal ini
membuktikan teori dan penelitian sebelumnya bahwa tulang lebih lemah pada
sisi tension dibanding sisi compression.
Efek lokal dari lubang bekas screw patah nampak bila terpapar oleh
gaya torsional karena selalu dilewati jalur patahan tulang yang berbentuk
spiral. Hal ini disebabkan faktor stress concentration, dimana lubang dengan
diameter yang lebih besar akan memberikan kelemahan yang lebih besar pada
tulang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Namun efek lokal dari lubang bekas screw patah tidak nampak bila
terpapar oleh gaya bending karena jalur patahan tulang yang terjadi berbentuk
transversal dan pada posisi dimana titik beban bending diberikan.
Penelitian ini dilakukan pada tulang hewan coba oleh karena tidak
mungkin menggunakan tulang manusia hidup (in-vivo) untuk dipatahkan.
Namun pemilihan tulang dilakukan dengan seleksi ketat berdasarkan dimensi
dan ukuran tulang agar dapat mengeliminir bias dan sekaligus dapat mendekati
kondisi yang nyata / realistis.
Penelitian ini tidak mempelajari tentang proses modeling dan
remodeling yang terjadi pada tulang yang menyembuh. Namun penelitian ini
menekankan tentang intervensi mekanik terhadap perlakuan berupa pencabutan
screw patah dengan hollow reamer. Perlakuan ini sama prosedur operasi yang
kadang kita lakukan, sehingga diharapkan hasil penelitian ini memiliki manfaat
praktis berupa masukan kepada dokter ahli bedah orthopedi dan residen
orthopedi tentang resiko refraktur yang akan dihadapi beserta cara
pencegahannya.
Dari perhitungan statistik, didapat hasil bahwa terdapat perbedaan yang
nyata (p<0,01) diantara semua tulang dan intervensi dalam 12 sub-grup,
kecuali pada tulang tibia kambing yang diberi gaya torsional (sub-grup 5 dan
6), yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara screw patah yang
ditinggalkan dan yang dicabut. Hal ini bila kita komparasikan pada ukuran dan
dimensi pada tulang manusia, maka didapatkan hasil pada tulang radius
manusia yang dilakukan pencabutan screw patah dengan hollow reamer akan
menjadi lebih lemah bila terpapar gaya bending jika dibandingkan dengan
screw patah yang ditinggalkan, namun tidak menjadi lebih lemah bila terpapar
gaya torsional jika dibandingkan dengan screw patah yang ditinggalkan.
Hal ini berarti bila kita terpaksa harus mencabut screw yang patah
dengan hollow reamer pada tulang radius manusia, maka tulang tersebut
menjadi lebih rentan terhadap gaya bending, namun tidak pada gaya torsional.
Dengan kata lain tulang tersebut membutuhkan external support yang mampu
menahan gaya bending.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sedangkan pada tulang tibia sapi, terdapat perbedaan yang nyata


(p<0,01) diantara semua tulang dan intervensi. Hal ini bila kita komparasikan
pada ukuran dan dimensi pada tulang manusia, maka didapatkan hasil pada
tulang tibia manusia yang dilakukan pencabutan screw patah dengan hollow
reamer akan menjadi lebih lemah bila terpapar gaya bending dan gaya
torsional jika dibandingkan dengan screw patah yang ditinggalkan.
Hal ini berarti bila kita terpaksa harus mencabut screw yang patah
dengan hollow reamer pada tulang tibia manusia, maka tulang tersebut menjadi
lebih rentan terhadap gaya bending dan gaya torsional. Dengan kata lain tulang
tersebut membutuhkan external support yang mampu menahan gaya bending
dan gaya torsional.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Adanya screw yang patah akan mengurangi kekuatan tulang, baik screw
tersebut dicabut dengan hollow reamer maupun ditinggalkan.
2. Pencabutan screw patah dengan hollow reamer pada tulang tibia akan
mengurangi kekuatan tulang sebesar 60 % bila terpapar gaya bending
dan menjadi 1,73 X lebih mudah patah dibandingkan bila screw
tersebut ditinggalkan.
3. Pencabutan screw patah dengan hollow reamer pada tulang tibia akan
mengurangi kekuatan tulang sebesar 70 % bila terpapar gaya torsional
dan menjadi 1,93 X lebih mudah patah dibandingkan bila screw
tersebut ditinggalkan.
4. Pencabutan screw patah dengan hollow reamer pada tulang radius akan
mengurangi kekuatan tulang sebesar 72,5 % bila terpapar gaya bending
dan menjadi 2,33 X lebih mudah patah dibandingkan bila screw
tersebut ditinggalkan.
5. Pencabutan screw patah dengan hollow reamer pada tulang radius akan
mengurangi kekuatan tulang sebesar 70 % bila terpapar gaya torsional
dan menjadi 1,42 X lebih mudah patah dibandingkan bila screw
tersebut ditinggalkan. Perbedaan ini tidak bermakna secara statistik

6.2 Saran
1. Bila kita terpaksa melakukan pencabutan screw patah dengan hollow
reamer pada tulang radius, maka kita harus memasang external support
yang mampu menahan gaya bending.
2. Bila kita terpaksa melakukan pencabutan screw patah dengan hollow
reamer pada tulang tibia, maka kita harus memasang external support
yang mampu menahan gaya bending dan gaya torsional.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai