oleh Malaysia, seperti juga Batik dan Reog Ponorogo, kemungkinan besar selalu
dikaitkan dengan masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) bangsa Indonesia atas
warisan budaya dimaksud. Menghubungkan antara warisan budaya dengan
kepemilikannya secara hukum adalah reaksi yang wajar dan sebenarnya memberikan
sinyal positif bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki pride (rasa bangga) terhadap
kebudayaannya sendiri. Namun demikian, kondisi aktual yang terjadi baik di tingkat
internasional maupun nasional belum memungkinkan dilakukannya klaim HKI atas
warisan budaya. Sampai saat ini, belum ada instrumen hukum internasional yang dapat
dijadikan sebagai payung perlindungan HKI atas warisan budaya. Perbedaan yang tajam
antara khususnya negara maju (yang tidak menghendaki sesuatu yang “kuno” untuk
dilindungi oleh rezim HKI) dan negara sedang berkembang (yang menghendaki
perlindungan, karena sesuatu yang “kuno” ternyata dapat pula menghasilkan keuntungan
finansial yang besar) hingga saat ini belum dapat dicarikan jalan keluarnya yang saling
menguntungkan. Di tingkat nasional, satu-satunya peraturan perundang-undangan yang
mengatur adalah Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
pada intinya menyatakan bahwa negara melindungi Ekpresi Budaya Tradisional/Folklor
milik bangsa Indonesia. Namun hingga saat ini, peraturan pelaksanaan dari UU ini belum
dapat diwujudkan. Sebuah upaya terobosan yang sedang dilakukan adalah dengan
membuat undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perlindungan dan
Pemanfaatan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Sekali lagi,
hingga saat ini, upaya tersebut masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang. Satu
elemen penting di dalam konsep perlindungan HKI -kecuali dalam beberapa hal- adalah
bahwa sesuatu yang dapat dilindungi harus memenuhi syarat “kebaruan”. Artinya, bahwa
sebuah karya yang diciptakan harus merupakan sesuatu yang belum pernah diciptakan
sebelumnya. Dengan demikian, jika dapat dibuktikan sebaliknya, maka suatu ciptaan
tidak dapat dilindungi oleh rezim HKI. Dicoba dianalogikan dengan persoalan klaim
Warisan Budaya bangsa oleh pihak asing, maka diperlukan kemampuan untuk
membuktikan bahwa suatu mata budaya adalah milik bangsa kita. Caranya adalah dengan
mengumpulkan data dan informasi selengkap dan seakurat mungkin mengenai suatu mata
budaya yang ada di Indonesia. Berdasarkan dokumentasi tersebut, dapat dilakukan suatu
“counter publication” secara intensif untuk menunjukkan bahwa mata budaya tersebut
berasal dari dan adalah milik bangsa Indonesia. APA YANG TELAH DILAKUKAN
PEMERINTAH? Melakukan perlindungan Warisan Budaya bangsa bukanlah pekerjaan
yang mudah. Hal tersebut sama halnya seperti upaya membangkitkan kembali kebesaran
bangsa Indonesia di zaman Majapahit. Mengapa demikian? Sebuah negara yang mampu
melindungi dan mempromosikan Warisan Budayanya dengan baik pada umumnya akan
menjadi bangsa yang besar. Sebuah contoh menarik adalah Jepang. Di saat mereka baru
saja kalah perang setelah berakhirnya Perang Dunia II dan semua orang sibuk berusaha
untuk bertahan hidup, Pemerintah Jepang pada tahun 1950 justru mengeluarkan sebuah
undang-undang tentang perlindungan Warisan Budaya Takbenda (WBT). Mereka
berkeyakinan bahwa jika WBT-nya hilang, maka bangsa Jepang tidak akan pernah
menjadi bangsa yang besar. Hari ini -setelah 60 tahun lebih berlalu- mereka
membuktikan bahwa keputusan Pemerintah Jepang pada waktu itu adalah tepat.
Pemerintah RI telah berusaha untuk melakukan berbagai upaya, antara lain: membuat
inventarisasi WBT milik bangsa Indonesia; mendaftarkan mata budaya Indonesia sebagai
warisan budaya dunia di UNESCO; menjadi anggota UNESCO Convention for the
Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003; dan, menyusun RUU tentang
Perlindungan dan Pemanfaatan PT dan EBT. Namun demikian, semua itu tidak akan
memadai, karena perlindungan Warisan Budaya esensinya adalah upaya penanaman
kembali keyakinan di dalam diri bangsa Indonesia bahwa kebudayaan asli kita adalah
sesuatu yang sangat luhur dan membanggakan. Dibutuhkan biaya yang sangat besar dan
keterlibatan seluruh anggota masyarakat secara serentak dan berkelanjutan.
Mengandalkan sepenuhnya kepada upaya Pemerintah dengan anggaran yang terbatas
untuk saat ini tidak mungkin dapat dilakukan. Sebagai contoh, media massa elektronik
televisi perlu mengalokasikan sebagian dari prime time-nya untuk memberikan ruang
kepada acara-acara yang mengedepankan pentingnya perlindungan dan promosi Warisan
Budaya bangsa. Jika tidak, maka masyarakat Indonesia akan “dicuci otak” dengan
berbagai tayangan yang berbau budaya Barat, sehingga seorang kawan yang juga
budayawan, Gaura Mancacaritadipura, pernah menyampaikan bahwa saat ini sudah
terlalu banyak anak muda Indonesia yang memiliki american brain dalam pengertian
mengabaikan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh kebudayaan bangsa sendiri.
PEKERJAAN RUMAH DI DALAM NEGERI Dalam jangka pendek, upaya untuk
melindungi Warisan Budaya bangsa dari klaim oleh pihak asing adalah
mempromosikannya baik di dalam maupun di luar negeri melalui berbagai macam cara.
Aktivitas tersebut harus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan hingga terbentuk
citra (image) bahwa suatu mata budaya adalah identik dengan Indonesia, seperti halnya
baju Kimono dengan Jepang, atau bela diri Kungfu dengan Cina. Sebagai contoh, jika
kita hendak melindungi dan mempromosikan mata budaya Tari Pendet, maka perlu
dilakukan berbagai hal di bawah ini secara berkelanjutan: 1. Sebanyak mungkin misi
kebudayaan ke luar negeri menampilkan kesenian Tari Pendet; 2. Seluruh perwakilan RI
di luar negeri dalam berbagai kesempatan diupayakan untuk mengenakan pin atau atribut
lainnya yang menggambarkan kesenian Tari Pendet; 3. Diupayakan agar iklan komersial
dapat seoptimal mungkin menunjukkan kesenian Tari Pendet; 4. Menayangkan cerita
tentang Tari Pendet di media TV internasional seperti Discovery Travel and Living
(Cina, India, Singapura dan Malaysia seringkali menggunakan jaringan TV tersebut
untuk mempromosikan Warisan Budayanya); 5. Diproduksi berbagai macam produk
barang yang menggambarkan kesenian Tari Pendet, seperti suvenir, kaos, kemeja, CD
musik, film, dan sebagainya. Namun demikian, semua upaya itu hanya berhenti dalam
waktu yang relatif pendek jika rasa memiliki terhadap Warisan Budaya itu sendiri tidak
tertanam secara mendalam di dalam diri masyarakat. Oleh karena itu, secara paralel -oleh
seluruh pemangku kepentingan terkait- perlu dilakukan berbagai upaya lainnya yang
justru jauh lebih penting, antara lain: 1. Meningkatkan upaya untuk menggali kembali
pengetahuan mengenai berbagai Warisan Budaya bangsa untuk menemukan berbagai
nilai luhur yang dikandungnya dan dapat memberikan kebanggaan berbangsa dan
bernegara; 2. Memberikan penghargaan yang tinggi -material dan non material- kepada
para maestro atau human living treasure yang telah berjasa melestarikan dan
mengembangkan Warisan Budaya bangsa; 3. Secara sistematis dan berkelanjutan
menanamkan kembali nilai-nilai luhur dari Warisan Budaya bangsa ke dalam perilaku
keseharian masyarakat; 4. Mengintegrasikan kearifan lokal di dalam berbagai
perencanaan kebijakan pembangunan dan pengembangan usaha, dan sebagainya.
Pergeseran Bahasa Indonesia di Era Global dan Imlpikasinya
terhadap Pembelajaran
Kajian pemertahanan dan pergeseran bahasa perlu dikaitkan dengan konsep pemilihan bahasa.
Pemahaman tentang pilihan bahasa dalam ranah yang dihubungkan dengan konsep diglosia di
atas sangat penting artinya karena dengan begitu pemertahanan dan kebocoran diglosia yang
menyebabkan pergeseran bahasa dapat dilihat. Pemertahanan dan pergeseran bahasa serta
kepunahan suatu bahasa bertitik-tolak dari kontak dua bahasa dalam suatu masyarakat. Gejala
kepunahan bahasa akan tampak dalam proses yang cukup panjang. Mula-mula tiap-tiap bahasa
masih dapat mempertahankan pemakaiannya pada ranah masing-masing. Kemudian pada suatu
masa transisi masyarakat tersebut menjadi dwibahasawan sebagai suatu tahapan sebelum
kepunahan bahasa aslinya (BI) dan dalam jangka waktu beberapa generasi mereka bertrasformasi
menjadi masyarakat ekabahasawan kembali. Dengan demikian, pergeseran bahasa mencakup
pertama-pertama kedwibahasaan (seringkali bersama diglosia) sebagai suatu tahapan menuju
keekabahasaan (BI yang baru).
Ada banyak faktor yang menyebabkan pergeseran dan kepunahan suatu bahasa. Berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di dunia, faktor-faktor tersebut
seperti loyalitas bahasa, konsentrasi wilayah pemukiman penutur, pemakaian bahasa pada ranah
tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan bahasa-ibu antargenerasi, pola-pola
kedwibahasaan, mobilitas sosial, sikap bahasa dan lain-lain. Menurut Romaine (1989) faktor-
faktor itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas
sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat
kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan
pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa.
Sesungguhnya, terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pemertahanan dan
pergeseran bahasa di masyarakat. Namun, faktor-faktor itu bervariasi antarsatu wilayah dengan
wilayah lainnya. Faktor-faktor penyebab terjadinya kasus pergeseran bahasa di Oberwart-Austria
berbeda dari faktor-faktor penyebab atas kasus yang sama di Sutherland-Scotlandia ataupun
kasus pergeseran dan pemertahanan bahasa Lampung di Lampung. Grosjean (1982:107)
mengelompokkan faktor-faktor itu ke dalam lima faktor: sosial, sikap, pemakaian, bahasa,
kebijakan pemerintah, dan faktor-faktor lain. Adanya pola-pola sosial dan budaya yang beragam
dalam suatu masyarakat ikut menentukan identitas sosial dan keanggotaan kelompok sosialnya,
faktor-faktor sosial itu meliputi status sosial, kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seseorang dalam suatu jaringan
sosial.
Di era global dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seharusnya bisa
kita manfaatkan dalam pemertahanan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang dapat kita lakukan
adalah dengan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis ICT (Information, Communication and
Technology). Pemanfaatan ICT untuk pendidikan sudah menjadi keharusan yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi. Berbagai aplikasi ICT sudah tersedia dalam masyarakat dan sudah siap
menanti untuk dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan pendidikan. Pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi untuk pendidikan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai
dengan fungsinya dalam pendidikan. Menurut Indrajut (2004), fungsi teknologi informasi dan
komunikasi dalam pendidikan dapat dibagi menjadi tujuh fungsi, yakni: (1) sebagai gudang ilmu,
(2) sebagai alat bantu pembelajaran, (3) sebagai fasilitas pendidikan, (4) sebagai standar
kompetensi, (5) sebagai penunjang administrasi, (6) sebagai alat bantu manajemen sekolah, dan
(7) sebagai infrastruktur pendidikan.
Merujuk pada ketujuh fungsi tersebut dapat dipahami bahwa ICT dapat memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya
dalam dunia pendidikan. Maka dari itu, perlu adanya pemanfaatan ICT dalam dunia pendidikan,
aplikasi nyata dalam dunia pendidikan misalnya dengan memanfaatkan ICT sebagai alat bantu
pembelajaran bahasa Indonesia. Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran bahasa misalnya dengan
memanfaatkan blog sebagai wadah kreatifitas siswa dalam meningkatkan kemampuan
menulisnya. Selain itu, penggunaan media pembelajaran yang berbasis ICT akan memudahkan
siswa dalam menerima dan memahami pelajaran yang disampaikan.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai
kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana
dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural”
tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan
nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman
etnis dan budaya tersebut. Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di
Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat.
Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang
ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik
modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Ditambah lagi
kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan
kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan,
antar suku dan sebagainya. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendidikan yang berbasis
multikultur.
Asy’arie (2003) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai proses penanaman cara hidup
menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah
masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak
mudah patah dan retak.
Pendidikan multikultural adalah suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi
pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik
diskriminatif dalam proses pendidikan. Blum dalam Sparingga (2003) mengatakan bahwa ada
empat nilai yang berbeda namun saling berhubungan dalam pendidikan untuk masyarakat
multikultural, yaitu antirasisme, multikulturalisme, komunitas antar-ras, dan penghargaan
terhadap manusia sebagai individu.
Dalam era global pembelajaran bahasa Indonesia dalam konteks multikultur sangat perlu
diterapkan. Pembelajaran bahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia yang multikultur sudah
seharusnya dilaksanakan dengan pembelajaran yang berbasis multikultur. Selain itu,
pembelajaran bahasa dengan memanfaatkan kearifan lokal akan lebih bermakna dan dapat
melestarikan budaya Indonesia.
Indonesia adalah negara yang menyimpan berbagai macam potensi. Baik potensi sumber daya
alam maupun sumber daya manusia. Dalam hal ini, kami akan membahas tentang potensi sumber
daya manusia. Di Indonesia, banyak orang yang memiliki inovasi dan ide kreatif dalam
menciptakan sebuah produk baru. Namun, kurangnya permintaan pasar terhadap produk tersebut
membuat inovasi cemerlang ini melemah.
Konsumen di Indonesia, cenderung membeli dan mengkonsumsi produk dari luar negeri.
Padahal, banyak produk Indonesia yang tidak kalah bagus. Untuk membuktikan hipotesa kami,
kalian bisa melihat barang-barang yang kalian gunakan dan kemungkinan besar banyak produk
yang berasal dari luar negeri.
Indonesia mengalami kendala mengenai produk dalam negeri yang kalah saing dengan produk
luar negeri.Indonesia seharusnya bisa menjadi pusat perdagangan di Indonesia sendiri tanpa
harus membeli produk dari luar negeri.Indonesia kalah dalam bersaing di dunia perdagangan
disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang pemakaian produk lokal.Karena
kebanyakan dari masyarakat Indonesia lebih banyak mengkonsumsi atau menggunakan produk
luar dari pada dalam. Serta, gaya mewah yang terjadi apabila memakai produk luar. Tingkat
gengsi yang tinggi pun merupakan faktor utama penyebab hal ini terjadi .
Padahal, apabila konsumen Indonesia lebih memilih untuk membeli dan mengkonsumsi produk
dalam negeri ,hal ini akan meningkatkan produksi unit kecil menengah (UKM) sehinnga ukm
akan berkembang dan menjadi perusahaan besar hal ini akan meningkatkan produksi. Dalam
melakukan produksi, perusahaan pasti membutuhkan tenaga kerja.Sehingga tingkat
pengangguran di Indonesia dapat di tekan seminimal mungkin. Dengan demikian, taraf hidup
masyarakat akan meningkat. Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang memiliki
pengangguran dan memiliki pekerjaan maka hal ini akanmeningkatkan pajak sehingga devisa
negara akan meningkat. Dengan meningkatnya devisa negara pembangunan dan kesejaterahan
akan semakin merata.
Berdasarkan atas permasalahan diatas dan dampak positif yang akan ditimbulkan dari
peningkatan minat masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri, kami menggunakan
materi ini sebagai tema artikel kami. Semoga materi kami dapat bermanfaat bagi segala pihak
dan memberikan dampak positif bagi yang membaca artikel kami.
Dampak yang ditimbulkan akibat kurangnya minat akan produk dalam negeri yaitu:
Produksi nasional menurun (Khususnya produk usaha kecil dan menengah).
2.Pembangunan terhambat.
3. Lapangan kerja semakin sedikit.
4. PHK terjadi dimana-mana.
5. Pengangguran meningkat.
6. Kesejahteraan masyarakat memburuk.
Perlu ditekankan disini imbas dari hal tersebut yang sangat dirasakan ujung-ujungnya adalah
memburuknya kesejahteraan masyarakat yang mana ini sangat bertolakbelakang sekali dengan
prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Solusi untuk Meminimalisasi Supaya Produk Nasional Tidak Kalah Saing oleh Produk Impor
yaitu:
Berdasarkan dampak di atas perlu segera dicarikan solusi supaya produk dalam negeri tetap
bertahan, perekonomian Indonesia membaik juga demi kesejahteraan masyarakat kita. Solusi ini
ditujukan untuk pemerintah agar cepat dan tepat dalam mengambil tindakan. Solusi tersebut
adalah sebagai berikut :
Meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan produk impor terutama produk impor
dari China
Caranya adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena mustahil bagi Indonesia
untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai.
Kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Mencapai Produk Nasional Supaya Tidak Kalah
Saing yaitu :
Kurangnya pengawasan terhadap ekspor-impor barang
Hal ini menyebabkan barang ekspor-impor leluasa masuk ditambah lagi adanya petugas yang
menyalahgunakan kewenangannya (ada petugas yang disogok).
2. Minimnya minat masyarakat untuk berwirausaha
3. Kurangnya pelatihan kepada masyarakat mengenai wirausaha
4. Kurang adanya kejelasan mengenai kepemilikan usaha domestik atau asing.
Produk dalam negri kurang diminati oleh pasar sendiri karena banyak produsen produsen lebih
mementingkan ekspor dibandingkan produk yang akan dipasarkan di dalam negri yang
menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negri dan berbagai
sebab lainnya. Hal ini dapat diperbaiki dengan bantuan pemerintah, dan peningkatan kesadaran
diri masyarakat untuk bangga akan menggunakan produk dalam negri.
Perlu ada nya cara untuk mengembalikan rasa kepercayaan terhadap produk dalam negri agar
produk dalam negri dapat menjadi produk utama di negara nya sendiri. Dengan memmbeli
produk dalam negri kita telah membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat kita sendiri. Kita
juga telah membantu dalam menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Produk dalam negri juga tak kalah dengan produk luar negri. Kalau di amerika mereka punya
Barbie di Indonesia kita memiliki mualaf ‘cinderella’. Bomeka ini merupakan boneka Barbie
yang menggunakan berbagai aksesoris yang menggunakan batik. Boneka ini merupakan boneka
yang dibuat oleh para narapidana. Dengan membeli boneka ini kita telah membantu
meningkatkan kreatifitas para narapidana dan membantu 4 organisasi sosial yang ada di
Indonesia.
Dari salah satu contoh produk Indonesia dapat disimpulkan banyak manfaat yang kita peroleh
dengan membeli produk Indonesia. Marilah membeli produk Indonesia. Dengan membeli produk
Indonesia kita telah membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia, meningkatkan
kesejaterahan, meningkatkan kreatifitas bagi pemilik unit kecil menengah ( UKM ),
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia. Produk Indonesia tidaklah kalah dengan
produk luar negri jadi ayo cintai produk-produk Indonesia
2. wawasan nusantara adalah tinjauan atau cara pandang suatu negara tentang diri dan
lingkungannya, di dalam eksistensinya yang sarwa nusantara serta pemekarannya di
dalam mengekspresika diri di tengah-tengah lingkungan nasionalnya (Lemhanas, 1992)
berdasarkan falsafah dan sejarah dari negara tersebut. Wawasan nusantara adalah cara
pandang bangsa Indonesia mengenal diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan
dengan semua aspek kehidupan yang beragam (Prof. Dr. Wan Usman) Wawasan
nusantara adalah wawasan nasional yang bersumber pada Pancasila dan berdasarkan
UUD 1945 yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenal diri dan
lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan
wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk
mencapai tujuan nasional (Tap MPR, 1993 dan 1998)
Dalam penyelenggaraan kehidupan nasional agar tetap mengarah pada pencapaian tujuan
nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman yang kokoh berupa konsepsi wawsan
nasional untuk mewujudkan aspirasi bangsa serta kepentingan dan tujuan nasional.