Anda di halaman 1dari 33

8 Prinsip Etika Dalam Keperawatan tersebut adalah;

1. Autonomy (Kemandirian)

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir secara logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa mampu memutuskan sesuatu dan orang lain
harus menghargainya.

Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri,
dan perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai kemandirian ini.

Salah satu contoh yang tidak memperhatikan otonomi adalah memberitahukan klien bahwa
keadaanya baik, padahal terdapat gangguan atau penyimpangan

2. Beneficence (Berbuat Baik)

Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik sesuai dengan ilmu dan kiat
keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan.

Contoh perawat menasehati klien dengan penyakit jantung tentang program latihan untuk
memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi perawat menasehati untuk tidak dilakukan karena
alasan resiko serangan jantung.

Hal ini merupakan penerapan prinsip beneficence. Walaupun memperbaiki kesehatan secara
umum adalah suatu kebaikan, namun menjaga resiko serangan jantung adalah prioritas kebaikan
yang haruslah dilakukan.

3. Justice (Keadilan)

Nilai ini direfleksikan ketika perawat bekerja sesuai ilmu dan kiat keperawatan dengan
memperhatikan keadilan sesuai standar praktik dan hukum yang berlaku.

Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta ada juga klien
rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor
dalam faktor tersebut kemudian bertindak sesuai dengan asas keadilan.

4. Non-Maleficence (Tidak Merugikan)

Prinsip ini berarti seorang perawat dalam melakukan pelayanannya sesuai dengan ilmu dan kiat
keperawatan dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.

Contoh ketika ada klien yang menyatakan kepada dokter secara tertulis menolak pemberian
transfusi darah dan ketika itu penyakit perdarahan (melena) membuat keadaan klien semakin
memburuk dan dokter harus menginstrusikan pemberian transfusi darah.
Akhirnya transfusi darah ridak diberikan karena prinsip beneficence walaupun pada situasi ini
juga terjadi penyalahgunaan prinsip non-maleficence.

5. Veracity (Kejujuran)

Prinsip ini tidak hanya dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan
kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar klien
mengerti.

Informasi yang diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan dasar
membina hubungan saling percaya. Klien memiliki otonomi sehingga mereka berhak
mendapatkan informasi yang ia ingin tahu.

Contoh Ny. A masuk rumah sakit dengan berbagai macam fraktur karena kecelakaan mobil,
suaminya juga ada dalam kecelakaan tersebut dan meninggal dunia. Ny. A selalu bertanya-tanya
tentang keadaan suaminya. Dokter ahli bedah berpesan kepada perawat untuk belum
memberitahukan kematian suaminya kepada klien. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh
konflik kejujuran.

6. Fidelity (Menepati Janji)

Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,
memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus
memiliki komitmen menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain.

7. Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Dokumentasi tentang
keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan pengobatan, upaya peningkatan
kesehatan klien dan atau atas permintaan pengadilan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan
harus dihindari.

8. Accountability (Akuntabilitas)

Akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa tindakan seorang professional dapat dinilai dalam
berbagai kondisi tanpa terkecuali.

Contoh perawat bertanggung jawab pada diri sendiri, profesi, klien, sesame teman sejawat,
karyawan, dan masyarakat. Jika perawat salah memberi dosis obat kepada klien perawat dapat
digugat oleh klien yang menerima obat, dokter yang memberi tugas delegatif, dan masyarakat
yang menuntut kemampuan professional.

Nah itulah ke 8 Prinsip dalam Etika Keperawatan yang harus diketahui, difahami dan diterapkan
oleh seorang perawat dalam kehidupan profesi dan kehidupan bermasyarakat. Tentunya, akan
banyak halangan dan rintangan yang akan dihadapi dalam menerapkan 8 prinsip etika tersebut.
Hal ini muncul karena adanya dilema etika yang terjadi di lapangan.
MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN PALIATIF

(Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan


Withdrawing or Withholding Life-Support Treatment)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan dunia kedokteran yang pesat belakangan ini, telah membawa
dunia kedokteran untuk berhadapan dengan beberapa masalah pelik. Antara lain : transplantasi
organ tubuh manusia, bayi tabung, inseminasi buatan, sterilisasi, abortus provokatus (aborsi) dan
euthanasia. Selain menyangkut bidang edokteran sendiri, perkembangan dan kemajuan tersebut
justru harus lebih banyak berhadapan dengan hak asasi manusia, etika dan hukum.(Achadiat,
2007).
Seiring perputaran globalisasi yang semakin menuntut peningkatan mutu individual, maka
peningkatan kualitas adalah hal mutlak yang harus dilakukan, agar tidak tertinggal dengan rotasi
zaman. Begitu pula dalam bidang pelayanan keperawatan, peningkatan pelayanan haruslah
dilandasi dengan nilai-nilai profesionalisme. Pelayanan keperawatan yang profesional harus
dilandasi oleh nilai-nilai intelektual, komitmen moral terhadap diri sendiri, tanggungjawab
terhadap masyarakat, otonomi, serta pengendalian. Oleh karena itu tenaga kesehatan diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang optimal sesuai dengan pengetahuan, teknologi serta estetika
perawatan pasien. (Mendri, 2009)
Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada
dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis,
cystic fibrosis, stroke , Parkinson, gagal jantung/heart failure , penyakit genetika dan
penyakitinfeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping kegiatan
promotif , preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia
belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan tersebut, terutama
pada stadium lanjut dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga
perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya.Pada stadium
lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti
nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala
fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang
dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif. Perawatan
paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien yang mengontrol intensitas
penyakit atau memperlambat kemajuannya, apakah ada atau tidak ada harapan untuk sembuh.
Perawatan paliatif tidak bertujuan untuk menyediakan obat dan juga tidak sebaliknya
perkembangan penyakit. Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam perawatan pasien
yang terminal yang dapat dilakuakan secara sederhana sering kali prioritas utama adalah kulitas
hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Pasien cenderung untuk memilih hidup
singkat namun bahagia daripada hidup yang panjang tapi dengan banyak keterbatasan. Mayoritas
pasien yang berada dalam stadium lanjut ketika terdiagnosis. Bagi pasien pilihan terapi yang
realistis hanyalah penghalang nyeri dan perawatan paliatif. Pendekatan perawatan paliatif yang
efektif dapat meningkatkan kulitas hidup pasien. (Rasjidi, 2010) Masyarakat menganggap
perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal.
Namun konsep baru perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih
dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasidengan baik. Perawatan paliatif
adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik danterintegrasi dengan melibatkan berbagai
profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai
akhir hayatnya.Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang mengembangkan kualitas hidup
pasien dan keluarganya dari masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam
hidup, pada berbagai kelainan bersifat kronis atau pada penyakit terminal. Perawatan paliatif
berfokus pada aspek yang multidimensi termasuk psikologis, social, spiritual, fisik, interpersonal
dan komponen perawatan. Menurut Tejawinata (2006), salah satu aspek penting dalam
perawatan paliatif adalah kasih, kepedulian, ketulusan, dan rasa syukur. Begitu pentingnya aspek
ini, sampai melebihi pentingnya penanganan nyeri yang mutlak harusdilakukan dalam perawatan
paliatif. Beliau juga menyatakan, pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi,
perawatan paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru
(akhirat) yang berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan
seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan
kesehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahirandengan
sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si bayi dapat tumbuh
menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk melihat perawatan paliatif adalah
konsep "kematian yang baik," bebas dari rasa sakit dihindari dan penderitaan bagi pasien dan
keluarga pasien. Pada pandangan pertama,definisi ini tampaknya memiliki sedikit hubungannya
dengan perawatan akut disampaikandalam pengaturan seperti gawat darurat Bahkan, sementara
sampai dengan 60% dari pasien meninggal di rumah di Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya
35% dari pasien ingin mati dirumah. Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk
departemen darurat. Mereka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk
pengobatan penyakit akut ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk mengontrol
gejala, terutama rasa sakit. Masalah yang krusial dalam bidang Bioetika dan Biolaw adalah
menyangkut “kehidupan dan kematian”. Untuk hidup seseorang perlu makan dan minum,
kadang-kadang dalam keadaan sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri, sehingga harus
diberikan nutrisi dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut perhitungan secara umum
seorang rata-rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh) hari tanpa makan. Seorang yang
gemuk malah bisa bertahan hidup lebih lama, karena sel-sel lemak secara perlahan-perlahan akan
hancur dan memberikan daya-tahannya. Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal lebih
cepat. Dalam waktu 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan dan
tenaganya.Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan
seorang pasien bisa diperpanjang dengan memberikan makan cairan melalui sonde dan
pemberian bantuan pernapasan melalui Ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan
pada dilema apakah pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan yang
sudah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik untuk menolong jiwa pasien,
namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh "merelakan pasien itu meninggal" (allowing
the patient to die), mengingat satu dan lain hal sudah tidak mungkin lagi untuk menolongnya.
Jika tetap diusahakan, penderitaan pasien itu akan diperpanjang dan kadang-kadang pasien sudah
tidak tahan lagi penderitaannya. Memang persoalannya bersifat kasuistis, sehingga suatu
pedoman yang pasti dan baku tak mungkin diberikan. Tergantung kepada hati- nurani sang
dokter dan kepercayaan dan agama yang dianutriya. Juga tergantung kepada hukum dari negara
yang berlaku. ( Guwandi, 2000). Dua pengacara, David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah
memberikan suatu contoh kasus dari Rhode Island yang menghebohkan. Kasusnya sebagai
berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serikat, di Rhode Island, telah menggambarkan dilema
yang dihadapi para dokter. Gray adalah seorang pasien Rhode Island Medical Center dan sudah
berada dalam keadaan vegetatif (persistent vegetative state). Mengingat Gray tidak mempunyai
harapan lagi untuk siuman kembali, maka suaminya meminta agar pemberian makanan artifisial
dihentikan saja agar Gray direlakan untuk meninggal. Para dokter menolak permintaan ini dan
mengatakan hal ini tidak bisa mereka lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanasia.
Tindakan itu tidak selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana atau perdata
karena menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke Pengadilan. Pengadilan
federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian nutrisi dan hidrasi kepada Gray
dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa menyatakan kehendaknya, pengadilan berpendapat bahwa
ia mempunyai hak konstitusional untuk menolak pemberian bantuan kehidupan, termasuk
makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan hak ini adalah hak yang paling utama di
atas kepentingan lainnya. Walaupun kasus Gray telah merupakan suatu preseden penting di
Rhode Island, tetapi ini masih belum memecahkan persoalan dari berbagai situasi yang dihadapi
para dokter dalam memutuskan : apakah tidak memulai atau menghentikan pemberian bantuan
kehidupan. ( Guwandi, 2000). Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba
sulit. Di satu pihak dokter harus menghormati hak-hak pasien (termasuk hak untuk mati? ),
namun dilain pihak faktor-faktor etika moral dan hukum yang juga harus ditaati. Suka atau tidak,
sengaja atau tidk, pada masa sekarang para dokter akan berhadapan dengan kasus-kasus
euthanasia atau mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80 persen para doter di merika Serikat
setuju dengan euthanasia negatif dan akan melakukannya bila memperoleh kesempatan.
(Achadiat, 2007) Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia,
euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus pengajuan permohonan
euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2004, tidak dikabulkan.
Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat
dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh
dari komanya dan dinyataka nsehat oleh dokter. Terakhir adalah pengajuan euthanasia oleh
suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang sama pada tahun 2005.( www.hukumonline.com) Kajian
dan telaah dari sudut medis, etika moral maupun hukum oleh masing-masing pakar, akhirnya
menyimpulkan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan
euthanasia, tetapi sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profesor Leenen kasus-kasus demikian ini
disebut sebagai Pseudo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthnasia.
Dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah Euthanasia-semu. Salah satu bentuk
Pseudo-Euthanasia adalah Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui
tidak ada gunanya lagi (Guwandi, 2000) atau Achadiat, (2007) Menghentikan atau tidak memulai
memberikan bantuan kehidupan. (Withdrawing Or Withholding Life-Support Treatment).
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik
sosial, etika, maupun moral. Pro dan kontra euthanasia di Indonesia adalah, Pro : isu HAM, hak
hidup, hak mati, individual right; dalam keadaan khusus membunuh orang legal; dilihat dari
Pancasila: Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manfaat, Pengobatan paliatif mulai
berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Memberikan rasa aman kepada para tenaga
medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, walau kehidupan semu tunggu mu’jizat; Sleepery
Slope. (Sutarno, 2012)
Yang penting kriteria medis harus selalu digunakan untuk menentukan apakah suatu
langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan
pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dalam
perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau meneruskan suatu
perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai tidak dapat diharapkan suatu hasil
apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan kematian pasien. Penghentian perawatan seperti
ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek hidup pasien, melainkan untuk
menghindari dokter dan tim bertindak diluar kompetensinya. Dapat pula dikataan bahwa langkah
tersebut mencegah terjadinya penganiayaan terhadap pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP
(Penganiayaan diancam pidana ....... )
B. Permasalahan
Berdasar Pemaparan contoh kasus tersebut diatas dilema etik yang sering ditemukan dalam
praktek keperawatan paliatif dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema menjadi sulit
dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis.
Sebagai tenaga profesional tim perawatan paliatif kadang sulit karena keputusan yang akan
diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat berhadapan dengan
dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses
pengambilan keputusan rasional yang harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi
dan komunikasi yang baik dari tim perawatan paliatif. ” Bagaimana Aspek Medikolegal Dalam
Perawatan Paliatif (Studi Kasus Pseudo-Euthanasia : pada Tindakan Withdrawing or
Withholding Life-support Treatment)”

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif telah didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)
sebagai"perawatan total pasien yang aktif dari penyakit ini tidak responsif terhadap pengobatan
kuratif sakit. Pengawasan, gejala lain, dan dari, sosial dan spiritual masalah psikologis, sangat
penting.Tujuan perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas terbaik hidup bagi pasien dan
keluarga mereka.
Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh,
dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya untuk mengurangi penderitaan
pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support
kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal
dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang
dideritanya. (wikipedia.org)
2. Kualitas hidup pasien
Adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya
dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya. Dimensi dari
kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper(1999),
adalah : gejala fisik, kemampuan fungsional (aktivitas), kesejahteraan keluarga, spiritual, fungsi
sosial, kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan), orientasi masa depan,
kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri dan fungsi dalam bekerja.
(Tejawinata, 2006)
B. Prinsip Dasar Dari Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif terkait dengan seluruh bidang perawatan mulai dari medis, perawatan,
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual, sehingga secara praktis, prinsip dasar perawatan paliatif
dapat dipersamakan dengan prinsip pada praktek medis yang baik.
Prinsip dasar perawatan paliatif : (Rasjidi, 2010)
1. Sikap peduli terhadap pasien
Termasuk sensitivitas dan empati. Perlu dipertimbangkan segala aspek dari penderitaan pasien,
bukan hanya masalah kesehatan.
Pendekatan yang dilakukan tidak boleh bersifat menghakimi. Faktor karakteristik, kepandaian,
suku, agama, atau faktor individual lainnya tidak boleh mempengaruhi perawatan.
2. Menganggap pasien sebagai seorang individu
Setiap pasien adalah unik. Meskipun memiliki penyakit ataupun gejala-gejala yang sama, namun
tidak ada satu pasienpun yang sama persis dengan pasien lainnya. Keunikan inilah yang harus
dipertimbangkan dalam merencanakan perawatan paliatif untuk tiap individu.
3. Pertimbangan kebudayaan
Faktor etnis, ras, agama, dan faktor budaya lainnya bisa jadi mempengaruhi penderitaan pasien.
Perbedaan-perbedaan ini harus ciperhatikan dalam perencanaan perawatan.
4. Persetujuan
Persetujuan dari pasien adalah mutlak diperlukan sebelum perawatan dimulai atau diakhiri.
Mayoritas pasien ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan, namun dokter cenderung untuk
meremehkan hal ini. Pasien yang telah diberi informasi memadai clan setuju dengan perawatan
yang akan diberikan akan lebih patuh mengikuti segala usaha perawatan.
5. Memilih tempat dilakukannya perawatan
Untuk menentukan tempat perawatan, baik pasien can keluarganya harus ikut serta dalam diskusi
ini. Pasien dengan penyakit terminal sebisa mungkin diberi perawatan di rumah.
6. Komunikasi
Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien maupun dengan keluarga adalah hal yang sangat
penting dan mendasar dalam pelaksanaan perawatan paliatif.
7. Aspek klinis : perawatan yang sesuai
Semua perawatan paliatif harus sesuai dengan stadium dan prognosis dari penyakit yang diderita
pasien. Hal ini penting karena pemberian perawatan yang tidak sesuai, baik itu lebih maupun
kurang, hanya akan menambah penderitaan pasien. Pemberian perawatan yang berlebihan
berisiko untuk memberikan harapan palsu kepada pasien. Demikian jugs perawatan yang
dibawah standard akan mengakibatkan kondisi pasien memburuk.
Hal ini berhubungan dengan masalah etika yang akan dibahas kemudian. Perawatan yang
diberikan hanya karena dokter merasa harus melakukan sesuatu meskipun itu sia-sia adalah tidak
etis.
8. Perawatan komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai bidang profesi
Perawatan paliatif memberikan perawatan yang bersifat holistik clan integratif, sehingga
dibutuhkan sebuah tim yang mencakup keseluruhan aspek hidup pasien serta koordinasi yang
baik dari masing-masing anggota tim tersebut untuk memberikan hasil Yang maksimal kepada
pasien dan keluarga.
9. Kualitas perawatan yang sebaik mungkin
Perawatan medis secara konsisten, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Perawatan medis yang
konsisten akan mengurangi kemungkinan terjadinya perubahan kondisi yang tidak terduga,
dimana hal ini akan sangat mengganggu baik pasien maupun keluarga.
10. Perawatan yang berkelanjutan
Pemberian perawatan simtomatis dan suportif dari awal hingga akhir merupakan dasar tujuan
dari perawatan paliatif. Masalah yang sering terjadi adalah pasien dipindahkan dari satu tempat
ke tempat lain sehingga sulit untuk mempertahankan kontinuitas perawatan.
11. Mencegah terjadinya kegawatan
Perawatan paliatif yang baik mencakup perencanaan teliti untuk mencegah terjadinya kegawatan
fisik dan emosional yang mungkin terjadi dalam perjalanan penyakit. Pasien dan keluarga harus
diberitahukan sebelumnya mengenai masalah-masalah yang sering terjadi, dan membentuk
rencana untuk meminimalisasi stres fisik dan emosional.
12. Bantuan kepada sang perawat
Keluarga pasien dengan penyakit lanjut seringkali rentan terhadap stres fisik dan emosional,
terutama apabila pasien dirawat di rumah, sehingga perlu diberikan perhatian khusus kepada
mereka mengingat keberhasilan dari perawatan paliatif juga tergantung dari sang pemberi
perawatan itu sendiri.
13. Pemeriksaan ulang
Perlu terus dilakukan pemeriksaan mengenai kondisi pasien, mengingat pasien dengan penyakit
lanjut kondisinya akan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
C. Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif
( Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007)
1. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif.
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif.
Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran pada dasarnya dilakukan
sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya
tindakan kedokteran (medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan
paliatif sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima
informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiriapabila ia masih kompeten,
dengan saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yangcukup agar diberikan kepada pasien
untuk berkomunikasi dengan keluargaterdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka
keluarga terdekatnyamelakukannya atas nama pasien.
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan
pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau bolehatau tidak boleh
dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun(advanced directive). Pesan
dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang bolehatau tidak boleh dilakukan, atau dapat
pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan
pada saat ia tidak kompeten.Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan
utama bagi timperawatan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim
perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi
dapatdiberikan pada kesempatan pertama.
2. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif.
Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat olehpasien yang
kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif. Informasi tentang hal ini sebaiknya telah
diinformasikan pada saat pasien memasukiatau memulai perawatan paliatif.Pasien yang
kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang
dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut dapat diberikan
dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam bentuk informed consent menjelang ia
kehilangan kompetensinya. Keluarga terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan
tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian,
dalamkeadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaantertulis
oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapanpengadilan untuk
pengesahannya.
Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai
dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan
tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya
berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
3. Perawatan pasien paliatif di ICU.
Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti ketentuan-ketentuan umum yang
berlaku sebagaimana diuraikan di atas.Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif
harus mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-
supporting.
4. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif.
Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimpinan Rumah
Sakit, termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien.Pada dasarnya tindakan yang
bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenagamedis, tetapi dengan pertimbangan yang
memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada
tenaga kesehatan non medisyang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat
kebijakan harus dipelihara.
D. Medikolegal Euthanasia
1. Sejarah Eutanasia
Rasjidi, (2010) Kata eutanasia berasal dari bahasa " Yunani yaitu "eu" (baik) and
"thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik".
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada sumpah Hippokrates yang
ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan
atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Menurut KNMG (Ikatan Dokter Belanda):
Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri
hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan
nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri &
keluarganya.
2. Pseudo-Euthanasia
Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 betuk golongan pseudo-
euthanasia ialah :
a. Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang otak.
b. Pasien menolak perawtan atau bantuan medik terhadap dirinya.
c. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure).
d. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya.
3. Jenis-jenis eutanasia dan kesadaran pelakunya
a. Eutanasia pasif : Menghentikan/mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia menyadari. Eutanasia ini dikategorikan sebagai tindakan
eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan pasien. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak
memberikan bantuan medis untuk memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak
memberikan obat-obat baik antibioti, vasopressor, vasoaktif, atau analgetik. Eutanasia pasif ini
seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia
pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun keputusasaan keluargan karena ketidak
sanggupan menanggung beban biaya pengobatan atau alasan lain.
b. Eutanasia aktif Menurut Sutarno (2012) Eutanasia aktif tidak langsung : Tindakan medik untuk
meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko dapat memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien pelaku menyadari.Eutanasia aktif langsung (mercy killing) : Tindakan
medis secara terarah yg akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien, pelaku
menyadari.
4. Penerapan Hukum Positif Pada Kasus Eutanasia di Indonesia
Sutarno (2012) Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perbuatan
yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan
nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya
nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan
memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum
yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun. Belum
ada Peraturan perudangan yang khusus, dilihat dari sisi hukum: pembunuhan / pembiaran /
kelalaian atau malpraktik medik ? Yang berkaitan adalah : a) Perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana ?; b) Asas legalitas, penghilangan nyawa; c)
Kesalahan ( dolus, culpa); d) Delicta Commissionis, Delicta Omissionis, Delicta Commissionis
per Omissionem Commissa.
Berkaitan dengan Tindakan Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang
diketahui tidak ada gunanya. ( Withdrawing or Withholding Life-support Treatment)
bagaimanapun juga ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal yang erat kaitannya dengan
kompetensi seorang dokter dalam tim perawatan paliatif. Sesuatu yang berada diluar batas ilmu
kedokteran sudah tidak merupakan wewenang dokter dalam tim perawatan untuk menganinya
karena bukan merupakan kompetensinya. Bilamana tim perawatan paliatif bekerja diluar
kompetensinya dan apalagi tanpa izin pasien, maka dapat dikatakan telah melakukan
penganiayaan terhadap pasiennya. Yang terpenting kriteria medik harus selalu digunakan untuk
menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak. Tentunya
semua berdasarkan pengetahuan, kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh
dokter dan tim perawatan. (Achadiat, 2007)
E. Prinsip-Prinsip Etik
1. Autonomy (otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan
membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai
oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang
sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional
merefleksikan otonomi saat tim perawatan paliatif menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Non maleficience (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
Prinsip tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) hendak mengartikan bahwa kita
berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai merugikan orang lain. Prinsip
ini nampaknya sama dengan salah satu prinsip dari Hippocrates, yaitu Premium non nocere yang
berarti bahwa yang terpenting adalah jangan sampai merugikan. (Achadiat, 2007)
3. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan
kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa
pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan objektif
untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan
adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk
pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu
memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang
kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya
4. Beneficienec (berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan,
terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
5. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar
praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
6. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang Pasien harus dijaga
privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan Pasien hanya boleh dibaca
dalam rangka pengobatan Pasien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijin kan oleh Pasien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang Pasien diluar
area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang Pasien dengan tenaga
kesehatan lain harus dicegah. Komunikasi yang terjaga adalah informasi yang diberikan oleh tim
perawatan kepada Pasien dengan kepercayaan dan keyakinan informasi tersebut tidak akan
bocor. ( Perry & Potter, 1997 )
7. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti
pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan
standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang
tidak jelas atau tanpa terkecuali. Tim Perawatan seringkali mengandalkan pertimbangan mereka
denagn menggunakan (Teori Moral Mandle, 1994, dalam Perry & Potter, 1997 ) yaitu Teori
Deontologi : Pemikiran mengarahkan seseorang untuk mempertimbangkan kebenaran dan
kesalahan bawaan dari dari suatu tindakan atau kewajiban tersebut. Teori Teleologis : umumnya
mempertimbangkan konsekwensi suatu tindakan. Teori moral semacam ini memulai sesuatu
yang baik dengan melihat pada situasi untuk menentukan apa yang harus dilakukan, berdasaran
konsekwensi apa yang akan dialami orang yang terlibat jika tindakan tersebut dilakukan.
Terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan),
memerlukan adanya kesdaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang
lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh tim perawatan paliatif agar dapat selalu
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan mengingat dan mengutamakan
kepentingan pasien. Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan agar menghargai
setiap upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha
meringankan/membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi dalam
tindakan konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu dengan
mempertimbangkan baik bruknya secara bertanggung jawab. (Komalawati, 1989).
F. Tinjauan menurut Ajaran Agama (Rasjidi, 2010)
Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga
tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau
memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak
jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas
dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,
apapun alasannya.
1. Dalam Ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia.Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:
66; 2: 243).Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam AlQuran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada
sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlahkamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasihsayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Eutanasia Positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian sisakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan
instrumen(alat).Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak
diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan
aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat
secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa
besar yang membinasakan.Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan
penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada
Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-
lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan-Nya.
Eutanasia Negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi
iahanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan
pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap
alamsemesta) dan hukum sebab-akibat. Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan
ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut
jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Dalamhal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya
seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya
mustahab (sunnah).
2. Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelasmungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan,sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang
hidup. PausPius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika
dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern
penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Padatanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah
menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan
pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem
penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri
hidup. Paus Yohanes Paulus II,yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia,
dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-
orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus
Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung
penderitaan sesama. Belas kasihan itutidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat
kita tanggung" (Evangelium Vitae,nomor 66)
3. Dalam Ajaran Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang
karma,moksa dan ahimsa.Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah
menjadi penghalang"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi
suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti
kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang
terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu
factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih
tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila
seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga
melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia
mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya
waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun
itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali kedunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya
kembali lagi dari awal.
4. Dalam Ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan
eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :Gereja Methodis
(United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : "penggunaan teknologi
kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan
yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankahperalatan penyokong kehidupan
tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien,dan kapankah batas akhir
kesempatan hidup tersebut". Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan
hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian
terjadi.Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi,
pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan
ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan
suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas
pengobatan.Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi
masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari
sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan
apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
5. Dalam Ajaran Agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral
dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia
adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain
daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap
perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada
siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang
tersebut.
6. Dalam Ajaran Gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,
upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh
kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan
kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap
prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
7. Dalam Ajaran Agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari
Tuhanyang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun
tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej
1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut
balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa
ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas
manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap
menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie,
yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran,
tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara
mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya
secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain
berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan
ketuhanan. (Asshiddiqie, 2005)
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru
dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi
dari segala penderitaan yang hebat.

BAB III
SIMPULAN
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan melalui
identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah lain-fisik, psikososial, dan
spiritual.Tampaknya terasa suatu kebutuhan yang sangat mendesak akan suatu pedoman yang
mengatur hak-hak pasien yang kompeten dan tidak kompeten untuk menolak atau menghentikan
pemberian bantuan kehidupan.
Jika di Rhode Islands saja kebutuhan ini sudah dirasakan mendesak, apalagi di Indonesia
yang belum ada tanda-tanda ke arah pembuatan semacam pedoman tersebut. Pedoman tersebut
harus memuat garis-garis besar untuk melindungi hak-hak pasien untuk menentukan apa yang
dikehendaki terhadap dirinya sendiri, merelakan meninggal secara alami dan memungkinkan
para dokter dan tim perawatan paliatif, anggota keluarga dan wali menghadapi problema besar
ini untuk berani membuat keputusan tanpa khawatir akan tuntutan hukum. Namun tentunya kita
tidak bisa meniru saja apa yang sudah dilakukan di belahan dunia Barat, tetapi harus
diperhitungkan dengan kondisi etika, sosial, budayadan melalui kajian keagamaa kita sendiri
yang pasti akan berlainan dalam alam pikiran tertentu.
Masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja
pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik
pasien. Tetapi dalam perkembangannya, di negara maju seperti Amerika Serikat, diakui pula
adanya ‘hak untuk mati’ walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu, euthanasia
diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika Serikat. Namun di Indonesia, masalah euthanasia ini
tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah
yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis dan moral yang ada
di suatu masyarakat tertentu.
Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung
jawabkan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik terdapat nilai-
nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip- prinsip moral telah
banyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana nilai-nilai moral di dalam profesi
tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral professional sangat penting dan sesuatu yang tidak
boleh ditawar lagi dan harus dilaksanakan.
Keputusan dilema etik perlu diambil dengan hati-hati dan saling memuaskan dan tidak
merugikan bagi pasien dan pengambil keputusan. Yang terpenting adalah rambu-rambu etika,
moral maupun hukum yang tegas tentang euthanasia, agar terdapat kejelasan. Kemajuan ilmu
teknologi masa kini dibidang kodokteran sudah saatnya diantisipasi sejak dini dengan rumusan-
rumusan etika, moral dan hukum yang berkaitan dengan euthanasia.
Konsep pasien terminal & menjelang ajal

1. 1. KONSEP PASIEN DENGAN TERMINAL & MENJELANG AJAL By A. Miftahul Khair, S.Kep.,Ns 1
2. 2. Terminal Menjelang ajal Kematian 2
3. 3. Pengertian • Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit /
sakit yg tdk mempunyai harapan untuk sembuh Dekat dengan Proses Kematian . ( Menjelang
Ajal / Dying ) 3
4. 4. • Penyakit kronis : AIDS dll • Kondisi Keganasan seperti Ca. • Kelainan Syaraf seperti Stroke,
Hydrocephalus dll. • Keracunan seperti keracunan obat, makanan, zat kimia •
Kecelakaan/Trauma seperti Trauma Kapitis, Trauma Organ Vital (Paru-Paru atau jantung), ginjal
dll. Penyakit  kondisi terminal/ mengancam hidup 4
5. 5. Dying (Proses Kematian). • ad/ proses ketika individu semakin mendekati akhir hayatnya. •
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh sakit yang parah/terminal, atau oleh kondisi lain yg
berujung pd kematian individu • Biasanya Respon terminal yg ditunjukan setiap individu
berbeda- beda. 5
6. 6. Tujuan Perawat  PC terminal & Dying Untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi
klien klien meninggal dengan tenang dan damai 6
7. 7. TAHAPAN MENJELANG AJAL Elizabeth Kubler-Ross, ahli kejiwaan (Amerika) menjelaskan:
Respon individu dalam menghadapi kematian. Scr umum dibagi menjadi 5 fase yaitu : 1.
Penyangkalan, 2. Marah, 3. Tawar menawar, 4. Depresi 5. Penerimaan (Taylor dkk,1989) 7
8. 8.  Tidak selamanya berurutan scr tetap  Dapat tumpang tindih  Lama tiap tahap bervariasi 
Perlu perhatian perawat scr penuh & cermat Disamping 5 fase diatas, adapula fase
ketidaktahuan & ketidakpastian yg dikemukakan oleh sporken & Michels (P.J.M. Stevens, 1999)
Berdasar pandangannya, Kubler-Ross 8
9. 9. Karakteristiknya a/l :  Klien tdk siap menerima keadaan yg t’jadi  Menunjukan reaksi
penyangkalan scr verbal, “ Tidak, bukan saya. Itu tdk mungkn”.  Scr tdk langsung pasien ingin
mengatakan bahwa maut menimpa semua org kecuali dia.  Perubahan fisik; letih, lemah, pucat,
mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah. 1. Penyangkalan &
Isolasi (Menolak/Denial) 9
10. 10. Tugas perawat dlm tahap ini :  Membina hubungan saling percaya  Memberi kesempatan
klien utk mengekspresikan diri & menguasai dirinya  Melakukan dialog disaat klien siap, &
menghentikannya ketika mampu menghadapi kenyataan  Mendengarkan klien dgn penuh
perhatian & m’berinya kesempatan utk b’mimpi ttg hal2 yg menyenangkan 10
11. 11. 2. Marah / Anger Karakteristiknya a/l : Mengekspresikan kemarahan & p’musuhan
Menunjukan kemarahan, kebencian, perasaan gusar & cemburu Emosi tdk t’kendali
Mengungkapkan kemarahan scr verbal “mengapa harus aku?” Reaksi fisik; muka merah, nadi
cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal 11
12. 12. Tugas perawat  Menerima kondisi klien  B’hati2 dlm m’berikan penilaian, mengenali
kemarahan & emosi yg tak t’kendali  M’biarkan klien mengungkapkan marahnya  Menjaga
agar tdk t’jadi kemarahan destruktif & melibatkan keluarga  Berusaha m’hormati & memahami
klien,  M’berikan kesempatan, m;perlunak suara & mengurangi p’mintaan yg penuh
kemarahan 12
13. 13. 3. Tawar menawar / bargaining Karakteristiknya a/l : Kemarahan mulai mereda Mulai sadar
akan kenyataan Terkesan sdh menerima kenyataan Cenderung m’bereskan segala urusan
Melakukan tawar menawar/barter, mis utk menunda kematian M’punyai harapan & keinginan “
Ya Tuhan, jangan dulu saya mati dengan segera, sblm anak saya lulus jd sarjana ”.  Verbalisasi; “
kenapa harus terjadi pd saya ? “ kl sj yg sakit bkn saya / “ seandainya saya hati-2 “. . 13
14. 14. Tugas perawat adalah sedapat mungkin berupaya agar keinginan klien terpenuhi 14
15. 15. 4. Depresi / murung Karakteristiknya a/l : Mengalami proses b’kabung krn dulu ditinggalkan
& skrg akan kehilangan nyawa sendiri Klien berada pd proses kehilangan segala hal yg ia cintai
Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa Gejala ; menolak makan, susah
tidur, letih, dorongan libido menurun. 15
16. 16. Tugas perawat adalah Duduk tenang disamping klien M’beri klien kesempatan utk
mengungkapkan kedudukannya M’beri klien kesempatan utk mengungkapkan perasaannya
M’beri dukungan & perhatian pd klien (mis; sentuhan tangan, usapan pd rambut,dll) 16
17. 17. 5. Penerimaan / Acceptance Karakteristiknya a/l : Mampu menerima kenyataan Merasa
kedamaian & ketenangan Respon verbal,”biarlah maut mengambilku, karena aku sudah siap”
Merenungkan saat2 terakhir dgn pengharapan t’tentu Sering merasa lelah & memerlukan tidur
lebih banyak Tahap ini bkn merupakan tahap bahagia, namun lebih mirip perasaan yg hampa 17
18. 18. Tugas perawat Mendampingi klien Menenangkan klien & meyakinkannya bahwa anda akan
mendampinginya sampai akhir Membiarkan klien mengetahui yg t’jadi pd dirinya 18
19. 19. Upaya Perawat  Thp Kematian (Taylor dkk,1989). • Mengenali & memenuhi kebutuhan
klien, • Mendorong & m’beri klien kesempatan untuk b’bicara • Mendorong klien untuk
mengungkapkan emosinya scr bebas, • Selalu siap m’bantu klien, & menghormati perilaku klien
KATALISATOR 19
20. 20. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian 1. Kematian yg pasti dgn waktu yg diketahui →
adanya perubahan yg cepat dari fase akut ke kronik 2. Kematian yg pasti dgn waktu tdk bisa
diketahui → biasanya terjadi pd kondisi penyakit yg kronik 3. Kematian yg belum pasti
kemungkinan sembuh blm pasti → biasanya terjadi pd pasien dgn operasi radikal karena adanya
kanker 4. Kemungkinan mati & sembuh yg tdk tentu → pd pasien dgn sakit kronik & telah b’jalan
lama 20
21. 21. Tanda2 Klinis Menjelang kematian Gerakan ekstremitas b’angsur-angsur menghilang
khususnya pd kaki & ujung kaki Sulit berbicara Tubuh semakin lemah, refleks gerakan menurun
Aktivitas seluruh pencernaan menurun Otot rahang & muka mengendur, rahang bawah
cenderung turun Mata sedikit terbuka a. Penurunan Tonus Otot 21
22. 22. b. Sirkulasi Melemah Suhu tubuh pasien tinggi, tetapi kaki, tangan & ujung hidung pasien
terasa dingin & lembab Kulit ekstremitas & ujung hidung tampak kebiruan, kelabu atau pucat
Nadi mulai tdk teratur, lemah & cepat Tekanan darah menurun Peredaran darah perifer
berhenti 22
23. 23. c. Kegagalan fungsi sensorik Sensasi nyeri menurun atau hilang Pandangan mata
kabur/berkabut Kemampuan indera berangsur-angsur menurun Sensasi panas, lapar, dingin, &
tajam menurun Mengorok / bunyi napas terdengar kasar Pernapasan tdk teratur & mll mulut
Pernapasan cheyne stokes d. Penurunan/kegagalan fungsi pernapasan 23
24. 24. Kematian (Death).. Scr etimologi death → berarti keadaan mati at/ kematian. • Scr defenitif
kematian → t’hentinya fungsi jantung & paru2 scr menetap, at/ t’hentinya kerja otak scr
permanen. 24
25. 25. Tanda – tanda kematian 1. Saat Kematian 2. Setelah Kematian 25
26. 26. 1. Saat Kematian a. Tdk berfungsinya organ vital (jantung, paru & otak) TTV menurun / tdk
ada b. Hilangnya respon trhd stimulasi eksternal c. Hilangnya kontrol atas sfingter kandung
kemih & rectum d. Peredaran darah terhambat  ujung hidung dingin e. Hilangnya kemampuan
pancaindra ; kcl pendengaran (Steven,dkk.2000) f. Adanya garis datar pd mesin
elektroensefalografi g. Menunjukan t’hentinya aktivitas listrik otak utk penilaian pasti suatu
kematian 26
27. 27. Indikasi Kematian World Medical Assembly (1986) a. Tdk ada respon t’hadap rangsangan
dari luar secara total b. Tdk adanya gerak dari otot khususnya pernafasan c. Tdk ada refleks d.
Gambaran mendatar pada EKG 27
28. 28. 2. Setelah kematian a. Rigor mortis (kaku) Tubuh menjadi kaku 2-4 jam setelah kematian b.
Algor Mortis (dingin) Suhu tubuh perlahan2 turun c. Livor Mortis (post-mortem decomposition)
Perubahan warna kulit pd daerah yg tertekan 28
29. 29. Macam Tingkat Kesadaran atau Pengertian Pasien & Keluarganya Terhadap Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type : 1. Closed Awareness/Tidak
Mengerti. 2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi. 3. Open Awareness/Sadar
akan keadaan dan Terbuka. 29
30. 30. 1. Closed Awareness/Tidak Mengerti • Perawat sering kali dihadapkan dengan pertanyaan-
pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya 30
31. 31. 2. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi Memberikan kesempatan kepada
pasien untuk menentukan segala sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban
yang berat baginya. 31
32. 32. 3. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka. • Pada situasi ini, klien dan orang-
orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang menjelang dan menerima untuk
mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir. • Keadaan ini memberikan kesempatan kepada
pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang
dapat melaksanaan hal tersebut 32
33. 33. Bantuan yang Dapat diberikan pd pasien menjelang ajal • Bantuan untuk kebutuhan
fisiologis • Bantuan untuk kebutuhan sosial • Bantuan untuk kebutuhan psikologis 33
34. 34. 1. Bantuan memenuhi kebutuhan Fisiologis a. Kebersihan diri b. Mengontrol rasa sakit c.
M’bebaskan jalan napas d. Bergerak e. Nutrisi f. Eliminasi g. Perubahan sensori  perawat &
keluarga mengurangi nada pembicaran 34
35. 35. 2. Bantuan memenuhi Kebutuhan sosial a. Menanyakan siapa2 saja yg ingin didatangkan utk
bertemu dgn klien & didiskusikan dgn keluarganya b. Menggali perasaan2 klien s/d dgn sakitnya
c. Menjaga penampilan klien pd saat2 menerima kunjungan2 teman2 t’dekatnya personal
hygiene d. Meminta saudara/teman2nya utk sering mengunjungi & mengajak org lain 35
36. 36. 3. Bantuan memenuhi kebutuhan Spiritual a. Menanyakan kepada klien ttg harapan2
hidupnya & rencana2 klien selanjutnya menjelang ajal b. Menanyakan kepada klien untuk
mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual c. Membantu &
mendorong klien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya 36
37. 37. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DALAM PROSES MENJELANG AJAL 37
38. 38. PENGKAJIAN Perawat mengkaji seluruh data baik subjektif maupun objektif yg berhubungan
dgn proses menjelang ajal & kematian 38
39. 39. Pengkajian Fisik Pengkajian menjelang, mendekati & saat kematian Fase ini ditandai dgn : a.
Perubahan tanda2 vital b. Sirkulasi melemah c. Tonus otot menghilang d. Kegagaln sensorik :
pandangan kabur, kegagalan fungsi indra perasa & penciuman e. Tingkat kesadaran : TK klien
b’variasi dr sadar, s/d koma 1. Menjelang kematian 39
40. 40. 2. Mendekati kematian  amati manifestasi klinis Meliputi : a. Pupil berdilatasi b. Reflex
menghilang c. Frekuensi nadi meningkat, kemudian menurun d. Pernapasan cheyne stokes e.
Tidak bisa bergerak f. Klien mengorok / bunyi napas terdengar kasar 40
41. 41. 3. Kematian Pd tahap ini, manifestasi klinik yg dapat diamati pd klien antara lain : a.
Pernapasan,nadi & tekanan darah berhenti b. Hilangnya respon terhadap stimulus eksternal c.
Pergerakan otot sudah tidak ada d. Pada ensepalogram datar (garis otak) berarti katifitas listrik
otak terhenti 41
42. 42. Pengkajian psikologi Perawat menggali makna kehilangan pada klien dan keluarga dgn
cara : Menggunakan komunikasi tulus dan terbuka Menekankan keterampilan mendengar
Mengamati respon dan perilaku Perawat mengkaji bagaimana klien bereaksi, Perawat harus
memahami fase2 duka / menjelang ajal yg dialami klien Perawat harus mengkaji factor2 yg
mempengaruhi cara individu merespon thdp kehilangan  42
43. 43. 1. Karakteristik Personal : usia, tingkat pendidikan 2. Sifat Hubungan dg Objek yg Hilang
Karakteristik hubungan dan reaksi kehilangan thdp org yg ditinggalkan 3. Sistem Pendukung
Sosial dukungan sosial dr teman, klrg , masyarakat dsb 4. Sifat Kehilangankemampuan untuk
menyelesaikan & menerima duka, waktu 5. Keyakinan Spiritual dan Budaya 43 Faktor Yang
Mempengaruhi Cara Individu Merespon Kehilangan :
44. 44. Tugas individu • Buat diagnosa dan intervensi keperawatan yg dapat ditemukan pada pasien
terminal dan menjelang ajal • Tugas ditulis tangan dan dikumpulkan pada ketua tingkat •
Referensi buku : Diagnosa nanda yg terbaru & NIC NOC terbaru, marlyn doenges, linda jual
capernito dll. 44
45. 45. 45
46. 46. DIAGNOSIS KEP. 1. Ansietas b/d kematian yg akan terjadi 2. Keputusasaan b/d kegagalan at/
m’buruknya kondisi fisik, kurang dukungan sosial/keluarga, kehilangan kepercayaan spiritual 3.
Ketidakberdayaan b/d ketidakmampuan untuk mengubah hasil penyakit terminal, kehilangan
kemandirian, program penanganan yg berlebihan 46
47. 47. 4. Dukacita adaptif yang berhubungan dengan : • Potensial orang terdekat yang dirasakan •
Potensial kehilangan kesejahteraan fisiopsikososial yang dirasakan • Potensial kehilangan
kepemilikan pribadi yang dirasakan 47
48. 48. 5. Dukacita maladaptif yang berhubungan dengan : • Kehilangan objek potensial atau aktual
• Rintangan respon berduka • Tidak ada antisipasi terhadap berduka • Penyakit terminal kronis
• Kehilangan orang terdekat 48
49. 49. 6. Gangguan penyesuaian b/d berduka yang tidak selesai. 7. Perubahan koping keluarga b/d
– Preokupasi sementara oleh org terdekat yg mencoba untuk menangani konflik emosional &
personal – Menderita & tdk mampu untuk menerima / bertindak scr efektif dlm kaitannya dgn
kebutuhan klien. 49
50. 50. 9. Perubahan Proses Keluarga b/d Transisi atau krisis situasi 10. Keputus asaan b/d : –
Kekurangan atau penyimpangan kondisi fisiologis – Stress jangka panjang – Kehilangan
keyakinan nilai luhur atau yang maha kuasa. 11. Isolasi Sosial b/d Sumber pribadi tdk adekuat.
12. Disress Spiritual b/d Perpisahan dari ikatan keagamaan & kultural 13. Gangguan Pola Tidur
b/d stress karena respon berduka 50
51. 51. Diagnosis lain yg dpt menyertai diagnosa tsb antara lain : 1. Ketegangan peran pemberi
perawatan b/d keparahan penyakit penerima perawatan, ketidakmampuan utk mengubah hasil
utk pasien, ketidakadekuatan lingkunagn fisik utk m’berikan perawatan kurang istirahat &
rekreasi utk m’beri perawatan, kompleksitas/banyaknya tugas pemberian perawatan 51
52. 52. 2. Gangguan proses keluarga b/d perubahan dalam peran keluarga , hospitalisasi perubahan
lingkungan, sakit / ketidakmampuan dari anggota keluarga, terpisah dari anggota keluarga 52
53. 53. PERENCANAAN & IMPLEMENTASI Tujuan utama : Mempertahankan kenyamanan fisiologis
dan psikologis serta mencapai kematian yg damai & bermartabat, termasuk mempertahankan
control personal & menerima kesehatan yg terus menurun. 53
54. 54. 1. Ketakutan Yang berhubungan dengan : • Pengaruh dini atau jangka panjang yg diusahakan
akibat (kehilangan fungsi tubuh atau anggota tubuh, penyakit terminal, disabilitas jangka
panjang, gangguan kognitif) • Hilangnya kontrol & hasil akhir yg tdk diperkirakan, sekunder
akibat (hospitalisasi, prosedur pembedahan & hasil akhir, lingkungan yg baru, kehilangan org yg
dicintai, perceraian & kegagalan) • Perpisahan dari org tua & teman sebaya • Ketakutan terkait
usia (gelap,org asing, hantu, monster & binatang). 54
55. 55. • Ketidakpastian ttg (penampilan, dukungan teman, pernikahan, kehamilan & pekerjaan)
Kriteria Hasil Individu akan mengungkapkan kenyamanan fisik & psikologis yg kian meningkat
Indikator * M’perlihatkan penurunan respon viseral (nadi & pernapasan) * M’bedakan antara
kenyataan & khayalan * M’jelaskan pola koping efektif & takefektif • Mengidentifikasi respon
koping sendiri 55
56. 56. Intervensi Umum a. Kaji faktor penyebab (lingkungan yg asing, perubahan gaya hidup,
perubahan biologis & psikologis, ancaman pd harga diri dll.) b. Kurangi at/ hilangkan faktor
penyebab (berbeda utk masing2 penyebab) c. Dorong klien utk mengungkapkan perasaannya
(tdk berdaya & marah) d. Beri masukan ttg perasaan yg diungkapkan klien e. Dorong klien utk
menggunakan mekanisme koping yg positif 56
57. 57. f. Dorong klien utk menceritakan masalahnya kepada org lain g. Dorong klien utk
menghadapi ketakutannya h. Hadirkan suasana yg tdk mengancam secara emosional Saat
Interaksi Ketakutan telah menurun a. Jelaskan isyarat perilaku yg mengidentifikasi peningkatan
ketakutan b. Ajarkan cara meningkatkan control c. Identifikasi aktivitas yg dpt menyalurkan
energi emosional klien guna mengurangi intensitas ketakutan (varacolis,1998) 57
58. 58. d. Dialog yg jujur & terbuka dpt membantu upaya pemecahan masalah konstruktif & dpt
memberikan harapan e. Aktivitas fisik membantu mengarahkan & meredakan ketegangan
(varacolis,1998). 2. Keputusasaan Yang berhubungan dengan : * Kondisi fisik yg kian menurun *
Gangguan kemampuan fungsional (berjalan, eliminasi & makan) 58
59. 59. * Pengobatan yg lama ( kemoterapi & radiasi ) yg dpt menyebabkan nyeri, mual,
ketidaknyamanan. * Pengobatan yang lama namun tanpa hasil * Ketidakmampuan mencapai
tujuan dalam hidup ( pernikahan, pendidikan & anak2) * Kehilangan sesuatu atau seseorang yg
sangat dicintai (pasangan, anak & teman) * Gangguan fungsi tubuh atau kehilangan anggota
tubuh * Hambatan dalam hubungan (p’pisahan & p’ceraian) * Kehilangan pekerjaan 59
60. 60. Kriteria Hasil • M’perlihatkan peningkatan energi yg ditandai dgn aktivitas (perawatan diri,
olahraga & hobi) • Mengungkapkan harapan yg positif ttg masa depan, mengungkapkan tujuan
& makna hidup • M’perlihatkan inisiatif otonomi dlm pengambilan keputusan pemecahan
masalah • Mendefenisikan ulang masa depan & menetapkan tujuan yg realistis • M’perlihatkan
kedamaian & kenyamanan dgn situasi yg ada 60
61. 61. Indikator  Menyampaikan penderitaan yg dialami scr t’buka & konstruktif & kepada org lain
 Mengenang & mengulas kehidupan scr positif  M’pertimbangkan nilai2 & makan hidupnya 
Mengungkapkan perasaan optimis ttg kehidupan saat ini  Membina, meningkatkan,
m’pertahankan hubungan yg positif dgn orang lain  Berpartisipasi dlm peran yg bermakna 
Mengekspresikan keyakinan spiritual 61
62. 62. Intervensi Umum a. Bantu klien mengidentifikasi & mengungkapkan perasaannya b.
Dengarkan klien dgn seksama & perlakukan ia sebagai seorang individu c. Tunjukan sikap empati
agar klien bersedia menutarakan keraguan, ketakutan & kekhawatiran nya d. Dorong klien utk
m’ceritakan bgmn harapan menjadi ketidakpastian dlm hidupnya & saat2 ktk harapan telah
mengecewakan. 62
63. 63. e. Bantu klien mengidentifikasi hal2 menyenangkan & hal2 yg mereka anggap sbg humor f.
Bantu klien memahami bahwa ia pribadi mampu mengatasi aspek keputusasaan dlm hidupnya
dgn memisahkan aspek tsb dr aspek penuh harapan. Bantu klien mengidentifikasi area
keputusasaan dlm hidupnya & menerimanya. Berdayakan sumber2 eksternal & internal klien utk
mendukung harapannya 63
64. 64. g. Bantu klien mengidentifikasi alasan mereka utk hidup yg kemudian m’beri makna & tujuan
pd hidup mereka h. Tekankan keberhasilan pemcapaian dimasa lalu & gunakan informasi ini utk
tujuan baru bersama klien i. Bantu klien mengidentifikasi sumber2 harapan (hubungan & tugan
yg harus dituntaskan) 64
65. 65. j.Bantu klien dlm memecahkan masalah & mengambil keputusan k.Hargai klien sbg
pengambil keputusan yg kompeten : hargai keputusan yg diambil klien l.Bantu klien beralih dari
permasalahan yg mustahil dipecahkan & mulai b’fokus pd masalah yg realistis & mungkin
dipecahkan 65
66. 66. m. Bantu klien m’pelajari ketrampilan koping yg efektif n. Dorong klien m’gunakan teknik
relaksasi sebelum m’hadapi peristiwa stres yg telah diperkirakan sebelumnya o. Dorong klien
melakukan imajinasi t’bimbing utk meningkatkan proses pikir yg positif 66
67. 67. p.Ajarkan klien utk “b’harap menjadi” manusia terbaik hari ini & utk menghargai setiap
waktu yg ada q.Libatkan keluarga & orang terdekat klien dlm rencana perawatan, ajarkan pd
mereka peran2 yg harus dijalani utk menambahkan harapan klien melalui hubungan yg positif &
saling dukung. r. Dorong klien utk berbagi rasa dgn individu lain yg memiliki masalah at/
menderita penyakit yg sama serta memiliki pengalaman yg positif dlm menghadapi kondisi tsb.
67
68. 68. Rasional  Harapan terkait dgn bantuan yg diberikan org lain. Dlm hal ini individu merasa
sumber2 yg ada diluar dirinya akan m’beri dukungan disaat sumber2 serta ketakutan didlm
dirinya tdk cukup utk menghadapi situasi mis; keluarga at/ org t’dekat kerap menjadi sumber
harapan. (Tollet & Thormon, 1995)  Harapan terbukti berkaitan langsung dgn kualitas
hubungan seseorang dgn orang lain. (Gottachalk,1974. Herth,1990)  Harapan dianggap mampu
mempengaruhi kesehatan fisik, psikologis & spiritual individu. (Cousins,1989; Miller,1985;
Watson,1979) 68
69. 69.  M’pertahankan peran & tanggungjawab keluarga penting utk menumbuhkan harapan &
koping (Herth,1989). Selain itu konsep harapan penting bagi keluarga yg anggotanya menderita
penyakit kritis utk m’fasilitasi koping & penyesuaian diri (Coulter,1989).  Hiburan,humor &
mengingat kembali kenangan2 lama dpt meningkatkan harapan pada individu yg menderita
penyakit terminal (Herth,1993).  Harapan diberikan oleh keluarga dpt menular pd klien
(Miller,1991) 69
70. 70.  Individu yg pernah mengalami keputusasaan tdk dpt m’bayangkan sesuatu apapun yg dpt
dilakukan at/ b’harga utk dilakukan, tdk pula m’bayangkan hal diluar peristiwa yg tenga terjadi.
 Individu dpt berkoping dgn bagian hidupnya yg ia pandang sbg keputusasaan jika ia mampu
menyadari yg ia pandang jika ia mampu menyadari bahwa ada banyak faktor dlm hidupnya yg
penuh dgn harapan, mis; seseorang menyadari bahwa ia tdk akan bisa berjalan lagi, nemun dgn
bgt ia akan bisa pulang kerumah, b’kumpul dgn cucu2nya & bepergian. Demikian keputusasaan
dpt m’bawa kita menemukan beberapa alternatif yg akan m’beri makna & tujuan pd hidup kita.
Utk itu penting kiranya m’jauhkan harapan dr keputusasaan. 70
71. 71.  Motivasi penting dlm proses pemulihan dari keputusasaan. Klien harus menetapkan
sebuah tujuan bahkan ketika ia tdk terlalu optimis bisa mencapainya. Perawat berperan sbg
katalisator dlm mendorong klien mengambil langkah utk mengidentifikasi tujuan. Setelah tujuan
tersebut berhasil dicapai, tujuan yg lain harus dibuat. 71
72. 72. Evaluasi 1. Klien mampu mengkomunikasikan dan mengekspresikan dukacita. 2. Pada
perawatan menjelang ajal mengharuskan perawat mengevaluasi tingkat kenyamanan klien
dengan penyakit dan kualitas hidupnya. 3. Tingkat kenyamanan klien dievaluasi dg dasar hasil
spt penurunan nyeri, kontrol gejala, pemeliharaan fungsi sistem tubuh, penyelesaian tugas yang
belum terselesaikan, dan ketenangan emosional. 72
 
Contoh-contoh kasus prinsip etika dalam keperawatan
1. Penderita klien dangan kanker colon yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri yang tidak
berkurang dengan osi morphin yang telah di tetapkan. Keluarga meminta penambahan dosis
pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya dan memutuskan untuk tidak memberikan
alat bantu apapun termasuk oksigen, keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari
keluhan nyeri. Konflik yang terjadi Adalah:
A. Tidak memberikan oksigen dan penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat
kematian klien yang berarti melanggar prinsip etikbeneficience- nonmaleficience
B. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien yang dapat melanggar
nilai autonomy
10 Etika Keperawatan

1. Autonomy (Kemandirian)

Sebagai seorang perawat yang profesional haruslah mampu berpikir logis dan cepat dalam
mengambil keputusan. Selain itu, seorang perawat juga harus menghormati dan menghargai
orang lain khususnya pasien.

2. Beneficence (Berbuat Baik)

Berbuat baik harus dilakukan kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan, khususnya ketika
sedang memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien.

Perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang perawat haruslah berlandaskan kepada ilmu dan kiat
keperawatan.

3. Justice (Keadilan)

Menjunung tinggi keadilan harus selalu dilakukan oleh para perawat, sebagai contoh ketika ada
pasien baru masuk dan di waktu yang sama ada pasien yang membutuhkan bantuan segera maka
perawat harus segera mempertimbangkan berbagai faktor sesuai dengan asas keadilan.

4. Non-Maleficence (Tidak Merugikan)

Pada prinsipnya seorang perawat harus selalu melakukan tindakan pelayanan keperawatan sesuai
dengan ilmu keperawatan dan kiat keperawatan yang telah dimiliki dengan tidak merugikan dan
menimbulkan bahaya pada pasien.

5. Veracity (Kejujuran)

Bagaimana pun, kejujuran harus dimiliki oleh semua orang. Pada seorang perawat kejujuran
adalah hal yang wajib diberikan kepada pasien, hal ini karena pasien mempunyai hak otonomi
sehingga ia berhak untuk mengetahui berbagai informasi yang ia inginkan.

Walau pada kondisi tertentu hal ini sangat sulit mengingat banyak hal yang harus dijaga untuk
kebaikan pasien namun sebagai seorang perawat harus pintar dalam memberikan informasi
kepada pasien meski pun itu pahit.

6. Fidelity (Menepati Janji)

Dibutuhkan komitmen yang tinggi dalam menepati janji kepada orang lain khususnya pasien dan
dokter.
Hal ini karena tugas dan tanggung jawab seorang perawat yang menuntutnya untuk dapat
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan
penderitaan pasien.

7. Confidentiality (Kerahasiaan)

Perawat harus benar-benar menjaga kerahasiaan yang dimiliki oleh pasien meski pun banyak
orang mendesak untuk membeberkan informasi mengenai kesehatan pasien.

Seorang perawat harus berani menolak untuk memberikan informasi jika di luar wilayah
pelayanan kesehatan secara tegas.

8. Accountability (Akuntabilitas)

Tanggung jawab seorang perawat amatlah berat, hal ini karena setiap tindakan yang dilakukan
oleh perawat kepada pasien harus sesuai dan tepat tanpa kecuali.

Sebagai contoh ketika perawat memberikan obat dosis kepada pasien, jika hal tersebut salah
sedikit saja dan menimbulkan kerugian pada pasien maka dapat digugat di pengadilan.

9. Freedom (Kebebasan)

Setiap orang apa pun profesinya mempunyai hak atas suatu kebebasan. Kebebasan menentukan
pilihan atau langkah yang hendak ia ambil.

Begitu pula menjadi perawat, seorang perawat harus secara bebas bekerja menjalankan
profesinya tanpa ada tekanan atau paksaan dalam menentukan sesuatu dari luar dirinya.

10. Advocacy (Advokasi)

Sebagai seorang perawat yang langsung berinteraksi dengan pasien atau pun keluarga pasien
maka perawat harus bisa melindungi hak-hak klien.

Peran advokasi yang harus dimiliki seorang perawat ini berasal dari etika beneficience
(kewajiban untuk berbuat baik) dan nonmaleficence (kewajiban tidak merugikan).

Anda mungkin juga menyukai