Anda di halaman 1dari 53

HUBUNGAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH DENGAN

KEJADIAN PERITONITIS PADA PASIEN TRAUMA TUMPUL


ABDOMEN DI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

PROVENSI LAMPUNG TAHUN 2017-2019

SKRIPSI

OLEH :

INDAH

NPM :17310

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : HUBUNGAN ANTARA JUMLAH LEUKOSIT


DARAH DENGAN KEJADIAN PERITONITIS
PADA PASIEN TRAUMA TUMPUL
ABDOMEN DI RSUD DR. H. ABDUL
MOELOEK PROVENSI LAMPUNG TAHUN
2017-2019
Nama Mahasiswa : Indah
NPM : 17310
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Kedokteran Umum

MENYETUJUI
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II

(dr Femina Susanti, Sp.PK) (dr. Jordy Oktobiannobel, M.Kes)


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga penulis dapat meneyelesaikan skripsi dengan judul “HUBUNGAN
ANTARA JUMLAH LEUKOSIT DARAH DENGAN KEJADIAN
PERITONITIS PADA PASIEN TRAUMA TUMPUL ABDOMEN DI RSUD
DR. H. ABDUL MOELOEK PROVENSI LAMPUNG TAHUN 2017-2019”

Proses penulisan ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka dengan
selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Achmad Farich, dr., M.M selaku Rektor Universitas Malahayati


2. Toni Prasetya, dr., Sp.PD FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati Bandar Lampung.
3. Sri Maria Puji Lestari, dr., M.Pd.Ked selaku Kepala Program Studi Universitas
Malahayati.
4. dr Femina Susanti, Sp.PK selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu
dan pikiran nya, dengan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
5. Jordy, dr., M.Kes selaku Pembimbing II yang telah membantu, meluangkan
waktu dan pikiran nya untuk penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
6. … selaku penguji yang mengevaluasi skripsi ini sehingga menjadi lebih baik,
yang dengan sabar memberikan bimbingan serta ilmu nya untuk penulis.
7. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan motivasi serta dukungan yang
tiada hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Tim Skripsi Universitas Malahayati yang telah memberikan informasi dan
arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh dokter dan dosen Program Studi kedokteran Fakultas kedokteran di
Universitas Malahayati yang selama ini memberikan ilmu nya selama
pendidikan untuk penyusuna skripsi ini.
10. Seluruh pihak di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung dan
semua pihak yang telah membantu baik secara langsung atau tidak langsung
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang kalian berikan.


Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
untuk semua pihak.

Bandar Lampung, Juni 2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas diantara semua kelompok usia. Cedera dapat berupa yang

sederhana hingga yang mengancam jiwa, penilaian dan diagnosis yang tepat

menjadi sangat penting dikarenakan keterlibatan banyak organ. Trauma

tumpul abdomen merupakan suatu penyebab yang paling umum di antara

cedera yang disebabkan terutama karena kecelakaan lalu lintas jalan raya.

Trauma tumpul abdomen juga bisa terjadi karena terjatuh dari ketinggian,

penyerangan dengan benda tumpul, kecelakaan industri, luka olahraga,

ledakan bom dan jatuh akibat mengendarai sepeda (International Journal Of

Surgery Science, 2020).

Trauma abdomen merupakan penyebab kematian ke-3 pada pasien

trauma dan ditemukan 7–10% pada kasus trauma, didapatkan sekitar 80%

kejadian trauma tumpul abdomen dari keseluruhan kejadian trauma abdomen.

Kejadian trauma abdomen di Amerika Serikat diperkirakan terdapat sekitar

57 juta setiap tahun dan mengakibatkan sekitar 2 juta jiwa harus dirawat inap,

diperkirakan trauma mengakibatkan berkurangnya angka kehidupan sebesar

26% dan lebih dari setengah kasus kehilangan usia produktif (Karjosukarso et

al., 2019).
Prevalensi cedera di Indonesia secara nasional adalah sebesar 8,2

persen, penyebab cedera secara umum di Indonesia yang terbanyak adalah

jatuh (40,9%) dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya penyebab

cedera karena terkena benda tajam/tumpul (7,3%), transportasi darat lain

(7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Prevalensi cedera di provinsi Lampung adalah

sebesar 4,6 persen, dimana prevalensi tertinggi disebabkan karena jatuh

(43,0%) dan kecelakaan sepeda motor (41,8%), selanjutnya penyebab cedera

karena benda tajam/tumpul (7,9%), transportasi darat lain (4,6%) dan

kejatuhan (2,0%). Persentase cedera menurut bagian tubuh yang terkena di

provinsi Lampung adalah bagian lutut dan tungkai bawah (30,5%), bagian

tumit dan tungkai (26,2%), bagian pergelangan tangan dan tangan (23,8%),

bagian kepala (11,8%), bagian bahu dan lengan atas (11,7%), bagian perut,

punggung dan panggul (6,5%), bagian dada (2,0%) dan bagian leher (1,6%)

(Riskesdas, 2007 dan 2013). Data kejadian peritonitis pada pasien trauma

tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada

tahun 2017-2019 adalah sebanyak 53.

Trauma di Indonesia secara umum disebabkan karena jatuh dan

kecelakaan sepeda motor dengan prevalensi cedera tertinggi didapatkan pada

kelompok usia 15-24 tahun. Sehingga hal ini menyebabkan trauma tumpul

abdomen sebagai salah satu masalah umum yang akan dihadapi oleh seluruh

tenaga kesehatan dan khususnya oleh dokter bedah. diagnosis cepat pada

cedera abdomen merupakan langkah yang sangat penting untuk

penatalaksanaan dan untuk mencegah morbiditas serta mortalitas pada kasus

trauma tumpul abdomen. The Abdominal Blunt Trauma Scoring System


(BATSS) merupakan sistem skor dengan akurasi tinggi untuk mendiagnosis

cedera pada organ intra abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen

berdasarkan dengan fitur klinis seperti riwayat pasien dan pemeriksaan fisik

(Karjosukarso et al., 2019).

Dokter ahli bedah berpendapat bahwa ruptur pada organ berongga dan

perdarahan yang terjadi pada organ padat akan mengakibatkan peritonitis dan

dapat mudah diketahui akan, tetapi gejala fisik yang tidak jelas, kadang

ditutupi oleh rasa nyeri (shadowed by pain) akibat trauma ekstra abdomen

seperti trauma kepala yang merupakan alasan utama terlewatnya diagnosis

trauma abdomen (Umbon et al., 2016). Peritonitis adalah peradangan

sebagian atau semua peritoneum parietal dan visceral yang merupakan salah

satu keadaan darurat bedah yang paling umum hadir di departemen bedah.

Peritoneum adalah membran halus serous terbesar dari tubuh manusia dengan

luas permukaan sekitar 2m² ke area permukaan kulit (International Journal of

Surgery Science, 2020).

Peradangan yang terjadi pada sebagian atau semua peritoneum

parietal dan visceral akan menyebabkan peningkatan leukosit di dalam darah

(leukositosis) sebagai respon fisiologis tubuh untuk melindungi diri dari

serangan mikroorganisme dan untuk merespon adanya infeksi dan

peradangan. Leukositosis terjadi karena pelepasan sel yang meningkat dari

cadangan sumsum tulang pasca mitosis, infeksi lama juga menginduksi

proliferasi prekursor di sumsum tulang disebabkan oleh peningkatan produksi

Colony Stimulating Factors (CSF). Jika peradangan dipertahankan produksi

leukosit dari sumsum tulang meningkat (Saraswati et al., 2013).


Hasil penelitian yang dilakukan Matviychuk (2017) pada pasien

peritonitis sekunder atau peritonitis yang terjadi karena trauma dengan

kelompok pasien peritonitis sekunder (n=89), untuk menilai perubahan kadar

leukosit saat masuk rumah sakit, pada hari ke-3 dan ke-7 setelahnya. Saat

masuk rumah sakit jumlah leukosit pada peritonitis yang terjadi karena

trauma dengan median 13.1 X 109/L dengan rerata (min 8.6 – maks 36.6).

Jumlah leukosit pada hari ke-3 10.1 X 109/L dengan rerata (min 4.6 – maks

24) pada keakuratan p<0,05. Dan pada hari ke-7 menjadi 8.95 X 109/L

dengan rerata (min 5.9 – maks 24.4) pada keakuratan p<0,001. Pada

kelompok pasien peritonitis yang terjadi karena trauma jumlah leukosit

meningkat pada saat masuk rumah sakit dan menurun seiring dengan

pemulihan pasien (Matviychuk, 2017).

Hasil penelitian yang di lakukan Siregar (2019) tentang profil

penderita peritonitis di RSUP Haji Adam Malik Medan, dengan responden

yang menjadi sampel adalah seluruh pasien peritonitis yang datang berobat ke

RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017-2018 sebanyak 145 orang.

Distribusi karakteristik responden berdasarkan leukositosis didapatkan hasil

laboratorium peningkatan jumlah leukosit yang merupakan salah satu tanda

peradangan. Pada hasil penelitian didapatkan 81 pasien (55,9%) yang

mengalami leukositosis, dan 64 pasien (44,1%) lainnya memiliki jumlah

leukosit yang normal (Siregar, 2019).

Berlandaskan data di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Hubungan antara Jumlah Leukosit Darah dengan Kejadian


Peritonitis pada Pasien Trauma Tumpul Abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2017-2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara jumlah leukosit darah dengan kejadian

peritonitis pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2017-2019?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

jumlah leukosit darah dengan kejadian peritonitis pada pasien trauma

tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

tahun 2017-2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi kejadian trauma tumpul abdomen di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2017-2019.

b. Untuk mengetahui distribusi kejadian peritonitis pada pasien trauma

tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

tahun 2017-2019.

c. Untuk mengetahui gambaran jumlah leukosit darah pada pasien

trauma tumpul abdomen dengan kejadian peritonitis di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung tahun 2017-2019.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

mengenai hubungan antara jumlah leukosit darah dengan kejadian

peritonitis pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung.

1.4.2 Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pustaka FK Universitas

Malahayati mengenai hubungan antara jumlah leukosit darah dengan

kejadian peritonitis pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Referensi data awal untuk melakukan penelitian selanjutnya

mengenai hubungan antara jumlah leukosit darah dengan kejadian

peritonitis pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Judul Penelitian

Hubungan antara Jumlah Leukosit Darah dengan Kejadian

Peritonitis pada Pasien Trauma Tumpul Abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2017-2019.


1.5.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sampai

dengan selesai.

1.5.3 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi

Lampung.

1.5.4 Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitik dengan menggunakan data rekam medik. Populasi dalam penelitian

ini adalah semua pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung selama tahun 2017-2019. Penghitungan sampel

pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Abdomen

Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan

meluas dari atas diafragma sampai pelvis di bawah. Rongga abdomen

dilukiskan menjadi dua bagian abdomen yang sebenarnya, yaitu rongga

sebelah atas dan yang lebih besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah dan

lebih kecil (Peace, 2016).

Regio abdomen menurut Kuntoadi (2019) adalah sebuah daerah atau

region dalam bahasa Inggris yang berada di daerah perut (Abdomen) .

Penandaan regio-regio ini digunakan sebagai patokan atau rujukan tempat

organ - organ dalam tubuh berada. Regio abdomen ini terdiri atas sembilan

daerah, yaitu:

a. Regio Umbilikus / Umbilical region

Daerah tengah tempat pusar (tempat melekatnya tali

pusar/umbilical cord) berada.

b. Regio Epigastrium / Epigastric region

Berada disisi superior dari regio umbilikus. Bagian tengah

atas, tempat organ hati dan sedikit bagian dari organ lambung.

c. Regio Hipogastrium / Hypogastric region

Berada disisi inferior dari regio umbilikus. Bagian tengah

bawah, tempat bagian akhir usus besar berada dan organ rektum

pencernaan.
d. Regio Lumbar Kanan dan Kiri / Right and Left Lumbar region

Berada disisi lateral dari regio umbilikus. Sisi kanan dan

kiri dari regio umbilikus, tempat usus besar berada dan juga usus

kecil.

e. Regio Hipochondrium Kanan dan Kiri / Right and Left

Berada disisi lateral dari regio epigastrium. Bagian kanan

dan kiri dari regio epigastrium, regio hypochondrium kanan berisi

organ hepar, sedangkan regio hypocondrium kiri berisi organ

pencernaan lambung.

e. Regio Inguinalis Kanan dan Kiri / Right and Left Inguinal/Iliac

Berada disisi lateral dari region Hypogastrium. Berada

disisi kanan dan kiri dari regio hypogastrium yang berisi organ

sekum di kanan dan organ usus besar disisi kiri.

Gambar 2.1 sembilan regio abdomen


(Kuntoadi, 2019)
Regio abdomen menurut Kuntoadi (2019) dapat pula dibagi menjadi

beberapa kuadran yang sering disebut sebagai kuadran abdomen yang terdiri

atas 4 kuadran besar, yaitu :

a. Right Upper Quadrant (RUQ), kuadran kanan atas abdomen,

berisi organ hati dan usus besar.

b. Right Lower Quadrant (RLQ), kuadran kanan bawah abdomen,

berisi organ usus besar, usus kecil, sekum dan umbai cacing.

c. Left Upper Quadrant (LUQ), kuadran kiri atas abdomen, berisi

lambung dan usus besar.

d. Left Lower Quadrant (LLQ), kuadran kiri bawah abdomen, berisi

organ usus besar dan usus kecil.

Gambar 2.2 empat kuadran abdomen


(Kuntoadi, 2019)

Terdapat membran serosa rangkap yang menutupi sebagian besar

dari organ-organ abdomen dan pelvis yaitu peritoneum. Peritoneum ialah


membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh. Peritoneum terdiri

atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal yang melapisi dinding

rongga abdominal, dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ

yang berada di dalam rongga itu. Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis

ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Fungsi Peritoneum

adalah menutupi sebagian besar dari organ-organ abdomen dan pelvis,

membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeseran

tanpa ada penggesakan. Organ-organ digabungkan bersama dan menjaga

kedudukan mereka tetap, dan mempertahankan hubungan perbandingan

organ-organ terhadap dinding posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar

limfe dan pembuluh darah yang termuat dalam peritoneum, membantu

melindunginya terhadap infeksi (Peace, 2016).

2.2. Klasifikasi Trauma Abdomen

a. Trauma tumpul abdomen

Trauma tumpul abdomen terjadi akibat tekanan pada dinding

abdomen namun tanpa menimbulkan luka terbuka. Trauma organ dalam

diakibatkan oleh pukulan langsung, tekanan maupun deselerasi. Di

Amerika Serikat, kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab

utama trauma tumpul abdomen dan sekitar 50-75% mengalami trauma

yang serius. Selain itu, trauma tumpul abdomen bisa juga disebabkan

karena cedera olah raga, terjatuh dari ketinggian, dan kekerasan fisik.

Organ yang sering mengalami trauma antara lain limpa (40-45%), hati /

liver (35-45%) dan ginjal. Hal ini karena organ-organ tersebut merupakan

organ padat / padat di perut (Fathoni et al., 2019).


b. Trauma tembus abdomen

Luka tembus abdomen di Amerika Serikat penyebab utamanya

adalah kekerasan interpersonal, khususnya di daerah perkotaan. Luka

tembus abdomen terjadi situasi benda seperti pisau, peluru. Luka tusuk

merupakan penyebab tersering trauma usus, namun luka tusuk jarang yang

menembus rongga perut. Sehingga angka kematian akibat luka tusuk

sangat kecil (1-2%) dan jarang yang membutuhkan tindakan pembedahan.

Namun, 96-98% luka tembus abdomen akibat peluru / luka tembak

kerusakan organ kerusakan organ intraabdomen dan pembuluh darah yang

serius dan membutuhkan tindakan pembedahan. Luka tusuk paling sering

mengenai hati (40%), usus halus (30%) (Fathoni et al., 2019).

2.3 Trauma Tumpul Abdomen

2.3.1 Definisi Trauma Tumpul Abdomen

Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas diantara semua kelompok usia. Cedera dapat

berupa yang sederhana hingga yang mengancam jiwa, penilaian dan

diagnosis yang tepat menjadi sangat penting dikarenakan keterlibatan

banyak organ. Trauma tumpul abdomen merupakan suatu penyebab

yang paling umum di antara cedera yang disebabkan terutama karena

kecelakaan lalu lintas jalan raya. Trauma tumpul abdomen juga bisa

terjadi karena terjatuh dari ketinggian, penyerangan dengan benda

tumpul, kecelakaan industri, luka olahraga, ledakan bom dan jatuh

akibat mengendarai sepeda (International Journal Of Surgery Science,

2020).
2.3.2 Epidemiologi Trauma Tumpul Abdomen

Trauma abdomen merupakan penyebab kematian ke-3 pada

pasien trauma dan ditemukan 7–10% pada kasus trauma, didapatkan

sekitar 80% kejadian trauma tumpul abdomen dari keseluruhan kejadian

trauma abdomen. Kejadian trauma di Amerika Serikat diperkirakan

terdapat sekitar 57 juta setiap tahun dan mengakibatkan sekitar 2 juta

jiwa harus dirawat inap, diperkirakan trauma mengakibatkan

berkurangnya angka kehidupan sebesar 26% dan lebih dari setengah

kasus kehilangan usia produktif (Karjosukarso et al., 2019).

Trauma di Indonesia secara umum disebabkan karena jatuh

dan kecelakaan sepeda motor dengan prevalensi cedera tertinggi

didapatkan pada kelompok usia 15-24 tahun. Sehingga hal ini

menyebabkan trauma tumpul abdomen sebagai salah satu masalah

umum yang akan dihadapi oleh seluruh tenaga kesehatan dan

khususnya pada dokter bedah. diagnosis cepat pada cedera abdomen

merupakan langkah yang sangat penting untuk penatalaksanaan dan

untuk mencegah morbiditas serta mortalitas pada kasus trauma tumpul

abdomen. The Abdominal Blunt Trauma Scoring System (BATSS)

merupakan sistem skor dengan akurasi tinggi untuk mendiagnosa

cedera pada organ intra abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen

berdasarkan dengan fitur klinis seperti riwayat pasien dan pemeriksaan

fisik (Karjosukarso et al., 2019).


2.3.3 Etiologi Trauma Tumpul Abdomen

Trauma abdomen bisa terjadi karena trauma tumpul maupun

trauma tembus. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab tersering

trauma tumpul abdomen. Pentingnya sosialisasi sabuk pengaman,

kejadian trauma kepala bisa diturunkan, namun kejadian trauma tumpul

abdomen yang berhubungan dengan penggunaan sabuk pengaman

malah cenderung naik. Trauma tumpul abdomen biasanya bersamaan

dengan trauma di area lain. seperti trauma kepala, trauma dada,

maupun trauma pelvis (Fathoni et al., 2019).

Trauma tembus abdomen bisa diakibatkan oleh tusukan benda

berkecapatan rendah maupun benda berkecepatan tinggi. Tusukan

benda dengan kecepatan rendah misalnya tertusuk pisau atau peluru

pistol, sedangkan tusukan benda berkecepatan tinggi akibat peluru laras

panjang atau serpihan benda akibat ledakan. Trauma organ dalam

perut, 80-90% diakibatkan oleh peluru dan 30% disebabkan karena luka

tusuk (Fathoni et al., 2019).

2.3.4 Patofisiologi Trauma Tumpul Abdomen

Cedera pada organ intraabdomen pada trauma tumpul

abdomen, bergantung pada mekanisme cedera dan organ yang terlibat.

Organ yang terlibat contohnya organ berhubungan dengan lokasi

anatomis, organ padat atau organ berongga. Berbagai macam

mekanisme cedera dapat dikaitkan dengan trauma tumpul, tetapi

sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan jatuh. Ada

beberapa mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat


menyebabkan cedera organ intraabdomen yaitu benturan langsung

terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen anterior dan

posterior, cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada

kecelakaan dengan kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya

deselerasi dibagi menjadi deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal

(Karjosukarso et al., 2019).

Mekanisme ini terjadi peregangan pada struktur-struktur organ

yang terfiksir seperti pedikel dan ligamen yang dapat menyebabkan

perdarahan atau iskemik, terjadinya closed bowel loop pada disertai

dengan peningkatan tekanan intraluminal yang dapat menyebabkan

ruptur organ berongga, laserasi organ intraabdomen yang disebabkan

oleh fragmen tulang (fraktur pelvis, fraktur costa), dan peningkatan

tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan

ruptur diafragma bahkan ruptur kardiak (Karjosukarso et al., 2019).

2.3.5 Diagnosis Trauma Tumpul Abdomen

a. Anamnesis

Evaluasi trauma tumpul abdomen, anamnesis yang detil dan

akurat sangat diperlukan untuk memastikan kemungkinan terjadinya

cedera organ intraabdomen akibat trauma tumpul abdomen. Informasi

diperoleh dari paramedis, polisi atau yang mendampingi pasien saat

transportasi dan juga dari pasien sendiri jika pasien sadar. Saat

melakukan anamnesis digunakan sistem MIST yaitu mekanisme cedera,

injury (cedera yang didapat), signs (tanda atau gejala yang dialami) dan

treatment (penanganan yang telah diberikan) (Fathoni et al., 2019).


b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis paien trauma tumpul

abdomen yaitu berupa inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Inspeksi

dilakukan dengan cara penderita harus membuka pakaiannya untuk

melihat adanya jejas di abdomen, periksa adanya goresan, robekan, luka

tembus, benda asing yang menancap, keluarnya omentum atau usus kecil.

Inspeksi secara menyeluruh termasuk penis, vagina, perianal dan rektal.

Penderita dapat dibalikkan dengan hati-hati (log roll) untuk memeriksa

bagian belakang (Fathoni et al., 2019).

Auskultasi dilakukan untuk mengkaji bising usus, ada dan

tidaknya serta frekuensinya. Pada trauma abdomen biasanya terjadi

penurunan bising usus. Perkusi pada trauma abdomen, terdapat

hemoperitoneum, perkusi menjadi redup / pekak / dullness. Dan palpasi

dilakukan dengan perabaan yang tegang pada dinding perut (pertahanan

otot) merupakan tanda khas iritasi peritoneum. Apabila pasien nyeri atau

timbul gerakan abnormal saat kita tekan area panggul, maka kita curiga

adanya fraktur pelvis (Fathoni et al., 2019).

c. Pemeriksaan penunjang

1. Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS)

Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS) adalah

suatu sistem skoring yang digunakan untuk mendeteksi pasien yang

dicurigai mengalami cedera organ intra-abdomen akibat trauma

tumpul abdomen. Dimana sistem skoring ini dapat menghemat waktu,

mengurangi penggunaan CT abdomen yang tidak perlu, paparan


radiasi, dan biaya yang digunakan untuk menegakkan diagnosis dan

penatalaksanaannya. Hal-hal yang dinilai dalam BATTS antara lain :

Nyeri abdomen nilai skor 2


Nyeri tekan abdomen nilai skor 3
Jejas pada dinding dada nilai skor 1
Fraktur pelvis nilai skor 5
Focus Assesment Sonography for Trauma nilai skor 8
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg nilai skor 4
Denyut Nadi >100 kali/menit nilai skor 1
Tabel 2.1 Blunt Abdominal Trauma Scoring System (BATSS)

Sistem skoring BATSS pasien trauma tumpul abdomen

dibagi menjadi 3 kelompok yaitu resiko rendah yaitu jika jumlah skor

BATSS kurang dari 8, risiko sedang jumlah skor BATSS 8-12, resiko

tinggi jumlah skor BATSS lebih dari 12. Pada kelompok pasien

dengan risiko sedang diperlukan observasi dan pemeriksaan lebih

lanjut untuk menegakkan diagnosis yang tepat (Karjosukarso et al.,

2019).

Blunt Abdominal Trauma Scoring System memberikan sistem

skor dengan akurasi tinggi dalam mendiagnosis cedera organ intra-

abdomen pada pasien trauma tumpul abdomen berdasarkan gambaran

klinis seperti riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan Focused

Assessment With Sonography For Trauma (FAST). Diagnosis yang

ditegakkan berdasarkan sistem skoring ini sangat mirip dengan hasil

yang didapatkan dari CT scan (Karjosukarso et al., 2019).

2. FAST (Focused Assessment With Sonography For Trauma)


Tindakan radiologi dengan menggunakan ultrasound untuk

mengakji 4 area utama abdomen: perihepatic, perisplenik, pericardial,

dan pelvic. Keuntungan dari FAST adalah dapat mengkaji risiko

terjadinya perdarahan intraabdomen. Apabila hasil FAST positif maka

terdeteksi adanya perdarahan dan status hemodinamik/kardiovaskuler

pasien tidak stabil, maka dibutuhkan tindakan pembedahan segera dan

Apabila hemodinamik/kardiovaskuler pasien masih stabil, maka perlu

dilakukan CT scan untuk mengidentifikasi asal perdarahan. terdeteksi

perdarahan dan status (Fathoni et al., 2019).

3. Computerised Tomography/CT Scan

Computerised Tomography dapat memberikan gambaran

detail tentang organ padat abdomen. CT scan hanya digunakan pada

pasien dengan hemodinamik yang stabil (Fathoni et al., 2019).

4. DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)/DPA (Diagnostic Peritoneal

Aspiration)

Diagnostic Peritoneal Lavage merupakan tindakan

mendeteksi perdarahan intraabdomen dengan memasukkan kateter

peritoneal steril ke dalam rongga peritoneum. Diagnostic Peritoneal

Lavage jarang digunakan dan biasanya digunakan apabila FAST dan

CT scan tidak dapat dilakukan. Diagnostic Peritoneal Lavage

merupakan tindakan mendeteksi sebelum dilakukan maka harus

dipasang kateter urin untuk mengosongkan kandung kemih dan

memasang selang NGT untuk mendekompresi lambung (Fathoni et al.,

2019).
2.4 Peritonitis

2.4.1 Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan sebagian atau semua peritoneum

parietal dan visceral. Keadaan darurat bedah yang paling umum yang

hadir ke departemen bedah, peritoneum adalah membran halus serous

terbesar dari tubuh manusia dengan luas permukaan sekitar 2m² kira-

kira ke area permukaan kulit (International Journal of Surgery Science,

2020).

2.4.2 Etiologi Peritonitis

Peritonitis dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain

yaitu Mikrobiologi tersering adalah bakteri gram negatif (Escherichia

coli, Enterabacter, Klebsiella Proteus), bakteri gram positif

(Enterococci, Streptococci, Staphylococci), bakteri anaerob

(Bacteroides Clostridium dan fungi). Peritonitis juga dapat disebabkan

karena pasca trauma setelah trauma tumpul abdominal (Elsevier, 2019).

2.4.3 Patofisiologi Peritonitis

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah

keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk

di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan

permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-

pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus (Wilson et

al., 2008).
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan

membran mengalami kebocoran. Defisit cairan tidak dikoreksi secara

cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan

berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya

dari kegagalan banyak organ. Tubuh mencoba untuk mengkompensasi

dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan

juga ikut menumpuk (Schwartz at el., 2009).

Organ-organ didalam cavum peritoneum dinding abdomen

mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh

darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan

didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh

organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah

dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah

(Wilson et al., 2008).

Bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan

peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.

Perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai

timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.

Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan

dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat

terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat


mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi

usus (Wilson et al., 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat

menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka

terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi

hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus

yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total

atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya

pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena

penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi

peritonitis (Schwartz at el., 2009).

2.4.4 Klasifikasi Peritonitis

Peritonitis dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok

berdasarkan etiologinya (Dailey BJ, 2017), yaitu:

a. Peritonitis primer, yang disebabkan karena penyebaran hematogen

biasanya pada pasien kelainan imun seperti per konitis tuberkulosis

dan Spontancous Bacterial Peritonitis (SBP). Pada peritonitis

primer tidak terdapat perforasi dari organ berongga.

b. Peritonitis sekunder, disebabkan karena perforasi organ berongga

baik karena penyakit, trauma, atau iatrogenik Contoh peritonitis

sekunder yang sering ditemui adalah apendisitis perforasi dan

perforasi gaster.
c. Peritonitis tertier, yaitu peritonitis yang persisten atau rekuren

setelah terapi atau operasi yang adekuat.

2.4.5 Diagnosis Peritonitis

Diagnosis peritonitis ditegakkan terutama melalui pemeriksaan

klinis, yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang

dilakukan untuk mencari lebih jauh mengenai kemungkinan etiologi

peritonitis. Hal-hal yang mungkin didapatkan dari klinis peritonitis

adalah (Dailey BJ, 2017):

a. Anamnesis

Anamnesis pada kasus peritonitis bertujuan untuk menegakkan

diagnosis dan mencari kemungkinan etiologi. Hal-hal yang dapat

diketahui dari anamnesis yaitu karakteristik nyeri onset dan perjalanan

nyeri, gejala penyerta seperti (demam, diare, konstipasi, muntah),

riwayat penyakit penyerta seperti (maag, penyakit radang usus,

divertikulitis, tifus), riwayat operasi dan gaya hidup / kebiasaan.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan tanda vital seperti

hipertermi, takikardi, hipotensi (syok). Pemeriksaan Toraks untuk

mencari penyakit penyerta, dan pemeriksaan abdomen berupa Inspeksi

(datar, buncit, parut paska operasi), pada auskultasi bising usus

menurun, palpasi nyeri tekan seluruh perut dan defans otot, dan

perkusi pekak pada hepar menghilang. Rektal toucher (RT) nyeri

seluruh kuadran, akral hangat/dingin.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan darah rutin penting dikerjakan untuk

menegakkan diagnosis peritonitis. Tanda-tanda peradangan adalah

peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) yang siginfikan yaitu

lebih dari 11.000 mmol/L. Pemeriksaan laboratorium lainnya

berupa pemeriksaan amilase serum, lipase serum, elektrolit, kadar

glukosa, dan ureum kreatinin. Hal tersebut berguna untuk

menyingkirkan diagnosis peritonitis dengan inflamasi pada traktus

gastrointestinal dan organ hepatobilier.

2. Pemeriksaan Apusan Darah dan Kultur

Pemeriksaan apusan darah adalah tindakan yang digunakan

dalam evaluasi dan diagnosis untuk melihat apakah terdapat sepsis

bakterimia dan etiologi patogen dengan menggunakan kultur

darah.

3. Pemeriksaan Analisis Cairan Peritoneum

Analisis cairan peritoneum dapat diperoleh dengan cara

melakukan aspirasi cairan peritoneum. Cairan peritoneum yang

diakibatkan oleh infeksi bakteri umumya menghasilkan cairan

yang eksudat. Umumnya cairan peritoneum adalah transudat.

2.4.6 Tatalaksana

Tatalaksana peritonitis dibagi menjadi dua kelompok yaitu

kelompok farmakologi dan non farmakologi. Tatalaksana farmakologi


yaitu Pembedahan untuk memperbaiki patologi yang mendasari, seperti

pengendalian perdarahan, koreksi kinerja dan pengeringan abses.

Antibiotik spektrum luas untuk menutupi bakteri aerobik gram negatif

dan bakteri anaerob gram negatif, untuk peritonitis ringan sampai sedang

menggunakan piperasilin-tazobactam 3,375 g IV setiap 6 jam atau 4,5 g

IV setiap 8 jam atau ticarcillin-clavulanate 3,1 g IV setiap 6 jam. Agen

alternatif nya adalah ciprofloxacin 400 mg IV setiap 12 jam atau

levofloxacin 750 mg IV setiap 24 jam plus metronidazole 1 g IV setiap

12 jam. Peritonitis berat yang mengancam jiwa meropenem 1 g IV setiap

8 jam. Agen alternatif adalah ampisilin plus metronidazol plus

ciprofloxacin. Dan untuk mengontrol nyeri menggunakan morfin atau

meperidin sesuai kebutuhan (tahan sampai diagnosis dikonfirmasi).

Tatalaksana non farmakologi yaitu Hidrasi IV untuk memperbaiki

dehidrasi dan hipovolemia, transfusi darah untuk memperbaiki anemia

akibat perdarahan, dekompresi nasogastric terutama jika terdapat

obstruksi, pemberian oksigen dan istirahat (Elsevier, 2019).

2.5 Leukosit

Leukosit merupakan sel darah yang berperan penting terutama pada

proses inflamasi maupun infeksi. Kelainan leukosit dapat ditinjau dari aspek

kuantitatif, yakni abnormalitas dalam jumlah yaitu terlalu sedikit (leukopenia)

atau terlalu tinggi (leukositosis). Jumlah leukosit normal pada dewasa adalah

5.000-10.000/mm (Firani, 2018). Leukosit terdiri dari dua golongan utama,

yaitu granula dan agranular. Jenis leukosit granular terdiri dari neutrofil,
basofil, dan asidofil (eosinofil) sedangkan jenis leukosit agranular terdiri dari

limfosit dan monosit (Tarwoto, 2007).

Neutrofil adalah jenis sel leukosit yang paling banyak yaitu sekitar

50-70% diantara sel leukosit yang lain. Neutrofil berfungsi sebagai garis

pertahanan tubuh terhadap zat asing terutama terhadap bakteri. Bersifat

fagosit dan dapat masuk ke dalam jaringan yang terinfeksi. Peningkatan

jumlah neutrofil disebut netrofilia. Neutrofilia dapat terjadi karena respon

fisiologi terhadap stres, misalnya karena olah raga, cuaca yang ekstrim,

perdarahan atau hemolisis akut, melahirkan, dan stres emosi akut. Keadaan

patologis yang menyebabkan netrofilia diantaranya infeksi akut, radang atau

inflamasi, kerusakan jaringan, gangguan metabolik, apendisitis dan leukemia

mielositik. Sedangkan penurunan jumlah neutrofil disebut dengan

neutropenia, neutropenia ditemukan pada penyakit virus, hipersplenisme,

leukemia, granulositosis, anemia, pengaruh obat-obatan (Riswanto, 2013).

Eosinofil dalam tubuh yaitu sekitar 1-6%, eosinofil berfungsi sebagai

fagositosis dan menghasilkan antibodi terhadap antigen yang dikeluarkan

oleh parasit. Eosinofil akan meningkat jumlahnya ketika ditemukan penyakit

alergi, penyakit parasitik, penyakit kulit, kanker, flebitis, tromboflebitis,

leukemia mielositik kronik (CML), emfisema dan penyakit ginjal. Sedangkan

pada orang stres, pemberian steroid per oral atau injeksi, luka bakar dan syok

akan ditemukan jumlah eosinofil yang menurun (Riswanto, 2013).

Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu

kira-kira kurang dari 2% dari jumlah keseluruhan leukosit. Basofil berperan

dalam reaksi hipersensitifitas yang berhubungan dengan imunoglobulin E


(IgE). Monosit dalam tubuh kira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit.

Monosit memiliki dua fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme

(khususnya jamur dan bakteri) serta berperan dalam reaksi imun. Limfosit

adalah jenis leukosit kedua paling banyak setelah neutrofil (20- 40% dari total

leukosit), Berdasarkan fungsinya limfosit dibagi atas limfosit B dan limfosit

T (Kiswari, 2014).

Leukositosis adalah ciri umum dari respon fisiologis tubuh untuk

melindungi diri dari serangan mikroorganisme dan untuk merespon adanya

infeksi dan peradangan. Jumlah leukosit biasanya meningkat hingga 15.000 -

20.000 sel/mL, tetapi kadang mencapai kadar yang sangat tinggi hingga

40.000 - 100.000 sel/mL. Leukositosis awalnya terjadi karena pelepasan sel

yang meningkat dari cadangan sumsum tulang post mitosis. Infeksi lama juga

menginduksi proliferasi prekursor di sumsum tulang disebabkan oleh

peningkatan produksi colony stimulating factors (CSF). inflamasi

dipertahankan maka produksi leukosit dari sumsum tulang meningkat, sebuah

efek yang biasanya lebih dari kompensasi kehilangan sel pada reaksi

inflamasi (Saraswati et al., 2013).

2.6 Leukositosis Pada Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan sebagian atau semua peritoneum

parietal dan visceral yang merupakan salah satu keadaan darurat bedah yang

paling umum yang hadir ke departemen bedah. Peritoneum adalah membran

halus serous terbesar dari tubuh manusia dengan luas permukaan sekitar 2m²

kira-kira ke area permukaan kulit (International Journal of Surgery Science,

2020).
Peradangan yang terjadi pada sebagian atau semua peritoneum

parietal dan visceral akan menyebabkan peningkatan leukosit di dalam darah

(leukositosis) sebagai respon fisiologis tubuh untuk melindungi diri dari

serangan mikroorganisme dan untuk merespon adanya infeksi dan

peradangan. Leukositosis terjadi karena pelepasan sel yang meningkat dari

cadangan sumsum tulang post mitosis, infeksi lama juga menginduksi

proliferasi prekursor di sumsum tulang disebabkan oleh peningkatan produksi

colony stimulating factors (CSF). Peradangan menyebabkan produksi leukosit

di sumsum tulang meningkat (Saraswati et al., 2013).

Perubahan neutrofil, monosit dan limfosit serta di tingkat plasmatik

molekul adhesi dalam sirkulasi masih diselidiki. Penyebab limfositopenia

sebagai penanda dari imunitas seluler tertekan, mekanisme yang bertanggung

jawab untuk limfopenia melibatkan marginasi dan redistribusi limfosit dalam

sistem limfatik dan ditandai dipercepat proses apoptosis ( Hermawan, 2012).

Fenomena neutrofilia yang berlawanan selama inflamasi sistemik,

disebabkan oleh demargination neutrofil, tertunda apoptosis dari neutrofil,

dan stimulasi sel induk oleh faktor pertumbuhan (G-CSF). Pada infeksi awal,

nilai neutrofil cenderung mengalami penurunan, namun seiring berjalannya

proses infeksi, nilai neutrofil cenderung mengalami peningkatan, baik dari

segi jumlah dan distribusinya. Selama proses infeksi, agen kemotaksis akan

menarik neutrofil ke area yang mengalami infeksi untuk menjalankan

fungsinya dalam memfagosit dan membunuh mikroorganisme penyebab

infeksi (Nader, 2015).


2.7 Kerangka Teori

Kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,


penyerangan dengan benda tumpul dan faktor lain yang
menyebabkan trauma tumpul abdomen
Mekanisme perlambatan atau deselerasi dan
peningkatan tekanan organ abdomen

Trauma Tumpul Abdomen

Peradangan pada peritoneum (Peritonitis)

Sistem kekebalan tubuh merespon

Leukosit ↑

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Keterangan :
: Variabel yang diteliti

: Variabel tidak diteliti

2.8 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Peritonitis karena trauma


tumpul abdomen Leukosit
Gambar 2.5 Kerangka konsep

2.9 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Ha : Ada hubungan antara jumlah leukosit darah dengan kejadian peritonitis

pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung tahun 2017-2019.

Ho : Tidak ada Hubungan antara jumlah leukosit darah dengan kejadian

peritonitis pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung tahun 2017-2019.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2021 sampai

dengan selesai.

3.3 Subyek Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien trauma

tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

periode tahun 2017-2019 yaitu sebanyak 53 populasi.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah kejadian peritonitis pada

pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung periode tahun 2017-2019. Teknik sampling dalam

penelitian ini menggunakan teknik total sampling, penentuan jumlah

sampel dapat didasarkan pada tabel penentuan sampel berdasarkan

persentase menurut Yount (1999) berikut :


Besarnya Populasi Besar Sampel
0-100 100%
101-1000 10%

1.001-5000 5%

5.001-10.000 3%

>10.000 1%
Tabel 3.1 Tabel Persentase Sampling

Penentuan sampel berdasarkan persentase menurut Yount

(1999) di atas menunjukan penelitian ini masuk ke dalam kategori

jumlah populasi 0-100 sehingga jumlah sampel adalah 100% dari

jumlah populasi yaitu 53 sampel.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas (Independen Variable)

Variabel bebas yang diteliti dalam penelitian ini adalah

kejadian peritonitis pada pasien trauma tumpul abdomen di RSUD Dr.

H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode tahun 2017-2019.

3.4.2 Variabel Terikat (Dependen Variable)

Variabel terikat yang diteliti dalam penelitian ini adalah jumlah

leukosit darah pasien peritonitis dengan trauma tumpul abdomen di

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode tahun 2017-

2019.

3.5 Definisi Operasional


Definisi operasional variabel adalah uraian batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

Notoatmojo (2018).

Variabel Definisi Oprasional Alat Hasil Skala


Ukur Ukur
Variabel
Dependen
Leukosit Leukosit merupakan sel Reka 1. Leukopenia Ordina
darah yang berperan m = leukosit < l
penting terutama pada Medik 5000/mm
proses peradangan.
Kelainan leukosit dapat 2. Normal =
ditinjau dari aspek leukosit
kuantitatif, yakni 5000–
abnormalitas jumlah yaitu 10.000/mm
terlalu sedikit (leukopenia)
atau terlalu tinggi 3.Leukositosis =
(leukositosis). Jumlah leukosit
leukosit normal pada >10.000
dewasa adalah 5.000-
10.000/mm.
Variabel
Independen
Trauma Trauma abdomen Reka 1. Trauma Nominal
Abdomen merupakan cedera yang m Tumpul
terjadi pada organ dalam Medik Abdomen
perut, seperti lambung,
usus, pankreas, hati,
2.Trauma
empedu, ginjal dan limpa.
Tembus
Trauma ini bisa terjadi
Abdomen
akibat pukulan atau
benturan benda tumpul,
maupun tusukan benda
tajam.
Peritonitis Peritonitis adalah Reka 1. Peritonitis Nominal
peradangan yang terjadi m Primer
pada peritoneum, sebagian Medik 2. Peritonitis
atau semua peritoneum
Skunder
parietal dan visceral.
3.Peritonitis
Tersier
Tabel 3.2 Definisi Operasional

3.6 Pengolahan Data


3.6.1 Pemeriksaan Data (Editing)

Memeriksa data yang telah didapat meliputi kebenaran

pengisian, kesesuaian data dengan keinginan peneliti dari hasil rekam

medik.

1.6.2 Pemberian Kode (Coding)

Pemberian kode pada setiap variabel ditujukan untuk

mempermudah proses tabulasi dan analisis data.

1.6.3 Memasukkan Data (Entry Data)

Memasukkan data yang telah diberi kode sebelumnya ke dalam

bentuk mastersheet pada komputer.

1.6.4 Pembersihan Data (Cleaning Data)

Data yang telah dimasukkan sebelumnya dicek kembali untuk

melihat apakah ada data yang hilang (Missing), dan melihat kembali

apakah data yang di masukkan sesuai dengan hasil yang telah diberi

kode.

1.6.5 Tabulasi Data (Tabulating)

Proses pengolahan data dengan cara memasukkan data kedalam

tabel agar mudah dipahami.

1.7 Alat Ukur

Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini berupa data sekunder

dari data rekam medik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

periode tahun 2017-2019.

1.8 Pengumpulan Data


Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, yaitu data yang

diperoleh langsung dari rekam medik di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung yang menunjukkan karakteristik klinis dari pasien

peritonitis dengan trauma tumpul abdomen serta gambaran hasil pemeriksaan

darah rutin terutama jumlah leukosit pasien.

3.9 Analisis Data

Analisis data menggunakan dua metode yaitu analisis univariat dan

analisis bivariat. Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran

karakteristik sampel yang meliputi usia, jenis kelamin, karakteristik klinis,

serta hasil pemeriksaan laboratorium darah pasien trauma tumpul abdomen

di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung periode tahun 2017-

2019.

Analisis bivariat digunakan untuk melihat ada tidaknya hubungan

yang signifikan antara variabel-variabel yang diteliti dengan menggunakan

uji statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu uji Regresi logistik

menggunakan SPSS for Windows, uji ini digunakan untuk menganalisis

hubungan antar variabel.

3.10 Alur Penelitian


RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung

Rekam Medik

Populasi semua pasien


trauma tumpul abdomen

Sampel yang memenuhi kriteria


inklusi dan eksklusi

Pengolahan data yang dilakukan melalui tahapan editing,


coding, Entry Data, cleaning, tabulating dengan SPSS

Analisis Data

Gambar 3.1 Alur Penelitian

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2020. Penelitian dilakukan di

ruang rekam medis Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan teknik total sampling yaitu

peneliti mengambi semua data yang tersedia yang memnuhi kriteria inklusi,

adapun pada penelitian ini peneliti mendapakan data sebanyak 53 responden dan

setelah itu peneliti melakukan analisis data.

4.2 Hasil Penelitian

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data

responden, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:

4.2.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi atau

besarnya proporsi menurut variabel yang diteliti dan juga berguna untuk

mengetahui karakteristik atau gambaran variabel dependen dan variabel

independen. Hasil analisis univariat adalah sebagai berikut:

a. Karakteristik Responden
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Frekuensi Presentase (%)


Jenis Kelamin
Perempuan 24 45,3
Laki-Laki 29 54,7
Usia
0-10 tahun 15 28,3
11- 20 tahun 20 37,7
21-30 tahun 3 5,7
Diatas 30 tahun 15 28,3
Total 53 100

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, responden paling banyak berjenis

kelamin Laki-laki yaitu sebanyak 29 orang (54,7%), sedangkan

responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 24 orang

(45,3%). Sementara itu, sebagian besar responden berusia 11-20 tahun

yaitu sebanyak 20 orang (37,7%), dan responden lainnya yaitu usia 0-10

tahun berjumlah 15 orang (28,3%), usia 21-30 tahun berjumlah 3 orang

(5,7%), usia diatas 30 tahun berjumlah 15 orang (28,3%).

b. Jumlah Leukosit Darah

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jumlah Leukosit Darah.

Leukosit darah Frekuensi Presentase (%)


Leukositosis 34 64,2
Normal 19 35,8
Total 53 100

Tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa responden paling banyak

memiliki jumlah leukosit yang tinggi (Leukositosis) yaitu berjumlah 34

orang (64,2%), sedangkan responden dengan jumlah leukosit normal

yaitu berjumlah 19 orang (35,8%).

c. Jenis Trauma Abdomen

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Jenis Trauma Abdomen.


Trauma Abdomen Frekuensi Presentase (%)
Tumpul 38 71,7
Tembus 15 28,3
Total 53 100

Tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa responden paling banyak

mengalami trauma tumpul abdomen yaitu berjumlah 38 orang (71,7%),

sedangkan responden dengan trauma tembus yaitu berjumlah 15 orang

(28,3%).

d. Peritonitis

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Peritonitis

Peritonitis Frekuensi Presentase (%)


Sekunder 46 86,8
Tersier 7 13,2
Total 53 100

Tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa responden paling banyak

yang mengalami peritonitis sekunder yaitu berjumlah 46 orang (88,7%),

sedangkan responden dengan peritonitis tersier yaitu berjumlah 7 orang

(11,3%).

4.2.2 Analisis Bivariat


Peritonitis CI
Juml
Odds P 95%
Angka ah
Sekunder Tersier Ratio
leukosit
N % N % N

leukosit 2,9
34 97,1% 1 24
osis % 15.6 0,00 1719-
92 3 143.244
31,6
Normal 13 68,4% 6 21
%

Jumla
47 7 54
h

Pada uji analisis bivariat peneliti menggunakan uji analisa Chi-square

untuk menguji adakah hubungan jumlah leukosit darah dengan kejadian

peritonitis di RSUD H. Abdul Moeloek Kota Bandar Lampung. Pada variabel

jumlah leukosit darah dengan kejadian peritonitis diperoleh nilai p value = 0,003

(p < 0,05) artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah leukosit

darah dengan kejadian peritonitis. Pada penelitian dapat di artikan bahwa hipotesa

awal diterima sehingga terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah leukosit

darah dengan kejadian peritonitis. Pada penelitian ini idapatkan nilai OR (ods

Ratio) sebesar 15,692 dapat diartikan 15% penderita peritonitis akan mengalami

luekositosis.

4.3 Pembahasan

4.3.1 Analisis Univariat

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, responden paling banyak berjenis

kelamin Laki-laki yaitu sebanyak 29 orang (54,7%), Sementara itu,

sebagian besar responden berusia 11-20 tahun yaitu sebanyak 20 orang

(37,7%). Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Siregar 2017 di RS Adam Malik Medan dimana didapatkan prevalensi

terbanyak pada peritonitis adalah pada usia diatas 60 tahun dengan 43


pasien (29,7%), akan tetapi penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh japanesa et all yang sering mengalami peritonitis adalah

kelompok umur 10-19 tahun. (Japanesa, et al., 2016). Ini menunjukan

usia bukan salah satu faktor dari terjadinya peritonitis hal ini diukung

oleh teori Warsinggih dimana tidak ada faktor usia akan kejadian

peritonitis (Siregar, 2017).

Pada penelitian ini didapatkan menunjukkan bahwa responden paling

banyak memiliki jumlah leukosit yang tinggi (Leukositosis) yaitu

berjumlah 34 orang (64,2%), sedangkan responden dengan jumlah

leukosit normal yaitu berjumlah 19 orang (35,8%). Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar dimana pada

penelitiannya prevalensi peritonitis paling banyak dengan jumlah 83

pasien (57,2%) (Siregar, 2017) . Perbandingan ferkuensi laki-laki dan

perempuan yaitu 1,33:1. Hal ini sama dengan penelitian Japanesa et al

didapati frekuensi kejadian penderita laki-laki lebih banyak daripada

perempaun. Frekuensi laki-laki yaitu 67 pasien (68,4%), sedangkan

frekuensi perempuan 31 orang (31,6%), dengan perbandingan 2,16:1.

(Japanesa, et al., 2016).

Sementara responden yang mengalami trauma tumpul abdomen yaitu

berjumlah 38 orang (71,7%), sedangkan responden dengan trauma

tembus yaitu berjumlah 15 orang (28,3%). Penelitian ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Siregar 2017, dimana penyebab terbanyak

pada peritonitis adalah perforasi usus halus (ilium) dan hanya sebanyak 1

orang yang disebabkan oleh trauma tajam abdomen (Siregar, 2017).


Pada penelitian ini didapatkan peritonitis sekunder yaitu berjumlah 46

orang (86,8%), sedangkan responden dengan peritonitis tersier yaitu

berjumlah 7 orang (13,2%). Penenelitian ini sejalan dengan penelitian

Siregar yang dimana didapatkan hasil peritonitis sekunder sebanyak 114

pasien (78,6%), diikuti kasus peritonitis kedua terbanyak yaitu peritonitis

tersier sebanyak 22 pasien (15,2%), dan kasus peritonitis primer

sebanyak 9 pasien (6,2%). Hal ini sama dengan penelitian yang

dilakukan oleh Japanesa et al di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang

tahun 2014 menunjukkan terdapat 91 pasien (92,9%) yang

terklasifikasikan sebagai penderita peritonitis sekunder, sedangkan hanya

1 pasien (1%) peritonitis tersier dan 1 pasien (1%) peritonitis primer.

(Japanesa, et al., 2016)

4.3.2 Analisis Bivariat

Peritonitis adalah peradangan pada selaput serosa yang melapisi

rongga abdomen dan organ viseral di dalamnya (peritoneum) dan

merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan

bakteremia atau sepsis (Japanesa, et al., 2016). Peritonitis harus

didiagnosis dan ditangani sedini mungkin karena penanganan yang tidak

tepat waktu dapat mengancam jiwa. Namun, kenyataannya masih

ditemukan kasus penundaan pengobatan pasien yang datang dengan

keluhan nyeri akut abdomen akibat peritonitis di UGD (Skipworth, 2007).

Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan melalui klinis pasien,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan

laboratorioum. Pada pemeriksaan fisik, yaitu palpasi abdomen, dapat


ditemukan nyeri tekan dan rebound tenderness, sedangkan pada

pemeriksaan x-ray toraks tegak, ditemukan gambaran pneumoperitoneum

pada sekitar 70-80% perforasi visceral (Shanker, 2018).

Beberapa pasien dengan nyeri akut abdomen dapat datang dengan

patologi yang serius, namun tanpa gejala yang spesifik. Dalam hal ini,

dokter dapat melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium dan radiologi untuk menegakkan diagnosis pasti. Untuk

pemeriksaan laboratorium, data yang diperoleh dalam penelitian ini

menunjukkan jika leukositosis merupakan salah satu penanda adanya

peritonitis sekunder (Skipworth, 2007).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan uji Chi-square didapatkan

nilai value P = 0,003 dapat diartikan bahwa jumlah leukosit darah

memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian peritonitis. Pada

penelitian ini hipotesa awal diterima dimana terdapat hubungan yang

signifikan antara jumlah leukosit darah dengan kejadian peritonitis dan

diperoleh nilai odds ratio sebesar 15,692.

Hal ini didukung oleh teori Warsinggih dimana peningkatan

leukosit darah merupakan salah satu gejala yang disebabkan oleh

peritonitis. Dan dalam penegakkan diagnoasa peritonitis diperlukan

pengujian darah rutin salah satunya adalah jumlah leukosit dalam

darah (Siregar,2017). Menurut (Warsinggih 2018) peritonitis juga bisa

disebabkan oleh trauma abdomen akan tetapi pada penelitian yang

dilakukan oleh Siregar pada tahun 2017 penyebab tersering dari

peritonitis adalah perforasi ileum atau usus halus (Warsinggih, 2018).


Namun dalam beberapa kasus leukopenia juga dapat ditemukan pada

keadaan sepsis berat yang memiliki prognosis lebih buruk. Hasil ini juga

sesuai dengan penelitian oleh Ross et all serta Skipworth dan Fearon.,

Ross et all menyatakan bahwa keadaan leukositosis tidak dapat dijadikan

sebagai prediktor untuk melakukan intervensi bedah pada pasien karena

sensitivitasnya yang rendah (Ross, 2018)

Untuk mendiagnosa peritonisis selain pemeriksaan laboratorium

diperlukan pemeriksaan pencitraaan Ross et all pada tahun 2018

menyatakan bahwa peritonitis sekunder, didapatkan hasil bahwa CT scan

abdomen memiliki sensitivitas yang relatif tinggi, yaitu 76-100% dan

spesifisitas yang tinggi pula, yaitu 83-95%, sedangkan USG memiliki

sensitivitas 86-91% dengan spesifisitas 81-88% (Ross, 2018).

4.4 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini peneliti hanya berfokus pada hasil uji laboratorium

saja dalam menegakkan diagnose peritonitis, untuk mendiagnosa

peritonitis diperlukan pemeriksaan penujang lain berupa pencitraan seperti

CT scan yang memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan pemeriksaaan

laboratorium.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden paling banyak

mengalami trauma tumpul abdomen yaitu berjumlah 38 orang

(71,7%), sedangkan responden dengan trauma tembus yaitu berjumlah

15 orang (28,3%).

2. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden paling banyak

yang mengalami peritonitis sekunder yaitu berjumlah 46 orang

(88,7%), sedangkan responden dengan peritonitis tersier yaitu

berjumlah 7 orang (11,3%).

3. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden paling banyak

memiliki jumlah leukosit yang tinggi (Leukositosis) yaitu berjumlah

34 orang (64,2%), sedangkan responden dengan jumlah leukosit

normal yaitu berjumlah 19 orang (35,8%).

4. Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah

leukosit darah dengan peritonitis dengan nilai signifikasi 0,003

5.2 Saran

1) Bagi Mahasiswa

Diharapkan agar mahasiswa lebih mau membaca tentang faktor

terjadinya peritonitis dikarenakan peritonis meripakan kegawat

daruratan pada sistem pencernaan yang memiliki mordibitas yang

tinggi.
2) Bagi Instansi yang Bersangkutan

Diharapkan kepada pengajar Universitas Malahayati, diharapkan

lebih menjelaskan secara ditail tentang faktor peritonitis dan

dihubungkan dengan penelitian terbaru

3) Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya hendaklah untuk dapat mempertimbangkan

beberapa kelemahan-kelemahan dalam penelitian ini, supaya lebih

memperhatikan lagi baik dari aspek, indicator sehingga pada penelitian

selanjutnya dapat diperbaiki. Penulis mengharapkan pada penelitian

selanjutnya dapat digali faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah

leukosit dalam darah dan juga peritonitis.


DAFTAR PUSTAKA

Karjosukarso, Adityas Sukmadi, I Ketut Wiargitha, and Tjokorda Gde Bagus


Mahadewa, ‘Validitas Diagnostik Blunt Abdominal Trauma Scoring System
(BATSS) Pada Trauma Tumpul Abdomen Di RSUP Sanglah Denpasar,
Bali’, Medicina, 50.2 (2019), 377–80
<https://doi.org/10.15562/medicina.v50i1.181>

Omondi, Marilynn, Irene Mutua, and Dan Kiptoon, ‘Isolated Duodenal


Perforation at D4 Following Blunt Abdominal Trauma’, International
Journal of Surgery Case Reports, 72 (2020), 596–98
<https://doi.org/10.1016/j.ijscr.2020.06.076>

Matviychuk, Oleh, ‘Changes in Humoral and Cellular Immunity in Tertiary


Peritonitis’, Galician Medical Journal, 24.4 (2017), 8–11
<https://doi.org/10.21802/gmj.2017.4.11>

Mansbridge, J., ‘Skin Substitutes to Enhance Wound Healing’, Expert Opinion on


Investigational Drugs, 7.5 (1998), 803–9
<https://doi.org/10.1517/13543784.7.5.803>

Widjaja, Harjadi, Anatomi Abdomen (jakarta: EGC, 2009)

Simbolon, Maria A, Profil Penderita Epistaksis Di RSUP Haji Adam Malik


Medan Periode Tahun 2017 - 2018, 2019

Wiargitha, I Ketut, and Adityas Sukmadi Karjosukarso, ‘Validitas Diagnostik


Skor Blunt Abdominal Trauma Scoring System ( Batss ) Pada Trauma
Tumpul Abdomen Di Rsup Sanglah Denpasar , Bali’, 2017

Sahani, Abdominal Imaging (Meryland Heights: Saunders, 2011)

RI, Kemenkes, ‘Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Provinsi


Lampung Tahun 2007’, Departemen Kesehatan RI, 2009, 69–75

Pearce, Evelyn C, Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis (jakarta: PT


Gramedia, 2005)

Alfian Nur Rosyid, Muhammad ilham aldika, ed., Gawat Darurat Medis Dan
Bedah, pertama (Surabaya: Airlangga University Press, 2018)

Freed F, Ferri, Clinical Advisor (Philadelphia: Elsevier, 2019)

Novi Khila Firani, Mengenali Sel Sel Darah Dan Kelainan Darah, ed. by Tim UB
Press (malang: UB Press, 2018)
. Skipworth R, Fearon K. Emergency Surgery Acute abdomen: peritonitis
pathophysiology. 2007;1-4. Available from:
http://www.1spbgmu.ru/images/home/universitet/Struktura/Kafedry/Gospital
no y_hirurgii_2/literatura_eng/Acute_abdo men_peritonitis.pdf

Shanker MR, Nahid M, S. P. A clinical study of generalised peritonitis and its


management in a rural setup. Int Surg J. 2018; 5(11):3496.

Ross JT, Matthay MA, Harris HW. Secondary peritonitis: Principles of diagnosis
and intervention. BMJ. 2018;361:k1407.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai