Anda di halaman 1dari 12

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)

Topik : Ronde Kebidanan


Sasaran : Pasien Ruang Dewi Kunthi RSWN
Tempat : Ruang Dewi Kunthi RSWN
Hari/tanggal : Senin, 8 Maret 2021
Waktu : 13.00 WIB
Pelaksana : 1. Diana Novitadewi B
2. Sri Ayu B Hamzah
3. Alfiah Marika Nurhanati
4. Martina Ahmad
5. Hafshoh Arifah Edhar
6. Novia Anggraini
7. Shiffa Nuzula Hidayah
A. Instruksional Umum (TIU):
Peserta ronde mampu mengatasi masalah klien.
B. Tujuan Instruksional Khusus (TIK):
1. Peserta ronde mampu mengkaji masalah klien
2. Peserta ronde mampu memberikan asuhan kebidanan yang sesuai dengan
masalah klien
3. Peserta ronde mampu mendiskusikan hasil tindakan.
C. Materi Pembelajaran
1. Pengertian Ronde
2. Karakteristik Ronde
3. Tujuan Ronde
D. Metode Pembelajaran
Diskusi
E. Media
Materi yang disampaikan secara lisan
F. Kegiatan Pembelajaran:
No Tahap Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta
1. Perkenalan 3 Menit Mengucapkan salam Salam pembuka
Perkenalan Mendengarkan/memper
Menyampaikan tujuan hatikan
kegiatan
2. Inti 15 menit Menyampaian keluhan Menyampaikan keluhan
pasien yang dialami
Menjelaskan tindakan Memperhatikan dan
yang akan dilakukan memahami
Meminta persetujuan Memberi respon
klien
3. Penutup 10 menit Mendiskusikan hasil Berdiskusi
kegiatan Menyimpulkan kembali
Menyimpulkan hasil Memberi masukan
kegiatan Menjawab salam
Mengevaluasi hasil
kegiatan
G. Evaluasi
1. Evaluasi Struktural
a. Kegiatan ronde terlaksana sesuai waktu
b. Peserta ronde dapat hadir sesuai rencana
2. Evaluasi Proses
a. Peserta ronde berperan serta aktif dalam kegiatan ronde
b. Selama ronde berlangsung, semua peserta dapat mengikuti dengan penuh
perhatian
3. Evaluasi hasil
Setelah melakukan kegiatan ronde ini peserta mampu :
a. Mengkaji masalah klien
b. Memberikan asuhan kebidanan yang sesuai dengan masalah
c. Mendiskusikan hasil tindakan.
Lampiran
RONDE KEBIDANAN
A. Pengertian
Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah kebidanan yang
dilaksanakan oleh bidan dengan melibatkan pasien untuk membahas dan
melaksanakan asuhan kebidanan, akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan
oleh bidan dan melibatkan seluruh anggota tim
B. Karakteristik
1. Klien dilibatkan secara langsung
2. Klien merupakan fokus kegiatan
3. Bidan melakukan diskusi bersama
4. Konsuler memfasilitasi kreatifitas
5. Konsuler membantu mengembangkan kemampuan meningkatkan kemampuan
dalam mengatasi masalah bidan untuk
C. Tujuan
1. Menumbuhkan cara berfikir secara kritis
2. Menumbuhkan pemikiran tentang asuhan kebidanan yang berasal dari
masalah klien
3. Meningkatkan validitas.data klien
4. Menilai kemampuan justifikasi
5. Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja
6. Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi asuhan kebidanan
D. Peran
1. Bidan
Dalam menjalankan pekerjaan perlu adanya sebuah peranan yang bias untuk
memaksimalkan keberhasilan yang bisa disebutkan antara lain :
a. Menjelaskan keadaan dan data demografi klien
b. Menjelaskan masalah keperawatan utama
c. Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan
d. Menjelaskan tindakan selanjutnya
e. Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang diambil
2. Konsuler
a. Memberikan justifikasi
b. Memberikan reinforcemen
c. Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi keperawatan serta
tindakan yang rasional
d. Mengarahkan dan koreksi
e. Mengintegrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari
E. Langkah-langkah
1. Persiapan
a. Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan ronde
b. Pemberian inform consent kepada klien dan keluarga
2. Pelaksanaan
a. Penjelasan tentang klien oleh bidan, dalam hal ini penjelasan difokuskan
pada masalah dan rencana tindakan yang akan atau telah dilaksanakan
dan memilih prioritas yang perlu di diskusikan.
b. Diskusikan antar anggota tim tentang kasus tersebut.
c. Pemberian justifikasi oleh perawat bidan atau kepala ruangan tentang
masalah klien serta tindakan yang akan dilakukan.
d. Pemberian asuhan kebidanan pada masalah prioritas yang telah dan yang
akan ditetapkan
3. Pasca Ronde
Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta
menetapkan tindakan yang perlu dilakukan.
Materi Retensio Urine Postpartum (RUP)

a. Pengertian Retensio Urine Postpartum (RUP)


Retensio urin postpartum (RUP) adalah ketidakmampuan untuk berkemih
secara spontan atau adekuat setelah melahirkan. Pengertian lain RUP juga sebagai:
"ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan dalam waktu enam jam setelah
persalinan pervaginam atau enam jam setelah pelepasan kateter yang menetap
setelah operasi caesar". Definisi lain mengenai RUP ialah “volume residual pasca
pengosongan vesika urinaria/ post-void residual bladder volume (PVRBV) >150
ml setelah berkemih spontan, dibuktikan oleh ultrasound atau kateterisasi.
Wanita yang mengalami RUP dapat dibagi menjadi dua kelompok yang
berbeda secara klinis; 1) RUP terbuka/ covert (simtomatik), yaitu ketidakmampuan
absolut untuk berkemih secara spontan dalam beberapa jam setelah melahirkan, 2)
RUP terselubung/overt (asimtomatik) yaitu kemampuan berkemih secara spontan
tetapi telah meningkatkan volume residu.
Pasien dengan gejala covert RUP umumnya diidentifikasi sejak dini, baik
karena ketidakmampuan berkemih, keluhan nyeri perut atau perdarahan
postpartum, sedangkan pasien dengan overt RUP lebih sulit diidentifikasi karena
berkemih spontan memang terjadi tetapi terdapat volume residu. Dalam kasus
covert RUP, perlu kateterisasi karena overdistensi vesika urinaria berpotensi
menyebabkan masalah jangka panjang termasuk berkurangnya kontraktilitas otot
detrusor, infeksi saluran kemih, hidronefrosis sampai gagal ginjal.
b. Etiologi Retensio Urine
Retensio urin dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1) Neurologis; yaitu 1) Lesi di otak 2) Lesi medula spinalis 3) Lesi sistem saraf
autonom 4) Refleks nyeri lokal 5) Stroke, DM
2) Farmakologi : Atropine like agents, Ganglionik blocker, Musculotopic
relaxant, Antagonis Kalsium, Antihistamin, Theofilin, Phenothiazine, Trisikli
antidepresan
3) Inflamasi; yaitu 1) Uretritis atau sistitis 2) Vulvovaginitis akut 3) Herpes
zoster atau simpleks
4) Obstruksi; yaitu 1) Ekstra-mural: Massa pelvik atau vagina 2) Intra-mural:
Prolaps dinding vagina posterior atau uterovaginal 3) Intraluminal 4)
Disinergia detrusor sfingter 5) Uretra: kondisi striktur uretra, batu saluran
kemih, tumor/kanker
5) Gangguan medis; yaitu 1) Diabetes melitus 2) Hipotiroid 3) Porfiria 4)
Skleroderma
6) Overdistensi: Post-operatif post-partum
7) Psikogenik: 1) Non-neurogenic bladder 2) Gangguan psikiatri
8) Post-operatif; 1) Operasi pengangkatan bladder neck 2) Prosedur untuk
denervasi vesika urinaria 3) Prosedur yang menyebabkan edema dan nyeri
terlokalisir
c. Faktor Risiko
Durasi yang lebih lama pada kala dua persalinan memberikan tekanan yang
berkepanjangan pada dasar panggul, menyebabkan kerusakan pada jaringan
panggul dan pleksus saraf yang mengarah ke obstruksi aliran keluar dan menuju
detrusor neuropraxia. Kekre dkk. melaporkan bahwa tingkat RUP lebih tinggi pada
pasien dengan persalinan kala II yang berkepanjangan. Salemnic dkk. menyatakan
terdapat hubungan antara RUP dan episiotomi mediolateral.
Beberapa studi menyebutkan perubahan fisiologis pada kehamilan,
persalinan lama, penggunaan anestesi regional (epidural atau spinal), laserasi
perineum luas, dan berat lahir bayi sebagai faktor risiko RUP. Persalinan
pervaginam dapat secara langsung membuat trauma pada otot dasar panggul dan
persarafan, yang kemungkinan akan mengakibatkan penurunan sensibilitas vesika
urinaria. Selain itu persalinan pervaginam juga dapat menyebabkan edema peri-
uretra dan dapat menyebabkan RUP karena obstruksi.
Penelitian di RS Kandou Manado menyebutkan kejadian RUP berhubungan
dengan beberapa faktor risiko yakni laserasi perineum atau episiotomi, persalinan
dengan bantuan alat, durasi persalinan kala I > 12 jam, durasi persalinan kala II >
1 jam pada multipara, dan berat badan lahir bayi > 3800 gram. Penelitian Polat
dkk. menyebutkan retensio urin secara bermakna dikaitkan dengan lama persalinan
>700 menit.
Penelitian Kandadai dkk. menunjukkan analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi RUP, setiap peningkatan 10 menit pada persalinan kala II
menyebabkan naiknya risiko RUP sebanyak 6%, dan setiap peningkatan 1 menit
jarak antara setelah melahirkan dengan berkemih spontan pertama dapat
meningkatkan risiko RUP sebesar 4%.17 Selain itu, penggunaan analgesik
narkotik pasca operasi pada sectio cesarea juga dikaitkan dengan peningkatan
risiko RUP.
Penggunaan analgesia epidural yang lama dikaitkan dengan durasi kompresi
saraf yang lebih lama sehingga dapat menyebabkan RUP. Penggunaan kateterisasi
disebutkan dapat menurunkan risiko RUP. Ada beberapa penjelasan yang
menjelaskan hubungan antara frekuensi kateterisasi dan RUP. Kateterisasi jarang
dapat menyebabkan overdistensi vesika urinaria, sehingga mengurangi aktifitas
otot detrusor dan menghambat terjadinya gangguan berkemih. Selain itu,
overdistensi vesika urinaria dapat menyebabkan kerusakan saraf vesika urinaria
dan penghambatan refleks miksi, sehingga penggunaan kateterisasi dapat
mengurangi risiko RUP. Penelitian Yip dkk. menunjukkan bahwa persalinan yang
melebihi 600 menit (11 jam dan 40 menit) memiliki hubungan yang signifikan
dengan RUP
d. Patofisiologis
Patofisiologi RUP masih kurang dipahami, tetapi diyakini merupakan hasil
dari kombinasi peristiwa fisiologis traumatis selama kehamilan dan persalinan,
termasuk faktor kerusakan pada saraf, otot panggul dan otot vesika urinaria yang
semuanya dapat berkontribusi pada risiko retensio urin pada periode postpartum.
Selama kehamilan dan periode postpartum, hormon progesteron mengurangi
tonus otot polos, yang menyebabkan dilatasi pelvis ginjal, ureter, dan vesika
urinaria. Ketika tonus pada otot detrusor perlahan menurun, kapasitas vesika
urinaria mulai meningkat. Saat berdiri, uterus yang terangkat menempatkan
peningkatan tekanan pada vesika urinaria, dua kali lipat tekanan vesika urinaria
telah diamati pada wanita dengan kehamilan aterm.
Pada periode pascapersalinan, vesika urinaria cenderung menjadi hipotonik
dan tidak dipengaruhi oleh berat uterus sebelumnya, sehingga menempatkan
wanita pada risiko RUP. Persalinan per vaginam operatif, yang mencakup forsep
atau vakum, telah terbukti menjadi faktor risiko independen yang signifikan pada
kejadian RUP, dan dapat memengaruhi kemampuan sfingter uretra untuk relaksasi.
Persalinan per vaginam operatif yang menyebabkan trauma perineum, juga
merupakan faktor risiko untuk RUP. Mekanisme terjadinya RUP dalam hal ini
adalah edema uretra dan perineum yang menyebabkan peningkatan resistensi
terhadap aliran urin. Kerusakan saraf pudendal juga telah dilaporkan sebagai
faktor yang berkontribusi terhadap RUP, karena saraf pudendal menginervasi
sfingter uretra eksternal, dan gangguan relaksasi sfingter uretra dapat
menghasilkan peningkatan resistensi terhadap aliran urin.
Etiologi terjadinya retensio urin postpartum multifaktorial. Kehamilan
ditandai dengan perubahan beberapa organ dan sistem organ. Tidak hanya adanya
perubahan anatomis seperti pelebaran ureter dan kaliks dari ginjal, tetapi juga
beberapa perubahan fungsional seperti peningkatan filtrasi glomerular dan output
urin. Kapasitas vesika urinaria kemungkinan besar beradaptasi dengan perubahan
fungsional selama masa kehamilan, karena melekat pada rahim, vesika urinaria
harus beradaptasi dengan peregangan dan produksi urin ekstra untuk mencegah
overdistensi dan memfasilitasi fungsi penyimpanan ekstra.
Faktor lain yang mungkin berpengaruh ialah perubahan hormon progesteron
dan relaksin. Relaksin adalah hormon peptida dari famili insulin-like growth factor
yang telah dikaitkan dengan remodeling kolagen dan penyesuaian fisiologi ginjal
dan vasodilatasi pada kehamilan normal. Dalam 48 jam sebelum persalinan,
relaksin menyebabkan depolimerisasi cepat ikatan kolagen ke titik di mana
kolagen kehilangan 95% dari kekuatannya, memungkinkan vagina untuk
meregang dan struktur pendukungnya berkembang cukup untuk persalinan per
vaginam. Namun tidak diketahui bahwa relaksin memiliki efek pada vesika
urinaria. Progesteron adalah hormon gestasional yang terkenal tidak hanya penting
dalam mempertahankan kehamilan, tetapi juga mengurangi tonus uretra, peristaltik
dan tekanan kontraksi vesika urinaria, yang berpotensi mengakibatkan
peningkatan kapasitas vesika urinaria di masa nifas.
e. Tatalaksana
Clean intermittent catheterization (CIC) dan transurethral indwelling
catheterization (TIC) menjadi perawatan standar. Pada pasien dengan RUP
terbuka, penggunaan CIC merupakan tatalaksana yang direkomendasikan karena
presentase keberhasilan lebih besar (durasi 12 jam), sedangkan durasi penggunaan
TIC lebih lama yaitu 24 jam. CIC juga ditoleransi dengan baik pada pasien dengan
RUP terbuka. Selain itu, 35% pasien dengan CIC dapat berkemih secara spontan
dan adekuat setelah dilakukan kateterisasi tunggal.
Keuntungan CIC dapat dikaitkan dengan bladder training. Dengan drainase
intermiten dan pengisian vesika urinaria, vesika urinaria sebelumnya distimulasi
untuk mengidentifikasi perbedaan antara penuh dan kosong. Sebaliknya, dengan
menempatkan kateter yang menetap, stimulasi vesika urinaria ditunda dan
pelatihan vesika urinaria ditunda. CIC dan TIC dapat digunakan dalam praktik
klinis sehari-hari, staf perawat dan medis berpendapat bahwa penggunaan CIC
setelah melahirkan sulit dilakukan, sehingga lebih sering menggunakan TIC.
RUP dapat ditatalaksana dengan:
1) Atasi nyeri organ panggul
2) Evaluasi dan ukur urin residu 6 jam postpartum
3) Pemasangan kateter 24 jam untuk partus lama dan distosia Kala II lama
4) Pemberian prostaglandin
Penggunaan kateterisasi sebagai berikut:
1) Urin residu <500 mL:
Pemasangan kateter intermitten (tiap 4 jam selama 24 jam), selanjutnya
periksa lagi urin residu pasca berkemih spontan, minum secukupnya,
antibiotika, prostaglandin.
2) Urin residu 500-1000 mL
• Pemasangan kateterisasi menetap selama 1x24 jam
• Banyak minum 3 liter/hari selama kateter menetap
• Mobilisasi
• Urinalisis
• Antibiotika sesuai kultur
• Prostaglandin (misalnya misoprostol) dapat terus diberikan selama kateter
masih terpasang.
• Kateterisasi buka tutup tiap 4 jam selama 24 jam, kecuali dapat berkemih
spontan
• Periksa urin residu pasca berkemih spontan
3) Urin residu 1000-2000 mL
• Pemasangan Kateterisasi Menetap 2x24 jam
• Banyak minum 3 liter/hari selama kateter menetap
• Mobilisasi
• Urinalisis
• Antibiotika sesuai kultur
• Prostaglandin (misalnya misoprostol) dapat terus diberikan selama kateter
masih terpasang
• Kateter buka tutup tiap 4 jam selama 24 jam setelah 2x24 jam kateter
menetap, kecuali dapat berkemih spontan
• Periksa urin residu pasca berkemih spontan
4) Urin residu >2000 mL
• Pemasangan Kateterisasi Menetap 3x24 jam
• Banyak minum 3liter/hari selama kateter menetap
• Buka tutup kateter/4 jam selama 24 jam setelah 3x 24 jam kateter menetap,
kecuali dapat berkemih spontan
• Periksa urin sisa, bila tetap retensio urin pasang kateter menetap selama 1
minggu (pertimbangkan kateter silikon untuk mengurangi risiko infeksi),
bisa pulang, buka tutup kateter dilakukan mulai 2 hari sebelum kontrol.
Saat kontrol, kateter dilepas dan diperiksa lagi urin sisa 6 jam kemudian
atau setelah berkemih spontan
• Banyak secukupnya saat buka tutup kateter
• Urinalisis
• Mobilisasi
• Antibiotik sesuai kultur
• Prostaglandin (misalnya misoprostol) dapat terus diberikan selama kateter
masih terpasang kateterisasi Buka tutup kateter/4 jam selama 24 jam,
kecuali dapat berkemih spontan
• Periksa urin residu, bila tetap retensio urin pasang kateter menetap selama
1 minggu (pertimbangkan kateter silikon untuk mengurangi risiko infeksi),
bisa pulang, buka tutup kateter dilakukan mulai 2 hari sebelum kontrol.
Saat kontrol, kateter dilepas dan diperiksa lagi urin residu 6 jam kemudian
atau setelah berkemih spontan
• Jika pasien memiliki gejala dan tanda yang mengarah retensio urin, perlu
diukur volume residu urin, antara lain dengan menggunakan kateter. Pasien
didiagnosis retensio urin pada kasus obstetri jika volume urine residu urin
lebih dari 200 mL.

Senam nifas merupakan solusi dari masalah tersebut, yang dapat dimulai 6
jam setelah melahirkan dan dalam pelaksanaannya harus dilakukan bertahap,
sistematis dan kontinyu. Latihan senam Kegel dapat membantu memperbaiki otot-
otot dasar panggul, juga otot-otot dinding abdomen dan akan melancarkan aliran
darah serta mempercepat penyembuhan laserasi jalan lahir. Senam Kegel ini dapat
dilakukan diatas tempat tidur atau diatas matras. Tubuh berbaring dengan kedua
kaki ditekuk.
Senam Kegel dilakukan pada hari pertama postpartum bila kondisi ibu nifas
memungkinkan, meskipun kadang-kadang sulit untuk mengaktifkan otot-otot dasar
panggul selama hari pertama atau kedua, dianjurkan agar tetap mencobanya.
Senam Kegel akan membantu penyembuhan postpartum dengan jalan
membuat kontraksi dan relaksasi secara bergantian pada otot-otot dasar panggul,
melancarkan sirkulasi darah ke jalan lahir, mempercepat penyembuhan setiap luka
yang ada disana. Selain itu meredakan hemoroid, meningkatkan pengendalian
urine, meringankan perasaan, membangkitkan kembali pengendalian otot-otot
spingter ani dan memperbaiki respon seksual. Buang air kecil kadang memang
dapat dilakukan sendiri secepatnya, tetapi sering ibu postpartum mengalami sulit
buang air kecil karena spingter uretra ditekan oleh kepala janin dan spasme oleh
iritasi muskulus spingter anin selama persalinan, juga karena ada edema kandung
kemih yang terjadi selama persalinan sehingga menimbulkan retentio urine. Bila
kandung kemih penuh, akan mengganggu kontraksi uterus maka akan bisa terjadi
atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan postpartum, dan mengganggu proses
involusi.

Anda mungkin juga menyukai