Anda di halaman 1dari 7

KLIPING

HUKUM INTERNASIONAL

Dosen Pengampu : Rika Erawaty S.H., M.H.

Disusun Oleh :

SANDIA PALEMBANGAN

2008016231/E

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2021
1. ORGANISAI INTERNASIONAL ( KONFRONTASI MALAYSIA – INDONESIA )

Kompas.com - 06/03/2020, 18:45 WIB

Konfrontasi Indonesia-Malaysia dilahirkan oleh Soekarno ,Sejak pertengahan


abad ke-18, tanah Malaya dikuasai Inggris. Pada 8 Februari 1956, Inggris
memutuskan memberi kemerdekaan pada Malaysia. Dikutip dari Sejarah Diplomasi di
Indonesia (2018), pada tahun 1961, ada rencana pembentukan Negara Federasi
Malaysia. Malaysia rencananya terbentuk dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura,
Sarawak, Brunei, dan Sabah.

Namun rencana ini ditentang oleh Soekarno. Soekarno menganggap


pembentukan Negara Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialisme Inggris.
Soekarno khawatir kawasan Malaya akan jadi pangkalan militer Barat di Asia
Tenggara. Menurut Soekarno, hal itu bisa mengganggu stabilitas di kawasan Asia
Tenggara. Selain Indonesia, Filipina juga tak setuju dengan berdirinya Negara
Federasi Malaysia. Filipina mengklaim Sabah yang akan menjadi bagian dari negara
federasi itu dimiliki Kesultanan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Akibatnya,
Indonesia dan Filipina berada di posisi yang berseberangan dengan Malaysia dan
Inggris.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia dilahirkan oleh Soekarno. Konfrontasi padam


seiring dengan lengsernya Soekarno. Pembangunan dan kesejahteraan masyarakat
memburuk setelah Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Permusuhan itu
membuat Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1965 dan
dikucilkan dari pergaulan internasional. Ambisi Soekarno untuk menunjukkan
kehebatan Indonesia menguras kas negara. Ini berimbas pada kehidupan rakyat
yang masih kesulitan setelah merdeka. Popularitas Soekarno pun kian meredup. Ini
diperparah dengan peristiwa G30S dan sikap dingin Soekarno. Demonstrasi besar-
besaran pada awal 1966 membuat Soeharto mengambil alih pemerintahan.
Penyelesaian Konfrotasi Indonesia – Malaysia Melalui Persetujua Bangkok
dan Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

1. Persetujuan Bangkok
Di bawah Soeharto, hubungan Indonesia-Malaysia diperbaiki. Dikutip dari
Sejarah Diplomasi di Indonesia (2018), pemerintah Indonesia berunding dengan
Malaysia. Dari 28 Mei hingga 1 Juni 1966, Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul
Razak bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik di Bangkok,
Thailand .

Pertemuan itu menghasilkan Persetujuan Bangkok. Beberapa hal pokok yang


disepakati dalam persetujuan itu yakni:

1) Rakyat Sabah dan Sarawak akan mendapat kesempatan untuk memilih


kedudukan mereka di Malaysia.
2) Malaysia dan Indonesia setuju memulihkan hubungan diplomatik
3) Mengakhiri tindakan permusuhan

2. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Setelah Persetujuan Bangkok, hubungan Indonesia-Malaysia berangsur


membaik. Persetujuan Bangkok ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya
persetujuan normalisasi hubungan Malaysia-Indonesia pada 11 Agustus 1966. Pada
31 Agustus 1967 Indonesia dan Malaysia kembali membuka hubungan diplomatik
tingkat kedutaan besar setelah setahun sebelumnya diputus. Kemudian pada 7
September 1967, kedua Menteri Luar Negeri resmi membuka kembali hubungan
politik.

Indonesia Kembali bergabung dengan PBB

Indonesia dari PBB menghambat pembangunan. Maka pada 13 Juni 1966, DPR-GR
mengeluarkan resolusi yang isinya mendesak peemrintah untuk kembali masuk ke
PBB sebelum Sidang Umum 1966. Indonesia kembali diterima menjadi anggota PBB
pada 28 September 1966. Duta Besar LN Palar dipilih menjadi wakil tetap RI di PBB.
2.PERJANJIAN INTERNASIONAL (Azerbaijan dan Armenia Tolak
Perundingan di Tengah Eskalasi Konflik )

Kompas.com - 30/09/2020, 12:06 WIB

Armenia dan Azerbaijan saling tuduh satu sama lain soal siapa lebih dulu
yang menembak. Keduanya juga menolak untuk mengadakan perundingan atas
konflik yang berlangsung di daerah kantong etnis, Nagorny-Karabakh. Sebaliknya,
kedua belah pihak malah mengancam akan berperang habis-habisan. Melansir
Aljazeera, kedua negara pada Selasa kemarin (29/9/2020) melaporkan adanya
penembakan dari sisi lain melintasi perbatasan keduanya di bagian barat wilayah
Nagorny-Karabakh yang memisahkan diri di mana pertempuran sengit antara
pasukan Azeri dan etnis Armenia pecah pada Minggu (27/9/2020). Insiden tersebut
menandakan eskalasi konflik lebih lanjut meskipun ada permintaan mendesak dari
Rusia, Amerika Serikat, dan lainnya untuk menghentikan pertempuran. Konflik
tersebut telah menghidupkan kembali kekhawatiran tentang stabilitas di wilayah
Kaukasus Selatan, dan mengancam keterlibatan Turki dan Rusia.
Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, berbicara kepada televisi pemerintah
Rusia, dengan tegas mengesampingkan kemungkinan perundingan. Juga Perdana
Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan kepada saluran yang sama bahwa
tidak ada negosiasi saat pertempuran berlanjut. Nagorny-Karabakh adalah wilayah
yang memisahkan diri di dalam Azerbaijan yang dikendalikan oleh etnis Armenia dan
didukung oleh Armenia. Wilayah separatis itu memisahkan diri dari Azerbaijan dalam
perang selama tahun 1990-an tetapi tidak diakui oleh negara mana pun sebagai
republik merdeka. Puluhan orang dilaporkan tewas dan ratusan lainnya cedera sejak
bentrokan antara Azerbaijan dan pasukan etnis Armenia meletus Minggu kemarin.

Penyelesaian Azerbaijan dan Armenia Tolak Perundingan di Tengah


Eskalasi Konflik
1) PBB prihatin

Setelah diskusi tertutup pada Selasa (29/9/2020), 15 anggota Dewan


Keamanan PBB "menyatakan keprihatinan" tentang bentrokan itu, mengutuk
penggunaan kekuatan dan mendukung seruan Sekretaris Jenderal PBB Antonio
Guterres untuk segera menghentikan pertempuran. Lebih lanjut, memicu
ketegangan antara dua bekas negara republik Soviet, Armenia mengatakan
sebuah jet tempur F-16 Turki telah menembak jatuh salah satu pesawat
tempurnya di atas wilayah udara Armenia, menewaskan pilot. Belum ada bukti
dari insiden tersebut dan Turki membantahnya. "Armenia harus mundur dari
wilayah di bawah pendudukannya daripada menggunakan trik propaganda
murahan," kata asisten pers Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan Fahrettin
Altun. Awal pekan ini, Armenia menuduh Turki mengirim tentara bayaran untuk
mendukung pasukan Azerbaijan di wilayah etnis Armenia.

2) Putin minta Armenia kurangi eskalasi


Perang Armenia-Azerbaijan tak hanya mengancam keamanan tapi
juga melibatkan Turki dan Rusia. Moskwa sendiri memiliki aliansi pertahanan
dengan Armenia, tetapi juga menikmati hubungan dekat dengan Azerbaijan.
Kremlin mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara melalui telepon
dengan Pashinyan untuk kedua kalinya sejak dimulainya krisis dan
mengatakan semua pihak harus mengambil tindakan untuk mengurangi
eskalasi. Namun, Kremlin belum mempublikasikan kontak apa pun antara
Putin dan Aliyev. Moskwa terus-menerus melakukan kontak dengan Turki,
Armenia dan Azerbaijan, dan setiap pembicaraan tentang memberikan
dukungan militer untuk pihak lawan hanya akan menambah bahan bakar ke
dalam api, menurut pernyataan Kremlin. Sementara itu, Pashinyan
mengatakan kepada BBC dalam sebuah wawancara bahwa pasukan
Azerbaijan telah menyerang desa dan kota di Nagorny-Karabakh dan di
dalam Armenia sendiri pada hari Selasa kemarin. “Ada korban di antara
militer dan warga sipil. Puluhan tewas dan ratusan lainnya luka-luka,” kata
PM Armenia itu. Kantor kejaksaan Azerbaijan mengatakan 12 warga sipil
Azerbaijan sejauh ini tewas dan 35 orang mengalami luka-luka karena
tembakan Armenia. Pihak Azerbaijan belum mengungkapkan update korban
militer. Sementara akibat pecah konflik di Nagorny-Karabakh sendiri sebanyak
84 tentara dilaporkan tewas .
3. Hukum Udara dan Ruang Angkasa

Kompas.com - 05/09/2017, 13:50 WIB

TANGGAL 10 Desember 1982 telah lahir United Nation Convention on the Law
Of the Sea (UNCLOS) atau hukum laut internasional di bawah naungan Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) yang ditandatangani 117 negara. Dengan UNCLOS 1982 itu,
maka secara internasional berarti telah ada pengakuan terhadap prinsip-prinsip
negara kepulauan yang telah sekian lama diperjuangkan oleh bangsa Indonesia.
Tentang hal ini jelas tergambar pada Pasal 46 dalam konvensi itu yang menyebutkan
bahwa negara kepulauan berarti suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Pada bagian lainnya
disebutkan juga bahwa kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian
pulau, perairan di antaranya, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungan satu
dengan lainnya demikian erat. Dengan demikian, pulau-pulau, perairan, dan wujud
alamiah lainnya itu merupakan kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki
atau yang secara historis dianggap sebagai demikian. Itu semua menjadi sejalan dan
telah merupakan perwujudan dari Konsep Doktrin Wawasan Nusantara yang
merefleksikan satu kesatuan terhadap tanah, daratan dan perairan. Beriringan
dengan UNCLOS 1982 yang pada prinsipnya telah memberikan pengakuan terhadap
keberadaan sebuah negara kepulauan, salah satu pasalnya mewajibkan negara
kepulauan memberikan atau mengakomodasikan kepentingan masyarakat
internasional dalam bentuk pemberian hak lintas damai. Pemberian hak lintas damai
inilah yang kini dikenal sebagai ALKI atau Alur Laut Kepulauan Indonesia. Tidak ada
permasalahan serius dalam penetapan ALKI ini karena memang dalam hukum laut
pemberian hak lintas damai adalah sudah menjadi bagian utuh dari ketentuan di
dalam hukum laut internasional. Persoalan kemudian muncul karena ternyata dalam
pasal yang menyebutkan hak lintas damai dalam UNCLOS 1982 diberikan pula hak
keleluasaan bagi pesawat udara asing untuk terbang di jalur ALKI. Pasal tersebut
menyatakan antara lain bahwa negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan
rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat
udara asing yang terus-menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di
atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. Sejak
berlakunya UNCLOS 1982, yang salah satu pasalnya turut mengatur tentang
penggunaan ruang udara di atas, ALKI telah menjadi bahan perdebatan dalam
kancah hukum laut internasional dengan hukum udara. Secara internasional, seluruh
negara bila berbicara tentang hukum udara akan mengacu kepada antara lain
Convention on International Civil Aviation of 1944, yang dikenal sebagai Konvensi
Chicago 1944. Konvensi ini secara gamblang antara lain menyebutkan bahwa setiap
negara berdaulat secara complete dan exclusive atas wilayah udara teritorialnya.
Pasal-pasal dalam konvensi ini menyebutkan bahwa semua pesawat yang melintas
harus memiliki ijin dari negara yang bersangkutan. Hukum udara tidak mengenal
"hak lintas damai". Pasal 3 huruf C berbunyi sebagai berikut: "No state aircraft of
contracting state shall fly over the territory of another state or land thereon without
authorization by special agreement or otherwise, and in accordance with the term
thereof" Dengan demikian, salah satu pertentangan yang terjadi antara hukum laut
dan hukum udara adalah tentang hak terbang di daerah teritori sebuah negara.

Penyelesaian dengan menggunakan Hukum Laut

Hukum Laut memang memberikan fasilitas lintas damai di laut atau perairan.
Akan tetapi, regulasi di hukum udara internasional sangat jelas tidak memberikan
ruang sama sekali bagi penerbangan dengan status "lintas damai". Secara
keseluruhan, pertentangan yang terjadi adalah merupakan konsekuensi logis dari
kemajuan teknologi yang telah memungkinkan armada laut dapat menjadi basis atau
pangkalan pesawat terbang. Itu sebabnya hukum laut menjadi merambah pula untuk
turut mengatur udara yang berada diatas lintasan kapal laut. Pada setiap
pertentangan, pasti dibutuhkan negosiasi dalam mencari solusi yang terbaik. Tidak
perlu khawatir karena pada setiap masalah yang timbul akan selalu hadir kemudian
cara penyelesaian yang terbaik, seperti yang dikatakan oleh Steve Maraboll bahwa
"The universe is so well balanced that the mere fact that you have a problem also
serves as a sign that there is a solution."

Anda mungkin juga menyukai