Anda di halaman 1dari 32

KEGIATAN BELAJAR 2 :

SUMBER TERBENTUKNYA AKHLAK DAN IMPLEMENTAS

CAPAIAN PEMBELAJARAN, SUB CAPAIAN


PEMBELAJARAN DAN POKOK MATERI

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Mampu menganalisis hakekat akhlak dan kekuatan pendukungnya dalam jiwa manusia.
2. Menganalisis hakikat amal shaleh dan amal baik serta unsur-unsur iman yang mendasar
dalam implementasi amal sholeh dan amal baik dalam kehidupan manusia.
Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan
1. Mendefinisikan hakekat akhlak al-karimah.
2. Membedakan potensi-potensi jiwa; Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-Ghadhab, Quwwah
asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah dalam jiwa manusia.
3. Menganalisis amal shaleh sebagai implementasi akhlak al-karimah.
Pokok-Pokok Materi
Hakekat akhlak al-karimah, potensi-potensi jiwa (Quwwah al-Ilmi, Quwwah al-
Ghadhab, Quwwah asy-Syahwah, dan Quwwah al-‘Adalah), implementasi akhlak al-karimah.

URAIAN MATERI
A. Definisi Akhlak al-Karimah
Bagaimana Saudara sudah siap untuk mengkaji definisi akhlak? Saudara tida perlu
tegang atau takut. Ingat tidak ada yang susah kalau Saudara sudah bisa. Dan tidak ada
yang tidak bisa diraih kalau Saudara sungguh-sungguh “ ‫”وجد جد من‬
Baik, kita mulai fahami menurut bahasa terlebih dahulu.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jama’ dari ‫خلق‬/khuluqun
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau tabiat. Kata tersebut
mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫خلق‬/khalqun berarti kejadian, yang juga
erat hubungannya dengan ‫الق‬7777‫خ‬/khalik yang berarti pencipta, demikian pula
‫وق‬77‫مخل‬/makhluqun yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul
sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk
(Mushtofa, Akhlak Tasawuf, 2008: 11)

1
Sudah nyambung? Coba selanjutnya Saudara fahami beberapa definisi akhlak menurut
para ahli berikut:

1. Ibnu Miskawih

‫اخللق حال لنفس داعية هلا إىل أفعاهال من غري فكر وال‬
‫روي ة‬
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir
dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan kondisi
jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu, sehingga tindakan-
tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka akan melakukannya secara
sepontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.

2. Al-Ghazali

‫حا ج‬
َ َ َ ِ ‫ر َوُي‬$‫ْص ِ ُد‬ ‫ي َئة ِس َرا َْعن‬$‫ه‬ ْ َ ‫اخللق عبارة عن‬
‫ىل‬$ِ‫ة َإ‬ ‫ر‬$ِ$‫ ْس ر م ْغ‬$ْ‫ا‬ ‫ِف ِس خة َها ُت‬
َ
‫ن ي‬ ‫عا َل بِ ُس ُهولَ ة‬$َْ‫َلف‬ ‫الن‬
ْ
‫ف‬$ّْ
‫فِ ْك ر‬
‫ََورِوَي‬
‫ّة‬
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging
yang mendorong dilakukannya perbutan-perbuatan dengan mudah lagi gampang tanpa
berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah daging
yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-tindakan yang bersifat
spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai akhlak.
Apabila seuatu perbuatan dilakukan dengan mempertimbangkan dahulu, apa untung
ruginya bagi si pelaku perbuatan tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.

3. Prof. Dr. Ahmad Amin


Seorang ahli Ilmu Akhlak modern, yakni Ahmad Amin dalam bukunya Kitab
al- Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang

2
dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas, denyut
jantung, kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq, 2012; 10).
Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah didik dengan
membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar. Pelakunya mengetahui baik atau
buruk dari perbuatan yang dilakukannya. Karena perbuatan akhlak juga termasuk
perbuatan yang kelak akan dipertanggung-jabawkan di hadapan Allah Swt.

3
Selain tiga tokoh ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya masih
banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari perbuatan sadar
(ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang sudah terbiasa sehingga
sekan-akan spontan dan terkesan tidak usah dipikirkan sebelumnya.
Selamat, Saudara telah berhasil memahami apa itu definisi akhlak. Kalau masih
ada waktu coba baca sekali lagi! Selanjutnya dalam KB 1 ini Saudara akan
menganalisis unsur-unsur yang ada di dalam jiwa Saudara yang dapat mempengaruhi
terbentuknya akhlak.

B. Kekuatan Jiwa dan Sumber Terbentuknya Akhlak al-Karimah


Setelah Saudara mendalami berbagai pendapat mengenai definisi akhlak, kira-kira
Bagaimana pendapat Saudara? Apakah akhlak seseorang bisa terbentuk dengan
sendirinya? Ataukah harus dibentuk dengan mendidik dan membiasakan sampai betul-
betul mendarah daging dalam dirinya? Tentunya Saudara akan setuju kalau akhlak
seseorang itu harus dididik dan dibiasakan secara terus menerus dalam lingkungannya di
mana ia tinggal sampai benar-benar melekat dalam jiwanya.
Dalam rangka pembentukan akhlak seseorang, Saudara perlu terlebih dahulu
memahami kekuatan-kekuatan jiwa yang dapat mendorong terbentuknya akhak tersebut.
Baik bacalah dengan saksama penjelasan berikut ini:
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga
kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia.
Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa Ushuluha
dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap menjadi empat
kekuatan (al- quwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936),
keempatnya adalah sebagai berikut:

1. Quwwah al-Ilmi
Quwwah al-Ilmi adalah kekuatan yang berasal dari akal. Dengan akal inilah
manusia dapat dengan mudah membedakan mana yang jujur dan mana yang bohong
dalam berbicara, mana yang benar dan mana yang salah dalam mengambil keputusan,
mana yang baik dan mana yang buruk dalam bertindak. Kekuatan inilah yang menjadi
pembeda manusia dengan jenis binatang. Dengan akal manusia dapat mencipta dan
mengembangakan budaya sehingga terus berkembang ke arah yang lebih baik dan
lebih maju dari sebelumnya.
Buahnya adalah hikmah, yakni pemahaman yang mendalam tentang segala
sesuatu sesuai dengan syariat Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:

$ْ‫ا‬ ُ ‫ق‬$َ‫ي ؤ ا ْْلِ ْك ف‬


‫و‬ ‫ل‬
ُ ‫و‬ ُ ‫أ‬ ‫إ‬ ‫ك‬ ّ $
َ ‫ذ‬$
ّ َ ‫ي‬ ‫َك‬
َ َ ‫َ َ ثِ يرا‬ ‫ت‬ِ ‫و‬
‫أ‬ $ُْ َ ‫مة َ َي‬ َ َ ‫ي ُْؤِت ا ِْْل ْك‬
‫ل َ ل ْب ا ِ ب‬ ‫ر‬ ‫خ‬ ‫مة‬
َ ‫م َشاُء‬
َ ‫ ً َو ر ّال‬$ً ْ ‫َوم َت َ ْد‬
‫ما‬ ‫يا‬ ‫ْن‬ ‫ْن‬
:962)‫(البقرة‬
Artinya:
“Dia berikan hikmah kepada yang Dia kehendaki dan Siapa yang diberikan al-hikmah
maka sesungguhnya dia telah diberikan kebaikan yang sangat banyak. Dan hanya
orang-orang memiliki akal fikiranlah yang mampu memahaminya”. (QS. Al-
Baqarah/2:169)
Al-Maraghi menjelaskan bahwa yang dimaksud hikmah adalah ilmu yang
bermanfaat, yakni ilmu yang dapat mempengaruhi jiwa pemiliknya dan membimbing
kehendaknya untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa
manfaat dan kebahagiaan dunia akhirat (Al-Maraghi Jilid III, h. 40)
Hikmah dalam pengertian di atas, apabila dimiliki seseorang bisa menjadi salah
satu sumber penting dalam pembentukan akhlak yang mulia. Dan inilah tujuan utama
diutusnya Nabi Kita Muhammad Saw. ke dunia ini. Sebagaimana sabda beliau. berikut:

ِ
‫ل لال‬$‫ َقا َل ر س ُو‬:‫ َقا َل‬،‫َع ن أَِب هري َرة‬
‫صل‬
ُ َ $َ ْ $َ ُ ْ
َ

‫ّى لال َعَلي ه و‬
َ ْ ُ
‫سل‬
َ
:‫ّ م‬

‫"إ‬

‫َنا ب عْث ت‬
ُ ُ

ِ ِ ِ
"‫ل ق‬$‫ َْل ْ َخ‬$ْ‫َُلتمم صال ح ا‬
َ َ َ
)‫(رواه امحد‬
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diutus
hanya untuk menyempurnakan akhlak” (H. R. Ahmad)
Coba perhatikan fenomena dunia zaman sekarang! Banyak orang kelihatannya
berilmu, tapi ilmunya kurang atau bahkan tidak dapat membimbing kehendaknya
untuk mendorong melakukan tindakan-tindakan yang dapat membawa manfaat dan
kebahagiaan dunia akhirat. Kenapa? Jawabnya sederhanya karena ilmunya tidak
mengandung hikmah.
Bagaimana, sekarang sudah mulai nyambung? Kita lanjutkan, memahami
konsep hikmah.
Hikmah sebagai konsep itu mencakup empat turunan, yakni: husnu at-tadbir
(baik pemikirannya), judat adz-dzihn (jernih pemikirannya), tsiqabah ar-ra’yi (tajam
pemikirannya) dan shawab azh-zhann (tepat pemikirannya) (Al-Ghazali, Mizan al-
‘Amal, 1964; h. 284)
Mari kita analisis konsep turunan hikmah tersebut di atas satu persatu.
a. Husnu at-Tadbir
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi husnu at-tadbir yakni
cerdas dan lurus jalan fikirannya dalam mengistimbatkan (mengambil kesimpulan).
Ia akan bisa mengambil yang terbaik, dan paling bermanfaat dalam berbagai
urusan, sesulit apapun dan segawat apapun. Ia tidak sekedar cerdas (kayyis), tetapi
mampu memikirkan hal-hal yang abstrak dengan benar sehingga dapat mengambil
keputusan yang menghasilkan kebaikan-kebaikan yang agung dan akhir yang mulia
dalam berbagai urusan kehidupan.
b. Jaudat adz-Dzihn

Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi jaudat adz-dzihn, yakni


memiliki kemampuan untuk dapat berfikir memperoleh kebijaksanaan ketika
dihadapkan pada pendapat yang mirip-mirip dan mengandung pertentanagan-
pertentangan dalam implementasi. Ia akan selalu mendapatkan kosep yang
memberikan manfaat sesamanya dan diterima oleh berbagai pihak.

c. Tsiqabah ar-Ra’yi
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi tsiqabah ar-ra’yi, yakni
mempunyai kecepatan kemampuan dalam menghubungkan data-data yang
dimilikinya dengan sebab akibat yang mengasilkan kemaslahatan dalam kehidupan
masyarakat.

d. Shawab azh-Zhann
Seseorang yang memiliki hikmah akan menjadi shawab azh-zhann, yakni ia
akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. dengan kesesuaian antara dugaan yang
terdapat dalam alam fikirannya dengan kebenaran hakiki tanpa harus lama-lama
memikirkannya.
Kebalikan dari Quwwah al-Ilmi adalah lemahnya ilmu atau kebodohan, terbagi
dalam dua konsep, yaitu radzilah al-khibb dan radzilah al-balah. Radzilah al-khabb
terdiri dari ad-dahaa (tertipu) dan al-jarbazah (lemah berfikir) yaitu. Logikanya
kurang sehat atau kurang lurus sehingga ketika mengambil kesimpulan sering kali
tidak benar, apa yang dikatakannya baik ternyata buruk atau sebaliknya.
Sementara radzilah al-balah terdiri dari tiga hal; pertama kebodohan sebab
karena kurang pengalaman belajar, kedua kebodohan sebab dari bawaan seperti idiot
dan ketiga kebodohan sebab hilangnya akal atau gila.
Ilmu dalam bentuk hikmah seperti dijelaskan di atas sangat penting dalam
membentuk menanamkan dan mendidik akhlak seseorang, karena ia dapat
membentuk konsep diri (manset) seseorang. Apabila konsep diri seseorang tentang
perbuatan itu baik, maka kelak ia akan menjadi baik perbuatannya, sebaliknya apabila
konsep dirinya buruk maka mereka akan menjadi buruk perbuatannya pula.
Selesai sudah pembahasan Quwwah al-Ilmi. Apa Saudara masih sanggup
melanjutkan? Hayoo … kita lanjutkan pembahasan mengenai kekuatan jiwa yang ke
dua yaitu Quwwah al-Ghadhab.

2. Quwwah al-Ghadhab
Quwwah al-Ghadhab merupakan dorongan manusia untuk menolak yang tidak
disenangi dan mendapatkan kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin. Dimana ia
bisa menghasilkan sifat utama yang dapat menjadi sumber akhlak yang mulia serta
menumbuhkan kebaikan-kebaikan yakni sifat syaja’ah (keberanian) (Al-Ghazali, Ihya
Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 936). Dengan sifat syaja’ah manusia bisa
berani berkorban apa saja untuk meraih kebahagian dan kemuliaan batinnya. Dan
bahkan ia akan berani berkorban tidak hanya dengan apa yang dimilikinya tetapi juga
berani maju mengorbankan jiwa raganya demi kemuliaan dan kebahagiaan yang
diyakininya benar.
Bagaimana setelah membaca alinea di atas? Apa yang ada di dalam fikiran
Saudara mengenai hubungan konsep Quwwah al-Ghadhab dan Syaja’ah? Untuk lebih
fahamnya mari kita lanjutkan!
Syaja’ah menurut al-Ghazali dalam kitab Mizan al-Amal meliputi banyak sifat
turunannya, diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Al-Karam (kebaikan budi), yaitu berani mengambil sikap moderat untuk
mengambil atau menerima keputusan penting dalam berbagai masalah yang
menyangkut kemaslahatan yang besar dan urusan-urusan yang mulia.
b. An-Najdah (membantu, menolong), yaitu berani dalam membantu atau menolong
siapapun, apalagi menolong hal yang benar, baginya merupakan jihad. Bukan
penekad juga bukan penakut, apabila sudah menyakini sebuah kebenaran maka
harus berani maju, meskipun harus mempertaruhkan jiwa demi kemuliaan abadi.
c. Kibr an-Nafs (berjiwa besar), bukan sombong juga bukan rendah diri (mider). Ia
berani menjadikan dirinya sebagai ahli dalam hal kemuliaan dengan penuh
kerendahan hati dan menghindari perdebatan pada urusan-urusan yang sedikit
manfaatnya. Ia sangat menghormati ulama.
d. Al-Ihtimal (ketahanan dalam bekerja), berani bertanggung jawab menahan diri
dalam menjalankan tugas, meski dirasa sangat berat.
e. Al-Hilm (santun), ia dapat menahan emosi yang biasanya meledak-ledak, tidak
terpancing dalam keadaan apapun dan marah. Sikapnya tetap santun dalam
menghadapi semua orang, ia sudah dapat lepas dari sikap yang buruk dalam
menghadapi orang lain atas gejolak jiwa suka dan tidak suka.
g. Al-Wiqar (tenang), menahan diri dari berbicara secara berlebihan, kesia-siaan,
banyak menunjuk dan bergerak dalam perkara yang tidak membutuhkan gerakan.
Mengurangi amarah, tidak banyak bertanya, menahan diri dari menjawab yang
tidak perlu, menjaga diri dari ketergesaan dalam beramal, dan bersegera dalam
seluruh perkara kebaikan.
Perlu Saudara ketahui bahwa Quwwah al-Ghadhab, juga dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya adalah at-Tahawwur dan al-
Jubn. Dengan adanya dorongan manusia dari dalam dirinya untuk memdapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan manusia
bisa Tahawwur (nekad) yakni berani melakukan tindakan yang bukan pada tempatnya
(Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak , h. 149). Misalnya berani maju ikut
tawuran, padahal belum mengetahui mana yang benar dan mana yang salah dan
resikonya bisa mati terbunuh.
Juga karena di dalam diri manusia ada dorongan ingin tetap mendapatkan
kenikmatan yang bersifat abstrak dan batin berupa kemuliaan atau kekuasaan, maka ia
bisa bersifat Jubn (pengecut), sifat takut yang berlebihan dalam mempertahankan diri
dari berbagai masalah kehidupan. Misalnya takut mengadapi ujian, padahal ujian
adalah satu cara yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin meningkatkan dan
memperbaiki nasib dan derajatnya.
Bagaimana, cukup faham sudah? Kalau sudah kita lanjutkan pada bahasan
berikutnya, yakni Quwwah asy-Syahwah

3. Quwwah asy-Syahwah
Al-Quwwah asy-Syahwah yaitu kekuatan yang ada dalam diri manusia yang
yang mendorong perbutan-perbuatan untuk memperoleh kenikmatan-kenikmatan
yang bersifat zhahir, yang dinspirasi oleh panca indranya seperti: mencari
makanan dan
minuman, mencintai lawan jenis dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini manusia
menjadi lebih bergairah dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Quwwah asy-
Syahwah yang baik disebut al-iffah.
Seorang dikatakan sebagai orang yang ‘affih apabila yang mampu menahan
diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Swt. Dengan demikian seorang
yang 'afif adalah orang yang bersabar yakni taat muthlak kepada Allah Swt. baik
dalam menjalankan perintah-perintah-Nya, maupun meninggalkan lawangan-Nya
walaupun jiwanya (syahwatnya) sangat menginginkan untuk melanggarnya.
'Iffah merupakan akhlaq yang sangat dicintai oleh Allah Swt. Oleh sebab itulah
sifat ini perlu dilatih sejak anak-anak masih kecil, sehingga memiliki kemampuan dan
daya tahan terhadap keinginan-keinginan yang tidak semua harus dituruti karena akan
membahayakan saat telah dewasa. Dari sifat 'iffah inilah akan lahir sifat-sifat mulia.
Diantara sifat-sifat terpuji turunan dari sifat 'Iffah adalah sebagai berikut:
a. ‫الحياء‬/haya’, adalah sifat malu untuk meninggalkan perbuatan yang diperintahkan
oleh Allah Swt. dan sebaliknya malu melakukan perbutan yang dilarang oleh-
Nya. Apabila jiwa manusia semua sudah memiliki sifat malu seperti ini, niscaya
tidak ada lagi tindak kejahatan dimuka bumi ini. Sehingga bumi akan aman,
tentram dan damai. Karena malu akan menjadi benteng terakhir bagi diri
seseorang dalam melakukan kemaksiatan
b. ‫القناعة‬/qana'ah, adalah sifat menerima atau merasa cukup atas karunia Allah Saw.,
sekaligus menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kekurangan yang
berlebih-lebihan. Qanaah muncul dalam kehidupan seseorang berupa sikap rela
menerima keputusan Allah Swt. yang berlaku bagi dirinya. Bagi siapa yang dapat
menjadikan dirinya qana'ah, maka ia akan dijamin akan mendapatkan hakekat
dunia, menjadi orang yang beruntung, mudah bersyukur, terhindar dari sifat
hasud dan terhindar dari problema kehidupan dunia.
c. ‫السخاء‬/sakha’, yaitu sifat dermawan senanga memberikan harta dalam kondisi
memang wajib memberi, sesuai kepantasannya dengan tanpa mengharap imbalan
dari yang diberi dalam bentuk apapun seperti pujian, balasan, kedudukan, ataupun
sekedar ucapan terima kasih (QS. Al-Insan/76:9).
Jadi seseorang disebut dermawan jika dapat memberi secara tulus ikhlas. Orang
yang memberi karenan ingin balasan dari pihak yang diberi bukanlah dermawan
tapi disebut berdagang. Sebab ia seolah-olah membeli balasan berupa pujian,
kedudukan, ucapan terima kasih dan lainnya dengan hartanya.
d. ‫ورع‬777‫ال‬/wara’, yaitu meninggalkan hal-hal yang syubhat karena khawatir
membahayakan nasibnya di akhirat kurang baik. Meninggalkan yang syubhat,
yakni sesutau yang hukumnya belum jelas halal atau haram yang berlaku dalam
semua aktifitas manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Dan lebih dari
itu meninggalkan segala hal yang kurang atau tidak bermanfaat.
Perlu Saudara ketahui juga bahwa Quwwah asy-Syahwah, dapat mendorong
perbutan yang buruk bagi seseorang. Apa itu? Jawabnya antara lain; rakus, tabdzir,
ria, hasud dan lain-lain.
Bagaimana, faham? Kalau sudah, kita lanjutkan pada bahasan berikutnya, yakni
Quwwah al-‘Adl
4. Quwwah al-‘Adl
Menurut al-Ghazali, terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang
diperlukan lagi satu kekuatan, yaitu Al-Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan
penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-
Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935). Sementara Ibnu Miskawaih meskipun tidak
menyebutkan secara khusus adanya Al-Quwwah al-‘Adl, tetapi dalam penjelasnnya
juga mengkaitkannya dengan ketiga kekuatan jiwa tersebut.
Tiga kekutan jiwa manusia yang menjadi dorongan tingkah lakunya akan
menjadi baik kalau bersinergi secara adil (keseimbang). Quwwah al-Ilmi akan
menjadi sumber kebaikan kalau sudah menuntun dengan mudah untuk membedakan
yang benar dan yang salah dalam keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam
perbuatan serta yang jujur dan yang bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata
lain ilmunya sudah menjadi hikmah.
Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat dikendalikan oleh
akal yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat (syaja’ah) yang menjadi
sumber berbagai akhlah yang baik. Apabila tidak mengikuti tuntunan akal dan
syariat condong pada hal yang berlebih, maka dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi
bila condong pada sifat lemah dan pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang
berlebihan).
Kemudian Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik
oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber
dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-
lain. Dan sebalikanya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila
congdong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila
condong pada hal dikuran-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memposisikan diri di tengan dengan lurus
(‘itidal) dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik
semuanya. Keempat akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah
sumber pokok keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.

C. Amal Shalih sebagai Implementasi Akhlak al-Karimah kepada Allah Swt.


Bagaimana Saudara, apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu sudah
mulai kebuka. Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai
keimanan dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita
dapat dikategorikan sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya kepada-
Nya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51: 56 sebagai berikut:

‫ق ُت ا ْلْ ِ َّن‬$‫ََوما َخ َْل‬


$ْ‫َوا‬
:66)‫ن (الذاريات‬$ِ‫لْن َس إَِّال لَِي ْعُب ُدو‬
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai ibadah dan
menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah Swt. dan ridah
penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih sebenarnya sudah disampaiakan dalam ajaran
Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai dengan
iman; diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas, dikerjakan dengan
sabar dan atau syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha) hasilnya sebagai bagian dari
takdir Allah Swt.
Untuk lebih detilnya mari kita pelajari satu persatu konsep bingkai amal shalih
dengan baik!

1. Tawakkal
Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab 7_َُّ‫كل َو الت‬/tawakkul dari
akar kata ‫و‬ /wakala) yang berarti lemah. Adapun 7ُّ_‫كل َو ال َت‬/tawakkul berarti
‫َكل‬
menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada
orang lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau
urusannya dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakkal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-
Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa
at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari
keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan
dengan ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakkal, ia terdiri
dari suatu ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah
(hasil), serta keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah
menyerahkan diri kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar
kepada-Nya dalam kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya Madarij as-Salikin
menjelaskan bahwa Tawakkal merupakan amalan dan penghambaan hati dengan
menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata, percaya
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa
dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala ‘kecukupan’
bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat
memperolehnya.
Allah Swt. berfirman:

‫ن ه م‬$‫كن ت غلِي َظ ِب ُوو ِ ح ولِ ك فا َ ْع‬


ْ ُ َ َ $ْ َ َ َ $ْ ُ َ ‫ِم َن ا َّّلِ ْلِن‬ ‫محَ ة‬$‫َفبِ َما َ ْر‬
‫ْ ع ُف‬ ‫ف ا م‬$َ‫ل َلاْن‬$‫ ْق‬$َ‫اْل‬ ‫َفظ‬ ‫ت َ لهم ول‬
ُْ َ
‫ْن‬ ‫ا‬ ّ ‫و‬

‫وب الْ َي‬ ‫ْال َفِإ َذا َت َف تَ َعَلى ِإ ا‬ ‫ر َ ُْلهم َو َشا ِْوُره ْم ِف‬$‫ ْف‬$ِ‫َوا ْسَت ْغ‬
ِ‫مت ومكِل‬ ُ
‫(آل‬ $َ ُ ‫ا ل َّّ ُِي‬ ‫و‬$َ ‫زْم‬$‫َْمِر َ َع‬
‫ّ َل‬ َّّ ‫ّك ْل ل‬
‫ن‬
ِ‫ل‬
962) :‫عمران‬
Artinya:
Maka sebab rahmat dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada
mereka. Seandainya Engkau bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka akan
pergi dari sekelilingmu. Sebab itu maafkan mereka, mintakan ampunan baginya
dan ajaklah bermusyawarah mereka dalam urusan itu (menentukan strategi perang).
Lalu apabila Engkau telah memiliki tekad yang bulat, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (QS. Ali
Imran/3: 159).
Ayat di atas menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap
rakhir setelah mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum tawakkal manusia harus terlebih dahulu berikhtiyar secara zhahir,
selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiyar dan do’a. Sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu
dengan para sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai
urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah
lembut, kemudian setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu
bertawakkal kepada Allah dengan berserah kepada-Nya.
Jadi tawakkal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan
menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku
tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Memohon
pertolongan dan Bertawakkal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakkal
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu,
sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan
kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi
di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt, ia dituntut
melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak
dan ketentuan Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi
sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila
pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil
dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan bertawakkal dan
berserah diri.
Dalam sebuah hadis Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:

‫ّر ج ل ِم ن ب‬$‫صل خر ج ا َل‬ ‫ َأ َّن‬،‫َع ْن َأنَ ِس ْب ِن َمالِ ك‬


ْ ُ$ِ ُ $َ $َ َ َ
‫قا َل‬$َ‫يت ه ف‬
$َْ ‫ه َو‬$ِ‫ّى لالُ َعَْلي‬ ‫الن‬
‫َسل‬ ‫ِّ َّب‬
‫ " إِ َذا‬:‫ َقا َل‬،‫م‬$َّ
،‫ّوَة إَِّال ِِب ِحيَنئِ ُه ِدي َت‬$َ‫ل ََوال ُق‬$َ‫و‬$‫َ ْح‬ ‫َعَلى ا‬ ‫م ا‬$ِ‫بِ ْس‬
،‫في َت‬$ِ‫َوُك‬ :‫ذ‬ َّّ ‫ل‬ َّّ ‫ل‬ َّّ ‫ل‬
‫قا ُل‬$َُ ‫ ي‬:‫ َقا َل‬،ِ‫ل‬ ‫ َال‬،ِ‫ل‬ ‫لِ َت‬
‫و‬$َ
‫ل ُت‬$ْ‫ّك‬
‫َق ْد ُه ِد َي‬ ‫ي َك‬$‫ َ ْك‬:‫ر‬$‫يَطا ن آ َ ُخ‬$‫ل َلُه َ ْش‬$ُ‫قو‬$ُ‫ َف َي‬،‫ فَ َت َت َن َّحى َلُه ال َّشَيا ِط ُي‬،‫َُووقِي َت‬
‫ف ي‬$ِ‫َُوك‬ ‫َف َل َبِر ُج‬
َ
‫ل‬
Artinya:
ِ
)‫ووق ي؟ "رواه ابو داود‬
َ َُ
Dari Anas bin Malik berkata, bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang
laki-laki keluar dari rumahnya, lalu membaca ‘ِّ ‫ه لل‬
َ 7َ‫ح قُ هوة‬ ‫ َل‬،َّ‫عل ِلال‬ ‫َت َو هك‬ ِ ِ ‫’ ب‬,
‫ا‬ ‫ه‬ ‫ْول‬
‫و ََل ل‬ ‫ى‬ ‫ْل ت‬ ‫م‬
َّ ‫ل‬ ‫س‬
،‫ِا‬
maka pada saat itu dikatakan kepadanya: engkau telah diberi hidayah, engkau telah
dicukupkan, engkau telah dijaga dan ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain
berkata kepadanya, Bagaimana bisa menggoda dengan laki-laki ini yang sudah
diberijamin hidayahnya, kecukupannya dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa tawakkal itu dilakukan
sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun rencana yang
kita buat adalah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak
dapat mengetahui secara universal tentang hubungan sebab akibat dari semua unsur
yang
menentukan dan mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana
Allah yang menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana,
sudah semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan
Menentukan, Allah Swt.
Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung? Mari kita lanjutkan belajar
konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun amal shalih.

2. Ikhlas
Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
‫خالص‬
‫إ‬/ikhlas merupakan bentuk mashdar dari ‫أ خَل‬/akhlasa yang berasal dari akar
‫ص‬
kata ‫خلص‬/khalasa. Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek
kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri).3 Atau berarti perbaikan dan pembersihan
sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah
SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-
Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti
menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta
tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid
Ridha,1973, hlm. 475).
b. Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan
semata-mata karena Allah SWT (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas itu dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat memakannya karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Caoba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita kunyah akan ternyata
kerikil juga tergigit. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang
mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam
menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas
sampai ia mengesakan Allah SWT. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan
Allah SWT.
Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan
mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan
seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan,
harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan
perintah Allah-Nya yang tercantum dalam QS. al-An’am/6: 162-163. Demikian
juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam QS. al-Bayyinah/98: 5.
Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada
Allah. Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila
penilaiannya disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai
dengan harga sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak
keikhlasan kita (QS. Al-Insan/76:9)
Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata
sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam
harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di
antaranya:
a. Ria, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT.,
akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau
kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar
di dalam firman Allah SWT. Q. S. al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah
satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris
dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Ada pun tanda-
tanda orang yang riya’, adalah: (a). Seseorang yang bertambah ketaatannya
apabila dipuji atau disanjung oleh orang lain akan tetapi menjadi berkurang
atau bahkan meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan
ejekan, (b). Tekun dalam beribadah apabila di depan orang banyak akan tetapi
malas apabila dikerjakan sendirian, (c). Mau memberi atau sedekah apabila
dilihat orang banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya,
(d). Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT.
Akan tetapi karena mengharap pamrih kepada manusia.
b. Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain
supaya mendapat penilain dan dihargai misalnya kedudukan di hatinya. Pada
dasarnya
sama dengan ria, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan
sehingga perlu diceriterakan.
c. Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan
keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan
karena tidak didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham tentang ikhlas sebagai nilai landasan
amal manusia supaya bisa menjadi amal shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai
keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin
baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan
keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan
didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:

‫ْوًزن‬ ‫ي وم‬ َ ‫ل نُِقي ُم‬$‫ق فَ َحبَِط َأ ْع ما َف‬$ِ‫َ َو َل‬ ِ ‫ُأوَلئِ َك‬


َ $َِ $َْ $ِ ‫ُْلهم‬ َ ِ ‫اي‬$َ‫ب‬
‫م ة‬$‫اْل قَي َا‬ ‫ُ ُْلهم‬ ‫ْت‬ ‫رم ائِه‬ ‫ال‬
ِ
‫م‬$‫ِْب‬ ‫روا ِت‬$‫ ُف‬$‫ّ ذي َن َ َك‬
:906$)‫(الكهف‬
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat
Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal
mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak (QS.
Al-Kahfi/18: 105)

3. Sabar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi
cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar berasal
dari bahasa arab, yaitu shabara- yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata
lainnya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah
menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar dengan aneka ragam
derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti
“menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”.
Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang
terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu
yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain:
(1). Shabar adalah sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah. Orang
yang
sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada, (2). Sabar adalah
keteguhan hati yang mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi
dorongan-dorongan nafsu syahwat. (3). Shabar adalah tabah hati tanpa mengeluh
dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam
rangka mencapai tujuan.
Ada juga yang memahami bahwa shabar bermakna kemampuan
mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padananan nama yang berbeda-
beda sesuai dengan objeknya: (1). Shabar adalah ketabahan menghadapi musibah,
sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar, (2). Shabar itu
dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi dan menahan diri dari godaan
hidup yang menyenangkan, (3). Shabar dalam peperangan disebut pemberani,
kebalikannya disebut pengecut, (4). Shabar dalam menahan marah disebut santun
(hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur), (5). Shabar dalam menghadapi
bencana yang mencekam disebut lapang dada (ridha), (6). Shabar dalam
mendengar gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia, (7). Shabar terhadap
kemewahan disebut zuhud, dan (8). Shabar dalam menerima yang sedikit disebut
kaya hati (qana‟ah) kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat difahami bahwa shabar itu
merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri untuk dapat tetap taat
terhadap aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat dalam menjalankan perintah
Allah Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima cobaan, pada waktu tertentu
mulai dari awal sampai selesai. Seperti shabar mengerjakan shalat berarti mulai
takbiratul ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia
tidak melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam.
Dan shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal
sampai akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal
shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya apa shabar ada batasnya? Jawabnya
“Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada batasnya berarti sesuatu itu belum
jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih bersifat umum atau mutlak. Dan
sesuatu yang masih bersifat umum atau masih mutlak atau syubhat itu harus
ditinggalkan, tidak boleh diamalkan sampai ada dalil yang mentakhshish dan
mentaqyidnya sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar
tidak ada batasnya adalah QS. Ali Imran/3: 200 sebagi berikut:

900)‫وات عمران‬ ِ‫ها ْ َو وراب‬$‫َاي َأي َو‬


: َ ََ
Artinya: ‫قوا ا‬$ُ
ّ ‫ال ص َصا ُبِروا ُطوا‬
‫ّ ِذي ن آ مُنوا ا ُبوا‬
َّّ ‫ل‬ $َ َ
‫ل‬
َ
‫َل عل‬

ِ
‫فل حو َن (ال‬$ْ‫ّ ُك م ُت‬
ُ ْ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah terus bersabar dan tetaplah dalam
kesabaran. Bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam kesabaran, karena ayat ini konteknya adalah
dalam kondisi perang yang maksudnya yaitu tetap shabar sampai perang berakhir.
Tidak boleh melanggar strategi dan aturan-aturan perang sesuai dengan hukum
yang ditetapkan Allah. Sama dengan tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat
sampai shalat berakhir. Apabila melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal
yang salah, batal dan rusak. Dan berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya
kepada Allah. Sebab itu shabar memerlukan pengetahuan yang cukup tentang
apa yang sedang diamalkan. Mustahil orang yang bodoh akan dapat shabar,
karena kemungkinan besar ia akan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan
sebab tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS. tidak bisa shabar mengikuti Nabi
Khidir AS., dikarenakan Nabi Musa tidak mengetahui apa maksud dan apa yang
akan terjadi.
Allah Swt. berfirman:

‫خ‬ ْ َُ
$$ً ْ ُ َ َ ْ َ ‫ي‬$‫ََو ْك‬
‫ط‬ ‫ف ص على م ل ُِت‬
:66)‫با (كهف‬ َ
‫ه‬$ِ‫ب‬
Artinya:
ْ ‫ا‬ ‫َت ُب‬
“Bagaimana mungkin engkau dapat bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu
persis masalahnya”

4. Syukur
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan
sebagainya). Sebenarnya kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk
mashdar dari kata kerja syakara–yasykuru–syukran–wa syukuran–wa syukranan..
Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga
berarti menampakkan sesuatu kepermukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu
kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya.
Dalam
hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi-
Nya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah. M. Quraish
Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan
hati, yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni
dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan
perbuatan, yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan
tujuan penganugerahannya.
Kaitannya dengan amal shalih syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang
ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
hamba di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas
maka harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka
harus bersyukur. Dalam perspektif amal shalih keduanya (shabar dan syukur)
kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah
tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah Saw. bersabda:

‫ؤِم‬$‫ر اْل ْم‬$ِ‫ت ِم ن َأم‬ ِ


ُ ِ $ْ ْ ُ َ ‫ل لال‬$‫َر ُس ُو‬ ‫ي ب َقا‬$‫ه‬ ْ َ ‫َع ْ ن ُص‬
‫ إ َّن َأمر‬،‫ِن‬ ‫َصل ع‬ ‫ َقا َل‬:‫َل‬
$َ $ْ
ِ $ِ
ْ ‫ّى ُلال َعَْلي ه َو‬
‫ب‬$‫ج‬
‫َسل‬
" :‫م‬$َّ
‫ َكا َن‬،‫ر‬$‫راُء َش َ َك‬$َّ‫ إِ َس‬،‫ؤِم ِن‬$‫َك ِ َْل َح د إَِّال لِْل ُ ْم‬ ِ ِ
َ ‫ؤم ن‬$‫اْل ُ ْم‬
‫َذِل َك ل َُه‬ ‫تُه‬$ْ‫ْن َأ َصاَب‬ ‫ُ كل س‬
ِ‫ وَلي َذل‬،‫ّه َله خ ري‬
ْ َ $ْ َ ُ ُ
‫ يرا ("رواه‬$‫ْخ‬ َ َ ‫تُه َ َك‬$ْ‫ وإِ ْن َأ صاب‬،‫ يرا‬$‫َ ْخ‬
$ً َ َ َ َ ً
Artinya: ِ
‫راء فَ ص ا ذل ك‬$ّ‫َ َض‬
)‫امحد‬ $َ ُ
‫َلُه‬ ‫َن‬
،‫ب‬
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap urusan
orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi kebaikan, dan itu
tidak dapat terjadi keculi bagi orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan
lalu ia bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan kebaikan baginya. Dan
jika ia ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang demikian itu juga menjadi
kebaikan (HR. Ahmad)
Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi kebaikan
bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah. Karena memang
tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan nilai ibadah itu
bentuknya adalah amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu menjadi hamba yang
shalih dalam kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan maupun sedang dalam
kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang yang beriman itu sama
kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca teks di atas? Sudah
nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.

5. Ridha
Menurut bahasa kata ‫الرضا‬/ridha berasal dari bahasa Arab yang berarti
senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata ‫خط‬77‫الس‬/al-sukht yang berarti
kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang ‫الرضا‬/ridha berarti orang yang
sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di
dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama ridha didefinisikan antara lain oleh; (1). Dzunnun
Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha ialah kegembiraan hati dalam menghadapi
qadha tuhan, (2). Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa ridha adalah menerima
kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi,
atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau
lapang dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah, (3). Al-
Barkawi berpendapat bawa ridha adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang
menimpanya dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah as-Sakandari
berkata, “ridha adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk
hamba-Nya, yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat difahami bahwa ridha itu merupakan
kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada
atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba, baik
berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’. Ia akan
senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap seperti
inilah yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi Allah Swt.
dan merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya
sebenarnya merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi
dia ridha dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan
balasan atas musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya
dan tidak gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha bukan berarti tidak
merasakan bencana. Akan tetapi, ridha itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri
mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang
seperti
inilah yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha sadar bahwa
penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk
yang berbeda-beda. Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya
rencana dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini sebagai
ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima dan mensikapi
dengan senang hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian terhadap manusia,
karena seseorang yang berusaha mencari ridha Allah tidak peduli terhadap
komentar apapun dari orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya
sakit hati, sehingga hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal shalih? Ridha terhadap keputusan
Allah Swt. merupakan syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang
tidak ridha dengan keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah
sebagai Tuhannya. Dan berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan dihitung
dalam perhitungan di yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak ridha dengan
akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari Anas bin
Malik sebagai berikut:

‫من‬
ْ َ ‫ه و‬$ِ‫عَلي‬
َ ْ َ ‫َصل‬ ‫ُت َر‬ ْ ‫عن َأنس بِ ْن َ ك َقا‬
‫َسل‬ ‫ّى ا‬ ِ‫ل لال‬$َ‫سو‬ ‫ ع‬:‫ماِل َل‬
ُ
" :‫عا َىل‬$‫ َقا َل ُلال َت‬:‫ل‬$ُ‫قو‬$‫ّ َم َ ُي‬ َّّ ‫ل‬ ‫ََِس‬
‫ُل‬
‫ يري ("رواه‬$ِ$‫َ ْغ‬ ‫د ِري ف‬$‫َوَق‬ ِ‫ُائ‬
َ َ ‫ر‬$ْ‫َْل َي‬
ْ َ
Atinya: )‫البيهقي‬ ‫لَت ِم س‬$ْ‫لَي‬$ْ ‫ض ي‬
‫ًَّرِب‬ ‫ق‬$ِ‫َب‬
Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. bersabda,
Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdirku,
maka hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan selain Aku” (HR.
Baihaki)

Anda mungkin juga menyukai