Anda di halaman 1dari 45

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Embung merupakan bangunan sumber daya air yang berbentuk kolam

yangberfungsi untuk penyimpanan dan penyediaan air, untuk tujuan pertanian,

perkebunan dan peternakan. Embung merupakan waduk berukuran kecil yang

terdapat di permukiman yang dibangun untuk menampung kelebihan air pada

musim hujan dan dapat digunakan sebagai sumber air pada musim kemarau

(Irianto, 2007).

Di kota Pekanbaru terdapat embung yang berada di dekat terminal Payung

Sekaki. Embung dibangun pada tahun 2015. Tujuan pembangunan embung ini

adalah untuk mencegah banjir karena terminal tersebut adalah lahan basah yang

jenuh akan air karena merupakan daerah rawa-rawa. Embung AKAP memiliki

luas ± 8.694 m2 dengan kedalaman ± 2,5 m.

Areal di sekitar Embung AKAP dimanfaatkan untuk perkebunan seperti

kebun pisang dan sayur mayur seperti kangkung dan bayam. Selain itu, Embung

AKAP dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata antara lain memancing dan

sebagaitaman rekreasi.

Peruntukan Embung AKAP di Kota Pekanbaru belum dimanfaatkan secara

optimal. Berbeda dengan Embung Pangandaran di Jawa Barat yang dibangun oleh

KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) yang telah memiliki 3 aspek penting,

yakni dari segi ekonomi, lingkungan dan estetika. Untuk melihat pemanfaatan

embung tersebut untuk tujuan perikanan dapat dilihat dari status trofik dari

perairan embung tersebut.


2

Status trofik suatu perairan dapat dilihat dari parameter fisika (kecerahan),

kimia (nitrat dan fosfat) dan biologi (fitoplankton dan klorofil-a).Apabila hanya

menggunakan satu parameter dapat memberikan status trofik yang berbeda antara

satu parameter dengan parameter lainnya. Oleh karena itu digunakan aplikasi

dengan menggunakan indeks. Ada beberapa indeks yaitu Indeks TSI

menggunakan pendekatan kimia, fisika dan biologi. Indeks TRIX menggunakan

pendekatan kimia dan biologi.Indeks Nygard menggunakan pendekatan

biologi.Masing-masing Indeks memiliki kelebihan dan kekurangan.Indeks Nygard

lebih permanen tetapi membutuhkan kemampuan untuk identifikasi. Indeks TSI

seringkali memberikan hasil yang berbeda.Pada penelitian ini digunakan Indeks

TRIX.

Indeks TRIX merupakan indeks yang menggabungkan beberapa parameter

yaitu parameter kimia dan biologi untuk menentukan status trofik.Indek TRIX

memiliki kelebihan yaitu dapat menggambarkan distribusi unsur hara, dapat

digunakan pada perairan tawar ataupun air laut. Parameter yang digunakan saling

berkaitan dan dapat menentukan status trofik secara spasial maupun temporal

serta parameter yang digunakan lebih banyak sehingga lebih representative.Oleh

karena itu penelitian mengenai status trofik Embung AKAP perlu dilakukan

berdasarkan Indeks TRIX.

1.2. Rumusan Masalah

Berbagai aktivitas yang ada di sekitar Embung AKAP memberikan

masukan yang berupa bahan organik dan anorganik. Di perairan bahan organik da

n anorganik ini akan didekomposisi oleh bakteri menjadi unsur hara. Dengan

demikian jika masukan bahan organik dari sekitar embung meningkat,maka akan
3

mempengaruhi konsentrasi unsur hara di perairan. Unsur hara yang berubah akan

mempengaruhi status trofik atau status kesuburan perairan. Padahal perairan

Embung AKAP digunakan sebagai pengendali banjir, sebagai tempat rekreasi dan

juga sebagai tempat memancing karena dalam embung tersebut terdapat beberapa

jenis ikan. Sebagai tempat rekreasi, memancing dan kehidupan ikan dibutuhkan

kualitas air yang baik. Jika kualitas air menurun akan menyebabkan fungsi

embung sebagi tempat memancing dan rekreasi akan terganggu. Oleh karena itu

penelitian mengenai status kesuburan perairan Embung AKAP berdasarkan

Indeks TRIX perlu dilakukan.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status trofik Embung AKAP

melalui aplikasi Indeks TRIX.Dengan diketahuinya status trofik embung tersebut

manfaat yang diharapkan dapat memberikan informasi awal yang dapat digunakan

dalam pengelolaan dan pemanfaatan Embung AKAP yang berkelanjutan dan

dapat dijadikan sebagai data awal apabila Embung AKAP ini ingin dimanfaatkan

dibidang perikanan.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perairan Embung

Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk

menampung air hujan dan air limpasan (run off) serta sumber air lainnya untuk

mendukung usaha pertanian, perkebunan dan perternakan (Irianto, 2007).

Selanjutnya dikemukakan embung atau tandon air merupakan waduk berukuran

mikro dilahan pertanian yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan

pada musim hujan, yang dapat digunakan sebagai sumber irigasi suplementer

untuk budidaya komoditas pertanian pada musim kemarau.

Embung adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk

berbagai kebutuhan. Embung dapat terjadi secara alami maupun dibuat manusia.

Embung buatan dibangun dengan cara membuat bendungan yang dialiri air

sampai embung tersebut penuh (Fuadi, 2013). Menurut Direktorat Pengelolaan

Air (2010) embung adalah bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk

menampung air hujan dan air limpasan atau air rembesan dari lahan tadah hujan

sebagai cadangan kebutuhan air pada musim kemarau. Selanjutnya Kodoatie et

al., (2010) mengatakan embung adalah bangunan artificial yang berfungsi untuk

menampung dan menyimpan air dengan kapasitas atau volume yang lebih kecil

dari kapasitas waduk/bendungan.

2.2. Status Trofik Perairan

Status trofik perairan adalah deskripsi kualitatif yang menyatakan

konsentrasi hara yang terdapat dalam suatu badan air (Henderson, Seller dan

Markland dalam Rahman, 2010). Menurut Soeprobowati dan Suedy (2010)


5

statustrofik perairan dapat diindikasikan oleh produktivitas primer perairan yang

berhubungan erat dengan kandungan klorofil fitoplankton.

Kondisi perairan yang terlalu subur menyebabkan produksi bahan organik

menjadi berlebihan dan sebagian dapat bersifat toksik pada biota air yang ada

(Heisler et al.2015). Selanjutnya dikemukakan kondisi tersebut dapat menurunkan

kualitas perairan yang dapat menyebabkan kerugian pada aktifitas budidaya yang

sedang berlangsung diperairan. Menurut Wetzel (2001) status trofik suatu perairan

dapat dikelompokkan menjadi oligotrofik, mesotrofik, dan eutrofik. Selanjutnya

dikemukakan bahwa perairan dikatakan oligotrofik (nutrien yang sedikit),

mesotrofik (nutrien sedang) dan eutrofik (nutrien yang tinggi).

Penentuan status trofik dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa

pendekatan antara lain Trophic State Index (TSI), Trophic Index (TRIX), dan

Indeks Nygaard (In). TSI dikemukakan oleh Carlson (1997) dengan menggunakan

biomassa alga sebagai dasar penentuan status kesuburan perairan. Sedangkan

TRIX dikemukakan oleh Volenweider et al.,(1998) dengan menggunakan

parameter-parameter yang berhubungan langsung dengan kesuburan

perairan.Selanjutnya dikemukakan, bahwa parameter yang digunakan dalam

TRIX merupakan parameter yang menggambarkan suatu produktifitas perairan

dan masing-masing parameter yang digunakan memiliki hubungan antara satu

dengan yang lainnya.

2.3. Indeks TRIX

Indeks TRIX merupakan salah satu metode yang digunakan untuk

menentukan status trofik suatu perairan dalam pemantauan kondisi eutrofikasi

(Irawati, 2014). TRIX dikemukakan oleh Volenweider et al., (1998) dengan


6

menggunakan parameter-parameter yang berhubungan langsung dengan

kesuburan perairan. Parameter yang digunakan dalam TRIX adalah parameter

yang menggambarkan produktifitas suatu perairan dan masing-masing parameter

yang digunakan memiliki hubungan antara satu dengan lainnya. Menurut Amalia

(2010) parameter-parameter yang digunakan adalah konsentrasi nutrien (Ndan P),

oksigen saturasi, dan klorofil-a.

Penentuan status trofik dengan Indeks Trix memiliki kelebihan diantaranya

adalah dapat menggambarkan distribusi unsur hara, klorofil dan kecerahan

(Husnah, 2012). Menurut Doods dalam Tammi,2015 pada indeks TRIX parameter

klorofil mewakili produktifitas bahan organik dari fitoplankton maupun

mikroalga. Selanjutnya Boesch et al.,dalam Tammi (2015) mengemukakan

apabila kandungan bahan organik di perairan tinggi maka kandungan oksigen

terlarut merupakan parameter penting dalam menentukan kondisi kritis ketika

status trofik mencapai batas tertinggi. Sehubungan dengan TRIX ini, Tammi

(2015) mengatakan parameter-parameter yang digunakan adalah Disolved

Inorganic Nitrogen (DIN), total fosfor, dan klorofil-a.

2.3.1. Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN)

Nitrogen merupakan kandungan dari protoplasma yang dibutuhkan

fitoplankton untuk mensintesis protein. Nitrogen diperairan terdiri dari dua

golongan yang berbeda bentuknya yaitu nitrogen organik dan nitrogen anorganik

(Boyd dalam Putri et al., 2014).

Nirogen diperairan dapat ditemukan dalam berbagai bentuk diantaranya

ammonia (NH3), ammonioum (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekul N2

dalam bentuk gas. Sumber nitrogen diperairan berasal dari air hujan (presipitasi),
7

fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan limpasan dari daratan dan air tanah

(Wetzel,2001).

Effendi (2003) menjelaskan bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami

transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen, yaitu:

 Asmilasi nitrogen anorganik (ammonia dan nitrat) oleh tumbuhan dan

mikroorganisme untuk membentuk nitrogen organik, misalnya asam amino

dan protein. Proses ini terutama dilakukan oleh bakteri autotroph dan

tumbuhan

 Fiksasi gas nitrogen menjadi ammonia dan nitrogen organik oleh

mikroorganisme. Fiksasi gas nitrogen secara langsung dapat dilakukan oleh

beberapa jenis algae Cyanophyta (blue-green algae) dan bakteri

 Nitrifikasi, yaitu oksidasi ammonia menjadi nitrit dan nitrat. Proses oksidasi

ini dilakukan oleh bakteri aerob yaitu Nitrosomonas. Nitrifikasi berjalan

secara optimum pada pH 8 dan berkurang secara nyata pada pH< 7 .

 Amonifikasi nitrogen organik untuk menghasilkan ammonia selama proses

dekomposisi bahan organik. Proses ini banyak dilakukan oleh mikroba dan

jamur.

Kadar nitrit diperairan alami sekitar 0,001 mg/L dan sebaiknya tidak

melebihi 0,06 mg/L (Canadian Council Of Resource and Environment Ministers,

1987). Selanjutnya Moore (1991) menyatakan bahwa kadar nitrit yang melebihi

0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif.

Untuk kadar ammonia menurut baku mutu kualitas air PP No. 82 tahun 2001

(kelas II) bahwa batas maksimum ammonia untuk kegiatan perikanan adalah ≤

0,02 mg/L. Mackereth et al., dalam Effendi (2003) mengemukakan, penjumlahan


8

dari kadar nitrat (NO3-N), nitrit (NO2-N) dan ammonia (NH3-N) yang terlarut dan

nitrogen organik yang berupa partikulat dan larut menunjukkan nilai total nitrogen

di perairan.

Menurut Goldman and Horne (1983) senyawa nitrogen anorganik terlarut

atau Disolved Inorganic Nitrogen (DIN) terdiri atas nitrat (NO 3), nitrit (NO2),

amoniak (NH3), ammonium (NH4), dan molekul Nitrogen (N2) dalam bentuk gas.

Selanjutnya dikatakan nitrogen kepadatan senyawa yang berwujud terdapat di

udara yang dapat dimanfaatkan oleh organisme perairan melalui proses fiksasi.

Menurut Hartoto (1998) nitrogen sebagai bahan dasar pembuat protein yang

diambil oleh tumbuhan air adalah dalam bentuk ammonia atau nitrat.

Wetzel (2001) mengemukakan bahwa sumber nitrogen secara alami

berasal dari air hujan, fiksasi nitrogen dari air dan sedimen, dan dapat berasal dari

limpasan dari daratan dan air tanah. Selanjutnya Goldman dan Horne (1983)

menyatkan bahwa nitrogen di perairan dapat berasal dari limbah pertanian,

pemukiman dan limbah industri.

Nitrat (NO3) adalah nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien

utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut

dalam air dan bersifat tidak stabil (Effendi, 2003). Kadar nitrat-nitrogen yang

lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan)

perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air

secara pesat (blooming). Berdasarkan kandungan nitrat, Effendi (2003)

mengelompokkan tingkat kesuburan perairan yaitu, perairan oligotrofik memiliki

kadar nitrat 0-1 mg/L, perairan mesotrofik kadar nitrat 1-5 mg/L dan perairan

eutrofik kadar nitrat > 5 mg/L


9

2.3.2. Total P

Total P adalah salah satu nutrien yang penting untuk mengetahui proses

eutrofikasi. Wardoyo dalam Insan (2009) mengemukakan fosfor merupakan unsur

esensial bagi pembentukan protein dan metabolisme sel organisme. Fosfor

terdapat dalam bentuk senyawa orthofosfat (PO4)3-, metafosfat (P3O9)3- dan

polifosfat (P3O10)5-.

Orthofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh

tumbuhan. Fosfat yang berada dalam perairan umumnya ditemukan dalam bentuk

senyawa organik dan anorganik. Senyawa anorganik berada dalam bentuk

senyawa fosfat dan polifosfat, sedangkan yang berbentuk senyawa organik berupa

gula fosfat dan hasil-hasil oksidasinya, merupakan senyawa yang tidak mudah

terurai (Effendi, 2003).

Keberadaan fosfat di perairan penting dalam proses fotosintesis dan

metabolisme organisme (Boyd, 1982). Selanjutnya dikemukakan bahwa fosfat

penting untuk transformasi di dalam air. Menurut Perkins dalam Effendi (2003),

kandungan fosfat di perairan pada umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/L, kecuali

pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu,

serta dari daerah pertanian yang melakukan pemupukan. Oleh karena itu, perairan

yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal

organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi.

Sumber utama fosfat di perairan menurut Suharsanto (2003) berasal

daridekomposisi organisme, buangan dari hewan, penggunaan deterjen, alat

pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk
10

pertanian. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi

fosfatorganik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat energi.

Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang

menentukan produktifitas badan air (Insan, 2009).

Goldman dan Horne (1983) mengelompokkan kesuburan perairan

berdasarkan konsentrasi total-P atas lima tingkatan yaitu 0,000-0,020 mg/L

merupakan perairan yang tingkat kesuburannya sangat rendah (ultra-oligotrofik),

0,021-0,050 mg/L merupakan tingkat kesuburan rendah (oligotrofik), 0,051-0,100

mg/L merupakan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik), 0,110-0,200 mg/L

merupakan tingkat kesuburan subur (eutrofik) dan >0,200 mg/L merupakan

tingkat kesuburan sangat subur (hipereutrofik).

2.3.3. Oksigen Saturasi

Oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen yang terlarut dalam suatu

perairan yang dinyatakan dalam mg/L (Barus, 2001). Selanjutnya dikemukakan

oksigen yang terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton

atau tanaman air lainnya dan difusi udara.

Kordi dan Tancung (2005) menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai

oksigen terlarut erat hubungannya dengan pergerakan air pada suatu perairan.

Oksigen terlarut dalam suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi organisme

akuatik dalam melakukan aktifitas. Menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan

menyebabkan terganggunya ekosistem perairan dan mengakibatkan semakin

berkurangnya populasi biota. Kadar oksigen terlarut dalam air permukaan berkisar

antara 4,82 - 7,42 mg/L dan di dasar berkisar antara 3,32 - 7,17 mg/L (Effendi,

2003)
11

Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut bervariasi tergantung pada

suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Selanjutnya dikemukkan

kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung

pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan

limbah yang masuk ke badan air.

Menurut Gusrina (2008) konsentrasi oksigen terlarut yang baik untuk

kelangsungan hidup makhluk hidup di perairan tropis adalah 5-6 mg/L, sedangkan

pada perairan beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh.

Menurut Insan (2009) untuk persen satutasi oksigen terlarut dapat dihitung dengan

membandingkan kadar oksigen yang terukur (actual) dengan kadar oksigeb

teoritis pada suhu saat pengukuran yang kemudian dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

Kadar Oksigen Terukur


Oksigen Saturasi ( % )= x 100 %
Kadar Oksigen Teoritis

Hubungan antara kadar oksigen terlarut saturnasi dan suhu pada tekanan

udara 760 mmHg dapat dilihat berdasarkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan Konsentrasi Oksigen Terlarut Jenuh dan Suhu padaTekanan


Udara 760 mmHg

Suhu(oC) Konsentrasi DO(mg/L) Suhu(oC) Konsentrasi DO(mg/L)


0 14,62 21 8,91
1 14,22 22 8,74
2 13,38 23 8,58
3 13,46 24 8,24
4 13,11 25 8,26
5 12,77 26 8,11
6 12,45 27 7,97
7 12,14 28 7,83
8 11,84 29 7,69
9 11,56 30 7,56
12

10 11,29 31 7,43
11 11,03 32 7,3
12 10,78 33 7,18
13 10,54 34 7,06
14 10,31 35 6,95
15 10,08 36 6,84
16 9,87 37 6,73
17 9,66 38 6,62
18 9,47 39 6,51
19 9,28 40 6,41
20 9,09
Sumber : Benson dan Krause dalam Cole (1983)

2.3.4. Klorofil-a

Klorofil-a adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan yang mempunyai

peranan penting dalam berlangsungnya proses fotosintesis (Effendi et al, 2012).

Kandungan klorofil-a dalam suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator

tingkat kesuburan, sebagai indikator kualitas perairan, sebagai petunjuk

ketersediaan nutrien dan sebagai indikator terjadinya eutrofikasi (Gupta dalam

Marlian et al., 2015).

Menurut Salisbury dan Ross (1995) klorofil mempunyai peranan dalam

fotosintesis yaitu menangkap cahaya matahari yang kemudian dengan energi yang

dikumpulkan digunakan dalam sintesis karbohidrat. Selanjutnya dijelaskan

klorofil yang merupakan pusat reaksi fotosintesis adalah klorofil-a, sedangkan

klorofil lainnya berfungsi sebagai pelengkap.

Menurut Insan (2009) klorofil-a adalah klorofil yang dapat dilalui

elektron, dalam hal ini dengan adanya sinar matahari akan mengakibatkan

elektron berpindah dan elektron ini selanjutnya diubah menjadi energi kimia yang

berperan dalam fotosintetis. Menurut Wetzel (2001) 10% biomassa dari

fitoplankton adalah klorofil-a. Sehubungan dengan klorofil-a Gupta dalam


13

Marlian et al., (2015) mengatakan bahwa kandungan klorofil-a dalam suatu

perairan dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan perairan. Barus

(2004) menyatakan bahwa kesuburan perairan berkaitan dengan jumlah klorofil,

komposisi serta perubahan fitoplankton. Laju peningkatan jumlah fitoplankton

dan kandungan klorofil-a merupakan faktor terpenting yang diukur untuk

menduga produktivitas perairan dan mempunyai hubungan positif antara total

fitoplankton dan klorofil-a.

Hakanson dan Bryann dalam Marlian et al., (2015), membagi tingkatan

status trofik atau tingkat kesuburan perairan berdasarkan klorofil-ayaitu

oligotrofik, mesotrofik, eutrofik, dan hipertrofik. Kriteria kesuburan perairan

berdasarkan kandungan klorofil-aini adalah jika kandungan klorofil-a<2 mg/L

dikategorikan ke dalam perairan oligotrofik, perairan dengan kandungan klorofil-

a 2-6 mg/L dikategorikan ke dalam perairan mesotrofik, perairan dengan

kandungan klorofil-a 6-20 mg/L dikategorikan ke dalam perairan eutrofik dan

perairan dengan kandungan klorofil-a>20 mg/L, dikategorikan ke dalam perairan

hipertrofik.

2.4. Parameter Kualitas Air Pendukung

2.4.1. Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan suatu kondisi yang menggambarkan suatu

kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk menembus permukaan air sampai

kedalaman tertentu. Kecerahan ditentukan secara visual dengan menggunakan

pinggan Secchidan nilainya dinyatakan dalam satuan meter (Parson dan Takashi

dalam Insan, 2009).


14

Effendi (2003) mengemukakan bahwa kecerahan air bergantung pada

warna, kekeruhan air dan besaran nilai kecerahan dapat diidentikkan dengan

kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerahan antara lain keadaan cuaca, waktu

pengukuran padatan tersuspensi dan kekeruhan.

2.4.2. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengaturan seluruh

proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu perairan dipengaruhi oleh

musim, siklus udara, aliran, dan kedalaman suatu perairan (Effendi, 2003).

Menurut Wardhana (2004), kadar oksigen terlarut dalam air akan turun bersamaan

dengan kenaikan suhu, makin tinggi kenaikan suhu air maka sedikit oksigen

terlarut di dalamnya.

Barus (2001) mengemukakan, suatu perairan dipengaruhi oleh intensitas

cahaya, pertukaran panas antara air dengan udara, ketinggian geografis dan

penutupan vegetasi dari pepohonan yang tumbuh. Sehubungan dengan suhu ini

Nurdin (2002) mengatakan suhu yang baik untuk kehidupan organisme perairan

berkisar dari 26℃-30,6℃ .

2.4.3. Derajat Keasaman (pH)

Hehanusa dan Haryani (2001) menyatakan bahwa pH adalah nilai absolut

dalam logaritma desimal dari konsentrasi ion hidrogen, sebagai indikator

keasaman. Derajat keasaman perairan akan mempengaruhi daya tahan organisme.

Kondisi asam maupun basa akan membahayakan kelangsungan hidup

organisme karena bisa menyebabkan terjadinya gannguan metabolisme dan

respirasi. Nilai pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai


15

senyawa logam berat yang bersifat toksik yang dapat mengancam kelangsungan

hidup organisme akuatik. Nilai pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan

antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH

diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang bersifat sangat toksik

bagi organisme (Barus, 2001).

Pescod dalam Sihombing (2013) menyatakan bahwa batas toleransi

organisme perairan terhadap pH bervariasi dan bergantung pada faktor biologi,

fisika dan kimia.Menurut Effendi (2003) pH yang mendukung kehidupan

organisme perairan adalah 5-9. Apabila kurang dari nilai tersebut maka

kehidupan organisme di perairan akan terganggu.


16

III.METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulanNovember2018 di Embung AKAP

Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru. Analisis kualitas air dilakukan di

lapangan dan di Laboratorium Produktifitas Perairan Fakultas Perikanan dan

Kelautan Universitas Riau.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain GPS, water sampler, meteran, tali,

pemberat, kertas pH, termometer, kertas label, kertas saring whatman 42 dan

kertas saring miliphore, alat titrasi, pipet tetes, Elenmeyer, autoclave, sentrifuge,

cool box, botol sampel, vacump pump, botol BOD, indikator pH, gelas ukur,

corong, tabung reaksi, Secchi disk, spektrofotometer, kamera digital, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini bahan kimia antara lain

larutan MnSO4, MgCO3, NaOH-KI, Na-thiosulfat, Brucine, H2SO4 pekat, amilum,

K2S2O8,indikator pp 0,2%fenol alkohol, sulfanilamide, H2SO4 5N, larutan SnCl2,

ammonium molibdate, dan aseton. Alat dan bahan yang digunakan dalam

penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan

melakukan pengamatan langsung di Embung AKAP, dimana perairan

EmbungAKAP Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru dijadikan sebagai

lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

Data primer terdiri dari data lapangan berupa data kualitas air, baik yang diamati
17

di lapangan maupun dianalisis di laboratorium. Data sekunder berupa data yang

diperoleh dari instansi terkait dan dari literatur yang berkaitan dengan penelitian.

Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah Dissolved Inorganic Nitrogen

(DIN), Total P, Oksigen Saturasi dan Klorofil-a sebagai parameter utama

sedangkan suhu, kecerahan, dan derajat keasaman (pH) sebagai parameter

pendukung. Parameter yang diukur, satuan dan metode yang digunakan pada

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter Kualitas Air yang Diukur, Metode dan Tempat Analisis
Sampel

No Parameter Satuan Metode TempatAnalisis


Sampel
A Fisika
0
1. Suhu C Pemuaian Lapangan
2. Kecerahan Cm Pemantulan cahaya Lapangan
B Kimia
1. pH - Perubahan warna Lapangan
2. Nitrat mg/L Kolom Cu-Cd Laboratorium

3. Nitrit mg/L Stannous Chloride Laboratorium


4. Ammonia mg/L Phenate Laboratorium
5. Oksigen mg/L Winkler Lapangan
Saturasi
6. Total P mg/L Digestion Laboratorium
C Biologi
1. Klorofil-a ug/L Aseton Laboratorium

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1. Lokasi Pengambilan Air Sampel


Penentuan lokasi pengambilan sampel dilakukan dengan memperhatikan

kondisi dilokasi penelitian, sehingga dapat mewakili kondisi embung secara

keseluruhan. Stasiun penelitian ditetapkan tiga yaitu disekitar air masuk (inlet),

bagian tengah embung dan zona air keluar.Kriteria masing-masing stasiun adalah

sebagai berikut:
18

Stasiun 1 : Di sekitar air masuk (inlet), lokasi ini merupakan daerah masukan air

hujan. Di sekitar lokasi ini terdapat jalan raya dan berbagai pepohonan

serta terdapat berbagai macam tumbuhan air.Stasiun ini berada pada

titik koordinat 0030’06.51” LU-101023’15.19” BT

Stasiun 2 :Lokasi ini merupakan bagian tengah Embung AKAP. Lokasi ini

merupakan perairan terbuka, sehingga sinar matahari dapat langsung

menembus ke dalam perairan. Lokasi ini dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai tempat memancing ikan. Stasiun ini berada pada

titik koordinat 0030’05.83” LU-101023’17.22” BT.

Stasiun 3:Di sekitar air keluar(outlet) lokasi ini merupakan outlet berada di ujung

embung di bagian pinggir waduk terdapat berbagai macam tumbuhan

air. Stasiun ini berada pada titik koordinat 0 030’06.76” LU-

101023’19.12” BT. Untuk lebih jelasnya sketsa pengambilan sampel

dapat dilihat pada Gambar 1.Kondisi stasiun di lapangan dapat dilihat

pada Lampiran 3.

Gamb

ar 1. Sketsa Pengambilan Sampel


19

3.4.2 Waktu Pengambilan Air Sampel

Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 1

minggu. Waktu pengambilan sampel mulai jam 09:00 WIB sampai 12:00 WIB

Sampel air untuk analisa DO dan CO 2 diambil menggunakan botol BOD dan

dianalisa langsung di lapangan menurut APHA (2012), Sampel untuk analisa

nitrat, nitrit, amonia, dan total-P diambil menggunakan botol sampel kemudian

diawetkan dengan H2SO4 pekat hingga pH menjadi 2. Sampel klorofil-a diambil

menggunakan botol sampel 500 ml kemudian ditutup dengan menggunakan

alumunium foil. Setiap sampel diberi label,disimpan dalam coolboxuntuk

dianalisa di laboratorium. Untuk pengukuran suhu, pH, oksigen dan kecerahan

langsung diukur di lapangan. Pengambilan sampel hanya di permukaan saja.

3.4.3 Prosedur Pengukuran Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur di lapangan adalah kecerahan, suhu,

derajat keasaman (pH), dan oksigen terlarut. Parameter kualitas air yang diukur di

Laboratorium adalah nitrat, nitrit, amonia, total-P, dan klorofil-a. Untuk lebih

jelasnya prosedur pengukuran kualitas air adalah sebagai berikut.

3.4.3.1 Disolved Inorganik Nitrogen (DIN)

Disolved Inorganik Nitrogen merupakan nutrien yang digunakan dalam

penentuan status trofik berdasarkan Indeks Trix selain DIN ini dapat ditentukan

dengan menjumlahkan nilai konsentrasi nitrit, nitrat, dan amonium yang

dikemukakan oleh Vollenweider et al., (1998). Selanjutnya dikemukakan bahwa

nilai DIN adalah sebagai berikut:


20

DIN (mg/L)= N (N-NO2 + N-NO3+ N-NH3)

Keterangan :
N-NO2 =Konsentrasi Nitrit (mg/L)
N-NO3 = Konsentrasi Nitrat (mg/L)
N-NH3 = Konsentrasi Ammonium (mg/L)

3.4.3.2. Nitrit(NO2-)

Air sampel diambil menggunakan botol sampel dan dimasukkan ke dalam

botol sampel 100 ml. kemudian botol sampel diberi label dan dimasukkan ke

dalam coolbox. Pengukuran nitrit dilakukan di laboratorium yaitu dengan cara air

sampel yang telah diambil terlebih dahulu disaring dengan menggunakan kertas

saring Whatman No.42.

Air sampel yang telah disaring kemudian dipipet sebanyak 15 mL ke

dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 tetes larutan sulfanilamid dan didiamkan

1-2 menit. Selanjutnya ditambahkan 10 tetes larutan N-Naptyl, dikocok dan

didiamkan 5-8 menit dan diukur dengan menggunakan spektrofometer pada λ 543

nm. Selanjutnya larutan blanko diukur dengan spektrofometer pada λ 543 nm

(absorbance 0,00 atau transmittan 100%). Selanjutnya diukur transmittan sampel.

Untuk pengukuran nitrit terlebih dahulu dibuat suatu deret standar dari larutan

standar yang telah diketahui nilai nitritnya dengan merujuk pada APHA (2012).

Larutan standart nitrit dibuat sebagai berikut (Tabel 3).


21

Tabel 3. Pembuatan Larutan Standart Nitrit (APHA, 2012)


ml standar nitrit (5 ppm) yang
ppm nitrit yang akan dibuat diperlukan untuk diencerkan
menjadi 100ml
0,025 0,50
0,05 1,00
0,10 2,00
0,25 5,00
0,50 10,00
0,75 15,00
1,00 20,00

Dari larutan standar diperoleh persamaan regresi y = a + bx; dimana y

adalah nilai konsentrasi nitrit dan x merupakan nilai absorban. Konsentrasi nitrit

pada air sampel diperoleh dengan cara memasukkan nilai absorban ke dalam

persamaan regresi.

3.4.3.3. Nitrat (NO3-)

Pengukuran nitrat dilakukan dengan metode Cu-Cd (APHA, 2012).

Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol sampel 125 ml.

Kemudian ditambahkan 2-3 tetes H2SO4 pekat untuk mengawetkan.Selanjutnya

air sampel yang telah diambil terlebih dahulu disaring dengan menggunakan

kertas saring WhatmanNo.42, lalu air sampel yang sudah disaring dipipet

sebanyak 10 ml ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 4 tetes larutan

EDTA.Kemudian dialirkan larutan melalui kolom reduktor Cu-Cd. Setelah itu

ditambahkan 10 tetes larutan Sulfanilamid dan didiamkan 1-2 menit.Kemudian

ditambahkan 10 tetes larutan N-Naptyl dan didiamkan 5-8 menit kemudian diukur

dengan menggunakan spektrofotometer pada λ 543 nm.Untuk pengukuran nitrat

terlebih dahulu dibuat kurva standar dari larutan standar yang telah diketahui
22

konsentrasi nitratnya yang merujuk pada APHA (2012).Larutan standar nitrat

dibuat dengan konsentrasi pada Tabel 4.

Tabel 4. Pembuatan Larutan Standart Nitrat (APHA, 2012)

ml standar nitrat (5 ppm) yang


ppm nitrat yang akan dibuat diperlukan untuk diencerkan
menjadi 100ml
0,025 0,50
0,05 1,00
0,10 2,00
0,25 5,00
0,50 10,00
0,75 15,00
1,00 20,00

Dari larutan standart diperoleh persamaan regresi y = a+ bx; dimana y

adalah nilai konsentrasi nitrat dan x merupakan nilai absorban. Konsentrasi nitrat

pada air sampel diperoleh dengan cara memasukkan nilai absorban ke dalam

persamaan regresi.

3.4.3.4. Ammonia

Air sampel diambil menggunakan botol sampel dan dimasukkan ke dalam

botol sampel 100 ml. kemudian botol sampel diberi label dan dimasukkan ke

dalam coolbox dan dianalisa di laboratorium.Pengukuran ammonia dilakukan

dengan cara, air sampel yang telah diambil terlebih dahulu disaring dengan

menggunakan kertas saring Whatman No.42. Air sampel yang telah disaring

kemudian dipipet sebanyak 10 mL ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10

tetes larutan pereaksi nessler A dan 10 tetes larutan pereaksi Nessler B.

Selanjutnya dikocok dan disimpan ditempat gelap selama 8-24 jam, dibuat larutan

blanko dengan 5 ml aquades ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan

pereaksi yang sama. Selanjutnya diukur menggunakan spektrofometer dengan λ =

630 nm untuk mendapatkan nilai Absorbance atau transmittan 100%. Untuk


23

pengukuran ammonia terlebih dahulu dibuat suatu deret standar dari larutan

standar yang telah diketahui nilai amonianya dengan merujuk pada APHA (2012).

Larutan standar ammonia dibuat dengan nilai sebagai berikut (Tabel 5).

Tabel 5. Pembuatan Larutan Standar Amonia (APHA, 2012)


ml standar ammonia (5 ppm) yang
ppm ammonia yang akan dibuat diperlukan untuk diencerkan
menjadi 100ml
0,025 0,50
0,05 1,00
0,10 2,00
0,25 5,00
0,50 10,00
0,75 15,00
1,00 20,00

Dari larutan standart diperoleh persamaan regresi y = ax + b; dimana y

adalah nilai konsentrasi amonia dan x merupakan nilai absorbance. Konsentrasi

ammonia pada air sampel diperoleh dengan cara memasukkan nilai absorbance ke

dalam persamaan regresi.

Setelah didapatkan konsentrasi ammonia total, selanjutnya ditentukan

konsentrasi ammonia un-ioninized berdasarkan nilai suhu dan derajat keasamaan.

Konsentrasi ammonium diperoleh dari pengurangan konsentrasi ammonia total

dengan nilai ammonia un-ionized. Konsentrasi ammonia un-ionized dan

perhitungan konsentrasi ammonium merujuk pada Tabel 6.


24

Tabel 6. Nilai Un-ionized Amoniak Berdasarkan Suhu dan pH


Temp pH
O
C 6,50 6,51 6,52 6,53 6,54 6,55 6,56 6,57 6,58 6,59 6,60
28,0 0,021 0,227 0,232 0,237 0,243 0,248 0,254 0,260 0,266 0,272 0,279
28,2 0,024 0,230 0,235 0,240 0,246 0,252 0,258 0,264 0,270 0,276 0,282
28,4 0,228 0,233 0,238 0,244 0,249 0,255 0,261 0,267 0,273 0,280 0,286
28,6 0,231 0,236 0,242 0,247 0,253 0,259 0,265 0,271 0,277 0,284 0,290
28,8 0,234 0,239 0,245 0,251 0,256 0,262 0,269 0,275 0,281 0,288 0,294
29,0 0,237 0,243 0,248 0,254 0,260 0,266 0,272 0,279 0,285 0,292 0,298

29,2 0,240 0,246 0,252 0,258 0,264 0,270 0,276 0,282 0,289 0,296 0,303
29,4 0,244 0,249 0,255 0,261 0,267 0,273 0,280 0,286 0,293 0,300 0,307
29,6 0,247 0,253 0,259 0,265 0,271 0,277 0,284 0,290 0,297 0,304 0,311
29,8 0,251 0,256 0,262 0,268 0,275 0,281 0,288 0,294 0,301 0,308 0,315
30,0 0,254 0,260 0,266 0,272 0,278 0,285 0,291 0,298 0,305 0,312 0,320

30,2 0,257 0,263 0,270 0,276 0,282 0,289 0,295 0,302 0,309 0,317 0,324
30,4 0,261 0,267 0,273 0,280 0,286 0,293 0,300 0,306 0,314 0,321 0,328
30,6 0,265 0,271 0,277 0,283 0,290 0,297 0,304 0,311 0,318 0,325 0,333
30,8 0,268 0,274 0,281 0,287 0,294 0,301 0,308 0,315 0,322 0,330 0,337
31,0 0,272 0,278 0,285 0,291 0,298 0,305 0,312 0,319 0,327 0,334 0,342

31,2 0,276 0,282 0,288 0,295 0,302 0,309 0,316 0,324 0,331 0,339 0,347
31,4 0,279 0,286 0,292 0,299 0,306 0,313 0,321 0,328 0,336 0,343 0,351
31,6 0,283 0,290 0,296 0,303 0,310 0,318 0,325 0,332 0,340 0,348 0,356
31,8 0,287 0,294 0,300 0,307 0,315 0,322 0,329 0,337 0,345 0,353 0,361
32,0 0,291 0,298 0,304 0,312 0,319 0,328 0,334 0,342 0,349 0,358 0,366

32,2 0,295 0,302 0,309 0,316 0,323 0,331 0,338 0,346 0,354 0,362 0,371
32,4 0,299 0,306 0,313 0,320 0,327 0,335 0,343 0,351 0,359 0,367 0,376
32,6 0,303 0,310 0,317 0,324 0,332 0,340 0,347 0,356 0,364 0,372 0,381
32,8 0,307 0,314 0,321 0,329 0,336 0,344 0,352 0,360 0,369 0,377 0,386
33,0 0,311 0,318 0,326 0,333 0,341 0,349 0,357 0,365 0,374 0,382 0,391

33,2 0,315 0,322 0,330 0,330 0,345 0,353 0,362 0,370 0,379 0,387 0,396
33,4 0,319 0,327 0,334 0,342 0,350 0,358 0,367 0,375 0,384 0,393 0,402
33,6 0,324 0,331 0,339 0,347 0,355 0,363 0,371 0,380 0,389 0,398 0,407
33,8 0,328 0,336 0,343 0,351 0,360 0,368 0,376 0,385 0,394 0,403 0,413
34,0 0,332 0,340 0,348 0,356 0,364 0,373 0,381 0,390 0,399 0,409 0,418

34,2 0,337 0,345 0,353 0,361 0,369 0,378 0,387 0,396 0,405 0,414 0,424
34,4 0,341 0,349 0,357 0,366 0,374 0,383 0,392 0,401 0,410 0,420 0,429
34,6 0,346 0,354 0,362 0,371 0,379 0,388 0,397 0,406 0,416 0,425 0,435
34,8 0,350 0,359 0,363 0,375 0,384 0,393 0,402 0,412 0,421 0,431 0,441
35,0 0,355 0,363 0,272 0,380 0,389 0,398 0,408 0,417 0,427 0,437 0,447
Sumber: (Boyd,1982)

3.4.3.5. Total P

Pengukuran Total P dilakukan dengan metode SnCl2 APHA (2012).

Pengukuran total fosfat dilakukan dengan cara air sampel sebanyak 25 ml

dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan 2 kali pengulangan. Kemudian pada


25

masing-masing tabung reaksi ditambahkan 0,5 ml H2SO4 30% dan 4 ml K2S2O8.

Selanjutnya dimasukkan ke dalam autoclavedengan suhu 100℃ selama 30 menit,

ditunggu hingga dingin. Setelah dingin ditambahkan 3 tetes indikator pp 0,2% dan

dinetralkan dengan NaOH 10 N hingga berwarna merah muda. Kemudian sampel

yang sudah dititrasi diukur dengan gelas ukur (a ml), ditambahkan aquades hingga

volume mencapai 25 ml. Selanjutnya dilakukan prosedur penentuan Orthofosfat.

Air sampel 25 ml ditambahkan 0,2 ml ammonium molybdate dan 1 tetes SnCl2.

Ditunggu setelah 10 menit dan sebelum 12 menit, lalu diukur absorbansinya pada

λ = 690 nm. Untuk pengukuran fosfat terlebih dahulu dibuat suatu deret standart

yang telah diketahui. Kurva standart dibuat dengan cara sebagai berikut (Tabel 7).

Tabel 7. Pembuatan Larutan Standar Total P (APHA, 2012)


Ppm nitrat yang akan dibuat ml standard Total P (5 ppm) yang
diperlukan untuk diencerkan
menjadi 100 ml
0,025 0,50
0,05 1,00
0,10 2,00
0,25 5,00
0,50 10,00
0,75 15,00
0,100 20,00

Dari konsentrasi larutan standar diperoleh persamaan regresi y = a + bx,

dimana y adalah nilai konsentrasi dan x adalah absorbance. Untuk memperoleh

konsentrasi fosfat pada sampel, nilai absorbance dimasukkan pada persamaan

regresi.

Konsentrasi Total-P diperoleh dengan rumus :

Total-P (mg/L) = [P] × A/25 ml

Keterangan :

[P] : Konsentrasi P
26

3.4.3.6. Oksigen Terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan metode Winkler yaitu

mengambil air sampel dengan menggunakan botol BOD bervolume 125 ml dan

dijaga agar tidak timbul gelembung udara kemudian ditambahkan MnSO4 1 ml

dan NaOH-KI 1 ml lalu dikocok dan didiamkan sampai terbentuk endapan coklat.

Selanjutnya ditambahkan H2SO4, dikocok sampai semua endapan hilang (warna

menjadi kuning). Sampel air tersebut dimasukkan kedalam Erlenmeyer sebanyak

50 ml dan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 H2O sampai warnanya kuning pucat.

Kemudian ditambahkan 3-5 tetes amilum sampai warna menjadi biru, dititrasi

kembali dengan Na2S2O3 H2O sampai warna biru hilangJumlah titran yang

digunakan dicatat, kemudian konsentrasi oksigen terlarut di hitung menggunakan

rumus menurut APHA (2012), yaitu sebagai berikut:

A x N x 8 x 1.000
DO( mg/L)=
C−D
B x( )
C

Keterangan:
A = Volume titran (Na2S2O3 H2O) yang terpakai
B = Volume sampel yang digunakan (50ml)
C = Volume botol BOD yang digunakan (125 ml)
D = Volume reagen yang terpakai (MnSO4+NaOH-KI+H2SO4)
N = Normalitas thiosulfate (Na2S2O3 H2O) (0,025)
8 = Berat molekul O2
1.000 = Konversi L ke ml

Untuk menentukan nilai oksigen saturasi digunakan rumus dari Tabel 1.

Hal ini dilakukan setelah nilai oksigen terlarut diketahui. Oksigen saturasi

ditentukan menurut Insan (2009) yaitu dengan membandingkan kadar oksigen

teratur (aktual) dengan kadar oksigen teoritis pada satu pengukuran. Rumus

oksigen saturasi adalah sebagai berikut


27

Kadar Oksigen Terukur


Oksigen Saturasi ( % )= x 100 %
Kadar Oksigen Teoritis

3.4.3.7. Klorofil-a

Pengukuran klorofil-a dilakukan dengan mengambil air sampel sebanyak

500 ml dari tiap botol sampel, kemudian disaring dengan kertas saring millipore

menggunakan Vacuum pump. Selanjutnya kertas saring millipore dilipat dan

dimasukkan ke plastik, dan disimpan dalam kulkas selama 24 jam.

Kertas millipore dikeluarkan dari kulkas dan dimasukkan ke dalam test

tube, ditambahkan aseton 90% sebanyak 5ml kemudian digerus sampai halus.

Selanjutnya ditambahkan lagi aseton sebanyak 3,5 ml. Selanjutnya sampel

disentrifuge pada kecepatan 2000 rpm selama 10 menit. Supernatant diambil dan

diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada λ = 665dan 750 nm

(blanko adalah aseton). Konsentrasi klorofil-a dihitung dengan menggunakan

rumus Vollenweider (1969) dalam Boyd (1982) yaitu sebagai berikut:

V 1.000
Klorofil-a ( ug/L) = 11,9 ( A665 - A750 ) × ×
L S

Keterangan :
A665 : Penyerapan spektrofotometer pada λ 665 nm
A750 : Penyerapan spektrofotometer pada λ 750 nm
V : Volume ekstrak aseton yang terpakai (ml)
S : Volume sampel yang disaring (ml)
L : Panjang cahaya atau lebar cuvet (1 cm)
11,9 : Konstanta (ketetapan)
1.000 = Konversi L ke ml

3.4.3.8 Kecerahan
Kecerahan diukur dengan menggunakan Secchi disk yaitu dengan cara

Secchi disk diturunkan ke dalam perairan secara perlahan hingga sampai tidak

terlihat batas antara hitam dan putih pada Secci disk (kedalaman satu/A),
28

kemudian Secchi disk diangkat perlahan hingga terlihat batas warna hitam dan

putih pada Secchi disk (kedalaman kedua/B), untuk mengetahui nilai kecerahan

(K) digunakan rumus sebagai berikut.

A +B
K=
2

Keterangan :
K= Kecerahan (cm)
A= Jarak tampak (cm)
B= Jarak hilang (cm)

3.4.3.9. Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan metode pemuaian yaitu dengan cara

mencelupkan termometer keperairan selama beberapa menit hingga menunjukkan

angka yang konstan, lalu dibaca nilai suhu yang tertera pada termometer tersebut

dan dicatat.

3.4.3.10. Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan menggunakan kertas pH.

Kertas pH dicelupkan kedalam air sampel kemudian dilihat perubahan warna pada

kertas pH dan dicocokkan dengan warna yang ada pada pH indicator, dan hasilnya

dicatat.

3.5. Trophic Index (TRIX)

Untuk menentukan status trofik di perairan digunakan metode Trix

(Vollenweider et al., 1998). Terdapat empat variabel yang perlu diamati pada

metode ini yaitu klorofil-ά, oksigen saturasi, total nitrogen dan total fosfor.

Formula Trophic Index/ TRIX disajikan sebagai berikut :

k
log M −log L
TRIX = ∑
n log u−log L
29

Keterangan :
K = Scaling faktor (10)
N = Jumlah parameter (4)
U = Batas atas (rataan + 2sd)
L = Batas bawah (rataan – 2sd)
N= Nilai rataan

Nilai TRIX berkisar 0 sampai 10. Semakin besar nilai indeks tersebut

semakin tinggi tingkat kesuburan perairan tersebut. Nilai mendekati 10

menunjukkan eutrofikasi yang kuat. Kriteria penentuan status trofik dengan

metode indeks TRIX ini adalah sebagai berikut :

TRIX < 2 = oligotrofik


2 ≤ TRIX < 4 = mesotrofik
4 ≤ TRIX < 6 = eutrofik
TRIX ≥ 6 = hipereutrofik

3.6. Analisis data

Hasil pengukuran kualitas air di lapangan maupun di Laboratorium

ditabulasikan dalam bentuk grafik atau gambar kemudian dibahas secara

deskriptif berdasarkan literatur yang ada sehingga dapat diambil kesimpulan.

Untuk mengetahui status trofik perairan EmbungAKAP, nilai trix yang diperoleh

dari data dibandingkan dengan kriteria nilai indeks status trofik menuruttrophic

indeks (TRIX) .

3.7. Asumsi

Penelitian ini dibatasi dengan beberapa asumsi yaitu ketelitian peneliti

dianggap sama.

IV.
30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Perairan embung yang terletak di kawasan Terminal AKAP merupakan

perairan embung buatan,dibangun pada tahun 2015 yang memiliki fungsi sebagai

media penampung air dan untuk mencegah banjir. Bagian pinggiran embung ini

mulai dari pintu air masuk sampai pintu air keluar sekelilingnya terbuat dari

semen yang lebarnya 2 m.

Perairan embung dibangun satu pintu masuk air (inlet) yang berfungsi

sebagai saluran masuk air pada saat musim hujan dan satu pintu keluar air (oulet)

yang berfungsi sebagai saluran air keluar dengan lebar masing-masing pintu air

0,6 m dan pintu air 1 m yang terbuat dari besi ulir (Balai Wilayah Sungai

Sumatera III Provinsi Riau, 2016).

Secara geografis perairan Embung AKAP berada pada posisi 003005.5”LU-

101023’13,4”BT dengan batasan wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Air Hitam,

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Arengka 2,

 Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Air Hitam,

 Sebelah Timur berbatasan dengan Terminal AKAP Labuh Baru Barat

Pekanbaru.

Selain berfungsi sebagai media penampung air, embung AKAP juga

dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi dan pemancingan.Terdapat beberapa jenis

ikan rawa di embung AKAP seperti ikan mujair, nila, leledan lainnya.
31

4.2. Status Trofik Embung AKAP

Penentuan status trofik Embung AKAP dalam penelitian ini menggunakan

metode TRIX (Trophic Index) yang dikemukakan oleh Vollenweider et al.,

(1998). Dalam metode TRIX ini ada empat parameter yang digunakan yaitu

oksigen saturasi, Dissolved Inorganik Nitrogen (DIN), Total-P dan klorofil-a.

Rata-rata parameter yang digunakan dalam metode ini yaitu oksigen saturasi

berkisar 41,64-58,79%, DIN berkisar 0,37-0,64 mg/L, Total-P berkisar 0,31-0,72

mg/L, dan klorofil-a berkisar 0,31-0,74 µg/L. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Rata-rata Parameter Penentu pada Indeks TRIX


Waktu
Stasiu Sampling Oksigen DIN Total P Klorofil-a
n (Minggu) Saturasi (%) (mg/L) (mg/L) (µg/L)
I 34,59 0.65 1.04 0.17
1 II 54,23 0.18 0.71 0.53
III 48,50 0.65 0.42 0.22
Rata-rata 45,77 0.49 0.72 0.31
I 47,20 0.65 0.37 0.59
2 II 74,56 0.18 0.19 0.90
III 54,63 0.28 0.37 0.72
Rata-rata 58,79 0.37 0.31 0.74
I 34,59 0.38 0.54 0.22
3 II 49,60 0.89 0.52 0.64
III 40,74 0.64 0.34 0.51
Rata-rata 41,64 0.64 0.47 0.46
Sumber : Data Primer

Tabel 8 menunjukkan nilai rata-rata oksigen saturasi yang diperoleh selama

penelitian berkisar 41,64-58,79%, Konsetrasi oksigen saturasi tertinggi terdapat

diStasiun 2 (58,79%) dan terendah di Stasiun 3 (41,64%).Tingginya konsentrasi

oksigen saturasi pada Stasiun 2 dikarenakan nilai oksigen yang tinggi. Tingginya

nilai DO dikarenakan kelimpahan fitoplankton yang tinggi (459.408 sel/L),


32

sehingga DO yang dihasilkan dari proses fotosintesis juga tinggi. Selain itu

disebabkan karena nilai kecerahan yang tinggi dan ketersediaan unsur hara di

stasiun tersebut(Lampiran 4). Karena pada saat kecerahan tinggi (30,33 cm) dan

unsur hara tersedia, maka proses fotosintesis akan berlangsung maksimum.

Akibatnya konsentrasi oksigen terlarut menjadi tinggi dan akhirnya oksigen

saturasi juga tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Zahidah (2006) yang

menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dipengaruhi oleh kedalaman, dan

konsentrasinya akan menurun dengan bertambahnya kedalaman.

Kecerahan yang tinggi di Stasiun 2 karena posisi stasiun yang berada

ditengah-tengah embung. Akibatnya penetrasi cahaya di stasiun ini tidak

terhambat atau langsung keperairan

Selain konsentrasi oksigen saturasi, parameter TRIX yang menentukan

status trofik yaitu konsentrasi DIN. Rata-rata konsentrasi DIN yang diperoleh

selama penelitian berkisar 0,37-0,64 mg/L. Konsentrasi DIN tertinggi ditemukan

di Stasiun 3 dan terendah di Stasiun 2 (Tabel 2). Tingginya konsentrasi DIN di

Stasiun 3 ini diduga karena stasiun ini dekat dengan pemukiman masyarakat,

diduga ada masukan berupa bahan organik maupun anorganik dari pemukiman ke

perairan. Masukan bahan orga\

nik dan anorganik ini dapat menyebabkan konsentrasi nitrat, nitrit dan

amoniak meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Damar dalam Lestari (2013)

yang menyatakan limbah domestik dari aktivitas masyarakat sebagian

menyumbangkan limbah nitrogen anorganik dalam bentuk ammonium.

Rendahnya konsentrasi DIN di Stasiun 2 karena daerah ini merupakan bagian

tengah embung, sehingga di stasiun ini tidak terdapat aktivitas apapun atau relatif
33

terbuka jadi semua masuka swxn-masukan dikaitkan dengan DIN sehingga DIN

rendah.

Wetzel (2001) mengatakan bahwa perairan ultra-oligotrofik jika nilai rata-

rata DIN < 0,2 mg/L, oligo-mesotrofik jika nilai rata-rata DIN 0,2-0,4 mg/L,

meso-eutrofik jika nilai rata-rata DIN 0,3-0,6 mg/L, eutrofik jika nilai rata-rata

DIN 0,5-1,5 mg/L dan hipertrofik jika nilai rata-rata DIN lebih dari 1,5 mg/L. Jika

nilai rata-rata DIN yang diperoleh selama penelitian ini (0,37-0,64 mg/L)

dibandingkan dengan pendapat diatas maka perairan Embung dikategorikan ke

dalam perairan meso-eutrofik.

Konsentrasi total-P rata-rata selama penelitian berkisar 0,31-0,72

mg/L,dimana tertinggi di Stasiun 1 (0,72 mg/L) dan terendah ditemukan di

Stasiun 2 (0,31 mg/L). Tingginya total-P di Stasiun 1 karena adanya masukan dari

pintu air masuk. Sedangkan rendahnya konsentrasi total-P di Stasiun 2 karena

posisi stasiun yang merupakan bagian tengah embung, dan dipinggir stasiun tidak

terdapat aktivitas. Akibatnya masukan ke stasiun ini hampir tidak ada selain dari

Stasiun 1. Wetzel (2001) mengelompokkan perairan menjadi 5 kelompok

berdasarkan konsentrasi total P, yaitu perairan ultra-oligotrofik jika kandungan

total P < 0,005 mg/L, oligo-mesotrofik jika kandungannya 0,005-100,01 mg/L,

meso-eutrofik jika kadungannya 0,01-0,03 mg/L, eutrofik jika kandungannya

0,03-0,1 mg/L dan hipertrofik jika kandungan total P ≥0,1 mg/L. Jika konsentrasi

rata-rata total-P yang diperoleh selama penelitian (0,19-1,04 mg/L) dibandingkan

dengan pendapat diatas maka perairan Embung AKAP dikategorikan ke dalam

perairan hipertrofik.
34

Konsentrasi klorofil-a rata-rata selama penelitian berkisar 0,31-0,74

µg/L,tertinggi ditemukan di Stasiun 2 dan terendah di Stasiun 1. Tingginya

konsentrasi klorofil-a di Stasiun 2 dikarenakan tingginya kelimpahan

fitoplankton(459.408 sel/L) (Lampiran 5) yang menyebabkan biomassa

fitoplankton semakin meningkat atau klorofil-a meningkat karena klorofil-a

terdapat pada fitoplankton (Lampiran 5).Hal ini didukung oleh Linus et al.,

(2016)yang menyatakan bahwa tinggi-rendahya nilai klorofil-a tidak hanya

dipengaruhi oleh keberadaan nutrien yangtinggi namun juga oleh kecerahan

perairan. Rendahnya konsentrasi klorofil-a di Stasiun 1 disebabkan oleh

rendahnya kelimpahan fitoplankton (262.276 sel/L). Hal ini sesuai dengan

pendapat Ardiwijaya dalam Manurung (2014) yang menyatakan bahwa klorofil-a

adalah pigmen yang paling penting yang terdapat dalam fitoplankton, sehingga

dengan mengetahui kelimpahan fitoplankton dapat mengetahui klorofil-a.

Selanjutnya Kennish dalam Mulyadi dan Suryono (2000) menyatakan bahwa

cahaya matahari merupakan faktor lingkungan terbesar yang mempengaruhi

fitoplankton di perairan.

Hakanson dan Bryann dalam Marlian (2015) menyatakan bahwa jika

kandungan klorofil-a < 2 ug/L dikategorikan perairan oligotrofik, perairan

dengan kandungan klorofil-a 2 - 6 ug/L dikategorikan perairan mesotrofik,

perairan dengan kandungan klorofil- a 6 - 20 ug/L dikategorikan eutrofik, dan

perairan dengan kandungan klorofil-a > 20 ug/L dikategorikan pada perairan

hipertrofik. Jika nilai rata-rata klorofil-a yang diperoleh selama penelitian (0,31-

0,74 µg/L) dibandingkan dengan pendapat diatas maka perairan Embung AKAP

dikategorikan ke dalam perairan oligotrofik.


35

Status trofik Embung AKAP menggunakan metode TRIX selama penelitian

berkisar antara 4,79-5,29. Berdasarkan kriteria status trofik menurut Vollenweider

et al., (1998) status trofik Embung AKAP tergolong eutrofik.Untuk lebih jelasnya

rata-rata nilai indeks TRIX selama penelitian di Embung AKAP berdasarkan

stasiun dapat dilihat pada Gambar 2 yang bersumber dari Lampiran 7.

6.00

5.00

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00
1 2 3

Gambar 2. Nilai TRIX Embung AKAP pada Masing-masing Stasiun

Gambar 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata TRIX yaitu berkisar 4,79-5,29.

Tingginya nilai TRIX pada Stasiun 2 (5,29) disebabkan karena tingginya oksigen

saturasi dan klorofil-a pada stasiun tersebut. Tingginya konsentrasi oksigen

saturasi dan klorofil-a di stasiun ini karena kelimpahan fitoplankton yang tinggi

(Lampiran 5). Kelimpahan fitoplankton yang tinggi mengakibatkan konsentrasi

klorofil-a juga tinggi karena klorofil-a merupakan pigmen yang ditemukan pada

semua jenis fitoplankton. Disamping itu, fitoplankton merupakan penyumbang

utama oksigen terlarut di perairan melalui proses fotosintesis. Hal ini sesuai

dengan pendapat Salmin (2005) yang menyatakan bahwa sumber utama oksigen

terlarut berasal dari difusi udara dan hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton.
36

Rendahnya nilai TRIX pada Stasiun 3 (4,79) disebabkan karena rendahnya

oksigen saturasi dan klorofil-a pada stasiun ini. Hal ini sesuai dengan pendapat

Winasis dalam Agustiniet al.,(2014) yang menyatakan bahwa ada dua hal yang

dibutuhkan dalam proses fotosintesis, yaitu ketersedian unsur hara dan cahaya

matahari. Jika unsur hara dan cahaya matahari tersedia maka proses fotosintesis

berlangsung dengan optimal. Selanjutnya Sunarto (2004) menyatakan jika nutrient

tersedia, yang menjadi faktor pembatas adalah cahaya.

Perhitungan dengan menggunakan indeks TRIX seluruh stasiun memiliki

status trofik yang berbeda. Hal ini karena adanya perbedaan nilai dari keempat

parameter yang diukur yaitu oksigen saturasi, DIN, Total P dan klorofil-a (Tabel

8). Adanya perbedaan nilai tersebut disebabkan perbedaan aktivitas yang ada

disekitar perairan.Nilai TRIX yang diperoleh selama penelitan berkisar 4,79-5,29,

maka status trofik perairan Embung AKAP tergolong eutrofik.

4.3. Parameter Kualitas Air Pendukung

Parameter kualitas air pendukung yang diukur di Embung AKAPyaitu suhu

dan derajat keasaman (pH). Data pengukuran kualitas air dalam penelitian ini

dapat dilihat pada Lampiran 4. Untuk lebih jelasnya masing-masing kualitas air

pendukung dibahas lebih lanjut.

4.3.1. Suhu

Suhu rata-rata di Embung AKAP selama penelitian berkisar 29,0-29,7 0C.

Suhu pada Stasiun 1 berkisar antara 27-30 0C, di Stasiun 2 berkisar 28-30 0C dan

pada Stasiun 3 suhu berkisar 29-30 0C. Suhu tertinggi selama penelitian terdapat

di Stasiun 3 diduga karena pengukuran suhu di stasiun ini dilakukan pada siang

hari dimana keadaan intensitas cahaya yang masuk keperairan tinggi sehingga
37

hasil suhu yang diukur tinggi. Untuk lebih jelasnya suhu perairan selama

penelitian di Embung AKAP dapat dilihat pada Gambar 3.

30
25
20
15
10
5
0
1 2 3

Gambar 3. Suhu Embung AKAP pada Masing-masing Stasiun

Dari Gambar 3 dapat dilihat suhu tertinggi di Stasiun 3 (30 0C) dan suhu

terendah di Stasiun 1 dan 2 (290C).Perbedaan suhu yang diperoleh selama

penelitian antara satu stasiun dengan stasiun lainnya tidak berbeda jauh. Hal ini

karena Embung AKAP ini tidak begitu luas sehingga penyinaran matahari di

embung tersebut relatif merata.Selain hal tersebut perbedaan suhu di daerah tropis

pada umumnya tidak bervariasi atau variasinya sempit.Hal ini sesuai dengan

pendapat Satino, (2001) pada ekosistem perairan daerah tropis suhu cenderung

konstan sepanjang tahun, berbeda dengan ekosistem perairan di daerah subtropis,

hal ini berhubungan dengan musim.

4.3.2. Derajat Keasaman (pH)

Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) perairan Embung AKAP selama

penelitian yaitu 5 (asam).Derajat keasaman (pH) selama penelitian di Embung

AKAP berdasarkan stasiun dapat dilihat pada Gambar 5.


38

0
1 2 3

Gambar 4. Derajat Keasaman Embung AKAP Selama Penelitian

Derajat keasaman (pH) di semua stasiun adalah hampir sama atau asam.

Rendahnya pH di perairan embung tersebut dikarenakan sumber air berasal dari

rawa, maka pH rendah. Jika dibandingkan dengan penelitian di Embung Lombok

Tenggah yang memiliki nilai pH asam yaitu 6. Hal ini diduga karena Embung

AKAP dan Embung Lombok Tenggah sama-sama berada di dearah lahan gambut

(Fachrul et al., 2016) .Hal ini sesuai dengan pendapat Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sumber Daya Air (2012) menyatakan kualitas air gambut atau

rawa memiliki karakteristik yang ekstrim yaitu derajat keasaman (pH) berkisar

antara 2,7-4,3.

4.3.3. Kecerahan

Nilai rata-rata kecerahan di Embung AKAP selama penelitian berkisar

24,33-30,33 cm. Rata-rata kecerahan tertinggi di Stasiun 2 (30,33 cm) dan

terendah di Stasiun 1 (24,33 cm) (Gambar 5). Tingginya nilai kecerahan di

Stasiun 2 dikarenakan pada waktu sampling di stasiun ini cuaca cukup cerah.

Rendahnya nilai kecerahan di Stasiun 1 dikarenakan di stasiun ini merupakan

aliran masuk Embung AKAP yang mengakibatkan perairan di stasiun ini menjadi
39

keruh dibandingkan stasiun lainnya sehingga cahaya yang masuk ke perairan

terhambat. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan

bahwa nilai kecerahan perairan dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu

pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang

melakukan penelitian.

35

30

25
Kecerahan (cm)

20

15

10

0
1 2
Stasiun 3

Gambar 5. Kecerahan Embung AKAP Selama Penelitian

Berdasarkan nilai kecerahan, Embung AKAP termasuk ke dalam perairan

yang eutrofik. Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayat dalam Arizuna et al.,

(2014) membagi tingkat kesuburan perairan berdasarkan kecerahan yaitu tipe

oligotrofik > 6 m, tipe mesotrofik 3-6 m, dan tipe eutrofik < 3 m. Apabila nilai

kecerahan perairan dalam penelitian ini dibandingkan dengan pendapat di atas

maka Embung AKAP tergolong eutrofik, karena nilai kecerahan perairannya

berkisar 0,24-0,3 m.

4.4. Pengelolaan Embung AKAP

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Embung AKAP memiliki status

kesuburan yang eutrofik. Tingginya status kesuburan di Embung ini disebabkan

karena kandungan total P yang sangat tinggi.Jika status kesuburan perairan terus
40

meningkat maka dapat membahayakan kehidupan organisme perairan, karena

akan terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut akibat dari blooming

fitoplankton. Akibat dari penurunan oksigen terlarut ini organisme perairan seperti

ikan akan saling memperebutkan oksigen dan tidak dapat mengakibatkan

kematian massal ikan.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesuburan Embung

AKAP yaitu mengurangi kegiatan di sekitar embung, tidak membuang sampah

sembarangan ke embung dan melakukan kegiatan restocking ikan air tawar yang

bersifat herbivore atau pemakan fitoplankton.Hal ini bertujuan untuk mengurangi

atau mencegah blooming fitoplankton. Selain itu diharapkan dengan restocking

ikan yang dilakukan dapat menambah produksi perikanan di Embung AKAP.


41

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan nilai TRIX yang diperoleh selama penelitian disimpulkan

Embung AKAP tergolongeutrofik. Hasil pengamatan kualitas air pendukung

selama penelitian (suhu, kecerahan, dan pH) menunjukkan bahwa perairan

Embung AKAP masih mendukung kehidupan organisme perairan.

5.2. Saran

Penelitian ini dilakukan pada saat tinggi muka air minimum(musim

kemarau) dan tidak diukur bahan organik yang masuk ke perairan. Maka

disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai status trofik pada saat

musim penghujan dan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahan organik

yang masuk keperairan.


42

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, M dan Sri Oetami Madyowati. 2014. Identifikasi dan Kelimpahan


Plankton Pada Budidaya Ikan Air Tawar Ramah Lingkungan. Jurnal
Agroknow. 2(1) ):39-40
Amalia,F.J.2010. Pendugaan Status Kesuburan Perairan Danau Lido,Bogor, Jawa
Barat, Melalui Beberapa Pendekatan.Skripsi. Fakultas Perikanan dan
KelautanInstitut Pertanian Bogor.Bogor(Tidak diterbitkan).

APHA (American Public Health Association). 2012.Standart Method for the


Examination of Water and Wastewater Ed 22th, American Public Control
Federation. Port City Press. Baltimon, Maryland.

Arizuna.2014. Kandungan Nitrat dan Fosfat Dalam Air Pori Sedimen di Sungai
dan Muara Sungai Wedung Demak.Diponegoro Journal of Maquares 3(1):7-
16.

Barus, T.A. 2001.Pengantar Limnologi. Fakultas MIPA USU.Medan.(Tidak


diterbitkan).
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan
Danau. Fakultas MIPA. USU. Medan (Tidak Diterbitkan).
Boyd.C.E.1982.Water Quality Management for Pond and Fish Culture. New
York:Elsevier Sciencetific Publishing Company.
Canadian Council of Resource and Environment Minister, 1987. Canadian Water.
Quality. Canadian Council of Resource and Environment Ministers.
Ontario. Canada.
Carlson, R. E. 1977. A Trophic State Index for Lakes. Journal of Lymnology and
Oceanography.22(2):361-368.

Cole, G. A. 1983. Textbook of Limnology.The C. V. Mosby Company. London


Direktorat Pengelolaan Air. 2010. Pedoman Teknis Jaringan Tingkat Usahatan
(JITUT)/Jaringan Irigasi Desa (JIDES). Direktorat Jendral Pengelolaan
Lahan dan Air. Depatemen Pertanian. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Kanisius . Yogyakarta.
Effendi, R., P. Palloan dan N. Ihsan. 2012. Analisis Konsentrasi Klorofil-a di
Perairan Sekitar Kota Makassar Menggunakan Data Satelit Topex/Poseidon.
Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika 8(3): 279-285.
43

Fuadi. 2013. Adaptasi Tumbuhan terhadap pencemaran logam berat.


(Online).Tersedia:http://letsbelajar.blogspot.com/2007/08/adaptasitumbuhan
-terhadap-pencemaran-logam-berat.html (01 April 2017).

Goldman, C. R. and A. J. Horne 1983. Limnology. Internal Student Edition. Mc.


Graw Hill Internasional Book Compony. Tokyo.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta. 355 hal.
Hartato, D. I. 2000. On Over View of Same Limonology Parameters and
Management Status of Fishery Receives 1 Central Kalimantan REP Suwa
Hydrobial. Limnotek. 12 (4):49-79.

Heisler J, Gilbert PM, Burkholder JM, Anderson DM, W Cochlan, Dennison WC,
Q Dortch, Gobler CJ, Heil CA, Humphries et al.2008. Eutrophication and
25 Harmful Algal Blooms: A Scientific Consensus, J. Harmful Algae.
Doi.10(08):10-.200.
Husnah, 2012. Aplikasi TRIX Indeks dalam Penentuan Status Trofik Didanau
Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Prosiding Seminar
Nasional Limnologi VI.LIPI Puslit Limnologi, Bogor.(Tidak diterbitkan).
Hehanusa, P.E. dan G.S. Haryani. 2001. Kamus Limnologi. Pusat Penelitian
Limnologi. Bogor. (Tidak diterbitkan).
Insan, I. 2009. Status Trofik dan Daya Dukung Keramba Jaring Apung di waduk
Cirata. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
(Tidak diterbitkan).
Irianto, 2007. Pengembangan Sarana Konservasi Air Penunjang Pertanian
Direktorat Pemanfaatan Air Irigasi. Jakarta. Direktorat Jenderal Prasarana
dan Sarana Pertanian Kementian Pertanian.
Irawati, N.2014 Pendugaan Kesuburan Perairan Berdasarkan Sebaran Nutrien dan
klorofil-a di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmu Perikanan dan
Sumberdaya Perairan.7(2):193-200.
Kodoatie, Robert J., dan Roestam, Sjarief. 2010. Tatat Ruang Air. Yogyakarta:
Andi.
Kordi, M. G. dan A. B. Tancung. 2004. Pengelolaan Kualitas Air. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Lestari, F. 2013. Sebaran Nitrogen Anorganik Terlarut di Perairan Pesisir Kota
Tanjung Pinang. Kepulauan Riau. Jurnal Dinamika Maritim. 4(2) : 88-96.
Linus, Y, Salwiyah dan N. Irawati. 2016. Status Kesuburan Perairan Berdasarkan
Kandungan Klorofil-a di Perairan Bungkuoko Kota Kendari. Jurnal
Manajemen Sumberdaya Perairan. 2(1) : 101-111.
44

Marlian, N. D dan H. Effendi. 2015. Distribusi Horizontal Klorofil-a Fitoplankton


Sebagai Indikator Tingkat Kesuburan Perairan di Teluk Meulaboh Aceh
Barat.Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 20(3) : 272-279.

Manurung, A. F. R. 2014. Profil Vertikal Klorofil-a di Danau Pinang Dalam Desa


Buluh Cina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru
(Tidak Diterbitkan).

Moore, J. W. 1991. In Organic Contaminants of Surface Water. Research and


Monitoring Priorities. Springer-Verlag. New York.
Mulyadi, A. dan Suryono. 2000. Migrasi Harian Kopepoda Planktonik di Muara
Sunga Mejid Dumai Dumai Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 5(14) :1-
7.
Nurdin, S.2002. Pengantar Kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan .Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak
diterbitkan).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. 2012. Buku Petunjuk
Perencanaan Irigasi. Bagian Penunjang untuk Standar Perencanaan Irigasi
CV. Galang Persada. Yogyakarta.
Putri, F. D. E, Widyastuti, dan Christiani. 2014. Hubungan Perbandingan Total
Nitrogen dan Total Fosfor dengan Kelimpahan Chrysophyta di Perairan
Waduk Panglima Besar Soedirman, Banjarnegara. Scripta Biological.
1(1):96-101.

Rahman, A. 2010. Penentuan Status Trofiik Waduk Koto Panjang Provinsi Riau
Berdasarkan Kandungan Klorofil-adan Beberapa Parameter Lingkungan.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor. (Tidak Diterbitkan).

Salisbury, dan Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. ITB Press. Bandung.


Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal
Oseana, LIPI Jakarta. 30 (3): 20-25.
Sihombing, S. 2013. Profil Vertikal Fitoplankton di Danau Pinang Luar Desa
Buluh Cina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau.
Soeprobowati, T.R dan S.W.A. Suedy.2010. Status Trofik Danau Rawapening dan
Solusi Pengelolaannya . Jurnal Sains dan Matematiks (JSM).18(4): 158-169.
Suharsanto.2003. Analisis Kandungan Unsur Hara N, P, dan Si Perairan Teluk.
Lampung Pada Bulan Juli, September an November 2001. Skripi Jurusan
Manajeman Sumberdaya Perairan. Fkultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Intitut Pertanian Bogor.
45

Tammi,T. 2015. Analisis Status Trofik di Teluk Pengametan Kabupaten Buleleng


Bali.Thesis. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.Bogor (Tidak diterbitkan).

Vollenweider, R., A. F, Giovanardi. G, Montanari and A, Rinaldi. 1998.


Characterization of The Trophic Conditions of Marine Coastal Waters with
Special Reference to the NW Adriatic Sea: Proposal for a trophic scale,
turbidity and generalized water quality index. Journal Environmetric, 9
(1):329-357.

Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi. Andi.


Yogyakarta.
Wetzel, R.G.2001. Limnology Lakes and Rivers Ecosystems. Academic Press.
San Diego.

Anda mungkin juga menyukai