Anda di halaman 1dari 35

Laporan

Analisis Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Ikan Nila Merah di Perairan


Danau Limboto Berdasarkan Parameter Fisika dan Parameter Kimia

Dosen Pengampuh:
Dr. Ir. Hasim, M.Si

Oleh Kelompok 3:
Feriyanto Arsyad 1111419003
Nuryana Pontoh 1111419018
Siti Amelia Gumohung 1111419024
Haris Liputo 1111419030

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya laporan yang berjudul “Analisis Kesesuaian Lahan untuk Budidaya
Ikan Nila Merah di Perairan Danau Limboto Berdasarkan Parameter Fisika dan
Parameter Kimia” sehingga laporan ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami sangat berharap semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar laporan
ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan laporan ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan laporan ini.

Gorontalo, November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah3
1.3 Tujuan 3
1.4 Manfaat 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Nila Merah 4
2.2 Budidaya Ikan Nila Merah di KJA 8
2.3 Paramater Kualitas Air 11
2.4 Ekosistem Danau 16
BAB III METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Lokasi 18
3.2 Alat dan Bahan 18
3.3 Prosedur Pelaksanaan Praktikum 20
3.4 Analisa Data 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Hasil 22
4.2 Pembahasan 23
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 29
5.2 Saran 29
LAMPIRAN DOKUMENTASI
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Danau Limboto merupakan salah satu aset sumber daya alam yang
terdapat di Provinsi Gorontalo khususnya Kabupaten Gorontalo yang memiliki
peran penting dalam wilayah tersebut khususnya bagi masyarakat yang tinggal di
sekitar Danau Limboto. Danau ini berada di daratan rendah, memiliki 23 sungai
dan anak sungai sebagai inlet, serta hanya memiliki satu out let. Danau Limboto
termasuk dalam kategori danau kritis menurut KLH. Hal tersebut dikarenakan
penyusutan yang terus terjadi di Danau Limboto yang mengancam keberlanjutan
dari danau tersebut. Sedimentasi dari 23 (dua puluh tiga) sungai yang masuk ke
wilayah danau mengakibatkan penyusutan di Danau Limboto dan memicu
perubahan penggunaan lahan pada lahan bekas penyusutan danau. Perubahan
penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi
penggunaan ke penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan
lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya atau berubahnya fungsi
suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto, dkk, 2001 dalam Umar,
dkk, 2018).
Perubahan penggunaan lahan di kawasan danau dapat menyebabkan
berkurangnya luasan danau. Danau merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari
unsur biotik dan abiotik yang terletak di bentangan alam yang bukan merupakan
suatu wilayah administrasi tetapi mempunyai nilai ekologis penting karena
fungsinya sebagai kawasan resapan air, kawasan perlindungan setempat, kawasan
konservasi tanah dan air, dan fungsi hidrologisnya. Luas Danau Limboto yang
telah menyusut menjadi ±3.644,5 Ha pada tahun 1991 mengalami penyusutan
pada tahun 2017 menjadi menjadi ±2.693,9 Ha. Dalam rentang waktu 26 (dua
puluh enam) tahun tersebut luas danau telah menyusut ±950,5 Ha. Lahan bekas
penyusutan danau tersebut kemudian mengalami perubahan penggunaan lahan
dari lahan danau menjadi lahan bukan danau yang dengan kata lain terjadi

1
perubahan penggunaan lahan dari lahan yang memiliki fungsi sebagai kawasan
lindung berubah menjadi kawasan budidaya.
Kualitas air merupakan salah satu bagian penting dalam pengembangan
budidaya perikanan, sehingga analisis kualitas air sangat diperlukan (Panggabean
et al., 2016; Zamzami et al., 2019; dalam Kulla et al., 2020). Pulford et al. (2017)
dalam Kulla et al., 2020 menjelaskan bahwa pemantauan kualitas air danau
merupakan kegiatan yang penting karena danau merupakan penghasil ikan air
tawar dan sarana rekreasi. Monitoring kualitas air danau juga penting sebagai
dasar dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya air (Lihawa &
Mahmud, 2017 dalam Kulla et al., 2020). Kelayakan suatu lokasi perairan umum
merupakan hasil kesesuaian di antara persyaratan hidup dan berkembangnya suatu
komoditas budidaya perikanan terhadap lingkungan fisik perairan umum.
Dalam budidaya ikan air tawar dan laut, ada beberapa jenis wadah yang
dapat digunakan antara lain adalah kolam, bak, akuarium, jaring
terapung/karamba jaring apung. Salah satu sistem perikanan budidaya yang umum
diterapkan di danau ialah Karamba Jaring Apung (KJA). Sistem KJA merupakan
pengembangan dan modifikasi dari sistem karamba yang umumnya digunakan
diperairan sungai. Sistem KJA ialah wadah pemeliharaan ikan dengan jaring yang
sisi-sisinya dilekatkan pada rangka dengan ditopang oleh pelampung (Rochdianto,
1995 dalam Hasim, dkk, 2015).
Sistem KJA ini secara umum di dunia dan di Indonesia berkembang pesat
sejalan dengan pengembangan budidaya perikanan. Kelebihan sistem KJA ialah
mampu menyesuaikan dengan ketinggian perairan. Pada saat air pasang atau
permukaan air naik maka KJA akan mengikuti ketinggiannya dan begitu
sebaliknya pada saat air surut. Beberapa kriteria yang menjadi dasar dalam
menentukan kesesuaian lahan untuk perikaanan budidaya sistem KJA diantranya
suhu, pH, kecerahan, dan kandungan oksigen terlarut
Ikan nila merah (Oreochromis sp.) merupakan salah satu komoditas
perikanan budidaya yang diunggulkan pengembangannya oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP, 2010 dalam Ramadhani, dkk, 2018). Daya adaptasi
dan toleransinya yang tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan menyebabkan
budidayanya berkembang dengan pesat. Ikan nila merah dikenal mempunyai

2
beberapa keunggulan terutama pertumbuhan yang cepat, toleransi tinggi terhadap
lingkungan serta kemudahan dalam budidayanya. Keunggulan ikan nila tersebut
menyebabkan ikan nila menjadi prioritas budidaya di beberapa negara. Ikan nila
telah berkembang secara luas di lebih dari 100 negara di dunia (El-Sayed, 2006
dalam Ramadhani, dkk, 2018).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari praktikum ini
yaitu :
1. Bagaimana kualiatas perairan yang ada di Danau Limboto?
2. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan Danau Limboto untuk budidaya ikan
nila merah dengan sistem KJA?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui parameter kualitas perairan yang ada di Danau Limboto.
2. Mengetahui kesesuaian lahan yang berpotensi untuk melakukan kegiatan
budidaya ikan nila merah dengan unit keramba jarring apung di Danau
Limboto.
1.4 Manfaat
Manfaat dari praktikum ini dihara[kan bisa menjadi sumber referensi bagi
pembaca tentantang parameter kualitas perairan dan keseuain lahan budidaya ikan
nila merah di Danau Limboto dengan unit keramba jarring apung (KJA).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Nila Merah

2.1.1 Klasfikasi dan Morfologi

Menurut Sucipto, dan Prihartono (2007) dalam Yusuf Arifin (2020),


klasifikasi Ikan nila merah yaitu sebagai berikut;
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Perchomorphi
Subordo : Perchoidae
Famili : Chiclidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis sp
Strain : Hibrida
Ikan nila merah yang saat ini banyak dikembangkan di Indonesia
merupakan ikan nila tetrahibri yang merupakan hasil persilangan empat spesies
yang berbeda dari genus Oreochromis, yaitu Oreochromis mossambicus (Mujair),
Oreochromis niloticus (ikan nila), Oreochromis hornorum, dan Oreochromis
aureus (Sucipto, dan Prihartono, 2007 dalam Yusuf Arifin 2016 ). Ikan ini banyak
dikembangkan dan dibudidayakan oleh petani pembesar di Indonesia karena
memiliki bentuk yang hampir menyerupai ikan kakap merah, dan rasanya
dagingnya pun tidak jauh berbeda dengan ikan kakap merah. Ikan ini juga sering
dijadikan ikan hias karena memiliki warna yang menarik.
Menurut Kottelat, et al (1993) dalam Riri Safitri (2016),
Oreochromis niloticus merupakan suku Cichlidae dimana suku ini merupakan

4
suku besar air tawar yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, Asia
Kecil, India dan Sri Langka. Dari hasil pengamatan terhadap morfologi ikan
diketahui bahwa ikan tersebut memiliki letak mulut superior (keatas). Tipe sirip
ekor homocercal, bentuk morfologi ekor truncate (bersegi). Tubuh berwarna
kehitaman atau keabuan, pada sirip ekor memiliki garis warna tegak. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ikan tersebut merupakan jenis ikan nila (Oreochromis
niloticus). Menurut kottelat et al., (1993) dalam Riri Safitri (2016), Oreochromis
niloticus memiliki garis warna tegak terdapat pada sirip ekor, hampir seluruhnya
berwarna hitam; beberapa pita warna pada badan (tidak jelas pada yang dewasa),
mulut mengarah ke atas; tenggorok, sirip dada, sirip perut, sirip ekor dan ujung
sirip punggung bewarna merah ketika musim berkembangbiak (agak kurang pada
betina).
Dalam penelitian Riri Safitri (2016) hasil pengukuran morfometrik pada
ikan nila (Oreochromis niloticus) yang tertangkap dengan bobot ikan yang didapat
antara 27,4-108,1 gr diketahui bahwa ikan jenis ini memiliki panjang total
berkisar antara 11,1-17 cm, panjang standar 9,9-13,2 cm, tinggi badan 3,6-6,2 cm,
panjang pangkal ekor 1,1-1,7 cm, tinggi pangkal ekor 1,4-2 cm, panjang didepan
sirip punggung 2,7-4,1 cm, panjang pangkal sirip punggung pertama 4,6-7,2 cm,
panjang pangkal sirip dubur 1,5-2,5 cm, tinggi sirip punggung 1,9- 3,4 cm, tinggi
sirip dubur 1,9-3,4 cm, panjang sirip dada 2,8-4,8 cm, panjang sirip perut 2,2-3,4
cm, panjang kepala 3,1-4,4 cm, panjang moncong 0,9- 1,6 cm, diameter mata 0,7-
1,1 cm, lebar bukaan mulut 1-1,3 cm.
Selanjutnya dari hasil pengukuran meristik pada ikan Nila (Oreochromis
niloticus) yang tertangkap diketahui bahwa ikan ini memiliki tipe sisik stenoid.
Jumlah sisik pada gurat sisi : 29-30; jumlah sisik pada melintang badan : 12-13;
jumlah sisik sebelum sirip punggung : 9-10; jumlah sisik melingkar pada pangkal
ekor : 6-7; D XVI-XVII, 11-12; A III, 9- 10; jumlah jari-jari pada sirip dada : 12-
13; jumlah sirip perut : II,5. Menurut Kottelat (1993) dalam Riri Safitri (2016),
dalam pengamatan morfologi pada bagian tubuh Ikan nila (Oreochromis niloticus)
jantan dan betina. Dari hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa ikan
nila (Oreochromis niloticus) jantan memiliki perut berbentuk pipih (ramping) dan
berwarna kehitaman, alat kelamin nila jantan berbentuk meruncing. Apabila dipijit

5
akan mengeluarkan cairan berwarna putih kental. Sedangkan ikan nila
(Oreochromis niloticus) betina memiliki perut lebih buncit (menggembung) dan
berwarna putih, alat kelamin berbentuk seperti bulan sabit, Apabila dipijat akan
mengeluarkan butiran telur.
Menurut Mubinun, et al (2007) dalam Riri Safitri (2016), alat kelamin
ikan nila jantan berupa tonjolan (papilla) dibelakang lubang anus pada tonjolan ini
terdapat satu lubang untuk mengeluarkan sperma dan urine sedangkan alat
kelamin ikan nila betina berupa tonjolan dibelakang anus pada tonjolan tersebut
terdapat dua lubang yang pertama terletak didekat anus berbentuk seperti bulan
sabit dan berfungsi sebagai tempat keluarnya telur, lubang yang kedua terletak
dibelakangnya berbentuk bulat dan berfungsi sebagai tempat keluarnya urine.

2.1.2 Habitat
Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) merupakan ikan sungai atau
danau yang cocok dipelihara di perairan tenang, kolam maupun bendungan,
toleransi terhadap kadar garam (salinitas) sangat tinggi. Selain perairan tawar,
ikan ini sering juga hidup dan berkembang biak pada perairan payau, misalnya
tambak (Susanto, 1987 dalam Huri dan Syafriadiman, 2020). Ikan nila sebagai
ikan kultur dalam penelitian ini di dasarkan pada suatu kenyataan bahwa ikan ini
merupakan penghuni rawa-rawa yang banyak jumlahnya di daerah Riau.
Keunggulan ikan nila merah di bandingkan ikan lain yaitu :

1. Tidak memerlukan penanganan khusus.


2. Pertumbuhan relatif lebih cepat dibandingkan dengan jenis cyprinus.
3. Dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah ataupun dataran tinggi, di air
tawar atau air payau dan cenderung mampu tahan terhadap serangan
penyakit.
4. Perkembang biakannya sangat cepat dibandingkan ikan jenis lain.
5. Dapat dibudidayakan secara intensif dengan padat penebaran cukup tinggi.
6. Mempunyai harga yang cukup baik permintaan secara internasional
meningkat terutama di jepang, hongkong, singapura, eropah dan amerika
(Dirjen Perikanan, 1988 dalam Huri dan Syafriadiman 2020 ).

6
2.1.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan ikan nila juga dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam
dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor keturunan seperti sex dan umur.
sedangkan faktor luar meliputi kualitas air (pH, DO, suhu, salinitas, dan amonia)
serta parasit dan juga penyakit. Pertumbuhan benih ikan terjadi karena adanya
asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh yang diubah menjadi energi untuk
aktivitas dan metabolisme (Effendi, 1997 dalam Francisca dan Firman Farid
Muhsoni 2021).
Salinitas mampu mempengaruhi proses dari osmoregulasi yang
menyebabkan proses dari pertumbuhan ikan nila menjadi terhambat. Salah satu
penyebab terhambatnya pertumbuhan dari ikan nila yaitu karena tingginya
tingkat salinitas. dimana ikan nila melakukan osmoregulasi yang tinggi sehingga
energi yang diperoleh akan difokuskan untuk menyeimbangkan kemampuan
tubuhnya dengan lingkungannya. Salinitas yang sesuai dan tepat dengan kondisi
fisiologis dan sistem osmoregulasi ikan nila dapat meningkatkan pertumbuhan,
sedangkan salinitas yang cukup tinggi dapat mempengaruhi lambat atau tidaknya
laju pertumbuhan (Bestian, 1996 dalam Francisca dan Firman Farid Muhsoni
2021).
Ikan nila mampu bertahan hidup dengan baik hingga salinitas 5 ppt dengan
ukuran ikan 3 – 5 cm dan 5 – 8 cm. Dimana pada salinitas tertinggi yaitu 15 ppt,
ikan nila mengalami kematian total dalam waktu 1 jam. Salinitas 10 ppt ikan nila
mulai mengalami kematian selah 2 jam dan mati total setelah 3 jam. Hikmawati.,
Rahmad S Patadjai., (2019) dalam Francisca dan Firman Farid Muhsoni (2021)
menyatakan, tingginya tingkat kelangsungan hidup ikan nila diduga karena
peningkatan salinitas yang diberikan dilakukan sedikit demi sedikit sehingga ikan
nila tidak mengalami stress atau kaget dalam lingkungan barunya, dan sebaliknya
juga jika semakin cepat peningkatan salinitas yang dilakukan akan menyebabkan
tingginya tingkat kematian pada ikan nila. Sedangkan pada penelitian ini salinitas
tidak dilakukan secara sedikit demi sedikit melainkan secara langsung dengan
salinitas yang telah ditentukan. Sehingga tidak menutup kemungkinan kalau ikan
nila yang dipelihara juga mengalami stress yang mengakibatkan kematian yang
cukup tinggi pula.

7
2.2 Budidaya Ikan Nila Merah di KJA
Karamba jaring apung (KJA) merupakan pola pembesaran ikan nila yang
banyak dilakukan di danau atau waduk. Jaring yang digunakan untuk
pemeliharaan diapungkan didanau atau waduk dengan bantuan pelampung berupa
drum plastik atau drum baja. Untuk mencegah KJA tidak berpindah tempat, petani
biasanya menancapkan jangkar di dasar perairan. Pada KJA yang jumlahnya
banyak, petani umumnya membangun rumah diatasnya untuk tempat
penampungan pakan dan tempat tinggal para pekerja.

Berikut beberapa syarat perairan untuk pemeliharaan nila di KJA


diantaranya kondisi air tidak tercemar serta telah memenuhi persyaratan minimal
baku mutu kualitas dan baku mutu budi daya, kedalaman air minimun 5 meter dari
dasar jaring pada saat surut terendah, suhu air 23-30 derajat celcius dan derajat
keasaman (pH) 6,5-8,5. Oksigen terlarut lebih dari 5 mg/liter, amonia (NH3)
kurang dari 0,02 mg/liter dan kecerahan yang diukur dengan Secchi disk lebih dari
3 meter.

Keramba Apung semdiri merupakan sebuah sarana pembiakan perikanan


yang menggunakan jaring sebagai sarana pembiakan. Pembiakan ikan biasa
dilakukan di laut ataupun di media air tawar seperti danau atau waduk, dengan
alasan kedalaman yang dibutuhkan untuk keramba biasanya cukup dalam, dimana
kedalaman tersebut tidak tersedia di media air tawar lain seperti sungai atau
tambak.
Keramba apung yang ada saat ini kebanyakan hanya berupa jaring yang
diikatkan pada pelampung yang terbuat dari drum atau gentong bekas dan ikan
dibudidayakan di dalam jaring tersebut. Para petani ikan menebarkan benih ikan
pada awal masa pembiakkan dan pada saat masa panen mereka akan memanen
hasilnya. Keramba konvensional terdapat beberapa kelemahan, yaitu para petani
ikan baru bisa memanen ikannya jika sudah mencapai masa panen. Cara memanen
16 ikan memakai cara manual yaitu menggiring ikan dengan alat bambu yang
dilakukan minimal 2 orang.

8
Keramba Jaring Apung merupakan suatu sarana pemeliharaan ikan atau
biota air yang kerangkanya terbuat dari bambu, kayu, pipa pralon atau besi
berbentuk persegi yang diberi jaring dan diberi pelampung seperti drum plastik
atau streoform agar wadah tersebut tetap terapung di dalam air. Kerangka dan
pelampung berfungsi untuk menahan jaring agar tetap terbuka di permukaan air,
sedang jaring yang tertutup di bagian bawahnya digunakan untuk memelihara ikan
selama beberapa bulan. Persyaratan pengembangan usaha budidaya ikan, antara
lain ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi sumber air menyangkut
kualitas dan kuantitasnya, dan lahan tanah menyangkut topografi, tekstur dan
kesuburannya, disamping potensi sumber daya manusia, teknologi budidaya ikan
dan permodalan.
BPAP (2004) dalam Azhari Amir (2016), menyatakan bahwa
pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai, khususnya
yang mempunyai atau dipengaruhi sungai besar, sebab banyak petambak
beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan pertumbuhan
ikan/udang yang lebih baik dari pada air laut murni. Secara umum wilayah
intertidal, merupakan daerah yang sangat cocok untuk membangun tambak karena
ketersediaan air laut sangat mempengaruhi bisa tidaknya tambak beroperasi
dengan sukses. Pemilihan lokasi tambak sangat penting untuk menentukan bisa
tidaknya suatu lokasi dibangun pertambakan, yang meliputi topografi, elevasi,
pasang surut, kualitas tanah, kualitas air dan vegetasi.
17 BPAP (2004) dalam Azhari Amir (2016), menyatakan bahwa
pembangunan tambak pada umumnya dipilih di daerah sekitar pantai, khususnya
yang mempunyai atau dipengaruhi sungai besar, sebab banyak petambak
beranggapan, bahwa dengan adanya air payau akan memberikan pertumbuhan
ikan/udang yang lebih baik dari pada air laut murni. Secara umum wilayah
intertidal, merupakan daerah yang sangat cocok untuk membangun tambak karena
ketersediaan air laut sangat mempengaruhi bisa tidaknya tambak beroperasi
dengan sukses. Pemilihan lokasi tambak sangat penting untuk menentukan bisa
tidaknya suatu lokasi dibangun pertambakan, yang meliputi topografi, elevasi,
pasang surut, kualitas tanah, kualitas air dan vegetasi.

9
Menurut Gusrina (2008) diacu oleh Rismawati (2010) di kutip oleh
Situmeang (2020) menyatakan bahwa persyaratan teknis yang harus diperhatikan
dalam memilih lokasi budidayaikan keramba jaring apung adalah :
a. Arus Air
Arus Air pada lokasi yang dipilih diusahakan tidak terlalu kuat namun
tetap ada arusnya agar tetap terjadi pergantian air dengan baik dan kandungan
oksigen terlarut dalam wadah budidaya air tercukupi, selain itu dengan adanya
arus maka dapat menghanyutkan sisa-sisa pakan dan kotoran ikan yang terjatuh di
dasar perairan. Pada kondisi perairan yang tidak mengalir, unit budidaya
sebaiknya diletakkan di tengah.
b. Tingkat Kesuburuan
Jenis perairan yang sangat baik untuk digunakan dalam budidaya ikan
adalah perairan dengan tingkat kesuburan rendah hingga sedang. Jika perairan
dengan tingkat kesuburan tinggi digunakan dalam budidaya ikan maka hal ini
sangat beresiko tinggi karena perairan dengan kesuburan tinggi (eutrofik)
kandungan oksigen terlarut pada malam hari sangat rendah dan berpengaruh
buruk terhadap ikan yang akan dipelihara dengan kepadatan tinggi
c. Bebas dari Pencemaran
Jika lokasi budidaya mengandung bahan pencemar maka akan
berpengaruh terhadap kehidupan ikan yang dipelihara. Perakitan teknologi
budidaya sangat diperlukan dan salah satu diantaranya adalah budidaya sistem
Keramba Jaring Apung (KJA). Keuntungan yang dapat diperoleh dengan
budidaya sistem KJA adalah: a) Peningkatan devisa negara; b) Pemenuhan protein
hewani petani pantai; c) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani pantai;
d) Peningkatan pemanfaatan sarana produksi yang tersedia seperti bibit dan
pakan; e) Pemanfaatan tenaga kerja dan penanggulangan pengangguran.

2.3 Paramater Kualitas Air

Parameter fisika dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat


fisik, dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual,
penciuman, peraba dan perasa, perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air
dapat diketahui secara visual, sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya

10
perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air,
selanjutnya rasa air tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah
(indera perasa).
Hasil indekasi dari panca indera ini hanya dapat dijadikan indikasi awal
karena bersifat subyektif, bila diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu,
misalnya kualitas air tersebut telah menurun atau tidak, harus dilakukan analisis
pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis yang telah ditentukan
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003 dalam Azhari Amir 2016 ).
18 Beberapa kriteria peubah lingkungan untuk budidaya ikan nila dengan
sistem keramba jarring apung (KJA) yaitu salinitas 0 - 33 ppt, (asal perubahan
salinitas harian tidak lebih 10ppt) temperature / suhu 25 – 32 ° c, pH 6,5 - 8,5,
oksigen terlarut 4 - 8 ppm, kecepatan arus 10 - 20 cm / dt, tinggi gelombang < 1
m, kecerahan > 3 m, dan kedalaman air 3 - 10 m. Adapun parameter fisika air
yang menjadi variable utama pengukuran dalam penelitian ini diantaranya: (1)
Suhu, (2) kedalaman, (3) kecerahan, (4) kekeruhan
Suhu
Suhu merupakan parameter fisik yang sangat mempengaruhi pola
kehidupan organism perairan, seperti distribusi, komposisi, kelimpahan dan
mortalitas. Suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organism
perairan, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat (Nybakken,
1988.
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyerapan organisme. Proses kehidupan vital yang sering
disebut proses metabolisme hanya berfungsi dalam kisaran suhu yang relatif
sempit. Biasanya 0 ˚C – 4 ˚C (Nybabken 1992 dalam Azhari Amir (2016).
Peningkatan suhu perairan sebesar 10 ˚C, menyebabkan terjadinya peningkatan
konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat..
Boyd dan Lichtkoppler (1982) dalam Azhari Amir (2016) menyatakan bahwa
suhu optimal bagi pertumbuhan ikan tropis antara 25˚C - 32˚C.
Kedalaman
Kedalaman relatif dangkal sehingga memungkinkan cahaya matahari
mencapai dasar perairan dan tumbuhan akuatik dapat berkembang diseluruh dasar

11
perairan, karena dangkal memungkinkan penggelontoran (Flushing) dengan lebih
baik dan cepat serta menangkal masuknya predator dari laut terbuka (tidak suka
20 perairan dangkal). Kedalaman sangat berpengaruh dalam pengamatan
dinamika oseanografi dan morfologi pantai seperti kondisi arus, ombak dan
transpor sedimen, kedalaman erat kaitannya dengan stratifikasi suhu vertikal,
penetrasi cahaya, densitas dan kandungan zat-zat hara (Hutabarat dan Evan, 1984
dalam Azhari Amir (2016).

Arus akan dipergaruhi oleh topografi dasar perairan, oleh karena itu
distribusi fraksi sedimen sangat tergantung dari bentuk dasar perairan terutama
keadaan kedalaman karena akan mempengaruhi bentuk dan pola arus
(Panggabean, 1994 dalam Azhari Amir (2016). Kedalaman diukur dengan
mengunakan tali yang telah diberi pemberat yang alatnya dimasukkan ke dalam
perairan sampai pemberat mencapai dasar perairan. Kemudian pengukuran
dimulai dari tali dari permukaan perairan sampai pada alat pemberat (Haslinda,
1992 dalam Azhari Amir (2016).

Kecerahan dan Kekeruhan

Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan dalam air dan


dinyatakan dengan persen (%) dari beberapa panjang gelombang di daerah
spectrum yang terlihat cahaya yang melalui lapisan sekitar satu meter, jatuh agak
lurus pada permukaan air (Kordi dan Tancung, 2007 dalam Azhari Amir (2016)
kecerahan parairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi
didalamnya, semakin kurang partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan
semakin tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi semakin rendah, karena
meningkatnya kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan untuk proses
fotosintesis oleh tumbuhan air berkurang. Kedalaman suatu perairan akan
membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi.
Kekeruhan didefenisikan sebagai suatu ukuran biasan cahaya di dalam air
yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspense dari suatu material
yang ada bahan-bahan anorganik lamban terurai, buangan industri, sampah dan
sebagainya yang terkandung dalam perairan (Winarno, 1996 dalam Azhari Amir
2016). Kekeruhan merupakan gambaran sifat optic air, lumpur, koloid tanah dan

12
organism perairan) dan dipengaruhi oleh warna perairan. Kekeruhan yang tinggi
dapat mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air. Sutika (1989)
dalam Azhari Amir (2016), mengatakan bahwa kekeruhan dapat mempengaruhi
sedikit terjadinya gangguan respirasi, dapat menurunkan kadar oksigen dala air
dan terjadinya gangguan terhadap habitat.
Kemudian untuk parameter kimia sebagai berikut :
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam sistem
kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh
makroorganisme dan mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang
berasal dari fotosintesis. Selain itu mempunyai peranan yang penting dalam
penguraian bahan bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat
aerobik, sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan mengakibatkan
lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus
akan menurunkan kualitas air. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara
harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing), dan
pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah
(effluent) yang masuk ke badan air (Effendi, 2003 dalam Situmeang 2016).

Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan suatu parameter penting untuk


menentukan kadar asam/basa dalam air. Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi
ion hidrogen dalam suatu larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepas
sejumlah ion Hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat
asam/basa. Di dalam air yang bersih jumlah konsentrasi ion H+ dan OH- berada
dalam keseimbangan, sehingga air yang bersih akan bereaksi normal. Peningkatan
ion hidrogen akan menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam.
Sebaliknya apabila ion hidrogen berkurang akan menyebabkan nilai pH naik dan
keadaan ini disebut sebagai larutan basa. Nilai pH yang ideal untuk mendukung
kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kisaran nilai
pH yang baik adalah berkisar antara 7–8. Terjadinya perubahan nilai pH
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu peningkatan gas karbon dioksida sebagai

13
hasil pernafasan dari organisme aquatik, pembakaran bahan organik di dalam air
oleh jasad renik, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, kandungan garam
(salinitas) yang tinggi, jumlah padat tebar yang tinggi, keadaan suhu air yang
tidak stabil, serta tingginya tingkat kekeruhan melebihi ambang batas (Pratiwi,
2010 dalam Situmeang 2016).

Biological Oxygen Demand (BOD)


BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup
untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika
konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen
terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan
oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada
suhu 20°C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang
dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen
terlarut sebelum dan sesudah inkubasi (Djokosetiyanto et al., 2006 dalam
Situmeang 2016).
Pada perairan alami, yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah
tanaman dan hewan yang telah mati. Perairan alami memiliki nilai BOD antara
0,5- 7,0 mg/l. Selain itu buangan hasil limbah domestik dan industri juga dapat
mempengaruhi nilai BOD. BOD5 dalam suatu perairan dapat digunakan sebagai
petunjuk terjadinya pencemaran.
Amonia
Amonia merupakan produk akhir metabolisme nitrogen yang bersifat
racun Di dalam perairan senyawa amonia terdapat dalam dua bentuk yaitu
amoniak (berbahaya bila dalam konsentrasi tinggi) dan amonium (tidak
berbahaya). Pada kadar yang sangat rendah kurang berbahaya, tetapi dengan
meningkatnya kadar amoniak, secara cepat menjadi berbahaya terhadap hewan
perairan. Ketika tingkat mencapai 0,06 mg/L, ikan dapat mengalami kerusakan
insang. Ketika tingkat mencapai 0,2 mg/L, ikan sensitif seperti trout dan salmon
mulai mati. Sebagai tingkat dekat 2,0 mg/L, toleran ikan bahkan seperti mas mulai
mati (Sawyer,1994 diacu oleh Elfrida, 2011 dalam Situmeang 2016).

14
Amonia di perairan bersumber dari hasil metabolisme organisme akuatik
dan dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Selain itu, amonia dapat berasal dari
nitrogen organik yang masuk ke perairan (urea), respirasi bakteri, organisme mati,
dan sel yang. Meskipun amonia bersumber dari hasil ekskresi hewan akuatik,
namun proporsinya terhitung kecil jika dibandingkan dengan pembentukan
amonia dari dekomposisi oleh bakteri (Wetzel, 2001 diacu oleh Ervinia, 2013
dalam Situmeang 2016).
TDS (Total Dissolved Solid)
Nilai TDS sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan , limpasan dari tanah
dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestic dan industri). Rasio antara
padatan terlarut dan kedalaman rata-rata perairan merupakan salah satu cara untuk
menilai produktivitas perairan. Bahan-bahan terlarut pada perairan alami tidak
bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan.
Selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya yang matahari kekolom air dan
akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis (Effendi, 2003 dalam
Situmeang 2016).

2.4 Ekosistem Danau

Danau secara ekologis merupakan badan air yang dikelilingi daratan dan
dikelompokkan sebagai salah satu jenis lahan basah yang dicirikan sebagai lahan
berair tetap.Lahan basah sebagai ekosistem merupakan komponen bentang alam
dan dengan demikian menjadi salah satu bentuk alami (feature) suatu wilayah.
Lahan basah tersebut dapat disebut sebagai danau yang merupakan salah satu
bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi
dibandingkan dengan habitat laut dan daratan (Yuzni, 2008 dalam Situmeang
2016).

Danau adalah wilayah yang digenanagi badan air sepanjang tahun serta
terbentuk secara alami. Pembentukan danau terjadi karena pergerakan kulit bumi
sehingga bentuk dan luasnya sangat bervariasi. Danau yang terbentuk sebagai
akibat gaya tektonik kadang-kadang badan airnya mengandung bahan-bahan dari
perut bumi seperti belerang dan panas bumi (Andy et al., 2010 dalam Situmeang
2016). Sebagai ekosistem perairan lentik, perairan danau ditandai dengan keadaan

15
arus air yang sangat lambat yaitu 0,001 – 0,01 m/detik atau bahkan tidak ada arus
sama sekali, sehingga waktu tinggal air (residence time) dapat berlangsung dalam
waktu sangat lama. Karena kondisi arus air pada danau sangat lambat, maka
pengaruhnya tidak begitu besar terhadap kehidupan organisme yang ada di
dalamnya.
Faktor yang sangat penting pada ekosistem danau adalah pembagian
daerah air secara vertikal (stratifikasi), dimana setiap lapisan air memiliki sifat
yang berbeda satu sama lain. Terdapat perbedaan sifat air antar lapisan terutama
berkaitan dengan perbedaan intensitas cahaya matahati yang diserap, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan suhu air pada setiap kedalaman
(Ginting, 2011 dalam Situmeang 2016).
Pola temperatur di suatu ekosistem danau akan mengalami fluktuasi secara
vertikal sesuai dengan kedalaman lapisan air. Berdasarkan perbedaan temperatur,
suatu danau dapat dibagi mrnjadi 3 lapisan permukaan yaitu lapisan epilimnion,
lapisan dibawah epilimnion yang disebut sebagai lapisan metalimnion, serta
lapisan pada bagian dasar yang disebut hypolimnion. Lapisan epilimnion
mempunyai temperatur yang paling tinggi dibandingkan dengan lapisan lainnya,
kecuali pada saat musim dingin di danau-danau yang terdapat di wilayah yang
beriklim sedang (Barus, 2004 dalam Situmeang 2016).

Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan


bagi kehidupan manusia (rumah tangga, industri, dan pertanian). Beberapa fungsi
penting ekosistem ini, sebagai berikut: 1) sebagai sumber plasma nutfah yang
berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik; 2) sebagai tempat berlangsungnya
siklus hidup jenis flora/fauna yang penting, 3) sebagai sumber air yang dapat
digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumahtangga, industri dan
pertanian); 4) sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air
hujan, aliran permukaan, sungai sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah;
5) memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat
mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; 6) sebagai sarana
tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat
lainnya; 7) sebagai penghasil energi melalui PLTA; 8) sebagai sarana rekreasi dan
obyek pariwisata (Kumurur, 2002 dalam Situmeang 2016).

16
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Lokasi


Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2021 bertempat di
Danau Limboto Rumah Makan Terapung Nila Star Kabupaten Gorontalo.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah termometer, pH meter,
meter, alat ukur kedalamam, secchi disk, kamera digital dan TDS meter. Bahan
yang digunakan dalam praktikum ini adalah data hasil pengukuran parameter
fisika kimia air Danau Limboto.
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan

No Nama Alat dan Bahan Fungsi


1. Termometer Untuk mengukur
suhu perairan

2. pH meter Untuk mengukur pH


air

17
3. Alat ukur Untuk mengukur
kedalaman kedalaman perairan

4. Secchi disk Untuk mengukur


kecerahan air

5. Meter Untuk mengukur


kecerahan air

18
6. Kamera hp Sebagai alat
dokumentasi

7. TDS meter Untuk mengukur


total padatan
tersuspnsi perairan

3.3 Prosedur Pelaksanaan Praktikum


1. Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan praktikum
2. Melakukan pengukuran suhu menggunakan termometer dengan cara
mencelupkan ke dalam air pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 di KJA Danau
Limboto
3. Melakukan pengukuran pH menggunakan pH meter dengan cara
mencelupkan ke dalam air pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 di KJA Danau
Limboto
4. Untuk mengukur kecerahan menggunakan secchi disk dan meter, caranya
dengan memasukkan secchi disk ke dalam perairan hingga terlihat samar-
samar, setelah diukur kedalaman kecerahan kemudian diangkat untuk
diukur dan dicatat hasilnya menggunakan meter pada stasiun 1, 2, 3 dan 4
di KJA Danau Limboto

19
5. Melakukan pengukuran kedalaman dengan cara mencelupkan alat
pengukur kedalaman ke dalam perairan pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 di KJA
Danau Limboto
6. Untuk mengukur TDS menggunakan TDS meter dengan cara
mencelupkan ke dalam air pada stasiun 1, 2, 3, dan 4 di KJA Danau
Limboto

3.4 Analisa Data


3.4.1 Variabel Praktikum
Variabel yang diukur dalam praktikum ini yaitu variabel yang
berhubungan dengan kesesuaian lahan berdasarkan parameter kualitas air keramba
jaring apung di Danau Limboto adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Variabel fisika-kimia

No Parameter Fisika Parameter Biologi


1. Suhu pH
2. Kecerahan TDS
3. Kedalaman

3.4.2 Metode Praktikum


Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode survei dan
pendekatan spasial, metode survei merupakan penelitian deskriptif dengan
melakukan pengukuran langsung parameter fisika dan kimia di KJA Danau
Limboto. Dalam praktikum ini dilakukan pengukuran dan pengamatan beberapa
aspek fisika dan kimia perairan Danau Limboto. Selain survei juga dilakukan
pengumpulan data parameter kualitas perairan yang berkaitan dengan kesesuaian
lahan untuk budidaya ikan nila merah.

20
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil pengukuran
sebagai berikut:
Tabel 3. Parameter fisika-kimia perairan pada stasiun 1

Stasiun 1
Parameter Hasil
Suhu 31,6oC
pH 8,0
TDS 8133 mg/L
Kecerahan 11,35 cm
Kedalaman 2 meter

Tabel 4. Parameter fisika-kimia perairan pada stasiun 2

Stasiun 2
Parameter Hasil
Suhu 32,6oC
pH 8,2
TDS 8146 mg/L
Kecerahan 6 cm
Kedalaman 2 meter

Tabel 5. Parameter fisika-kimia perairan pada stasiun 3

Stasiun 3
Parameter Hasil

21
Suhu 31,6oC
pH 8,2
TDS 8146 mg/L
Kecerahan 9 cm
Kedalaman 2 meter

Tabel 6. Parameter fisika-kimia perairan pada stasiun 4

Stasiun 4
Parameter Hasil
Suhu 31,8oC
pH 8,0
TDS 8148 mg/L
Kecerahan 7,75 cm
Kedalaman 2 meter
Nilai parameter fisik dan kimia di KJA perairan Danau Limboto masih
dalam taraf normal untuk budidaya perikanan bagi ikan nila merah. Akan tetapi
terdapat beberapa parameter yang berada di bawah atau di atas batas normal
standar mutu yang disarankan. Beberapa yang berada di bawah atau di atas batas
normal standar mutu adalah Kecerahan dan TDS. Penilaian kondisi perairan di
KJA Danau Limboto untuk kesesuaian budidaya ikan nila merah dilakukan
dengan memperhatikan karakteristik kawasan perairan. Karakteristik perairan
meliputi suhu perairan, pH, TDS, kecerahan perairan dan kedalaman perairan.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Analisis Data Kesesuaian Keramba Jaring Apung
Analisis penentuan kesesuian dilakukan dengan metode pembobotan atau
scorring melalui matriks kesesuaian wilayah. Dalam metode pembobotan, setiap
parameter diperhitungkan dengan pembobotan yang berbeda dengan menjadikan
parameter fisika kimia perairan sebagai acuannya. Parameter fisika dan kimia
yang diteliti telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan ekosistem danau dan ikan
yang umum berada di danau seperti ikan mas adan nila. Penentuan pembobotan
dan scorring dilakukan untuk memberikan nilai pada kriteria yang mendukung
pada kegiatan budidaya. Pembobotan dalam matriks dapat dilihat pada Tabel 7.

22
Tabel 7. Matriks Kesesuaian Wilayah Untuk Keramba Jaring Apung

No Parameter Bobot S1 Skor S2 Sk N Skor


(Sangat Sesuai) (Sesuai) or (Tidak Sesuai)
1 Suhu (oC) 3 28 – 32 3 26 - <28 2 <26 dan >32 1
2 TSS (mg/l) 1 ≤25 3 26 – 80 2 >80 1
3 DO (mg/l) 3 >6 3 3–6 2 <3 1
4 Nitrat (mg/l) 1 >3,5 3 1,6 – 3,5 2 >1,5 1
5 Kedalaman (m) 2 10 – 25 3 4 - <10 2 <4 - >25 1
6 Kecerahan (m) 1 >5 3 3–5 2 <3 1
7 pH 2 7,5 – 8,0 3 7,0 - <7,5 atau >8,0 – 8,5 2 <7,0 atau >8,5 1
8 BOD5 (mg/l) 1 <3 3 3–5 2 >5 1
Berdasarkan tabel matriks kesesuaian, skor 3 untuk kategori sangat sesuai,
skor 2 untuk kategori sesuai, dan skor 1 untuk kategori tidak sesuai. Setiap
parameter memiliki kontribusi yang berbeda terhadap tingkat kesesuaian lahan
KJA. Oleh karena itu dalam penentuan bobot dan skor untuk setiap parameter
disesuaikan dengan besarnya pengaruh parameter tersebut terhadap nilai
kesesuaian. Nilai kesesuaian pada setiap lokasi dihitung berdasarkan rumus
berikut:
Nij = BijxSij
Dengan Nij = Total nilai di lokasi, Bij = bobot pada parameter-i kelas j, dan Sij =
skor pada parameter-i kelas j.
Total nilai maksimum (Nij maks) yang diperoleh sebesar 45 dan total nilai
minimum (Nij min) sebesar 15. Kemudian nilai total dikelompokkan berdasarkan
selang kesesuaian dengan menggunakan persamaan:
Selang interval kelas = Nij max – Nij min
3
Dengan menggunakan persamaan diatas dihasilkan selang interval kelas
sebesar 10 yang selanjutnya digunakan untuk menentukan klasifikasi kesesuaian
lahan keramba jaring apung dalam tiga kategori, meliputi: S1 = sangat sesuai,
dengan selang ≥ 31, S2 = sesuai, dengan selang 16-30, dan N = <16 tidak sesuai.
Ketentuan tiap kategori kelas kesesuaian didefinisikan sebagai berikut,
yaitu (Jumadi, 2011 dalam Hasim, 2015):
1. S1: sangat sesuai (highly suitable), yaitu apabila lahan tidak mempunyai
pembatas yang berarti untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang
harus diterapkan atau tidak berarti terhadap produksinya.

23
2. S2 : sesuai (suitable), yaitu apabila lahan mempunyai pembatas agak
berarti untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.
Pembatas akan mengurangi produksi dan meningkatkan masukan yang
diperlukan.
3. N : tidak sesuai (not suitable), wilayah ini mempunyai faktor pembatas
yang sangat berat baik permanen maupun tidak permanen, sehingga
mencegah perlakuan pada daerah tersebut.

4.2.2 Parameter Fisik Kimia Perairan Danau Limboto


a. Suhu
Suhu merupakan parameter yang harus diperhatikan pada proses budidaya
ikan. Menurut Supratno (2006) dalam Hasim (2015) secara umum laju
pertumbuhan ikan akan meningkat jika sejalan dengan kenaikan suhu pada batas
tertentu. Jika kenaikan suhu melebihi batas akan menyebabkan aktivitas
metabolisme organisme air/hewan akuatik meningkat. Hal ini akan menyebabkan
berkurangnya gas-gas terlarut di dalam air yang penting untuk kehidupan ikan
atau hewan akuatik lainnya. Walaupun ikan dapat menyesuaikan diri dengan
kenaikan suhu, akan tetapi kenaikan suhu melibihi batas toleransi ekstrim (35 °C)
dalam waktu yang lama maka akan menimbulkan stress atau kematian ikan.
Berdasarkan pengukuran suhu yang dilakukan di KJA, di perairan Danau Limboto
sebanyak 4 stasiun didapatkan 31oC – 32oC. Menurut Aisyah dan Subehi (2012)
dalam Hasim (2015) nilai suhu optimum bagi budidaya perikanan berkisar antara
27-320C. Dari hasil yang didapatkan menunjukan bahwa suhu diperairan danau
limboto hampir keseluruhan stasiun masih layak untuk dilakukan kegiatan
budidaya perikanan.
b. Kedalaman
Kedalaman merupakan parameter fisik yang menunjukan ukuran
ketinggian air dari dasar perairan. Kedalaman sangat mempengaruhi suatu
kegiatan budidaya perikanan khususnya untuk kegiatan budidaya di karamba
jaring apung. Kedalaman minimum untuk kegiatan budidaya menggunakan
karamba jaring apung adalah 2 meter dari dasar perairan. Berdasarkan pengukuran
yang dilakukan, kedalaman KJA di perairan Danau Limboto secara keselurahan
stasiun mencapai 2 meter. Keadaan ini menunjukkan bahwa parameter kedalaman

24
KJA di perairan Danau Limboto tergolong dalam kategori sesuai untuk kegiatan
KJA (Hasim, 2015).
c. Kecerahan
Kecerahan merupakan penetrasi cahaya dalam suatu perairan. Penetrasi
cahaya ke dalam air sangat dipengaruhi intensitas cahaya, sudut datangnya
cahaya, kondisi permukaan air dan partikel-partikel yang larut maupun yang
tersuspensi (Boyd, 1988 dalam Hasim, 2015). Lapisan permukaan air yang
menerima cahaya matahari disebut lapisan eufotik. Pada lapisan ini cahaya
matahari menjadi energi penting dalam proses fotosintesis oleh phytoplankton
sebagai produser utama perairan. Dari hasil yang didapatkan adalah parameter
kecerahan perairan Danau Limboto sudah tidak sesuai lagi untuk kegiatan
budidaya perikanan. Hal ini dikarenakan nilai kecerahan diseluruh stasiun ialah
<20 cm. Sedangkan penelitian tahun 2006 kecerahan perairan Danau Limboto
berkisar antara 40-46 cm. Kemudian tahun 2012 kecerahannya ialah 48-68,5 cm
(Aisyah dan Subehi, 2012 dalam Hasim, 2015). Data tersebut memberikan arahan
bahwa kecerahan di Danau Limboto mengalami fluktuatif. Disamping itu
penurunan nilai kecerahan antara tahun 2012 dan 2015 sangat signifikan.
d. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran asam basah dalam suatu
perairan. Menurut Boyd (1988 dalam Hasim, 2015) pH ideal untuk kehidupan
ikan yaitu 6.5-9.0. Sedangkan Alabaster and Lloyd (1982) dalam Hasim (2015)
menyatakan bahwa pH ideal ialah 6,7-8,6. Selanjutnya disampaikan bahwa pH
yang rendah dapat menyebabkan kenaikan toksisitas dalam suatu perairan yang
lama kelamaan akan menyebabkan penurunan nafsu makan ikan (Alabaster and
Lloyd, 1982 dalam Hasim, 2015). Nilai pH di bawah 4 dan di atas 11 menyebakan
kematian pada ikan. Hasil pengukuran pH yang dilakukan di 4 stasiun perairan
Danau Limboto, didapatkan hasil yang seragam yaitu 8,1 – 8,2.
e. Total Padatan Tersuspensi (TSS)
Total padatan tersuspensi merupakan konsesntrasi suspended solid yang
terkandung dalam suatu perairan. Alabaster dan Lioyd (1982) dalam Hasim
(2015) menyatakan bahwa peningkatan padatan terlarut dapat membunuh ikan
secara langsung, meningkatkan penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan

25
ikan serta perubahan tingkah laku dan penurunan reproduksi ikan. Selain itu,
kuantitas makanan alami ikan akan semakin berkurang. Berdasarkan pengukuran
pada tersuspensi yang dilakukan di perairan Danau Limboto, didapatkan hasil
8146 Total padatan tersuspensi yang terkandung dalam suatu perairan yang baik
untuk kegiatan budidaya yaitu berkisar antara <25 (mg/L) yang berarti perairan
Danau Limboto tersebut sudah tidak sesuai untuk kegiatan budidaya perikanan.
f. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) dalam suatu perairan merupakan parameter
pengubah kualitas air yang paling kritis dalam budidaya ikan, karena dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup ikan yang dipelihara. Menurut Alabaster and
Lloyd (1982) dalam Hasim (2015) setiap jenis ikan memiliki sensitivitas yang
berbeda terhadap kandungan oksigen terlarut. Disamping itu perbedaan
sensitivitas terhadap oksigen terlarut juga terjadi pada setiap tahapan siklus
kehidupan ikan. Oksigen yang terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan untuk
proses respirasi, baik oleh tanaman air, ikan, maupun organisme lain yang hidup
di dalam air (Supratno, 2006 dalam Hasim, 2015). Hasim pengukuran oksigen
terlarut perairan Danau Limboto yaitu 7 – 8 mg/L. Oksigen terlarut dalam suatu
perairan untuk kegiatan budidaya perikanan optimumnya berkisar antara 5-9 mg/L
(Alabaster and Lloyd, 1982 dalam Hasim, 2015). Berdasarkan pengukuran yang
dilalakukan menunjukan oksigen terlarut pada perairan Danau Limboto sangat
sesuai untuk melakukan kegiatan budidaya perikanan dimana keseluruhannya
berada pada kisaran 7 mg/L keatas.
g. Nitrat (NO3)
Nitrat merupakan suatu parameter kesuburan pada suatu perairan, nitrat
berpengaruh pada nutrien yang berperan dalam pembentukan biomassa organisme
perairan. Boyd (1988) dalam Indrayani, dkk., (2015) menyebutkan bahwa kadar
nitrat yang baik untuk perairan adalah 2–5 mg/L. Menurut Hanggono (2004)
dalam Supratno (2006) Efek nitrat pada hewan akuatik hampir sama dengan nitrit
yaitu pada transportasi oksigen dan proses osmoregulasi. Kadar nitrat dalam air
yang berbahaya bagi ikan maupun invertrebata berkisar antara 1.000 – 3.000 ppm.
Oleh karena itu, keracunan nitrat pada hewan akuatik sangat jarang terjadi.
Berdasarkan pengukuran kandungan nitrat yang dilakukan pada perairan Danau

26
Limboto keselurahan stasiun nilainya mg/L. Dengan demikian jika dibandingkan
dengan persyaratan bagi kelayakan perikanan budidaya maka seluruh stasiun
tergolong tidak layak karena dibawah persyaratan minimal yaitu 1,6 mg/L.

27
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Evaluasi kesesuaian lahan merupakan tahapan awal sebelum kegiatan
pelaksanaan program di lapangan. Evaluasi kesesuian lahan didasarkan terhadap
tujuannya. Misalnya untuk permukiman, kawasan lindung ataupun kawasan
budidaya. Karena setiap peruntukan tersebut memiliki kriterianya masing-masing
sebagai faktor pembatas. Faktor fisik-biologis mencakup kualitas, sifat fisik-kimia
dan biologis, iklim, hidrologi. Faktor ekonomi mencakup keuntungan, nilai pasar
dan transportasi. Sedangkan faktor kelembagaan mencakup kebijakan dan
peraturan pemerintah. Beberapa kriteria yang menjadi dasar dalam menentukan
kesesuaian lahan untuk budidaya perikanan sistem KJA yaitu kandungan oksigen
terlarut, suhu, pH, amoniak, kecerahan, posfat. Terdapat 5 parameter fisika dan
kimia yang diukur di 4 stasiun serta menunjukkan nilai yang beragam. Secara
umum hanya terdapat dua kategori yang memenuhi sangat sesuai yaitu suhu dan
kedalaman. Secara keseluruhan perairan KJA di Danau Limboto memiliki
kedalaman 2 meter, sehingga sangat layak untuk pengembangan budidaya
perikanan (KJA).

5.2 Saran
Pembuatan laporan ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis
mengharapkan agar para pembaca dapat memberikan kritik yang membangun agar
dapat membantu penulisan makalah ini menjadi lebih baik lagi.

28
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar 1. Pengukuran Kedalaman Gambar 2. Pengukuran Kecerahan

Gambar 3. Pengukuran Suhu Gambar 4. Pengukuran pH

Gambar 5. Lokasi Penelitian Gambar 6. Anggota Kelompok

29
DAFTAR PUSTAKA
Aanand S, dkk. 2017. Reviw On Water Quality Parameters in Freshwater Cage Fish Culture.
International Journal of Applied Research. 3(5): 114 – 120.

Andika Putra Situmeang. 2020. Analisis Kesesuaian Wilayah Untuk Budidaya Ikan Dalam
Keramba Jaring Apung Di Perairan Nainggolan Danau Toba. Skripsi. Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Azad K, N., dkk. 2018. Performance Evaluation of Different Bedding Media in Aquaponic
System for Growth and Production of Okra and Tilapia. International Journal of
Engineering Research & Science. 4(9): 14 – 25.
Berg H, dkk. 2020. A GIS Assessment of the Suitability of Tilapia and Clarias Pond Farming
in Tanzania. International Journal of Geo-Information. 1 – 29.
Berg H, dkk. 2020. An Ecological and Economical Assessment of Integrated Amaranth
(Amaranthus hybridus) and Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Farming in Dar es
Salaam, Tanzania. Journal Fishes. 5(30): 1 – 18.
Diaz I, dkk. 2016. Multiscalar Land Suitability Assessment for Aquaculture Production in
Uruguay. Journal Aquaculture Research. 1 – 14.

Eryan Huri Dan Syafriadiman. 2010. Pengaruh Konsentrasi Alk(So4)2 12h2o (Aluminium
Potassium Sulfat) Terhadap Perubahan Bukaan Operkulum Dan Sel Jaringan Insang
Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus). Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. 38(2)

Hasim, dkk. 2015. Peta Kesesuaian Lokasi Karamba Jaring Apung Untuk Pengembangan
Perikanan Budidaya Ramah Lingkungan Dengan Aplikasi SIG Di Danau Limboto.
Laporan Penelitian Unggulan Fakultas. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Negeri Gorontalo.
Hidayati D, dkk. 2019. Short Communication: Evaluation of Water Quality and Survival Rate
of Red Tilapia (Oreochromis niloticus) by Using Rice-fish Culture System in Quarry
Land of Clay. Journal Bioversitas. 20(2): 589 – 594.
Hossain M, S., dkk. 2007. Multi-criteria Evaluation Approach to GIS-based Land-suitability
Classification for Tilapia Farming in Bangladesh. Journal Aquaculture International.
15: 425 – 443.

30
Hossain M, S., dkk. 2010. GIS-based Multi-criteria Evaluation to Land Suitability Modelling
for Giant Prawn (Macrobrachium rosenbergii) Farming in Companigonij Upazila of
Noakhali, Bangladesh. Journal Computers and Electronics in Agriculture. 70: 172 –
186.
Khairunnisa, dkk. 2019. Uji Adaptasi Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus)
Berbagai Ukuran Bobot Yang Dipelihara Pada Salinitas Air Laut. Jurnal Media
Akuatika. 4(1): 19 – 24.
Kustamar. 2015. Konservsai Sumber Daya Air. Buku. Griya Pertama Alam. Kabupaten
Malang. Malang.
Lastini T, dkk. 2019. Land Cover Change and Land Use Suitability Analyses of Coastal Area
in Bantul District, Yogyakarta, Indonesia. Journal Biodiversitas. 20(5): 1475 – 1481.
Lihawa, F dan Mahmud, M. 2017. Evaluasi Karakteristik Kualitas Air Danau Limboto. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 7(3): 260 – 266.

M. Yusuf Arifin. 2016. Pertumbuhan Dan Survival Rate Ikan Nila (Oreochromis. Sp) Strain
Merah Dan Strain Hitam Yang Dipelihara Pada Media Bersalinitas. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi. 16(1)

Muhaemi Ralph Tuhumury Dan Willem Siegers. 2015. Kesesuaian Kualitas Air Keramba
Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Di Danau Sentani Distrik Sentani Timur Kabupaten
Jayapura Provinsi Papua. The Journal Of Fisheries Development. 1(2):45-58

Oktafiansyah, A. 2015. Analisa Kesesuaian Lahan Kualitas Air Di Sungai Landak Untuk
Mengetahui Lokasi Yang Optimal Untuk Budidaya Perikanan. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Muhammadiyah Pontianak. Pontianak.
Ramadhani, dkk. 2018. Pemeliharaan Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Pada Bentuk Wadah
Yang Berbeda Dengan Sistem Resirkulasi. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Universitas Riau. 3 – 10.

Riri Safitri. 2017. Deskripsi Morfologi Ikan Yang Tertangkap Di Aliran Sungai Percut.
Jurnal Pembelajaran Dan Biologi. 3(1): 17:24,

Rostika R, dkk. 2019. Land Potentials and Fishery Household (FH) for Catfish and Tilapia
Culture in Indramayu Regency Using A Remote Sensing Analysis. Global Scientific
Journals. 7(1): 833 – 838.

31
Saurel C, dkk. 2014. Analysis of Production and Environmental Effects of Nile Tilapia and
White Shrimp Culture in Thailand. Journal Aquaculture. 1 – 14.
Supriyono. E, dkk. 2020. Analisis Kualitas Air dan Kualitas Lingkungan Untuk Budidaya
Ikan di Danau Laimadat, Nusa Tenggara Timur. Jurnal IPTEK Terapan Perikanan dan
Kelautan. 1(3): 135 – 144.
Umar. I, dkk. 2018. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Sekitar Danau Limboto di
Kabupaten Gorontalo. Jurnal Tata Kota dan Daerah. 10(2): 77 – 90.
Zefriza, D. 2014. Analisis Spasial Kesesuaian Budidaya Ikan Kerapu (Epinephelus sp)
Dengan Unit Keramba Jaring Apung (KJA) Di Perairan Lhok Bubon Aceh Barat.
Skripsi. Program Studi Perikanan. Universitas Teuku Umar. Meulaboh.

32

Anda mungkin juga menyukai