Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara umum yang dimaksud dengan dispneu adalah kesulitan bernapas.
Kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi otot-otot pernapasan
tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula
terjadi dengan cepat. Kesulitan bernapas disebabkan karena suplai oksigen
kedalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang dibutuhkan oleh
tubuh.
Dispneu, sensasi sesak napas atau pernapasan tidak memadai, adalah
keluhan yang paling umum dari pasien dengan penyakit kardiopulmonari.
Evaluasi keluhan rumit oleh fakta bahwa dalam beberapa keadaan sesak napas
adalah konsekuensi normal menguras tenaga. Lebih jauh lagi, persepsi sesak
napas bervariasi antara individu-individu pada tingkat yang sama kebugaran
dan bekerja dan bahkan dalam individu yang sama melakukan pekerjaan yang
sebanding pada waktu yang berbeda. Pada penyakit Negara, persepsi dispneu
dapat sangat bervariasi diantara individu. Akibatnya, penilaian subyektif sensasi
dispneu harus menyeimbangkan konsep kerja dan ventilasi fisiologis
permintaan dengan persepsi individu sesak napas.
Makalah ini akan membahas tentang “ Asuhan Keperawatan pada Klien
Dispneu” beserta terapinya.

1.2 Batasan Masalah


Dalam menyusun makalah ini, dibatasi pada Asuhan Keperawatan pada
Ny. ”S” dengan Dispneu beserta terapi dan pelaksanaanya di Ruang Interna
RSD Dokter Haryoto Lumajang.

1.3 Tujuan
a. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada Ny ”S” dengan Dispneu di Ruang
Interna RSD Dokter Haryoto Lumajang
b. Dapat mengerti dan paham terhadap efek terapeutik dan efek samping obat
yang diberikan pada Ny ”S” dengan Dispneu di Ruang Interna RSD Dokter
Haryoto Lumajang.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar


Dispnea atau sesak nafas merupakan keadaan yang sering ditemukan
pada penyakit paru maupun jantung. Bila nyeri dada merupakan keluhan yang
paling dominan pada penyakit paru. Akan tetapi kedua gejala ini jelas dapat
dilihat pada emboli paru,bahkan sesak napas merupakan gejala utama pada
payah jantung.
Secara umum yang dimaksud dispnea adalah kesulitan
bernapas,kesulitan bernapas ini terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot
pernapasan tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan
tetapi dapat pula terjadi dengan cepat.
Berat ringannya dispnea tidak dapat diukur dan kadang-kadang sulit
untuk dinilai, sehingga dokter yang memeriksa akan timbul pertanyaan sebagai
berikut:
 Dispnea merupakan suatu perasaan yang subyektif dari pasien atau
berhubungan dengan suatu penyakit.
 Apakah yang dinilai ini bukannya suatu takipnea atau hiperpnea atau suatu
tipe pernapasan yang lain, misalnya pernapasan cheyne stoke.
 Apakah yang terjadi bukannya hanya suatu rasa nyeri saja, sehingga
penderita takut untuk bernapas dalam.
Sulit untuk menilai apakah suatu dispnea bersifat fisiologi atau patologi.
Akan tetapi terdapat beberapa pegangan untuk menilai dispnea yang patologi,
yakni sebagai berikut:
 Berdasarkan riwayat penyakit apakah dispnea tersebut terjadi secara
mendadak.
 Apakah dispnea tersebut terjadi secara berulang (recurrent).
 Waktu terjadinya dispnea menentukan pula apakah setelah bekerja berat
atau terjadi tiba-tiba pada tengah malam.
 Sedangkan berdasarkan riwayat penyakit yang mendukung terjadimya
dispnea yang bersifat subyektif, yakni bila terjadinya dispnea berhubungan
banyak dengan umur, seperti misalnya dalam menjalankan pekerjaan yang
tidak sebanding dengan usia.

2
2.1.1 Klasifikasi Dispnea
Dispnea dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Inspiratori dispnea, yakni kesukaran bernapas pada waktu inspirasi
yang disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-
paru.
 Ekspiratori dispnea, yakni kesukaran bernapas pada waktu
ekspirasi yang disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar
dari paru-paru.
 Kardiak dispnea, yakni dispnea yang disebabkan primer penyakit
jantung.
 Exertional dispnea, yakni dispnea yang disebabkan oleh karena
olahraga.
 Exspansional dispnea, dispnea yang disebabkan oleh karena
kesulitan exspansi dari rongga toraks.
 Paroksismal dispnea, yakni dispnea yang terjadi sewaktu-waktu,
baik pada malam maupun siang hari.
 Ortostatik dispnea, yakni dispnea yang berkurang pada waktu posisi
duduk.
Pembagian tersebut di atas tidak berdasarkan atas klasifikasi
etiologi maupun tipe dispnea, akan tetapi istilah-istilah tersebut sering
dipergunakan.
Berdasarkan etiologi maka dispnea dapat dibagi menjadi 4
bagian, yakni:
 Kardiak dispnea, yakni dispnea yang disebabkan oleh karena adanya
kelainan pada jantung.
 Pulmunal dispnea, dispnea yang terjadi pada penyakit jantung.
 Hematogenous, dispnea yang disebabkan oleh karena adanya asidosis,
anemia atau anoksia, biasanya dispnea ini berhubungan dengan
exertional (latihan).
 Neurogenik, dispnea terjadi oleh karena kerusakan pada jaringan otot-
otot pernapa
2.1.2 Fisiologi
Yang dimaksud dengan dispnea adalah kesulitan bernapas yang
disebabkan karena suplai oksigen ke dalam jeringan tubuh tidak
sebanding dengan oksigen kedalam jaringan tubuh tidak sebanding
dengan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh.

3
2.1.3 Patofisiologi dari dispnea yakni:
 Kekurangan oksigen (O2)
a. Penyebab dari kekurangan oksigen dapat di bagi atas:
 Tekanan oksigen inspirasi yang rendah, misalnya pada
tempat yang sangat tinggi, respirasi dengan gas-gas yang
berbahaya, ruang dekompresi, atau karena bertambahnya
volume dead space.
 Gangguan konduksi maupun difusi gas ke paru-paru.
 Gangguan pertukaran gas dan hipoventilasi.
b. Pertukaran gas di dalam paru-paru normal, tetapi kadar oksigen
didalam paru-paru berkurang.
c. Stagnasi dari aliran darah.
 Kelebihan Karbon Dioksida (CO2)
Karena terdapatnya shunting pada COPD sehingga menyebabkan
terjadinya aliran dari kanan ke kiri.
 Tingkat-Tingkat Dispnea
Dispnea dapat dibagi atas dua dasar, yakni:
 Atas dasar klinis
Pembagian ini berdasarkan New York Heart Association dan dapat
dibagi menjadi empat tingkatan, yakni:
Tingkat 1 : bila dispnea tidak membatasi aktivitas artinya kebutuhan
oksigen baik pada masa istirahat maupun pada masa setelah latihan
dapat dikompensasi oleh paru-paru.
Tingkat 2 : terjadi pembatasan yang ringan darin fungsi paru,
artinya pada penderita yang melakukan aktivitas fisik dapat terjadi
dispnea, akan tetapi pada waktu istirahat tidak terjadi dispnea.
Tingkat 3 : aktivitas fisik penderita sangat terbatas dan dengan
aktivitas fisik yang ringan saja sudah dapat menimbulkan sesak
napas.
Tingkat 4 : dispnea terjadi pada keadaan istirahat. Kerja yang ringan
akan memperberat keadaan dispneanya.
 Atas Dasar Pemeriksaan Paru-Paru
Dispnea dapat dibagi menjadi dua, yakni:
 Obstruksi dispnea, yakni dispnea yang terjadi karena adanya
kelainan dari fungsi obstruksi paru.
 Berdasarkan nilai restriktif maka dispnea dapat dibagi atas
(angka-angka di bawah adalah presentase dari normal):

4
- Restriktiif normal
- Restriktif ringan sampai sedang
- Restriktif sedang
- Restriktif berat
 Atas Dasar Terjadinya
Dispnea dapat dibagi menjadi dua, yakni:
o Dispnea yand terjadi mendadak, biasanya disebabkan oleh
karena emboli paru, pneumothoraks, atau obstruksi jalan napas.
o Dispnea yang terjadi secara perlahan-lahan, biasanya disebabkan
oleh karna payah jantung dan efusi pleura.
 Atas Dasar Respirasi
Dispnea dapat dibagi menjadi dua, yakni:
o Dispnea inspirasi
o Dispnea ekspirasi
 Evaluasi
Dari pemeriksaan fisik terlihat bahwa pasien menggunakan otot-otot
pernapasan tambahan. Ekspirasi maupun inspirasi tergantung kepada
tipe dari dispnea. Pemeriksaan yang dilakukan adalah sangat luas,
akan tetapi dapat digolongkan menjadi 7 bagian, yakni:
o Tanda-tanda yang menyokong pada paru-paru
- Wheezing
- Ronchi
o Tanda-tanda yang menyokong adanya dispnea
- Cuping hidung yang bergerak
- Sianosis
o Pemeriksaan laboratorium
- EKG
o Pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas.
o Pemeriksaan skantigrafi.
o Pemeriksaan pemeriksaan infasif jantung.

5
2.2. Asuhan Keperawatan
1. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan masalah
yang lalu. Perawat mengkaji klien atau keluarga dan berfokus kepada
manifestasi klinik dari keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi
sekarang ini, riwayat perawatan dahulu, riwayat keluarga dan riwayat
psikososial.
Riwayat kesehatan dimulai dari biografi klien, dimana aspek
biografi yang sangat erat hubungannya dengan gangguan oksigenasi
mencakup usia, jenis kelamin, pekerjaan (terutama yang berhubungan
dengan kondisi tempat kerja) dan tempat tinggal. Keadaan tempat tinggal
mencakup kondisi tempat tinggal serta apakah klien tinggal sendiri atau
dengan orang lain yang nantinya berguna bagi perencanaan pulang
(“Discharge Planning”).
 
a. Keluhan Utama
Keluhan utama akan menentukan prioritas intervensi dan
mengkaji pengetahuan klien tentang kondisinya saat ini. Keluhan
utama yang biasa muncul pada klien gangguan kebutuhan oksigen dan
karbondioksida antara lain : batuk, peningkatan produksi sputum,
dyspnea, hemoptysis, wheezing, Stridor dan chest pain.
1) Batuk (Cough)
Batuk merupakan gejala utama pada klien dengan penyakit
sistem pernafasan. Tanyakan berapa lama klien batuk (misal 1
minggu, 3 bulan). Tanyakan juga bagaimana hal tersebut timbul
dengan waktu yang spesifik (misal : pada malam hari, ketika
bangun tidur) atau hubungannya dengan aktifitas fisik. Tentukan
batuk tersebut apakah produktif atau non produktif, kongesti,
kering.
2) Peningkatan Produksi Sputum.
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama
dengan batuk atau bersihan tenggorok. Trakeobronkial tree secara
normal memproduksi sekitar 3 ons mucus sehari sebagai bagian
dari mekanisme pembersihan normal (“Normal Cleansing
Mechanism”). Tetapi produksi sputum akibat batuk adalah tidak
normal. Tanyakan dan catat warna, konsistensi, bau dan jumlah

6
dari sputum karena hal-hal tersebut dapat menunjukkan keadaan
dari proses patologik. Jika infeksi timbul sputum dapat berwarna
kuning atau hijau, sputum mungkin jernih, putih atau kelabu. Pada
keadaan edema paru sputum akan berwarna merah mudah,
mengandung darah dan dengan jumlah yang banyak.
3) Dyspnea
Dyspnea merupakan suatu persepsi kesulitan untuk
bernafas/nafas pendek dan merupakan perasaan subjektif klien.
Perawat mengkaji tentang kemampuan klien untuk melakukan
aktifitas. Contoh ketika klien berjalan apakah dia mengalami
dyspnea ?. kaji juga kemungkinan timbulnya paroxysmal nocturnal
dyspnea dan orthopnea, yang berhubungan dengan penyakit paru
kronik dan gagal jantung kiri.
4) Hemoptysis
Hemoptysis adalah darah yang keluar dari mulut dengan
dibatukkan. Perawat mengkaji apakah darah tersebut berasal dari
paru-paru, perdarahan hidung atau perut. Darah yang berasal dari
paru biasanya berwarna merah terang karena darah dalam paru
distimulasi segera oleh refleks batuk. Penyakit yang menyebabkan
hemoptysis antara lain : Bronchitis Kronik, Bronchiectasis, TB
Paru, Cystic fibrosis, Upper airway necrotizing granuloma, emboli
paru, pneumonia, kanker paru dan abses paru.
5) Chest Pain
Chest pain (nyeri dada) dapat berhubungan dengan
masalah jantung dan paru. Gambaran yang lengkap dari nyeri dada
dapat menolong perawat untuk membedakan nyeri pada pleura,
muskuloskeletal, cardiac dan gastrointestinal. Paru-paru tidak
mempunyai saraf yang sensitif terhadap nyeri, tetapi iga, otot,
pleura parietal dan trakeobronkial tree mempunyai hal tersebut.
Dikarenakan perasaan nyeri murni adalah subjektif, perawat harus
menganalisis nyeri yang berhubungan dengan masalah yang
menimbulkan nyeri timbul.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Perawat menanyakan tentang riwayat penyakit pernafasan
klien. Secara umum perawat menanyakan tentang :
1) Riwayat merokok : merokok sigaret merupakan penyebab penting
kanker paru-paru, emfisema dan bronchitis kronik. Semua

7
keadaan itu sangat jarang menimpa non perokok. Anamnesis harus
mencakup hal-hal :
a) Usia mulainya merokok secara rutin.
b) Rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari.
c) Usia melepas kebiasaan merokok.
2) Pengobatan saat ini dan masa lalu
3) Alergi
4) Tempat tinggal
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit
paru-paru sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu :
1) Penyakit infeksi tertentu : khususnya tuberkulosa, ditularkan
melalui satu orang ke orang lainnya; jadi dengan menanyakan
riwayat kontak dengan orang terinfeksi dapat diketahui sumber
penularannya.
2) Kelainan alergis, seperti asthma bronchial, menunjukkan suatu
predisposisi keturunan tertentu; selain itu serangan asthma
mungkin dicetuskan oleh konflik keluarga atau kenalan dekat.
3) Pasien bronchitis kronik mungkin bermukim di daerah yang polusi
udaranya tinggi. Tapi polusi udara tidak menimbulkan bronchitis
kronik, hanya memperburuk penyakit tersebut.
 
2. Review Sistem (Head to Toe)
a. Inspeksi
1) Pemeriksaan dada dimulai dari thorax posterior, klien pada posisi
duduk.
2) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang
lainnya.
3) Tindakan dilakukan dari atas (apex) sampai ke bawah.
4) Inspeksi thorax poterior terhadap warna kulit dan kondisinya,
skar, lesi, massa, gangguan tulang belakang seperti : kyphosis,
scoliosis dan lordosis.
5) Catat jumlah, irama, kedalaman pernafasan, dan kesimetrisan
pergerakan dada.
6) Observasi type pernafasan, seperti : pernafasan hidung atau
pernafasan diafragma, dan penggunaan otot bantu pernafasan.

8
7) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I)
dan fase ekspirasi (E). ratio pada fase ini normalnya 1 : 2. Fase
ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada
jalan nafas dan sering ditemukan pada klien Chronic Airflow
Limitation (CAL)/COPD
8) Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior
(AP) dengan diameter lateral/tranversal (T). ratio ini normalnya
berkisar 1 : 2 sampai 5 : 7, tergantung dari cairan tubuh klien.
9) Kelainan pada bentuk dada :
a) Barrel Chest
Timbul akibat terjadinya overinflation paru. Terjadi
peningkatan diameter AP : T (1:1), sering terjadi pada klien
emfisema.
b) Funnel Chest (Pectus Excavatum)
Timbul jika terjadi depresi dari bagian bawah dari sternum.
Hal ini akan menekan jantung dan pembuluh darah besar,
yang mengakibatkan murmur. Kondisi ini dapat timbul pada
ricketsia, marfan’s syndrome atau akibat kecelakaan kerja.
c) Pigeon Chest (Pectus Carinatum)
Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum, dimana
terjadi peningkatan diameter AP. Timbul pada klien dengan
kyphoscoliosis berat.
d) Kyphoscoliosis
Terlihat dengan adanya elevasi scapula. Deformitas ini akan
mengganggu pergerakan paru-paru, dapat timbul pada klien
dengan osteoporosis dan kelainan muskuloskeletal lain yang
mempengaruhi thorax.
Kiposis : meningkatnya kelengkungan normal kolumna
vertebrae torakalis menyebabkan klien tampak bongkok.
Skoliosis : melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral,
disertai rotasi vertebral
10) Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan
atau tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit
pada paru atau pleura.
11) Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi,
yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan nafas.
 

9
b. Palpasi
Dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit dan
mengetahui vocal/tactile premitus (vibrasi).
Palpasi thoraks untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji
saat inspeksi seperti : massa, lesi, bengkak.
Kaji juga kelembutan kulit, terutama jika klien mengeluh
nyeri.
Vocal premitus : getaran dinding dada yang dihasilkan ketika
berbicara.
 
c. Perkusi
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi
pulmoner, organ yang ada disekitarnya dan pengembangan
(ekskursi) diafragma.
Jenis suara perkusi :
Suara perkusi normal :
Resonan : bergaung, nada rendah. Dihasilkan pada jaringan paru
(Sonor) normal.
Dullness : dihasilkan di atas bagian jantung atau paru.
Tympany : musikal, dihasilkan di atas perut yang berisi udara.
Suara Perkusi Abnormal :
Hiperresonan : bergaung lebih rendah dibandingkan dengan
  resonan dan timbul pada bagian paru yang
abnormal berisi udara.
Flatness : sangat dullness dan oleh karena itu nadanya lebih
tinggi. Dapat didengar pada perkusi daerah paha,
dimana areanya seluruhnya berisi jaringan.
 
d. Auskultasi
Merupakan pengkajian yang sangat bermakna, mencakup
mendengarkan suara nafas normal, suara tambahan (abnormal), dan
suara.
Suara nafas normal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui
jalan nafas dari laring ke alveoli, dengan sifat bersih
Suara nafas normal :
a) Bronchial : sering juga disebut dengan “Tubular sound” karena
suara ini dihasilkan oleh udara yang melalui suatu tube (pipa),

10
suaranya terdengar keras, nyaring, dengan hembusan yang lembut.
Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi, dan tidak ada
henti diantara kedua fase tersebut. Normal terdengar di atas trachea
atau daerah suprasternal notch.
b) Bronchovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas
bronchial dan vesikular. Suaranya terdengar nyaring dan dengan
intensitas yang sedang. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi.
Suara ini terdengar di daerah thoraks dimana bronchi tertutup oleh
dinding dada.
c) Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi.
Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti
tiupan.
Suara nafas tambahan :
d) Wheezing : terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan
karakter suara nyaring, musikal, suara terus menerus yang
berhubungan dengan aliran udara melalui jalan nafas yang
menyempit.
e) Ronchi : terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter
suara terdengar perlahan, nyaring, suara mengorok terus-menerus.
Berhubungan dengan sekresi kental dan peningkatan produksi
sputum
f) Pleural friction rub : terdengar saat inspirasi dan ekspirasi.
Karakter suara : kasar, berciut, suara seperti gesekan akibat dari
inflamasi pada daerah pleura. Sering kali klien juga mengalami
nyeri saat bernafas dalam.
g) Crackles
Fine crackles : setiap fase lebih sering terdengar saat inspirasi.
Karakter suara meletup, terpatah-patah akibat udara melewati
daerah yang lembab di alveoli atau bronchiolus. Suara seperti
rambut yang digesekkan.
Coarse crackles : lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara
lemah, kasar, suara gesekan terpotong akibat terdapatnya cairan
atau sekresi pada jalan nafas yang besar. Mungkin akan berubah
ketika klien batuk.
 
3. Pengkajian Psikososial

11
Kaji tentang aspek kebiasaan hidup klien yang secara signifikan
berpengaruh terhadap fungsi respirasi. Beberapa kondisi respiratory
timbul akibat stress.
Penyakit pernafasan kronik dapat menyebabkan perubahan dalam
peran keluarga dan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, masalah
keuangan, pekerjaan atau ketidakmampuan.
Dengan mendiskusikan mekanisme koping, perawat dapat mengkaji
reaksi klien terhadap masalah stres psikososial dan mencari jalan
keluarnya.
 
4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan gangguan
oksigenasi yang mencakup ventilasi, difusi dan transportasi, sesuai dengan
klasifikasi NANDA (2005) dan pengembangan dari penulis antara lain :
1. Bersihan Jalan nafas tidak efektif (Kerusakan pada fisiologi
Ventilasi)
Adalah suatu kondisi dimana individu tidak mampu untuk batuk secara
efektif.
2. Kerusakan pertukaran gas (Kerusakan pada fisiologi Difusi)
Kondisi dimana terjadinya penurunan intake gas antara alveoli dan
sistem vaskuler
3. Pola nafas tidak efektif (Kerusakan pada fisiologi Transportasi)
Adalah Suatu kondisi tidak adekuatnya ventilasi berhubungan dengan
perubahan pola nafas. Hiperpnea atau hiperventilasi akan
menyebabkan penurunan PCO2
2.3 Prinsip Pemberian Obat
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian obat secara umum
adalah sebagai berikut :
1. Tepat Penderita
Dalam memberikan obat, harus memastikan dan memeriksa
identitas klien pada setiap kali pemberian obat. Apakah obat yang diberikan
sesuai dengan penderitanya.

2. Tepat Obat

12
Sebelum memberikan obat pada klien, perlu membaca kembali label
obat serta interaksi obat dan memastikan kembali bahwa klien menerima
obat yang telah diresepkan sesuai dengan penyakit yang derita.
Dalam memberikan obat pada klien, sebaiknya mengecek obat pada
saat menerima resep, akan memberikan pada klien dan pada saat pemberian
pada klien agar tidak terjadi kesalahan memberikan obat.

3. Tepat Dosis
Memastikan dan memeriksa dosis tertentu yang telah diresepkan
dokter untuk klien dengan penyakit tertentu agar tidak terjadi over dosis
atau under dosis yang dapat menimbulkan efek yang tidak dingin (efek
skunder)

4. Tepat Waktu
Memberikan obat yang telah diresepkan pada waktu-waktu tertentu
serta memperhatikan kapan obat tersebut diberikan, sebelum makan atau
sesudah makan. Misal: obat x diberikan dengan dosis harian 2 x sehari
sebelum makan
5. Waspada
Waspada terhadap efek samping yang ditimbulkan obat.

2.4 Terapi Obat- Obatan


2.4.1 Ringer Laktat (Cairan Kristaloid)
 Cara Kerja Obat
Natrium klorida merupakan garam yang berperan penting
dalam memelihara tekanan osmosis darah jaringan; Kalium Klorida
merupakan garam terpilih untuk hipokalemia yang disertai
hipokalemia; Natrium Laktat merupakan garam yang dibutuhkan
untuk pelayanan darurat terhadap metabolik asidosis ; Kalsium klorida
merupakan garam yang penting untuk menjaga fungsi normal otot dan
saraf
 Indikasi
Sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang dalam keadaan
asam basa berkesetimbangan atau asidosis ringan. Sebagai pilihan
utama untuk mengatasi kehilangan cairan dalam keadaan darurat.
Terapi pemeliharaan keseimbangan cairan pada keadaan pra, intra dan

13
pasca operasi; untuk mengatasi dehidrasi cairan interstisial yang
diberikan setelah pemberian pengganti cairan koloid.
 Cara Pemberian
Injeksi intravena dengan kecepatan alir = 2,5 ml/kg BB/jam,
yaitu sekitar 60 tetes / 70 kg BB/ menit atau 180 ml/ 70 kg BB/jam
 Kontra Indikasi
Penderita dengan hiperhidrasi, hipernatremia, hiperkalimia
penderita dengan gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati dan
asidosis laktat.
 Efek Samping
– Reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara
pemberiannya, termasuk timbunya panas, iritasi, infeksi pada
tempat penyuntikan, trombosit atau flebitis vena yang meluas
dari tempat penyuntikan dan ekstravasasi.
– Bila terjadi reaksi efek samping, pemakaian harus dihentikan
dan dilakukan evaluasi terhadap penderita.
 Perhatian
Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung fosfat
jangan digunakan bila botol rusak, larutan keruh atau berisi partikel.
 Peringatan
Hati-hati bila diberikan pada penderita payah jantung, odem
dengan retensi natrium sepsis parah, keadaan pra-pasca trauma,
kerusakan hati, hiperkalemia dan keadaan retensi kalium. Pemberian
secara intravena dapat menimbulkan solute overloading yang
menibulkan pengeceran konsentrasi elektrolit serum. Overdehidrasi,
keadaan kongesti dan edem plumonan.

2.4.2 Ranitidin
 Indikasi
Ranitidi digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan
deudenum akut, refluk esofagitis, keadaan hipersekresi asam lambung
patologis seperti pada sindroma ZollingerEllison. Hipersekresi pasca
bedah.
 Dosis dan Cara Pemakaian
Terapi oral
Dewasa : Tukak lambung, deudenum dan refluk esofagitis,
sehari 2 kali 1 tablet atau dosis tunggal 2 tablet menjelang tidur

14
malam, selama 4-8 minggu. Untuk hipersekresi patologis, sehari 2-3
kali 1 tablet. Bila keadaan paah dosis dapat ditingkatkn sampai 6 tablet
sehari dalam dosis terbagi. Dosis pemeliharaan sehari 1 tablet pada
malam hari. Pada penderita gangguan fungsi ginjal dan kleren kretinin
kurang dari 50 mg/menit, dosis sehari 1 tablet.
Terapi parenteral
Diberikan i.m. atau i.v. atau infus secara perlahan atau
intermiten untuk penderita rawat inap dengan kondisi hipersekretori
patologi atau tukak usus duabelas jari yang tidak sembuh-sembuh, atau
bila terapi oral tidak memungkinkan.
Dosis dewasa :
Injeksi i.m. atau i.v. intermiten: 50mg setiap 6-8 jam jika
diperlukan, obat dapat diberikan lebih sering, dosis tidak boleh
melebihi 400 mg sehari. Jika ranitidine diberikan secara infus, 150mg
ranitidine diinfuskan dengan kecepatan 6,25 mg/jam selama lebih dari
24 jam, pada penderita dengan sindrom Zollinger-Ellison atau kondisi
hipersekretori lain, infus selalu dilalui dengan kecepatan 1 mg/kg per
jam. Jika setelah 4 jam penderita masig sakit, atau sekresi asam
lambung masih besar dari 10 mEq/jam,dosis ditambah 0,5 mg/kg per
jam, lalu ukur kembali sekresi asam lambung. Pada penderita gagal
ginjal dengan kliren kreatinin kurang dari 50 menit, dosis i.m. atau
i.v. yang dianjurkan adalah 50 mg setiap 18-24 jam. Jika diperlukan,
ubah dengan hati-hati interval dosis dari setiap 24 jam menjadi setiap
12 jam.
 Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap ranitidine
 Efek Samping
 Kadang-kadang terjadi nyeri kepala, malaise, mialgia, mual dan
pruritus.
 Konstipasi, pusing,sakit perut.
 Konfusion, hiperprolaktinemia, gangguan fungsi seksual, hepatitis
(jarang).
 Rasa sakit di daerah peyuntikan pada pemberian secara i.m.
 Rasa terbakar pada pemberian secara i.v.
 Peringatan dan Perhatian
 Keamana pemakaian pada wanita hamil dan menyusui balum
dapat dipastikan.

15
 Pemberian harus hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi
hati dan ginjal.
 Pemberian ranitidine pada penderita keganasan lambung dapat
menutupi gejala-gejala penyakit ini.
 Keamanan dan efektifitas pada anak-anak belum dapat dipastikan
(estabilised).
 Pengobatan penunjang akan mencegah kambuhnya tukak (ulkus).
 Hindari penggunaan pada penderita yang memiliki riwayat porfiria
akut.
2.4.3 Lasix
 Farmakologi :
Golongan diuretik kuat. Digunakan dalam pengobatan oedema paru
akibat gagal jantung kiri. Pemberian intravena mengurangi sesak napas
dan prabeban lebih cepat dari mula kerja diresisnya. Diuretika ini juga
digunakan pada pasien gagal jantung yang telah berlangsung lama.
Diuretika kuat menghambat resorpsi cairan dalam tubulus ginjal.
 Komposisi :
Furosemida 10 mg/ml injeksi; 40 mg/tablet.
 Indikasi :
Oedema, oliguria karena gagal ginjal.
 Peringatan :
Kehamilan dan menyusui, dapat menyebabkan hipokalemia dan
hiponatremia, memperburuk diabetes mellitus dan asam urat, gagal
hati, pembesaran prostat, porifiria.
 Kontraindikasi :
Keadaan prakoma akibat sirosis hati, gagal ginjal dengan anuria. Gagal
ginjal akut, komahepatikum, hipokalemia.
 Efek samping :
Gangguan gastrointestinal, neprokalsinosis pada bayi prematur.
Hiponatremia, hiokalemia, hipomagnesemia, alkalosis hipokloremik,
ekskresi kalsium meningkat, hipotensi, hiperglikemia; kadar kolesterol
dan trigliserida plasma meningkat sementara. Jarang terjadi ruam kulit,
fotosensitifitas dan depresi sumsum tulang (hentikan pengobatan),
pankreatitis (dengan dosis parenteral yang besar), tinitus dan ketulian
(biasanya karena pemberian dosis parenteral yang besar dan cepat
serta pada gangguan ginjal).

16
 Interaksi obat :
Bekerja dalam 1 jam setelah pemberian oral dan diuresis sempurna
dalam 6 jam. Setelah pemberian intravena menunjakkan efek puncak
dalam waktu 30 menit.
 Pendosisan :
Oral, oedema, dosis awal 40 mg pada pagi hari, pemeliharaan 20 mg
sehari atau 40 mg selang sehari, tingkatkan sampai 80 mg pada
oedema yang resisten; anak 1 – 3 mg/kgBB sehari. Oliguria, dosis
awal 250 mg sehari, jika diperlukan dosis lebih besar, tingkatkan
bertahap dengan 250 mg, dapat diberikan setiap 4 – 6 jam sampai
maksimal dosis himgga 2 g (jarang digunakan). Injeksi (IM/IV) lambat
(tidak lebih dari 4 mg/menit) dosis awal 20 – 50 mg; anak 0,5 – 1,5
mg/kgBB sampai dosis maksimal sehari 20 mg. Infus intra vena pada
oliguria, dosis awal 250 mg selama 1 jam (tidak lebih dari 4
mg/menit). Dosis efektif (sampai 1 g) dapat diulang setiap 24 jam.
 Sediaan, nama paten dan nama dagang :
- Dos 5 ampul @ 2 ml, dos 25 ampul @ 2 ml; tablet 10 x 10.
- Furosemide (Generik) Tablet 40 mg
- Arsiret (Meprofarm) Tablet 40 mg
- Diurefo (Pyridam) Tablet 40 mg
- Farsiretik (Ifars) Tablet 40 mg
- Farsix (Pratapa Nirmala) cairan injeksi 10 mg/ml; Tablet 40 mg
- Furosix (Pertiwi Agung) Cairan injeksi 10 mg/ml; Tablet 40 mg
- Gralixa (Graha) Tablet 20 mg, 40 mg
- Husamid (Gratia Husada) Kaptabs 40 mg
- Impugan (Dumex Alpharma Indonesia) Tablet 40 mg
- Lasix (Hoechst Marion Roussel Indonesia) Cairan injeksi 20 mg/2
ml; Tablet 40 mg
- Ureix (Sanbe) Tablet Ss. 40 mg
- Yekasix (Yekatria) Tablet 40 mg
2.4.4 Ketorolac

Kemasan & No Reg :.


 Ketorolac 10 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. :
GKL0808514843A1
 Ketorolac 30 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. :
GKL0808514843B1

17
Farmakologi :.
Farmakodinamik
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas
antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik
yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.
Uji Klinis
Beberapa penelitian telah meneliti efektivitas analgesik Ketorolac
tromethamine intramuskular pada dua model nyeri pasca bedah akut; bedah
umum (ortopedik, ginekologik dan abdominal) dan bedah mulut (pencabutan
M3 yang mengalami impaksi). Penelitian ini merupakan uji yang dirancang
paralel, dosis tunggal primer, yang membandingkan Ketorolac tromethamine
dengan Meperidine (Phetidine) atau Morfin yang diberikan secara
intramuskular. Pada tiap model, pasien mengalami nyeri sedang hingga berat
pada awal penelitian. Jika dibandingkan dengan Meperidine 50 dan 100 mg,
atau Morfin 6 dan 12 mg pada pasien yang mengalami nyeri pasca bedah,
Ketorolac tromethamine 10, 30 dan 90 mg menunjukkan pengurangan nyeri
yang sama dengan Meperidine 100 mg dan Morfin 12 mg. Onset aksi
analgesiknya sebanding dengan Morfin. Durasi analgesia Ketorolac
tromethamine 30 mg dan 90 mg lebih lama daripada narkotik. Berdasarkan
pertimbangan efektivitas dan keamanan setelah dosis berulang, dosis 30 mg
menunjukkan indeks terapetik yang terbaik. Suatu penelitian multisenter,
multi-dosis (20 dosis selama 5 hari), pasca bedah (bedah umum)
membandingkan Ketorolac tromethamine 30 mg dengan Morfin 6 dan 12 mg
dimana tiap obat hanya diberikan bila perlu. Efek analgesik keseluruhan dari
Ketorolac tromethamine 30 mg berada di antara Morfin 6 mg dan 12 mg,
walaupun perbedaan antara Ketorolac tromethamine 30 mg dan Morfin 12
mg tidak bermakna secara statistik. Tidak tampak adanya depresi napas
setelah pemberian Ketorolac tromethamine pada uji klinis kontrol. Ketorolac
tromethamine tidak menyebabkan konstriksi. Pada pasien pasca bedah,
dibandingkan dengan plasebo : Ketorolac tromethamine tidak menyebabkan
kantuk dan dibandingkan dengan Morfin, Ketorolac lebih sedikit
menyebabkan kantuk.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah

18
pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma
sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu
paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang
lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat pada
konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah
pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear.
Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam
sehari. Pada dosis jangka panjang tidak dijumpai perubahan bersihan.
Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata
0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-
hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata
6,1%) diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak
mengubah hemodinamik pasien.
Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap
nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total
Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral
dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke analgesik
alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari.
Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri
atau untuk analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat
mengenai hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat
biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.
Kontra Indikasi
 Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini,
karena ada kemungkinan sensitivitas silang.
 Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian
Asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain.
 Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
 Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
 Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
 Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau
bronkospasme.
 Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
 Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
 Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160

19
mmol/L).
 Riwayat asma.
 Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau
hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin
dosis rendah (2.500–5.000 unit setiap 12 jam).
 Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
 Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
 Anak < 16 tahun.
 Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam
vesikulobulosa.
 Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
 Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika
hemostasis benar-benar dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.
Dosis :.
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus
intravena. Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15
detik. Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal.
Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa,
kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2
jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya
disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi :
Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular
dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat
meningkat pada penggunaan jangka panjang.
Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan
10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif
terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa
dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang
berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh lebih dari 2
hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat
mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total
kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia,
gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg).
Instruksi dosis khusus
Pasien lanjut usia Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun,

20
dianjurkan memakai kisaran dosis terendah: total dosis harian 60 mg tidak
boleh dilampaui (lihat Perhatian).
Anak-anak : Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum
ditetapkan. Oleh karena itu, Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di
bawah 16 tahun. Gangguan ginjal : Karena Ketorolac tromethamine dan
metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac dikontraindikasikan
pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160 mmol/l);
pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih
rendah (tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat.
Analgesik opioid (mis. Morfin, Phetidine) dapat digunakan bersamaan, dan
mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek analgesik optimal pada periode
pasca bedah awal bilamana nyeri bertambah berat. Ketorolac tromethamine
tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak mencetuskan depresi napas atau
sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan bersama dengan
Ketorolac ampul, dosis harian opioid biasanya kurang dari yang dibutuhkan
secara normal. Namun efek samping opioid masih harus dipertimbangkan,
terutama pada kasus bedah dalam sehari.
Efek Samping
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20
dosis dalam 5 hari.
Insiden antara 1 hingga 9% :
Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.
Peringatan dan Perhatian
Seperti obat analgesik anti-inflamasi nonsteroid lainnya, Ketorolac dapat
menyebabkan iritasi, ulkus, perforasi atau perdarahan gastrointestinal
dengan atau tanpa gejala sebelumnya dan harus diberikan dengan
pengawasan ketat pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit saluran
gastrointestinal. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan selama
kehamilan, persalinan, kelahiran, dan pada ibu menyusui.

Peringatan khusus mengenai inkompatibilitas:


Ketorolac ampul tidak boleh dicampur dalam volume kecil (mis. dalam
spuit) dengan Morfin sulfat, Phetidine hydrochloride, Promethazine
hydrochloride atau Hydroxyzine hydrochloride karena akan terjadi

21
pengendapan Ketorolac tromethamine. Ketorolac ampul kompatibel dengan
larutan normal saline, 5% dekstrosa, Ringer, Ringer-laktat, atau larutan
Plasmalyte. Kompatibilitas dengan obat lain tidak diketahui.
Perhatian
Efek Renal : Sama seperti obat lainnya yang menghambat biosintesis
prostaglandin, telah dilaporkan adanya peningkatan urea nitrogen serum dan
kreatinin serum pada uji klinis dengan Ketorolac tromethamine.
Efek Hematologis : Ketorolac menghambat agregasi trombosit dan dapat
memperpanjang waktu perdarahan. Ketorolac tidak mempengaruhi hitung
trombosit , waktu protrombin (PT) atau waktu tromboplastin parsial (PTT).
Pasien dengan gangguan koagulasi atau yang sedang diberi terapi obat yang
mengganggu hemostasis harus diawasi benar-benar saat diberikan Ketorolac.

Efek Hepar : Bisa terjadi peningkatan borderline satu atau lebih tes fungsi
hati. Pasien dengan gangguan fungsi hati akibat sirosis tidak mengalami
perubahan bersihan Ketorolac yang bermakna secara klinis. Ketorolac
tromethamine tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai medikasi prabedah,
untuk mendukung anestesi atau analgesia obstetri. Belum ada data klinis
mengenai keamanan dan efektivitas pemberian bersama Ketorolac
tromethamine dengan obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya. Ketorolac tidak
dianjurkan digunakan secara rutin bersama dengan obat anti-inflamasi
nonsteroid lain, karena adanya kemungkinan efek samping tambahan.
Untuk pasien gangguan ginjal ringan : Fungsi ginjal harus dipantau pada
pasien yang diberi lebih dari dosis tunggal IM, terutama pada pasien tua.
Retensi cairan dan edema: Pernah dilaporkan terjadinya retensi cairan dan
edema pada penggunaan Ketorolac. Oleh karena itu, Ketorolac harus hati-
hati diberikan pada pasien gagal jantung, hipertensi atau kondisi serupa.
Interaksi Obat
 Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati
karena beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin
dilaporkan mengurangi bersihan Methotrexate, sehingga memungkinkan
peningkatan toksisitas Methotrexate.
 Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan
perdarahan berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi
pastinya belum diketahui, namun mungkin meliputi peningkatan
perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID, atau

22
efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan fungsi
trombosit oleh NSAID. Ketorolac harus digunakan secara kombinasi
hanya jika benar-benar perlu dan pasien tersebut harus dimonitor secara
ketat.
 ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan
ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama
pada pasien yang telah mengalami deplesi volume.
 Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira
20% pada orang sehat normovolemik.
 Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila
sedang memakai Ketorolac misalnya antibiotik aminoglikosida.
 Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan
Ketorolac bersama dengan obat-obat anti-epilepsi.
 Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada
pasien yang sedang menggunakan obat psikoaktif.
Anak-anak
Keamanan dan efektivitas pada anak belum ditetapkan.
Lanjut usia
Pasien di atas 65 tahun dapat mengalami efek samping yang lebih besar
daripada pasien muda. Risiko yang berkaitan dengan usia ini umum terdapat
pada obat yang menghambat sintesis prostaglandin. Seperti halnya dengan
semua obat, pada pasien lanjut usia harus dipakai dosis efektif yang
terendah.
Penyalahgunaan dan ketergantungan fisik
Ketorolac tromethamine bukan merupakan agonis atau antagonis narkotik.
Subjek tidak memperlihatkan adanya gejala subjektif atau tanda objektif
putus obat bila dosis intravena atau intramuskular dihentikan tiba-tiba.
Lain-lain
Penyimpanan:
Simpan pada suhu di bawah 30°C, lindungi dari cahaya.
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
2.4.5 Captopril
KOMPOSISI
CAPTOPRIL 12,5 mg
Tiap tablet mengandung:
Kaptopril 12,5 mg
CAPTOPRIL 25 mg

23
Tiap tablet mengandung:
Kaptopril 25 mg
CAPTOPRIL 50 mg
Tiap tablet mengandung:
Kaptopril 50 mg
Farmakologi:
Kaptopril terutama bekerja pada sistem RAA (Renin-Angiotensin-
Aldosteron), sehingga efektif pada hipertensi dengan PRA (Plasma Renin
Activity) yang tinggi yaitu pada kebanyakan hipertensi maligna, hipertensi
renovaskular dan pada kira-kira 1/6-1/5 hipertensi essensial.
Kaptopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan
juga pada hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan
antihipertensi yang efektif untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi
kombinasi lain. Kombinasi dengan tiazid memberikan efek aditif
sedangkan kombinasi dengan blocker memberikan efek yang kurang
aditif.

Indikasi:
 Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat
diatasi dengan pengobatan kombinasi lain.
 Kaptopril dapat dipergunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan
obat antihipertensi lain terutama tiazid.
 Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol
dengan diuretik dan digitalis.

Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.

Dosis:
Dewasa:
Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari.
Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan darah, maka
dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari.
Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari, sebaiknya
dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.

24
Efek samping:
Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik.
Efek samping yang dapat timbul adalah ruam kulit, gangguan
pengecapan, neutropenia, proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan
hipotensi.
Efek samping ini bersifat dose related dengan pemberian dosis kaptopril
kurang dari 150 mg per hari, efek samping ini dapat dikurangi tanpa
mengurangi khasiatnya.
Efek samping lain yang pernah dilaporkan: umumnya asthenia,
gynecomastia.
Kardiovaskular : cardiac arrest, cerebrovascular accident/insufficiency,
rhythm disturbances, orthostatic hipotension,
syncope.
Dermatologi : bullous pemphigus, erythema multiforme exfoliative
dermatitis.
Gastrointestinal : pankreatitis, glossitis, dispepsia.
Hepatobiliary : jaundice, hepatitis, kadang-kadang nekrosis, cholestasis.
Metabolit : symptomatic hyponatremia.
Musculoskeletal : myalgia, myasthenia.
Nervous/psychiatric : ataxia, confusion, depression, nervousness,
somnolence.
Respiratory : bronchospasm, eosinophilic pneumonitis, rhinitis, blurred
vision, impotence.
Seperti ACE inhibitor lainnya dapat menyebabkan sindroma termasuk:
myalgia, arthralgia, interstitial nephritis, vasculitis, peningkatan ESR.
Peringatan dan perhatian:
1. Neutropenia/agranulositosis:
Neutropenia akibat pemberian kaptopril (jumlah neutrofil kurang dari
1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama obat diteruskan,
insidensinya 0,02% (1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal
(kreatinin serum > 2 mg/dl), dan menjadi 7,2% (8/111) pada penderita
dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit vaskular kolagen seperti
lupus (SLE) atau skleroderma.
Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan
reversibel bila pengobatan dihentikan (90% penderita dalam 3
minggu) atau dosisnya diturunkan.

25
Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang
mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit
(obat-obat sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain),
harus dilakukan hitung leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu
selama 3 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu.
Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya
bila mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena
mungkin merupakan petunjuk adanya neutropenia.
2. Proteinuria/sindroma nefrotik:
Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769)
penderita hipertensi yang diobati dengan kaptopril.
Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria sebelum
pengobatan, insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni 0,2% pada
dosis kaptopril < 150 mg sehari dan 1% pada dosis kaptopril > 150 mg
sehari. Pada penderita dengan penyakit ginjal/proteinuria sebelum
pengobatan, insidensinya meningkat menjadi 2,1% 946/2196), yakni
1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi
kira-kira 1/5 (7/34) penderita dengan proteinuria.
Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum ada.
Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi tetapi belum tentu
disebabkan oleh kaptopril karena glumerulonefritis yang subklinik
jugma ditemukan pada penderita hipertensi yang tidak mendapat
kaptopril. Proteinuria yang terjadi pada penderita tanpa penyakit ginjal
sebelumnya pengobatan tidak disertai dengan gangguan fungsi ginjal.
Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan (range 4
hari hingga 22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria menetap
meskipun obat dihentikan. Oleh karena itu pada penderita dengan
risiko tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein dalam urin sebelum
pengobatan, sebulan sekali selama 9 bulan pertama pengobatan dan
periodik setelah itu.
3. Gagal ginjal/akut:
Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian kaptopril pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal sebelum pengobatan. Gejala
ini muncul dalam beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan
kasus) reversibel atau stabil meski pengobatan diteruskan, sedangkan
pada yang berat dan progresif, obat harus dihentikan. Gejala ini akibat
berkurangnya tekanan perfusi ginjal oleh kaptopril, dan karena

26
kaptopril menghambat sintesis A II intrarenal yang diperlukan untuk
konstriksi arteriola eferen ginjal guna mempertahankan filtrasi
glomerulus pada stenosis arteri ginjal. Gagal ginjal yang akut dan
progesif terutama terjadi pada penderita dengan stenosis arteri tinggi
tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi
ginjal tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi
tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi
ginjal (kreatinin serum dan BUN), dan dosis kaptopril dimulai
serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang progresif, kaptopril
harus dihentikan dan gejala ini reversibel dalam 7 hari.
4. Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus:
Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat
menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus.
Apabila pada pemakaian obat ini ternyata wanita itu hamil, maka
pemberian obat harus dihentikan dengan segera. Pada kehamilan
trimester II dan III dapat menimbulkan gangguan antara lain;
hipotensi, hipoplasia-tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal
reversibel atau irreversibel dan kematian.
Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial,
perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan,
retardasi intrauteri, patenduktus arteriosus.
Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya
mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif
tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.
Interaksi obat:
 Pemberian obat diuretik hemat kalium (spironolakton-triamteren,
anulona) dan preparat kalium harus dilakukan dengan hati-hati
karena adanya bahaya hiperkalemia.
 Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat
menghambat efek kaptopril.
 Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang
diberi kaptopril dan simetidin.
 Kombinasi kaptopril dengan allopurinol tidak dianjurkan, terutama
gagal ginjal kronik.

27
2.4.6 Digoxin
MEKANISME: Digoxin meningkatkan kekuatan dan kekuatan
kontraksi jantung, dan berguna dalam pengobatan gagal jantung. Digoksin
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dengan menghambat
aktivitas dari enzim (ATPase) yang mengontrol pergerakan kalsium,
natrium dan kalium dalam otot jantung. ATPase menghambat peningkatan
kalsium dalam otot jantung dan karena itu meningkatkan kekuatan
kontraksi jantung. Digoxin listrik juga memperlambat konduksi antara
atrium dan ventrikel jantung dan berguna dalam mengobati abnormal
ritme atrium cepat seperti atrial fibrilasi, atrial bergetar, dan atrial
takikardia. (Secara abnormal ritme atrium cepat dapat disebabkan oleh
serangan jantung, kelebihan hormon tiroid , alkohol, infeksi, dan banyak
kondisi lain.) Selama ritme atrium cepat, sinyal-sinyal listrik dari atrium
cepat menyebabkan kontraksi ventrikel. Rapid ventrikel kontraksi tidak
efisien dalam memompa darah yang mengandung oksigen dan nutrisi ke
dalam tubuh, menyebabkan gejala kelemahan, sesak napas, pusing, dan
bahkan sakit dada. Digoxin mengurangi gejala ini dengan menghalangi
konduksi listrik antara atrium dan ventrikel, sehingga memperlambat
kontraksi ventrikel. The FDA approved digoxin in 1975. Digoxin disetujui
FDA pada tahun 1975.
Persiapan: Tablet: 0,125, dan 0,25 mg; Elixir: 0.05, 0.25, dan 0,1
mg / ml.
STORAGE: Digoxin harus disimpan pada suhu kamar, 59-86 F (15-30 C)
dan terlindung dari cahaya.
Diresepkan untuk: Digoxin digunakan untuk ringan hingga sedang
kongestif gagal jantung dan untuk mengobati sebuah irama jantung
abnormal disebut atrial fibrilasi.
Dosis: Digoxin dapat diambil dengan atau tanpa makanan.
Digoxin terutama dihilangkan oleh ginjal, sehingga dosis digoksin
harus dikurangi pada pasien dengan disfungsi ginjal. Digoxin darah
digunakan untuk menyesuaikan dosis untuk menghindari toksisitas. Dosis
awal yang biasa adalah 0,0625-0,25 mg per hari, tergantung pada usia dan
fungsi ginjal. Dosis dapat ditingkatkan setiap dua minggu untuk mencapai
respon yang dikehendaki.
Interaksi Obat: Obat-obatan seperti verapamil (calan, Verelan, Verelan
PM, Isoptin, Isoptin SR, Covera-HS), quinidine (Quinaglute, Quinide),
Amiodarone (Cordarone), indometasin (Indocin, Indocin-SR), alprazolam

28
(Xanax, Xanax XR, Niravam), spironolactone (aldactone), dan
itraconazole (Sporanox) dapat meningkatkan kadar digoxin dan risiko
toksisitas. [misalnya propranolol (Inderal, Inderal LA) atau calcium
channel blockers (misalnya, verapamil), yang juga mengurangi denyut
jantung, dapat menyebabkan perlambatan denyut jantung.
Diuretic-induced [misalnya, dengan furosemide (Lasix)] penurunan
kalium darah atau magnesium tingkat dapat mempengaruhi pasien untuk
digoxin-induced ritme jantung abnormal. Saquinavir (Invirase) dan
ritonavir (Norvir) meningkatkan jumlah digoksin dalam tubuh dan dapat
menyebabkan toksisitas digoxin.
KEHAMILAN: Tidak ada penelitian yang memadai pada wanita
hamil.
NURSING IBU: Digoxin di dalam ASI yang dikeluarkan pada
konsentrasi sama dengan konsentrasi dalam darah ibu. Namun, jumlah
total digoksin yang akan diserap dari air susu ibu oleh bayi mungkin tidak
cukup untuk menyebabkan efek. Caution should be exercised by nursing
mothers who are taking digoxin. Perhatian harus dilakukan oleh ibu-ibu
menyusui yang mengambil digoxin.
Efek Samping: Efek samping yang umum adalah mual, muntah, sakit
kepala, pusing, kulit ruam, dan perubahan mental. Banyak efek samping
digoksin tergantung dosis dan terjadi ketika tingkat darah di kisaran
terapeutik yang sempit. Oleh karena itu, digoxin efek samping dapat
dihindari dengan menjaga kadar darah dalam tingkat terapeutik. Efek
samping yang serius yang berhubungan dengan digoxin termasuk blok
jantung, denyut jantung yang cepat, dan memperlambat detak jantung.
Digoxin juga telah dikaitkan dengan gangguan visual (penglihatan kabur
atau kuning), sakit perut, dan pembesaran payudarara. Pasien dengan
kadar kalium darah rendah dapat mengembangkan toksisitas digoxin
bahkan ketika kadar digoxin tidak dianggap tinggi. Demikian pula, tinggi
kalsium dan magnesium rendah kadar darah dapat meningkatkan toksisitas
digoksin dan menghasilkan gangguan serius dalam irama jantung.

29
2.4.7 Acetil salicylacid
- Nama & Struktur Kimia : Merupakan ester salisilat dari asam.
C9H8O4
Golongan/Kelas Terapi
Analgesik Non Narkotik
 
Nama Dagang
- Aptor - Aspilets - Aspimec
- Astika - Bodrexin - Cardio Aspirin
- Procardin - Restor - Thrombo Aspilets

Indikasi
Nyeri :
Sakit kepala, nyeri-nyeri ringan lain yang berhubungan dengan adanya inflamasi.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Nyeri & Demam :
Penyakit Inflamasi :
Dosis awal : 2,4-3,6g/hari dalam dosis terbagi dapat ditingkatkan 325mg-1,2g/hari.
Dosis pemeliharaan : 3,6-5,4g/hari.
Gejala Juvenile Arthritis :
Dosis awal :
Anak-anak dengan BB < 25kg : 60-130mg/kg BB/hari.
Anak-anak dengan BB > 25kg : 2,4-3,6g/hari dalam dosis terbagi
Dewasa : 650mg-1,3g setiap 8 jam, tidak lebih dari 3,9g/hari.
Kontraindikasi
Alergi terhadap Aspirin dan golongan salisilat
Efek Samping
Reye's syndrome : Iritasi lambung karena bersifat asam.
Pengaruh
Terhadap Kehamilan : -
Terhadap Ibu Menyusui : -
Terhadap Anak-anak : Reyes Syndrome.
Terhadap Hasil Laboratorium : -
Parameter Monitoring
Bentuk Sediaan

30
Tablet Salut Tahan Asam 80 mg, 100 mg, 160 mg, Tablet Biasa 500 mg.
Peringatan
Reye's syndrome pada anak Swamedikasi nyeri dan demam.
Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus
Informasi Pasien
Minum setelah makan dengan satu gelas air / susu.
Mekanisme Aksi
Asetilasi enzim PGHS.
Monitoring Penggunaan Obat
Munculnya efek samping.

31
BAB III
DATA DAN ASUHAN KEPERAWATAN

3. 1 DATA
3.1.1 Catatan Harian Dokter
Ny”S” RM : 007116
No Tanggal Jam Keadaan Klinis Pengobatan
1. 26-02- 05.50 Data subyektif: Infus RL 15 tetes per menit
10 Sesak (+) 3 hari, nafas Pasang O2
ngongsrong (+) 2 hari, Pasang DC
mua (+), muntah (-), Posisi semi fowler
panas (+), batuk (+). Injeksi: ranitidine 2x1 ampul
Data obyektif: Exstra lasix ½ ampul
Keadaan umum: sedang, ECG, GPA
kesadaran Lab: DL, OT, PT, ureum kreatinin.
composmentis.
Tekanan darah: 110/80
mm Hg
Nadi: 100x/menit
RR: 32x/menit
Thorax: ronchi +/+
Wheezing -/-
Abdomen: dalam bata
normal.
Extremitas: akral hangat
A: obs. dispnea
2. 27-02- 16.45 Sesak(+) - Imobilisasi
10 - O2 nasal kanul : 2 liter per
menit
- Semifowler
- Ketorolac 3x1 ampul
- Ranitidine 3x1 ampul
- Lasik 3x1 ampul
- Per oral: Digoxin 1x 0,25
- Captopril 2x6,25
- Observasi vital sign

3 28-02- 08.00 Data subyektif: - Imobilisasi

32
10 Sesak (+) 3 hari, nafas - O2 nasal kanul : 2 liter per
ngongsrong (+) 2 hari, menit
mua (+), muntah (-), - Semifowler
panas (+), batuk (+). - Ketorolac 3x1 ampul
Data obyektif: - Ranitidine 3x1 ampul
Keadaan umum: sedang, - Lasik 3x1 ampul
kesadaran - Per oral: Digoxin 1x 0,25
composmentis. Captopril 2x6,25
Tekanan darah: 110/80 Observasi vital sign
mm Hg
Nadi: 100x/menit
RR: 32x/menit
Thorax: ronchi +/+
Wheezing -/-
Abdomen: dalam bata
normal.
Extremitas: akral hangat
A: obs. dispnea
4. 01-03- Data subyektif:
10 Sesak (+) hari, nafas
ngongsrong (+) hari,
mua (+), muntah (-),
panas (+), batuk (+).
Data obyektif:
Keadaan umum:
lemah , kesadaran
composmentis.
Tekanan darah:
80/50mm Hg
Nadi: 92x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36 C Per oral:
07.00 Thorax: ronchi +/+  Digoxin 0,25 mg
Wheezing -/-  Captopril 12,5 mg
Abdomen: dalam bata  Acetil salicylad 80 mg
normal. - Ranitidine 2x1 ampule
Extremitas: akral hangat - Ketorolac stop

33
A: obs. Disp
5 02-03- 07.00 Data subyektif: - Paru tidak dilanjutkan/selesai.
10 Sesak (-) hari, nafas - Terapi lain-lain tetap.
ngongsrong (+) , mual
(+), muntah (-), panas
(+), batuk (+).
Data obyektif:
Keadaan umum:
lemah , kesadaran
composmentis.
Tekanan darah:
80/50mm Hg
Nadi: 92x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36 C
Thorax: ronchi +/+
Wheezing +/+
Abdomen: dalam bata
normal.
Extremitas: akral hangat
A: obs. Dispnea

6 03-03- Data subyektif:


10 Sesak (-) hari, nafas
ngongsrong (+) , mual
(+), muntah (-), panas
(+), batuk (+).
Data obyektif:
Keadaan umum:
lemah , kesadaran
composmentis.
Tekanan darah:
80/50mm Hg
Nadi: 92x/menit
RR: 22x/menit
Suhu: 36 C - Paru tidak dilanjutkan/selesai.
Thorax: ronchi +/+ - Terapi lain-lain tetap.

34
Wheezing +/+
Abdomen: dalam bata
normal.
Extremitas: akral hangat
A: obs. Dispnea

3.1.2 Lembar Instruksi Dokter dan Laporan Perawat/Bidan

Instruksi dokter laporan perawat/bidan


Tanggal/jam Isi paraf nama terang dokter Tanggal/jam Isi paraf nama
terang perawat
Malam Batuk(+) 28/2/10 Keadaan umum
20.00 wib Terapi : RL Sore lemah sesak(+)
Injeksi : (-) Terapi : infus
RL
Injeksi ketorolac
Injeksi
ranitidine.

Keadaan umum
Malam lemah,batuk,ses
ak
Terapi: infus
RL, injeksi
ranitidine.

Keadaan umum
28/2/10 lemah sesak(+)
sore Terapi : infus
RL
Injeksi ketorolac
Injeksi
ranitidine

Keadaan umum

35
lemah,batuk,ses
Malam ak
Terapi: infus
RL, injeksi
ranitidine.

Keadaan umum
lemah sesak(+)
01/03/10 Terapi : infus
RL
Injeksi ketorolac
Injeksi
ranitidine

Keadaan umum:
lemah,batuk(+)
Terapi: infus
Sore RL,
Injeksi lasix,
injeksi
ranitidine.

3.1.3 Data Laboratorium


Ny.S
Tanggal : 27-02-10 RM: 007116
Hasil
Jenis Pemeriksaan Normal Metode
Penelitian
Hematologi
1. Hemoglobin 11,6 P 13,0 – 18,0 mg/dl Floweytometri

36
L 14,0 – 18,0 mg/dl
2. Leukosit 5,940 3500 – 1000 /cmm
3. Eritrosit 3,87 L 4,5 – 6,5 juta/cmm
P 3,0 – 6,0 juta/cmm
4. Laju endap darah 50 L 0 – 5 /jam Westergen
P 0 – 7 /jam
5. Hematokrit 35 L 40 – 54 % Floweytometri
P 35 – 47 %
6.Trombosit 114.000 150.000 – 450.000
7. Diffount 0/0/0/65/17/ 1 – 2 /0 – 1/ 3 – 5/54-62/25 –
8 33/3 – 7
FAAL HATI
8. SGOT 19 Up to 37 m /ml IFCC
9. SGPT 25 Up to 40 m /ml IFCC
ELEKTROLIT ISE
10. Kalium serum 4,0 3,5 – 5,2 m Mol / I ISE
11. Natrium serum 137 135 – 146 m Mol / I ISE
12. Clorida serum 98 94 – 111 m Mol / I ISE
FAAL GINJAL
13. BUN 14,5 10 – 20 mg / dl Bartelot
14. Serum Kreatinin 1,04 P 0,7 – 1,2 mg/dl Jaffe
L 0,8 – 1,5 mg /dl
15. Uric acid 5,6 P 1,9 – 5,1 mg/dl PAP
L3,1 – 7,9 mg/dl
LEMAK
16. Cholesterol 99 < 250 mg/dl 600 – PAP
17. Trigiiserida 104 60 – 165 mg/dl GPO – PAP
18. HDL cholesterol 19 > 35 mg/dl CHOD – PAP
19. LDL kholesterol 59 < 150 mg/dl CHOD – PAP
KADAR LEMAK
20. Gula Darah Puasa 104 63 – 115 mg/dl

3.1.4 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan / penampilan / kesan umum klien :
Keadaan lemah, akral hangat, klien terpasang infuse, klien terpasang
kateter
2. Tanda – tanda vital
- Suhu tubuh : 36,5° C
- Denyut nadi : 92 x /menit
- Tekanan darah : 110/80 mmHg

37
- Respirasi : 32 x /menit
3. Pemeriksaan fisik
Kepala : Bentuk simetris, tidak ada lesi
Rambut : Penyebaran merata, panjang, kotor dan beruban
Wajah : Bentuk oval
Mata : Tidak ikterus
Hidung : Tidak terpasang NGT
Telinga : Bentuk simetris, tidak ada nodul
Mulut dan facing : Mulut kering dan kotor
Leher : Tidak ada pembesaran
4. Pemeriksaan Integumen / kulit dan kuku :
Kulit keriput, akral hangat, hidrasi kulit kurang, CRT < 2 detik, kuku tidak
sianosis
5. Pemeriksaan payudara
Tidak dilakukan pemeriksaan secara spesifik
6. Pemeriksaan Thorak dan Dada :
Bentuk Thmrak normal chest, stridor (-)
7. Pemeriksaan Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vocal vemitus kanan / kiri
Peckusi : Terdengar suara resonan
Auskultasi : Ronchi +/+. Whezing (-)
8. Pemeriksaan Jantung :
A / BT II ICS 2 kanan : S1, S2 tunggal
P / BT II ICS 2 kiri : S2 tunggal
T / BT I ICS 3 kiri : terdengar suara Ronchi +/+
M / BT ICS 5 kiri : Whezing (-)
9. Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : tidak ada bayangan vena, bentuk datar
Palpasi : terdenagar suara tympani
Perkusi : tidak terdapat nyeri tekan
Auskultasi : Bising usus lemah
10. Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitar :
a. Pemeriksaan genetalia
Tidak ada pemeriksaan secara klinis
b. Pemeriksaan anus
Tidak ada pemeriksaan klinis

38
3.2 Asuhan Keperawatan
3.2.1 Pengkajian
A. Identitas Klien Dan Keluarga
Inisial Pasien : Ny. S.
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan :-
Status : Kawin
Golongan darah :B
Inisial Informan : Tn. B
Hubungan Keluarga : Suami
Umur : 60 tahun
Alamat : JL. Seruji RT 04 RW 01
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

B. Riwayat Pekerjaan Keluarga


1. Keluarga Utama
- Keluhan saat MRS
Pasien datang ke rumah sakit RSD dr. Haryoto dengan keluhan sesak
dan mengalami kesulitan dalam bernapas.
- Keluhan saat ini
Pasien mengatakan sulit bernapas dan sesak
2. Riwayat penyakit sekarang
Suami pasien mengatakan istrinya sesak sekitar 2 hari yang lalu, dan
suaminya membawa ke rumah sakit RSD dr. Haryoto Lumajang.
3. Riwayat penyakit masa lalu
Pasien sering sesak
4. Pola fungsi kesehatan :
a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Keluarga pasien mengatakan, sebelum MRS jika ada keluarga
yang sakit langsung dibawah ke puskesmas.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Sebelum MRS : pasien makan 3X sehari
Selama MRS : pasien hanya makan 5 sendok setiap makan
c. Pola eliminasi

39
Sebelum MRS : Pasien BAB : 1 x sehari
Pasien BAK : 4 – 6 x sehari
Saat MRS : Pasien tidak BAB sejak MRS
Pasien BAK dengan terpasang kateter
d. Pola tidur dan istirahat
Pasien hanya terbaring di tempat tidur
e. Pola Aktivitas dan Istirahat
Aktivtas pasien terganggu karena badrest total
f. Pola sensori dan pengetahuan
Penatalaksanaan kesehatan dalam keluarga cukup baik apabila
ada anggota keluarga yang sakit
g. Pola hubungan Interpersonal dan peran
Pasien tidak dapat menjalankan perannya sebagai ibu rumah
tangga.
h. Pola persepsi dan gambaran diri
- Gambaran diri : Pasien menerima keadaan sakitnya
dengan sedikit
pengelakan
- Ideal diri : Pasien pesimis akan lesembuhannya
- Identitas diri : Pasien mengaku bernama NY. S

- Harga diri : Harga diri pasien turun karena tidak


dapat menjalankan perannya.
- Peran : Pasien merasa sedih
i. Pola preproduksi dan seksual
Tidak dilakukan pemeriksaan secara spesifik
j. Pola penanggulanagn stress
Pasien merasa cemas dengan penyakitnya
k. Pola nilai dan kepercayaan
Pasien beragama Islam dan aktivitas ibadanya terganggu
karena sakit yang dideritanya
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan / penampilan / kesan umum klien
Keadaan lemah, akral hangat, klien terpasang infuse, klien terpasang
kateter
2. Tanda – tanda vital

40
- Suhu tubuh : 36,5° C
- Denyut nadi : 92 x /menit
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
- Respirasi : 32 x /menit
3. Pemeriksaan fisik
Kepala : Bentuk simetris, tidak ada benjolan
Rambut : Penyebaran merata, panjang, kotor, dan tidak
beruban
Wajah : Bentuk lonjong
Mata : Tidak Ikterus
Hidung : simetris
Telinga : Bentuk simetris, tidak ada nodul
Mulut dan faring : bibir lembab
Leher : Tidak ada pembesaran
4. Pemeriksaan Integumen / kulit dan kutu
Kulit keriput, akral hangat, CRT < 2 detik, kuku tidak sianosis
5. Pemeriksaan payudara
Tidak dilakukan pemeriksaan secara spesifik
6. Pemeriksaan Thoraks / Dada :
Bentuk thoraks normal chest stridor (-)
7. Pemeriksaan Paru
I : Pergerakan dinding dada simetris
P : Vocal vemitus kanan / kiri
P : Terdengar suara resonan
A : Ronchi +/+. Whezing (-)
8. Pemeriksaan Jantung
A / BT II ICS 2 kanan : S1, S2 tunggal
P / BT II ICS 2 kiri : S2 tunggal
T / BT I ICS 3 kiri : terdengar suara Ronchi +/+
M / BT ICS 5 kiri : Whezing (-)
9. Pemeriksaan Abdoemen
I : tidak ada bayangan vena, bentuk datar
P : terdenagar suara tympani
P : tidak terdapat nyeri tekan
A : Porsing usus lemah
10. Pemeriksaan dan daerah sekitar
a. Pemeriksaan Genetalia

41
Tidak ada pemeriksaan secara klinis
b. Pemeriksaan Anus
Tidak ada pemeriksaan secara klinis
11. Pemeriksaan Muskulo ekeletal lekstemitas atas dan bawah
Akral hangat
Reflek patologi : Reflek fisiologi :
Cardok : -/- Patela : +/-
Babinski : +/- Achiles : +/-
Gordon : +/- Bisep : +/-
Opnhim : -/- Tricep : +/-
12. Pemeriksaan Neurologi
Eyes : 1 visual : 1 Motori : 1
Reflek patologi Reflek fisiologi
Cardoc : -/- Patela : +/-
Babinski : +/- Achiles : +/-
Gordon : +/- Bisep : +/-
Oponhim : -/- Trisep : +/-
D. Diagnosa Medis
S.C.F Digiti III Manus Sinistra Ruptur Tendon

3.2.2 Analisa Data


Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dispneu antara
lain :
a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
bronkospasme (Lindajual C.;1995).
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding
dada dan kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997).
c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.
(Lindajual C;1995).
d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2,
peningkatan sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,
(Susan Martin Tucker;1993).

42
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan
ansietas, (Hudak dan Gallo;1997)..
f. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO2
hipoksemia, emosi terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan
Gallo;1997).
Resiko tinggi ketidak patuhan yang berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang kondisi dan perawatan diri saat pulang,(Susan Martin
Tucker;1993).

No DATA PENYEBAB MASALAH


1 Tanggal 26-02-10 Bronkospasme Ketidak efektifan
Data Subyektif : bersihan jalan napas
- Klien mengatakan sesak dan
sulit bernapas
Data Obyektif :
- Keadaan klien lemah
- Klien hanya terbaring
ditempat tidur
- Klien ngongsrong
- Klien sesak
- Klien terpasang O2
- Batuk
- Kesadaran : Komposmentis
- Tekanan darah : 110/80
mmHg
- Nadi : 100 x /menit
- Respirasi : 32 x /menit
- Suhu : 36,5°C

2 Tanggal 26-02-10 Distensi dinding Ketidak efektifan


Data Subyektif : dada dan pola napas
- klien mengatakan sesak dan sulit kelelahan akibat
bernapas kerja pernapasan
Data Obyektif :

43
- Keadaan klien lemah
- Klien hanya terbaring
ditempat tidur
- Klien ngongsrong
- Klien sesak
- Klien terpasang O2
- Batuk
- Kesadaran : Komposmentis
- Tekanan darah : 110/80
mmHg
- Nadi : 100 x /menit
- Respirasi : 32 x /menit
- Suhu : 36,5°C

3. Tanggal 26-02-10 retensi CO2, Kerusakan


Data Subyektif : peningkatan pertukaran gas
- Klien mengatakan sesak dan sekresi,
sulit bernapas peningkatan kerja
Data Obyektif : pernafasan dan
- Keadaan klien lemah proses penyakit
- Klien hanya terbaring
ditempat tidur
- Klien ngongsrong
- Klien sesak
- Klien terpasang O2
- Batuk
- Kesadaran : Komposmentis
- Tekanan darah : 110/80
mmHg
- Nadi : 100 x /menit
- Respirasi : 32 x /menit
- Suhu : 36,5°C

3.2.3 Prioritas Masalah Keperawatan

44
No Dianogsa Tanggal Masuk Tanggal Teratasi
1 Ketidak efektifan bersihan jalan 26-02-10 Belum teratasi
nafas yang berhubungan dengan
bronkospasme
2 Ketidak efektifan pola nafas yang 26-02-10 Belum teratasi
berhubungan dengan distensi
dinding dada dan kelelahan akibat
kerja pernafasan
3 Kerusakan pertukaran gas yang 26-02-10 Belum teratasi
berhubungan dengan retensi CO2,
peningkatan sekresi, peningkatan
kerja pernafasan dan proses
penyakit

3.2.4 Rencana Tindakan Keperawatan

No Dianogsa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan kriteria hasil
1 Ketidak - Jalan napas - Kaji warna, kekentalan - Karakteristik
efektifan menjadi efektif dan jumlah sputum sputrum dapat
bersihan jalan - menentukan - Instruksikan klien pada menunjukkan berat
nafas yang posisi yang metode yang tepat ringannya obstruksi
berhubungan nyaman dalam mengontrol - Batuk yang tidak
dengan sehingga batuk. terkontrol
bronkospasme memudahkan - Auskultasi paru melelahkan dan
peningkatan sebelum dan sesudah inefektif serta
pertukaran gas. tindakan menimbulkan
- dapat - Lakukan fisioterapi frustasi
mendemontrasi dada dengan tehnik - Berkurangnya suara

45
kan batuk drainage tambahan setelah
efektif postural,perkusi dan tindakan
- dapat fibrasi dada. menunjukan
menyatakan - Dorong dan atau keberhasilan
strategi untuk berikan perawatan - Fisioterpi dada
menurunkan mulut merupakan strategi
kekentalan untuk mengeluarkan
sekresi sekret.
- tidak ada suara - Hygiene mulut yang
nafas tambahan baik meningkatkan
rasa sehat dan
mencegah bau mulut
2 Ketidak Klien - Monitor frekuensi, - Takipnea, irama
efektifan pola mendemontrasikan irama dan kedalaman yang tidak teratur
nafas yang pola nafas efektif pernafasan dan bernafas dangkal
berhubungan - Frekuensi nafas - Posisikan klien dada menunjukkan pola
dengan distensi yang efektif dan posisi semi fowler nafas yang tidak
dinding dada perbaikan efektif
dan kelelahan pertukaran gas - Posisi semi fowler
akibat kerja pada paru akan menurunkan
pernafasan diafragma sehingga
- Menyatakan - Alihkan perhatian memberikan
faktor individu dari pemikiran pengembangan pada
penyebab dan tentang keadaan organ paru
cara adaptif ansietas dan ajarkan - Ansietas dapat
mengatasi cara bernafas efektif menyebabkan pola
faktor-faktor nafas tidak efektif
tersebut - Minimalkan distensi - Distensi gaster dapat
gaster menghambat
kontraksi diafragma
- Adanya apnea tidur
- Kaji pernafasan selama menunjukkan pola
tidur nafas yang tidak
efektif
- Rasa ragu–ragu pada
- Yakinkan klien dan klien dapat
beri dukungan saat menghambat

46
dipsnea komunikasi
terapeutik.

3 Kerusakan Klien akan - Pantauan status - untuk


pertukaran gas mempertahankan pernafasan tiap 4 jam, mengidentisifikasi
yang pertukaran gas dan hasil GDA, pemasukan indikasi kearah
berhubungan oksigenasi adekuat. dan haluaran kemajuan atau
dengan retensi - Frekuensi nafas penyimpangan dari
CO2, 16 – 20 hasil klien
peningkatan kali/menit - Tempatkan klien pada - posisi tegak
sekresi, - Frekuensi nadi posisi semi fowler memungkinkan
peningkatan 60-120 ekspansi paru lebih
kerja kali/menit - Berikan terapi baik
pernafasan dan - Warna kulit intravena sesuai - untuk
proses normal, tidak ada anjuran memungkinkan
penyakit dipnea dan GDA rehidrasi yang cepat
dalam batas dan dapat mengkaji
norma keadaan vaskuler
untuk pemberian
- Berikan oksigen obat-obatan darurat
melalui kanula nasal 4 - pemberian oksigen
l/mt selanjutnya mengurangi beban
sesuaikan dengan hasil otot-otot pernafasan
PaO2
- Berikan pengobatan - pengobatanuntuk
yang telah ditentukan mengembalikan
serta amati bila ada kondisi bronkus
tanda-tanda toksisitas seperti kondisi
sebelumnya
- untuk memudahkan
bernafas dan
mencegah etelektasis

3.2.5 Implementasi
Ny.”S” RM:007116

47
TANGGAL NO OX IMPLEMENTASI
KEP.
26-02-10 1 - Mengkaji warna, kekentalan dan jumlah
sputum

- Menginstruksikan klien pada metode yang


tepat dalam mengontrol batuk.

- Mengauskultasi paru sebelum dan sesudah


tindakan

- Melakukan fisioterapi dada dengan tehnik


drainage postural,perkusi dan fibrasi dada.
- Mendorong dan atau berikan perawatan
mulut
- Kolaborasi :

26-02-10 2 - Memonitor frekuensi, irama dan kedalaman


pernafasan

- Memposisikan klien dada posisi semi fowler

- Mengalihkan perhatian individu dari


pemikiran tentang keadaan ansietas dan
ajarkan cara bernafas efektif
- Meminimalkan distensi gaster

- Mengkaji pernafasan selama tidur


- Monitor frekuensi, irama dan kedalaman
pernafasan

48
- Posisikan klien dada posisi semi fowler

- Megalihkan perhatian individu dari


pemikiran tentang keadaan ansietas dan
ajarkan cara bernafas efektif
- meminimalkan distensi gaster

- Mengkaji pernafasan selama tidur


- Kolaborasi :

26-02-10 3 - Memantauan status pernafasan tiap 4 jam,


hasil GDA, pemasukan dan haluaran

- Menempatkan klien pada posisi semi fowler


- Memberikan terapi intravena sesuai anjuran
- Memberikan oksigen melalui kanula nasal 4
l/mt selanjutnya sesuaikan dengan hasil
PaO2
- Memberikan pengobatan yang telah
ditentukan serta amati bila ada tanda-tanda
toksisitas
- Kolaborasi :

Catatan Perkembangan
Ny.”S” RM: 007116
No Tanggal Dianogsa Evaluasi
1 27-02-10 Ketidak efektifan S : - Klien mengatakan sesak dan
bersihan jalan nafas batuk
yang berhubungan O : - Keadaan umum lemah
dengan bronkospasme - Napas ngongsrong
- Ronchi (+)
- RR = 32x/mnt
- Tekanan darah : 120/60mmHg
- Nadi : 84x /menit

49
- Suhu : 36,5°C
A : - Masalah belum teratasi
P : - Pertahankan Interverensi
2 27-02-10 Ketidak efektifan S : - Klien mengatakan sesak dan
pola nafas yang batuk
berhubungan dengan O : -Keadaan umum lemah
distensi dinding dada - Klien masih terpasang O2
dan kelelahan akibat - Napas ngongsrong
kerja pernafasan - Ronchi (+)
- RR = 32x/mnt
- Tekanan darah : 120/60mmHg
- Nadi : 84x /menit
- Suhu : 36,5°C
A : - Masalah belum teratasi
P : - Pertahankan Intervensi
3 27-02-10 Kerusakan pertukaran S : - Klien mengatakan sesak dan
gas yang batuk
berhubungan dengan O : - Keadaan umum lemah
retensi CO2, - Napas ngongsrong
peningkatan sekresi, - Ronchi (+)
peningkatan kerja - RR = 32x/mnt
pernafasan dan proses - Tekanan darah : 120/60mmHg
penyakit - Nadi : 84x /menit
- Suhu : 36,5°C
A : - Masalah belum teratasi
P : - Pertahankan Interverensi

50
51
BAB IV
PEMBAHASAN

Dispnea atau sesak merupakan keadaan yang sering ditemukan pada penyakit
paru maupun penyakit jantung. Bila nyeri dada merupakan keluhan yang paling
dominan dalam infark jantung, maka dispnea (sesak napas) merupakan hal yang
dominan pada emboli paru,bahkan sesak napas merupakan gejala utama pada payah
jantung.
Secara umum yang dimaksud dengan dispnea adalah kesulitan bernafas.
Kesulitan bernafas ini terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernapasan
tambahan. Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula
terjadi dengan cepat.
Dari hasil pengkajian yang didapatkan pada tanggal 26 februari 2010 di
Ruang Interna RSD Dr. Haryoto Lumajang, Ny. “S” datang pada tanggal 26 februari
2010 jam 05.14 dengan kesadaran sedang,sesak (+) 3 hari, nafas ngongsrong, mual,
muntah, panas, batuk.. Maka dari hasil pemeriksaan yang diperoleh pada Ny. “S”
ditagakkan diagnosa medis Dyspneu. Dan diagnosa keperawatan yang didapatkan
pada Ny. “S
a. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan bronkospasme
(Lindajual C.;1995).
b. Ketidak efektifan pola nafas yang berhubungan dengan distensi dinding dada dan
kelelahan akibat kerja pernafasan, (Hudak dan Gallo ;1997).
c. Ansietas yang berhubungan dengan sulit bernafas dan rasa takut sufokasi.
(Lindajual C;1995).
d. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2, peningkatan
sekresi, peningkatan kerja pernafasan dan proses penyakit,(Susan Martin
Tucker;1993).
e. Resiko tinggi gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan laju metabolik tinggi, dipsnea saat makan dan ansietas,
(Hudak dan Gallo;1997)..
f. Resiko tinggi kelelahan yang berhubungan dengan retensi CO 2 hipoksemia, emosi
terfokus pada pernafasan dan apnea tidur, (Hudak dan Gallo;1997).
Maka, untuk tindakan mandiri dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan
diagnosa keperawatan dan rencana tindakan keperawatan serta evaluasi pada Ny. “S”
seperti yang terterah di bab tiga pada Asuhan Keperawatan pada Ny “S”. Sedangkan
untuk tindakan kolaborasi, terapi yang diberikan pada Ny “S” di ruang Interna RSD
Dr. Haryoto Lumajang, antara lain :

52
 Ringer laktat
Diberikan secara r.v. dengan kecepatan aliran = 2,5 ml/kg BB/jam. Sebagai
pengganti cairan tubuh yang hilang dalam keadaan asam basa berketimbangan
atau asidasis ringan. Sebagai pilihan utama untuk mengatasi kehilangan cairan
dalam keadaan darurat pada Ny “S”.
 Ranitidin
Diberikan secara IV dengan dosis 2x1 ampul. Ranitidin digunakan untuk
menyembuhkan tukak lambung dan duodenum akut dan refluks esofagitis atau
keadaan hiperskresi asam lambung patologis agar Ny “S” tidak mengalami
peningkatan asam lambung yang mengakibatkan muntah.
 Lasix diberikan secara injeksi 40 mg/tablet
Golongan diuretik kuat. Digunakan dalam pengobatan oedema paru akibat gagal
jantung kiri. Pemberian intravena mengurangi sesak napas dan prabeban lebih
cepat dari mula kerja diresisnya. Diuretika ini juga digunakan pada pasien gagal
jantung yang telah berlangsung lama. Di gunakan pada Ny “S” untuk
menghambat resorpsi cairan dalam tubulus ginjal.
 Ketorolac
Diberikan 10 mg injeksi. merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik
yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis prostaglandin dan
dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer agar tidak mempunyai efek
terhadap reseptor opiate pada Ny “S”.
 Captopril
Diberikan dengan dosis awal 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari.captopril juga
efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada hipertensi
dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif
untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi dengan
tiazid memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan blocker memberikan
efek yang kurang aditif pada Ny ”S”.
 Digoxin
Digoxin diberikan secara tablet pada Ny ”S” dengan dosis 0,125, dan 0,25 mg
dapat meningkatkan kekuatan dan kekuatan kontraksi jantung, dan berguna
dalam pengobatan gagal jantung. Dosis digoxin dapat diambil dengan atau tanpa
makanan.
 Acetil salicylad

53
Diberikan kepada Ny ”S” dengan dois awal 2,4-3,6 g/hari ,untuk
mengurangiSakit kepala, nyeri-nyeri ringan lain yang berhubungan dengan
adanya inflamasi.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada Ny ”S” dengan diagnosa dyspnea di
ruang Interna RSD Dr. Haryoto Lumajang selama Ny ”S” masuk rumah sakit antara
lain tindakan mandiri keperawatan dan kolaborasi sudah sesuai dengan teori asuhan
keperawatan.

54
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan diagnosa
keperawatan pada Ny “S” di ruang Interna RSD Dr. Haryoto Lumajang
sesuai dengan teori, mulai dari pengkajian, analisa data, intervensi,
implementasi dan evaluasi.
2. Perawat dapat mengerti dan memahami terhadap efek terapeutik dan efek
samping obat yang telah diberikan pada Ny “S” di ruang Interna RSD
Dr. Haryoto Lumajang dan terapi yang telah digunakan antara lain ringer
laktat, ranitidine ,lasix, ketorolac, captopril, digoxin, acetil salicylad.

5.2 Saran
Bagi perawat
Agar perawat lebih tepat dalam pemberian asuhan keperawatan sesuai
dengan intervensi, penguasaan keterampilan interpersonal intelektual dan
teknikal serta kolaborasi dengan tim medis.

55
DAFTAR PUSTAKA

Tabrani. 1996. Prinsip Gawat Paru Edisi II. Jakarta: EGC


http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/detail.php?
id=55&idc=8
http://www.hexpharmjaya.com/page/ketorolac.aspx   
http://blogs.unpad.ac.id/irman/?p=3

56

Anda mungkin juga menyukai