RELIGION
PENGERTIAN, FUNGSI, PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
AGAMA-AGAMA DI DUNIA
Sebuah interpretasi tentang paradigma
“Rahmatal lil ‘Alamin”
Oleh : Drs. Ihsan, M.Pd.I
Agama
Agama yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan gama = kacau) dipakai untuk menjelaskan
hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dalam kerangka kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan kehidupan
yang sejahtera, damai, selamat dan tentram. Dengan demikiran prinsip dan misi agama pada hakekatnya adalah
berusaha mewujudkan kehidupan yang tidak kacau. Walaupun demikian, konsep kedamaian dan kesejahteraan boleh
jadi hanya bersifat sementara dan duniawiyah saja, sedangkan prinsip kesejahteraan yang abadi boleh jadi tidak
menjadi prioritas keberagamaan.
Dalam memberlakukan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian hidup, munculah
tafsiran-tafsiran agama yang berbeda-beda yang cenderung menjadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam
kajian ilmu agama terutama dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan kepercayaan serta aktualisasi peribadatan
mereka dan keterkaitannya dengan hasil akhir yang didapat, misalnya balasan amal di akhirat (Surga dan Neraka
menurut agama Islam atau Nirwana dan Hukum Karma menurut agama Hindu).
Aplikasi hubungan dengan eksistensi yang transendent melahirkan berbagai konsep agama dan aktualisasinya. Di
Indonesia berkembang pemikiran bahwa setiap sesuatu me-miliki “roh” yang didalamnya tersimpan kekuatan magic
dan mistik yang luar biasa. Konsep animisme menjadi wujud adanya hubungan antara manusia dengan eksistensi yang
transendent dan sudah barang tentu sangat abstrak dan cenderung tidak dapat dijelaskan realitasnya baik dari segi
dogmatik maupun dari segi nalar – kemudian berkembang menjadi dinamisme.
Prinsip-prinsip Dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit, karena ia mampu menjelaskan wujud eksistensi yang
transendent dalam beberapa eksistensi yang profan (tidak suci dan bersifat kebendaan). Ia menganggap bahwa semua
benda atau benda tertentu memiliki kekuatan supra natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan lewat kehebatan
yang diluar kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent tersebut ternyata tidak hanya masuk pada benda
tertentu, melainkan masuk juga pada binatang atau hewan tertentu yang kemudian dikenal dengan “Totemisme”,
misalnya sapi, ular dan kucing.
Religion
Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk menggambarkan hal yang sama dengan agama. Dalam An
English Reader’s Dictionary terdapat tiga kemungkinan kata yang berkait dengan Religion, yaitu Religi, Religion dan
Religious atau Releigiusitas. Pertama; Religi dalam tinjauan antropologi sering dikaitkan dengan ritual (upacara
agama/ ibadah) untuk menundukkan kekuatan gaib terutama pada masyarakat primitif. Perwujudan dari konsep
Religi tersebut adalah ritus dan peribadatan dalam agama, pengusiran dan penundukkan kekuatan gaib berupa
praktek mistik dan magic dan masih banyak lagi – baik dalam tataran tingkat modern maupun tingkat tradisional.
Artinya sesekali pada masyarakat modern masih dijumpai ritus-ritus tertentu dan untuk kepentingan tertentu –
misalnya ritus yang didasarkan pada ramalan perbintangan (astrologi-horoscope).
Kedua; Religion digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan yang mendasari pri-laku Religi atau ritus-ritus
tersebut. Dengan demikian Religi atau ritus dalam agama tertentu tidak akan mungkin ada jika konsep atau aturan
agamanya tidak ada. Dalam An English Reader’s Dictionary karangan A.S. Homby dan E.C Pamwell, disebutkan bahwa
“Religion is a system of faith and worship based on such belief” (sistem kepercayaan dan penyembahan yang dibangun
berdasarkan keyakinan tertentu). Maka Religion dalam pandangan seperti ini hanya memuat dua unsur yaitu :
a. Faith (kepercayaan – artinya adanya persepsi yang sadar tentang eksistensi kekuatan diluar manusia yang
memperngaruhi kelangsungan hidup mereka).
b. Worship (peribadatan/penyembahan – perlu adanya perwujudan ritus yang kongkrit sebagai penghambaan dan
ketertundukkan manusia terhadap kekuatan tersebut, misalnya dalam bentuk sesaji, kurban dll.).
Dalam pemikiran yang cukup sederhana – ternyata untuk membuat sesuatu itu menjadi agama hanya diperlukan dua
komponen yaitu komponen kepercayaan (faith) dan penyem-bahan (worship). Prinsip minimal pembentukan agama
tersebut menyisakan permasalahan yang cukup rumit yaitu mampukah agama tersebut mewujudkan pribadi yang
sejahtera, damai dan selamat terutama untuk untuk kehidupan akhirat yang justru menjadi tujuan utama beragama.
Sebab tidak jarang kita menemukan sekte atau aliran yang hampir menjadi sebuah agama, tetapi mereka justru
menyesatkan dan mencelakakan pemeluknya.
Oleh sebab itu dalam pandangan saya – agama yang dibentuk berdasarkan prinsip mini-malis tersebut perlu
diwaspadai, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Madjid – “Kepercayaan yang benar akan melahirkan
kedamaian, kesejahteraan dunia dan akhirat, sedangkan kepercayaan yang salah akan menyesatkan hidup, merusak
dan membahayakan bagi pertumbuhan kebudayaan dan manusia serta anti terhadap keselamatan hidup.
Ketiga; Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang Nampak dalam prilaku sese-orang yang terinternalisasi oleh
nilai-nilai atau ajaran-ajaran agama. Sikap tersebut menjadi parameter terhadap asumsi seberapa tinggi tingkat
penghayatan dan peng-amalan mereka terhadap nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai dan
tentram, maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama – demikian
juga semakin keras, kasar, tidak adanya toleransi dan jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin gersang
dan tidak nampak prilaku keagamaan dalam hidup mereka, boleh jadi sampai pada satu asumsi bahwa agama tidak
dibutuhkan oleh mereka.
Ad Dien
“Ad Dien”. Kata Ad Dien dengan mudah dapat kita temukan di dalam al Qur’an, karena kata tersebut adalah kesatuan
tentang ajaran agama Islam. Dalam kajian ilmu keislaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama yang bersumber
pada al Qur’an dan Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh fid-Dien” – baik itu menyangkut kepercayaan (aqoid),
peribadatan dan hukum-hukumnya (ubudiyah dan syari’ah) dan konsep-konsep keagamaan lainnya/Muamalah
siyasiyah) sebagaimana disebutkan dalam QS. At Taubah :122.
Belakangan rumpun Ad Dien dikembangkan berdasarkan spesifikasi kajian, sehingga menjadi disiplin ilmu yang
bermacam-macam dengan sistematika dan metodologi yang berbeda, sedangkan ad Dien itu sendiri menjadi rumah
besar bagi rujukan dan keabsah-an keilmuan Islam. Didalam al Qur’an kita menemukan banyak sekali kata-kata ad
Dien, namun kalau diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu :
a. Aturan-aturan agama (Qs Asy Syuura : 13 dan 21 dan Qs. Al Haj : 78)
b. Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam Qs. Az Zumar : 3 dan 11, Al Bayyinah : 5)
c. Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4, Ash Shoffaat : 20, Ash Shod : 78; Adz Dzaariat :
13; al Waaqiah : 56; al Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al Infithar : 9, 10 dan 17 dan Al Muthoffifin : 11).
Ketiga unsur pengertian tersebut memilki keterkaitan yang sangat erat, Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya
menurunkan aturan-aturan agama untuk dijadikan pedoman mengarungi kehidupan dunia. Pedoman tersebut
memerlukan ketaatan dan kepatuhan serta keihlasan yang maksimal dari manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal
moral yang diinginkan oleh setiap aturan. Sebetulnya Allah tidak membutuhkan ketaatan atau kepatuhan dari
manusia, sebab Allah sudah memberikan kebebasan memilih bagi manusia – apakah manusia mau beriman atau tidak
(Qs. Al Kahfi : 29), juga tidak ada paksaan dalam agama, karena telah nyata perbedaan antara jalan kebenaran dan
kesesatan (Qs. Al Baqoroh : 256). Kepatuhan dan ketaatan tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan hasil yang
maksimal dari aktifitas dan pengamalan terhadap ketentuan tersebut. Setiap hukum dan peraturan memerlukan
kesadaran dan keihlasan dari pelaku untuk menghasilkan atau mewujudkan maksud diadakannya hukum tersebut
yaitu keselamatan, ketentraman, keteraturan dan kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita temukan orang-orang yang mengikuti atau menjalankan hukum atau
agama secara lahiriyah, tetapi secara batiniyah (tidak nampak) ia mempermainkan hukum atau aturan agama. Aturan
agama dapat dijalankan secara lahiriyah dan batiniyah, maka disinilah pengertian Ad dien yang ketiga berfungsi –
Allah akan menen-tukan dengan sebenar-benarnya siapa hamba-Nya yang ikhlas dan patuh pada saat hari pembalasan
amal yaitu pada hari kiamat nanti.
Menurut Ulama fiqih; Ad Dien didefinisikan sebagai
(“Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan kepada manusia yang berakal untuk mendapatkan
kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat”)
Dari pengertian tersebut terdapat tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
a. Bahwa Ad Dien itu adalah aturan-aturan Allah – artinya segala bentuk hukum dari agama itu bersumber dari
Allah, Nabi Muhammad SAW hanya menyampaikan risalah tersebut kepada manusia tanpa dikurangi atau ditambahi
sedikitpun.
b. Diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep manusia yang berakal dapat dibedakan menjadi 2
bagian yaitu berakal dalam konteks syar’iyah dan berakal dalam konstek kesadaran berfikir.
Akil-Baligh dalam konsteks syar’iyah adalah situasi dimana hukum-hukum tentang kewajiban dan larangan agama
dibebankan kepada manusia. Indikatornya adalah ketika manusia mampu memberikan alternatif dan solusi terhadap
permasalahan hidup dengan sadar (kemampuan akliyah) dan Baligh berarti telah sampai pada masa kematangan
reproduksi nya yaitu dengan keluar sperma bagi kaum laki-laki dan menstruasi bagi kaum wanita. Terhadap orang
yang hilang kesa-darannya baik karena gila, tidur atau lupa, maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya –
artinya tidak berhak atas dosa atau hukuman, jika ia melakukan kesalahan.
Sedangkan berakal dalam konteks kesadaran berfikir dapat dibedakan menjadi dua; Pertama yaitu kemampuan
mengurai setiap permasalahan dalam kerangka analitis sistematis; misalnya dalam tinjauan sebab, akibat dan
solusinya dengan dasar ilmu yang realible – dus kemampuan tersebut lebih mengarah pada aspek intelektualitas sese-
orang. Kedua; yaitu kesadaran hati (berfikir dengan hati nurani) terkadang seseorang memiliki kepandaian
intelektual, tetapi ia tidak memiliki kepandaian “Hati Nurani/Qolb”. Ia mengingkari hukum, melakukan zina, mencuri
atau perbuatan melanggar hukum agama lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina itu haram karena sejelek-jeleknya
perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi akalnya tidak mampu menjelaskan hal tersebut didepan gelora Hati dan nafsu
syetannya – maka ketika itu ia tidak berakal sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al A’raf : 178
c. Jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk memahami dan menjalankan aturan Allah tersebut, maka ia
akan mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Artinya bahwa akal yang benar
akan membawa pada pilihan yang benar terhadap apa yang diberikan oleh Allah – dan hal tersebut menjadi modal
untuk memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak. Standar keba-hagiaan tidak dapat diukur dengan
seberapa banyak ia mempunyai harta benda melain-kan lebih mengarah kepada kenyamanan, ketentraman dan
kemampuan mengendalikan diri. Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu karena ia memiliki harta benda, melain
kan adanya kelapangan hati”. Oleh sebab itu, agama tidak menjanjikan langsung melim-pahnya harta kekayaan
melainkan kemantapan bathin yang berujung pada komit-men dan keuletan berusaha. Bagi mereka dunia adalah
tempat persinggahan sementara dan permainan yang melenakan (Qs. Ali Imron : 185, Al An’am : 32 dan Hadid : 20),
oleh sebab itu kekayaan yang paling sempurna adalah ketenangan dalam menjalankan agama itu sendiri (Qs. Al
Maidah : 3).
Sedangkan keselamatan hidup di akhirat adalah keberhasilan seseorang dalam mempertanggung jawabkan semua
aktifitas pelaksanaan amanat hidup sebagai hamba Allah (Qs. Adz Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (Qs. Al Baqoroh :
30) yang sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah. Pada masa tersebut, manusia tidak dapat mohon bantuan
kepada sesamanya, sebab pada hari itu semua dihisab amal-nya dengan seadil-adilnya. Harta benda dan anak istrinya
yang dulu dibanggakan, sudah tidak dapat dibanggakan lagi – yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya” dzat yang
Maha Kuasa (Qs. Al Baqoroh : 48, 123 dan 281)
Di samping Ad Dien, terdapat juga kata “Millah” sebagaimana disebut dalam beberapa ayat al Qur’an, misalnya Qs. Al
Baqoroh : 130 dan 135. Secara subtantif kata “millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya hidup” yang dikembangkan
oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Oleh sebab itu keluasan cakupan Millah tidak dapat melebihi cakupan Ad
Dien, karena Millah bisa saja dikembangkan berdasarkan nilai subtansial dari Ad Dien, sedangkan Ad Dien terkadang
tidak memasukkan millah dari beberapa Nabi atau Rasul sebelumnya, misalnya Dienul Islam yang dibawa Nabi
Muhammad tidak memasukkan ajaran atau berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Dawud.
Terdapat 10 ayat yang menjelaskan penggunaan kata “Millah” dan kesemuanya dikaitkan dengan cara dan gaya hidup
Nabi Ibrahim/( ملة ابراهيمQs. Al Baqoroh :130 dan 135, Ali Imron : 95, An Nisa’ : 125, Al A’am : 162, Yusuf : 37-38, An
Nahl : 123, Al Haji : 78 dan Shad : 7). Nabi Ya’kub yang merupakan cucu nabi Ibrahim, juga memberikan justifikasi
jalan hidup kepada anak-anaknya dengan prinsip “millah Ibrahim” yang bebas dari unsur kemusyrikan, yaitu :
Dengan demikian subtansi Millah Ibrahim memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip tauhid yang dibawa oleh semua
Nabi dan Rasul Allah.
Pengertian Millah sebagai jalan hidup atau style sebuah masyarakat juga nampak pada penggunaan kata millah dengan
bentuk lain sebagaimana tersebut pada Qs. Al Baqoroh : 120, Al A’raf : 87-88, Ibrahim : 13 al Kahfi : 20. Secara khusus
dalam Qs. Al Baqoroh : 120 – kata-kata Millah dikaitkan dengan gaya hidup atau bahkan keyakinan kaum Yahudi dan
Nasrani yang datang sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalah Islam.