Anda di halaman 1dari 154

PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN

DI LAUT DAN PENCEMARAN MINYAK (STUDI KASUS


KAPAL MV EVER JUDGER)

SKRIPSI

Oleh

Cecilia Elisabeth Agatha 2001542771

Business Law Program


Law Study Program
Faculty of Humanities
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2020
PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN
DI LAUT DAN PENCEMARAN MINYAK (STUDI KASUS
KAPAL MV EVER JUDGER)

RESPONSIBILITIES OF THE PARTIES FOR ACCIDENTS IN THE SEA


AND OIL POLLUTION (CASE STUDY ON MV EVER JUDGER SHIP)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk gelar kesarjanaan pada
Hukum Bisnis
Jenjang Pendidikan Strata-1

Oleh:
Cecilia Elisabeth Agatha
2001542771

Business Law Program


Law Study Program
Faculty of Humanities
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2020
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

Pernyataan Kesiapan Skripsi untuk Ujian Pendadaran


Pernyataan Penyusunan Skripsi Saya Cecilia Elisabeth Agatha

dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN DI LAUT


DAN PENCEMARAN MINYAK (STUDI KASUS KAPAL MV EVER
JUDGER)

RESPONSIBILITIES OF THE PARTIES FOR ACCIDENTS IN THE SEA AND


OIL POLLUTION (CASE STUDY ON MV EVER JUDGER SHIP)

adalah benar hasil karya saya dan belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah,
sebagian atau seluruhnya, atas nama saya atau pihak lain

Cecilia Elisabeth Agatha


2001542771

Disetujui oleh Pembimbing


Saya setuju Skripsi tersebut layak diajukan untuk Ujian Pendadaran

Nirmala., S.H., MCL


D5860
PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN
DI LAUT DAN PENCEMARAN MINYAK (STUDI KASUS
KAPAL MV EVER JUDGER)

SKRIPSI

Disusun oleh:

Cecilia Elisabeth Agatha


2001542771

Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

Nirmala, S.H., MCL

Universitas Bina Nusantara


Jakarta
2020
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

Fakultas Humaniora
Program Ilmu Hukum
Skripsi Sarjana Hukum
Semester Genap 2019/2020

PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN DI LAUT


DAN PENCEMARAN MINYAK (STUDI KASUS KAPAL MV EVER
JUDGER)

Cecilia Elisabeth Agatha 2001542771

ABSTRACT

This research is based on the MV Ever Judger ship accident on 30 March 2018 in
Balikpapan Bay waters caused by broken oil pipes due to ship anchors. This
research focused on the liability of the MV Ever Judger case, the problem raised by
this research is who will be responsible in this accident and what responsibility
should the parties be responsible for. To answer the problem above, the method used
is juridical empirical using regulations that apply for the world of sailing and
maritime. Marine is a multi-disciplinary science. There are many aspects and
regulations involved in it. An important finding in this research is knowing how the
ship guides and crew work during shipping activities.

Key words: Criminal liability, Civil liability, Environmental Protection, Shipping,


and Marine

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kecelakaan Kapal MV Ever Judger pada tanggal
30 Maret 2018 di Perairan Teluk Balikpapan yang disebabkan pipa minyak patah
akibat jangkar kapal. Studi ini memfokuskan pada pertanggungjawaban kasus Kapal
MV Ever Judger, Permasalahan yang diangkat oleh penelitian ini yaitu siapakah
yang akan bertanggungjawab pada kasus kecelakaan ini dan pertanggungjawaban apa
para pihak harus bertanggung jawab. Untuk menjawab permasalahan di atas, metode
yang digunakan adalah yuridis empiris dengan menggunakan peraturan yang berlaku
untuk dunia pelayaran dan kelautan. Kelautan adalah ilmu multidisipliner. Banyak
aspek dan peraturan yang terlibat didalamnya. Temuan penting dalam penelitian ini
adalah mengetahui bagaimana cara kerja pemandu kapal dan awak kapal selama
melakukan kegiatan pelayaran.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban Perdata,


Perlindungan lingkungan, Pelayaran, dan Kelautan
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab
atas rahmat dan berkat dari-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS
KECELAKAAN DI LAUT DAN PENCEMARAN MINYAK (STUDI KASUS
KAPAL MV EVER JUDGER)”.
Penulisan skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina
Nusantara. Penyusunan. Skripsi ini telah penulis susun dan selesaikan dengan
maksimal, tentunya penulis tidak sendiri saat menyusun skripsi ini. Penulis telah
dibantu berbagai pihak saat menyusun skripsi ini sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Sehingga penulis merasa ingin mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak, terutama kepada yang saya hormati :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Harjanto Prabowo, MM. selaku Rektor Universitas Bina
Nusantara.
2. Ibu Elisa Carolina, S.S., M.Si. selaku Dekan Fakultas Humaniora Universitas
Bina Nusantara
3. Bapak Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.A. selaku Ketua Jurusan Hukum Bisnis
Universitas Bina Nusantara.
4. Bapak Dr. Besar, S.H., M.H. selaku Sekretaris Jurusan Hukum Bisnis
Universitas Bina Nusantara.
5. Ibu Nirmala., S.H., MCL selaku dosen pembimbing penulis dalam
penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih dengan
segala pengetahuan, kesabaran dan waktu yang diberikan kepada penulis
dalam waktu yang tidak singkat.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Fakultas Hukum Bisnis Universitas Bina
Nusantara atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan.
7. Kepada kedua orang tua dan kakak penulis, yang telah banyak memberikan
dukungan secara batin maupun verbal kepada penulis untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Ibu Yuniar Rahmawati, sebagai Staf dari Lembaga Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang telah bersedia menjadi
narasumber dalam penelitian ini.

i
9. Kepada Mr. Dr. Bala Sri Murugan David, sebagai Lecture from Sunway
University Business School, Malaysia yang telah bersedia menjadi
narasumber dalam penelitian ini.
10. Kepada Maureen, Sarah, Inez, Priska, Andi, Kenny, Surya, dan Tasia yang
telah memberikan dukungan kepada penulis dalam bentuk semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Saya selaku penulis sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan dalam pembuatan skripsi ini, maka dari itu penulis memohon
maaf sebesar-besarnya dan semoga karya skripsi ini dapat bermanfaat memberikan
tambahan wawasan bagi para pembaca.

Jakarta, 08 Juni 2020

Cecilia Elisabeth Agatha

ii
DAFTAR ISI

ABSTRACT
ABSTRAK
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................vi
DAFTAR BAGAN.....................................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................................5
1.3.1 Tujuan Penelitian..........................................................................................5
1.3.2 Manfaat Penelitian........................................................................................5
1.4 Metode Penelitian...................................................................................................6
1.4.1 Jenis Penelitian...........................................................................................10
1.4.2 Sumber Data...............................................................................................11
1.4.3 Teknik Analisis............................................................................................13
BAB II TINJAUAN REFERENSI..............................................................................15
2.1 Kerangka Konsep..................................................................................................15
2.2 Definisi Konsep....................................................................................................17
2.2.1 Laut..............................................................................................................17
2.2.2 Kapal............................................................................................................18
2.2.3 Pelayaran.....................................................................................................22
2.2.4 Asas Cabotage.............................................................................................24
2.2.5 Pipa Bawah Laut..........................................................................................30
2.2.6 Kecelakaan Kapal........................................................................................33
2.2.7 Pencemaran.................................................................................................35
2.2.8 Pemandu......................................................................................................36
2.2.9 Pengangkutan Curah....................................................................................39
2.2.10 Mooring Buoy............................................................................................45
2.2.11 Pelabuhan...................................................................................................48
2.2.12 Teori Pertanggungjawaban Perdata...........................................................53
2.3 Penelitian Terdahulu.............................................................................................64
BAB III HASIL PENELITIAN..................................................................................67
3.1 Kronologi Kejadian Kecelakaan Laut dan Pencemaran Minyak Akibat dari
Kapal MV Ever Judger........................................................................................67
3.2 Kronologi Setelah Kejadian Kecelakaan Laut dan Pencemaran Minyak Akibat
dari Kapal MV Ever Judger.................................................................................68
3.2.1 Kapal dan Manusia.....................................................................................68
3.2.2 Lingkungan Hidup......................................................................................69
3.2.3 Pipa Bawah Laut.........................................................................................70
3.2.4 Pemulihan...................................................................................................70
3.3 Hasil Putusan Pidana dan Tata Usaha Negara Atas Kecelakaan Kapal Ini..........72
BAB IV ANALISIS....................................................................................................78
4.1 Para pihak yang bertanggungjawab dalam kecelakaan laut Kapal MV Ever
Judger....................................................................................................................78

iii
4.1.1 Zhang Deyi (Selaku Nakhoda Kapal MV Ever Judger).............................78
4.1.2 ABK Kapal.................................................................................................79
4.1.3 Ever Judger Holding...................................................................................80
4.1.4 Pemandu.....................................................................................................80
4.1.5 Vessel Traffic System................................................................................80
4.1.6 Fleet Management Limited........................................................................80
4.1.7 PT Pertamina..............................................................................................80
4.1.8 Pelabuhan Balikpapan................................................................................81
4.2 Pertanggungjawaban Para Pihak dalam Kasus Kapal MV Ever Judger ..............81
4.2.1 Pertanggungjawaban Zhang Deyi Selaku Nakhoda Kapal MV Ever
Judger..........................................................................................................82
4.2.2 Pertanggungjawaban ABK Kapal MV Ever Judger....................................85
4.2.3 Pertanggungjawaban Fleet Management Limited dan Ever Judger
Holding.......................................................................................................86
4.2.4 Pertanggungjawaban Pemandu Pelabuhan.................................................88
4.2.5 Pertanggungjawaban Vessel Traffic Station Balikpapan............................95
4.2.6 Pertanggungjawaban PT Pertamina............................................................99
4.2.7 Pertanggungjawaban Pelabuhan...............................................................104
4.3 Pertanggungjawaban Secara Pidana dalam Kasus Kapal MV Ever Judger........105
4.3.1 Pertanggungjawaban Secara Perdata dalam Kasus Kapal MV Ever
Judger........................................................................................................122
4.3.1.1 PT Pertamina dan Zhang Deyi......................................................127
4.3.1.2 Fleet Management Limited...........................................................128
4.3.1.3 Ever Judger Holding.....................................................................129
BAB V PENUTUP...................................................................................................130
5.1 Kesimpulan.........................................................................................................130
5.2 Saran...................................................................................................................132
DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Metode Penelitian.........................................................................................8


Tabel 2.1 Lokasi Penggelaran Pipa Transmisi Minyak, Pipa Transmisi Gas dan Pipa
Induk...........................................................................................................32
Tabel 2.2 Jarak Minimum Pipa Penyalur....................................................................33
Tabel 3.1 Hasil Putusan Pidana dan Tata Usaha Negara Atas Kecelakaan Kapal Ini 72
Tabel 4.1 Resume Pasal 226-233 UU Pelayaran........................................................75
Tabel 4.1 Resume Ps 302, 325-328 UU Pelayaran.....................................................75
Tabel 4.1 SBNP DJPL di Perairan Wajib Pandu Balikpapan.....................................93
Tabel 4.2 SBNP DJPL di Perairan Wajib Pandu Balikpapan.....................................94

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Arah............................................................................................................91
Gambar 2 Kerusakan Pipa........................................................................................100
Gambar 3 Pipeline Concrete Coating.......................................................................103
Gambar 4 Articulated Concrete Block Mattresses....................................................104

vi
DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Konsep..........................................................................................15

vii
DAFTAR LAMPIRAN

viii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia
memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia. Poros maritim merupakan
sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektivitas antara
pulau, pengembangan industri perkapalan dan sumber daya alam seperti minyak
bumi, perikanan serta transportasi laut dan keamanan maritime. Pelayaran di laut
banyak mengandung resiko dan menyangkut hubungan antar pulau di Indonesia
dan wilayah internasional. Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan angkutan di perairan, kepelabuhan, serta keamanan dan keselamatannya.
Pelayaran terbagi menjadi 3 kelompok besar yaitu pelayaran dalam negeri,
pelayaran luar negeri, dan pelayaran khusus. Untuk mewujudkan pelayaran itu
membutuhkan pengangkutan laut dan alat pelayaran nya. Kapal merupakan
semua alat berlayar, apapun nama dan sifatnya serta untuk pengangkutan barang.
Oleh karena itu semua komponen negara dan korporasi saling bertanggung jawab
dan wajib melestarikan kondisi dan keberadaan laut sesuai wujudnya termasuk
dalam mencegah pencemaran laut. Pencemaran laut adalah perubahan pada
lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh manusia secara langsung
maupun tidak langsung bahan bahan atau energi ke dalam lingkungan laut
(termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya
sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap
kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan
lain-lain, penggunaan laut yang wajar, pemburukan daripada kualitas air laut dan
menurunnya tempat-tempat pemukiman dan rekreasi1. Pencemaran yang
disebabkan oleh minyak di laut biasanya disebabkan dua hal, yang pertama
dikarenakan unsur ketidaksengajaan orang-orang yang berada dalam kapal seperti

1
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, 1978, Hlm. 179
tank yang bocor akibat gesekan benda dalam laut (terumbu karang atau besi kapal
yang dulu pernah tenggelam di laut tersebut) sehingga menyebabkan kerusakan

2
1

pada badan kapal atau tanki minyak dan yang kedua mereka memang
sengaja membuang minyak bekas limbah alat-alat pabrik yang memang dapat
menyebabkan polusi lingkungan dan akhirnya merugikan pihak yang wilayah
lautnya dijadikan tempat pembuangan minyak tersebut2. Pencemaran laut
disebabkan oleh perbuatan manusia dan bahaya akibat dari pada pencemaran atas
kemantapan ekologis dari laut3. Walaupun demikian ada yang berpendapat,
bahwa kerusakan ekologis akibat tumpahan minyak dapat diabaikan karena laut
mampu mengurai larutan tumpahan minyak bumi melalui mikroba mikroba yang
hidup di laut, sehingga laut dapat melakukan regenerasi terhadap lingkungan laut
yang mengalami kerusakan. Pencemaran akan berakibat buruk bagi kehidupan
atau lingkungan laut tergantung dari pada tempat terjadinya pencemaran. Ini
berdampak negatif bagi kesuburan produktivitas biologis di laut terbagi secara
tidak merata4. Pencemaran laut sangat memerlukan tindakan khusus dalam
pertanggungjawabannya karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Di
Indonesia sudah banyak kasus pencemaran di laut, salah satunya kasus
pencemaran laut yang terjadi di teluk Balikpapan diakibatkan oleh jangkar milik
kapal MV Ever Judger mematahkan dan menyeret pipa minyak mentah bawah
laut milik Pertamina. Hal ini merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar pesisir
laut, lingkungan laut menjadi rusak dan adanya korban jiwa.
Penulisan skripsi ini didasarkan dua alasan yaitu alasan subyektif dan
yuridis. Secara subjektif, dikarenakan banyak sekali kasus pencemaran
lingkungan yang dampaknya membuat lingkungan menjadi rusak dan tindakan
hukum yang dilakukan juga masih banyak yang kurang jelas serta banyak sekali
yang masih saling melempar tanggung jawab dalam kasus pencemaran
lingkungan di laut. Dari alasan yuridis, dikarenakan kasus ini berkaitan dengan
pencemaran lingkungan dan tanggung jawab korporasi di perairan Teluk
Balikpapan. Kasus ini terjadi pada tanggal 30 Maret 2018 sekitar pukul 22.00
waktu Balikpapan, jangkar milik kapal MV Ever Judger mematahkan dan
menyeret pipa minyak mentah bawah laut milik Pertamina. Pada tanggal 31
Maret 2018 sekitar pukul 11.05 waktu Balikpapan, kobaran api yang sangat besar
dan hitam tebal berasal dari minyak yang tumpah tersebut mulai menyebar di
Teluk Balikpapan. Kobaran api tersebut menyebar dari depan kapal sampai ke

2
Ibid
3
Ibid
4
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Bina Cipta, Bandung., Hlm. 182
2

utara dan selatan. Api menyebar di atas air dari depan menuju buritan kapal.
Salah satu kru dari Kapal MV Ever Judger terbakar di beberapa bagian tubuhnya.
Lima warga Balikpapan meninggal dunia. Pertamina saat itu tidak mengetahui
sumber tumpahan minyak saat itu. Pertamina mengerahkan alat pemadam
kebakarannya sendiri dan meminta perusahaan minyak di sekitarnya untuk
bekerja sama memadamkan api. Kurang dari satu jam api telah padam
sepenuhnya dan seluruh awak Kapal MV Ever Judger telah dievakuasi ke pantai.
Beberapa hari setelah bencana, minyak menyebar di sepanjang Teluk sampai
keluar dari Teluk Balikpapan. Ekosistem laut sangat dipengaruhi oleh polusi
minyak mentah dan nelayan terkena dampak negatif ini.
Dalam penelitian ini bahan hukum yang saya gunakan berdasarkan pada
UNCLOS 1982, MARPOL 73/38, STCW Convention, IMO Convention, Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2009 tentang Pelabuhan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan
Minyak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkngan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4
Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian
Lingkungan Hidup, UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP No.
62/2013 Investigasi Kecelakaan Transportasi, Peppres No. 109/2006 tentang
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, Peraturan ESDM
No. 300.K/38/M.pe/1997 tentang Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak dan
Gas Bumi, Peraturan Kemenhub PM No. 93/2014 tentang Sarana Bantu dan
Prasarana Pemanduan Kapal, Peraturan Kemenhub No. 129/2016 tentang Alur
Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/Instalasi di Perairan, Peraturan Kemenhub
No. 20/2017 tentang Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri,
Peraturan Kemenhub No. 23/1990 tentang Usaha salvage dan atau pekerjaan
Bawah Air, Peraturan Kemenhub No. 25/2011 tentang Sarana Bantu Navigasi-
3

Pelayaran, Peraturan Kemenhub No. 26/2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran,


Peraturan Kemenhub No. 57/2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal,
Peraturan Kemenhub No. 58/2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di
Perairan dan Pelabuhan, Peraturan Kemenhub No. HK 103/2/14/DJPL-16 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penerimaan, Penyetoran, Penggunaan dan Pelaporan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.
Penelitian ini akan membahas tentang pertanggungjawaban para pihak
antara pemilik kapal dan pertamina dalam permasalahan pencemaran lingkungan
laut dan kerugian akibat pencemaran di wilayah Perairan Teluk Balikpapan serta
pertanggungjawaban terhadap korban tewas akibat tumpahan minyak di wilayah
tersebut. Akibat dari bocornya pipa minyak bawah laut hal ini sangat berdampak
kepada lingkungan dan kehidupan masyarakat di wilayah Perairan Teluk
Balikpapan yaitu Pertama, area yang terkena dampak akibat tumpahan minyak
sekitar 7.000 hektar, dengan panjang pantai yang terkena dampak di sisi Kota
Balikpapan dan Penajam Paser Utara mencapai 60 kilometer. Hasil analisis satelit
pada 1 April 2018 mengestimasi total luas tumpahan minyak di Teluk Balikpapan
mencapai 12.987,2 hektar. Kedua, dampak terhadap ekosistem yaitu tanaman
mangrove seluas sekitar 34 hektar di Kelurahan Kariangau RT 1 dan 2,
tanaman mangrove seluas sekitar 6.000 hektar di Kampung Atas Air Margasari,
sebanyak 2.000 bibit mangrove di Kampung Atas Air Margasari, satu ekor pesut
mati, ikan yang dikonsumsi penduduk terpapar minyak, budidaya kepiting gagal
panen, empat kawasan terumbu karang rusak, lima kawasan padang lamun
terancam mati, habitat mamalia terganggu dan satwa terancam bermigrasi,
budidaya rumput laut rusak dan plankton musnah. Ketiga, penduduk yang terkena
dampak yaitu sebanyak 5 orang nelayan tewas, masyarakat di area sekitar
tumpahan minyak mengeluh mual dan pusing akibat bau minyak yang menyengat
selama beberapa hari, sebanyak 162 nelayan terancam tidak bisa melaut, sekitar
900 ribu jiwa warga Balikpapan dan Penajam Paser Utara terancam kanker,
balikpapan dan Penajam Paser Utara terancam krisis air bersih. Dan terakhir
kerugian kapal nelayan yaitu dua kapal nelayan terbakar, satu kapal kargo
terbakar dan alat tangkap nelayan tidak berfungsi5.
5
Tempo.co “Dampak Ekologis Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan” (Online) tersedia
di https://fokus.tempo.co/read/1077168/dampak-ekologis-tumpahan-minyak-pertamina-di-teluk-
balikpapan
4

1.2 Rumusan Masalah


Berkaitan dengan latar belakang masalah dan judul yang penulis
kemukakan di atas, maka permasalahan-permasalahan yang ada dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Dalam hal terjadi kecelakaan di laut dalam kasus Kapal MV Ever Judger,
siapakah yang bertanggung jawab?
2. Sejauh Mana pertanggungjawaban Kapal MV Ever Judger akibat dari
pencemaran laut yang terjadi di Perairan Teluk Balikpapan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian


Penelitian ini mempunyai tujuan subyektif dan tujuan obyektif sebagai
berikut:
1. Tujuan obyektif
a. Untuk mengetahui siapakah yang bertanggungjawab dalam hal terjadi
kecelakaan di laut dalam kasus Kapal MV Ever Judger.
b. Untuk mengetahui sejauh mana pertanggungjawaban Kapal MV Ever
Judger akibat dari pencemaran laut yang terjadi di Perairan Teluk
Balikpapan.
2. Tujuan subyektif
Tujuan subyektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam rangka penulisan hukum sebagai pemenuhan syarat
akademis memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Humaniora
Universitas Bina Nusantara.

1.3.2 Manfaat Penelitian


1. Memberikan sumbangsih pemikiran terhadap khasanah ilmu hukum pada
umumnya, dan pengembangan teori hukum terkait dengan
pertanggungjawaban atas pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
tumpahan minyak dan mengakibatkan pencemaran lingkungan dan jatuhnya
korban jiwa.
5

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat untuk lebih
peduli terhadap dampak yang terjadi di lingkungan akibat tumpahan minyak
tersebut.
3. Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang pertanggungjawaban hukum
yang terjadi di lingkungan dan di dunia maritim.

1.4 Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam
mengumpulkan data penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang
telah ditentukan.6 Penelitian hukum bertujuan untuk menemukan hasil dari
masalah hukum yang timbul. Hukum dalam definisi menurut Sunaryati Hartono,
dapat dilihat sebagai sesuatu gejala sosial (social feit) yang memiliki dua
perspektif yang bisa dipandang, yakni kaidah/norma dan perilaku.7 Dalam
penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau
yuridis. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder. Kemudian sebagai penelitian hukum normatif,
penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan, untuk membahas
permasalahan penelitian adalah melalui pendekatan perundang- undangan
(statute approach) dan pendekatan perbandingan hukum. Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) biasanya digunakan untuk meneliti
peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat
kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran
teknis atau dalam pelaksanaannya di lapangan. Pendekatan ini dilakukan dengan
menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan
permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-
undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi atau
kesesuaian antara Undang-Undang Dasar (UUD) dengan Undang-Undang, atau
antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain8. Dalam
metode perundang-undangan terdapat beberapa hal yang akan menjadi fokus
dalam penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam
6
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
hlm. 126
7
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung – Penerbit
Alumni, 1994), hal. 74.
8
Saifulanam & Partners, “Pendekan Perundang-Undangan (Statute Approach) dalam Penelitian
Hukum), (Online), tersedia di WWW: https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-
statute-approach-dalam-penelitian-hukum/ (17 April 2019)
6

penelitian hukum, diantaranya adalah: Pertama secara horizontal yaitu penelitian


ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang
berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara
satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada. Dalam penelitian ini maka yang ditelaah adalah
peraturan perundang-undangan suatu bidang tertentu, dalam perspektif
hierarkinya. Sudah tentu bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi
masing-masing perundang-undangan tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan
tampak dengan jelas. Misalnya, suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih
rendah dari undang-undang merupakan peraturan yang diciptakan untuk
menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang.9 Kedua secara vertikal
yaitu jenis penelitian ini sebagaimana dikutip dari Prof. Soerjono Soekanto
bertujuan untuk mengungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-
undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara
perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama. Didalam
penelitian mengenai taraf sinkronisasi secara horizontal ini, mula-mula harus
terlebih dahulu dipilih bidang yang akan diteliti. Setelah bidang tersebut
ditentukan, misalnya bidang pemerintahan daerah, maka dicarilah peraturan
perundang-undangan yang sederajat yang mengatur segala aspek tentang
pemerintahan daerah tersebut.10 Aspek-aspek tersebut merupakan suatu kerangka
untuk menyusun klasifikasi peraturan perundang-undangan yang telah diseleksi,
untuk kemudian dianalisis. Dari hasil analisa akan dapat terungkap, sampai
sejauh mana taraf sinkronisasi secara horizontal dari pelbagai macam peraturan
perundang-undangan yang mengatur bidang pemerintahan daerah ini.11

Selain mendapatkan data tentang peraturan perundangan-undangan untuk


bidang-bidang tertentu secara menyeluruh dan lengkap, maka penelitian dengan
pendekatan ini juga dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang ada pada
peraturan perundangan-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu.
Dengan demikian peneliti dapat membuat rekomendasi untuk melengkapi

9
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 79
10
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2015),
hlm. 257
11
Ibid.
7

kekurangan-kekurangan, menghapus kelebihan-kelebihan yang saling tumpang


tindih, memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang ada, dan seterusnya.
Hasil-hasil penelitian ini tidak hanya berguna bagi penegak hukum, akan tetapi
juga bagi ilmuwan dan pendidikan hukum.12 Adapun metode penelitian dalam
penulisan skripsi ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

Tabel 1.1 Metode Penelitian

Pertanyaan yang Jenis Teknik


No Sumber Narasumber
diajukan Data Pengumpulan
1. Dalam hal terjadi Seku- UNCLOS 1982 1. Studi
kecelakaan di laut nder MARPOL 73/38 kepustakaan
dalam kasus Kapal STCW Convention 2. Wawancara
MV Ever Judger, IMO Convention
siapakah yang Undang Undang Nomor 17
bertanggungjawab? Tahun 2008 tentang
Pelayaran,
2. Sejauh Mana Peraturan Pemerintah
pertanggungjawaba Republik Indonesia Nomor
n Kapal MV Ever 51 Tahun 2002 tentang
Judger akibat dari Perkapalan
pencemaran laut Peraturan Pemerintah
yang terjadi di Republik Indonesia Nomor
Perairan Teluk 61 Tahun 2009 tentang
Balikpapan? Pelabuhan,
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1998 tentang
Pemeriksaan Kecelakaan
Kapal
Undang Undang Nomor 32
Tahun 2014 tentang
Kelautan,
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian
Pencemaran Dan/Atau
Perusakan Laut,
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor
109 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan
Minyak
Undang-Undang Nomor

12
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal 97
8

Pertanyaan yang Jenis Teknik


No Sumber Narasumber
diajukan Data Pengumpulan
32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor
4 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penyelesaian
Sengketa Lingkungan
Hidup,
Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor
7 Tahun 2014 Tentang
Kerugian Lingkungan
Hidup

UU No. 23/2014 tentang


Pemerintahan Daerah 

PP No. 62/2013
Investigasi Kecelakaan
Transportasi 
Perpres No. 109/2006
tentang Penanggulangan
Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak di
Laut 

Peraturan ESDM No.


300.K/38/M.pe/1997
tentang Keselamatan Kerja
Pipa Penyalur Minyak dan
Gas Bumi 

Peraturan Kemenhub PM
No. 93/2014 tentang
Sarana Bantu dan
Prasarana Pemanduan
Kapal  
Peraturan Kemenhub No.
129/2016 tentang Alur
Pelayaran di Laut dan
Bangunan dan/Instalasi di
Perairan 

Peraturan Kemenhub No.


20/2017 tentang Terminal
Khusus dan Terminal
9

Pertanyaan yang Jenis Teknik


No Sumber Narasumber
diajukan Data Pengumpulan
untuk Kepentingan
Sendiri 

Peraturan Kemenhub No.


23/1990 tentang Usaha
salvage dan atau pekerjaan
Bawah Air 

Peraturan Kemenhub No.


25/2011 tentang Sarana
Bantu Navigasi-
Pelayaran þ
Peraturan Kemenhub No.
26/2011 tentang
Telekomunikasi Pelayaran 

Peraturan Kemenhub No.


57/2015 tentang
Pemanduan dan
Penundaan Kapal 

Peraturan Kemenhub No.


58/2013 tentang
Penanggulangan
Pencemaran di Perairan
dan Pelabuhan 

Peraturan Kemenhub No.


HK 103/2/14/DJPL-16
Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penerimaan,
Penyetoran, Penggunaan
dan Pelaporan Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Direktorat
Jenderal Perhubungan
Laut 

Berdasarkan tabel diatas, maka berikut adalah penjelasan atas tabel tersebut :

1.4.1 Jenis Penelitian


Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif karena
penelitian ini yang dicari adalah aspek-aspek hukum dari peran saksi ahli dalam
kasus pencemaran laut sesuai dengan pelaksanaan keilmuan dan aturan hukum
yang berlaku, serta dari sudut pandang sosial dan masyarakat dalam kehidupan
10

sehari-hari sehingga dapat diketahui legalitas dari peran saksi ahli dalam suatu
pemeriksaan dimuka pengadilan. Penelitian ini termasuk jenis penelitian yang
bersifat deskriptif artinya penelitian yang dimaksudkan memberi data seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.13 Sehingga
peneliti dapat menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara
menggambarkan dan menjelaskan masalah-masalah yang ada dengan cara
mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisis dan
menginterpretasikan, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai permasalahan-permasalahan kekuatan mengikat saksi ahli dalam
sengketa tanah.

1.4.2 Sumber Data


Sumber data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah bahan hukum
primer, sekunder dan tersier. Berikut adalah penjelasannya:
1. Bahan hukum Primer
Yang dimaksud dengan bahan hukum primer yaitu bahan bahan hukum
yang mempunyai kekuatan mengikat, yang terdiri dari:
a. UNCLOS 1982
b. MARPOL 73/38
c. STCW Convention
d. IMO Convention
e. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2009 tentang
Pelabuhan,
h. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Pemeriksaan Kecelakaan Kapal
i. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
j. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut,
k. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak
13
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Hal: 10
11

l. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup
m. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2013 Tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
n. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Kerugian Lingkungan Hidup
o. UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah 
p. PP No. 62/2013 Investigasi Kecelakaan Transportasi 
q. Perpres No. 109/2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak di Laut 
r. Peraturan ESDM No. 300.K/38/M.pe/1997 tentang Keselamatan Kerja
Pipa Penyalur Minyak dan Gas Bumi 
s. Peraturan Kemenhub PM No. 93/2014 tentang Sarana Bantu dan
Prasarana Pemanduan Kapal  
t. Peraturan Kemenhub No. 129/2016 tentang Alur Pelayaran di Laut dan
Bangunan dan/Instalasi di Perairan 
u. Peraturan Kemenhub No. 20/2017 tentang Terminal Khusus dan Terminal
untuk Kepentingan Sendiri 
v. Peraturan Kemenhub No. 23/1990 tentang Usaha salvage dan atau
pekerjaan Bawah Air 
w. Peraturan Kemenhub No. 25/2011 tentang Sarana Bantu Navigasi-
Pelayaran þ
x. Peraturan Kemenhub No. 26/2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran 
y. Peraturan Kemenhub No. 57/2015 tentang Pemanduan dan Penundaan
Kapal 
z. Peraturan Kemenhub No. 58/2013 tentang Penanggulangan Pencemaran
di Perairan dan Pelabuhan 
aa. Peraturan Kemenhub No. HK 103/2/14/DJPL-16 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penerimaan, Penyetoran, Penggunaan dan Pelaporan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.
2. Bahan Hukum Sekunder
12

Yang dimaksud bahan hukum sekunder yaitu bahan yang melengkapi


bahan hukum primer dan berfungsi sebagai penjelas dari hukum primer, yang
terdiri dari:
a. Buku-buku yang berhubungan dengan perairan, kelautan dan pelayaran.
b. Karya-karya ilmiah, Tesis, dan Jurnal Skripsi.
c. Bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian.
3. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, diantaranya:14
a. Bahan dari media internet yang relevan dengan penelitian ini;
b. Kamus Hukum (Black’s Law Dictionary).

1.4.3 Teknik Analisis


1. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data berupa suatu pernyataan (statement) tentang
sifat, keadaan, kegiatan tertentu dan sejenisnya. Pengumpulan data dilakukan
untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan
penelitian. Sehubungan dengan jenis penelitian yang akan dilakukan adalah
merupakan penelitian normatif maka untuk memperoleh data yang
mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Maka dalam hal
tersebut dikenal tiga alat pengumpulan data, yakni studi dokumen atau bahan
pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview15.
Dalam rangka memperoleh data primer dan data sekunder yang akurat
untuk penulisan tesis ini, maka dilakukan pengumpulan data dengan cara
sebagai berikut :
a. Studi dokumen atau bahan pustaka
1) Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
2) Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan16
b. Studi wawancara
Suatu sarana atau alat pengumpulan data dalam penelitian dengan
menyatakan bahwa wawancara melibatkan orang-orang yang melakukan
14
Soejono Soekanto, Op.Cit, hlm. 13-14
15
Soerjono Soekanto, Op.Cit hlm. 201
16
Ibid.
13

komunikasi dengan pihak lain untuk mengemukakan ide-ide, perasaan


sikap dan lain-lain.17 Dalam skripsi ini, penulis melakukan teknik analisis
wawancara terhadap narasumber yang terkait dengan skripsi yang
diambil dengan wawancara satu narasumber, yaitu:
2. Bentuk hasil penelitian
Laporan yang dihasilkan dalam penelitian mengenai studi kasus tentang
pertanggungjawaban para pihak atas kecelakaan laut dan pencemaran
minyak. Sesuai dengan jenis penelitian yang diuraikan, jenis penelitian ini
adalah eksplorasi, dimana mencari penelitian yang belum diteliti. Dimana
dalam penelitian ini akan mencari pertanggungjawaban secara perdata dalam
kasus kapal MV Ever Judger dan mencari siapa yang akan bertanggung jawab
atas akibat kecelakaan laut tersebut.

17
Ibid, hlm. 220
14

BAB II
TINJAUAN REFERENSI

2.1 Kerangka Konsep


Untuk memahami penelitian ini pemetaan masalah hingga pemecahan
masalah dalam penulisan perlu digambarkan, untuk menemukan struktur
pemikiran yang sesuai untuk menjawab rumusan masalah:

Pendekatan Hukum Sekunder :


a) Buku-buku yang berhubungan
dengan penelitian
Metode :
Pencemaran Laut b) Karya-karya ilmiah, Tesis, dan
Penelitian Hukum Yuridis Empiris Jurnal Skripsi
c) Bahan-bahan hukum yang
berkaitan dengan penelitian

Pendekatan Perundang-
Jangkar Kapal MV Ever Judger undang (Statute Approach)
mematahkan dan menyeret pipa Primer:
bawah laut milik Pertamina. Teori : UNCLOS 1982
Akibatnya minyak mentah tumpah Pertanggungjawaban MARPOL 73/38
dan merusak lingkungan serta
menyebabkan korban jiwa STCW Convention
IMO Convention
Undang Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang
Pelayaran,
Rumusan Masalah : Peraturan Pemerintah
1. Dalam hal terjadi kecelakaan di laut Republik Indonesia Nomor 51
Masalahnya : Pertanggungjawaban dalam kasus Kapal MV Ever Judger,
siapakah yang bertanggungjawab? Tahun 2002 tentang
Para Pihak Atas Kecelakaan Di Laut
Dan Pencemaran Minyak 2. Sejauhmana pertanggungjawaban Perkapalan
Kapal MV Ever Judger akibat dari Peraturan Pemerintah
pencemaran laut yang terjadi di Republik Indonesia Nomor 61
Perairan Teluk Balikpapan? Tahun 2009 tentang
Pelabuhan.

undang-undang, buku dan


karya ilmiah lain nya

Bagan 1 Kerangka Konsep

Keterangan dari kerangka konsep di atas:


15

Kerangka berpikir di atas mencoba memberikan gambaran selengkapnya


mengenai alur konsep dari penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini. Konsep
penulisan skripsi ini dibuat berdasarkan kasus kapal MV Ever Judger yang
disebabkan oleh jangkar kapal yang dilempar secara sengaja dan menyebabkan
pipa bawah laut patah dan kapal tersebut menyerat pipa itu sampai kurang lebih
100 meter. Hal itu langsung memberikan dampak yang sangat merugikan
masyarakat sekitar karena lingkungan laut menjadi rusak dan adanya korban
jiwa. Dalam kasus ini membutuhkan penjelasan yang pasti mengenai
pertanggungjawaban korporasi dan badan usaha milik negara secara perdata.
Peraturan yang digunakan untuk mengetahui pertanggungjawaban secara
perdata tersebut yaitu UNCLOS 1982, MARPOL 73/38, STCW Convention,
IMO Convention, Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2009
tentang Pelabuhan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, Undang Undang Nomor 32
Tahun 2014 tentang Kelautan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2006 tentang
Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup, UU No.
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 62/2013 Investigasi Kecelakaan
Transportasi, Peppres No. 109/2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat
Tumpahan Minyak di Laut, Peraturan ESDM No. 300.K/38/M.pe/1997 tentang
Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Kemenhub
PM No. 93/2014 tentang Sarana Bantu dan Prasarana Pemanduan Kapal,
Peraturan Kemenhub No. 129/2016 tentang Alur Pelayaran di Laut dan
Bangunan dan/Instalasi di Perairan, Peraturan Kemenhub No. 20/2017 tentang
Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri, Peraturan
Kemenhub No. 23/1990 tentang Usaha salvage dan atau pekerjaan Bawah Air,
Peraturan Kemenhub No. 25/2011 tentang Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran,
16

Peraturan Kemenhub No. 26/2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran, Peraturan


Kemenhub No. 57/2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal, Peraturan
Kemenhub No. 58/2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan
Pelabuhan, Peraturan Kemenhub No. HK 103/2/14/DJPL-16 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penerimaan, Penyetoran, Penggunaan dan Pelaporan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut,

2.2 Definisi Konsep


Sesuai dengan judul Skripsi yang diambil yaitu
“PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN DI
LAUT DAN PENCEMARAN MINYAK”, maka definisi operasional yang
perlu dijelaskan yaitu:
2.2.1 Laut
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) laut/la·ut/ n adalah
kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan
membagi daratan atas benua atau pulau; Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dalam Pasal 1 ayat 1
menyatakan bahwa Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang
menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk- bentuk alamiah lainnya,
yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait,
dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional dan Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Kelautan adalah
hal yang berhubungan dengan Laut dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang
meliputi dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut,
termasuk wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil. Wilayah laut sebagai bagian
terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari
berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan, dan keamanan merupakan modal dasar pembangunan nasional
pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum
untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat
sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara.18 Dalam upaya mencapai
tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

18
Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 1 ayat 1 dan 2.
17

Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan wawasan nusantara serta


memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan memperkukuh
kedaulatan negara.
2.2.2 Kapal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kapal adalah
/ka·pal/ n kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut (sungai dan
sebagainya). Menurut pasal 309 KUHD, Kapal adalah semua alat berlayar,
apapun nama dan sifatnya. Termasuk didalamnya adalah : kapal karam, mesin
pengeruk lumpur, mesin penyedot pasir, dan alat pengangkut terapung lainnya.
Meskipun benda-benda tersebut tidak dapat bergerak dengan kekuatannya
sendiri, namun dapat digolongkan ke dalam “alat berlayar” karena dapat
terapung/mengapung dan bergerak di air.19 Menurut pasal 1 ayat 2 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan,
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan
dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Menurut pasal 1 ayat 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 Tentang
Perkapalan, Perkapalan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemenuhan persyaratan kelaikan lautan kapal dan segala faktor yang
mempengaruhinya, sejak kapal dirancang-bangun sampai dengan kapal tidak
digunakan lagi.20 Sementara menurut pasal 1 ayat 36 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, kapal adalah kendaraan
air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin,
tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.21 Kapal itu terbagi
menjadi dua di Indonesia yaitu Kapal yang berbendera Indonesia dan Kapal
Asing. Kapal berbendera Indonesia adalah kapal yang telah didaftarkan dalam
daftar kapal Indonesia22 dan Kapal Asing adalah kapal yang selain berbendera
Indonesia dan tidak tercatat dalam kapal Indonesia.
19
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 309.
20
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan Pasal 1 ayat 1.
21
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 1 ayat 36
18

Pengelompokan tipe kapal menurut fungsinya dapat dibagi menjadi tiga


bagian utama, yaitu:
1. Kapal niaga dan komersial;
2. Kapal perang;
3. Kapal khusus.
Kapal Niaga dan Komersial Yang termasuk sebagai kapal niaga dan
komersial antara lain adalah kapal angkut, kapal penumpang, kapal ikan dan
kapal tunda. Kapal angkut bisa berupa kapal cargo, kapal container, maupun
semi container (perpaduan antara kapal cargo dan container), kapal feri dan
juga kapal tanker. Kapal tunda adalah kapal kecil yang beroperasi di pelabuhan
guna membantu manuver kapal- kapal besar yang akan bersandar maupun
berlabuh di pelabuhan, meskipun kecil kapal tunda memiliki daya dorong yang
besar agar mampu mengarahkan kapal-kapal yang akan bersandar.23 Kapal
Niaga dan komersial dibuat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi terbaik.
Hal ini termasuk dalam menghitung biaya operasional kapal dan perawatan
kapal serta nilai jual kembali apabila pemilik kapal tidak menginginkannya
lagi.24 Untuk kapal tanker, cargo dan kapal ikan kenyamanan tidak menjadi
pertimbangan. Berbeda halnya dengan kapal penumpang, kenyamanan dan
kemewahan kadang diperlukan demi memuaskan para penumpang. Lain dari
itu kapal penumpang harus memiliki kemampuan bertahan hidup pada situasi
darurat. Kecepatan kapal niaga umumnya relatif rendah biasanya berkisar
antara 7 hingga 15 knot. Sebab kecepatan rendah lebih murah dibandingkan
kapal dengan kecepatan tinggi. Lambung kapal juga umumnya gemuk (besar)
dan memiliki parallel middle body yang cukup panjang guna memuat muatan
yang maksimal, kapal-kapal ini termasuk kategori kapal displacement
(hydrostatic support). Hanya kapal ikan yang agak kurus karena memerlukan
manuver yang lebih baik dibanding kapal niaga lainnya, beberapa kapal
nelayan menggunakan lambung bentuk V. Kapal angkut umumnya memakai
22
Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan
Pasal 1 ayat 8
23
Sumaryanto, “Konsep Dasar Kapal”(Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2013) hlm 5

24
Ibid., hlm 5
19

baling-baling yang diputar oleh motor diesel ukuran besar sebagai penggerak
kapal, meski ada juga kapal cargo yang menggunakan layar sebagai tenaga
penggerak. Pemilik kapal kadang menggunakan tenaga penggerak kombinasi
antara layar dan motor diesel. Ketika angin tidak bertiup cukup kencang motor
digunakan untuk menggerakkan kapal. Jenis ini disebut Kapal Layar Motor
(KLM) dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. 25 Kapal feri ada yang
dirancang memiliki dua pintu yaitu pintu depan dan pintu belakang untuk
memudahkan bongkar muat kendaraan roda empat yang diangkut. Ini juga
bertujuan memudahkan kapal tersebut agar tidak perlu bermanuver. Dari satu
pelabuhan ia sandar menggunakan pintu belakang untuk mengangkut
kendaraan dan ketika sampai di pelabuhan tujuan kapal ini menggunakan pintu
depan untuk sandar, ini memudahkan keluar masuk kendaraan dan kapal tidak
perlu bermanuver untuk sandar. Feri jenis ini disebut Ro - Ro yang merupakan
singkatan dari roll on off. Kapal perang diklasifikasi menjadi beberapa tipe
antara lain kapal tempur, patroli, kapal pendukung. Ada juga kapal perang yang
dibuat secara khusus seperti kapal induk yang mengangkut pesawat dalam
jumlah besar, helikopter, tank dan peralatan tempur lainnya. Kapal lain yang
dirancang secara khusus antara lain kapal peluncur peluru kendali, kapal
penghancur dan kapal selam. Kapal perang adalah kapal paling modern dalam
hal teknologi, di sini segi ekonomis menjadi pertimbangan kedua. Kapal perang
khususnya kapal patroli dan kapal penghancur mengutamakan kecepatan dan
manuver yang baik. Untuk itu lambung kapal perang jenis ini berbentuk
planning hull untuk mendukung kebutuhan operasionalnya. Hal yang penting
diperhatikan dalam mendesign kapal perang antara lain:26
1. Lambung berbentuk ramping untuk memungkinkan berlari cepat.
2. Mesin pendorong, mempunyai power yang besar.
3. Sistem kelistrikan lengkap, otomatis maupun manual.
4. Komando (kemampuan menerima perintah atasan dan memberi perintah ke
bawahan).
5. Peralatan pengintai, sesuai dengan fungsinya.
6. Persenjataan, sesuai dengan fungsinya; patroli, atau untuk bertempur.
Kebutuhan dan keterkaitan antara ketujuh sistem perlu menjadi perhatian

25
Ibid., hlm 6
26
Ibid., hlm 7
20

yang mendalam dan didefinisikan secara baik. Dan sistem cadangan dari
ketujuh item tersebut juga harus disediakan.
Komponen-komponen untuk keperluan darurat perlu disiapkan. Pertimbangan
utama dari kapal perang ada pada berat, stabilitas, kecepatan, tenaga dan
ketahanan, ruang, daya angkut, rencana umum (pengaturan ruang dan
peralatan), kamar-kamar personil dan gerak kapal. Seluruh pertimbangan ini
sudah didefinisikan sebelum desain awal kapal dibuat. Kecepatan menjadi
penting karena kapal perang harus mampu bersaing dalam pengejaran maupun
melepaskan diri dari musuh. Sedangkan manuver diperlukan dalam hal kontak
senjata. Untuk itu sistem penggerak kapal harus memenuhi kebutuhan ini.
Baling-2 super kavitasi biasanya dipakai untuk kapal cepat dengan jarak
pelayaran yang cukup jauh, sementara sistem penggerak water jet dipakai untuk
kapal penjaga pantai dan patroli.27 Kapal-kapal Khusus Kapal yang mempunyai
tugas khusus, artinya bukan untuk pengangkutan, disebut juga sesuai dengan
tugas pekerjaan yang dilaksanakan.
1. Kapal Keruk (dredger). Fungsinya adalah memperdalam kolam pelabuhan,
alur pelayaran, sungai dan lain-lainnya dan juga menyediakan tanah untuk
reklamasi rawa-rawa (untuk perluasan daerah menjadi daratan). Pemakaian
tipe tipe keruk tergantung dari jenis tanah galian.28
2. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang fungsinya untuk menangkap ikan
apabila ditinjau dari penangkapannya dapat dibedakan atas 3 macam yaitu :
a. Kapal yang dilengkapi dengan alat tembak terutama khusus untuk kapal
penangkap ikan paus.
b. Kapal yang dilengkapi dengan alat jaring
c. Kapal yang dilengkapi dengan alat kail. Kapal-kapal ikan dimana
operasi penangkapannya agak jauh dari pangkalannya, yang berhari-hari
memerlukan waktu dalam operasinya biasanya dilengkapi dengan kotak
ikan yang didinginkan, sehingga ikan ikan hasil tangkapan tidak cepat
menjadi busuk. Bahkan untuk kapal kapal ikan yang modern dilengkapi
dengan pabrik ikan dalam kaleng.

27
Ibid., hlm 8
28
Ibid., hlm 9
21

3. Kapal Pemadam Kebakaran Kapal adalah kapal yang fungsinya membantu


memadamkan kebakaran pada kapal lain atau kebakaran pada dermaga
pelabuhan. Operasinya biasanya dilakukan sekitar pelabuhan.29
4. Kapal Peneliti adalah kapal yang fungsinya mengadakan penelitian di
lautan, kapal tersebut dilengkapi dengan peralatan-peralatan penelitian.
Kapal observasi/penelitian dan kapal penyelamat (SAR- Search And
Rescue) dikelompokkan sebagai kapal khusus karena dirancang untuk
keperluan tertentu. Kapal observasi bawah laut misalnya dirancang khusus
untuk keperluan tersebut sehingga harus membawa peralatan-peralatan
elektronik untuk keperluan penelitian. Kapal ini harus dirancang dengan
kebisingan dan getaran yang rendah. Lambung kapal juga didesain khusus
agar para peneliti dapat turun ke laut dengan mudah, beberapa kapal
observasi lambung kapalnya terbuat dari kaca untuk memudahkan
pengamatan biota laut.30
5. Kapal SAR dirancang untuk mencari dan menyelamatkan, dilengkapi
dengan perlengkapan medis dan harus bisa bergerak cepat serta mampu
beroperasi pada kondisi laut yang buruk sekalipun. Di sini stabilitas kapal
menjadi pertimbangan utama untuk mengatasi gelombang yang buruk
sekalipun.31

2.2.3 Pelayaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pelayaran adalah
perjalanan melalui laut dan segala sesuatu yang menyangkut perihal berlayar
(seperti ilmu, sekolah). Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa Pelayaran
adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, ke
pelabuhan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan
maritim.32 Pelayaran yang terdiri atas beberapa jenis angkutan di perairan yaitu
angkutan laut, angkutan sungai dan danau serta angkutan penyeberangan, ke
pelabuhan, keselamatan, keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan
maritim. Perlindungan lingkungan maritim merupakan bagian dari sistem

29
Ibid., hlm 12
30
Ibid., hlm 14
31
Ibid
32
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 1 ayat 1
22

transportasi nasional. yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk


mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu
terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Perkembangan
lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan
pelayaran yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah dan akuntabilitas.
Penyelenggaraan negara dengan tetap mengutamakan keselamatan dan
keamanan pelayaran demi kepentingan nasional.
Dalam undang-undang pelayaran, angkutan di perairan merupakan
kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang
dengan menggunakan kapal. Angkutan perairan tersebut dibagi menjadi 3 jenis
yaitu angkutan laut, angkutan sungai dan danau serta angkutan penyeberangan.
Angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani
kegiatan angkutan laut. Angkutan laut terdiri atas angkutan laut dalam negeri,
angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan laut pelayaran-
rakyat. Angkutan dalam negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di
wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan
laut nasional. Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan
angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta
diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia dan kapal asing
dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antar pulau atau antar
pelabuhan di wilayah perairan Indonesia. Angkutan laut luar negeri adalah
kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi
perdagangan pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan
luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke
pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar
negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut. Kegiatan angkutan
laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional
dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia dan atau kapal asing. Kegiatan angkutan laut luar negeri
ini dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa
muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut
ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan
23

wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum dan perusahaan


angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari
pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara
berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia. Angkutan laut
luar negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia dan asing.
Dilakukan oleh perusahaan pelayaran nasional yang memiliki minimal satu
kapal berbendera Indonesia, berukuran 175GT; perusahaan pelayaran patungan,
antara perusahaan asing dengan perusahaan nasional yang memiliki minimal
satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT; dan perusahaan
pelayaran asing, yang harus diageni oleh perusahaan nasional dengan
kepemilikan minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000GT
untuk pelayaran internasional atau minimal satu kapal berbendera Indonesia,
berukuran 175GT untuk pelayaran lintas batas Angkutan laut khusus adalah
kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang
usaha pokoknya. Angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk
menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelayaklautan kapal dan
diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia dan kegiatan ini
dilakukan berdasarkan izin operasi dari Pemerintah. Angkutan laut pelayaran
rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai
karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan
menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/ atau kapal motor
sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu. Kegiatan angkutan
laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia
yang memenuhi persyaratan kelayaklautan kapal serta diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia.33

2.2.4 Asas Cabotage


Asas cabotage adalah sebuah prinsip yang lahir dari kedaulatan internal
sebuah negara atas teritorial laut dan udaranya. Sederhananya asas cabotage
adalah sebuah prinsip yang memberikan hak khusus (privilege) untuk kapal-
kapal penunjang operasional niaga berbendera negeri yang bersangkutan untuk

33
Ibid
24

melakukan angkutan ke wilayahnya (pelabuhan). Tidak hanya itu, kapalnya


juga harus dimiliki dan dioperasikan oleh warga negara atau badan usaha yang
dibentuk berdasarkan hukum negara setempat. Bahkan kepemilikan saham
mayoritas (minimal 51%) juga harus berada di tangan perusahaan dari negara
tersebut. Asas cabotage juga berperan dalam mendorong pertumbuhan sektor
terkait pelayaran nasional lainnya. Kebijakan asas cabotage merupakan bentuk
kedaulatan negara dan mandatory atau bersifat wajib untuk negara. asas
cabotage harus dipertahankan demi kepentingan nasional.34 Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, Cabotage Principle diartikan sebagai asas atau prinsip yang
menyatakan bahwa kegiatan pelayaran dalam wilayah perairan suatu negara
hanya Dapat dilakukan oleh kapal-kapal dari negara bersangkutan. Cabotage
Principle merupakan asas yang diakui didalam hukum dan praktek pelayaran
seluruh dunia serta merupakan penjelmaan kedaulatan suatu negara untuk
mengurus dirinya sendiri, dalam hal ini pengangkutan dalam negeri, sehingga
tidak dapat begitu saja dianggap sebagai proteksi, yaitu perlindungan atau
perlakuan istimewa yang kurang wajar bagi perusahaan domestik sehingga
menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Asas ini telah diatur dalam Pasal 7
dan 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran dan Inpres No
5 tahun 2005. Kebijakan asas cabotage ini telah terbukti berperan dalam
mendorong pertumbuhan perekonomian nasional35. Dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 pada pasal 7 disebutkan macam-macam kegiatan
angkutan laut dan pada pasal 8 disebutkan kegiatan angkutan laut dalam negeri
dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan
kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan
Indonesia.36 Dalam instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menekankan untuk menerapkan Asas cabotage secara konsekuen dan
merumuskan kebijakan serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan
sesuai dengan kewenangan masing-masing guna pemberdayaan industri
pelayaran nasional. Dijelaskan pada sosialisasi yang diselenggarakan di

34
BP Lawyers Counselors At Law “Penerapan Asas Cabotage Dalam Industri Migas Nasional”
Tersedia di WWW : https://bplawyers.co.id.2016/07/19/Penerapan-asas-cabotage-dalam-industri-
migas-nasional/ (21 Februari 2020)
35
Indonesia Nasional Shipowners’ Association “Asas Cabotage Harus Dipertahankan” Tersedia di
WWW : https://insa/or.id/asas-cabotage-harus-dipertahankan/ (21 Februari 2020)
36
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 7-8
25

Balikpapan pada tahun 2013 tentang Asas cabotage terdiri dari beberapa point,
yaitu:
1. Kegiatan angkut dalam negeri dilakukan oleh :
a. Perusahaan angkutan laut nasional
b. Menggunakan kapal berbendera Indonesia
c. Diawaki awak kapal berkewarganegaraan Indonesia
2. Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang ke setiap
pulau atau setiap pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
3. Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri tetapi dapat melakukan kegiatannya paling lama tiga tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku.
4. Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut
penumpang dan/atau barang ke setiap pulau atau setiap pelabuhan di
wilayah perairan Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Instruksi ini dibuat untuk menginstruksikan agar asas cabotage
diterapkan secara konsekuen, merumuskan kebijakan dan mengambil langkah
yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing guna
memberdayakan industri pelayaran Indonesia.37 Sebelum tahun 2005 dimana
asas cabotage belum lahir, bisnis pelayaran dan pengangkutan antar pulau
berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Kementrian
Perhubungan, jumlah armada kapal berbendera Indonesia pada tahun 2005
hanya 6.041 kapal dengan kapasitas angkut 5,67 juta GT (gross ton) . Pada
awalnya pelaksanaan asas cabotage ini banyak ditentang oleh pihak perusahaan
pelayaran dalam negeri sendiri. penentangan itu karena hampir dari seluruh
perusahaan pelayaran dalam negeri telah memiliki kontrak dengan pemilik
kapal asing. Sehingga dengan munculnya Asas cabotage, memaksa perusahaan
pelayaran dalam negeri melakukan renegosiasi kontrak. Untuk usaha di bidang
angkutan di perairan berdasarkan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2010 (revisi
Perpres No.77 tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No.111
tahun 2007) dapat dimiliki oleh perusahaan joint venture antara Badan Usaha
Indonesia (kepemilikan nasional 51%) dengan Badan Usaha Asing dengan
37
Samuel Bonaparte “Asas Cabotage di dalam Hukum Maritim Indonesia” Tersedia di WWW :
https://samuelbonaparte.com/2017/02/04/asas-cabotage-di-dalam-hukum-maritim-indonesia/ (21
Februari 2020)
26

batasan kepemilikan modal asing maksimal 49%. Dalam menjamin


kepemilikan nasional 51% maka harus dicari suatu mekanisme pengawasan
yang nyata dan efektif. Mekanisme pengawasan harus dibuat apakah dengan
Peraturan Menteri Keuangan atau Menteri Hukum dan HAM atau BKPM yang
sampai saat ini belum ada. Untuk itu perlu dikaji apakah pernyataan dari
Departemen Perhubungan Dirjen Hubla bahwa setelah Inpres No. 5 tahun 2005
armada kapal nasional bertambah cukup signifikan dari tahun 2005- 2009
sebanyak 2.484 unit (41,12%) setara dengan 4,655,998 GT (82%). Informasi
peningkatan ini perlu dikolaborasi apakah hanya semata-mata berdasarkan
bendera kapal saja atau juga berdasarkan kepemilikan (benar-benar dimiliki
oleh Badan Hukum Indonesia/perseorangan warga negara Indonesia), karena
Peraturan Presiden No. 36 tahun 2010 menekankan bahwa kepemilikan kapal
oleh asing dibatasi hanya sebesar 49%. Dampak positif dengan
diberlakukannya asas cabotage ini juga mendorong peningkatan jumlah kapal
sekitar 130,5% menjadi 12.928 untuk kapal hingga 17 April 2014 dari periode
Mei 2005 yang sebanyak 6.042 unit armada saja. Selain juga pemberlakuan
Asas Cabotage ini dalam rangka di bidang ekonomi, untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan  kesempatan
berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal serta
melindungi sovereignty (kedaulatan negara) di bidang pertahanan. Hal tersebut
sesuai dengan dasar dan kepentingan utama penerapan Asas cabotage yaitu
Pertama, menjamin dan melindungi infrastruktur pembangunan kelautan
nasional terutama pada saat negara dalam keadaan darurat, dibandingkan
jika infrastruktur itu dimiliki negara asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik.
Kedua, membangun armada niaga yang kuat dan memadai, mengisi kebutuhan
angkutan laut dalam negeri, dan mendukung kegiatan ekonomi kelautan
lainnya. Ketiga, mendukung kepentingan keamanan, pertahanan, dan ekonomi
nasional. Keempat, armada pelayaran niaga menjadi bagian dari sistem
pertahanan negara yang siap dimobilisasi saat negara membutuhkan. Cakupan
asas cabotage juga bukan hanya dalam ruang lingkup pelayaran / logistik,
melainkan juga dalam kegiatan usaha laut dalam galangan kapal, ke pelabuhan,
usaha bongkar muat, perdagangan, jasa keuangan, serta ekspor impor.
Walaupun dari sisi perdagangan bebas nanti konsep pengangkutan laut akan
berubah menjadi sistem yang liberal, tetapi pelayaran merupakan tumpuan dari
27

sistem perdagangan, maka pemberlakuan Asas Cabotage ini juga akan


menciptakan stabilitas kondisi dalam sistem pelayaran Indonesia.38 
1. Implementasi Asas Cabotage
Seiring dengan pertumbuhan industri bidang pelayaran semakin
membaik, sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran dan mengingat sudah memasuki Era Perdagangan
Bebas, sudah seharusnya pemerintah membuka seluas-luasnya peran swasta
untuk membangun dan mengusahakan pelabuhan demi meningkatkan
kapasitas terwujudnya pelabuhan Indonesia. Dalam rencana strategis renstra
kementerian perhubungan pada tahun 2015-2019 mengenai Transportasi
Laut Indonesia akan memasuki roadmap Beyond Cabotage, dimana suatu
kelanjutan dalam pelaksanaan Asas Cabotage yang sudah berlaku dan juga
sejalan dengan kegiatan Kementerian Perdagangan dalam kaitannya dengan
meningkatkan tradisi angkutan laut nasional dalam perdagangan
internasional.39
Menurut Indonesian National Shipowners Association (INSA), dalam
pelaksanaan beyond Cabotage dalam menyelamatkan potensi devisa negara
yang hilang karena biaya angkutan kapal berbendera luar negeri yang
mengangkut produk-produk ekspor hingga mencapai Rp. 240 Triliun per
tahun.40 Bisa dilihat dalam National Summit 2009, oleh Johnson W Sutjipto,
Ketua Umum INSA menyampaikan : Sebagai tindak lanjut dan amanat UU
17/2008 – membuka seluas luasnya peran swasta untuk membangun dan
mengusahakan pelabuhan untuk meningkatkan kapasitas terpasang
pelabuhan Indonesia.41 Mendorong pengembangan sistem Terminal
Operator di pelabuhan-pelabuhan Indonesia untuk meningkatkan kompetisi
INTRA PORT sehingga kualitas layanan dan produktivitas bongkar muat
barang akan meningkat.42 Asas Cabotage sesuai Inpres 5/2005 diarahkan
bahwa belanja/impor pemerintah harus menggunakan armada merah putih,

38
Ibid
39
E.A.P, “Asas Cabotage Menghadapi Program Masyarakat Ekonomi Asean” hlm 10
40
Anon. “Bentuk Task Force Untuk Pelaksanaan Program Beyond Cabotage” Tersedia di WWW :
http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/10/10/354751/4/2/Bentuk_Task_Force_untuk_Pela
ksa naan_Program_Beyond_Cabotage. (5 November 2019)
41
Ibid
42
Johnson W Sutjipto. National Summit 2009.
28

tetapi terhambat dengan dilakukannya pola pembelian/import CnF (Cost


and Freight) menjadikan inpres ini tidak efektif:43
a. Disarankan menggunakan pola FoB (Free on Board) dan menggunakan
armada berbendera merah putih.
b. Segera ada rencana jelas “Beyond cabotage” selanjutnya setelah tahun
2010. Harus memikirkan bagaimana dapat meningkatkan daya saing
armada merah putih di pelayaran internasional dan menambah armada
kita di luar dan menarik devisa kembali ke negeri tercinta ini. Dengan
7% dari 530 juta Ton muatan angkutan laut internasional perlu piloting
pemberdayaan armada nasional --> roadmap beyond cabotage
Kapal Indonesia yang ke luar negeri perlu standard best practice
internasional dengan kebijakan pelimpahan kewenangan statutory
document/license kepada Class International/Biro Klasifikasi Indonesia --->
kesetaraan dengan armada asing . Maka dalam hal ini pun, jika asas Cabotage
tetap dijalankan pemerintah juga harus mengevaluasi armada-armada kegiatan
lainnya, seperti kegiatan operasi lepas pantai Untuk kegiatan offshore (lepas
pantai) masih dalam status unregulated kegiatan offshore44 masih menggunakan
kapal asing, karena faktor harga kapal dalam melakukan kegiatan itu terhitung
tinggi, masih banyak perusahaan yang menggunakan kapal asing untuk
mengantisipasi itu, kementrian perhubungan memberikan fleksibilitas, sehingga
pemerintah membolehkan pelayaran dalam negeri untuk melakukan kegiatan
offshore, hingga tahun depan, 2016. Selain itu juga dalam menunjang
kelancaran kegiatan hulu minyak dan gas bumi diperlukan fasilitas dermaga,
yang dipergunakan sebagai fasilitas sandar, tambat kapal dan bongkar muat
kapal yang dipergunakan sebagai terminal khusus. Adapun terminal khusus
yang telah mendapat izin pengoperasian dari Menteri Perhubungan antara lain
adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No KP 504 tahun 2009
tentang pemberian izin operasi kepada Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak
dan Gas Bumi, untuk mengoperasikan terminal khusus pertambangan minyak
dan gas bumi di perairan selat malaka dan Jawa timur. Untuk laporan terakhir

43
Ibid
44
Bangunan atau struktur yang di bangun di atas laut dengan kedalaman tertentu sebagai penopang
kegiatan proses eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi.
29

penerapan asas Cabotage dalam kegiatan offshore kapal asing, sudah memasuki
percentage 10%, sedangkan kapal nasional menguasai 90% kegiatan offshore.

2.2.5 Pipa Bawah Laut


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pipa/pi·pa/ n
adalah barang yang bentuknya bulat panjang, tengahnya berongga dari ujung ke
ujung, digunakan untuk mengalirkan barang cair atau gas; pembuluh; buluh-
buluh: -- air; -- minyak. Sejalan dengan semakin meningkatnya eksplorasi
minyak dan gas di lepas pantai dan laut dalam yang diikuti dengan
perkembangan teknologi pipa bawah laut yang semakin pesat, membuat
teknologi ini sangat menarik untuk dipelajari dan dikembangkan. Dalam
pelaksanaannya pipa harus didesain kuat dan stabil dalam menahan gaya-gaya
yang bekerja baik selama masa instalasi, hydrotest, dan masa lainnya. Secara
lengkap sebuah desain pipa bawah laut meliputi desain ukuran pipa (pipeline
sizing) yang mencakup diameter dan tebal pipa, analisis tegangan pipa (stress
analysis), on-bottom stability, span, penyekat panas (thermal insulation), dan
pemilihan lapisan pelindung pipa. Setelah pipa di desain pipa akan dipasang
menurut desain yang ditentukan, adapun metode yang biasa digunakan dalam
proses instalasi pipa yaitu: S-Lay, J-Lay, Reel Lay dan Tao Pipa bawah laut
didesain untuk transportasi minyak, gas atau air dari lepas pantai menuju ke
pemakai di darat. Pipeline bekerja 24 jam sehari, 365 hari dalam setahun
selama umur pipa yang bisa sampai 30 tahun atau bahkan lebih. Di Indonesia,
Pemasangan pipa bawah laut yang pertama kali antara lain adalah dari sumur
Parigi (Laut Jawa) ke Cilamaya sepanjang 42 km dengan diameter 24 inch pada
tahun 1975. Perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk pemasangan offshore
pipeline dan pipa darat yaitu Offshore pipeline, diameter 28 in (secara kasaran)
: US$ 1 juta/km dan Pipa darat sekitar US$ 25-38 per meter. Bahan pipa dipilih
berdasarkan aspek-aspek rancangan sebagai berikut: Diameter pipa, Tekanan
Internal dan Eksternal, Beban Kerja, Suhu dari muatan yang dialirkan, Code
Compliance dan Biaya.45 Menurut Keputusan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997, Pasal 1 huruf a menyatakan pipa penyalur
adalah pipa minyak dan atau gas bumi yang meliputi Pipa Alir Sumur, Pipa

45
Digilib Itb “Energi” (Online). Tersedia di WWW : http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/607/jbptitbpp-
gdl-zenalabidi-30328-2-2008ta-1.pdf (30 November 2018)
30

Transmisi Minyak, Pipa Transmisi Gas, Pipa Induk, dan Pipa Servis. Huruf b
menyatakan pipa alir Sumur, adalah pipa untuk menyalurkan minyak dan gas
bumi dari kepala sumur ke stasiun pengumpul dan huruf c menyatakan pipa
transmisi minyak adalah pipa untuk menyalurkan minyak dari stasiun
pengumpul ke tempat pengolahan, dan dari tempat pengolahan ke depot, dan
dari depot atau dari depot ke pelabuhan dan atau sebaliknya46. Dalam
penggelaran pipa penyalur selambat-lambatnya 2 (dua) sebelum dimulainya
penggelaran, perubahan dan atau perluasan pipa penyalur pengusaha wajib
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Kepala Pelaksana Inspeksi
Tambang mengenai lokasi geografis, denah penggelaran pipa penyalur, proses
diagram, jumlah rincian tenaga kerja dan perubahannya, hal-hal yang dianggap
perlu oleh Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang. Apabila dalam pelaksanaannya
terdapat perubahan mengenai hal-hal yang telah diajukan Pengusaha wajib
menyampaikan laporan secara tertulis kepada Kepala Pelaksana Inspeksi
Tambang. Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang melakukan pengawasan atas
pelaksanaan penggelaran pipa penyalur.47 Penggelaran Pipa Penyalur baik di
darat maupun di laut dapat dilakukan dengan cara ditanam atau diletakkan di
permukaan tanah.48 Pipa Penyalur yang digelar di laut wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut : a. dalam hal kedalaman dasar laut kurang dari 13
meter maka pipa harus ditanam sekurang kurangnya 2 (dua) meter di bawah
dasar laut (sea bed), serta dilengkapi dengan sistem pemberat agar pipa tidak
bergeser atau berpindah, atau disanggah dengan pipa pancang. b. Dalam hal
kedalaman dasar laut 13 (tiga belas) meter atau lebih maka pipa dapat
diletakkan di dasar laut, serta dilengkapi dengan sistem pemberat agar pipa
tidak bergeser atau berpindah.49 Pengoperasian dan pemeliharaan pipa penyalur
wajib memenuhi Standar Pertambangan Migas (SPM) yang ditetapkan Menteri
dan pengusaha wajib membuat prosedur tertulis tentang pengoperasian dan
pemeliharaan Pipa Penyalur sebagai berikut : Prosedur pengoperasian dalam
keadaan operasi normal dan dalam keadaan reparasi, Program penanganan
khusus dan atau luar biasa terhadap fasilitas yang diperkirakan sangat

46
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor Nomor 300.K/38/M.PE/1997, Pasal 1 huruf a-
c
47
Ibid, Pasal 6 ayat 1-3
48
Ibid, Pasal 7 ayat 1
49
Ibid, Pasal 13 ayat 3
31

berbahaya, Program khusus operasi dalam perubahan tekanan, Program


persyaratan inspeksi berkala dalam operasi, Program pengawasan Pipa
Penyalur secara Periodik, Program pengawasan Pipa Penyalur akibat
penggalian, Prosedur keadaan darurat dan analisis kecelakaan dan atau
kegagalan operasi, Prosedur pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta
pencemaran lingkungan.50 Pengusaha wajib melakukan penghitungan Tekanan
Operasi Maksimum Boleh (TOMB), secara periodik. Dilarang mengoperasikan
Pipa Penyalur pada tekanan melebihi Tekanan Operasi Maksimum Boleh
(TOMB). Jika diperlukan Pipa Penyalur melebihi tekanan Pengusaha wajib
membuat prosedur operasi perubahan tekanan dan mendapat persetujuan
terlebih dahulu.51 Pengusaha wajib melakukan pengawasan secara periodik Pipa
Penyalur dan peralatan serta perlengkapan pendukungnya, untuk menjamin
dipenuhinya persyaratan keselamatan kerja sesuai Keputusan. 52 Dan wajib
melakukan perawatan, dan atau penggantian terhadap segala kerusakan pada
Pipa Penyalur dan peralatan serta perlengkapan pendukungnya sesuai dengan
standar yang ditetapkan Menteri. Serta wajib melaporkan kepada Kepala
Pelaksana Inspeksi Tambang secara periodik selambat-lambatnya setiap 6
(enam) bulan, atas hal-hal sebagai berikut : Perbaikan dan atau penggantian
Pipa Penyalur dan atau peralatan pendukungnya, Perubahan dan atau
penyimpangan fungsi Jarak Minimum dan atau ruang terbuka di sekitar Pipa
Penyalur, Kerusakan, kebocoran, kegagalan, pengkaratan dan gangguan operasi
lainnya dan Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan jalur Pipa
Penyalur. Pengusaha wajib menyimpan, data dan informasi yang berkaitan
dengan kebocoran, perbaikan, survei kebocoran,data infeksi dan atau patroli
atas Pipa Penyalur, kondisi pipa pecah dan data lain yang diperlukan. Dalam
hal diperlukan, data dan informasi wajib ditunjukkan kepada Pelaksana
Inspeksi Tambang53.

Tabel 2.1 Lokasi Penggelaran Pipa Transmisi Minyak,


Pipa Transmisi Gas dan Pipa Induk 54

50
Ibid, Pasal 19
51
Ibid, Pasal 20 ayat 1-3
52
Ibid, Pasal 21
53
Ibid, Pasal 22
54
Ibid, Lampiran I
32

Jumlah Bangunan dalam wilayah


Kelas Kondisi Lokasi
sepanjang 1,6 km dalam lebar 0,4
1 0 s.d 10 Hutan, Gunung, Laut, Tanah
lapang/pertanian
2 >10 s.d 46 Tanah pertanian,
Perkampungan
3 >46 Terdapat pasar,
Perkampungan, Kota Kecil
4 >46 & Bertingkat Hunian padat, Kota besar,
Lokasi jaringan kabel

Tabel 2.2 Jarak Minimum Pipa Penyalur55

Kontruksi/Diameter Pipa Jarak Minimum (Meter)


Tekanan Tekanan Tekanan
Inci MM
4 s.d 16 Bar >16 s.d 50 Bar >50 s.d 100 Bar
2 2 - -
4 2 - -
6 2 - -
8 2 3 3
10 2 3 3.5
12 - 3.5 4
14 - 4 4.5
16 - 4 4.5
18 - 4.5 5
20 - 4.5 5
22 - 4.5 5
24 - 4.5 5
28 - 5 6
30 - 5 6
36 - 6 7
42 - 7 7.5
48 - 7 7.5

Catatan : 25,4 mm
1 Bar : 1,04 mm

2.2.6 Kecelakaan Kapal


Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, Pasal 245 mengatakan
kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat
mengancam keselamatan kapal dan/ atau jiwa manusia berupa kapal
tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan dan kapal kandas. Setiap orang yang
berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas
kemampuannya harus memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan

55
Ibid, Lampiran II
33

tersebut kepada Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal. Nakhoda yang


mengetahui kecelakaan tersebut wajib mengambil tindakan penanggulangan,
meminta dan/atau memberikan pertolongan dan menyebarluaskan berita
mengenai kecelakaan tersebut kepada pihak lain. Pihak lain tersebut yaitu
syahbandar pelabuhan terdekat apabila kecelakaan kapal terjadi di dalam
wilayah perairan Indonesia atau pejabat perwakilan Republik Indonesia
terdekat serta pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila
kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan kapal
merupakan tanggung jawab Nakhoda kecuali dapat dibuktikan lain. Kecelakaan
Kapal (Ship Accident) / Kecelakaan Laut (Marine Casualty) adalah suatu
kejadian atau peristiwa yang mengakibatkan terjadinya hal-hal berikut:
1. Kematian/hilangnya nyawa seseorang, cedera/luka berat atas seseorang
yang disebabkan karena atau berkaitan dengan kegiatan pelayaran atau
operasional kapal; atau
2. Hilangnya seseorang dari kapal atau sarana apung lainnya yang disebabkan
karena atau berkaitan dengan kegiatan pelayaran atau pengoperasian kapal;
atau
3. Hilangnya, atau menghilangnya sebuah kapal atau lebih; atau
4. Kerusakan material pada sebuah kapal atau lebih; atau
5. Kerusakan material pada sebuah kapal atau lebih; atau
6. Kandasnya atau tidak mampunya sebuah kapal atau lebih, atau keterlibatan
sebuah kapal dalam kejadian tabrakan; atau
7. Kerusakan material/barang yang disebabkan karena atau berkaitan dengan,
pengoperasian kapal; atau
8. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh rusaknya sebuah kapal atau
lebih, atau berkaitan dengan pengoperasian kapal.56
Dalam proposal skripsi ini akan membahas tentang Kapal MV Judger.
Kapal MV Judger merupakan kapal asing berbendera Panama yang masuk ke
Indonesia dengan tujuan untuk mengangkut muatan batu bara. Batu bara yang
diangkut sejumlah 74,808 metrik ton.57 Kapal ini merupakan bulk cargo

56
Kementerian Kelautan dan Perikanan “Maritime Glossary” Tersedia di WWW :
http://knkt.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/maritime_glossary.htm (20 Februari 2020)
57
Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Laporan Investigasi Kecelakaan laut “Kerusakan Pipa
dan Polusi Minyak Mentah di Teluk Balikpapan, Balikpapan Kalimantan Timur Republik Indonesia
30 Maret 2018” (Jakarta: Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, 2019) hlm 1
34

carrier. Bulk cargo carrier merupakan salah satu jenis kapal laut yang
dibangun khusus untuk mengangkut muatan curah yang dikapalkan dalam
jumlah banyak sekaligus. Bulk cargo sendiri merupakan muatan yang terdiri
dari satu macam barang secara curah, tidak dibungkus dan dikapalkan dalam
jumlah banyak sekaligus. Bulk cargo merupakan muatan yang berbahaya
(Dangerous Cargo) karena muatan yang diangkut mudah terbakar dan
meledak. Kapal MV Judger merupakan jenis kapal bulk cargo carrier tipe
Kamsarmax. Kamsarmax adalah bulker yang sedikit lebih besar dari tipe
panama. Memiliki bobot mati antara 80.000 – 85.000 ton dan LOA 229 Meter,
sedikit lebih panjang dari Panamax yang memiliki LOA 224-225 meter.
Panjang kamsarmax merupakan panjang maksimum yang diizinkan bersandar
di pelabuhan Kamsar (Kamsar Port) di Afrika Barat, salah satu pelabuhan
bauksit terbesar di dunia.58 Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan
bahwa kapal merupakan setiap benda yang dengan sengaja dibangun untuk
dapat bergerak di atas air baik dengan kekuatan sendiri yang telah dibangun di
dalamnya ataupun ditempelkan maupun dengan cara sedemikian rupa dengan
tujuan untuk pelayaran guna pengangkutan barang atau orang ataupun untuk
tujuan lain.

2.2.7 Pencemaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pencemaran/
pen·ce·mar·an/ n proses, cara, perbuatan mencemari atau mencemarkan;
pengotoran: ~ udara; ~ lingkungan; Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup adalah Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan59. Menurut Konvensi United Nations
Convention on the Law of the Sea, Pasal 1 ayat 4 menyatakan pencemaran
lingkungan laut (“pollution of the marine environment”) berarti dimasukkannya
oleh manusia, secara langsung atau tidak langsung, bahan atau energi ke dalam
58
Jurnal Maritim “Mengenal Bulker, Kapal Pengangkut Kargo Curah Kering” Tersedia di WWW :
https://jurnalmaritim.com/sekilas-tentang-bulker-kapal-pengangkut-kargo-curah-kering/ (21 Februari
2020)
59
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 1 angka 14
35

lingkungan laut, termasuk kuala, yang mengakibatkan atau mungkin membawa


akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut dan
kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap
kegiatan-kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut
yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan pengurangan
kenyamanan. secara langsung atau tidak langsung, bahan atau energi ke dalam
lingkungan laut, termasuk kuala, yang mengakibatkan atau mungkin membawa
akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut dan
kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap
kegiatan-kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut
yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan pengurangan
kenyamanan.60

2.2.8 Pemandu
Francis Rose dalam bukunya tentang hukum kepanduan mendefinisikan
pandu (pilot) sebagai seseorang bukan awak kapal yang bertugas menuntun
kapal melintasi sungai, terusan, atau ke/dari pelabuhan terutama karena
memahami kondisi perairan setempat.
“Pilot is person other than the master or one of the crew of a vesseal who is
taken on board especially for the purpose of conducting it through a river,
road or channel, or from or into a port, particularly with regard to his
knowledge of local conditions”61.
Pertimbangan utama nakhoda kapal untuk memakai jasa pandu adalah
karena pandu yang bersangkutan mengetahui bahkan sangat hafal akan
keunikan dan liku-liku sungai, terusan, atau kolam pelabuhan yang dilintasi
atau dikunjungi kapalnya. Pengertian pandu yang diberikan Francis Rose
tersebut dikuatkan dengan pendapat DR.AG CORBET yang menyatakan
bahwa setiap orang bukan awak kapal menuntun kapal adalah pandu.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa seseorang yang profesinya menuntun kapal
namun bukan sebagai perwira atau awak di kapal yang dituntun tersebut,
adalah pandu.

60
Konvensi United Nations Convention on the Law of the Sea Pasal 1 ayat 4
61
Francis Rose, The Modern Law of Pilotage (London:Sweet & Maxwell, 1984), p. 1.
36

“Pilot” means any person not belonging to the ship who has the conduct
thereof”62
Istilah to conduct dapat dimaknai bahwa pandu bertanggung jawab penuh
dalam menjalankan tugas memberikan nasihat kepada nakhoda kapal. Pandu
yang bersangkutan adalah person in charge, dan tidak hanya semata-mata
membantu memberi nasihat dalam manoeuvres atau olah gerak kapal. Definisi
lebih rinci dibuat oleh nautical institute dalam salah satu paper working group,
antara lain dikatakan bahwa pandu terikat membantu navigasi kondisi unik
pelabuhan setempat bertindak sebagai penasihat bagi nakhoda kapal tanpa
mengurangi kewenangan dan tanggung jawab nakhoda dalam kedudukannya
sebagai pemimpin kapal. Selain dari pertimbangan menanggulangi
keterbatasan nakhoda, pihak pemerintahan negara yang bersangkutan
mempertimbangkan tingkat kesibukan, padatnya laut lintas kapal dan saratnya
perairan pelabuhan dengan berbagai fasilitas serta peralatan maupun kegiatan
bongkar muat, maka sampai pada batas tertentu perairan pelabuhan dan/atau
sungai ditetapkan pemerintah sebagai perairan wajib pandu (pilotage grounds).
Badan usaha pelabuhan menjalankan usaha sebagai penyedia jasa kepelabuhan
(port/terminal operator) yang secara umum mencakup pelayanan jasa untuk
kapal, barang dan penumpang. Sebagai operator pelabuhan bertanggung jawab
atas kelancaran dan keselamatan lalu lintas kapal (vessel traffic), kelancaran
dan keamanan arus barang (flow of goods) serta kelancaran dan kenyamanan
penumpang (passenger satisfaction). Pelayanan jasa terhadap barang dan
penumpang sangat ditentukan oleh kelancaran dan keselamatan kapal yang
berkunjung, ketika datang dan berangkat dengan tujuan melakukan bongkar
muat muatan dan/atau embarkasi-debarkasi penumpang.
Pada hampir semua negara termasuk Indonesia personil pandu
diharuskan bersertifikat yang dikeluarkan pemerintah, mereka dikenal dengan
state-licensed pilot. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, calon menempuh
Pendidikan dan latihan. Bagi yang sudah dipekerjakan sebagai pandu setiap 3
tahun diharuskan mengikuti pelatihan penyegaran, diuji, dan apabila lulus
diberikan perpanjangan sertifikat.

62
A.G.Corbet, The Law of Pilotage (London: The Nautical Institute on Pilotage and Ship Handling
1990), p. 24.
37

Pilot are engaged to assist with navigation in confined waters and to


facilitate port approach, berthing, unberthing and departure.
Why are pilots engaged?
1. For their ability to anticipate accurately the effects of currents and tidal
influences
2. For their expertise in navigating in close proximity to land and in narrow
channels
3. For their understanding of local traffic
4. For their ability to work effectively with the local VTS
5. For their language ability when dealing with shore services
6. For their proficiency in shiphandling
7. For their expertise in handling tugs and linesmen
8. To support the masker and to relieve fatigue
9. To provide an extra person or person on the bridge to assist with
navigating the ship
Without a pilot the shipmaster may be more prone to make an error of
judgement as a critical points of approach. The feeling of the group was that
the influence of a point on board improves both the safety and efficiency of the
operation63
Secara internasional juga telah menjadi kelaziman dibedakannya minimal
2 macam pandu yaitu pandu yang melayani kapal untuk berlayar atau
penyeberangan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain (sea pilot) dan pandu
yang melayani kapal yang datang dan/atau pergi ke/dari satu pelabuhan (port
pilot). Di Indonesia pandu dibedakan menjadi pandu laut dan pandu bandar.
Pandu laut dapat ditempatkan di atas sebuah kapal niaga yang berlayar menuju
pelabuhan tujuan. Pandu bandar menjalankan tugas hanya terbatas pada
lingkungan kerja atau kolam pelabuhan saja. Jadi, pandu bandar tidak
memandu kapal yang berlayar antar pelabuhan melainkan hanya di area
perairan pelabuhan. Bagi personel pandu, memandu kapal di kolam pelabuhan,
faktor kesulitannya lebih berat atau lebih sulit daripada sekedar memandu
kapal berlayar di laut lepas. Ini menjadi salah satu pertimbangan apa sebabnya
seseorang untuk diangkat menjadi pandu bandar, harus melalui jenjang sebagai

63
Nautical Institute Command Working Group, Paper (London: The Nautical Institute on Pilotage and
Ship Handling 1990), p. 11.
38

pandu laut dahulu. Berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik


Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran termasuk
bagian Penjelasan, dinyatakan bahwa pandu adalah pelaut yang mempunyai
keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk
melaksanakan pemanduan kapal. Persyaratan tersebut mencakup kesehatan,
kecakapan, Pendidikan dan pelatihan. Pemanduan (pilotage) menunjukkan
pengorganisasian aktivitas pandu menjalankan tugas pemanduan kapal,
memberikan layanan menuntun kapal dalam area perairan wajib pandu dan
dengan mendapatkan imbalan jasa berupa uang jasa pemanduan. Alex L Parks
menyatakan bahwa
“Pilotage is the act of a pilot in conducting a vessel over the pilotage grounds
and to imply the compensation for services performed by the pilot”.64
Pelayanan memandu kapal dapat pula didefinisikan sebagai seni menuntun
kapal melayari kanal-kanal dan pelabuhan maupun pantai yang dilengkapi
dengan rambu rambu navigasi untuk keselamatan pelayaran
“Piloting is navigation of reference to landmarks aids to navigation and
soundings. It may be described as the art of conducting a vessel through
channels and harbors and along coats where identifiable objects are available
for fixing the craft’s position and where the depth of water and dangers to
navigation require consistent attention to the boat’s location and course”65
Pemanduan kapal sebagai layanan universal senantiasa diintegrasikan dengan
layanan penundaan kapal (towage) yaitu menarik dan/atau mendorong kapal
dengan menggunakan kapal tunda atau kapal Tarik. Parks memberikan
pengertian yang lebih luas, yakni bahwa penundaan kapal adalah pengerahan
kapal untuk menyeberangkan kendaraan air lainnya.
“Towage is the employment of one vessel to expedite the voyage of another
when nothing more is required than the accelerating of her progress”66

2.2.9 Pengangkutan Curah


The carriage of cargoes in bulk is, in most cases, linked with the
chartering of bulk carriers for such purposes. Bulk cargoes of either a
dry or wet nature are generally carried as unit loads, with break-bulk

64
Alex L. Parks, The Law of Tug , Tow, and Pilotage (London: Chapman and Hall, 1982), P. 1006.
65
Charles F. Chapman, Piloting, Seamanship and Small Ship Handling (New York: Stratford Press,
1976), p. 373
66
Parks, Op.Cit.,p. 16.
39

operations being carried out at the port of unloading and discharge


wherever necessary. Since the buyer requires a bulk load of a
particular commodity, the decision is usually made to charter a vessel
from a specific bulk shipping company for the express purpose of
shipping that commodity. Bulk trading is nothing new. It was evident at
the time of the Roman empire, when Rome imported huge quantities of
grain from elsewhere in the Mediterranean region, and more recently it
is evidenced by the examples of the famous tea and wool clippers, such
as the Cutty Sark, which plied the ocean from the Far East and
Australia to the UK in the nineteenth century. Other commodities that
required shipping in bulk, especially around the UK coast, were coal
and iron ore, especially during the days of the Industrial Revolution in
the late eighteenth and early nineteenth centuries, to the point that
between 1840 and 1887, the coal trade grew from 1.4 million tonnes to
49.3 million tonnes, as highlighted by Robin Craig in his book The
Ship: Steam Tramps and Cargo Liners 1850–1950.67 Since the
nineteenth century, the volume of maritime trade has greatly increased,
and this has been reflected in the increase in tonnage of bulk carrier
vessels, in order to increase handling and carriage efficiency. Indeed,
bulk transport has reduced shipping costs to the extent that various
commodities can be shipped across the world for much the same price
per tonne as it would have cost over 125 years ago. 68 The term ‘bulk
cargo’ is used to describe commodities such as crude oil, iron ore, coal
and grain, whose homogeneous physical character infers its movement
by bulk handling and transport. Another definition of bulk cargo
focuses on transport economics and is used to refer to any cargo that is
transported in large quantities, such as cars in car carriers, or timber,
usually a shipload, to reduce transport costs. Other cargoes included in
this definition include refrigerated meat, chilled bananas and other
perishable tropical fruits, which are generally transported in shiploads.
Because many of these cargoes do not stow easily in conventional bulk
carriers, vessels used for their carriage are specifically designed for
such purposes69. For the purposes of this text, however, bulk cargo can
be seen as any commodity or product that is trans- ported in large
quantities or consignments in order to reduce the unit cost of such
transport and maximise the efficiency of such carriage70.
The maritime bulk commodity trade may be categorised as follows:71
1. Liquid bulks:
a. crude oil/hydrocarbons;
b. oil/petroleum products;
c. liquefied petroleum gas (LPG);
d. liquefied natural gas (LNG); and
e. chemicals.
2. Six major bulks:
67
Mark Rowbotham, ”Introduction To Marine Cargo Management” Second Edition (New York:
Informa Law From Routledge, 2014), hlm 63
68
Ibid
69
Ibid
70
Ibid, hlm 64
71
Ibid
40

a. iron ore;
b. coking coal;
c. thermal coal;
d. grain;
e. bauxite and alumina; and
f. phosphate rock.
3. Minor bulks:
a. steel products;
b. forest products;
c. cement;
d. fertilisers;
e. manganese;
f. sugar;
g. soya meal;
h. scrap;
i. coke;
j. pig iron; and
k. rice.
The bulk carrier is of itself a vital form of maritime cargo
transport.Whereas container vessels and general cargo vessels carry all
kinds of general cargoes, the bulk carrier is specialist in the carriage of
bulk cargoes, such as minerals, grain, liquefied gas or crude petroleum.
Although owned by specific shipping companies, they are often chartered
out to other companies for the purpose of the carriage of specific cargoes
from one port to another, on either a voyage charter (single voyage) or
time charter (multiple voyage) basis. In some cases, even the vessel may
be transferred from one owner to another in the middle of the voyage, an
activity particularly prevalent with petroleum-carrying VLCCs (very
large crude carriers). This practice is less common at present, but it still
occurs from time to time depending upon the needs of the customer. In
general, however, the petroleum carriers are owned by the large oil
companies, and spend their time on the high seas carrying petroleum on
behalf of those companies.72 Another distinction between the various
types of bulk carrier is that some are ‘geared’ and others are not. A
geared carrier is one that has its own cargo- lifting gear mounted on-
board the vessel, enabling it to load and discharge at ports that may not
have the correct lifting gear mounted on the quay. A non- geared vessel
relies entirely on the lifting gear installed at the dedicated terminal at the
port to load it and discharge its cargo.Vessels such as the Berge Stahl
fall into this category, hence the limitations imposed upon her scope of
activity.73 The VLCC vessels require even more dedicated terminal
facilities. Because they carry only petroleum commodities, which are
classed as hazardous or dangerous hydrocarbons, they require a specific
terminal for the purpose of loading and discharging their cargoes.There
is a specific procedure for handling these vessels at each port, as well as
a specific form of both documentation and controls. Every tanker is
subject to a different set of rules and regulations from its more general
commercial counterparts, and the carriage of such commodities is
72
Ibid, hlm 17
73
Ibid
41

strictly controlled by the maritime authorities.This is not only because of


the nature of the cargo itself, but also because of the inference of the
impact of such commodities upon the environment, given the number of
marine accidents and disasters involving tankers, especially where the
tanker grounded on a coastline, or even where an oil spillage occurred
at sea, thus damaging the marine environment to a significant degree.74

Terjemahan secara bebas


Pengangkutan kargo dalam jumlah besar dan dalam banyak kasus serta
terkait dengan penyewaan kapal curah untuk suatu tujuan. Pengangkutan curah
baik dalam bentuk kering atau basah umumnya dilakukan sebagai unit load
dengan operasi Breakbulk yang dilakukan di pelabuhan untuk menurunkan dan
mengangkut muatan jika diperlukan. Pembeli memerlukan beban curah untuk
tujuan komoditas tertentu dan keputusan biasanya dibuat untuk menyewa
kapal dari perusahaan pengangkutan curah untuk mengungkapkan tujuan
pengiriman komoditas tersebut. Pengangkutan curah bukanlah hal yang baru.
Sudah terjadi pada saat Kekaisaran Romawi, Ketika Roma mengimpor
gandum dalam jumlah besar dari tempat lain di sebuah daerah Mediterania,
dan baru-baru ini dibuktikan dengan contoh teh yang terkenal dan gunting wol,
seperti Cutty Sark, yang menghampar lautan dari Timur jauh dan Australia ke
Inggris pada abad kesembilan belas. Komoditas lain yang diperlukan
pengiriman dalam jumlah besar, terutama di sekitar pantai Inggris, batubara
dan bijih besi, terutama selama masa revolusi industri akhir abad kedelapan
belas dan awal abad kesembilan belas. Pada tahun antara 1840 dan 1887
perdagangan batubara tumbuh dari 1.400.000 ton menjadi 49.300.000 seperti
yang disorot oleh Robin Craig dalam bukunya The Ship: Steam Tramps and
Cargo Liners 1850-1950. Sejak abad kesembilan belas, volume Maritim
perdagangan telah meningkat pesat, dan ini telah tercermin dalam peningkatan
tonase kapal pengangkut massal, dalam rangka meningkatkan penanganan dan
pengangkutan Efisiensi. Memang, angkutan curah telah mengurangi biaya
pengiriman sejauh berbagai komoditas dapat dikirim ke seluruh dunia untuk
harga yang sama per ton karena akan biaya lebih dari 125 tahun yang lalu.
Istilah “Bulk Cargo” digunakan untuk mendeskripsikan komoditas seperti
minyak mentah, bijih besi, batubara dan biji-bijian, yang homogen karakter
fisik menyimpulkan gerakan dengan penanganan dan pengangkutan massal.

74
Ibid, hlm. 18
42

Definisi lain dari kargo curah transportasi ekonomi dan digunakan untuk
merujuk pada kargo yang diangkut dalam jumlah besar seperti mobil di mobil
pembawa atau kayu. biasanya muatan kapal untuk mengurangi biaya
transportasi. Kargo lain termasuk dalam definisi ini termasuk daging beku,
pisang beku dan buah-buahan tropis yang mudah rusak umumnya diangkut
dalam muatan kapal. Karena banyak dari kargo ini tidak mudah disimpan di
pengangkut curah konvensional. Kapal yang digunakan untuk pengangkutan
mereka dirancang khusus untuk tujuan tersebut. Pengangkutan curah dapat
dilihat dari komoditas atau produk yang diangkut dalam jumlah banyak atau di
konsinyasi pesanan untuk mengurangi biaya transportasi dan memaksimalkan
efektivitas dalam pengangkutan. Maka dari itu perdagangan komoditas
maritim membagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1. Liquid bulk
a. Crude oil/hydrocarbons
b. Oil/petroleum products
c. Liquefied petroleum gas (LPG)
d. Liquefied natural gas (LNG)
e. Chemicals
2. Six major bulk
a. Iron ore
b. Coking coal
c. Thermal coal
d. Grain
e. Bauxite and alumina and
f. Phosphare rock
3. Minor bulk
a. Steel products
b. Forest products
c. Cement
d. Fertilisers
e. Manganese
f. Sugar
g. Soya meal
h. Scarp
43

i. Coke
j. Pig iron
k. Rice
Kapal curah itu sendiri merupakan bentuk vital dari transportasi kargo laut.
Sedangkan kapal kontainer dan kapal kargo umumnya membawa semua jenis
kargo umum. Kapal curah adalah spesialis dalam pengangkutan kargo curah,
seperti mineral, biji-bijian, gas cair atau minyak bumi. Meskipun dimiliki oleh
perusahaan pelayaran tertentu, mereka sering disewa untuk perusahaan lain
untuk tujuan pengangkutan kargo khusus dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lain, baik berdasarkan satu perjalanan (single voyage) atau berdasarkan waktu
sewa (multiple voyage). Dalam beberapa kasus, bahkan kapal dapat
dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik lainnya di tengah perjalanan hal itu
suatu kegiatan yang lazim dengan VLCC pembawa minyak bumi (pembawa
minyak mentah yang sangat besar). Praktek ini masih kurang umum saat ini,
tetapi masih terjadi dari waktu ke waktu tergantung pada kebutuhan
pembeli/penyewa. Namun, secara umum, pengangkutan minyak bumi dimiliki
oleh perusahaan-perusahaan minyak besar, dan pelaut menghabiskan waktu di
laut lepas dengan membawa minyak bumi yang dengan atas nama perusahaan-
perusahaan itu. Seperti halnya kapal kontainer besar, kapal curah besar hanya
mampu melayani pelabuhan tertentu di seluruh dunia karena ukurannya yang
besar; Ini berarti bahwa kapal curah hanya dapat memasuki pelabuhan dengan
aman saat air pasang, dan meskipun demikian jarak antara lunas dan dasar
lautnya sangat terbatas. Perbedaan lain antara berbagai jenis kapal curah
adalah bahwa ada beberapa yang 'diarahkan' dan yang lainnya
tidak. Pengangkut yang diarahkan adalah yang memiliki gigi pengangkutan
muatan sendiri yang dipasang di atas kapal memungkinkannya memuat dan
melepaskan di pelabuhan yang mungkin tidak memiliki roda pengangkat yang
tepat yang dipasang di dermaga. Kapal VLCC bahkan membutuhkan fasilitas
terminal yang lebih khusus. Karena mereka hanya membawa komoditas
minyak bumi, yang digolongkan sebagai hidrokarbon berbahaya atau
berbahaya, mereka memerlukan terminal khusus untuk tujuan memuat dan
mengeluarkan muatan mereka. Ada prosedur khusus untuk menangani kapal
yang mengangkut mobil di setiap pelabuhan, serta bentuk khusus dari
dokumentasi dan kontrol. Setiap kapal tanker tunduk pada seperangkat aturan
44

dan peraturan yang berbeda dari rekan komersialnya yang lebih umum, dan
pengangkutan komoditas tersebut dikontrol secara ketat oleh otoritas
maritim. Ini bukan hanya karena sifat muatan itu sendiri, tetapi juga karena
kesimpulan dampak komoditas tersebut terhadap lingkungan, mengingat
jumlah kecelakaan laut dan bencana yang melibatkan kapal tanker, terutama di
mana kapal tanker itu mendarat di garis pantai, atau bahkan ketika tumpahan
minyak terjadi di laut, sehingga merusak lingkungan laut sampai tingkat yang
signifikan.

2.2.10 Mooring Buoy


Mooring buoy merupakan salah satu struktur apung yang digunakan
untuk menambatkan kapal (vessel) baik kapal pariwisata, kapal nelayan, kapal
kargo hingga kapal kapal pribadi pada saat berada di perairan laut dalam
maupun perairan laut dangkal. Buoy ini ditambatkan ke dasar laut dengan
menggunakan rantai atau tali yang dikenal dengan mooring. Mooring ini
memiliki tiga tipe tergantung dari bahan yang digunakan mooring tersebut
yaitu, mooring dengan menggunakan rantai, mooring yang menggunakan tali,
dan mooring yang menggunakan kombinasi dua bahan yaitu rantai dan tali
(American Petroleum Institute, 1987).75 Buoy adalah sebuah alat yang
mengapung dan menjadi marka untuk menunjukkan perbedaan pemanfaatan
wilayah, atau marka untuk menjatuhkan jangkar dan sekaligus sebagai
penunjuk untuk berlabuhnya kapal kapal. Buoy pada umumnya berwarna
terang agar mudah dikenali dari jarak jauh. Mooring buoy dilengkapi dengan
beban yang lebih berat untuk diletakkan di dasar laut yang lazim disebut
sinker yang bentuknya bisa berupa jangkar atau cor semen yang ditanam ke
dasar laut. Sinker dihubungkan dengan buoy dengan menggunakan rantai dan
atau tali dengan total panjang ditambah 2 m agar buoy tetap berada pada
radius yang ditentukan di permukaan air apabila terjadi pasang surut air laut. 76
Tujuan dari pemasangan mooring buoy adalah pertama, agar kapal tidak perlu
melepaskan jangkar ke dasar laut sehingga ekosistem laut tetap terjaga.
Kedua, agar kapal dapat merapat dengan jarak yang aman sehingga
kemungkinan kapal untuk membentur dasar laut mengecil. Jenis mooring

75
WWF Indonesia, “Pemasangan Alat Tambat Apung (Mooring Buoy)” (Indonesia: WWF Indonesia,
2015) hlm 6
76
Ibid
45

buoy yang sering digunakan adalah Single Point Mooring (SPM) yaitu satu
mooring dengan satu buoy dan Multiple Buoy Mooring (MBM) yaitu satu
mooring yang memiliki lebih dari satu buoy, minimal tiga buoy. Pilihan
menggunakan Single Point Mooring atau Multiple Buoy Mooring sangat
tergantung dari kondisi lokal dan berat kapal yang diperkirakan menggunakan
mooring buoy tersebut.77 Sistem mooring buoy menurut Breda & Gjerde
(2005), terdiri dari sistem halas dan manta. Kedua sistem ini harus disesuaikan
penggunaannya berdasarkan tiga elemen, yaitu substrat dasar, arus
permukaan, dan kombinasi diantara keduanya. Sistem Halas merupakan
sistem yang paling cocok digunakan di area datar (flat) dan bersubstrat batuan.
Peralatan yang digunakan untuk sistem halas yaitu buoy dan sinker (beton
pemberat). Ciri khas dari sistem ini yaitu adanya tiga buah beton pemberat
yang dirangkai dengan rantai di dasar perairan kemudian disambungkan
dengan tali dan pelampung ke permukaan. Sistem manta adalah
direkomendasikan untuk tipe substrat pasir, patahan karang (rubble),
kombinasi antara pasir dengan rubble, atau tipe substrat yang halus.
Pemasangan sistem manta memiliki dampak kerusakan lingkungan yang
relatif sedikit dengan dasar laut.78
Desain mooring buoy sangat sederhana. Sebuah mooring buoy terdiri
dari jangkar atau sinker, tali dan atau rantai dan pelampung untuk menandai
lokasi penahan. Semua desain diupayakan agar tidak merusak habitat air dan
organisme lainnya. Semua desain tali menggunakan kekuatan tinggi, tali nilon
apung menghubungkan pelampung pada jangkar dan mencegah gerusan.
Mooring buoy yang menggunakan rantai tali mengurangi tingkat gangguan
pada vegetasi laut akibat gesekan rantai. Sedangkan untuk pewarnaan
mooring buoy khusus untuk di dalam kawasan taman nasional yang berfungsi
sebagai penanda zona serta berfungsi sebagai tempat tambat sudah diatur
dalam Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan No.P.56/Menhut.II/2006,
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, dan Peraturan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No P.3/IV/SET/2011, tentang
pedoman penyusunan desain tapak pengelolaan pariwisata alam di suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam serta

77
Ibid hlm 7
78
Ibid hlm 8
46

Peraturan Menteri Kebudayaan dan pariwisata no KM.67/UM.001/MKP/2004


tentang pedoman umum pengembangan pariwisata di pulau pulau kecil, kapal
yang diperkirakan menggunakan mooring buoy tersebut.79
1. Tahapan Perencanaan Dan Pemasangan Mooring Buoy80
a. Koordinasi dan Penyesuaian Terhadap Peraturan.
b. Sebelum pemasangan, penting untuk berkoordinasi dengan pihak-
pihak relevan di wilayah sekitar. Bila pemasangan mooring buoy
dilakukan dalam kawasan konservasi, maka koordinasi dilakukan
dengan pengelola kawasan setempat, dan atau dengan pemerintah
daerah. Koordinasi ini juga memungkinkan tim pemasang
mendapatkan informasi yang cukup tentang regulasi yang terkait
dengan pemasangan mooring buoy.
c. Survei.
Pelaksanaan survei merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi
awal wilayah, pengguna mooring dan dampak lingkungannya. Survei
ini juga dilakukan untuk mengetahui kondisi pasang surut wilayah
perairan dan lokasi tepat untuk memasang mooring buoy, jenis alat,
dan bentuk instalasi yang tepat.
d. Penentuan Komponen-Material.
Penentuan material mooring buoy dan jenis mooring yang akan
digunakan sangat tergantung dari hasil survei.
e. Pemasangan Mooring Buoy.
Pemasangan mooring buoy dilakukan dalam dua tahap. Pertama adalah
pra pemasangan, yakni aktivitas dimana material mooring buoy dirakit,
di instal dan diberi tanda. Selanjutnya adalah pemasangan dimana
mooring buoy mulai dipasang pada titik- titik yang telah ditentukan,
dan diikuti dengan pengambilan titik koordinat posisi mooring buoy
yang telah terpasang.
f. Informasi Penggunaan Mooring Buoy.
Memastikan penggunaan mooring buoy mendapatkan informasi cukup
tentang manfaat mooring buoy, tata-cara penggunaan, perawatan, dan
pelaporan bila mooring buoy hilang

79
Ibid hlm 9
80
Ibid, hlm 10-11
47

g. Pemeliharaan.
Memastikan adanya jadwal reguler untuk pemeliharaan mooring buoy.
Kunci sukses dari keberlanjutan sebuah sistem mooring buoy adalah
perawatan secara berkala. Setiap area membutuhkan perhatian yang
berbeda tergantung dari kondisi alamnya. Oleh karena itu, rencana
perawatan sebaiknya fleksibel dengan kondisi lokal sebagai acuannya.
h. Pelaporan Mooring yang Hilang.
Laporkan pada pemangku kepentingan setempat bila ada yang
menemukan hilangnya mooring buoy di kawasan tertentu. Langkah ini
diperlukan agar secara cepat bisa dilakukan penggantian mooring
tersebut.
i. Program Pendanaan Mooring Buoy.
Tantangan tertinggi dari program mooring buoy adalah memastikan
adanya budget khusus untuk pembelian alat, pemasangan dan
perawatan. Program mooring buoy merupakan program yang bertujuan
untuk menyelamatkan ekosistem laut dan pesisir pantai, terutama
terumbu karang. Karena itu perlu adanya kesadaran dari semua pihak,
khususnya yang mendapatkan keuntungan langsung dari terawatnya
karang-karang tersebut untuk memikirkan dan mengambil bagian
dalam hal donasi dan sponsorship terhadap program mooring buoy.
Adapun donasi dan sponsorship dapat diperoleh melalui kerjasama
antara individu, komunitas kepariwisataan (boat operator, dive
operator, dll) atau dari instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan
Perikanan dan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maupun instansi
lainnya.

2.2.11 Pelabuhan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pelayaran,
pelabuhan diartikan sebagai tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat berkegiatan pemerintah dan
kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal berlabuh, naik
turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat
berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat
48

perpindahan intra dan antarmoda transportasi. Pelabuhan sebagai prasarana


transportasi yang mendukung kelancaran sistem transportasi laut memiliki
fungsi yang erat kaitannya dengan faktor-faktor sosial dan ekonomi. Secara
ekonomi, pelabuhan berfungsi sebagai salah satu penggerak roda
perekonomian karena menjadi fasilitas yang memudahkan distribusi hasil-
hasil produksi sedangkan secara sosial, pelabuhan menjadi fasilitas publik
dimana di dalamnya berlangsung interaksi antar pengguna (masyarakat)
termasuk interaksi yang terjadi karena aktivitas perekonomian. Secara lebih
luas, pelabuhan merupakan titik simpul pusat hubungan (sentral) dari suatu
daerah pendukung (hinterland) dan penghubung dengan daerah di luarnya.81
Secara umum pelabuhan memiliki fungsi sebagai link, interface, dan
gateway yaitu:
1. Interface (titik temu) yaitu pelabuhan sebagai tempat pertemuan dua mode
transportasi, misalnya transportasi laut dan transportasi darat.
2. Gateway (pintu gerbang) yaitu pelabuhan sebagai pintu gerbang suatu
negara, dimana setiap kapal yang berkunjung harus mematuhi peraturan
dan prosedur yang berlaku di daerah dimana pelabuhan tersebut berada.82
3. Link (mata rantai) yaitu pelabuhan merupakan salah satu mata rantai
proses transportasi dari tempat asal barang ke tempat tujuan
Pelabuhan memiliki arti penting bagi Indonesia karena mendukung
kelangsungan sistem transportasi laut yang merupakan sistem transportasi
paling besar di Indonesia. Peran pelabuhan sangat penting bagi perkembangan
sosial dan ekonomi suatu daerah mengingat pelabuhan merupakan pusat
segala kegiatan pelayanan pelayaran yang meliputi pelayanan terhadap kapal
dan muatannya (penumpang, barang, dan hewan).
Klasifikasi Pelabuhan
Hierarkinya Berdasarkan hirarkinya, pelabuhan digolongkan ke dalam
(dua) tingkatan pelabuhan yaitu pelabuhan utama (major port) dan pelabuhan
cabang/pengumpan (feeder port). Selanjutnya kedua jenis pelabuhan ini
dibagi dalam beberapa pelabuhan, yaitu :83

81
Pius Honggo Wijoyo, “Terminal Penumpang Kapal Laut Pelabuhan Harbour Bay Pulau Batam”,
hlm 15
82
Ibid, hlm 16
83
Ibid, hlm 17
49

1. Pelabuhan Internasional Hub, merupakan pelabuhan utama primer dan


berperan sebagai pelabuhan internasional yang terbuka untuk perdagangan
luar negeri dan berfungsi sebagai alih muat (transshipment) barang antar
negara.
2. Pelabuhan Internasional, merupakan pelabuhan utama sekunder dan
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan pusat distribusi peti
kemas nasional dan pelayanan angkutan peti kemas internasional.
3. Pelabuhan Nasional, merupakan pelabuhan utama tersier dan berperan
sebagai tempat alih muat penumpang dan barang umum nasional.
4. Pelabuhan Regional, merupakan pelabuhan pengumpan primer dan
berperan sebagai tempat alih muat penumpang dan barang dari/ke
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan.
5. Pelabuhan Lokal, merupakan pengumpan sekunder dan berperan sebagai
tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil, terisolasi, perbatasan,
daerah perbatasan yang hanya didukung oleh mode transportasi laut.
Penyelenggaraannya Ditinjau dari segi penyelenggaraannya,
pelabuhan, digolongkan menjadi 2 (dua) jenis pelabuhan yaitu pelabuhan
umum dan pelabuhan khusus.84
1. Pelabuhan umum diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan
masyarakat umum. Penyelenggaraan pelabuhan umum sampai saat ini
masih dilakukan oleh pemerintah melalui Unit Penyelenggara Pemerintah
(BUMN : PT. PELINDO) dan Unit Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
2. Pelabuhan khusus diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna
menunjang kepentingan tertentu. Umumnya, pelabuhan khusus dibangun
oleh sebuah perusahaan yang berfungsi sebagai prasarana transportasi bagi
distribusi hasil-hasil produksi perusahaan tersebut.
Pengusahaannya Penggolongan pelabuhan berdasarkan
pengusahaannya karena pertimbangan faktor komersial pelabuhan dan lebih
tertuju pada status pelabuhan.85
1. Pelabuhan yang diusahakan Pelabuhan ditujukan untuk memberikan
pelayanan seoptimal mungkin bagi pengguna (maskapai pelayaran dan
masyarakat) untuk mendukung fungsi komersial pelabuhan. Pemakaian

84
Ibid, hlm 18
85
Ibid, hlm 19
50

pelabuhan ini dikenakan biaya seperti biaya jasa labuh, jasa tambat, jasa
pemanduan, jasa menumpukan, bongkar muat, dan sebagainya.
2. Pelabuhan yang tidak diusahakan Status ini biasanya diterapkan pada
pelabuhan kecil yang hanya merupakan tempat singgahan kapal tanpa
fasilitas bongkar muat, bea cukai, dan sebagainya. Pelabuhan seperti ini
disubsidi pemerintah dan dikelola oleh unit pelaksana teknis.
Letak Geografisnya Berdasarkan letak geografisnya, pelabuhan dapat
dibedakan menjadi :86
1. Pelabuhan pantai, yaitu pelabuhan yang terletak di tepi pantai, misalnya
pelabuhan Makassar, Balikpapan, Bitung, Ambon, dan Sorong.
2. Pelabuhan sungai, yaitu pelabuhan yang terletak di tepi sungai dan
biasanya agak jauh ke pedalaman, misalnya pelabuhan Samarinda,
Palembang, dan Jambi.
Teknis Pembangunan Berdasarkan teknis pembangunannya,
pelabuhan digolongkan menjadi:87
1. Pelabuhan alam (natural and protected harbor) Pelabuhan alam
merupakan daerah perairan yang terlindungi dari badai, dan gelombang
secara alami, misalnya oleh suatu pulau, terletak di teluk atau muara
sungai (estuari). Selain itu, lokasi pelabuhan memenuhi persyaratan
lainnya seperti pelayaran yang memadai untuk ukuran kapal tertentu
sehingga hanya dibutuhkan bangunan tambahan. Contoh pelabuhan alam
adalah pelabuhan Palembang, Belawan (Medan) dan Pontianak.
2. Pelabuhan buatan (artificial harbor) Sebuah pelabuhan disebut pelabuhan
buatan jika wilayah perairan pelabuhan tersebut terlindung oleh bangunan
pelindung seperti talud (breakwater) dari terjangan gelombang. Kondisi
ini juga terjadi bila kedalaman air (kolam pelabuhan) tidak memenuhi
persyaratan sehingga harus dilakukan pengerukan. Contoh pelabuhan
buatan antara lain pelabuhan Tanjung Perak (Jakarta) dan Tanjung Mas
(Semarang).
3. Pelabuhan semi alam (semi natural harbor) Pelabuhan semi alam
merupakan campuran dari pelabuhan alam dan pelabuhan buatan.
Misalnya wilayah pelabuhan terlindungi oleh lidah pantai dan

86
Ibid
87
Ibid, hlm 20
51

perlindungan buatan hanya untuk alur masuk. Contoh di Indonesia adalah


pelabuhan Bengkulu yang memanfaatkan teluk yang terlindung oleh lidah
pasir untuk membentuk alur masuk-keluar kapal. Contoh lainnya adalah
muara sungai yang kedua sisinya dilindungi oleh jetty yang berfungsi
menahan masuknya pasir dari sepanjang pantai ke muara sungai.
Penggunaan Pelabuhan Berdasarkan penggunaannya, pelabuhan
diklasifikasikan menjadi88 :
1. Pelabuhan perikanan
Pada awalnya pelabuhan perikanan tidak memerlukan kedalaman air yang
besar karena kapal-kapal nelayan di Indonesia relatif kecil. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, munculnya kapal-kapal penangkap ikan asing
yang mendapatkan hal penangkapan ikan di Indonesia membuat semakin
besar tuntutan terhadap pelabuhan perikanan di Indonesia karena kegiatan
perikanan mulai mengarah pada orientasi ekspor. Umumnya, pelabuhan
perikanan dilengkapi oleh tempat pelelangan ikan (pasar Jelang).Contoh
pelabuhan ikan di Indonesia adalah pelabuhan ikan Cilacap dan pelabuhan
ikan di Benjina (Kepulauan Aru, Maluku).
2. Pelabuhan minyak
Pelabuhan minyak biasanya tidak membutuhkan dermaga atau pangkalan
yang harus dapat menahan muatan vertikal yang besar, tetapi cukup
dengan jembatan atau tambatan yang dibuat menjorok ke laut untuk
mendapatkan kedalaman air yang dibutuhkan. Aktivitas bongkar muat
dapat dilakukan dengan pompa melalui pipa. Contoh pelabuhan minyak
adalah pelabuhan milik PT. Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia.
3. Pelabuhan barang
Pelabuhan barang memiliki dermaga yang dilengkapi dengan fasilitas
bongkar muat barang seperti kran (derek) untuk mengangkut barang,
fasilitas reparasi dan gudang penyimpanan dalam skala yang memadai.
Contohnya adalah pelabuhan Jamrud yang merupakan bagian dari
kawasan pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
4. Pelabuhan penumpang
Sesuai dengan namanya, pelabuhan ini berperan sebagai prasarana
transportasi moda transportasinya bermuatan manusia (penumpang).
88
Ibid, hlm 21
52

Pelabuhan penumpang umumnya dilengkapi dengan terminal penumpang


sebagai stasiun yang melayani berbagai aktivitas yang berhubungan
dengan kebutuhan orang yang bepergian, seperti kantor imigrasi,
administrasi pelabuhan, dan kantor maskapai pelayaran. Untuk
mendukung kelancaran sirkulasi penumpang dan barang, sebaiknya alur
masuk-keluar dipisahkan. Penumpang dapat melalui lantai atas yang
dihubungkan langsung dengan kapal sedangkan barang melalui dermaga.
5. Pelabuhan campuran
Pada umumnya pencampuran pemakaian hanya terbatas pada pelayaran
penumpang dan barang. Pelabuhan seperti ini umumnya merupakan
pelabuhan lokal yang berada di pulau-pulau kecil di Indonesia.
6. Pelabuhan militer
Pelabuhan militer hanya dikhususkan bagi kegiatan yang bersifat
kemiliteran. Pelabuhan ini memiliki wilayah perairan yang cukup luas
untuk memungkinkan gerakan cepat kapal-kapal perang. Contohnya
adalah pelabuhan LANTAMAL (Pangkalan Utama Angkatan Laut) dan
LANAL (Pangkalan Angkatan Laut) di seluruh Indonesia
Dalam kasus Kapal MV Ever Judger pelabuhan yang digunakan oleh
kapal tersebut adalah pertama, pelabuhan khusus batubara karena Kapal MV
Ever Judger merupakan kapal kargo pengangkut batu bara dan kedua,
pelabuhan khusus minyak dan gas milik pertamina. Dalam pelabuhan tersebut
banyak sekali pipa minyak dan gas di bawahnya. Seharusnya Kapal MV Ever
Juger tidak boleh memberhentikan kapalnya di wilayah tersebut dan
melabuhkan jangkarnya di wilayah tersebut karena kelalaian nya terjadi lah
kecelakaan kapal dan menyebabkan pencemaran lingkungan yaitu tumpahnya
minyak mentah ke laut.

2.2.12 Teori Pertanggungjawaban Perdata


Umumnya konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk
kepada tanggung jawab dalam bidang hukum publik (mencakup tanggung
jawab hukum administrasi negara dan tanggung jawab hukum pidana), dan
tanggung jawab dalam hukum privat (perdata). Secara hukum perlu dilihat
terlebih dahulu bagaimana sebenarnya perkembangan teori dan konsep
tanggung jawab hukum serta perbuatan melawan hukum (“PMH”) yang
53

memberikan hak kepada pengguna sistem untuk menuntut ganti rugi terhadap
penyelenggaraan sistem yang merugikan kepentingannya. Secara umum
tanggung jawab dibedakan menjadi dua jenis dalam hukum perdata,
berdasarkan hukum perikatan, yakni:
1. Tanggung jawab hukum karena perjanjian/hubungan kontraktual (privity
of contract),
2. Tanggung jawab karena Undang-Undang. Tanggung jawab yang lahir
karena UU tersebut mencakup dua hal, yakni
a. Tanggung jawab yang timbul karena UU saja atau
b. Tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari perbuatan orang,
dimana perbuatan tersebut dapat bersifat sesuai hukum (perbuatan
yang sah/halal) maupun perbuatan yang bersifat melawan hukum
yang disebut juga dengan istilah Perbuatan Melawan Hukum / tort.
Menurut Henry Cheeseman89, secara garis besar, dapat dibedakan
beberapa jenis tindakan yang dikategorikan sebagai Tort, yakni:
Intentional Torts90, yaitu
1. kategori tindakan Tort yang mensyaratkan bahwa si tergugat mempunyai
niat atau maksud untuk merusak atau merugikan hak pribadi (baik secara
fisik maupun non fisik/psikis, seperti privacy dan reputasi) maupun
terhadap harta kekayaannya. Dalam konteks ini termasuk
2. Tindakan terhadap hak pribadi seseorang (intentional torts against
persons), seperti antara lain; penganiayaan (assault91/battery92),
penghinaan, pencemaran nama baik, pemfitnahan atau tindakan-tindakan
yang melanggar hak privasi lainnya, seperti publikasi yang keliru yang
mengakibat kan keguncangan emosi korban (false imprisonment93,
defamation of character, invasion of the right to privacy 94,

89
Henry Cheeseman, Op. cit., hlm 91-160.
90
Intentional torts is a category of torts that requires that the defendant possessed the intent to the act
that caused the plaintiff injuries.
91
Assault is (1) the threat of immediate harm or offensive contact or (2) any action that arouses
reasonable apprehension of imminent harm. Actual physical contact is unnecessary.
92
Battery is unauthorized and harmful or offensive physical contact with another person. Direct
physical contact is not necessary.
93
False imprisonment is the intentional confinement or restraint of another person without authority
or justification and without that person's consent.
94
invasion of the right to privacy is a tort that constitutes the violation of a person's right to live his
or her life without being subjected to unwarranted and undesired publicity.
54

isappropriation of the right to publicity95, intentional infliction of


emotional distress96), dan
3. Tindakan terhadap barang atau harta kekayaan seseorang (intentional
torts against property), seperti pelanggaran batas pekarangan atau
pengalihan/pengambilan milik orang lain (e.g.: trespass to land, trespass
to personal property, conversion of personal property);
Unintentional Torts (negligence)97 yaitu kategori Tort yang terjadi
karena tindakan kelalaian seseorang telah mengakibatkan kerugian kepada
orang lain (foreseeable consequence). Dalam konteks ini, sebagaimana
layaknya PMH dalam KUHPer, harus ada 4 elemen dasar untuk menyatakan
kelalaian (negligence) tersebut, yakni;
1. Adanya kewajiban hukum (Duty of care),
2. Pelanggaran kewajiban tersebut (Breach of duty),
3. Kerugian yang diderita (injury to Plaintiff), dan
4. Hubungan kausalitas (causation) antara penyebab kerugian dengan
perbuatan si tergugat (proximate cause atau causation in fact).
Termasuk dalam lingkup kategori ini, adalah:
1. Kelalaian yang dilakukan oleh profesional/tindakan karena melakukan
malpraktek atau kelalaian kecermatan dalam pelaksanaan tugasnya
(professional malpractice),
2. Kelalaian yang mengakibatkan guncangan emosional (negligent infliction
of emotional distress); dan
3. Kelalaian khusus yang tidak perlu pembuktian atas kesalahan penggugat
(contoh: negligence per se98 dan res-ipsa loquitur99, dan
4. Kesalahan dalam penggambaran (misrepresentation);

95
Misappropriation of the right to publicity is an attempt by another person to appropriate a living
person's name or identity for commercial purpose.
96
intentional infliction of emotional distress: a tort that says a person whose extreme and outrageous
conduct intentionally or recklessly causes severe emotional distress to another person is liable for
that emotional distress.
97
Negligence defined as the omission to do something which a reasonable man would do, or doing
something which a prudent and reasonable man would not do.
98
Negligence per se is a tort where the violation of a statute or ordinance constitutes the breach of
the duty of care. The plaintiff in such an action must prove that (1) a statute existed, (2) the statute
was enacted to prevent the type of injury suffered , and (3) the plaintiff was within the class of persons
meant to be protected by the statute.
99
Res Ipsa Loquitur is a tort where the presumption of negligence arises because (i) the defendant
was in exclusive control of the situation and (2) the plaintiff would not have suffered injury but for
someone's negligence. The burden switches the defendant (s) to prove they were not negligent.
55

Menurut Henry Cheeseman juga secara garis besar Strict liability yang
didalamnya tercakup keberlakuan tanggung jawab atas cacat produk (defect)
yang meliputi;
1. Cacat dalam pembuatan/produksi (defect in manufacture)100 ,
2. Cacat dalam perancangan (defect in design),
3. Catat dalam pembungkusan (defect in packing 101) dan
4. Kegagalan dalam memberikan peringatan kehati-hatian (failure to warn)
102

Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) dalam Kitab


Undang Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian secara pasti
mengenai perbuatan melawan hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum
dapat disimpulkan dari dua pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang
ganti rugi akibat adanya perbuatan melawan hukum. Kedua pasal itu yakni
Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan yang
melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti
kerugian tersebut” dan Pasal 1366 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian
atau kurang hati-hatinya.” Berdasarkan kedua pasal diatas, dapat dipahami
bahwa suatu perbuatan dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum
apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Ada perbuatan melawan hukum;
2. Ada kesalahan;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan.103

100
A defect that occurs when the manufacturer fails to (i) properly assemble the product, (ii) properly
test a product, or (iii) adequately check the quality of the product.
101
A defect that occurs when a product has been placed in packaging that is insufficiently
tamperproof.
102
A defect that occurs when the manufacturer does not place a warning on the packaging of
products that could cause injury if the danger is unknown.
103
Andria Luhur Prakoso, “Prinsip Pertanggungjawaban Perdata Dalam Perspektif Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup” hlm 213
56

Pengertian perbuatan melawan hukum menurut Moegni Djojodirdjo


didapat dari yurisprudensi produk Hoge Raad yang berkembang seiring
zaman sebagai berikut :104
1. Sebelum tahun 1919, diartikan secara sempit yakni tiap perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang
atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri yang timbul karena undang-undang;
2. Setelah tahun 1919, diartikan lebih luas yakni suatu perbuatan atau
kealpaan atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan dengan kesusilaan
atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap orang lain maupun
benda.
KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang tidak hanya bertanggung
jawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi
juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang
ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. Inti dari perbuatan melawan hukum adalah bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku, atau melanggar hak subjektif orang lain,
atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden), atau bertentangan dengan
asas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati hati dalam pergaulan hidup
masyarakat. Perbuatan melawan hukum dapat diklasifikasikan dalam dua
kategori berdasarkan subyek hukum yang terlibat yakni:
1. Perbuatan yang ditujukan kepada diri sendiri, yaitu apabila menimbulkan
kerugian fisik (materiil) maupun kerugian non fisik (immateriil) misalnya
luka-luka atau cacat tubuh yang disebabkan oleh kesengajaan atau
ketidakhati-hatian pihak lain maka menurut undang-undang pihak yang
menderita kerugian dapat meminta ganti rugi;
2. Perbuatan yang ditujukan kepada badan hukum, pada umumnya yang
melibatkan kesalahan organ perusahaan seperti direksi atau komisaris
atau rapat pemegang saham dengan catatan bahwa harus ada hubungan
sebab akibat antara perbuatan dengan lingkup kerja dari organ tersebut.

104
Ibid, 214
57

Prinsip Pertanggungjawaban dalam KUHPerdata menurut Munir Fuady


menyatakan bahwa ilmu hukum mengenal tiga kategori dari perbuatan
melawan hukum sebagai berikut :105
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian)
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Atas tiga kategori perbuatan melawan hukum di atas kemudian timbul
model pertanggungjawaban hukum yakni :106
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata;
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1366 KUHPerdata;
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1367 KUHPerdata.
Dalam melakukan pengangkutan, pengangkut memiliki tanggung jawab
terhadap objek pengangkutannya berdasarkan prinsip-prinsip tanggung jawab
pengangkutan yang telah ada. Dalam hal ini, dikenal empat prinsip atau teori
mengenai tanggung jawab pengangkut baik pengangkutan darat, laut, udara,
yaitu:107
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault
liability, liability based on fault principle).
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable
presumption of liability principle).
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of
non-liability principle).
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability, absolute atau strict
liability principle).
Pengertian asas dalam kategori perbuatan menurut Black’s Law
Dictionary adalah

105
Ibid, hlm 15
106
Ibid
107
Henny Marlyna & Raisa Desra Kristina Hutauruk, “Penerapan Absolute Liability Dan Limitation
Of Liability Dalam Kasus-Kasus Kehilangan Bagasi Tercatat Penumpang Pesawat” Jurnal FH UI,
2014, hlm. 5.
58

1. Strict Liability/Absolute Liability adalah “Liability that does not depend


on actual negligence or intent to harm, but that is based on the breach of
an absolute duty to make something safe. Strict liability most often
applies either to ultrahazardous activities or in products liability case
also termed absolute liability; liability without fault.”
2. Tortious Liability adalah “Liability that arises from the breach of a duty
that is fixed primarily by the law and is owed to persons generally also
when breached is redressable by an action for unliquidated damages.”
3. Vicarious Liability adalah “Liability that a supervisory party (such as an
employer) bears for the actionable conduct of a subordinate or associate
(such as an employee) based on the relationship between the two
parties.”
Terjemahan secara bebas
1. Tanggung Jawab Penuh / Tanggung Jawab Mutlak adalah “Tanggung
jawab yang tidak bergantung pada kelalaian atau niat untuk melukai,
tetapi itu didasarkan pada pelanggaran kewajiban penuh untuk membuat
sesuatu yang aman. Tanggung jawab yang ketat paling sering berlaku
baik untuk kegiatan yang sangat berat atau dalam kasus
pertanggungjawaban produk juga disebut kewajiban absolut; tanggung
jawab tanpa kesalahan."
2. Tanggung Jawab Tortious adalah “Tanggung jawab yang timbul dari
pelanggaran kewajiban yang ditetapkan terutama oleh hukum dan
berutang kepada orang-orang pada umumnya juga ketika dilanggar dapat
ditanggulangi dengan tindakan ganti rugi yang tidak didiquidasi.”
3. Kewajiban Sementara adalah “Kewajiban yang diberikan oleh pihak
pengawas (seperti pemberi kerja) atas tindakan bawahan atau rekan yang
dapat ditindaklanjuti (seperti karyawan) berdasarkan hubungan antara
kedua pihak.”
Strict Liability and Absolute Liability in the early development of strict
liability, there were occasional statement indicating that “strict” and
“absolute” were synonyms since they were used interchangeably. 108
Warranty of Seaworthiness and Absolute Liability although as has been

108
Walter H. E. Jaeger, The Warranty of Habitability - Part II: Strict Liability versus Absolute
Liability (Chicago: IIT Chicago-Kent College of Law, 1970) hlm 1
59

observed, there has been a substantial modification in the law of warranty,


and perhaps an even greater one in the law of tort, holding the manufacturer,
the vendor and others in "the distributive chain liable for injuries to the
consumer, and more recently, to his goods or chattels, no development of
liability is comparable to that which has occurred in the warranty of
seaworthiness. Nowhere is the difference between strict liability as compared
with absolute liability so vividly highlighted as in the cases dealing with
breaches of the warranty of seaworthiness. The shipowner, and the stevedore
when engaged upon "the ship's service," as when loading or un- loading
cargo, are held to an absolute duty to provide a seaworthy ship. This means
the vessel itself, gear, machinery and appurtenances, as well as the crew.
However, it has also been said that although there is an absolute duty to
provide a safe and seaworthy ship, that does not require that the vessel be
"accident-free" or "perfect." And in the case of strict liability, there must be a
provable defect before the manufacturer or vendor can be held liable for any
injury or damage his product may have caused:

“A manufacturer is not under a duty to make his automobile accident-proof


or fool-proof; nor must he render the vehicle 'more' safe where the danger to
be avoided is obvious to all.”

Perhaps the following is a more adequate statement:

“It is the duty of a manufacturer to use reasonable care under the


circumstances to so design his product as to make it not accident or
foolproof, but safe for the use for which it is intended. This duty in- cludes a
duty to design the product so that it will fairly meet any emergency of use
which can reasonably be anticipated.”109

Terjemahan secara bebas


Tanggung Jawab Mutlak dan Tanggung Jawab Absolut dalam awal
pengembangan dari tanggung jawab mutlak, terkadang ada pernyataan yang
menunjukkan bahwa "mutlak" dan "absolut" adalah sinonim karena
digunakan secara bergantian. Jaminan Kelayakan Laut dan Tanggung Jawab
Mutlak meskipun seperti yang telah diamati, telah ada modifikasi substansial
dalam hukum jaminan, dan mungkin yang lebih besar dalam hukum gugatan,
memegang pabrik, vendor dan lainnya dalam "rantai distribusi yang

109
Ibid, hlm 3-4
60

bertanggung jawab untuk cedera pada konsumen, dan baru-baru ini untuk
barang-barangnya, tidak ada perkembangan tanggung jawab yang sebanding
dengan yang telah terjadi dalam jaminan kelayakan laut. Tidak ada perbedaan
antara tanggung jawab mutlak dibandingkan dengan tanggung jawab absolut
yang dengan jelas disorot seperti pada kasus-kasus yang berhubungan dengan
pelanggaran jaminan kelayakan laut. Pemilik kapal, dan pekerja bongkar
muat ikan ketika dipekerjakan pada "layanan kapal," seperti ketika memuat
atau melepas muatan, memegang tugas mutlak untuk menyediakan kapal laut
yang layak . Ini berarti termasuk kapal itu sendiri, peralatan, mesin dan
perlengkapan, serta kru.Namun, juga telah dikatakan bahwa meskipun ada
tugas mutlak untuk memberikan keamanan dan keselamatan laut tidak berarti
kapal menjadi "bebas kecelakaan" atau "sempurna." Dan dalam kasus
tanggung jawab mutlak, harus ada cacat yang dapat dibuktikan sebelum
pabrik atau vendor dapat dimintai pertanggungjawaban atas cedera atau
kerusakan produknya yang mungkin menyebabkan: “Pabrik tidak memiliki
kewajiban untuk membuat mobilnya anti kecelakaan atau menjadi sangat
mudah; dia juga tidak harus membuat kendaraan 'lebih' aman di mana bahaya
yang harus dihindari jelas bagi semua orang." Mungkin pernyataan berikut ini
lebih memadai: “Ini adalah tugas pabrik untuk menggunakan perawatan yang
wajar dalam situasi demikian untuk mendesain produknya agar tidak terjadi
kecelakaan atau menjadi sangat mudah, tetapi aman untuk penggunaan yang
memang dimaksudkan. Tugas ini termasuk tugas untuk mendesain produk
sehingga cukup memenuhi penggunaan di setiap keadaan darurat yang dapat
diantisipasi secara wajar. “
Pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata
dan Pasal 1366 KUHPerdata mewajibkan adanya unsur kesalahan artinya
seseorang tersebut harus bersalah (liability based on fault). Asas
pertanggungjawaban secara kesalahan (fault) didasarkan pada prinsip bahwa
tidak ada pertanggungjawaban apabila tidak ada unsur kesalahan dalam ilmu
hukum disebut Tortious Liability atau Liability Based on Fault. Selanjutnya
pihak yang berkewajiban untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut
adalah pihak yang menuntut ganti rugi dengan kata lain beban pembuktian
ada pada pihak penggugat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1865
KUHPerdata “setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak,
61

atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut.”.110
Selain prinsip liability based on fault yang terkandung dalam Pasal
1365 KUHPerdata, ada pula pertanggungjawaban yang berdasarkan pada
adanya wanprestasi yang merupakan suatu contractual liability yang
termaktub dalam Pasal 1243 KUHPerdata sebagai berikut : “Penggantian
biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang
melampaui waktu yang telah ditentukan.”111
Wanprestasi adalah suatu keadaan tidak terpenuhinya kewajiban
sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian. Wanprestasi dapat
terjadi karena dua hal yaitu karena kesalahan debitur baik sengaja maupun
lalai dan karena keadaan memaksa (overmacht/force majeur). Sedangkan
akibat hukum wanprestasi adalah :112
1. Debitur diharuskan membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata);
Kreditur dapat minta pembatalan perjanjian melalui Pengadilan (Pasal
1266 KUHPerdata);
2. Kreditur dapat minta pemenuhan perjanjian, atau pemenuhan perjanjian
disertai ganti rugi dan pembatalan perjanjian dengan ganti rugi (Pasal
1267 KUHPerdata)
Sedangkan Pasal 1367 KUHPerdata menjelaskan adanya perbuatan
melawan hukum secara tidak langsung sebagai berikut :113
1. Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan- perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan barang- barang yang berada di bawah pengawasannya.

110
Ibid
111
Ibid
112
Ibid, hlm 216
113
Ibid
62

2. Orang tua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh anak- anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan
terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
3. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-
urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan kepada orang- orang itu.
4. Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu
orang- orang itu berada di bawah pengawasannya.
5. Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua, guru
sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-
masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana mereka seharusnya
bertanggung jawab.
Pasal 1367 KUHPerdata ayat (3) diatas tidak terbatas pada tanggung
jawab dalam ikatan kerja tetapi juga di luar ikatan kerja yang mana pekerjaan
tersebut dikerjakan secara mandiri baik atas pimpinan dari pemberi kerja
maupun hanya atas petunjuknya sesuai dengan ketentuan Pasal 1601a
KUHPerdata tentang persetujuan perburuhan. Lingkup pertanggungjawaban
Pasal 1367 ayat (3) meliputi kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang
tidak termasuk tugas yang diberikan pada bawahan namun ada hubungannya
dengan tugas bawahan tersebut sehingga perbuatan tersebut dianggap
dilakukan dalam hubungan dimana bawahan tersebut digunakan. Lebih
lanjut, Hoge Raad menganut teori organ yang menjelaskan bahwa badan
hukum dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata apabila organnya melakukan perbuatan melawan hukum.
Seperti yang telah penulis sebutkan diatas bahwa perbuatan melawan
hukum.114 Dalam KUHPerdata mensyaratkan adanya hubungan sebab-akibat
antara kerugian dan lingkungannya, dalam konteks badan hukum maka tidak
semua perbuatan dari organ dapat dipertanggungjawabkan kepada badan
hukum tapi harus ada hubungan yang mendasari. Apabila organ bertindak
untuk memenuhi tugas yang diberikan kepadanya dan selanjutnya tindakan
tersebut ternyata melawan hukum maka perbuatan organ tersebut dianggap
114
Moegni Djojodirdjo, Op.cit, hlm.128-176
63

sebagai perbuatan dari badan hukum dan badan hukum harus


bertanggungjawab. Sehingga pertanggungjawaban perdata dari badan hukum
dapat secara langsung didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata dan secara
tidak langsung (apabila dilakukan oleh organ/bawahan) didasarkan pada
Pasal 1367 KUHPerdata.

2.3 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu yang dimaksud disini adalah penelitian yang telah
diteliti oleh orang lain dan telah dituangkan dalam tulisan yang berupa skripsi
jurnal, tesis, dan juga disertasi. Penelitian terdahulu yang pertama ialah dari
Puspoayu, Elisabeth Septin, Arief Rachman Hakim, and Hanum Selsiana Bella
dengan judul “Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pencemaran Minyak di
Wilayah Teluk Balikpapan.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 25, no. 3
(2018): 560–80. Tulisan tersebut menyimpulkan bahwa pencemaran laut akibat
bocornya pipa minyak Pertamina tersebut tidak dapat dilakukan mekanisme
strict liability sebagaimana secara eksplisit disebutkan dalam UU PPLH
dikarenakan ketiadaan faktor tunggal penyebab pencemaran dan adanya force
majeure di dalam peristiwa tersebut. Mekanisme pertanggungjawaban yang
paling mungkin dilakukan ialah dengan melakukan gugatan perdata kepada pihak
yang berkaitan dengan pencemaran yakni kapal MV Judgers dan PT Pertamina
secara tanggung renteng oleh negara sebagai pihak yang paling berkepentingan
untuk menjaga laut dari pencemaran dan sebagai bentuk kompensasi dari
tindakan darurat untuk mencegah pencemaran makin meluas dan ganti rugi lain
yang sesuai. Dalam UU PPLH kiranya dimuat suatu aturan ataupun ukuran yang
jelas untuk pertanggungjawaban bilamana terjadi pencemaran yang tidak
diketemukan faktor tunggal terlebih terdapat keadaan memaksa yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran tersebut dan disandingkan dengan
peningkatan standar prosedur bagi pihak yang menanam pipa minyak di laut
untuk mengantisipasi adanya keadaan memaksa seperti dalam kejadian
tersebut.115
Penelitian terdahulu kedua ialah dari Seliyana, Bruce Anzward, Rosdiana
dengan judul: Pertanggungjawaban Hukum PT Pertamina Akibat Kebocoran
115
Puspoayu, Elisabeth Septin, Arief Rachman Hakim, and Hanum Selsiana Bella. Dengan “Tinjauan
Yuridis Pertanggungjawaban Pencemaran Minyak Di Wilayah Teluk Balikpapan.” Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM 25, no. 3 (2018): 560–80.
64

Pipa Di Teluk Balikpapan. Yang menyimpulkan pertanggungjawaban hukum PT.


Pertamina (Persero) akibat kebocoran pipa yang menyebabkan pencemaran
lingkungan di Teluk Balikpapan ada tiga berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni
pertanggungjawaban hukum administrasi dalam hal ini paksaan pemerintah yang
diberikan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
SK.2631/Menlhk- PHLHK/PPSA/GKM.o/4/2018, pertanggungjawaban hukum
perdata berupa ganti rugi terhadap masyarakat, sedangkan pidana yakni berupa
pidana denda yang dibayarkan kepada negara dan pidana penjara terhadap
penanggung jawaban yang lalai.
Penelitian terdahulu ketiga ialah dari Hari Utomo Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut Universitas Pertahanan dengan judul : Siapa Yang
Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan Kapal (Legally
Responsible Parties In Ship Accident).116 Yang menyimpulkan Kecelakaan dalam
pelayaran harus menjadi tanggung jawab seluruh pihak yang terkait dalam
praktek pelayaran. Salah satu pihak yang turut bertanggung jawab dalam
kecelakaan yang terjadi pada suatu kapal adalah Nakhoda selaku pemimpin
kapal. Sehingga sebagai pemimpin kapal, diharapkan Nakhoda dapat memenuhi
tanggung jawabnya seperti yang disyaratkan oleh undang-undang. Kecelakaan
kapal yang marak terjadi semakin menunjukkan tidak ditaatinya peraturan
mengenai pelayaran dalam negeri maupun konvensi pelayaran internasional,
terutama Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan
konvensi- konvensi dari IMO, oleh perusahaan pelayaran nasional di dalam
negeri. Mengingat pentingnya lalu lintas perkapalan maka Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan agar setiap kecelakaan
kapal yang terjadi dilakukan pemeriksaan kode etik profesi Nakhoda dan/atau
awak kapal lainnya oleh pejabat yang berwenang yaitu Mahkamah Pelayaran.
Pertanggungjawaban atas tenggelamnya kapal atau terjadinya kecelakaan kapal
memerlukan penanganan melalui lembaga yang cukup istimewa. Mahkamah
Pelayaran sebagai suatu badan peradilan khusus yang menangani kecelakaan dan
bencana di laut, akan memberikan penilaian yang obyektif atas ada atau tidaknya
kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang
116
Hari Utomo, “Siapa Yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan Kapal
(Legally Responsible Parties In Ship Accident,.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 14 NO. 01, hlm 73-
74
65

dilakukan oleh Nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau perwira kapal atas
terjadinya kecelakaan kapal. Mahkamah Pelayaran dapat pula melakukan
pemeriksaan kecelakaan atau bencana kapal berbendera asing selama kecelakaan
atau bencana kapal tersebut berada di wilayah Republik Indonesia. Di dalam
kecelakaan kapal, jika di dalam penyelidikan ditemukan adanya dugaan kelalaian
atau kesalahan yang bersifat prosedural/administratif menyangkut perizinan
kapal dan administratif lainnya, maka pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban adalah pengusaha kapal atau perusahaan pelayaran dimana
suatu pihak dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang bukan secara
langsung dilakukan oleh terdakwa (vicarious liability). Sedangkan jika
ditemukan dugaan adanya kelalaian pada saat beroperasinya kapal tersebut
sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan, maka pihak yang bertanggung
jawab atas kecelakaan tersebut adalah Nakhoda kapal dan/atau awak kapal (strict
liability) karena terdakwa langsung dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan
yang diperbuat. Penelitian ini hanya berdasarkan jurnal. Skripsi ini merupakan
skripsi pertama yang meneliti secara spesifik tentang pertanggungjawaban para
pihak secara perdata atas kecelakaan yang terjadi di laut yang kemudian
mengakibatkan pencemaran laut.
66

BAB III
HASIL PENELITIAN

3.1 Kronologi Kejadian Kecelakaan Laut dan Pencemaran Minyak Akibat dari
Kapal MV Ever Judger
Pada tanggal 30 Maret 2018 sekitar pukul 22.00 waktu setempat, jangkar
kapal curah muatan batu bara berbendera Panama menghantam dan menyeret
pipa minyak mentah milik Pertamina. Pada tanggal 31 Maret 2018 sekitar pukul
11.05 waktu setempat, kobaran api besar dengan asap hitam tebal mulai
menyebar di Teluk Balikpapan. dimulai dari depan Kapal Ever Judger dan
kemudian menyebar ke Utara dan Selatan. Api menyebar di atas air dari depan
menuju buritan Kapal Ever Judger. Salah satu kru Kapal MV Ever Judger yang
berada di geladak buritan terbakar di beberapa bagian tubuhnya. Lima warga
Balikpapan yang berada di dua kapal yang terletak di depan Kapal Ever Judger
menjadi korban kebakaran tersebut. Mengetahui hal tersebut petugas yang
bertanggung jawab atas Pertamina memerintahkan Petugas Lapangan di Lawe-
Lawe untuk menghentikan pompa operasi yang tersisa yang memindahkan
minyak mentah ke seluruh Teluk dan Untuk menghindari kemungkinan
kebakaran yang menyebar ke area kilang dan membahayakan kilang dalam
operasi serta terpaksa menghentikan produksi. Pertamina tidak tahu dari mana
sumber tumpahan minyak pada saat itu. Pertamina mengerahkan alat pemadam
kebakaran sendiri (perahu multiguna dengan peralatan pemadam kebakaran) dan
meminta bantuan perusahaan minyak di sekitarnya untuk bekerja sama
membantu memadamkan api di teluk Balikpapan. Pada saat yang sama,
Pelabuhan Balikpapan memerintahkan kapal api untuk mengurangi api. Semua
kapal diperintahkan untuk segera meninggalkan teluk, khususnya kapal tanker.
Kurang dari satu jam api telah padam sepenuhnya. Semua awak Kapal MV Ever
Judger telah dievakuasi ke pantai. Beberapa hari setelah bencana, minyak
menyebar di sepanjang teluk dan keluar dari Teluk Balikpapan. Ekosistem laut
sangat dipengaruhi oleh polusi minyak mentah. Banyak nelayan juga terkena
dampak negatif dari kecelakaan ini. Komite Keselamatan Transportasi Nasional
67

(KNKT) mengidentifikasi beberapa masalah keselamatan yang berkontribusi


terhadap kecelakaan dan mengeluarkan rekomendasi keselamatan untuk
mencegah kejadian serupa di masa depan. Manajemen sumber daya jembatan
telah ditemukan sebagai masalah utama dalam kecelakaan ini. Oleh karena itu,
sejumlah tindakan keselamatan pada dasarnya diperlukan untuk mencegah
terulangnya kecelakaan yang sama di masa depan.

3.2 Kronologi Setelah Kejadian Kecelakaan Laut dan Pencemaran Minyak


Akibat dari Kapal MV Ever Judger

3.2.1 Kapal dan Manusia


Ada tiga kapal yang terkena dampak kebakaran pada tanggal 31 Maret
2018, yaitu Kapal Pengangkut Massal dan dua kapal kayu. Secara umum, Kapal
MV Ever Judger mengalami luka bakar dan basah total, khususnya di sisi
pelabuhannya. Sisi portalnya lebih buruk daripada sisi kanannya karena api di
sisi portalnya jauh lebih besar daripada sisi lainnya. Peralatannya yang terbuat
dari plastik, komposit, aluminium dan kaca hancur. Sebagai contoh, garis tambat
belakang, sekoci, tangga akomodasi di tepi pelabuhan terbakar parah bahkan
sebagian besar menjadi abu. Dinding sisi portalnya, jendela, lampu, selang
hidran, dan crane sebagian hancur. Lambung di sekelilingnya berasap hitam.
Selain itu, api dan asap mencapai bagian atas tiang kapal di dek ramalan dan atap
jembatan samping. Salah satu kru Ever Judger, yang sedang bekerja di dek
belakang sementara api muncul, dibakar di beberapa bagian tubuhnya. Setelah
diselamatkan dari air, ia kemudian dibawa ke rumah sakit. Setelah menjalani
perawatan intensif selama sekitar dua minggu, ia diizinkan meninggalkan rumah
sakit untuk melakukan terapi rawat jalan. Tidak ada laporan mengenai polusi laut
karena batu bara atau bahan bakar Kapal MV Ever Judger. Bagian-bagian
internal dan kamar-kamar Ever Judger berada dalam kondisi yang dapat diterima.
Jangkar dan rantai port tidak mengalami kerusakan. Sementara itu, semua kapal
kayu terbakar karena lokasinya berdekatan dengan sumber api. Lima orang tewas
di tempat kejadian. Seluruh tubuh mereka basah kuyup dan sebagian pakaian
mereka dirobek. Dua dari lima korban tewas ditemukan sekitar tengah hari pada
hari yang sama. Kematian lainnya ditemukan pada hari berikutnya.
68

3.2.2 Lingkungan Hidup


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan
analisis dampak untuk polusi udara dan air serta dampak pada lingkungan laut,
sumber daya laut dan ekosistem laut. Polusi udara diciptakan oleh dua elemen.
Pertama, bau minyak di pagi hari tanggal 31 Maret 2018 yang membuat banyak
orang merasa sakit kepala. Kedua, minyak yang dibakar pada hari yang sama.
Namun, tidak ada catatan terperinci tentang kedua hal tersebut dalam laporan
KLHK. Konsekuensi dari polusi minyak pada hewan dan tumbuhan laut menjadi
perhatian utama KLHK. Mengenai laporan KLHK, ada lebih dari 7.000 kilo liter
minyak mentah yang tersebar di lebih dari 13.000 hektar teluk. Kondisi terburuk
adalah di sepanjang garis pantai Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara,
Kalimantan Timur. KLHK menyarankan beberapa biota laut penting yang
dirusak oleh minyak dalam laporan tersebut. Mangrove sebagai ekosistem
substansial habitat laut telah musnah sejak hari setelah kecelakaan Ever Judger.
KLHK mendaftarkan wilayah hutan bakau di Kabupaten Kariangau seluas 34
hektar sebagai hutan bakau yang paling terkena dampak. Selain itu, setidaknya
6.000 tanaman Mangrove dan 2.000 biji Mangrove juga gagal tumbuh karena
dampak minyak di Kabupaten Atas Air Margasari, Balikpapan. Selain itu, banyak
petani kepiting kehilangan peluang karena kepiting mereka mati mendadak.
Meskipun api telah dikendalikan dalam waktu satu jam, minyak masih tetap di
Teluk Balikpapan sampai beberapa minggu kemudian. Gambar satelit yang
diambil oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Indonesia (LAPAN)
pada 3, 5, 6 dan 7 April 2018 menunjukkan pergeseran minyak. Pada 3 April
2018 (3 hari setelah pipa minyak pecah), sebagian besar minyak didorong oleh
arus menuju Selat Makassar, meskipun beberapa minyak tetap di sepanjang garis
pantai Balikpapan. Pada saat itu, Distrik Penajam memiliki lebih sedikit
tumpahan minyak. Dalam empat hari berikutnya, minyak telah tersebar dan
menyebar di sepanjang teluk. Distrik Penajam, yang sebelumnya lebih bersih dari
pantai Balikpapan, terpengaruh lagi oleh minyak. Meskipun polusi di Selat
Makassar belum dipantau dengan tepat, diyakini bahwa minyak bergeser ke selat
karena arus.
69

3.2.3 Pipa Bawah Laut


Meskipun terdapat lima pipa di bawah laut termasuk satu pipa gas yang
terkubur. Pipa paling utara adalah satu-satunya pipa yang terkena dampak. Pipa
berukuran 20 inci milik Pertamina RU V yang menghubungkan tangki minyak
mentah dari stasiun Lawe-Lawe ke tangki penyangga minyak mentah di
Balikpapan untuk Unit Distilasi Crude IV (CDU IV). Pipa 20 inci itu terpotong
menjadi dua bagian di kedalaman sekitar 20-22 m di bawah permukaan laut.
Salah satunya dilipat dengan bentuk-V. Berdasarkan survei bawah laut, yang
diadakan oleh Pertamina, ada bekas luka jangkar dengan kedalaman sekitar 1,5,
lebar 1,6 dan panjang 1.000 m. Bekas luka ini cocok dengan lokasi di mana
jangkar Kapal MV Ever Judger dijatuhkan dan naik serta ukuran jangkar Ever
Judger. Survei pasca-kebocoran oleh Tentara AL Indonesia juga mengkonfirmasi
temuan ini. Multibeam Echosounder menangkap bekas luka dan bangkai pipa
yang terpotong. Kemudian kedua tepi terpisah lebih dari 25 m. Lokasi pipa yang
rusak dipindahkan sekitar 120 m dari lokasi aslinya

3.2.4 Pemulihan
Proses pemulihan yang dilakukan Pertamina didasarkan pada akal sehat,
meskipun tidak ada putusan pengadilan sehubungan dengan tanggung jawab dan
tanggung jawab. Laporan hilangnya properti laut akibat polusi minyak telah
meningkat dalam beberapa hari setelah minyak dibakar dalam hal sosial,
ekonomi dan lingkungan. Pertama, RU V Pertamina membentuk tim ahli dan
memetakan area yang terkena dampak berdasarkan laporan dan inspeksi lapangan
KNKT. Setelah itu, area dibagi menjadi empat zona. Untuk memastikan langkah
pembersihan, ada serangkaian tolok ukur untuk memutuskan kebersihan
lingkungan dari polusi minyak. Kriteria ini sangat penting karena Badan
Lingkungan Hidup Daerah tidak merilis atau menetapkan kriteria detail mengenai
polusi minyak di perairan. Berkenaan dengan hilangnya keuntungan yang
diklaim oleh orang-orang, ada juga beberapa kriteria untuk memverifikasi klaim.
Kriteria harus sesuai dengan klaim yang diajukan. Di antara orang-orang itu,
kebanyakan dari mereka adalah nelayan. Peralatan memancing mereka langsung
terkena dampak minyak - misalnya, jaring ikan, kapal, kolam, pelampung, dan
banyak lainnya. Ini menghentikan mereka dari menggunakan peralatan mereka
untuk sementara waktu sampai ekosistem laut kembali normal. Data yang salah
70

adalah hambatan terbesar untuk proses rekonsiliasi. Meskipun Pertamina RU V


membuka gerai klaim, lembaga pemerintah daerah lainnya melakukan hal yang
sama. Situasi menjadi lebih buruk ketika banyak orang mendaftarkan properti
mereka di lebih dari satu daftar klaim. Akibatnya, tim harus memastikan bahwa
klaim tidak diajukan beberapa kali. Untuk mengatasi hal ini, RU V Pertamina
bekerja sama dengan lembaga setempat terkait untuk memverifikasi klaim
mereka. Ada empat wilayah pemantauan yang ditetapkan oleh RU V Pertamina
untuk mempercepat penyelesaian klaim, dari Zona 1 ke 4. Setiap zona terdiri dari
sekitar lima kecamatan (kelurahan). Khusus untuk Zona 4 di wilayah Penajam,
zona yang terkena dampak dibagi menjadi tiga sub-zona dari 4A ke C dan
masing-masing subzon terdiri dari sekitar tujuh kecamatan. Untuk melaksanakan
sistem pemantauan, RU V Pertamina mengatur empat langkah. Pertama, petugas
lapangan-bersama-sama dengan pemerintah daerah mengumpulkan data nyata.
Pada langkah ini, tim juga menilai kebersihan objek (kriteria tersedia di
lampiran). Kedua, koordinator lapangan mengumpulkan semua laporan lapangan
dan mengatur anggaran, tenaga kerja, lokasi serta peralatan kebersihan yang
diperlukan untuk proyek pembersihan. Ketiga, On-Scene Commander (OSC)
melaporkan kemajuan ke tingkat manajerial yang lebih tinggi. Segmen terakhir,
namun tidak kalah pentingnya, adalah pengontrol data yang memastikan data
valid dan siap untuk didokumentasikan. Normalisasi teluk dalam metode manual
memperoleh upaya besar. Mengacu pada informasi dari Pencarian dan
Penyelamatan lokal, lebih dari 750 perwira militer setempat, petugas polisi,
Master Pelabuhan, agen lingkungan dan warga lokal terlibat dalam respons
tumpahan minyak yang dilakukan secara manual. Beberapa organisasi lokal
mengambil bagian dalam aksi dan kampanye lingkungan ini. Kerja sama yang
luar biasa ini terutama membersihkan sektor di sepanjang Teluk Balikpapan.
Sementara itu, kolaborasi antara Harbour Master dan perusahaan minyak dalam
beberapa hari setelah kebakaran terlihat jauh lebih baik. Banyak perangkat
respons minyak dikerahkan untuk membatasi dan mengurangi penyebaran
minyak ke laut. Mereka dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok
berdasarkan karakteristiknya, yaitu alat apung, pompa, kantong minyak, skimmer
minyak, penyerap oli dispersan minyak dan truk vakum.
71

3.3 Hasil Putusan Pidana dan Tata Usaha Negara Atas Kecelakaan Kapal Ini
Tabel 3.1 Hasil Putusan Pidana dan Tata Usaha Negara
Atas Kecelakaan Kapal Ini

N PIDANA PTUN
O Nomor : 749/Pid.B/LH/2018/PN.BPP Nomor : 89/G/2019/PTUN-JKT
1 Terbukti bahwa Zhang Deyi selaku Menyatakan gugatan Penggugat tidak
Nakhoda dari Kapal MV Ever Judger diterima (niet onvankelijk verklaard);
dinyatakan secara sah dan meyakinkan
bersalah “Pencemaran dan Perusakan
Pencemaran Hidup”
2 Zhang Deyi dijatuhkan pidana penjara Menghukum Penggugat membayar biaya
selama 10 tahun dan denda sebesar perkara sebesar Rp. 416.000,- (empat ratus
Rp.15.000.000.000,- (lima belas milyar enam belas ribu rupiah ) ;
rupiah) subsidair 1 (satu) tahun
kurungan
3 Menetapkan lamanya Zhang Deyi
ditahan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
4 Memerintahkan agar Zhang Deyi tetap
berada di dalam tahanan

Kasus ini sudah dibawa ke ranah perdata akan tetapi belum ada hasil
putusan pengadilan. Gugatan perdata masih dalam proses pengadilan. Dengan
nomor gugatan 407/Pdt.G/LH/2019/PN.JKT.PST. Kementerian Lingkungan
Hidup menggugat PT Pertamina, Zhang Deyi, Fleet Management Limited dan
Ever Judger Holding dengan maksud tujuan untuk meminta
pertanggungjawaban atas kecelakaan kapal yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan akibat tumpahan minyak yang tumpah dan adanya korban jiwa.
Berikut Petitumnya sebagai berikut:
1. Mengabulkan Gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas seluruh harta benda milik
TERGUGAT 1, TERGUGAT 2, TERGUGAT 3, dan TERGUGAT 4 baik
barang bergerak maupun tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak
berwujud, yang timbul saat ini maupun yang baru akan datang;
3. Menyatakan sah TERGUGAT 1 telah melakukan perbuatan melawan hukum
karena kelalaiannya berdasarkan ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata atau
menyatakan sah TERGUGAT 1 bertanggung jawab mutlak atas kerugian
lingkungan hidup yang timbul akibat tumpahan minyak yang menyebabkan
72

pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup berdasarkan ketentuan


Pasal 88 UU Lingkungan Hidup (Strict Liability);
4. Menyatakan sah TERGUGAT 2 bersalah telah melakukan perbuatan
melawan hukum karena kelalaiannya berdasarkan ketentuan Pasal 1366
KUHPerdata yang telah menimbulkan kerugian lingkungan hidup;
5. Menyatakan sah TERGUGAT 3 bertanggung jawab untuk mengganti
kerugian lingkungan hidup yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian
TERGUGAT 2 tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata, dan
menyatakan pula TERGUGAT 3 secara sah bertanggung jawab mutlak
(Strict Liability) untuk mengganti biaya penanganan penanggulangan dan
kerugian lingkungan hidup yang timbul akibat tumpahan minyak
berdasarkan ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Pelayaran juncto Pasal 29
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2010 juncto Pasal 11 Peraturan Presiden
No.109 Tahun 2006;
6. Menyatakan sah TERGUGAT 4 bertanggung jawab mutlak (Strict Liability)
untuk mengganti biaya penanganan penanggulangan dan kerugian
lingkungan hidup yang timbul akibat tumpahan minyak berdasarkan
ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Pelayaran juncto Pasal 29 Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 2010 juncto Pasal 11 Peraturan Presiden No.109
Tahun 2006;
7. Menghukum PARA TERGUGAT secara tanggung renteng untuk membayar
ganti rugi lingkungan hidup secara tunai, seketika dan sekaligus kepada
PENGGUGAT total sebesar Rp.10.147.503.577.005,00 (sepuluh triliun
seratus empat puluh tujuh milyar lima ratus tiga juta lima ratus tujuh puluh
tujuh ribu lima rupiah) yang meliputi:

a
Jasa Ekosistem : Rp. 9.962.579.929.200,00
.
b Biaya Pemulihan (Restorasi) : Rp. 184.055.020.000,00
c Biaya Penyelesaian Sengketa Lingkungan : Rp. 868.627.805,00
Hidup

8. Menghukum PARA TERGUGAT secara tanggung renteng untuk membayar


bunga denda sebesar 6% (enam persen) per tahun dari total nilai ganti rugi
73

lingkungan hidup, terhitung sejak tanggal didaftarkannya perkara/gugatan


ini;
9. Menghukum PARA TERGUGAT secara tanggung renteng untuk membayar
biaya perkara secara;
10. Menyatakan Putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu
meskipun ada banding atau kasasi atau upaya hukum lainnya (uit voorbaar
bij voorrad).
74

BAB IV
ANALISIS
PERTANGGUNGJAWABAN PARA PIHAK ATAS KECELAKAAN
DI LAUT DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran


mengatur serangkaian larangan serta kewajiban-kewajiban nakhoda, personel kapal
dan operator kapal sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut
yang berasal dari kapal pada pasal-pasal 134, 226-233 dan dilengkapi dengan
ketentuan pidana pada pasal-pasal 324,325, dan 326 sebagaimana dapat dirangkum
dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Resume Pasal 226-233 UU Pelayaran
Resume Pasal 226-233 UU Pelayaran
Setiap Kapal DILARANG melakukan pembuangan limbah atau bahan
lain kalau tidak memenuhi persyaratan.
WAJIB dilengkapi dengan peralatan pencegahan
pencemaran sebagai bagian persyaratan kelaiklautan
kapal.
Setiap Nakhoda WAJIB mencegah terjadinya pencemaran yang
bersumber dari kapalnya
WAJIB menanggulangi pencemaran yang bersumber dari
kapalnya
WAJIB melaporkan pencemaran laut yang bersumber
dari kapalnya
Setiap Operator Kapal BERTANGGUNG JAWAB terhadap pencemaran yang
bersumber dari kapalnya
WAJIB mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap
pencemaran yang bersumber dari kapalnya

Tabel 4.2 Resume Ps 302, 325-328 UU Pelayaran

Resume Ps 302, 325-328 UU Pelayaran


Perorangan/Oknu Membuang limbah didipadan penjara paling lama 2 tahun dari
m denda paling banyak Rp. 300 juta.
Membuang limbah mengakibatkan kerusakan lingkungan
hidup dipidana paling lama 10 tahun penjara dan denda paling
bayar Rp. 500 juta
Nakhoda Tidak melakukan penanggulangan pencemaran yang
bersumber dari kapalnya dipidana penjara paling lama 2 tahun
dan denda paling bayar Rp. 300 juta
Operator Kapal Tidak mengasuransikan tanggung jawabnya atas pencemaran
yang bersumber dari kapalnya
75

Pada tingkat internasional, pencegahan dan penanggulangan pencemaran


diatur dengan konvensi International Maritime Organization (IMO) melalui Marine
Environment Protection Committee (MEPC) yaitu yang yang dikenal dengan sebutan
Konvensi MARPOL ‘73/78 khusus pencemaran yang bersumber dari kapal.
Sedangkan untuk pencemaran yang bersumber dari kapal maupun non-kapal diatur di
dalam 46 pasal konvensi UNCLOS’82 yakni pasal-pasal 192 sampai dengan 237.
Kedua konvensi tersebut telah diratifikasi masing-masing dengan Keputusan
Presiden No. 46 Tahun 1986 tentang Ratifikasi Konvensi MARPOL dan Undang-
Undang No 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS’82 .117

“Pollution of the marine environment” means the introduction by man, directly


or indirectly, of substances or energy into the marine environment, including
estuaries, which results or is likely result in such deleterious effects as harm to
living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine
activities, including fishing and other legitimate uses of the sea, impairments of
quality for use of sea water and reduction of amenities”118 (Article 1 UNCLOS
1982)

Pencemaran yang bersumber dari kapal, terutama minyak yang terbuang atau
tumpah ke laut karena kegiatan rutin atau karena kecelakaan. Karena instalasi
anjungan pengeboran minyak di laut termasuk dalam pengertian kapal, maka
tumpahan minyak dari kegiatan rutin maupun kecelakaan menjadi bagian dari
pencemaran laut yang dimaksudkan dalam definisi diatas. Beberapa bagian penting
dari UNCLOS’82 Part XII tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut
dapat disajikan yaitu119 :
1. Ketentuan Umum
Pada bagian XII berkenaan dengan semua jenis sumber pencemaran laut yang
harus dikontrol pemerintah negara (meliputi pemerintah pusat dan pemerintah
daerah) meliputi:

117
Dr.D.A Lasse, S.H., M.M, “Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial Pelabuhan dan
Pemanduan Kapal” (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm 130
118
UNCLOS 1982 Article 1
119
Ibid, hlm 131
76

a. Pembuangan zat beracun, bahan berbahaya terutama yang dialirkan terus-


menerus dari sumber-sumber di darat, dari atau yang melalui udara
terbuka atau dari tempat pembuangan sampah.
b. Pencemaran yang bersumber dari kapal, terutama tindakan pencegahan
kecelakaan dan penanganan keadaan darurat, negara menjamin
keselamatan operasi pelayaran, dan membuat peraturan tentang desain,
konstruksi, perlengkapan serta pengawakan kapal.
c. Pencemaran dari instalasi dan peralatan yang digunakan untuk eksplorasi
atau eksplorasi sumber daya alam di dasar dan di bawah laut melakukan
pencegahan dan langkah menghadapi keadaan darurat, menjamin
keselamatan operasi pelayaran dan membuat peraturan tentang desain,
konstruksi, perlengkapan serta pengawakan instalasi atau perlengkapan
serta pengawakan instalasi atau perlengkapan tersebut
d. Terhadap pencemaran dari instalasi dan perlengkapan lain yang
dioperasikan di lingkungan perairan, pemerintah negara menjamin
keselamatan operasi pelayaran dan membuat peraturan tentang desain,
konstruksi, perlengkapan serta pengawakan instalasi atau perlengkapan
serta pengawakan instalasi atau perlengkapan tersebut
e. Dalam rangka mengambil tindakan pencegahan, pengurangan dan
penanggulangan pencemaran laut, pemerintah negara tidak dibenarkan
langsung atau tidak langsung mentransfer kerusakan atau bahaya dan
pencemaran dari satu tempat ketempat lain
f. Pemerintah negara mengambil semua langkah pencegahan, pengurangan
dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang diakibatkan
penggunaan teknologi

Pencemaran yang bersumber dari kapal


Dalam pencegahan dan pemeliharaan lingkungan laut terhadap pencemaran
bersumber dari kapal, pemerintah negara (termasuk pemerintah pusat dan daerah)
bertindak120 :
1. Melalui organisasi kompeten internasional atau jalur diplomatic, menyusun
ketentuan berstandar internasional untuk pencegahan, pengurangan dan
pengawasan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari kapal, termasuk
120
Ibid, hlm 133
77

pengaturan alur pelayaran guna meminimalkan kecelakaan, kerusakan dan


perlindungan garis pantai. Ketentuan tersebut dievaluasi seperlunya secara
terus menerus.
2. Menerapkan hukum dan peraturan-peraturan pencegahan, pengurangan, dan
pengawasan pencemaran dari kapal yang mengibarkan bendera negara di
mana kapal terdaftar
3. Membentuk ketentuan khusus untuk pencegahan, pengurangan dan
pengawasan pencemaran lingkungan laut dari kapal asing yang berkunjung ke
pelabuhan, atau terminal lepas pantai, atau perairan pelabuhan atau laut
teritorial dengan menggunakan hak lintas damai bagi kapal niaga (Innocent
passage)

4.1 Para pihak yang bertanggungjawab dalam kecelakaan laut Kapal MV Ever
Judger
Dalam kasus ini sebenarnya melibatkan banyak pihak tetapi secara garis
besar hanya beberapa pihak saja yang wajib bertanggungjawab atas kecelakan
laut tersebut. Pihak pihak tersebut harus bertanggungjawab atas kerusakan
lingkungan dan korban jiwa yang terjadi akibat kecelakaan laut tersebut. Pihak
pihak yang terlibat itu adalah PT Pertamina, Zhang Deyi (selaku nakhoda), ABK
Kapal, Fleet Management (Perusahaan dari Nakhoda), Pemandu pelabuhan,
Ever Judger Holding (Perusahaan Kapal), VTS dan Pelabuhan Balikpapan.
Banyak sekali kejanggalan dan kesalahan dari pihak pihak tersebut dalam kasus
kecelakaan laut ini. Bahwa laut dan lingkungan hidup merupakan multidisiplin
dan antar lembaga. Ilmu ini merupakan ilmu yang melibatkan banyak aspek
didalamnya. Maka menurut analisis penulis pihak yang dapat dimintakan
pertanggung jawaban dalam hal ini akan dijabarkan apa yang dilakukan oleh
pihak pihak tersebut sehingga menimbulkan kejanggalan dan kesalahan dalam
kasus kecelakaan laut ini sebagai berikut :
4.1.1 Zhang Deyi (Selaku Nakhoda Kapal MV Ever Judger)
Zhang Deyi ini jelas sudah melakukan beberapa kesalahan fatal yaitu
1. Menggunakan dua bahasa dalam melakukan perjalanan berlayar yaitu
Bahasa Inggris dan bahasa Cina
2. Zhang Deyi meminta izin kepada pilot pelabuhan untuk memberhentikan
kapal dengan alasan cuaca buruk akan tetapi setelah di-investigasi ternyata
cuaca buruk baru terjadi ketika kecelakaan yang dilakukannya terjadi.
78

Maka Zhang Deyi telah melanggar asas cabotage karena seharusnya kapal
tidak boleh berhenti di pelabuhan lain selain tujuan pelabuhannya. Kapal
tersebut harus berhenti di pelabuhan yang dituju. Contoh : Kapal milik
Zhang Deyi itu memiliki rute dari Balikpapan ke Lumut Malaysia. Kapal
tersebut tidak boleh ke pelabuhan lain untuk berhenti harus di pelabuhan
Lumut, Malaysia.
3. Meminta pemandu pelabuhan untuk melabuhkan jangkar di zona khusus
milik pertamina yang dibawahnya terdapat pipa minyak sehingga pipa itu
patah dan tumpah.

4.1.2 ABK Kapal


Melanggar SOP pelayaran internasional IMO STCW. Setiap melakukan
perjalanan pelayaran harus menggunakan satu bahasa resmi yaitu Bahasa
Inggris. Tetapi ABK Kapal MV Ever Judger menggunakan bahasa Cina serta
tidak memperbaiki perintah yang salah, membiarkan begitu saja kesalahan
tersebut serta menjatuhkan jangkar di wilayah berbahaya tidak sesuai dengan
arahan pilot pelabuhan.
ABK Kapal Mv Ever Judger yaitu:
1. Lu Wenshan selaku Chief Officer (Mualim 1). Lu Wenshan merupakan
orang pertama yang menyebarkan perintah nakhoda kepada abk kapal lain
nya seperti perintah memberhentikan kapal, melabuhkan jangkar dll.
Kesalahan Lu Wenshan adalah menggunakan bahasa Cina untuk
menyebarkan perintah nakhoda dan tidak memperbaiki kembali perintah
yang salah sehingga menimbulkan kecelakaan kapal.
2. Liang Xu selaku bosun yang diperintahkan oleh Lu Wenshan untuk
menurunkan jangkar kapal.
3. Cui Zhan Yao selaku Mualim 3 diperintahkan oleh Zhang Deyi untuk
memundurkan jangkar dengan pelan. Cui Zhan Yao ini tidak mengetahui
apapun tentang masalah ini. Ia hanya mengikuti semua perintah dari Zhang
Deyi.

4.1.3 Ever Judger Holding


79

Perusahaan dari kapal ini memang tidak melakukan kesalahan secara


langsung tetapi karena ada kebakaran pada kapal tersebut dan menyebabkan
korban jiwa. Maka perusahaan tersebut juga harus bertanggungjawab.

4.1.4 Pemandu
Pilot ini melakukan kesalahan yaitu memperbolehkan Zhang Deyi
memberhentikan kapal nya di zona khusus minyak milik Pertamina dengan
alasan cuaca tetapi cuaca buruk baru terjadi ketika kecelakaan laut itu terjadi dan
memperbolehkan Zhang Deyi untuk menurunkan jangkarnya walaupun
instruksikan hanya diperbolehkan 1 meter dari permukaan laut. Hal ini
sebenarnya sangat dilarang karena sangat membahayakan karena dapat
membahayakan keselamatan kapal tersebut serta lingkungan laut sekitar.
Kemudian pilot ini tidak memperhitungkan baik baik posisi dimana akan
berlabuhnya jangkar kapal.

4.1.5 Vessel Traffic System


Sistem komunikasi laut VTS tidak mengontrol Kapal MV Ever Judger. VTS
tidak memonitor kapal MV Ever Judger pada saat ingin berlabuh jangkar. Yang
seharusnya setiap kapal ini melabuhkan kapalnya di suatu wilayah. VTS harus
memonitoring kapal tersebut.

4.1.6 Fleet Management Limited


Perusahaan dari nahkoda kapal ini memang tidak melakukan kesalahan
secara langsung tetapi karena perusahaan ini mempunyai ikatan dengan nahkoda.
Perusahaan ini dengan wajib melakukan pertanggungjawaban. Karena
seharusnya perusahaan ini menjamin bahwa nahkoda mereka tidak akan
melanggar SOP atau peraturan internasional mengenai pelayaran. Tetapi Zhang
Deyi selaku nahkoda dari Fleet Management Limited sudah melakukan
pelanggaran.

4.1.7 PT Pertamina
PT Pertamina mengakui bahwa tumpahan minyak di Teluk Balikpapan
pada tanggal 31 Maret 2018 itu adalah miliknya serta ada kejanggalan pada PT
Pertamina yaitu dalam pemasangan pipa bawah laut, pengawasan dan perawatan
pipa mereka. Dalam melakukan investigasi kecelakaan kapal pipa minyak milik
80

pertamina sudah berusia 20 tahun dan tidak ditanam serta peraturan yang
digunakan untuk menanam pipa bawah laut pun tidak jelas.

4.1.8 Pelabuhan Balikpapan


Pada kejadian kecelakaan kapal MV Ever Judger, Pemandu berusaha
untuk meminta bantuan kepada pelabuhan sebanyak 10 kali akan tetapi tidak
direspon oleh pelabuhan dan pada akhirnya pemandu memerintah kan kapal MV
Ever Judger untuk menjauhkan dulu kapal mereka dari Kawasan tersebut sampai
bantuan datang.

4.2 Pertanggungjawaban Para Pihak dalam Kasus Kapal MV Ever Judger


Pemerintah negara menegakkan hukum dan peraturan standar internasional
yang berlaku dan tindakan lain melalui lembaga internasional atau saluran
diplomatik.
1. Negara bendera atau negara di mana kapal didaftarkan memberlakukan
hukum, peraturan dan standar internasional dalam menangani setiap
pelanggaran yang terjadi
2. Negara bendera mengambil tindakan terhadap kapal bertanda kebangsaan
negaranya menghalangi pelayaran apabila kapal yang bersangkutan tidak
memenuhi seluruh ketentuan yang disyaratkan, termasuk persyaratan desain,
konstruksi, peralatan dan pengawakan.121
3. Negara bendera mengambil tindakan terhadap kapal bertanda kebangsaan
negaranya untuk melengkapi dan membawa di atas kapal seluruh sertifikat
yang disyaratkan sesuai ketentuan dan peraturan internasional. Negara yang
bersangkutan secara berkala melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dan
keabsahan sertifikat-sertifikasi yang dimaksud sebagai dokumen bukti
terhadap negara lain yang melakukan pengawasan. Jika terjadi sebaliknya,
maka timbul adanya alasan kuat secara hukum untuk menyatakan kapal yang
dimaksud tidak memenuhi peraturan yang disyaratkan
4. Negara pelabuhan atau penguasa pelabuhan atau terminal lepas pantai di mana
kapal berkunjung, dibenarkan menjalankan pengawasan di mana kapal
berkunjung, dibenarkan menjalankan pengawasan atau pemeriksaan kapal jika
ada petunjuk bahwa kapal melakukan pembuangan ke dalam perairan

121
Dr.D.A Lasse, S.H., M.M, “Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial Pelabuhan dan
Pemanduan Kapal” (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm 133
81

pelabuhan, laut teritorial, atau di zona ekonomi eksklusif. Selanjutnya


diedarkan informasi kepada Lembaga internasional atau saluran diplomatic
5. Negara pelabuhan atau penguasa pelabuhan atau terminal lepas pantai dalam
mengetahui kapal yang bersangkutan melakukan pelanggaran ketentuan
internasional tentang keadaan kelaiklautan kapal yang dapat mengakibatkan
kerusakan lingkungan laut, maka penguasa pelabuhan dibenarkan mencegah
kapal melanjutkan pelayarannya. Kapal itu hanya boleh meneruskan pelayaran
kalau pemilik telah melakukan perbaikan kondisi kapal yang tidak laik laut.
6. Negara pantai melaporkan kapal yang berkunjung ke pelabuhan atau ke
terminal lepas pantai negaranya apabila diketahui kapal yang bersangkutan
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan standar
internasional tentang pencegahan, pengurangan dan pengawasan pencemaran
yang bersumber dari kapal tersebut di lokasi laut teritorial dan zona ekonomi
eksklusif negara pantai itu.
Langkah penanggulangan sebagai konsekuensi pencemaran atau kerusakan
lingkungan laut, menjadi tanggung jawab negara yang diatur sebagai berikut :
1. Negara-negara yang terkait bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban
internasional mereka atas perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut.
Tanggung jawab mereka sesuai menurut hukum internasional122
2. Negara-negara terkait menjamin tersedianya sumber-sumber daya menurut
sistem hukum mereka untuk memberikan kompensasi atas kerusakan
lingkungan laut di wilayah hukumnya masing-masing baik kerusakan alami
maupun perbuatan pihak tidak bertanggung jawab.
3. Untuk tujuan memberikan kompensasi atas kerusakan lingkungan laut,
diperlukan kerja sama antar negara-negara berdasarkan hukum internasional
yang berlaku.123

4.2.1 Pertanggungjawaban Zhang Deyi Selaku Nakhoda Kapal MV Ever


Judger
Di Dalam kasus kapal MV Ever Judger melalui data VDR
(Voyage Data Recorder) menunjukkan bahwa adanya kesalahan komunikasi
bahwa Nakhoda mengalami kesalahan bicara yang dimana kata yang diucapkan
berbeda dengan yang diinginkan. Hal ini disebabkan juga karena jam kerja

122
Ibid, hlm 134
123
Ibid, hlm 135
82

Nakhoda sudah lebih dari 10 jam dan cukup sering mengganti bahasa yaitu
antara Bahasa Inggris dan Cina. Faktor kelelahan adalah faktor yang mungkin
memicu salah bicara nahkoda. Situasi ini merupakan kesalahan parsial yang
disebut metatesis. Metatesis adalah jenis kesalahan linguistic yang disengaja
dimana satu atau beberapa huruf kata diucapkan salah (Cruttenden, 1936, Hume,
2001 dan Lerer, 2007). Jenis kesalahan ini berlaku untuk setiap kata. Contoh : A
mengucapkan geik untuk kata “cake”. Sebuah penelitian mengungkapkan
bahwa kesalahan pengucapan ini lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita
(Behnam dan Rassekh-Alqol, 2012). Metatesis pada kecelakaan Kapal MV Ever
terjadi pada pengucapan yang mirip dengan dua kata Chinese. Kata “One
Shackle” dalam pengucapan Chinese yaitu “Yi Jie” dan Kata “One Meter”
dalam pengucapan Chinese yaitu “Yi Mie”. Sebelumnya, Nakhoda mengubah
Bahasa Chinese ke Bahasa Inggris (L2) pada saat berbicara dengan pemandu
dari pelabuhan yaitu one meter kemudian Nakhoda menerjemahkan itu ke
Bahasa Chinese (L1) menjadi one shackle. Dalam beberapa penelitian
berpendapat bahwa dengan mengubah dari bahasa satu ke bahasa lain kemudian
diterjemahkan kembali akan menimbulkan kerugian terutama dalam bidang
pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi dalam waktu yang lama. Kata lain
yang disampaikan oleh nakhoda namun bunyi nya terdengar sama. Karena hal
itu terjadilah kejadian kecelakaan laut secara tiba-tiba dan melabuhkan jangkar
tidak sesuai dengan perintah pelabuhan.
Pentingnya komunikasi kadang-kadang tidak menarik perhatian apabila
berlangsung dengan baik, efektif dan semua beres. Akan tetapi, ketika terjadi
miskomunikasi, maka bencana atau malapetaka bisa terjadi segera setelah
kesalahan komunikasi tersebut. Seperti kejadian sekarang yang terjadi pada
Kapal MV Ever Judger karena adanya kesalahan komunikasi dan tidak ada
koreksi dari ABK Kapal lainnya terjadilah kecelakaan kapal yang menyebabkan
pencemaran minyak yang sangat fatal. Di sinilah baru terasa betapa pentingnya
suatu komunikasi. Komunikasi dapat didefinisikan sebagai setiap proses
penyampaian pesan-pesan penting dari seseorang kepada orang lain dalam ruang
dan waktu tertentu. Dalam definisi ini terdapat unsur komunikator, pesan
komunikasi dan dalam suatu kegiatan. Komunikasi berjalan baik apabila pesan
diterima komunikasi sama dengan yang dikirimkan komunikator. Sebaliknya,
83

apabila sebuah pesan tidak diterima dengan sempurna melainkan berbeda atau
bahkan berlawanan pengertian adalah merupakan kesalahan.
Karena adanya faktor kelelahan tersebut yang dialami oleh nakhoda hal ini
sudah menyangkut dalam keselamatan dan kesehatan kapal. Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan semua pelaut untuk menjalani pemeriksaan kesehatan sebagai salah
satu persyaratan untuk bekerja di atas kapal. Pasal 2 peraturan ini mengharuskan
semua pelaut untuk memenuhi standar kesehatan internasional. Kelaikan kerja
pelaut akan menentukan apakah pelaut dapat bekerja di atas kapal atau tidak.
Semua pelaut harus melakukan pemeriksaan kesehatan setelah mengikuti
pelatihan. Hanya pelaut yang telah menyelesaikan pelatihan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pelaut yang dapat
melanjutkan pemeriksaan kesehatan. Seharusnya jika nakhoda sudah mengalami
kelelahan dalam bekerja, nakhoda tersebut harus melakukan medical check up
atau pemeriksaan kesehatan lainnya sesuai dengan aturan pemerintah Indonesia
sehingga kecelakaan ini dapat dihindari. Sebelum para pelaut melakukan
pelayaran dari pelabuhan satu ke pelabuhan lainnya. Para pelaut harus menjalani
training sesuai dengan aturan STCW. Dalam aturan STCW 2010 terdapat
English requirement yang berisikan bahwa semua pelaut yang akan melakukan
kegiatan pelayaran, mereka ditraining harus menggunakan Bahasa Inggris
disetiap perintah untuk kegiatan mereka berlayar bahkan untuk penyelamatan
penumpang dalam keadaan darurat. Dalam hal ini Zhang Deyi selaku nakhoda
tidak laik laut karena dalam memberikan perintah menggunakan bahasa lain
selain Bahasa Inggris sehingga menimbulkan miskomunikasi dengan awak kapal
lainnya.
Kemudian menurut penulis Zhang Deyi selaku nakhoda juga tidak laik
laut karena Zhang Deyi tidak paham navigasi kapal. Seharusnya Zhang Deyi
sudah mengetahui wilayah yang dijadikan untuk memberhentikan kapal
merupakan wilayah berbahaya dan Zhang Deyi harusnya berhati-hati untuk
keselamatan kapal dan lingkungan laut dan juga Zhang Deyi tidak seharusnya
meminta untuk melabuhkan jangkarnya di wilayah tersebut walaupun pemandu
sudah memperbolehkan untuk menurunkan jangkar hanya 1 meter dipermukaan
laut karena hal itu sangat berbahaya. Karena ketidak hati-hatian Zhang Deyi
selaku nakhoda kapal MV Ever Judger menimbulkan kecelakaan laut yang
84

menyebabkan pencemaran minyak di lingkungan laut serta korban jiwa dan


awak kapal pun mengalami luka.

4.2.2 Pertanggungjawaban ABK Kapal MV Ever Judger


Karena adanya kesalahan dari Zhang Deyi selaku Nakhoda Kapal MV
Ever Judger yang memberikan perintah yang salah yaitu memerintahkan untuk
menurunkan jangkar 1 segel. Yang ukuran 1 segelnya yaitu 27,5 meter kepada
ABK Kapal yang seharusnya 1 meter saja diatas permukaan laut. Lu Wenshan
adalah Chief Officer 1 dari Kapal Mv Ever Judger yang diperintahkan oleh
Zhang Deyi selaku Nakhoda kapal untuk menurunkan jangkar. Kesalahan Lu
Wenshan juga sama dengan Zhang Deyi yaitu menggunakan bahasa Chinese
sebagai komunikasi di dalam kapal yang semestinya di dalam peraturan IMO
semua awak kapal harus menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa
internasional untuk melakukan kegiatan pelayaran internasional. Dari perintah
Zhang Deyi ke Lu Wenshan kemudian dilanjutkan kepada Liang Xu selaku
Bosun untuk menurunkan jangkar sesuai dengan perintah nakhoda kapal karena
perintah Liang Xu menurunkan jangkarnya sesuai yang diperintahkan yaitu
sepanjang 27,5 meter. Setelah melabuhkan jangkar, Zhang Deyi dan Lu wenshan
sadar bahwa mereka telah melanggar aturan dari IMO karena tidak
menggunakan bahasa inggris dalam memberikan arahan di kapal dan tidak
diperbaiki kesalahan tersebut. Akibat dari kelalaian tersebut jangkar kapal
tersangkut di pipa bawah laut dan menyebabkan pencemaran lingkungan. Dalam
hal ini semua awak kapal dapat dikenakan pasal 324 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yaitu “Setiap Awak Kapal yang
tidak melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 227 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta)”. Pasal 227
menjelaskan bahwa “Setiap Awak Kapal wajib mencegah dan menanggulangi
terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal”
85

4.2.3 Pertanggungjawaban Fleet Management Limited dan Ever Judger


Holding
Dalam kasus ini memang Fleet Management Limited dan Ever Judger
Holding tidak terlibat secara langsung namun karena nakhoda dan awak kapal
merupakan tanggung jawab dari Fleet Management Limited dan Kapal yang
dijadikan alat untuk berlayar adalah milik Ever Judger Holding. Kedua
perusahaan tersebut juga turut bertanggung jawab untuk penanggulangan
pencemaran lingkungan laut di wilayah Teluk Balikpapan dan kerugian yang
dialami oleh Pertamina karena pipa bawah laut milik PT Pertamina patah dan
rusak akibat jangkar dari Kapal MV Ever Judger serta masyarakat lokal
Balikpapan yang turut menjadi korban jiwa akibat kebakaran tumpahan minyak
di Teluk Balikpapan dan hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan
karena lingkungan laut mereka rusak akibat tumpahan minyak.
ISM code menggunakan terminologi company untuk menyebutkan
perusahaan pelayaran atau operator kapal yang dapat berkedudukan sebagai
pemilik kapal, penyewa kapal (charterer), perusahaan lain yang bertindak
sebagai agen atau perwakilan, kantor pusat maupun kantor cabang, orang pribadi
seperti kepala cabang atau general manager yang semuanya dipersatukan di
dalam satu sistem manajemen sesuai menurut organisasinya. Selanjutnya badan
dan unit pelaksana masing-masing menjalankan tugas, berkewenangan dan
mengambil alih tanggung jawab untuk mengoperasikan kapal sebagaimana
diatur dan ditetapkan dalam code ini. ISM code ini identic dengan sistem
manajemen perusahaan pelayaran karena kenyataan bahwa dari seluruh
strukturnya yang terdiri dari 16 clauses lebih dari setengahnya mengatur tugas,
wewenang dan tanggung jawab company. Sehingga layaklah kiranya untuk
mengatakan bahwa tujuan ISM code tercapai dengan meningkatkan kualitas
manajemen perusahaan pelayaran.124 Adanya ketidakjelasan hubungan darat
dengan kapal atau kesenjangan antara manajemen di kantor pusat atau kantor
cabang dengan manajemen operasional di atas kapal. Hasil dari analisis atas
kecelakaan menjadi bukti kesenjangan itu. tapi ISM code hanya sedikit
menyinggung aspek manajemen operasional ini. Kedua sistem manajemen
berkorelasi satu terhadap yang lain, yakni antara manajemen operasional dengan
manajemen strategis dalam arti manajemen operasional terikat terhadap
124
Dr.D.A Lasse, S.H., M.M, “Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial Pelabuhan dan
Pemanduan Kapal” (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm 118
86

manajemen strategis. Maritime safety committee memilih mengatur aspek yang


strategis ketimbang hal-hal bersifat teknis dan eksakta. Manajemen operasi kapal
bertitik berat pada aktivitas menjalankan kapal dengan aman dan selamat
melalui kerjasama seluruh anak buah dan perwira kapal di bawah kepemimpinan
nakhoda. Tidak kalah penting dengan manajemen strategis yang diperankan oleh
pemilik kapal, kantor pusat atau cabang atau perwakilan bahkan secara totalitas
oleh stakeholder.125
Tugas, wewenang dan tanggung jawab perusahaan pelayaran yang diatur
dalam ISM code mempunyai cakupan luas, di antaranya126 :
1. Kebijakan keselamatan dan perlindungan lingkungan
a. Perusahaan harus membuat suatu kebijakan keselamatan dan
perlindungan lingkungan
b. Perusahaan harus menjamin bahwa kebijakan tersebut
diimplementasikan dan dijalankan di seluruh jajaran organisasi, baik di
kapal maupun di darat.
2. Wewenang dan Tanggung Jawab Perusahaan yaitu127 :
a. Apabila perusahaan yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan
kapal bukan miliknya, maka pemilik harus melaporkan nama lengkap
dan data rinci mengenai perusahaan tersebut kepada pemerintah.
b. Perusahaan menetapkan dan mendokumentasikan wewenang tanggung
jawab, dan hubungan kerja antar seluruh personel yang mengatur,
melaksanakan dan memeriksa pekerjaan yang berhubungan serta dapat
mempengaruhi keselamatan dan perlindungan lingkungan.
c. Perusahaan bertanggung jawab atas penyediaan sarana dan dukungan
yang cukup dari manajemen darat untuk memungkinkan para pelaksana
menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
Fleet Management Limited dan Ever Judger Holding menurut penulis
mereka bertanggungjawab sesuai dengan pasal 1367 KUHPerdata untuk
bertanggungjawab atas kesalahan dan kelalaian nakhoda dan awak kapal yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam
pengawasannya.
125
Ibid
126
Ibid, hlm 119

127
Ibid, hlm 120
87

4.2.4 Pertanggungjawaban Pemandu Pelabuhan


Ada kesalahan dalam pemanduan Kapal MV Ever Judger. Seharusnya
seorang pandu kapal mengetahui semua wilayah laut sekitar yang dijadikan
tempat untuk kapal berlayar. Ada wilayah yang berbahaya dan ada yang aman
untuk kapal berlayar. Dalam kasus ini, pandu kapal mengetahui bahwa wilayah
yang dilewati oleh Kapal MV Ever Judger sangat berbahaya. Wilayah yang
dilewati adalah wilayah pipa minyak milik pertamina. Kapal MV Ever Judger
pun berhenti di wilayah tersebut dengan alasan air laut surut dengan arus yang
deras. Dalam Pasal 27 ayat a & b Peraturan Menteri Perhubungan Republik
Indonesia Nomor PM 57 Tahun 2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal
berisikan pandu dalam melaksanakan tugas pemanduan mempunyai kewajiban
yaitu:
1. Membantu Nakhoda atau pemimpin kapal untuk mengambil tindakan yang
tepat dalam menjamin keselamatan dan keamanan berlayar;
2. Memberi semua petunjuk yang diperlukan kepada Nakhoda untuk berlayar
dengan selamat dan untuk ketertiban lalu lintas kapal;.
Pada kasus ini pandu kapal sudah melanggar pasal tersebut karena pandu
kapal mengizinkan nakhoda kapal untuk melabuhkan jangkarnya di wilayah
yang berbahaya. Seharusnya seorang pandu kapal tidak boleh mengizinkan kapal
untuk melabuhkan jangkarnya di wilayah yang berbahaya walaupun hanya satu
meter dari permukaan laut. Dalam dunia pelayaran, itu sangat dilarang. Seorang
nakhoda dan pandu kapal seharusnya sudah mengetahui wilayah yang berbahaya
untuk keselamatan kapal karena semua itu ada di sektor navigasi pelayaran.
Seorang nakhoda dan pandu memiliki peta wilayah dan peta wilayah tersebut
digunakan untuk keselamatan dan keamanan berlayar. Kegiatan pemanduan
kapal bersifat universal namun dengan bahasa komunikasi yang beraneka
macam, IMO melalui Maritime Safety Committee pada tahun 1997 melangkah
dengan inisiatif menyusun ungkapan-ungkapan standard guna mengurangi
ketidakpastian dalam berkomunikasi. Ungkapan-ungkapan penting itu tersusun
dalam Standard Marine Communication Phrases (SMCPs) telah digunakan sejak
tahun 1999. Bagi seorang petugas pandu, mempraktikkan SMCPs adalah cara
terbaik dan efisien. SMCPs untuk pemanduan antara lain meliputiL=:
88

1. External communication, dialog antara kapal dengan pilot station misalnya


pilot request, embarking/disembarking pilot, tug assistance, vessel traffic
information system
2. On-board communication phrases misalnya komando untuk kapal tunda,
perintah-perintah kemudi dan perintah-perintah mesin.
Pemanduan adalah salah satu bagian dari navigasi, maka sesuai dengan
kenyataan itu pemanduan adalah suatu seni dan ilmu. Dalam menjalankan
tugasnya, seorang pandu mengambil serangkaian keputusan-keputusan bahkan
mungkin sepanjang alur pelayaran yang ditempuhnya aktivitas pandu adalah
mengadakan pilihan-pilihan terbaik untuk keselamatan kapal. Pandu tidak punya
banyak waktu untuk menjatuhkan pilihan sebagai keputusannya pada setiap
keadaan dan situasi. Pandu sering disebut sebagai quick decision maker. Selain
melakukan perhitungan secara eksakta, tidak jarang juga pandu yang kaya akan
pengalaman membuat judgement.
Faktor-faktor pertimbangan adalah128 :
1. Jarak
Pandu yang banyak pengalaman di lingkungan perairan lokalnya tidak susah
mengukur jarak perjalanannya, jarak dari satu rambu ke rambu berikutnya,
jarak dari kapal ke daratan atau objek lain di darat. Berbeda dengan orang
lain yang mesti menggunakan instrumen atau melakukan baringan, pandu
berpengalaman sudah menyimpan di dalam memori dan mahir mengatasi
semua jenis kesulitan, hambatan dan keterbatasan penglihatan. Dengan
mengetahui jarak kapal ke arah suatu objek secara akurat, pandu dapat
mengatur kecepatan kapal, kapal mesin diberhentikan (stop), maju (ahead),
mundur (astern), kapan jangkar dilego, begitu juga manuver kapal-kapal
tunda.
2. Haluan
Menempuh terusan sempit atau mendekati dermaga dengan space yang
sangat terbatas, posisi haluan harus diperhatikan secara tajam, tepat serta
akurat. Pandu berpengalaman biasanya memakai salah satu bagian dari

128
Dr.D.A Lasse, S.H., M.M, “Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial Pelabuhan dan
Pemanduan Kapal” (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm 53
89

struktur kapal sebagai patokan untuk mengetahui berapa derajat haluan


berada di luar garis paralel terhadap sumbu kapal.
3. Arah Pergerakan
Mengarahkan kapal berhadapan dengan arah angin / atau arus tidak sesukar
apabila angin/arus mendorong dari arah lambung. Pada situasi dimana ada
kekuatan yang mendorong lambung kapal, besar pengaruhnya terhadap arah,
baringan dibandingkan dengan angin/arus sejajar dengan lunas kapal.
Akurasi penentuan posisi kapal tidak begitu sempurna apabila terserang
pengaruh alam dari arah lambung. Mengatasi keadaan ini, pandu
berpengalaman mampu mengukur efek tersebut, kemudian bergerak dengan
membuat sudut tertentu ke arah datangnya kekuatan. Untuk mempertahankan
arah yang sudah ditentukan, pengemudi kapal memanfaatkan dua objek tetap
di kapal sebagai patokan.
4. Tepian
Mengontrol kecepatan kapal merupakan tugas tidak kalah penting ketika
berlayar menyusuri sungai. Menuju ke hulu sungai yang airnya deras, kapal
cenderung bergerak menepi dengan tetap memperhatikan keel clearance.
Sangat disarankan bagi pandu untuk membuat pra-rencana ketika masuk
sungai, jaga kecepatan, memperhatikan rambu-rambu yang tersedia,
membuat perkiraan waktu tiba di tujuan, dan jika perlu tentukan titik-titik
kritis sepanjang alur untuk memberikan perhatian khusus. Setiap keputusan
yang diambil hendaknya bukanlah teka-teki melainkan betul-betul
judgement berbasis pada pengenalan lingkungan unik di lokasi setempat
secara akurat.
Untuk membuat judgement yang efisien, dapat disarankan langkah sebagai
berikut :
a. Sebelum membuat judgement kenalilah kapal, lingkungan sekitar, apa
yang akan dilakukan, kapan dilakukan, apakah pilihan terbaik, dan apa
konsekuensi dari pilihan itu
b. Judgement hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki
pengalaman dan daya intuisi yang baik, yaitu kombinasi harmonis antara
pengetahuan teoritis dengan praktik disertai analisis terhadap keputusan-
keputusan yang pernah dilaksanakan
90

c. Mengelola kapal bukanlah suatu ilmu eksakta dan juga bukan seni yang
misterius
d. Kecepatan melaju kapal yang berlebihan adalah musuh ketika tidak
diperlukan, namun kekuatan cadangan bisa menjadi teman akrab dalam
situasi tertentu
e. Jangkar yang tersedia di kapal gunakan dalam situasi emergency
Dimensi Pemanduan
Dimensi pemanduan yakni arah, jarak, waktu, kecepatan, posisi, serta
perubahan pasang surut yaitu129 :
1. Arah
Arah dalam pengertian navigasi adalah ukuran berapa derajat sudut yang
terbentuk di antara garis haluan kapal terhadap mata angin utara yang disebut
Utara sejati, atau terhadap garis haluan Utara pedoman. Besarnya sudut-
sudut dimaksud masing-masing adalah Bs, Bm, dan Bp. Sistem pengukuran
sudut-sudut tersebut adalah 00 (utara), searah jarum jam dan 900 (timur) , 180o
(selatan), 2700 (barat), dan penuh satu lingkaran 360o kembali lagi ke utara.
Penulisan derajat haluan lazimnya dinyatakan dalam tiga digit seperti 5
derajat ditulis 0050, 30 derajat ditulis 0300 , dan 150 derajat ditulis 1500 .
Sedangkan untuk kepentingan komputerisasi penulisannya dilakukan dengan
menyatakan arah kuadran seperti 0300T, 160o ditulis S20oT, 2200 ditulis
S40o, 345o ditulis U15oB.

Gambar 1 Arah
Sumber: Operasi Pemanduan (2014)
2. Jarak
Jarak antara dua titik adalah ruang yang membatasi kedua titik tersebut tanpa
dipengaruhi oleh arah dari satu titik terhadap yang lain. Ukuran jarak antara

129
Ibid, hlm 55
91

dua titik itu adalah panjang garis terpendek yang menghubungkan keduanya,
dinyatakan dalam satuan mil laut (nautical mile)
3. Kecepatan
Ukuran kecepatan kapal bergerak melayari suatu perairan wajib pandu atau
perairan pandu luar biasa merupakan dimensi penting pelayaran pemanduan.
Kecepatan (speed) dapat didefinisikan sebagai jarak yang dapat ditempuh per
satuan waktu, misalnya mil per jam (miles per hour). Dengan mengetahui
kecepatan kapal per jam maka lamanya waktu untuk menempuh jarak
tertentu dapat diketahui. Contoh : diketahui panjang perjalanan 24 mil dan
kecepatan kapal 12 mil/jam, maka waktu pelayanan dapat diketahui, yaitu
24:12 = 2 jam. Kecepatan berlayar kapal lebih sering dinyatakan dalam
satuan knot yaitu kata lain dari mil laut per jam (nautical mile per hour).
4. Waktu
Ukuran waktu yang digunakan dalam navigasi didasarkan pada pengertian 1
hari adalah sama dengan 24 jam, di mana 1 jam adalah 60 menit dan 1 menit
adalah 60 detik. Dicontohkan antara lain 01 am dibaca pukul 1 pagi, 08 am
dibaca pukul 8 pagi, 01 pm dibaca pukul 1 siang, 10 pm dibaca pukul 10
malam. Cara lain yang telah digunakan secara luas adalah dengan
menuliskan waktu dalam 4 digit tanpa menulis am dan pm, seperti antara lain
01.00 dibaca pukul 1 pagi, 10.00 dibaca pukul 10 pagi, 13.00 dibaca pukul 1
siang, 18.32 dibaca pukul 6 dan 32 menit sore, 20.00 dibaca pukul 8 malam,
24.00 dibaca pukul 12 tengah malam.
5. Posisi geografis
Untuk dapat mengukur jarak dari satu titik ke titik lainnya dalam satuan kaki,
kilometer atau mil laut. Maka kedudukan geografis titik-titik tersebut harus
ditentukan di atas peta. Koordinat geografis menunjukkan jarak pada garis
haluan kapal terhadap objek di daratan atau terhadap rambu navigasi yang
berada di darat atau di laut.
Dengan mengetahui posisi geografis, maka jarak tempuh kapal ke arah
tempat tujuan dapat diukur. Selanjutnya dengan mengetahui jarak ke tempat
tujuan dan kecepatan kapal dalam satuan knot, maka waktu pelayanan dapat
dihitung dengan rumus :

Jarak : Kecepatan x Waktu


92

Sarana Bantu Navigasi Pelayaran.

Sarana Bantu Navigasi Pelayaran adalah konstruksi atau instalasi di luar kapal
yang berfungsi untuk memberikan panduan bagi kapal-kapal sehingga dalam
pelayarannya kapal selamat dan aman, terhindar dari marabahaya ataupun
rintangan alam. Sarana bantu navigasi pelayaran atau SBNP yang terletak pada
alur pelayaran perairan wajib pandu Balikpapan terdiri dari beberapa jenis buoy
dan menara suar yang dikelola oleh pihak Distrik Navigasi Kelas I Samarinda.
Sebagian besar buoy merupakan milik PT. Pertamina. Namun pada prakteknya
pihak Pertamina tetap harus melakukan koordinasi dengan pihak Distrik
Navigasi Kelas I Samarinda sebagai regulator dalam sistem kenavigasian di
perairan tersebut. Berikut merupakan kondisi eksisting dan lokasi koordinat
SBNP di perairan wajib pandu Balikpapan.

Tabel 4.1 SBNP DJPL di Perairan Wajib Pandu Balikpapan

Sumber: Penulis (2020)


93

Tabel 4.2 SBNP DJPL di Perairan Wajib Pandu Balikpapan.

Sumber : Penulis (2020)

Terdapat peraturan baru mengenai prosedur mendekati fasilitas dan atau


melintas pipa penyalur bawah laut migas terdapat pada Pasal 18 dan Pasal 19
Keputusan Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas I
Balikpapan Nomor : UM.002/16/18/KSOP.BPN-2020 tentang Petunjuk Teknis
Tata Cara Pemanduan dan Keselamatan Kapal Melintasi Fasilitas Migas Di
Perairan Wajib Pandu Di Pelabuhan Balikpapan yaitu Pasal 18 menjelaskan
bahwa bagi kapal yang mendekati fasilitas dan atau melintasi pipa penyalur
bawah laut migas milik SKK. Migas dan PT. Pertamina memasuki dan atau
keluar perairan wajib pandu di perairan Pelabuhan Balikpapan diwajibkan
menyampaikan informasi data-data melalui radio komunikasi kapal pada
frekuensi Vhf channel 12 tentang nama kapal, bendera, ukuran dan ditunjukan
pada stasiun radio pandu dan dimonitor oleh stasiun radio pantai Local Port
Service (LPS) dan Pasal 19 menjelaskan bahwa bagi kapal yang akan mendekati
fasilitas dan atau melintasi pipa penyalur bawah laut migas milik SKK dan PT.
Pertamina agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut
1. Koordinasi daerah terlarang dan terbatas dengan stasiun radio pantai (SROP)
/ VTS dan Menara Pemanduan atau stasiun radio pandu.
2. Kapal-kapal dilarang berlabuh jangkar dan / atau berhenti di daerah terbatas
(restricted area)
Terdapat SOP tentang pelayaran pemanduan terkait pertukaran informasi
(exchange of information) sebagaimana diatur dalam Resolusi IMO A 960. Isi
dari IMO A 960 yaitu:
6.1 Pilots should be familiar with the IMO Standard Marine Communication
Phrases and use them in appropriate situations during radiocommunications as
94

well as during verbal exchanges on the bridge. This will enable the master and
officer in charge of the navigational watch to better understand the
communications and their intent.
6.2 Communications on board between the pilot and bridge watchkeeping
personnel should be conducted in the English language or in a language other
than English that is common to all those involved in the operation.
6.3 When a pilot is communicating to parties external to the ship, such as vessel
traffic services, tugs or linesmen and the pilot is unable to communicate in the
English language or a language that can be understood on the bridge, the pilot
should, as soon as practicable, explain what was said to enable the bridge
personnel to monitor any subsequent actions taken by those external parties.
Terjemahkan bebas oleh penulis yaitu:
Bahasa komunikasi
6.1 Pilot harus terbiasa dengan Frasa Komunikasi Laut Standar IMO dan
menggunakannya dalam situasi yang sesuai selama komunikasi radio serta
selama pertukaran verbal di jembatan. Ini akan memungkinkan master dan
petugas yang bertanggung jawab atas arloji navigasi untuk lebih memahami
komunikasi dan maksud mereka.
6.2 Komunikasi di kapal antara pilot dan personel penjaga jembatan harus
dilakukan dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa selain bahasa Inggris yang
umum bagi semua yang terlibat dalam operasi.
6.3 Ketika seorang pilot berkomunikasi dengan pihak-pihak di luar kapal seperti
layanan lalu lintas kapal, kapal tunda atau hakim garis dan pilot tidak dapat
berkomunikasi dalam bahasa Inggris atau bahasa yang dapat dipahami di
jembatan, pilot harus sesegera mungkin. jelaskan apa yang dikatakan untuk
memungkinkan personel jembatan memantau setiap tindakan selanjutnya yang
diambil oleh pihak eksternal tersebut.

4.2.5 Pertanggungjawaban Vessel Traffic Station Balikpapan


VTS Pelabuhan Balikpapan tidak mengikuti aturan dari Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian pada
pasal 54 ayat 3. Pasal tersebut berisikan yaitu Vessel Traffic Service (VTS)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi untuk:
1. memonitor lalu lintas pelayaran dan alur lalu lintas pelayaran;
95

2. meningkatkan keamanan lalu lintas pelayaran;


3. meningkatkan efisiensi bernavigasi;
4. perlindungan lingkungan;
5. pengamatan, pendeteksian, dan penjejakan kapal di wilayah cakupan VTS;
6. pengaturan informasi umum;
7. pengaturan informasi khusus; dan
8. membantu kapal-kapal yang memerlukan bantuan khusus.
VTS yang seharusnya dapat memonitoring kapal MV Ever Judger. Vessel
Traffic Service adalah instalasi berbasis radar (radar-based) yang bekerja
multiguna dalam arti mampu merepresentasikan berbagai sistem instrumen
kenavigasian, diantaranya communication system, radar surveillance system,
port management informasi system, GMDSS, meteorological/hydrographical
system.130 Menurut Pasal 1 ayat 8  Peraturan Kemenhub No. 26/2011 tentang
Telekomunikasi Pelayaran, yaitu Vessel Traffic Services (VTS) adalah pelayanan
lalu lintas kapal di wilayah yang ditetapkan yang saling terintegrasi dan
dilaksanakan oleh pihak yang berwenang (Menteri Perhubungan) serta dirancang
untuk meningkatkan keselamatan kapal, efisiensi bernavigasi dan menjaga
lingkungan, yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan menanggapi
situasi perkembangan lalu lintas kapal di wilayah VTS dengan menggunakan
sarana perangkat radio dan elektronika pelayaran.
Fungsi-fungsi utama Vessel Traffic Service (VTS), meliputi:
1. Meningkatkan keselamatan navigasi dan menghindari risiko terjadinya
kecelakaan lalu lintas sekitar area perairan pelabuhan.
2. Mendukung upaya penegakan peraturan ke pelabuhan
3. Mengendalikan arus lalu lintas (keluar-masuk-labuh) agar teratur dan efisien
4. Memberikan peringatan kepada kapal berkunjung untuk menghindari
kecelakaan seperti tubrukan, kandas atau kerusakan struktur di bawah air
5. Memonitor posisi sarana bantu navigasi pelayaran seperti buoy
6. Mengawasi pelanggaran peraturan perundang-undangan antara lain
pencemaran laut, pencurian ikan, ancaman keamanan dan kegiatan lepas
pantai illegal
130
Dr.D.A Lasse, S.H., M.M, “Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial Pelabuhan dan
Pemanduan Kapal” (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm 165
96

7. Pemantauan meteorologi/hidrografi
Sistem VTS dilengkapi dengan radar yang mampu mendeteksi posisi serta
gerakan kapal hingga 20-35 mil. Manfaatnya sangat terasa pada saat jarak
pandang (visibility) terbatas misalnya cuaca kabut atau ketika kapal melayari
sungai banyak tikungan. Begitu juga di perairan yang tidak dilengkapi dengan
rambu-rambu navigasi secukupnya, sistem ini membantu untuk berlayar dengan
aman. VTS dapat juga difungsikan sebagai alat kontrol terhadap kapal yang
melakukan pelanggaran, misalnya melakukan kegiatan bongkar muat ship to ship
(STS) transfer yang tidak dilindungi dokumen resmi atau mengawasi pelanggaran
konvensi MARPOL. SOLAS Chapter V Regulasi 12 perihal VTS, mengatakan
pada butir 1 bahwa VTS meningkatkan keselamatan jiwa di laut, keselamatan
dan efisiensi bernavigasi, melindungi perairan yang berdekatan dengan daratan
maupun kegiatan pekerjaan serta pemasangan instalasi di lepas pantai terbebas
dampak merugikan dari lalu lintas kapal131 ;

“Vessel Traffic (VTS) contribute to safety of life at sea, safety and efficiency of
navigation and protection of the marine environment, adjacent shore areas, work
sites and offshore installations from possible adverse effects of maritime
traffic”.132

Vessel Traffic Service (VTS) terdiri atas:


1. Vessel Traffic Service Centre;
2. Vessel Traffic Service Sub Centre;
3. Vessel Traffic Service Sensor Station.
Stasiun Vessel Traffic Services (VTS) menyediakan pelayanan antara lain:
1. Pelayanan informasi (Information Service/INS) yaitu layanan yang
menyediakan informasi penting yang berguna bagi pembuatan keputusan
bernavigasi di atas kapal dan diberikan tepat pada waktu yang diperlukan dan
merupakan layanan mendasar yang harus disediakan oleh setiap stasiun
Vessel Traffic Services (VTS);
2. Pelayanan bantuan navigasi (Navigational Assistance Services/NAS) yaitu
layanan untuk membantu pembuatan keputusan (membantu kapal dalam

131
Ibid, hlm 166
132
IMO, 2009, Op Cit, p. 251
97

bernavigasi/berolah gerak di dalam cakupan wilayah VTS di atas kapal dan


memonitor dampak dari olah gerak kapal tersebut);
3. Pelayanan pengelolaan lalu lintas (Traffic Organization Services/TOS) yaitu
layanan yang diberikan untuk mengatur pergerakan lalu lintas kapal di dalam
wilayah cakupan Vessel Traffic Services (VTS) agar menjadi aman, efisien
dan tidak membahayakan lingkungan serta mencegah terjadinya situasi lalu
lintas pelayaran yang berbahaya dan memberikan pergerakan lalu lintas kapal
di dalam wilayah cakupan Vessel Traffic Services (VTS) secara aman, efisien
dan tidak membahayakan lingkungan.
Dalam menunjang keselamatan kapal terdapat sarana teknologi komunikasi
terbaru di dalam pelayaran yang membantu kerja VTS lebih maksimal Teknologi
terbaru sistem komunikasi kapal di laut tersebut dinamakan Automatic
Identification System (AIS). Sistem ini menolong kapal untuk mengatasi kesulitan
dalam komunikasi, dalam hal tukar-menukar ID, posisi, kecepatan dan data vital
lainnya dengan kapal terdekat atau stasiun pelabuhan melalui sistem transponder
standar. Pertukaran data oleh AIS terjadi secara otomatis dan sampai dengan jelas
ke tujuan. AIS akan membantu dengan jangkauan yang luas dalam menjamin
keselamatan pelayaran. Konsep dari AIS ini ditemukan oleh seorang Swedis
bernama Hakan Lans yang ditemukan pertengahan tahun 1980 dengan teknik
jeniusnya yang spontan, diumumkan sebagai alat komunikasi yang menggunakan
transmitter dalam jumlah banyak untuk mengirimkan data dengan cepat melebihi
channel radio melalui sinkronisasi data transmisi sesuai waktu standar yang telah
ditentukan. AIS dirancang dalam operasi meliputi133 yaitu :
1. Informasi dari kapal ke kapal untuk menghindari tabrakan
2. Informasi tentang kapal dan muatan ketika memasuki daerah pantai
3. Alat pengatur lalu lintas yang diintegrasikan dengan Vessel Traffic System
(VTS)
AIS mempunyai peranan yang paling penting, dalam tukar-menukar
laporan data kapal. Pada proses ini kapal mentransfer data perlengkapan AIS
kapal lain menggunakan gelombang VHF. Keunikannya, proses ini berlangsung

133
Aulia Windyandari, “Tantangan Sistem Komunikasi Laut Indonesia Sebagai Faktor Pendukung
Keselamatan Pelayaran” Vol. 32 No.1, hlm 58
98

independen antar kapal tanpa menggunakan stasiun transmisi. Adapun informasi


yang disampaikan oleh AIS ini adalah134 :
1. Data statistik : nomor IMO, type kapal, panjang kapal, lokasi dari posisi
antena di kapal
2. Data dynamics : posisi kapal sesuai indikasi yang akurat, waktu pada UTC,
speed overground, status navigasi, laju gerakan kapal
3. Data pelayaran yang terkait : tinggi sarat kapal, type cargo hazard, ETA
Berdasarkan ketentuan IMO, 74 (69) dan Annex 3 ( chapter 6)
mensyaratkan untuk kapal dengan sistem AIS harus berfungsi135 :
1. Sebagai pemberi informasi otomatis identitas kapal, posisi, kecepatan, status
navigasi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran.
2. Menerima informasi secara otomatis dari sesama kapal
3. Monitoring kapal
4. Pertukaran data sesuai aktivitas pelabuhan
Dengan adanya peraturan yang ditetapkan dalam IMO, seperti contohnya
penerapan AIS diatas diharapkan perkembangan sistem komunikasi untuk papal
semakin pesat seiring dengan berkembangnya teknologi sehingga dapat
mengurangi angka kecelakaan di laut. Seharusnya VTS dengan teknologi terbaru
baru nya yaitu AIS dapat memonitoring kapal MV Ever Judger dengan baik
sehingga tidak terjadi kecelakaan laut.

4.2.6 Pertanggungjawaban PT Pertamina


Submarine pipeline disingkat SPL adalah fasilitas pipa penyalur di bawah
laut yang biasanya mengalirkan minyak mentah ke kilang pengolahan minyak
mentah. Pada 31 Maret 2018, Telah terjadi kerusakan fasilitas SPL 20 inch di
Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Kerusakan dari fasilitas SPL yang
menghubungkan Penajam dengan Balikpapan tersebut disebabkan karena pipa
terbentur dan tertarik jangkar kapal. Kerusakan tersebut menyebabkan kebocoran
minyak sekitar 40.000 barel di perairan Teluk Balikpapan. Kerusakan pipa
tersebut juga mengakibatkan proses pemindahan minyak mentah dari Centralized
Crude Terminal Lawe-Lawe ke Kilang Pertamina RU V terganggu. Diperlukan
analisis yang relevan untuk mensimulasikan skenario kerusakan yang bertujuan
untuk mengidentifikasi tingkat kerusakan pipa dan menentukan panjang pipa
134
Ibid, hlm 58
135
Ibid, hlm 59
99

yang akan diganti serta untuk mensimulasikan berbagai pekerjaan perbaikan,


dimulai dari pemulihan pipa yang rusak, pemasangan bagian baru, above water
tie-in dan abandonment untuk memastikan pemulihan fungsi fasilitas SPL. Oleh
karena itu, pekerjaan perbaikan pipa SPL 20 inch Penajam – Balikpapan
Pertamina RU V Balikpapan akan dilakukan untuk merealisasikan pemulihan
fungsi fasilitas tersebut. Mengganti pipa, melakukan optimalisasi jalur pipa dan
memastikan proteksi pipa untuk mencegah terulangnya kerusakan akibat jangkar
kapal merupakan hal yang akan dilakukan pada pekerjaan tersebut136.

Gambar 2 Kerusakan Pipa


Sumber: Farid M Mallarangan (2019)

Pipa terbentur dan tertarik jangkar kapal Fasilitas SPL 20 inch Penajam –
Balikpapan terletak di Teluk Balikpapan yang merupakan jalur perlintasan kapal.
Teluk Balikpapan adalah jalur pelayaran kapal yang cukup sibuk karena terdapat
beberapa pelabuhan di sekitar teluk seperti pelabuhan Semayang, Kampung Baru,
Kariangau dan Penajam. Selain itu, di area Teluk Balikpapan juga terdapat
pelabuhan milik Swasta seperti Chevron, Petrosea Offshore Supply Base (POSB)
dan Pertamina. Nama yang terakhir disebut telah mengalami kecelakaan berupa
kebocoran pipa bawah laut sehingga minyak tumpah mengairi Teluk Balikpapan.
Kerusakan dari fasilitas SPL tersebut disebabkan karena pipa terbentur dan
terseret jangkar kapal. Berdasarkan keterangan resmi Komite Nasional

136
Farid M Mallarangan, “Design Pipa Bawah Laut 20 Inch Penajam – Balikpapan”, hlm 22
100

Keselamatan Transportasi atau KNKT, pangkal masalah bermula dari


kesalahpahaman antara nakhoda dan pemandu kapal, pemandu kapal
berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Sedangkan sesama awak kapal MV Ever
Judger menggunakan bahasa Tiongkok. Ketika nakhoda diarahkan menurunkan
jangkar sedalam 1 meter, awak kapal justru menurunkan sekitar 27.432 meter.
Kesalahan komunikasi berujung fatal, jangkar turun melebihi ketentuan sehingga
membentur dan menyeret fasilitas SPL milik pertamina137.
Menurut Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
300.K/38/M.PE/1997 pasal 13 ayat 3, pipa penyalur yang digelar di laut wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:138 :
1. Dalam hal kedalaman dasar laut kurang dari 13 meter maka pipa harus
ditanam sekurang-kurangnya 2 meter di bawah dasar laut (sea bed), serta
dilengkapi dengan sistem pemberat agar pipa tidak bergeser atau berpindah,
atau disanggah dengan pipa pancang.
2. Dalam hal kedalaman dasar laut 13 m atau lebih maka pipa dapat diletakkan
di dasar laut, serta dilengkapi dengan sistem pemberat agar pipa tidak
bergeser atau berpindah.
Namun pada tahun 2016 telah dibuat Peraturan Menteri Perhubungan no.
PM 129 tahun 2016 tentang alur pelayaran di laut dan bangunan dan/atau instalasi
perairan. Pada pasal 64 ayat 2 mengenai instalasi pipa bawah laut disebutkan
sebagai berikut:
1. Dari garis pantai menuju arah lepas pantai sampai dengan kedalaman perairan
kurang dari 20 (dua puluh) meter, instalasi pipa harus dipendam 2 (dua) meter
di bawah permukaan dasar perairan (natural seabed).
2. Pada perairan mulai dari kedalaman 20 (dua puluh) meter atau lebih, instalasi
pipa dapat di gelar di atas permukaan dasar perairan (natural seabed) dan
harus diusahakan tetap stabil pada posisinya.
3. Pemendaman harus duduk stabil pada posisinya
Fasilitas SPL 20 inch Penajam – Balikpapan dibuat pada tahun 1998
sebelum Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 129 tahun 2016 tentang alur
pelayaran di laut dan bangunan dan/atau instalasi perairan dikeluarkan, oleh
karena itu kondisi fasilitas SPL tersebut tidak terkubur karena standar yang

137
Ibid, hlm 18
138
Ibid, hlm 19
101

diterapkan dalam pembuatan fasilitas tersebut mengacu pada Keputusan Menteri


Pertambangan dan Energi Nomor 300.K/38/M.PE/1997 pasal 13 ayat 3. Lokasi
putusnya pipa berada pada kedalaman 27 meter dan berdasarkan Keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi di atas, pipa tidak harus ditanam dan dapat
diletakkan di atas permukaan dasar laut. Terkait kelayakan pengoperasian
fasilitas SPL menurut Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan Nomor :
412/PP/SKPP/18.03/DJM.T/2016 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi diketahui bahwa fasilitas SPL 20 inch Penajam -
Balikpapan dalam kondisi layak dan memenuhi persyaratan keamanan dan
keselamatan kerja sehingga dapat digunakan. Pipa tidak dilindungi sepanjang
rute pipa penyalur tidak terdapat struktur pendukung yang melindungi fasilitas
SPL 20 inch tersebut sehingga risiko akan adanya benturan dan tarikan jangkar
kapal bisa terjadi kapan saja. Sebagaimana diketahui Teluk Balikpapan
merupakan jalur pelayaran kapal yang padat. Cakupan analisis dan kode referensi
Cakupan analisis dalam menentukan solusi dan teknologi yang akan diterapkan
untuk melindungi pipa setelah pemulihan fungsi fasilitas SPL dilakukan adalah
sebagai berikut139:
1. Mengidentifikasi jenis dan berat kapal yang melintasi fasilitas SPL 20 inch
serta berat jangkar yang digunakan masing-masing kapal.
2. Menentukan tingkat kerusakan fasilitas SPL
3. Merekomendasikan solusi dan teknologi agar pipa tidak terbentur dan terseret
jangkar kapal. 4. Mempelajari interaksi yang terjadi antara jangkar dan tanah
di dasar laut.
4. Menentukan solusi dan teknologi agar pipa tidak terbentur dan terseret
jangkar kapal.
5. Menentukan bagian fasilitas SPL 20 inch yang akan diberi perlindungan.
Kode referensi yang dipakai adalah sebagai berikut140:
1. DNVGL-RP-F107 (Risk Assessment of Pipeline Protection)
2. DNVGL-RP-F114 (Pipe-Soil Interaction for Submarine Pipelines)
3. API-RP-2SK (Design and Analysis of Station keeping Systems for Floating
Structures)

139
Ibid, hlm 19
140
Ibid, hlm 20
102

Klasifikasi kerusakan pipa yaitu penentuan kerusakan yang diakibatkan


oleh jangkar terhadap pipa menurut DNVGL-RPF107 dilakukan dengan
membandingkan energi kinetik dari jangkar (tergantung pada massa dan
kecepatan jangkar) dan kapasitas pipa (yaitu melalui ukuran dan kekakuan) untuk
menahan benturan. Kerusakan diklasifikasikan berdasarkan kedalaman lekukan
pada ketebalan dinding pipa baja dan dampak yang ditimbulkan pada
pengoperasian pipeline tersebut yaitu141 :
1. Kerusakan minor (D1): Terjadi lekukan pada dinding pipa (Penyok) hingga
5% dari diameter pipa namun tidak berpengaruh pada pengoperasian fasilitas.
2. Kerusakan sedang (D2): Terjadi lekukan pada dinding pipa (Penyok) lebih
dari 5% dari diameter pipa dan biasanya membutuhkan perbaikan namun
fasilitas masih dapat dioperasikan.
3. Kerusakan besar (D3): Terjadi pelepasan hidrokarbon atau air. Pengoperasian
fasilitas harus segera dihentikan dan diperbaiki. Bagian yang rusak harus
dilepas dan diganti. Kondisi yang terjadi pada batangan pipa di SPL 20 inch
Penajam – Balikpapan adalah D3 karena kondisi pipa terputus di sekitar titik
KP 0.900 dan mengakibatkan adanya tumpahan minyak mentah di Teluk
Balikpapan.
Metode perlindungan pipa bawah laut Berikut adalah beberapa metode
yang dapat digunakan untuk melindungi pipeline yang terletak di bawah laut dari
benturan dan tarikan jangkar kapal yaitu142 :
1. Pipeline concrete coating
Berfungsi untuk melindungi pipa dari benturan jangkar kapal dan juga
berfungsi sebagai pemberat pipa di dasar laut agar pipa tetap stabil dan tidak
bergeser karena arus di dasar laut (baik ketika instalasi, hydrotest ataupun
beroperasi). Ketebalan dari concrete coating dapat diketahui dengan
melakukan analisis stabilitas fasilitas SPL.

141
Ibid, hlm 21
142
Ibid, hlm 22
103

Gambar 3 Pipeline Concrete Coating


Sumber: Farid M Mallarangan (2019)

2. Mengubur pipa
Berfungsi untuk melindungi pipa dari benturan jangkar kapal. Penentuan
kedalaman galian disesuaikan dengan standar pada DNVGL-RP-F114 dengan
mempertimbangkan ukuran jangkar dan kondisi tanah setempat, khusus
fasilitas SPL yang berada di Indonesia harus disesuaikan Peraturan Menteri
Perhubungan no. PM 129 tahun 2016 tentang alur pelayaran di laut dan
bangunan dan/atau instalasi perairan.
3. Articulated Concrete Block Mattresses
Disebut ACBM adalah unit persegi panjang yang terbuat dari blok beton yang
dihubungkan oleh tali polypropylene. ACBM dapat melindungi pipa dari
benturan dan tarikan jangkar kapal dan biasanya diletakkan di atas pipa.

Gambar 4 Articulated Concrete Block Mattresses


Sumber: Farid M Mallarangan (2019)

4.2.7 Pertanggungjawaban Pelabuhan


Dalam kasus ini adanya keterlambatan bantuan dari pelabuhan Balikpapan
mengenai kecelakaan yang terjadi oleh Kapal MV Ever Judger. Pemandu yang
memandukan kapal MV Ever Judger saat itu sudah melakukan pertolongan
104

pertama yaitu mencoba berkomunikasi dengan pelabuhan Balikpapan untuk


meminta bantuan secepat mungkin akan tetapi pelabuhan Balikpapan tidak
merespon hingga 10 kali pemandu mencoba berkomunikasi tetapi hasilnya nihil.
Karena keterlambatan tersebut pemandu akhirnya membuat keputusan untuk
kapal segera pergi dari terminal khusus minyak dan gas milik PT Pertamina dan
menyebabkan pipa minyak milik PT Pertamina terseret jangkar dan minyak
tumpah dengan skala yang semakin luas. Dalam hal ini belum ada peraturan yang
mengatur tentang keterlambatan bantuan dari pemerintah untuk kecelakaan di
laut. Akan tetapi dalam Pasal 258 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 tahun 2008 menjelaskan tentang pencarian dan pertolongan dari
pemerintah untuk kapal yang mengalami kecelakaan. Pasal 258 ayat 1 yaitu (1)
Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan
terhadap kecelakaan kapal dan /atau orang yang mengalami musibah di Perairan
Indonesia. Menurut penulis, pemerintah selalu lambat dalam memberikan
bantuan disetiap kecelakaan di laut, jika pemerintah bisa lebih cepat membantu
Kapal MV Ever Judger saat itu sangat memungkinkan pencemaran akibat minyak
tumpah tidak akan terlalu luas, tidak akan adanya korban jiwa dan awak kapal
mengalami luka bakar karena Kapal MV Ever Judger terbakar dan Pertamina pun
bisa lebih cepat mengetahui tumpahan minyak tersebut. Pemerintah seharusnya
sudah belajar dari kejadian-kejadian yang terjadi di laut karena hal itu sangatlah
penting. Laut dan segala isinya saling terikat jika terjadinya pencemaran akibat
minyak lingkungan laut menjadi rusak, tumbuhan serta hewan di laut akan mati
dan nelayan akan kehilangan mata pencarian nya serta akan menimbulkan korban
jiwa karena tumpahan minyak sangat memungkinkan akan menyebabkan
kebakaran di laut. Serta menurut penulis, pemerintah ikut adil untuk bertanggung
jawaban kecelakaan ini.

4.3 Pertanggungjawaban Secara Pidana dalam KASUS KAPAL MV Ever


Judger
Terdapat banyak fakta dalam sidang pidana yaitu Zhang Deyi selaku
Nakhoda Kapal MV Ever Judger, pada hari Jumat tanggal 30 Maret 2018 sekitar
pukul 21.35 Wita atau setidak-tidaknya pada suatu waktu yang masih termasuk
dalam bulan Maret tahun 2018, bertempat di perairan Teluk Balikpapan Propinsi
Kalimantan Timur atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk
105

dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Balikpapan yang berwenang memeriksa


dan mengadili, “Dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang lain luka
berat atau mati”, yang dilakukan terdakwa Zhang Deyi dengan cara-cara sebagai
berikut:
1. Pada tanggal 22 Maret 2018 Zhang Deyi selaku Nakhoda kapal MV EVER
JUDGER berbendera Panama berangkat dari Yuhuan (China) menuju
perairan wajib Pandu Teluk Balikpapan tepatnya di Dermaga Balikpapan
Coal terminal untuk mengambil batu bara milik TNB FUEL SERVICE
SDN.Bhd yang akan dibawa menuju pelabuhan Manjung Lumut Perak
Malaysia yang dibeli dari PT. Firman Ketaun Perkasa
2. Terdakwa Zhang Deyi mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai
nakhoda sesuai dengan SOLAS Convention, load line convention, navigation
rules dan Marpol Convention adalah sebagai berikut :
a. Bertugas sebagai pemimpin tertinggi diatas kapal;
b. Menjamin keamanan kru yang di kapal, keselamatan kapal dan
keselamatan barang yang dibawa kapal;
c. Manajemen kapal berupa mengatur barang dari awal tempat penerimaan
sampai ke tempat tujuan;
d. Dalam hal pengecekan alat-alat keselamatan dan memastikan bahwa
kapal layak laut adalah tugas dan kewajiban nahkoda namun dalam hal
penyediaan alat-alat keselamatan berlayar merupakan kewajiban pemilik
kapal
3. Terdakwa Zhang Deyi sebelumnya telah menerima peta elektronik oleh saksi
Huang Jiwei selaku mualim II data informasi terkait pelayaran berupa
informasi tentang pasang surut air, data Elektronic Charta Display
Information System (ECDIS) peta elektronik jalur yang akan dilalui perairan
teluk Balikpapan yang mana dalam peta tersebut terdapat tanda-tanda adanya
jalur pipa bawah laut yang ditandai dengan gambar jangkar kros
4. Kapal MV. EVER JUDGER mulai melakukan pengisian/loading batubara di
PT. Dermaga Perkasa Pratama (Balikpapan Coal Terminal) tanggal 29 Maret
2018 pukul 06.35 WITA dan pada tanggal 30 Maret 2018 pukul 20.00 WITA
saksi SODIKIN selaku Pandu (sertifikat Pandu no. 3653008 tanggal 10 April
106

2008) datang ke kapal MV. EVER JUDGER kemudian berkoordinasi dengan


terdakwa selaku Nahkoda untuk menanyakan kesiapan kapal dan dijawab
oleh terdakwa selaku Nahkoda ”semua sudah siap”
5. Pada saat terdakwa Zhang Deyi selaku Nakhoda mengatakan siap, kondisi air
laut sedang mengalami ”surut dengan arus yang deras” sehingga demi
keselamatan dan keamanan kapal, saksi Sodikin selaku Pandu menyarankan
kepada Terdakwa agar melakukan labuh/lego jangkar di Spot Berlabuh
(REDE) karena pada saat itu kapal berada di kedalaman air laut ± 17,4 m dan
jika diteruskan maka kapal jenis Bulk Carrier dengan panjang 229 m, lebar
32,26 m, tinggi 49,8 m, draft 13,8 m, berat 95.047 ton akan kandas di Buoy 9
yang jalurnya sempit dan dangkal, hal tersebut disetujui oleh terdakwa selaku
Nahkoda selanjutnya sekitar pukul 21.08 WITA, kapal MV. EVER JUDGER
dengan muatan batu bara sebanyak 74.808 MT lepas dari Dermaga PT.
Dermaga Perkasa Pratama (BCT) untuk pindah berlabuh jangkar di Spot
Berlabuh (REDE).
6. Selanjutnya pada pukul 21.35 WITA saat posisi haluan kapal MV. EVER
JUDGER sudah menghadap keluar ke arah Selatan menuju ke Spot Berlabuh
(posisi masih di depan BCT) kapal tunda melepas tali dari MV. EVER
JUDGER selanjutnya saksi SODIKIN selaku Pandu memberikan advice atau
saran kepada terdakwa selaku Nahkoda dengan percakapan antara saksi
Sodikin dengan terdakwa sebagai berikut:
Terdakwa Zhang Deyi : ”Mr. Pilot use port anchor (Pak Pandu
menggunakan jangkar kiri).”
Sanksi pandu Sodikin: ”Oke no problem, but lowering one meter above
water and standby lego (Iya tidak masalah, tetapi turunkan satu meter di
atas air dan siap untuk dilego).”
Terdakwa Zhang Deyi: ”OK.”
Setelah itu terdakwa berkomunikasi dengan Saksi Lu Wenshan selaku
Mualim I dengan menggunakan handy talky (HT) dan menggunakan bahasa
China/ Mandarin yang tidak dimengerti oleh saksi SODIKIN selaku Pandu
sebagai berikut:
Terdakwa Zhang Deyi :”DA FU CHUAN BEI ZHUO MAO (Chief Officer
(Mualim 1) siapkan jangkar depan kiri).”
107

Saksi Lu Wenshan: ”CHUN BEI ZHUO MAO (Siapkan jangkar depan


kiri).”
Yang diucapkan oleh saksi Lu Wenshan untuk memastikan perintah terdakwa
kepada saksi Lu Wenshan. Setelah mendapat kepastian saksi Lu Wenshan
menarik sampai stopper ke atas. Selanjutnya saksi Lu Wenshan memberitahu
kepada terdakwa Zhang Deyi.
Saksi Lu Wenshan : ”ZHUO MAO BEI HAO RU GUO XU YAO SONG
MAO ZHAI GEI WO ZE LING (Jangkar kiri sudah siap, disaat perlu
melonggarkan jangkar sampai ukuran tertentu tolong beri tahu saya).”
Zhang Deyi : ”HAO DE CHUAN TOU REN YUAN STANDBY (Baiklah,
agar anggota di haluan kapal siap).”
Beberapa saat kemudian terdakwa selaku nahkoda memerintahkan saksi Lu
Wenshan:
Zhang Deyi : ”DA FU JIANG ZHUO MAO SONG TAO YI JIE SUI
MIAN (Chief Officer (Mualim 1) melonggarkan jangkar 1 segel (27,5
M)).”
Saksi Lu Wenshan : ”BA MAO SONG TAO YI JIE SUI MIAN (longgarkan
jangkar sampai ukuran 1 segel (27,5 M)).”
Setelah saksi Lu Wenshan mengulang perintah terdakwa Zhang Deyi guna
memastikan perintah tersebut, saksi Lu Wenshan memerintahkan saksi Liang
Xu selaku Bosun, ”BA MAO SONG TAO YI JIE SUI MIAN
(melonggarkan jangkar sampai 1 segel (27,5 m) dari permukaan air).”
7. Setelah jangkar turun 1 segel (27,5 m) dari permukaan air, saksi Lu Wenshan
melaporkan kembali kepada terdakwa selaku nahkoda bahwa jangkar depan
sebelah kiri sudah turun 1 (satu) segel (27,5 m) dari permukaan air dan
dijawab oleh terdakwa, ”HAO, STANDBY (Baik, standby).” Selanjutnya
saksi Lu Wenshan beserta bosun (ABK) di haluan kapal tetap dalam kondisi
siap/ standby.
8. Dalam memberikan perintah kepada saksi Lu Wenshan selaku Chief Officer
(Mualim I) terdakwa menggunakan bahasa China / Mandarin sedangkan
terdakwa telah mengetahui atau telah mengerti bahwa berdasarkan peraturan
International Maritime Organization (IMO) terdakwa selaku nakhoda dalam
memberikan perintah kepada Anak Buah Kapal (ABK) dalam hal ini adalah
Chief Officer (Mualim I) HARUS menggunakan bahasa internasional yakni
108

Bahasa Inggris, dan perintah yang diucapkan kepada Mualim I tersebut tidak
segera diralat atau diperbaiki oleh terdakwa.
9. Pada saat itu posisi Kapal MV EVER JUDGER bergerak melewati perairan
Teluk Balikpapan yang terdapat jalur pipa pengiriman minyak mentah /
crude oil dari terminal Lawe-lawe menuju Balikpapan milik PT.
PERTAMINA RU V yang berada di dasar laut selanjutnya saksi Lu Wenshan
selaku CHIEF OFFICER (Mualim I) melaporkan kepada terdakwa dengan
mengatakan ”CHUAN ZAI TUO ZHE MAO ZOU (Kapal sedang menyeret
jangkar sampai jangkar berjalan)” kemudian terdakwa memberikan
perintah kepada Saksi Cui Zhan Yao selaku mualim 3 dengan berkata ”STOP
ENGINE (hentikan mesin propeler)” di waktu yang sama terdakwa selaku
Nahkoda mengatakan kepada saksi Lu Wenshan selaku CHIEF OFFICER
(Mualim I) dengan berkata ”JIAO MAO (naikkan jangkar)” setelah
mendengar perintah terdakwa maka saksi SODIKIN selaku Pandu bertanya
kepada terdakwa dengan berkata, ”WHY STOP ENGINE? (kenapa
menghentikan mesin Propeler?)” yang dijawab oleh terdakwa dengan berkata,
”ANCHOR LOWER ONE SEGEL (Jangkar turun satu segel).” Kemudian
saksi SODIKIN selaku pandu menjawab, ”HEAVE UP ANCHOR, VERY
DANGEROUS, DOWN SIDE OIL PIPES (sangat berbahaya, naikkan
jangkar, di bawah banyak pipa minyak).”
10. Terdakwa Zhang Deyi lalu mengatakan kepada saksi Cui Zhan Yao selaku
Mualim 3 dengan berkata ”HALF ASTERN (mundur pelan)” tetapi mesin
tidak bereaksi karena temperatur pada boiler tidak cukup dan pada saat itu
terjadi perubahan haluan kapal MV. EVER JUDGER dan rantai jangkar
Kapal MV. EVER JUDGER mengarah ke belakang karena jangkar berada di
dasar laut telah tersangkut pada pipa pengiriman minyak mentah/ crude oil
dari terminal Lawe-lawe menuju Balikpapan milik PT. PERTAMINA RU V
yang ada di dasar laut dan jangkar menyeret pipa tersebut sejauh 120 m
(seratus dua puluh meter) sehingga menyebabkan pipa terputus. Kemudian
terdakwa memerintahkan saksi Cui Zhan Yao selaku Mualim 3 dengan
berkata ”DEAD SLOW ASTERN (mundur sangat perlahan).”
11. Setelah jangkar dinaikkan kembali sekitar pukul 22.15 WITA Kapal MV
EVER JUDGER keluar dari area yang terdapat pipa minyak mentah
Pertamina dan setibanya di daerah tempat berlabuh (REDE), selanjutnya
109

saksi Sodikin selaku Pandu memberikan advice/ arahan kepada terdakwa


untuk turun lego jangkar 5 segel di dalam air.
12. Pada pukul 23.30 WITA, saksi Amrin Abdullah selaku Operator di North
Tank Farm PT. Pertamina di Balikpapan, mengetahui bahwa telah terjadi
penurunan secara drastis terhadap level Tangki D.20.01 A/B dengan rata-rata
penurunan 49 (empat puluh sembilan) cm/jam dan melaporkannya kepada
saksi IWAN ISKANDAR selaku SHIFT SUPERVISOR di North Tank Farm
Balikpapan, selanjutnya saksi Iwan Iskandar melaporkan kejadian tersebut
kepada saksi Ivan Sahrijal selaku SHIFT SUPERINTENDENT dan Ivan
Sahrijal mengatakan kalau telah terjadi kegagalan/ kerusakan pompa Fee
transfer dari Lawe-Lawe ke Balikpapan.
13. Pada hari Sabtu tanggal 31 Maret 2018 sekitar pukul 02.30 WITA saksi
Ardiansyah Ardjan selaku shift supervisor Jetty Regu A menemukan ceceran
minyak mentah yang berada di area Jetty PT. Pertamina RU V Balikpapan
tepatnya di Jetty 1, 5b dan 5 namun belum mengetahui dari mana asal usul
minyak / Crude oil tersebut.
14. Saksi Moh. Yitno (PNS bagian penjagaan, patroli dan penyidikan KSOP
Balikpapan) pada hari Sabtu tanggal 31 Maret 2018 melakukan penjagaan
dengan KM. 349 sekitar pukul 06.30 WITA saksi Moh. Yitno mencium
terdapat bau seperti minyak tanah selanjutnya saksi Moh. Yitno melakukan
pengecekan keliling kapal, kemudian sekitar pukul 07.45 WITA, KM. 349
keluar dari perairan Somber lalu menyisir pinggiran Sumber dari Kampung
Baru sampai dengan Pelabuhan Semayang dengan maksud untuk mengetahui
asal muasal zat berminyak tersebut. Setelah melakukan penyisiran KM.349
melakukan pengecekan kapal yang berada di perairan Teluk Balikpapan dan
sekitar 20 kapal yang dicek termasuk kapal MV. EVER JUDGER tidak ada
kebocoran dan tumpahan zat berminyak berwarna hitam.
15. Sekitar pukul 10.30 WITA sebaran minyak sudah berceceran di Teluk
Balikpapan lalu terbakar dan sekitar pukul 14.00 WITA, api dan asap hitam
tersebut sudah padam dan diketahui lokasi kejadian api dan asap hitam
tersebut berada di luar jalur pipa milik pertamina, tepatnya di jalur Rede
Semayang di dekat kapal MV. EVER JUDGER
16. Hasil penyelaman oleh saksi Agus Kusumo sebagai Diving supervisor dan
perusahaan PT. DEWI RAHMI dilakukan pada hari Senin, tanggal 02 April
110

2018 mulai jam 08.00 WITA dengan kegiatan lima kali penyelaman, dengan
personil yang dilibatkan dalam kegiatan penyelaman totalnya sampai 13
orang, dan pada saat penyelaman kedua ujung pipa ukuran 20 inci yang dari
arah Penajam ditemukan, selanjutnya digunakan side scan sonar (alat untuk
memotret dasar laut), baru bisa dipastikan kalau pipa tersebut milik Pertamina
yang rusak/ putus karena sesuatu kekuatan benda keras yang menarik
sehingga bisa mengakibatkan pipa patah/ putus, selanjutnya diketahui
koordinat pipa minyak milik PT. Pertamina yaitu pada:
a. S 01° 14, 684” E 116° 47,287” (koordinat titik pipa putus ujung 1)
b. S 01° 14, 683” E 116° 47,294” (koordinat pipa terusan ke arah kilang RU
V)
c. S 01° 14, 697” E 116° 47,282” (koordinat titik pipa putus ujung 2)
d. S 01° 14, 701” E 116° 47,270” (koordinat titik pipa bengkok)
17. Berdasarkan Data atau Informasi dari kapal yang dapat ditampilkan pada
system Vessel Traffic Service (VTS) rekam jejak perjalanan kapal MV. Ever
Judger sebagai berikut :
a. Waktu yang diperlukan oleh kapal MV. Ever Judger dari mulai lepas
sandar dari Balikpapan Coal Terminal sampai dengan di area labuh
jangkar di perairan Balikpapan sekitar 1 jam 42 Menit.
b. Waktu yang diperlukan oleh kapal MV. Ever Judger dari mulai
memasuki jalur pipa bawah air di perairan Balikpapan sampai dengan
melewati jalur pipa bawah air di perairan Balikpapan sekitar 20 menit.
c. Kecepatan kapal MV. Ever Jugger pada saat lepas sandar dari
Balikpapan Coal Terminal sampai dengan di area labuh jangkar di
perairan Balikpapan berubah ubah, dan dapat diuraikan sebagai berikut:
1)  Kecepatan 6 (enam) knot pada koordinat S 01° 13,067” E 116°
46,834”.
2)  Kecepatan 4 (empat) knot pada saat memasuki daerah pipa bawah
air pada koordinat S 01° 14,537” E 116° 47,222”.
3)  Kecepatan 1,1 (satu koma satu) knot didalam jalur pipa bawah laut
dengan koordinat S 01° 14,621” E 116° 47,321”.
4) Kecepatan 3 (tiga) knot Mendekati anchor area pada koordinat S
01° 15, 145” E 116° 47,387”;
111

d. Pada perjalanan kapal MV. Ever Judger pada saat mulai lepas sandar
dari Balikpapan Coal Terminal sampai dengan di area labuh jangkar di
perairan Balikpapan ada berubah haluan atau arah depan secara drastis
atau signifikan yaitu berubah haluan dari 163 derajat sampai 246 derajat
yaitu pada posisi berada di dalam jalur pipa bawah air dengan koordinat
S 01° 14, 741” E 116° 47,482”.
e. Menurut sistem Vessel Traffic Service (VTS) pada data AIS posisi
kapal MV. Ever Judger pada pukul 21.35 WITA tanggal 30 Maret 2018
berada di posisi masih dekat Balikpapan Coal Terminal dengan
koordinat S 01° 12,245” E 116° 46,738”, dengan kecepatan 4,3 Knot.
f. Menurut sistem Vessel Traffic Service (VTS) pada data AIS posisi
kapal MV. Ever Judger pada pukul 21.59 WITA tanggal 30 Maret 2018
berada di posisi akan memasuki pipa bawah air di perairan Balikpapan
dengan koordinat S 01° 14, 403” E 116° 47,185”, dengan kecepatan 4,4
Knot.
g. Menurut sistem Vessel Traffic Service (VTS) pada data AIS posisi
kapal MV. Ever Judger pada pukul 22.07 WITA tanggal 30 Maret 2018
berada di area pipa bawah air di perairan Balikpapan dengan koordinat
S 01° 14,625” E 116° 47,386”, dengan kecepatan 2 Knot .
h. Menurut sistem Vessel Traffic Service (VTS) pada data AIS posisi
kapal MV. Ever Judger pada pukul 22.15 WITA tanggal 30 Maret 2018
berada di area pipa bawah air di perairan Balikpapan dengan koordinat
S 01° 14,812” E 116° 47,452”, dengan kecepatan 1,4 Knot
i. Menurut sistem Vessel Traffic Service (VTS) pada data AIS posisi
kapal MV. Ever Judger pada pukul 22.25 WITA tanggal 30 Maret 2018
berada di posisi akan bersiap untuk labuh jangkar di area labuh jangkar
di perairan Balikpapan dengan koordinat S 01° 15, 219” E 116°
47,403”, dengan kecepatan 1,5 Knot.
18. Data pada VTS dan Voyage Logs pada ECDIS ketika koordinatnya di plot di
atas peta memiliki kesamaan dan apabila ada perbedaan relatif kecil karena
penggunaan alat berada di posisi yang berbeda yaitu VTS berada di darat
sedangkan ECDIS berada di atas kapal;
19. Diketahui dari kedua data tersebut, pada perjalanan kapal MV. Ever Judger
pada saat mulai lepas sandar dari Balikpapan Coal Terminal sampai dengan
112

di area labuh jangkar di perairan Balikpapan ada berubah haluan atau arah
depan secara drastis atau signifikan yaitu berubah haluan dari 163 derajat
sampai 246 derajat yaitu pada posisi berada di dalam jalur pipa bawah air
dengan koordinat S 01° 14, 741” E 116° 47,482”.
20. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Barang Bukti
Pecahan/ Bongkahan Beton Cor (concrete) dan Ram Kawat (Wiremesh)
Tulangan Beton Cor Nomor LAB : 4231/FBF/2018 tanggal 27 April 2018
yang ditandatangani oleh Ir. R. AGUS BUDIHARTA selaku KALABFOR
Cabang Surabaya Pada Pusat Laboratorium Forensik Cabang Surabaya
dengan hasil kesimpulan pemeriksaan : Barang bukti Nomor register
480/2018/FBF berupa Pecahan/ Bongkahan beton cor (concrete) dan Ram
Kawat (Wiremesh) Tulangan Beton Cor yang menempel pada jangkar haluan
kiri Kapal MV. EVER JUDGER Identik/Mirip dengan barang bukti Nomor
register 481/2018/FBF berupa pecahan/ bongkahan beton cor (concrete) dan
Ram Kawat (Wiremesh) Tulangan Beton Cor lapisan luar (pelindung) pipa
bawah laut saluran crude oli milik PERTAMINA RU V Balikpapan .
21. Berdasarkan Survei Investigasi Hidro-Oseanografi diperoleh Hasil analisa
survei investigasi bawah laut menggunakan Multibeam Echosounder
EM2040 C menunjukkan bahwa telah diidentifikasi 4 (empat) lajur pipa di
dasar laut. Salah satu dari 4 (empat) pipa tersebut yakni pipa yang posisinya
paling Utara terputus dan bergeser ke arah Selatan sejauh ± 120 meter.
Sedangkan, pada jalur bekas pipa tersebut, terdapat gambaran berupa parit
yang memotong dari arah Utara sejauh ± 490 meter dengan lebar parit 1,6 -
2,5 meter dan kedalaman parit 0,3 - 0,7 meter.
22. Berdasarkan Surat Direktorat Pengolahan General Manager RU V Pertamina
Balikpapan Nomor : R-020/E15000/2018-S2 tanggal 12 Mei 2018 Perihal
perhitungan Tumpahan minyak mentah ke Perairan Balikpapan pada tanggal
30-31 Maret 2018 terdapat total minyak yang release sebesar 103.771 Bbl
(seratus tiga ribu tujuh ratus tujuh puluh satu barrel).
23. Berdasarkan Hasil Analisis dan Evaluasi Sidik Jari Tumpahan Minyak
Mentah di Teluk Balikpapan yang dilakukan oleh Kelompok Teknologi
Lingkungan Kimia dan Bioteknologi yang ditandatangani oleh Dr. Oksil
Venriza, S.Si., M. Eng selaku Ketua diperoleh hasil berupa indikator
kandungan minyak dan lemak di air 0,56 % (nol koma lima persen) atau
113

5.600 mg/liter (lima ribu enam ratus miligram per liter) sampel air laut dan
1,94 % (satu koma sembilan empat persen) atau 19.400 mg/liter (sembilan
belas ribu empat ratus miligram per liter) air laut dan sedimen minyak di
dasar Teluk Balikpapan pada beberapa tempat mempunyai TPH (Total
Petroleum Hidrokarbon) yang berasal dari minyak bumi yg tinggi mulai dari
angka 0,014% (nol koma nol satu empat persen) berat atau 140 mg/Kg
(seratus empat puluh miligram per kilogram) berat sampai dengan 0,117 %
(nol koma satu satu tujuh persen) berat atau 1.170 mg/kg (seribu seratus tujuh
puluh miligram per kilogram) berat dan kondisi air laut Teluk Balikpapan
sesaat setelah kejadian terdapat kandungan minyak dan lemak di air 0,56%
(nol koma lima enam persen) atau 5.600 mg/liter (lima ribu enam ratus
miligram per liter) dan 1,94 % (satu koma sembilan empat persen) atau
19.400 mg/liter (sembilan belas ribu empat ratus miligram per liter) air.
24. Hasil Hasil Analisis dan Evaluasi Sidik Jari Tumpahan Minyak Mentah di
Teluk Balikpapan jika dibandingkan dengan ketentuan lampiran ke III
mengenai baku mutu air laut pada biota laut Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang
secara normal seharusnya kandungan tersebut adalah 1 mililiter (satu
miligram per liter), maka dapat dikatakan kondisi air laut Teluk Balikpapan
terlampaui baku mutunya pada item lapisan minyak dan lemak,
sebagaimana keterangan Ahli Ir. HENDRA WIJAYA, MT.
25. Akibat dari kejadian tersebut telah merusak hutan mangrove di kawasan
Kariangau seluas ± 319,21 Ha (tiga ratus sembilan belas koma dua satu
hektar) dan kawasan hutan kota Margasari seluas ± 2,34 Ha (dua koma tiga
empat hektar) dan akibat lainnya berdampak juga kepada makhluk hidup/
biota laut lain seperti ditemukannya ikan Pesut (yang dilindungi Undang-
undang) yang mati, adanya bangkai Cacing Koa dengan jumlah lebih dari 100
(seratus) ekor (ditemukan di Jalan Marsma Iswahyudi Balikpapan/
Sepinggan) dan Udang Brown dengan jumlah 3 (tiga) ekor (ditemukan di
Penajam Paser Utara), Kepiting (di temukan di Kariangau Balikpapan Utara),
Teripang kurang lebih 100 (seratus) ekor (ditemukan di Kariangau
Balikpapan Utara).
26. Dari kejadian terputusnya pipa minyak mentah/ crude oil milik PT.
PERTAMINA jalur Lawe-Lawe ke Balikpapan karena terseret oleh jangkar
114

sebelah kiri MV. EVER JUDGER yang menimbulkan tumpahan minyak di


perairan Teluk Balikpapan, selain mengakibatkan dilampauinya baku mutu
air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup juga menimbulkan
terbakarnya tumpahan minyak di beberapa titik di Perairan Teluk Balikpapan
27. Hari Sabtu tanggal 31 Maret 2018 sekira pukul 10.30 Wita dan menimbulkan
korban tewas/ meninggal dunia sebanyak 5 (lima) orang pemancing di sekitar
lokasi titik sebaran minyak yang terbakar, sebagai berikut :
a. SUYONO sesuai dengan Visum et Repertum Nomor :
59/371/IV/2018/IRM/RSKD tanggal 10 April 2018 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. IRINE INUNU, SpF selaku dokter pemeriksa
pada Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan;
b. SUTOYO sesuai dengan Visum et Repertum Nomor:
60/371/IV/2018/IRM/RSKD tanggal 10 April 2018 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. IRINE INUNU, SpF selaku dokter pemeriksa
pada Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan;
c. AGUS SALIM sesuai dengan Visum et Repertum Nomor:
61/371/IV/2018/IRM/RSKD tanggal 10 April 2018 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. IRINE INUNU, SpF selaku dokter pemeriksa
pada Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan;
d. WAHYU GUSTI ANGGORO sesuai dengan Visum et Repertum Nomor:
62/371/IV/2018/IRM/RSKD tanggal 10 April 2018 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. IRINE INUNU, SpF selaku dokter pemeriksa
pada Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan;
e. IMAM. M sesuai dengan Visum et Repertum Nomor:
63/371/IV/2018/IRM/RSKD tanggal 10 April 2018 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr. IRINE INUNU, SpF selaku dokter pemeriksa
pada Rumah Sakit Umum Dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.
Dari fakta-fakta yang diuraikan di atas, apakah perbuatan terdakwa memenuhi
semua unsur dakwaan Penuntut Umum, yang mana terdakwa didakwa yang
disusun secara alternatif subsidaritas yaitu:
Pertama
Primair : Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 98 Ayat (3) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
115

Subsidair : Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam


Pasal 98 Ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Atau
Kedua
Primairi : Perbuatan Terdakwa Zhang Deyi sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 99 Ayat (3) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Subsidair : Perbuatan Terdakwa Zhang Deyi sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 99 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh karena surat dakwaan disusun secara Alternatif Subsidaritas, maka Majelis
Hakim akan mempertimbangkan salah satu dari dakwaan tersebut yang mana
menurut Majelis Hakim terpenuhi semua unsur- unsurnya. Dari fakta-fakta
sebagaimana diuraikan di atas, menurut Majelis Hakim yang perlu
dipertimbangkan adalah dakwaan Pertama Primair : Pasal 98 ayat (3) Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Setiap Orang
2. Dengan sengaja
3. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup
4. Yang mengakibatkan orang lain luka berat atau mati
Unsur Setiap Orang :
Bahwa unsur setiap orang adalah ditujukan terhadap orang sebagai subjek hukum
yang dapat didakwa dan dituntut karena melakukan tindak pidana, perbuatan itu
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dalam hal ini ditujukan terhadap
terdakwa Zhang Deyi. Terdakwa Zhang Deyi telah membenarkan identitasnya
sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan dan menurut penilaian Majelis,
terdakwa adalah orang yang sehat jasmani dan rohani sehingga apabila terbukti
melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dengan
demikian unsur setiap orang telah terpenuhi.
Unsur Dengan sengaja :
116

Menurut ilmu jiwa yang dipakai untuk menentukan sikap dalam menghadapi
keadaan hidup ada tiga faktor :
1. Kesempatan : yang dapat menjurus ke kemajuan (positif) atau kemerosotan
(negatif), baik materiil, moril, sosial maupun spiritual
2. Tantangan atau cobaan (challenge) yang cirinya adalah adanya masalah atau
kesulitan yang harus diselesaikan;
3. Bahaya (godaan) yang dapat dihindari atau harus diatasi.
Untuk mencapai suatu kesempatan yang dapat diambil orang harus mendeteksi
yang datang tidak terduga sebelumnya apakah yang dihadapi itu:
1. Tantangan yang cirinya adalah masalah atau kesulitan yang harus
diselesaikan (disini wilayah sifat kehati-hatian atau ketidaksengajaan), atau
2. Bahaya (godaan) yang dapat dihindari atau harus diatasi cirinya adalah
larangan dan peringatan untuk dihindari (disini menentukan adanya
kesengajaan kalau tidak dihindari atau diatasi).
Terdakwa Zhang Deyi selaku Nahkoda telah mengetahui adanya larangan di
daerah perairan teluk Balikpapan berdasarkan data ECDIS yang terdapat di kapal
MV Ever Judger maupun larangan berupa tanda buih daerah dilarang lego
jangkar karena terdapat pipa bawah laut milik PT Pertamina berdasarkan peta
laut Indonesia Nomor 157 dan Electronic Navigational Charts (ENC) ID400157
merupakan peta laut vector resmi berbasis elektronik sesuai dengan Mandat
Konvensi SOLAS (Safety Of Life at Sea) IMO (International Maritime
Organisation). Terdakwa Zhang Deyi yang mengetahui adanya larangan yang
dibaca dari ECDIS dan buih yang bisa dilihat di laut, seharusnya menghindari
atau mengatasi agar tidak menurunkan jangkar tetapi terdakwa malah
memerintahkan kepada mualim I untuk menurunkan Jangkar 1 segel (27,5 meter)
di air pada saat memasuki daerah pipa bawah laut Dipasangnya tanda larangan
adalah untuk menghindari atau mengatasi agar tidak terjadi bahaya Berdasarkan
fakta bahwa terdakwa Zhang Deyi telah melanggar larangan tersebut diatas dan
bahaya telah terjadi, maka unsur kesengajaan telah terpenuhi. Dalam pembelaan
Tim Penasihat Hukum terdakwa mendalilkan bahwa terdakwa Zhang Deyi
keseleo lidah, sehingga tidak dapat dikatakan ada unsur kesengajaan. Terhadap
pembelaan tersebut majelis tidak sependapat, karena pembelaan demikian hanya
sebagai upaya akibat dari penyesalan atas keberanian diri terdakwa telah
melanggar larangan yang seharusnya terdakwa hindari. Ad. Unsur melakukan
117

perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku


mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup :
1. Yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau
kadar zat, energi, dan/ atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien
2. Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar zat,
energi, dan/ atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
3. yang dimaksud dengan “Baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. (Pasal 20
ayat (2) huruf c, berikut penjelasannya).
Berdasarkan Pasal 20 ayat (4) UUPPLH mengatur bahwa ketentuan diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur terkait Baku
Mutu Air Laut yang berlaku saat ini yakni PP No. 19 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (PP No. 19/1999).
Selanjutnya berdasarkan Pasal 4 PP No. 19/1999 diatur bahwa Baku Mutu air
laut dan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan oleh Menteri dengan
mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen terkait lainnya. Adapun ketentuan Menteri yang
mengatur Baku Mutu Air Laut, yaitu: Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (Kepmen LH No.
51/2004). Berdasarkan Pasal 2 Kepmen LH No. 51/2001) Penetapan Baku Mutu
Air Laut ini meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan, Wisata
Bahari dan Biota Laut. Ketentuan Pasal 3 Permen LH No. 51/2004, mengatur
bahwa:
1. Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I Kepmen LH No. 51/2004;
2. Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II Kepmen LH No. 51/2004.
3. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Kepmen LH No. 51/2004
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, terdapat dalam Pasal 21 yaitu pada
=:
118

1. Ayat (1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup,


ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kriteria Baku
Kerusakan Lingkungan Hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditanggung oleh
lingkungan hidup untuk dapat melestarikan fungsinya
2. Ayat (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku
kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.
3. Ayat (3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Ayat (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada
parameter antara lain:
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
5. Ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah
Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu air laut yakni perbuatan
(kegiatan) manusia sehingga melampaui ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Tindak pidana pencemaran
lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH “masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
119

lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu


lingkungan hidup yang telah ditetapkan.”
Adapun unsur-unsur “pencemaran lingkungan hidup”, sebagaimana terkandung
dalam Pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:
1. Adanya tindakan manusia, berupa: masuk atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup;
2. Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan
Unsur ini adalah unsur akibat dari perbuatan terdakwa bahwa perbuatan
terdakwa selaku Nahkoda kapal MV Ever Judger yang berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan memerintahkan mualim 1 untuk menurunkan
jangkar 1 segel di air di wilayah terlarang karena ada jalur pipa milik PT
Pertamina sehingga pipa sebelah utara terputus dan mengeluarkan minyak
mentah sebesar 103.771 Bbl telah memenuhi unsur melakukan perbuatan dan
akibatnya yaitu dilampauinya baku mutu air laut, sebagaimana hasil Analisis dan
Evaluasi Sidik Jari Tumpahan minyak mentah di Teluk Balikpapan yang
dilakukan oleh Kelompok Teknologi Lingkungan Kimia dan Bioteknologi yang
ditandatangani oleh Dr. Oksil Venriza, S.Si., M. Eng selaku Ketua diperoleh
hasil berupa indikator kandungan minyak dan lemak di air 0,56 % (nol koma
lima persen) atau 5.600 mg/liter (lima ribu enam ratus miligram per liter)
sampel air laut dan 1,94 % (satu koma sembilan empat persen) atau 19.400
mg/liter (sembilan belas ribu empat ratus miligram per liter) air laut dan
sedimen minyak di dasar Teluk Balikpapan pada beberapa tempat mempunyai
TPH (Total Petroleum Hidrokarbon) yang berasal dari minyak bumi yg tinggi
mulai dari angka 0,014% (nol koma nol satu empat persen) berat atau 140
mg/Kg (seratus empat puluh miligram per kilogram) berat sampai dengan 0,117
% (nol koma satu satu tujuh persen) berat atau 1.170 mg/kg (seribu seratus tujuh
puluh miligram per kilogram) berat dan kondisi air laut Teluk Balikpapan sesaat
setelah kejadian terdapat kandungan minyak dan lemak di air 0,56% (nol koma
lima enam persen) atau 5.600 mg/liter (lima ribu enam ratus miligram per liter)
dan 1,94 % (satu koma sembilan empat persen) atau 19.400 mg/liter (sembilan
belas ribu empat ratus miligram per liter) air dan jika dibandingkan dengan
ketentuan lampiran ke III mengenai baku mutu air laut pada biota laut Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut
yang secara normal seharusnya kandungan tersebut adalah 1 mg/liter (satu
120

kilogram per liter), maka dapat dikatakan kondisi air laut Teluk Balikpapan
terlampaui baku mutunya pada item lapisan minyak dan lemak, sebagaimana
keterangan Ahli Ir. HENDRA WIJAYA, MT sehingga telah memenuhi unsur
dilampauinya baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
karena perbuatan terdakwa mencemari perairan Teluk Balikpapan seluas kurang
lebih 34.052,72 – 39,468,35 ha dan untuk hutan mangrove seluas 86,01 ha serta
ekosistem yang ada dan mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan hidup,
tidak dapat dipulihkan atau membutuhkan waktu yang sangat lama untuk
memulihkan dampak dari pencemaran serta negara dalam hal ini kementrian
lingkungan hidup membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memulihkan
kembali dampak tersebut. Dengan demikian unsur “melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup ” telah terbukti;
Ad. Unsur “ yang mengakibatkan orang lain luka berat atau mati “ :
Bahwa pengertian “luka berat” dapat dilihat dari Pasal 90 KUHP, berbunyi: “luka
berat pada tubuh yaitu: penyakit atau luka, yang tidak boleh diharapkan akan
sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut, terus
- menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan, tidak lagi memakai
salah satu pancaindra, kudung, lumpuh, berubah pikiran (akal) lebih dari empat
minggu lamanya, menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu. Dari
kejadian terputusnya pipa minyak mentah/ crude oil milik PT. PERTAMINA
jalur Lawe-Lawe ke Balikpapan karena terseret oleh jangkar sebelah kiri MV.
EVER JUDGER yang menimbulkan tumpahan minyak di perairan Teluk
Balikpapan, selain mengakibatkan dilampauinya baku mutu air laut atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup juga menimbulkan terbakarnya tumpahan
minyak dibeberapa titik di perairan laut Teluk Balikpapan pada hari Sabtu
tanggal 31 Maret 2018 sekira pukul 10.30 WITA dan menimbulkan korban
tewas/ meninggal dunia sebanyak 5 (lima) orang pemancing di sekitar lokasi titik
sebaran minyak yang terbakar,
Sebagaimana keterangan Ahli DR. Mudzakkir, SH., MH disumpah menurut
agama dan kepercayaannya yang menerangkan pada kasus ini dimana ada
kebakaran dan ada korban meninggal di dalamnya berdasarkan teori kausalitas
sengaja menyebabkan pipa patah sehingga menyebabkan pencemaran yaitu
akibatnya merusak kesehatan atau menimbulkan korban; Bahwa penyebab
121

kematian bisa dilihat dari apakah mati karena menghisap ataukah ada bukti fisik
karena terbakar. Bahwa dalam teori kesengajaan, secara faktual apabila tidak ada
musabab lain selain dari kebakaran itu yang menyebabkan orang mati maka
kebakaran itulah yang menjadi penyebab kematian. Bahwa ayat 3 dari Pasal 98
UU Lingkungan Hidup merupakan satu kesatuan dengan Pasal 98 ayat (1), pada
ayat (3) melihat sebabnya yaitu orang meninggal jadi ketika ada musabab terjadi
pencemaran, pencemaran menjadi sebab kematian; Dengan demikian unsur
“yang mengakibatkan orang lain luka berat atau mati” telah terbukti. Oleh
karena semua unsur dari pasal Pertama Primair : Pasal 98 ayat (3) Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup telah terpenuhi, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup”.
Karena dakwaan Pertama Primair telah terbukti, maka dakwaan Pertama
Subsidair, dakwaan Kedua Primair dan dakwaan Kedua Subsidair tidak perlu
dibuktikan lagi dan tidak ditemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar
yang dapat menghapuskan pidana, maka terdakwa harus dijatuhi pidana dan
dibebani membayar biaya perkara. Maka menyatakan Zhang Deyi yang
merupakan nakhoda kapal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah “sengaja
melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan orang lain luka berat atau mati”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 Ayat (3) Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Zhang Deyi dijatuhi sanksi pidana berupa
pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi dengan lamanya terdakwa
ditahan dengan perintah agar Terdakwa tetap berada di dalam tahanan dan denda
sebesar Rp.15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah) subsidair 1 (satu) tahun
kurungan.

4.3.1 Pertanggungjawaban Secara Perdata dalam Kasus Kapal MV Ever


Judger
Persoalan yang sering terjadi dalam pengangkutan di laut adalah terjadinya
kerugian yang diakibatkan oleh rusaknya atau hilangnya barang angkutan yang
diakibatkan oleh kelalaian pihak pengangkut, bahkan juga hal-hal yang berkaitan
122

dengan keselamatan dan keamanan penumpang menjadi persoalan yang


membutuhkan pengaturan secara yuridis. Dalam hal ini pihak pengangkut
bertanggung jawab terhadap keselamatan penumpang dan keamanan barang yang
diangkutnya sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen
muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah diatur sesuai
dengan sumber hukum pengaturan pengangkutan laut. Secara umum dalam
hukum pengangkutan terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan
tanggung jawab hukum pengangkut, yaitu sebagai berikut143:
1. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability
based on fault principle).
2. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of
liability principle).
3. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute
liability principle)144
Ketiga prinsip pertanggungjawaban pengangkut tersebut di atas, dapat
diuraikan sebagai berikut : Pertama, Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan
(the based on fault atau liability based on fault principle), dalam ajaran ini
bahwa dalam menentukan tanggung jawab hukum pengangkutan didasarkan pada
pandangan bahwa yang membuktikan kesalahan pengangkut adalah pihak yang
dirugikan atau penggugat. Dalam hukum positif Indonesia, prinsip ini dapat
menggunakan Pasal 1365 BW, yang sangat terkenal dengan pasal perbuatan
melawan hukum (onrecht matigedaad). Menurut konsepsi pasal ini
mengharuskan pemenuhan unsur-unsur untuk menjadikan suatu perbuatan
melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi, yaitu antara lain145:
1. Adanya perbuatan;
2. Adanya unsur kesalahan;
3. Adanya kerugian yang diderita;
4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

143
Fransiskus Desales Jeri Lede, “Pertanggungjawaban Atas Kerugian Yang Terjadi Dalam
Pengangkutan Di laut Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran”, Vol. VII No.
2, hlm 82
144
Martono, 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta Raja Grafindo
Persada, Bandung,
145
Fransiskus Desales Jeri Lede, “Pertanggungjawaban Atas Kerugian Yang Terjadi Dalam
Pengangkutan Di laut Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran”, Vol. VII No.
2, hlm 83
123

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan


melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena sahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum,
yaitu sebagai berikut146:
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian).
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Maka model tanggung jawab hukum sebagai berikut147:
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal
1367 KUHPerdata.
Makna dari perbuatan melawan hukum, tidak hanya perbuatan aktif tetapi juga
perbuatan pasif, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu dalam hal yang seharusnya
menurut hukum orang yang harus berbuat. Penetapan ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata ini memberi kebebasan kepada penggugat atau pihak yang
dirugikan untuk membuktikan bahwa kerugian itu timbul akibat perbuatan
melanggar hukum dari tergugat, sedangkan aturan khusus mengenai tanggung
jawab hukum pengangkut berdasarkan prinsip kesalahan biasanya ditentukan
dalam undang undang yang mengatur masing-masing jenis pengangkutan.
Kedua, yaitu prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption
of liability principle), menurut prinsip ini tergugat dianggap selalu bersalah
kecuali tergugat dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat
mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan. Jadi dalam
prinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya saja beban
pembuktian menjadi terbalik yaitu terletak pada tergugat untuk membuktikan
bahwa tergugat tidak bersalah. Dalam KUH Dagang, prinsip tanggung jawab atas
dasar praduga bersalah dapat ditemukan dalam Pasal 468 yang menyatakan

146
Ibid
147
Ibid
124

“Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk menjaga keselamatan


barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat penyerahannya.
Pengangkut harus mengganti kerugian karena tidak menyerahkan seluruh atau
sebagian barangnya atau karena ada kerusakan, kecuali bila ia membuktikan
bahwa tidak diserahkannya barang itu seluruhnya atau sebagian atau
kerusakannya itu adalah akibat suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat
dicegah atau dihindarinya, akibat sifatnya, keadaannya atau suatu cacat
barangnya sendiri atau akibat kesalahan pengirim. Perusahaan pengangkut
bertanggung jawab atas tindakan orang yang dipekerjakannya, dan terhadap
benda yang digunakannya dalam pengangkutan itu”. 148
Prinsip yang Ketiga, prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict
liability, absolute liability principle). Menurut prinsip ini, bahwa pihak yang
menimbulkan kerugian dalam hal ini tergugat selalu bertanggung jawab tanpa
melihat ada atau tidak adanya kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah
atau suatu prinsip pertanggung jawaban yang memandang kesalahan sebagai
suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada
atau tidak ada. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab hukum
dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian bagi penumpang atau
pengirim barang. Prinsip ini dapat dirumuskan dalam kalimat pengangkut
bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun
dalam penyelenggaraan pengangkutan. Dalam perundang-undangan mengenai
pengangkutan prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur. Hal ini tidak mungkin
diatur karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha di bidang jasa angkutan
tidak perlu dibebani dengan risiko yang terlalu berat. Namun tidak berarti para
pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan, hal
tersebut berdasarkan asas perjanjian yang bersifat kebebasan berkontrak.
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bagian sebelumnya tanggung jawab
adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban
menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau
memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Sedangkan pengangkut adalah
pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan angkutan barang dan/atau
penumpang yang berbentuk badan usaha. Jadi pengertian tanggung jawab
pengangkut adalah kewajiban perusahaan yang menyelenggarakan angkutan
148
Ibid
125

barang dan/atau penumpang untuk mengganti kerugian yang diderita oleh


penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Menurut Pasal 1367
KUHPerdata, tanggung jawab hukum kepada orang yang menderita kerugian
tidak hanya terbatas kepada perbuatan sendiri, melainkan juga perbuatan,
karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada
orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban
yang dibebankan kepada orang tersebut. Tanggung jawab perusahaan
pengangkutan dalam angkutan laut terhadap penumpang dimulai sejak
diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan yang telah disepakati.
Demikian juga halnya dengan tanggung jawab terhadap pemilik barang
(pengirim) dimulai sejak barang diterima untuk diangkut sampai diserahkannya
barang kepada pengirim atau penerima. Yang dimana tanggung jawab tersebut
dikarenakan telah terjadinya kecelakaan. Kecelakaan adalah suatu kejadian yang
tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban
manusia dan/atau harta benda.149
Secara umum pertanggungjawaban perdata dapat diartikan sebagai
konsekuensi hukum atas pelanggaran hak dan kewajiban, baik hak dan kewajiban
yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang, yang
membawa kerugian kepada orang atau badan hukum. Menurut hukum perdata
setiap perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus dipertanggung
jawabkan atas sejumlah kerugian yang diderita pihak lain, suatu perbuatan
menurut perkembangan ilmu hukum, terutama melalui yurisprudensi, tidak saja
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak dari pihak lain,
tetapi juga setiap perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan
masyarakat, baik dalam hubungannya dengan pribadi maupun harta benda orang
lain. Suatu proses tanggung jawab membayar ganti rugi lazimnya dikaitkan
dengan hal tertentu yang menjadi penyebab timbulnya kerugian, yaitu
terdapatnya unsur kesalahan pada pihak pelaku perbuatan Perbuatan melawan
hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan
pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan
tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan
149
Ibid, hlm 84
126

dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan


ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.
Berkaitan dengan pengangkutan di laut dan kasus yang terjadi pada Kapal
MV Ever Judger. Maka prinsip/asas tanggung jawab yang digunakan yaitu Strict
Liability dengan menggunakan pasal dalam KUHPerdata untuk penyelesaian
sengketa. Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan
kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa
keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak
mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan.
Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun
yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan
kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena
peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini. Dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab
mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha di
bidang jasa angkutan tidak perlu dibebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan
tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini
dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan
prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan
asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian
pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen
pengangkutan. Pasal KUHPerdata yang digunakan untuk penyelesaian sengketa
kasus kapal MV Ever Judger yaitu

4.3.1.1 PT Pertamina dan Zhang Deyi


Merupakan Nakhoda kapal secara sah telah melakukan perbuatan
melawan hukum karena kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya serta
kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau ketidakhati-hatian berdasarkan
pada ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata dan bertanggungjawab secara mutlak:
1. PT Pertamina bertanggungjawab akibat kelalaian karena pipa minyak
pertamina itu dipasang pada tahun 1998. Usia pada pipa sudah sangat tua
setelah kejadian pipa tersebut sudah berumur 20 tahun. pipa yang digunakan
untuk aliran minyak lama kelamaan akan terjadi penipisan (korosi) dan dalam
127

jangka waktu tertentu harus diganti apabila pipa mengalami korosi maka
lebih mudah patah bila kena benturan jangkar. Pipa minyak lebih mudah
korosi jika minyak mentah (crude oil) banyak mengandung belerang. Pipa
minyak yang tidak mengalami korosi bisa lebih tahan lama. Pada lokasi
kejadian terdapat 4 pipa salah satunya adalah pipa dengan ukuran 20 inci
yang dipasang pada tahun 1998. Pipa 20 inci tersebut yang patah akibat
jangkar kapal MV Ever Judger. Sebelum kejadian kecelakaan ini pipa 20 inci
sudah mengalami pergeseran sekitar 21,5 meter. Dari data yang ditunjukkan
pipa 20 inci saat sebelum terjadi kecelakaan (peta 2014) yaitu tumpang tindih
dengan pipa yang 12 inch. Pertamina juga lambat dalam mengetahui
tumpahan minyak yang terjadi. Untuk mengetahui kejadian itu pertamina
membutuhkan waktu 12 jam dan itu sangat lama sehingga terjadilah
pencemaran minyak di wilayah teluk Balikpapan karena pencemaran tersebut
lingkungan sekitar teluk Balikpapan tercemar, banyak hewan dan tumbuhan
yang mati, terjadinya kebakaran di laut dan menyebabkan kematian warga
lokal Balikpapan serta membuat mata pencarian masyarakat teluk Balikpapan
yaitu nelayan terganggu karena lingkungan laut yang rusak.
2. Zhang Deyi bertanggungjawab karena kesalahan dan kelalaian nya.
Kesalahan yang dilakukan oleh Zhang Deyi yaitu melabuhkan jangkar di
wilayah pipa minyak sangat fatal serta ketidak hati-hatiannya dalam
berkomunikasi dengan ABK Kapal nya serta tidak teliti dalam melihat peta
navigasi bahwa tempat yang dia minta untuk memberhentikan kapal nya serta
berlabuh jangkar di wilayah yang berbahaya. Zhang Deyi tidak hanya
mengancam keselamatan ABK Kapal nya tetapi juga lingkungan laut sekitar.
Akibat kesalahan dan kelalaian nya pipa bawah minyak milik pertamina
patah dan menyebabkan kerusakan lingkungan serta terjadinya korban jiwa
dan ABK kapal terluka.

4.3.1.2 Fleet Management Limited


Secara sah bertanggungjawab untuk menggantikan segala kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan dan kelalaian Zhang Deyi selaku Nakhoda kapal MV
Ever Judger dan beserta dengan barang yang berada dibawah pengawasan nya
berdasarkan Pasal 1367. Fleet Management Holding juga secara sah bertanggung
jawab mutlak (Strict Liability) untuk mengganti biaya penanganan
128

penanggulangan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul akibat tumpahan


minyak berdasarkan ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Pelayaran juncto Pasal
29 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2010 juncto Pasal 11 Peraturan Presiden
No.109 Tahun 2006;

4.3.1.3 Ever Judger Holding


Secara sah bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang dibuat oleh
Zhang Deyi yaitu mengganti biaya penanganan penanggulangan dan kerugian
lingkungan hidup yang timbul akibat tumpahan minyak berdasarkan ketentuan
Pasal 230 Undang-Undang Pelayaran juncto Pasal 29 Peraturan Pemerintah No.
21 Tahun 2010 juncto Pasal 11 Peraturan Presiden No.109 Tahun 2006;
PT Pertamina, Zhang Deyi, Fleet Management Limited dan Ever Judger
Holding secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi lingkungan hidup
secara tunai, seketika dan sekaligus kepada Kementrian LHK total
sebesar Rp.10.147.503.577.005,00 (sepuluh triliun seratus empat puluh tujuh
miliar lima ratus tiga juta lima ratus tujuh puluh tujuh ribu lima rupiah) yang
meliputi:

1 Jasa Ekosistem : Rp.9.962.579.929.200,00


2 Biaya Pemulihan (Restorasi) : Rp.184.055.020.000,00
3 Biaya Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup : Rp. 868.627.805,00
PT Pertamina, Zhang Deyi, Fleet Management Limited dan Ever Judger
Holding secara tanggung renteng untuk membayar bunga denda sebesar 6%
(enam persen) per tahun dari total nilai ganti rugi lingkungan hidup, terhitung
sejak tanggal didaftarkannya perkara/gugatan ini dan secara tanggung renteng
untuk membayar biaya perkara.
129

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kasus kecelakaan Kapal MV Ever Judger yang terjadi pada tanggal 30 Maret
2018 di perairan teluk Balikpapan secara garis besar kasus ini terjadi karena
tidak kompeten nya seorang pemandu kapal dan nakhkoda kapal. Hal ini
terjadi karena pertama pemandu kapal dengan sengaja memberikan izin
kepada Kapal MV Ever Judger untuk berhenti serta melabuhkan jangkar di
wilayah berbahaya yaitu wilayah minyak dan gas milik PT Pertamina.
Secara peraturan di dunia pelayaran Kapal MV Ever Judger sangat tidak
tidak diperbolehkan untuk berhenti di pelabuhan tersebut karena hal ini
sudah melanggar asas cabotage dan di dalam peta navigasi sudah diberikan
pemberitahuan bahwa wilayah tersebut berbahaya tetapi dengan alasan cuaca
kapal ini diperbolehkan untuk berhenti Seharusnya pemandu kapal memiliki
saran lain untuk Kapal MV Ever Judger memberhentikan kapalnya dengan
jarak jauh dari saluran pipa minyak gas milik PT Pertamina dan pemandu
tidak mengizinkan nakhoda kapal untuk melabuhkan jangkar karena wilayah
tersebut sangat berbahaya dan melabuhkan jangkar dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan walaupun hanya 1 meter dari permukaan laut, kedua
nakhoda kapal sudah melanggar SOP dan peraturan seperti tidak
menggunakan bahasa inggris untuk menjalankan kegiatan pelayaran nya,
memberikan perintah yang salah tetapi direvisi kembali, tidak paham peta
navigasi bahwa kapal yang dia bawa sedang ada di wilayah yang sangat
berbahaya dan mengancam keselamatan para awak kapal serta barang yang
dibawanya, melabuhkan jangkar di wilayah berbahaya dan ada faktor
kelelahan bekerja karena tidak sesuai dengan jam kerja. Jika, pemandu kapal
130

sedari awal tidak mengizinkan kapal tersebut berhenti di wilayah tersebut


kemungkinan besar tidak akan terjadi kecelakaan kapal dan kerusakan
lingkungan dan jika nakhoda lebih teliti lagi dan lebih memahami peta
navigasi sebagai nakhoda ia bisa memberitahukan dan menolak arahan dari
pemandu kapal bahwa arahan tersebut salah. Nakhoda adalah pemegang
komando kapal jadi semua yang berkaitan dengan kapal nya ia mempunyai
hak mutlak untuk keselamatan para awak kapal dan barang yang dibawa.
2. Kasus ini sudah dimintakan pertanggungjawaban secara pidana dan perdata.
Secara pidana sudah ada hasil keputusan dari pengadilan pidana Balikpapan
dan menyatakan bahwa Zhang Deyi Zhang Deyi yang merupakan nakhoda
kapal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah “sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang mengakibatkan orang lain luka berat atau mati” sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 98 Ayat (3) Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Zhang Deyi dijatuhi sanksi pidana berupa pidana penjara
selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi dengan lamanya terdakwa ditahan
dengan perintah agar Terdakwa tetap berada di dalam tahanan dan denda
sebesar Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah) subsidair 1 (satu)
tahun kurungan. Secara perdata kasus ini sudah dibawa akan tetapi belum
ada hasil putusan pengadilan. Gugatan perdata masih dalam proses
pengadilan. Dengan nomor gugatan 407/Pdt.G/LH/2019/PN.JKT.PST.
Kementrian Lingkungan Hidup menggugat PT Pertamina, Zhang Deyi, Fleet
Management Limited dan Ever Judger Holding dengan maksud tujuan untuk
meminta pertanggungjawaban atas kecelakaan kapal yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak yang tumpah dan adanya
korban jiwa. Para pihak yang dimintakan pertanggungjawaban nya yaitu PT
Pertamina, Zhang Deyi, Fleet Management Limited dan Ever Judger
Holding. PT Pertamina telah melakukan perbuatan melawan hukum karena
kelalaiannya berdasarkan ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata atau
menyatakan sah PT Pertamina bertanggung jawab mutlak atas kerugian
lingkungan hidup yang timbul akibat tumpahan minyak yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan  lingkungan hidup berdasarkan ketentuan
131

Pasal 88 UU Lingkungan Hidup (Strict Liability); Zhang Deyi bersalah telah


melakukan perbuatan melawan hukum karena kelalaiannya berdasarkan
ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata yang telah menimbulkan kerugian
lingkungan hidup; Fleet Management Limited bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian lingkungan hidup yang timbul akibat kesalahan atau
kelalaian Zhang Deyi tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata, dan menyatakan pula Ever Judger Holding secara sah
bertanggung jawab mutlak (Strict Liability) untuk mengganti biaya
penanganan penanggulangan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul
akibat tumpahan minyak berdasarkan ketentuan Pasal 230 Undang-Undang
Pelayaran juncto Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2010 juncto
Pasal 11 Peraturan Presiden No.109 Tahun 2006; Ever Judger Holding
bertanggung jawab mutlak (Strict Liability) untuk mengganti biaya
penanganan penanggulangan dan kerugian lingkungan hidup yang timbul
akibat tumpahan minyak berdasarkan ketentuan Pasal 230 Undang-Undang
Pelayaran juncto Pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2010 juncto
Pasal 11 Peraturan Presiden No.109 Tahun 2006.

5.2 Saran
Terkait dengan kasus kecelakaan Kapal MV Ever Judger serta
pertanggungjawabannya, maka saran yang diberikan terkait persoalan tersebut
adalah:
1. Untuk perusahaan agen pelaut seperti Fleet Management Limited, lebih
memperhatikan kembali SDMnya, memberikan SDM pelatihan/training yang
baik dan benar sesuai dengan prosedur yang tepat sesuai dengan peraturan
internasional seperti IMO, SCTW dan lain-lainnya serta melakukan penilaian
terhadap kinerja SDMnya sehingga mendapatkan SDM yang berkualitas
2. Untuk perusahaan kapal seperti Ever Judger Holding, lebih memperhatikan
kondisi kapal yang akan dijual/disewakan kepada pihak ketiga sehingga kapal
yang digunakan layak laut dan mencegah terjadinya kecelakaan kapal
3. Untuk Pelabuhan Balikpapan, lebih memperhatikan kembali kinerja semua
pemandu kapal yang ada di Balikpapan, melakukan penilaian terhadap
kinerjanya sehingga pemandu kapal lebih profesional dan bertanggung jawab
132

serta pelabuhan harus lebih tanggap dan cepat mengatasi setiap masalah dan
permintaan bantuan jika ada kecelakaan di laut
4. Untuk PT Pertamina, segera memperbaiki kerusakan pipa akibat dari
kecelakaan Kapal MV Ever Judger supaya tidak memperluas kerusakan
lingkungan
5. Untuk Nakhoda dan ABK Kapal harus lebih profesional dan selalu mengikuti
aturan dan SOP yang berlaku dalam dunia pelayaran. Jika ada kesalahan
dalam bekerja segera untuk merevisi kembali kesalahan tersebut karena
akibat dari hal sekecil itu dapat menyebabkan masalah yang besar
6. Untuk pemandu kapal harus lebih profesional dan teliti dalam memandu
kapal serta bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan.
133
DAFTAR PUSTAKA

Anon. “Bentuk Task Force Untuk Pelaksanaan Program Beyond Cabotage”


(Online) Tersedia di WWW :
http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2012/10/10/354751/4/2/Bentu
k_Task_Force_untuk_Pelaksanaan_Program_Beyond_Cabotage (5
November 2019).

Arikunto,Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka


Cipta, 2002.

Bonaparte,Samuel. “Asas Cabotage di dalam Hukum Maritim Indonesia” (Online),


Tersedia di WWW : https://samuelbonaparte.com/2017/02/04/asas-
cabotage-di-dalam-hukum-maritim-indonesia/ (21 Februari 2020).

BP Lawyers Counselors At Law. “Penerapan Asas Cabotage Dalam Industri Migas


Nasional” (Online), Tersedia di WWW:
https://bplawyers.co.id.2016/07/19/Penerapan-asas-cabotage-dalam-
industri-migas-nasional/ (21 Februari 2020).

Corbet,A.G. The Law of Pilotage. London: The Nautical Institute on Pilotage and
Ship Handling, 1990.

Digilib ITB. “Energi” (Online). Tersedia di WWW :


http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/607/jbptitbpp-gdl-zenalabidi-30328-2-
2008ta-1.pdf (30 November 2018).

Djalal,Hasjim. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. Bandung: Bina Cipta.

Dr.D.ALasse, S.H., M.M. Keselamatan Pelayaran Di Lingkungan Teritorial


Pelabuhan dan Pemanduan Kapal. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2014.

E.A.P. Asas Cabotage Menghadapi Program Masyarakat Ekonomi Asean.

F.,Charles. Chapman, Piloting, Seaman ship and Small Ship Handling. New York:
Stratford Press, 1976.

Hartono,Sunaryati. Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20.


Bandung: Penerbit Alumni. 1994.

Indonesia Nasional Shipowners’ Association. “Asas Cabotage Harus


Dipertahankan” (Online), Tersedia di WWW: https://insa/or.id/asas-
cabotage-harus-dipertahankan/ (21 Februari 2020).

Jaeger,Walter H. E. The Warranty of Habitability - Part II: StrictLiability versus


Absolute Liability. Chicago: IIT Chicago-Kent College of Law, 1970.

Jurnal Maritim. “Mengenal Bulker, Kapal Pengangkut Kargo Curah Kering”


(Online), Tersedia di WWW : https://jurnalmaritim.com/sekilas-tentang-
bulker-kapal-pengangkut-kargo-curah-kering/ (21 Februari 2020).
Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Maritime Glossary” (Online), Tersedia di
WWW: http://knkt.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/maritime_glossary.htm
(20 Februari 2020).

Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Laporan Investigasi Kecelakaan Laut


“Kerusakan Pipa dan Polusi Minyak Mentah di Teluk Balikpapan,
Balikpapan Kalimantan Timur Republik Indonesia 30 Maret 2018”. Jakarta:
Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, 2019.

Kusumaatmadja,Mochtar. Bunga Rampai Hukum Laut. 1978. Hlm. 179.

Lede,Fransiskus Desales Jeri. “Pertanggungjawaban Atas Kerugian Yang Terjadi


Dalam Pengangkutan Di laut Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran” Vol. VII No. 2. Hlm. 82-83.

Mallarangan,Farid M. Design Pipa Bawah Laut 20 Inch Penajam – Balikpapan.

Marlyna,Henny & Raisa Desra Kristina Hutauruk. “Penerapan Absolute Liability


Dan Limitation Of Liability Dalam Kasus-Kasus Kehilangan Bagasi
Tercatat Penumpang Pesawat” Jurnal FH UI, 2014. Hlm. 5.

Martono. Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional. Bandung: Jakarta


Raja Grafindo Persada, 2007.

Nautical Institute Command Working Group. Paper. London: The Nautical Institute
on Pilotage and Ship Handling, 1990.

Parks,Alex L. The Law of Tug , Tow, and Pilotage. London: Chapman and Hall,
1982.

Pemerintah Indonesia. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor Nomor


300.K/38/M.PE/1997, Pasal 1 huruf A-C. Jakarta: Sekretariat Negara, 1997.

Pemerintah Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 309. Jakarta:


Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun


2002 tentang Perkapalan Pasal 1 ayat 1. Jakarta: Sekretariat Negara, 2002.

Pemerintah Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 20 Tahun


2010 tentang Angkutan Di Perairan Pasal 1 ayat 8. Jakarta: Sekretariat
Negara, 2010.

Pemerintah Indonesia. Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 14. Jakarta: Sekretariat
Negara, 2009.

Pemerintah Indonesia. Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 1


ayat 1 dan 2. Jakarta: Sekretariat Negara, 2014.

Pemerintah Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran


Pasal 1 ayat 1. Jakarta: Sekretariat Negara, 2008.
Pemerintah Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pasal 1 ayat 36. Jakarta: Sekretariat Negara, 2008.

Pemerintah Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran


Pasal 7-8. Jakarta: Sekretariat Negara, 2008.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi United Nations Convention on the Law of the


Sea Pasal 1 ayat 4, 1982.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi United Nations Convention on the Law of the


Sea Article 1, 1982.

Prakoso,Andria Luhur. Prinsip Pertanggungjawaban Perdata Dalam Perspektif


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Puspoayu, Elisabeth Septin, Arief Rachman Hakim, dan Hanum Selsiana Bella.
“Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pencemaran Minyak Di Wilayah
Teluk Balikpapan.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 25. No. 3 (2018):
560-80.

Rose,Francis. The Modern Law of Pilotage. London: Sweet& Maxwell, 1984.

Rowbotham,Mark. Introduction To Marine Cargo Managemen. Edisi kedua. New


York: Informa Law From Routledge, 2014.

Saifulanam & Partners. “Pendekan Perundang-Undangan (Statute Approach) dalam


Penelitian Hukum” (Online). Tersedia di WWW:
https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-statute-
approach-dalam-penelitian-hukum/ (17 April 2019).

Soekanto,Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

Soekanto,Soerjono & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan


Singkat). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015.

Soekanto,Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia, 2015.

Sumaryanto. Konsep Dasar Kapal. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan


Kebudayaan Republik Indonesia, 2013.

Sunggono,Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 1997.

Sutjipto,Johnson W. National Summit. 2009.

Tempo.co. “Dampak Ekologis Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan”


(Online). Tersedia di WWW: https://fokus.tempo.co/read/1077168/dampak-
ekologis-tumpahan-minyak-pertamina-di-teluk-balikpapan.
Utomo,Hari. “Siapa Yang Bertanggung Jawab Menurut Hukum Dalam Kecelakaan
Kapal (Legally Responsible Parties In Ship Accident.” Jurnal Legislasi
Indonesia. Vol.1 No. 01. Hlm 73-74.

Wijoyo,Pius Honggo. Terminal Penumpang Kapal Laut Pelabuhan Harbour Bay


Pulau Batam.

Windyandari,Aulia. “Tantangan Sistem Komunikasi Laut Indonesia Sebagai Faktor


Pendukung Keselamatan Pelayaran.” Vol. 32 No.1. Hlm. 58.

WWF Indonesia. Pemasangan Alat Tambat Apung (MooringBuoy). Indonesia: WWF


Indonesia, 2015.
GLOSARRY

SDM : Sumber Daya Manusia


SCTW : International Convention on Standards of Training, Certification and
Watchkeeping for Seafarers
SOP : Standar Operasional Prosedur 
LHK : Lingkungan Hidup dan Kehutanan
ECDIS : Electronic Chart Display & Information System
ENC : Electronic Navigational Charts
SOLAS : Safety Of Life At Sea
IMO : Internasional Maritime Origanization
VTS : Vessel Traffic Services
AIS : Automatic Identification System
BCT : Balikpapan Coal Terminal
SPL : Submarine Pipa Line
ETA : Estimate Time Arrival
UTS : Coordinated Universal Time
UHF : Ultra High Frequency
VHF : Very High Frequency
INS : Information Service
NAS : Navigational Assistance Services
TOS : Traffic Organization Services
SROP : Stasiun Radio Pantai
SBNP : Sarana Bantu Navigasi Pelayaran.
Bp : Baringan Pedoman
Bm : Baringan Magnet
Bs : Baringan Serjati
SMCPs : Standard Marine Communication Phrases
ISM code : Internasional Safety Management Code
VDR : Voyage Data Recorder
UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea
LANTAMAL : Pangkalan Utama Angkatan Laut
LANAL : Pangkalan Angkatan Laut
SPM : Single Point Mooring
MBM : Multiple Buoy Mooring
VLCC : Very Large Crude Carrier/Malaccamax
TOMB : Tekanan Operasi Maksimum Boleh
SPM : Standar Pertambangan Migas
FoB : Free on Board
CnF : Cost and Freight
INSA : Indonesian National Shipowners Association
SAR : Search and rescue

Anda mungkin juga menyukai