Anda di halaman 1dari 8

PENUGASAN KESLING BLOK KESEHATAN MASYARAKAT (4.

4)
“KERACUNAN TEMBAGA”

Oleh:
Berlian Arinta Putri
16711054
Tutorial 3

Tutor:
dr.Novyan Lusiana, M.Sc.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2020
DAFTAR ISI
Pendahuluan………………………………………………………………………….1
Definisi Agen Pencemaran…………………………………………………………..1
Patofisiologi Agen Pencemaran……………………………………………………..2
Diagnosis Agen Pencemaran………………………………………………………...3
Tatalaksana Awal Agen Pencemaran………………………………………………4
Pengendalian dan Kadar Agen Pencemaran………………………………………5

i
KERACUNAN TEMBAGA

A. Pendahuluan

Semakin tingginya efek globalisasi memberikan dampak pada masalah


berkaitan dengan keracunan logam berat. Keracunan logam berat sering
muncul dengan meningkatnya penggunaan logam berat tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, ataupun berkaitan dengan pekerjaan terutama bidang
industri. Keracunan tersebut dapat terjadi pada wilayah yang mempunyai
kadar logam tinggi sehingga terdapat adanya kontaminasi lingkungan yang
mengenai manusia. Adanya efek pada kesehatan manusia dapat menimbulkan
kerusakan, penyakit, maupun kematian. Atas dasar hal tersebut maka perlu
untuk mengetahui informasi berkaitan dengan logam berat, mekanisme, tanda
dan gejala, pemeriksaan, pencegahan, dan kadar-kadar yang dapat dijadikan
patokan.

B. Definisi Agen Pencemaran

Tembaga atau Cu atau Copper adalah suatu logam berat atau metal
yang secara fisik bewarna kuning namun biji bewarna merah muda
kecokelatan sampai keabu-abuan secara mikroskopis. Sifat tembaga adalah
lunak, mudah dibentuk (ductile), dan sebagai konduktor yang baik untuk
panas dan elektrisiti. Penggunaan tembaga adalah untuk peralatan listrik,
konstruksi, mesin industry, dan sebagai logam campuran (alloy) seperti
perunggu dan kuningan1.
Tembaga terdapat secara alami pada batu, tanah, air, sedimen, dan
udara pada kadar yang rendah. Tembaga juga terdapat secara alami pada
tumbuhan dan hewan sebagai elemen penting organisme hidup termasuk pada
manusia dengan kadar yang rendah. Pada manusia, tembaga merupakan
mineral yang penting untuk kesehatan fisik dan mental. Pada konsentrasi yang

1
tinggi, maka tembaga dikategorikan beracun. Senyawa beracun dari tembaga
adalah tembaga sulfat, tembaga karbonat, dan tembaga sub-asetat2.

C. Patofisiologi Agen Pencemaran

Tembaga dapat masuk ke dalam tubuh manusia secara oral, inhalasi,


dan dermal. Secara umum, mekanisme fisiologi metabolisme tembaga
menggunakan jalur oral. Tembaga yang masuk melalui oral diabsorbsi oleh
usus halus dan ditransportasikan ke hepatosit melalui vena porta. Ion Cu
dalam darah yang memasuki hepatosit tersebut melalui sebuah transporter
yaitu CTR1 (Copper Transporter 1). Fungsi hepar itu sendiri adalah untuk
mengatur tembaga yang disimpan dan diekskresikan. Untuk
mentransportasikan tembaga ke organ maka memerlukan protein karier di
membrane apparatus golgi yaitu apoceruloplasmin yang untuk melalui
membran tersebut membutuhkan peran protein ATP7B sebagai enzim dengan
aktivitas ATPase diamana pemecahan ATP menyebabkan lepasnya energi
untuk transport tembaga melewati membrane dan berikatan dengan protein
karier. Akibat ikatan tersebut, ceruloplasmin dapat keluar dari hepatosit untuk
ditransportasikan ke berbagai organ melalui darah. Tembaga yang tidak
dibutuhkan ditransportasikan dari apparatus golgi menuju ke saluran empedu
dan dieliminasi keluar tubuh3.
Mekanisme terjadinya keracunan tembaga adalah akumulasi tembaga
pada hepatoseluler yang ditunjang oleh disfungsi dari protein ATP7B
menyebabkan perubahan konformasi pada protein antiapoptotic penghambat
apoptosis (XIAP), terakumulasinya tembaga pada beberapa organ serta
terinduksinya stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan DNA dan cidera
lisosomal dan mitokondrial. Gangguan pada XIAP menyebabkan terjadinya
apoptosis, kerusakan DNA menyebabkan karsinogenesis hepar. Cider
lisosomal dan mitokondrial menyebabkan kematian sel yang berujung pada
inflamasi, fibrosis dan sirosis, serta kegagalan hepar4.
Gambar 1. Mekanisme toksisitas tembaga4

D. Diagnosis Agen Pencemaran


Dalam penegakan diagnosis maka perlu diketahui riwayat paparan
tembaga. Riwayat paparan tembaga tersebut terdiri dari paparan penggunaan
alat-alat berasal dari tembaga, pekerjaan berkaitan dengan tembaga, air yang
terkontaminasi tembaga, pil pencegah kehamilan, IUD, suplemen mineral dan
vitamin, fungisida kolam renang, makanan tinggi tembaga, dan vegetarian2.

Gejala dan tanda keracunan tembaga dibagi menjadi dua yaitu akut
dan kronik. Pada gejala dan tanda akut melalui ingesti adalah rasa logam pada
mulut, peningkatan salivasi, nyeri perut kolik, mual, muntah bewarna
kebiruan atau kehijauan, diare, myalgia, pankreatitis, methemoglinemia,
hemolysis, ikterik, oliguria, gagal ginjal, kejang, delirium, dan koma. Melalui
inhalasi berupa iritasi saluran pernapasan, batuk, konjungtivitis, edema
palpebra, iritasi sinus, atrofi dan perforasi membrane mukosa nasal, demam.
Melalui kulit berupa dermatitis kontak iritan, diskolorisasi kulit menjadi
kehijauan biru. Pada gejala dan tanda kronik adalah anemia, nyeri perut,
neuritis perifer, degenerasi dan atrofi otot, garis kehijauan pada batas gigi gusi

3
(clapton’s line), vineyard sprayer’s lung, Wilson disease, chalcosis lentis, dan
perubahan rambut kehijauan5.

Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan yang mengarah adalah


pemeriksaan laboratorium. Keracunan tembaga berkaitan dengan kadar
ceruloplasmin kurang dari sama dengan 35mg% dalam 24 jam, kadar tembaga
dalam darah melebihi 1,5mcg/100ml, ammonium hidroksida memberikan
endapan biru kehijauan dan membentuk larutan biru, uji asam rubeanat
menunjukkan bintik hijau zaitun, dan analisis rambut2.

E. Tatalaksana Awal Agen Pencemaran

Manajemen keracunan tembaga adalah yang pertama tidak perlu


menggunakan emetic karena muntah terjadi 5-10 menit setelah konsumsi,
bilas lambung dengan kalium ferrocyanide 1% dan jika tidak tersedia dapat
menggunakan air putih. Demulcents berupa putih telur atau susu dan sukralfat
dapat membantu meringankan gejala. Pemberian arang aktif
dikontraindikasikan. Castor oil untuk menghilangkan racun dari usus. Pasien
dengan methemoglobinemia dapat diberi methylene blue 1-2mg/kg 1%
larutan IV selama 5 menit, dan chelating agent berupa penicillamine 0,75-1,5
gram/hari atau BAL 3-5mg/kg IM tiap 4 jam 2 hari dilanjutkan tiap 6 jam
selama 1 hari dan tiap 12 jam selama 10 hari atau CaNa2EDTA 1-2 ampul per
hari selama 5 hari dilarutkan dalam 250 cc Na Cl atau succimer
30mg/kg/BB/hari. Menghilangkan rasa sakit menggunakan morfin, jika
hipotensi diberi dopamine dan noradrenaline. Untuk kasus terkait anoreksia
dan hematuria diberikan hidrokortison 50-100mg IM tiga kali sehari.
Hemodialisis diindikasikan pada pasien gagal ginjal sekunder akibat
keracunan tembaga. Transplantasi hati pada kegagalan hepar yang
mengancam jiwa2.
F. Pengendalian dan Kadar Agen Pencemaran

Pengendalian yang dapat dilakukan berupa menghindari paparan


dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan logam tembaga dan
menggunakan pelindung diri dari logam tembaga saat bekerja yang berkaitan
dengan logam tersebut. Menegakkan peraturan bagi industry yang berpotensi
memberikan pencemaran lingkungan untuk pengolahan limbah secara benar
dan baik. Mencegah penumpukan logam dengan menambah chelating agent
dalam makanan sehari-hari dan apabila dicurigai terkontaminasi logam berat
atau terdapat gejala dan tanda maka perlu dilakukan pemeriksaan5.
Kadar atau dosis fatal pada logam tembaga meliputi tembaga subasetat
yaitu 15 gram dan tembaga sulfat 20 gram. Kadar yang diperbolehkan pada air
tidak melebihi 1,3 mg per liter air, kadar tembaga uap 0,1 mg per meter kubik,
1 mg per meter kubik untuk debu dan aerosol tembaga, dan untuk makanan
adalah 340 mikrogram untuk anak, 440 mikrogram untuk anak 4-8 tahun, 700
mikrogram untuk anak 9-13 tahum, 890 mikrogram untuk anak 14-18 tahun
dan 900 mikrogram untuk dewasa2.

5
DAFTAR PUSTAKA

1. Sambel, D. 2015. Toksikologi Lingkungan. Jakarta: Penerbit Andi.


2. Anant, M., et al. 2018. An Overview Of Copper Toxicity Relevance to Public
Health. European Journal Of Pharmaceutical and Medical Research,
5(11): 232-237.
3. Gaetke, L., et al. 2015. Copper: Toxicological relevance and mechanism.
Arch
Toxicol, 8(11):1929-1938.
4. Rosencrantz, R., Schilsky, M. 2011. Copper homeostasis and pathology of
Copper.Available:https://www.medscape.com/viewarticle/756588_7
5. Sudoyo, A., et al. 2014. Ilmu Penyakit Dalam FK UI Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai