Anda di halaman 1dari 17

CKD dengan komplikasi Hipertensi

Latar:
Seorang pasien datang ke apotek dengan membawa resep seperti berikut:

A. Dialog scenario konseling resep CKD dengan hipertensi


Apoteker: Selamat siang, selamat datang di Apotek 17 Agustus, ada yang bisa saya
bantu?
Pasien : Siang, ini saya mau menembus resep
Apoteker: Baik, mohon maaf sebelumnya saya berbicara dengan siapa?
Pasien : Saya Ani bu, ini resep atas nama ibu saya Sisi
Apoteker: Baik bu, mohon di tunggu sebentar, saya siapkan dahulu resepnya
Pasien : Baik bu
Apoteker: Pasien atas nama ibu Sisi
Pasien : Iya, saya dengan anaknya
Apoteker: Bu, mohon maaf sebelumnya, saya ingin memberikan konseling terkait
resep yang ibu bawa, apa ibu berkenan?
Pasien : Apa tujuan diberikan konseling ya?
Apoteker: Jadi, tujuan dari konseling itu untum memberikan penjelasan tentang
proses terapi yang akan dijalankan pasien sehingga tujuan terapi tercapai
Pasien : Oh jadi begitu, kira-kira lama tidak ya?
Apoteker: Tidak bu, sekitar 10 menitan
Pasien : Baik bu
Apoteker: Mari saya antar ke ruangan konseling bu
Pasien : baik bu
Apoteker: Siang ibu, silahkan duduk. Perkenalkan saya Dea Apoteker dari apotek
17 Agustus. Resep atas nama ibu Sisi ya? Ibu sendiri merupakan anak dari ibu Sisi,
apakah ibu yang bertanggung jawab atas pemberian obat untuk Ibu Sisi setiap
harinya?
Pasien : Iya, nama ibu saya Sisi. Saya juga merupakan pendamping minum obat
untuk ibu saya.
Apoteker: Baik, kalau begitu saya mulai saja konselingnya. Bu apakah ibu Sisi
mengalami gejala sebelum ke dokter bu?
Pasien : Iya, ibu saya mengalami kaki nya bengkak, pusing sampai tidak bisa
melakukan aktivitas. Yang pada akhirnya saya bawa ke Rumah Sakit dan dokter
menyarankan untuk cek laboratorium lengkap.
Apoteker: Baik bu, apa yang ibu ketahui tentang obat yang diresepkan untuk ibu
Sisi?
Pasien : Saya di kasi tau sama dokter, bahwa obat ini untuk bengkak kaki ibu
saya dan untuk penurun tensi
Apoteker: Baik bu. Apa saja yang sudah dikatakan oleh dokter terkait cara
penggunaan obat atau aturan penggunaan obat yang ada di dalam resep?
Pasien : Belum dijelaskan bu, dokter bilang akan dijelaskan oleh apoteker
Apoteker: Baik bu. Apa yang dikatakan dokter tentang harapan setelah minum obat
yang terdapat dalam resep?
Pasien : Cuma bilang, semoga lekas membaik segitu aja sih bu
Apoteker: Apakah ibu Sisi mempunyai alergi terhadap obat?
Pasien : Tidak ada bu
Apoteker: Baik bu. Jadi ibu Sisi diresepkan 3 macam obat. Obat yang pertama
yaitu Lisinopril 5 mg diminum 1 x 1 tablet pada pagi hari yang berfungsi agar
tekanan darah ibu Sisi turun ke batas normal, dimana efek samping dari lisinopril ini
yaitu batuk kering. Jadi, apa bila ibu Sisi mengalami batuk kering agar
dikonsultasikan kembali kepada dokter. Yang kedua obatnya Furosemid 40 mg
digunakan 1 x 1 tablet sehari yang berfungsi untuk mengeluarkan kelebihan cairan
dari dalam tubuh melalui urine, dimana efek samping dari obat ini yaitu perut
kembung dan diare. Jadi, apa bila ibu Sisi mengalami perut kembung dan diare agar
dikonsultasikan kembali kepada dokter. Obat yang terakhir yaitu KSR 1 X 1 tablet
sehari yang berfungsi sebagai vitamin ibunya. Selain itu, ibu Sisi juga dapat
mengontrol berat badan, jika ibu Sisi merokok sebaiknya dihentikan, kontrol asupan
protein dan alcohol serta rutin berolah raga. Obat yang digunakan ibu Sisi sebaiknya
disimpan di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung ya bu.
Pasien : Baik, terimakasih bu penjelasannya
Apoteker: Iya, sama-sama. Bu saya buatkan kartu pengingat obat ya?
Pasien : Buat apa itu yaa bu?
Apoteker: Jadi, kalau ibu lupa waktu untuk meminum obat, aplikasi pengingat
minum obat akan berbunyi
Pasien : Oh jadi begitu, baik bu, ini hp saya mohon dibuatkan ya aplikasi
pengingat minum obatnya
Apoteker: Baik, ditunggu sebentar ya. Saya masukan jam dan berapa tablet minum
obatnya dalam aplikasi
Pasien : Baik, terimakasih bu
Apoteker: Bu, ini pengingat obatnya sudah selesai dan langsung ibu bisa gunakan
ya. Bu apakah ibu bisa mengulang apa saja yang saya berikan informasi terkait
penggunaan obat tadi?
Pasien : Jadi ibu saya diresepkan 3 macam obat. Obat yang pertama yaitu
Lisinopril 5 mg diminum 1 x 1 tablet pada pagi hari yang berfungsi agar tekanan
darah ibu Sisi turun ke batas normal, dimana efek samping dari lisinopril ini yaitu
batuk kering. Jadi, apa bila ibu Sisi mengalami batuk kering agar dikonsultasikan
kembali kepada dokter. Yang kedua obatnya Furosemid 40 mg digunakan 1 x 1
tablet sehari yang berfungsi untuk mengeluarkan kelebihan cairan dari dalam tubuh
melalui urine, dimana efek samping dari obat ini yaitu perut kembung dan diare.
Jadi, apa bila ibu Sisi mengalami perut kembung dan diare agar dikonsultasikan
kembali kepada dokter. Obat yang terakhir yaitu KSR 1 X 1 tablet sehari yang
berfungsi sebagai vitamin ibunya. Selain itu, ibu saya juga juga dapat mengontrol
berat badan, jika ibu Sisi merokok sebaiknya dihentikan, kontrol asupan protein dan
alcohol serta rutin berolah raga. Obat yang digunakan ibu saya sebaiknya disimpan
di tempat yang tidak terkena sinar matahari langsung ya bu.
Apoteker: Baik, apakah sudah cukup jelas ya?
Pasien : Iya, sudah jelas bu
Apoteker: Bu, apakah masih ada ditanyakan terkait informasi penggunaan obatnya?
Pasien : Tidak ada bu, sudah sangat jelas
Apoteker: Baik ibu, jika tidak ada yang ditanyakan lagi, kita sudahi konseling hari
ini ya, semoga lekas sembuh dan mohon tanda tangani form konseling sebagai bukti
bahwa ibu sudah menerima konseling dari saya
Pasien : Baik bu
Apoteker: Terima kasih bu. Sekali lagi semoga lekas sembuh ya
Pasien : Baik, terimakasih
B. Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi
ginjal.Kriteria penyakit gagal ginjal kronik (Sudoyo, 2014):

a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi : kelainan Patologis, terdapat tanda kelainan ginjal termasuk
kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan
ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau tidak lebih dari 60 ml/menit/1,73m2
, tidak termasuk criteria penyakit ginjal kronik.
C. Gejala dan Tanda
Manifestasi klinis GGK tidak spesifik dari biasanya ditemukan pada tahap akhir
penyakit. Pada stadium awal, GGK biasanya asimtomatik. Tanda dan gejala GGK
melibatkan berbagai system organ, diantaranya (Tanto, 2014):

a. Gangguan keseimbangan cairan: oedema perifer, efusi pleura, hipertensi, asites.


b. Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala hyperkalemia, asidosis
metabolic (nafas Kussmaul), hiperfosfatemia.
c. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual, muntah, gastritis,
ulkus peptikum, malnutrisi.
d. Kelainan kulit: kulit terlihat pucat, kering, pruritus, ekimosis.
e. Gangguan metabolic endokrin: dislipidemia, gangguan metabolik glukosa,
gangguan hormon seks.
f. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik
normokrom), gangguan hemostatis.
D. Diagnosa
Pendekatan diagnosis dicapai dengan melakukan pemeriksaan yang kronologis, mulai dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang rutin khusus (Fiena,2018).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik, anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan
semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk
faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal (Fiena,2018).
2. Pemeriksaan laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan
menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal (Fiena,2018).
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG) Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat
serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah,
elektrolit dan imunodiagnosis.
c. emeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal
ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan
indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif
sesuai dengan tujuannya, yaitu (Fiena,2018):
a. Diagnosis etiologi GGK 25 Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto
polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
b. Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram)
dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).
E. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi (Suwitra, 2014) :

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit


Deraja Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)
t
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemik,
non diabetes obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
transplantasi Penyakit recurrent (glomerular)
Transplantglomerulopathy

F. Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologic terbanyak sebagai berikut
glomerunefritis (28%), diabetes militus (26%), Hipertensi (23%) (Fiena,2018).
1. Glomerulonefritis merupakan suatu penyakit ginjal yang disebabkan oleh proses
inflamasi pada struktur glomerular sehingga sel darah merah dan protein keluar ke
dalam urin. Salah satu penyebab glomerulonefritis akut (GNA) primer tersering adalah
glomerulonefritis akut pasca infeksi. Glomerulonefritis akut pasca infeksi dapat
disebabkan oleh agen bakteri, virus, jamur, parasit dan berbagai proses imunologis
lainnya, namun pada anak-anak penyebab paling sering dari glomerulonefritis akut
yakni GNA pasca infeksi streptococcus βhaemolyticus grup A tipe nefritogenik (GNAPS)
(Fiena,2018).
2. Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya
kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Fiena,2018).
Faktor metabolik Diabetes Militus diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat
bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s
(advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan
kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi
protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam
jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase.
Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang
menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal ginjal (Fiena,2018).
3. Hipertensi terjadi apabila keadaan seseorang mempunyai tekanan sistolik sama
dengan atau lebih tinggi dari 160 mmHg dan tekanan diastolik sama dengan atau lebih
tinggi dari 90 mmHg secara konsisten dalam beberapa waktu. Menurut JNC-7
hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi ketika tekanan darah
meningkat 140/90 mmHg atau lebih (WHO) (Fiena,2018).
Tekanan darah tinggi (hipertensi) yang berlangsung lama dapat merusak
pembuluh darah. Hal ini dapat mengurangi suplai darah ke organorgan penting seperti
ginjal. Hipertensi juga merusak unit penyaring kecil di ginjal. Hasilnya, ginjal dapat
berhenti membuang limbah dan cairan ekstra dari darah. Hipertensi juga merupakan
komplikasi dari penyakit ginjal kronik. Ginjal yang merupakan organ penting dalam
mengatur tekanan darah dalam batas normal, jika ginjal mengalami kerusakan maka
kemampuan untuk menjaga tekanan darah akan berkurang, hasilnya tekanan darah
dapat naik (Fiena,2018).
4. Gaya Hidup Gaya hidup atau yang sering di sebut lifestyals merupakan bagian dari
kebutuhan skunder manusia yang berubah tergantung zaman atau keinginan seorang
untuk mengubah gaya hidupnya. Gaya hidup juga diartikan sebagai kebiasaan dalam
sehari-hari. Berkembangnya zaman, kebiasaan hidup sehat menjadi hal yang tidak
penting, hal ini sering dianggap sebagai gaya hidup yang tidak baik. Salah satu contoh
gaya hidup yang tidak baik adalah minum alcohol, perokok, begadang, makan
makanan junkfood yang dapat merusak organ organ vital, salah satunya adanya
gangguan ginjal (Fiena,2018).
G. Patofisiologi
Patofisiologi GGK (Gagal Ginjal Kronik) pada awalnya tergantung dari penyakit
yang mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama. Pada diabetes
melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh darah sehingga terjadi nefropati diabetik, dimana
terjadi peningkatan tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi
glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang mengarah pada
glomerulosklerosis (Sudoyo, 2014).
Tingginya tekanan darah juga menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah yang
tinggi menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi penurunan
filtrasi. Pada pasien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh. Hal ini
disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu keseimbangan glomerulotubular
sehingga terjadi peningkatan intake natrium yang akan menyebabkan retensi natrium dan
meningkatkan volume cairan ekstrasel. Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis air
dari lumen tubulus menuju kapiler peritubular 12 sehingga dapat terjadi hipertensi
.Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan merusak pembuluh darah
ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal mengakibatkan gangguan filtrasi dan
meningkatkan keparahan dari hipertensi (Rahman, 2013).
H. Tatalaksana Terapi
Tujuan terapi adalah menunda perkembangan CKD, sehingga meminimalkan
perkembangan atau tingkat keparahan komplikasi terkait termasuk penyakit kardiovaskular.
Intervensi nonfarmakologis dan farmakologis tersedia untuk memperlambat laju
perkembangan CKD dan juga dapat menurunkan kejadian dan prevalensi ESRD (Suwitra,
2009).
Biasanya pasien dengan CKD akan melakukan diet protein sebagai terapi non-
farmakologi serta mendapatkan terapi farmakologis. Tujuan utama terapi farmakologi
adalah untuk mengendalikan kondisi yang mendasari, seperti diabetes melitus dan
hipertensi, yang telah memicu kerusakan ginjal sehingga mencegah penurunan fungsi lebih
lanjut. Pasien umumnya memerlukan pendekatan pengobatan multimodal terlepas dari
penyebab penyakit ginjal mereka. Terapi dengan ACEI dan atau ARB adalah komponen
terapeutik kunci untuk hampir semua pasien (Suwitra, 2009).
Pedoman untuk penanganan CKD biasanya mengenali perbedaan patogenesis dan
jalannya CKD diabetes dan nondiabetes. Akibatnya, intervensi farmakologis dibahas secara
terpisah untuk kondisi ini dalam bab ini. Fokus utama bab ini adalah dampak terapi ACEI
dan ARB pada CKD progresif (Suwitra, 2009).
Tabel 3. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai Dengan Stadium
Stadium GFR (mL/menit/1,73m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Observasi, kontrol tekanan darah
2 60 – 89 Observasi, kontrol tekanan darah dan
faktor risiko
3a 45-59 Observasi, kontrol tekanan darah dan
3b 30-44 faktor risiko
4 15-29 Persiapan untuk RRT (Renal
Replacement Therapy)
5 < 15 RRT (Renal Replacement Therapy)
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya paling tepat diberikan sebelum
terjadinya penurunan GFR sehingga tidak terjadi perburukan fungsi ginjal. Selain itu, perlu
juga dilakukan pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid dengan mengikuti dan
mencatat penurunan GFR yang terjadi. Perburukan fungsi ginjal dapat dicegah dengan
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, yaitu melalui pembatasan asupan protein dan terapi
farmakologis guna mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pencegahan dan terapi terhadap
penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting mengingat 40-45 % kematian pada
CKD disebabkan oleh penyakit kardiovaskular ini. Pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskular dapat dilakukan dengan pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemia dan sebagainya. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi yang mungkin muncul seperti anemia dan osteodistrofi renal
(Suwitra, 2009).
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Faradilla, 2009):
Tabel 4. Tabel Rencana Penatalaksaan CKD
Rencana Penatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m²) Rencana Tatalaksana
1 > 90 Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan
(progession)
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler.
2 60-89 Menghambat pemburukan
(progession) fungsi ginjal.
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi.

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti


ginjal.
5 <15 Terapi pengganti ginjal.

1. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi dari gangguan ginjal kronis adalah sebagai berikut (Suyono,
2015):

a. Kontrol tekanan darah


1) Pada pasien dengan gangguan ginjal kronis, harus mengontrol tekanan darah
sistolik < 140 mmHg (dengan target antara 120-139 mmHg) dan tekanan
darah diastolik < 90 mmHg.
2) Pada pasien dengan gangguan ginjal kronis dan diabetes dan juga pada pasien
dengan ACR (Albumin Creatinin Ratio) 70 mg/mmol atau lebih, diharuskan
untuk menjaga tekanan darah sistolik < 130 mmHg (dengan target antara 120-
129 mmHg) dan tekanan darahdiastolik < 80 mmHg.
b. Pemilihan agen antihipertensi
1) Pemilihan obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor atau ARBs diberikan
kepada pasien gangguan ginjal kronis dan:
a) Diabetes dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 3 mg/mmol atau lebih.
b) Hipertensi dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 30 mg/mmol atau
lebih.
c) Nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 70 mg/mmol atau lebih (terlepas
dari hipertensi atau penyakit kardiovaskular).
2) Jangan memberikan kombinasi ACE Inhibitor atau ARBs untuk pasien
gangguan ginjal kronis.
3) Untuk meningkatkan hasil pengobatan yang optimal, sebaiknya informasikan
kepada pasien tentang pentingnya:
a) mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi.
b) memantau LFG dan konsentrasi serum kalium (potassium) dalam batas
normal.
4) Pada pasien gangguan ginjal kronis, konsentrasi serum kalium (potassium)
dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs.
Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah memulai
penggunaan obat dan setelah peningkatan dosis.
5) Jangan memberikan/memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs, jika
konsentrasi serum kalium (potassium) > 5,0 mmol/liter.
6) Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena
menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia.
7) Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE inhibitor atau ARBs yang
dapat mencetuskan hiperkalemia (bukan kontraindikasi), tapi konsentrasi
serum kalium (potassium) harus dijaga.
8) Hentikan terapi tersebut, jika konsentrasi serum kalium (potassium) meningkat
> 6,0 mmoL/liter atau lebih dan obatobatan lain yang diketahui dapat
meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan lagi.
9) Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan, bila batas LFG saat sebelum terapi
kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari
30%. 10. Apabila ada perubahan LFG 25% atau lebih dan perubahan
kreatinin plasma 30% atau lebih:
a) Investigasi adanya penggunaan NSAIDs.
b) Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), hentikan terapi tersebut atau
dosis harus diturunkan dan alternatif obat antihipertensi lain dapat
digunakan.
c. Pemilihan statins dan antiplatelet
1) Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.
Pada pasien gangguan ginjal kronis, penggunaannya pun tidak berbeda.
2) Penggunaan statin pada pasien gangguan ginjal kronis merupakan
pencegahan sekunder dari penyakir kardiovaskular, terlepas dari batas nilai
lipidnya.
3) Penggunan antiplatelet pada pasien gangguan ginjal kronis merupakan
pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. Gangguan ginjal kronis
bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi
dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada
pasien gangguan ginjal kronis yang dieberikan antiplatelet multiple.
2. Terapi Non-Farmakologi
Pengobatan dari gangguan ginjal memiliki tujuan untuk memperlambat dan
mencegah perkembangan dari gangguan ginjal. Hal tersebut memerlukan identifikasi awal
faktor resiko pasien terkena gangguan ginjal, sehingga pengobatan ditujukan untuk
mencegah perkembangan dari gangguan ginjal. Pengobatan dilakukan dengan 2 macam
terapi, yaitu terapi non-farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non-farmakologi
meliputi (Vegas, A.,dkk. 2019) :

a. Berhenti merokok
Seharusnya didukung berhenti merokok untuk mengurangi risiko terjadinya
gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal, dan untuk mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular (derajat D).
b. Mengurangi berat badan
Orang obesitas (IMT >30kg/m2 ) dan berat badan berlebihan (IMT 25.0-
29.9 kg/m2 ) seharusnya didukung untuk mengurangi IMT mereka untuk
mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit
ginjal.
c. Kontrol protein diet
Diet terkontrol protein (0.8- 1.0 g/kg/ hari) direkomendasi untuk orang
dewasa dengan gagal ginjal kronik. Restriksi protein diet ≤ 0.7g/kg/ hari
seharusnya termasuk pemantauan penanda klinis dan biokimia dari defisiensi
nutrisi.
d. Asupan alkohol
Untuk mengurangi tekanan darah, konsumsi alkohol pada orang normotensi
dan hipertensi seharusnya sejalan dengan pedoman Canadian untuk risiko
rendah. Orang dewasa sehat seharusnya membatasi konsumsi alkohol untuk 2
minimuan atau kurang per hari, dan konsumsi seharusnya tidak melebihi 14
minuman standar per minggu untuk laki-laki dan 9 minuman standar per minggu
untuk wanita.
e. Olahraga
Orang tanpa hipertensi (untuk mengurangi kesempatan menjadi hipertensi)
atau tanpa dengan hipertensi (untuk menurunkan tekanan darah mereka)
seharusnya didukung untuk mengakumulasi 30-60 menit olahraga dinamik
intensitas sedang (berjalan, berlari, bersepeda, atau berenang) 4-7 hari per
minggu (derajat D). Intensitas olahraga lebih tinggi tidak lebih efektif.
f. Terapi pengganti ginjal (transplantasi)
Transplantasi ginjal dari donor hidup seharusnya didukung sebagai pilihan
pertama bagi pasien yang memenuhi syarat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal. Tujuan bagian pedoman ini adalah untuk menggambarkan aspek edukasi,
perawatan dan proses yang perlu untuk mengoptimalisasi persiapan pasien ini
untuk terapi pengganti ginjal.Dokter dan pemberi perawatan kesehatan harus
waspada dengan perlunya persiapan dan diperlukan waktu untuk melaksanakan
rencana perawatan ini.
I. Algoritme Penyakit
J. Daftar Pustaka

Faradilla, N. 2009. Gagal Ginjal Kronik. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Universitas


Riau.
Fiena Tria. 2018. GAMBARAN ASUPAN PROTEIN DAN CAIRAN PADA PAISEN
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS DI RS
ROEMANI SEMARANG. Diploma thesis, Universitas Muhammadiyah Semarang.
Rahman, ARA, Rudiansyah, M Triawanti 2013. Hubungan Antara Adekuasi Hemodialisis
dan Kualitas Hidup Pasien di RSUD Ulin Banjarmasin.
Sudoyo AW, Sehati S, Alwi I, dkk, 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV.
Jakarta Pusat; 2159-2165.
Suwitra K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al., 3rd
ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing 2009:1035-1040.
Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2014. In: Setiati S, editor. Ilmu penyakit dalam. 6th ed.
Jakarta: Interna Publishing; p. 2161-67.
Suyono, S, et al. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Tanto, C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4 jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius
Vegas, A., dkk. 2019. Pedoman Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik. Sumatera Utara:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63394/054%20.pdf?
sequence=1&isAllowed=y.

Anda mungkin juga menyukai