Anda di halaman 1dari 21

BIOKIMIA

“Gangguan proses sintesis DNA”

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Biokimia yang Diampu oleh :

Dr. Syifa F Syihab

Disusun Oleh:
Arsherin Dwi Ayunda p 1808046
Cindy Isna Risanti 1801287
Putri Ananda Dini I N 1808088
Revita Fitria 1808005
Sinta Wulandari 1806470

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN D3


FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Swt. yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kelompok ini yang membahas tentang “Gangguan Proses
Sintesis DNA”. Disusunnya makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah
Biokimia, dan untuk memberi wawasan yang luas kepada para mahasiswa
mengenai gangguan- gangguan yang ada dalam tubuh manusia yang berhubungan
dengan proses sintesis DNA.

Secara harfiah bangsa Indonesia telah menggunakan bahasa Indonesia


sejak zaman kemerdekaan, akan tetapi secara lisan bangsa Indonesia belum
menggunakan pelafalan dan ejaan dengan benar. Keadaan ini menjadi motivasi
untuk kami melakukan penelitian dan observasi terhadap penggunaan dan
penulisan pamflet dan spanduk di kalangan masyarakat.

Kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberi tugas ini,
sehingga kami mendapat wawasan yang lebih luas tentang kesalahan kata dalam
bahasa Indonesia. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, dan untuk para pembaca
kedepannya kami harap dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini

Bandung, 5 Desember 2018

Bandung, 1 November 2018


Penulis

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................iii

BAB 1 : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................1


B. Rumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
D. Manfaat Tulisan.......................................................................................2

BAB II : GANGGUAN METABOLISME PROTEIN

A. Fenilketonuria..........................................................................................3
B. Nefrolitiasis ..........................................................................................12
C. Tirosinemia............................................................................................14

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................15
B. Saran......................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu riset kajian kesehatan karena beberapa kasus
yang di alami masyarakat indonesia akan malnutrisi, khususnya gangguan
metabolisme protein.Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005
diperkirakan sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang dan 1,5 juta di antaranya
menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut ada 150.000
menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor, yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di
Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi hampir
di semua Kabupaten dan Kota. Sementara berdasarkan laporan dinas kesehatan
provinsi jawa tengah selama periode Januari hingga November 2005, sebanyak
12028 anak menderita gizi buruk di kota jawa tengah. Apabila Kurang Energi
Protein ini tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi
terhadap beberapa organ seperti saluran pencernaan, pankreas, hati, ginjal, sistem
hematologik, sistem kardiovaskuler, sistem pernafasaan. (Arisman, 2004) Melihat
banyaknya penduduk yang menderita Malnutrisi dan minimnya informasi tentang
penanganan gizi buruk maka kami tertarik untuk melakukan pemaparan dan
pencegahan penyakit tersebut.

Kekurangan protein banyak terjadi pada masyarakat pada tingkat sosial ekonomi
yang rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat dapat menyebabkan
kwashoirkor. Selain itu kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan
kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang disebut marasmus. Gabungan dari
marasamus dan kwashiorkor dinamakan dengan KEP/KKP ( Kurang Energi
Protein/Kurang Kalori Protein). Selain itu terdapat busung lapar, disebut juga dengan
hunger oedem (HO), yang merupakan bentuk kurang gizi berat yang menimpa daerah
terpencil/minus, yaitu daerah yang miskin, tandus yang timbul secara periodik pada
masa paceklik, bencana alam, kemarau panjang serta serangan hama tanaman.
Masalah-masalah itu timbul akibat kekurangan protein, Karena Protein berperan penting
dalam pembangunan pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, sebagai pengatur
kelangsungan proses di dalam tubuh dan sebagai pemberi tenaga. Selain itu protein
mempunyai banyak fungsi diantaranya adalah pembentukan esensial-esensial tubuh,
memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, dan mengangkut zat gizi.

Angka kecukupan protein harian setiap golongan umur dan keadaan berbeda-beda.
Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1985) adalah “ konsumsi yang diperlukan
untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang
diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui” (Almatsier, 2001).

B. Rumusan Masalah
1. Penyebab terjadinya penyakit Fenilketonuria, Nefrolitiasis, Tirosinemia.
2. Bagaimana hubungan penyakit itu dengan system metabolisme protein?
3. Bagaiamana pegobatan dan pencegahannya?

C. Tujuan Penulisan
 Agar pembaca mengetahui macam- macam gangguan metabolisme pada
protein
 Agar pembaca mengetahui dan paham penyebab ganguan metabolisme dan
cara pengobatanya.
 Agar pembaca mengetahui bagaiman hubungan dengan system
metabolisme tubuh.

D. Manfaat Penulisan
Manambah wawasan tentang ganguan metabolisme protein pada tubuh yang
banyak di alami oleh masyarakat Indonesia.
BAB II
GANGGUAN METABOLISME PROTEIN

A. Fenilketonuria
Phenylketonuria (PKU) merupakan penyakit kelainan metabolisme asam
amino bawaan sejak lahir akibat mutasi gen phenylalanine hydroxylase (PAH)
yang terletak pada kromosom 12q23.2. Penurunan aktivitas PAH pada PKU
dan HPA disebabkan oleh mutasi gen PAH yang mengakibatkan terbentuknya
enzim PAH yang tidak fungsional PAH mengkonversi phenylalanine (phe)
menjadi tyrosine dan memerlukan tetrahydrobiopterin (BH4) sebagai kofaktor,
molekul oksigen, dan Fe dalam prosesnya. Defisiensi PAH selain dapat
mengakibatkan PKU juga dapat menyebabkan varian lebih ringan yaitu
hyperphenylalaninaemia (HPA). Berdasarkan kadar phenylalanin darah,
defisiensi PAH dapat digolongkan menjadi PKU klasik (Phe >1200 µmol/L),
PKU ringan (Phe = 600-1200 µmol/L), dan HPA ringan yang ditandai dengan
peningkatan Phe di atas nilai ambang normal tetapi <600 µmol/L.
Phenylketonuria yang tidak diterapi menyebabkan peningkatan kadar
phenylalanine di dalam darah dan akumulasinya pada otak berakibat toksik.
Akibatnya adalah gangguan intelektual progresif yang sering disertai gejala
lain, seperti ruam eksematosa, autisme, kejang, dan defisit motorik. Gangguan
pertumbuhan, tingkah laku, dan kejiwaan dapat berkembang seiring
pertumbuhan anak.
a. Sejarah ditemukannya Phenylketonuria
Phenylketonuria pertama kali dilaporkan oleh seorang dokter asal
Norwegia, Asbjorn Folling. Pada tahun 1934, seorang ibu dengan dua orang
anak yang menderita gangguan intelektual berobat dan menanyakan apakah
bau aneh pada urin anak-anaknya berkaitan dengan gangguan intelektual
mereka. Urin anak-anak tersebut diuji untuk menemukan zat yang
terkandung di dalamnya termasuk keton. Jika keton, urin biasanya akan
menjadi merah kecokelatan apabila ditambahi ferri klorida, tetapi urin anak
tersebut berubah warna menjadi hijau tua. Setelah konfirmasi temuan
tersebut tidak berkaitan dengan penggunaan obat dan mengulang tes
tersebut setiap hari selama dua bulan, Folling melakukan analisis lebih
dalam dengan ekstraksi organik dan purifikasi serta penentuan titik didih.
Elemen dasarnya dianalisis dan rumus empiris C 9H8O3 ditemukan. Oksidasi
ringan substansi yang telah dipurifikasi menghasilkan senyawa berbau asam
benzoat, sehingga Folling mempostulasikan temuannya adalah
phenylpyruvic acid. Tidak adanya perubahan titik didih setelah
pencampuran senyawa tersebut dengan asam phenylpyruvic mengkonfirmasi
bahwa senyawa tersebut adalah phenylpyruvic acid. Folling kemudian
memeriksakan sampel urin 430 pasien dengan gangguan intelektual dari
sejumlah institusi lokal dan menemukan hasil reaksi yang sama setelah
penambahan ferri klorida pada 8 pasien. Kedelapan pasien tersebut
menderita beberapa gejala seperti bahu lebar, gaya jalan spastik, serta
gangguan intelektual berat. Hasil analisis keluarga mengindikasi kan bahwa
penyakit tersebut diturunkan secara autosomal resesif, dipublikasi dengan
nama imbecillitas phenylpyruvica yang kemudian menjadi phenylketonuria.
Jervis menemukan hambatan metabolik dan defisiensi enzim pada penyakit
tersebut. Ditemukan pula hubungan antara pengurangan konsumsi makanan
yang mengandung phenylalanine dengan perbaikan prognosis. Robert
Guthrie, seorang ahli anak Kanada mengembangkan tes skrining untuk
PKU. Pada akhir 1970-an penelitian-penelitian biomolekuler PKU mulai
dilakukan.
Prevalensi phenylketonuria bervariasi di seluruh dunia; pada ras
Kaukasia antara 1 : 10.000 hingga 1 : 15.000. Insidens tertinggi di Turki (1 :
2.600) dan di Iran (1 : 4698), disebabkan tingginya perkawinan
konsanguitas (hubungan keluarga) pada populasi tersebut. Insidens terendah
ditemukan pada populasi di Jepang (1 : 125.000) dan di Finlandia (1 :
200.000).
b. Biokimia dan Metabolisme PKU
Phenylalanine memiliki 2 bentuk, yaitu D dan L-phenylalanine yang
merupakan asam amino esensial yang diperlukan untuk sintesis protein pada
manusia. Kadar phenylalanine dipertahankan dalam kadar yang relatif
stabil. Diet mengandung phenylalanine serta daur ulang asam amino
endogen menjadi sumber utama phenylalanine; penggunaan phenylalanine
terjadi melalui integrasi protein, oksidasi menjadi tyrosine, ataupun konversi
menjadi senyawa lain.
Konversi phenylalanine menjadi tyrosine terjadi melalui sistem
hidroksilasi yang melibatkan PAH, kofaktor pterin tidak terkonjugasi, BH4,
dihydropterine reduktase, dan 4α-carbinolamine dehydratase.
Enzim PAH mengkatalisis hidroksilasi L-phenylalanine menjadi
tyrosine. Katabolisme phenylalanine dan aktivitas PAH umumnya berkaitan
dengan organ hati. Enzim PAH pada manusia merupakan kombinasi
tetramer dan dimer, monomernya terdiri atas 452 asam amino dengan berat
molekul 50 kDa. Aktivitas enzim PAH memerlukan BH4 sebagai kofaktor
dan molekul oksigen. Enzim PAH terdiri dari beberapa domain fungsional.
Domain regulasi (regulatory) mengandung residu serin yang diperkirakan
terlibat dalam aktivitas enzim ini melalui fosforilasi. Domain katalitik yang
terdiri dari 26 atau 27 asam amino berfungsi dalam pengikatan kofaktor dan
ion ferri. Domain C-terminal diperkirakan berhubungan dengan pengikatan
inter subunit.
c. Klasifikasi PKU
Phenylketonuria diklasifikasikan berdasarkan beratnya
phenylalaninaemia. Nilai normal phenylalanine darah adalah 50-110
µmol/L, beberapa rujukan menganggap kadar kurang dari 180 µmol/L
masih dianggap normal. Klasifikasi beratnya defek gen PAH berdasarkan
kadar phenylalanine darah. Klasifikasi tersebut tidak selamanya dapat
langsung diterapkan, karena kadar phenylalanine pada bayi baru lahir
mungkin belum mencapai kadar puncaknya. Klasifikasi dapat juga dibuat
berdasarkan toleransi diet phenylalanine tetapi tidak selalu mudah dan
akurat. Tes toleransi ini biasanya tidak lebih dari 250 mg/hari pada PKU
klasik, sedangkan pada PKU ringan (mild) atau sedang (moderate), toleransi
phenylalanine dapat berkisar antara 250 hingga 400 mg/hari. Kadar
phenylalanine biasa dilaporkan dalam mg/dL. Pasien PKU ringan, sedang,
dan klasik semuanya memiliki kadar phenylalanine darah >10 mg/dL tanpa
pembatasan diet. Pada bayi PKU, diet rendah phenylalanine mulai usia 3
minggu diharapkan mempertahankan kadar phenylalanine antara 3 hingga
10 mg/dL, karena dianggap kadar di bawah 10 mg/ dL tidak merusak otak.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kadar phenylalanine yang
diperlukan untuk mengoptimalkan perkembangan bayi normal, ada yang
menganggap kadarnya harus dipertahan kan kurang dari 6 mg/dL, yang lain
menganggap kadar di bawah 10 mg/dL sudah cukup. Rekomendasi kadar
phenylalanine yang perlu dipertahankan dan pada usia berapa pembatasan
diet dapat diakhiri masih berbeda-beda di antara negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat.
d. Patofisiologi
Phenylalanine dapat masuk ke dalam otak melalui neutral aminoacid
carrier-Laminoacid transporter1 (LAT1). Peningkatan kadar phenylalanine
pada otak dapat mengganggu fungsi neurofisiologis melalui beberapa
mekanisme. Dari hasil pencitraan radiologi ditemukan lesi substansi putih
(white matter) yang berhubungan dengan berkurangnya pembentukan
mielin, meskipun belum di temukan hubungan kausatif pasti antara
dismielinasi dan gangguan neurofisiologis.
Asam amino netral lainnya, yaitu tyrosine, yang merupakan prekursor
dopamine dan norepinephrine serta tryptophan yang merupakan prekursor
serotonin juga masuk ke otak melalui karier LAT1. Kadar phenylalanine
yang tinggi pada darah dapat menghambat LAT1 dan asam amino netral lain
memasuki otak, meningkatkan risiko terjadinya disfungsi neurotransmiter
dan sintesis protein. Mekanisme lain induksi kerusakan otak akibat
hyperphenylalaninaemia adalah berkurangnya aktivitas piruvate kinase,
gangguan neurotransmisi glutamatergik dan berkurangnya aktivitas enzim
3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase.
Makna klinis berkurangnya dopamin, katekolamin, dan serotonin di otak
pada pasien PKU belum jelas dipahami. Di antara neurotransmiter tersebut,
dopamin telah diteliti secara ekstensif. Berkurangnya dopamin dapat
menimbulkan masalah di neuron prefrontal yang memiliki turnover
dopamin lebih tinggi dibandingkan neuron lainnya di otak. Pada pasien
PKU yang tidak diterapi dapat terjadi chorea, tremor, dan distonia, mungkin
disebabkan oleh defisiensi dopamin di ganglia basalis. Defisiensi serotonin
serebral dapat menjelaskan peningkatan anxietas dan depresi pada penderita
PKU.
Penelitian yang mempelajari stres oksidatif pada model hewan PKU
menemukan bahwa peroksidasi lipid yang diukur dengan malondialdehyde
(MDA) lebih tinggi secara signifikan pada otak dan eritrosit hewan PKU
dibandingkan kontrol. Kadar glutathione disulfide juga berkurang signifikan
pada darah dan otak hewan PKU.
e. Skrining dan Diagnosis
 Skrining Neonatus
Phenylketonuria diidentifikasi melalui skrining neonatus nasional. Tes
pertama yang efisien untuk mendeteksi hyperphenylalaninemia adalah
tes inhibisi bakterial yang dikembangkan oleh Robert Guthrie. Dasar tes
ini adalah Bacillus subtilis memerlukan phenylalanine untuk
pertumbuhannya. Tes Guthrie sangat berguna untuk skrining massal
dengan sampel dried blood spot (DBS) menggunakan kertas filter
terstandarisasi (Guthrie Card) dan dikirim ke laboratorium rujukan
dalam amplop. Tandem massspectrometry (TMS) dikembangkan
sebagai metode yang cepat menentukan kadar asam amino secara
kuantitatif pada sampel darah/ plasma yang volumenya sedikit. Metode
ini memberikan hasil positif palsu lebih kecil dengan mengukur kadar
phenylalanine dan tyrosine serta memberikan hasil rasio
phenylalanine/tyrosine.
Semua bayi sebaiknya dilakukan skrining PKU pada hari pertama
kelahiran untuk mengatur intervensi diet agar mencegah anak-anak
PKU dari kerusakan neurologis. Jika skrining dilakukan di ruang nifas,
sampel biasanya diambil antara hari ke-2 dan k e-5, tetapi secara umum
skrining dilakukan antara hari ke-2 dan ke-7. Di Amerika Serikat,
sampel umumnya diambil pada 24-48 jam pertama. Nilai cut off
diagnosis PKU adalah 120-130 µmol/L (rasio phenylalanine/tyrosine
>2) dengan metode TMS.
Observasi menunjukkan bahwa skrining terlalu dini dapat memberikan
hasil negatif palsu akibat tidak cukup waktu bagi diet untuk
memberikan kadar yang cukup untuk penegakan diagnosis. Meskipun
demikian, secara umum diterima bahwa sensitivitas skrining pada
neonatus sehat cukup adekuat dalam 24 jam pertama kelahiran,
khususnya jika hasil tes juga dinyatakan dalam rasio
phenylalanine/tyrosine untuk meningkatkan sensitivitas.
Pada beberapa bayi prematur dapat ditemukan sistem enzimatik yang
masih immature, termasuk metabolisme asam amino, sehingga dapat
memberikan hasil peningkatan phenylalanine dalam darah yang bersifat
sementara yang jika langsung diinterpretasikan dapat memberikan hasil
PKU positif palsu. Hasil skrining dini PKU harus diinterpretasikan
dengan memperhatikan apakah bayi tersebut sedang sakit, mendapat
nutrisi parenteral ataupun mendapat transfusi darah. Jika ada hal di atas,
skrining kedua harus dilakukan, juga jika tidak diketahui pasti apakah
anak mendapat intake protein yang cukup saat tes pertama dilakukan.
 Diagnosis Diferensial
Sebanyak 2% peningkatan kadar phenylalanine yang terdeteksi pada
skrining neonatus diakibatkan oleh gangguan metabolisme BH4.
Frekuensi defisiensi BH4 lebih tinggi di negara-negara yang tingkat
perkawinan konsanguitasnya tinggi seperti di Turki dan Arab Saudi.
Defisiensi BH4 lebih berat daripada PKU jika ditinjau dari responsnya
terhadap terapi. Diet rendah phenylalanine tidak efektif; substitusi dini
dengan prekursor dopamin dan serotonin, termasuk dengan BH4
sintetik (sapropterin dihydrochloride) sangat krusial untuk luaran yang
lebih baik.
Analisis neopterin dan biopterin pada DBS dan urin serta penilaian
aktivitas dihydropterine reductase (DHPR) sangat perlu untuk
penegakan diagnosis, dilakukan sesegera mungkin. Pada penderita
defisiensi BH4 ditemukan pola pterin yang identik pada darah, urin, dan
cairan serebrospinal. Penggunaan sampel DBS pada Guthrie card lebih
praktis dan dapat digunakan untuk menganalisis pterin, aktivitas DHPR,
dan asam amino dari satu spesimen tunggal.
Hal yang penting untuk diketahui adalah pasien PKU klasik
mengekspresikan lebih banyak pterin di urin dibandingkan kontrol
orang sehat dan jumlah metabolit yang diekskresikan sebanding dengan
kadar phenylalanine darah. Penyakit-penyakit yang dapat mengaktifkan
sistem imun (peningkatan neopterin) dan terapi methotrexate untuk
anti-kanker ataupun penyakit reumatik (menghambat DHPR) dapat
menginterferensi prosedur analitik. Sebagian penderita defisiensi DHPR
menunjukkan profil neopterin dan biopterin normal di darah atau urin.
Oleh karena itu, pengukuran aktivitas DHPR sangat esensial pada
semua penderita HPA di samping penilaian kadar pterinnya.
 BH4 loading test
BH4 loading test digunakan untuk membedakan peningkatan
phenylalanine akibat defisiensi PAH atau akibat defisiensi BH4 (defek
enzim pada biosintesis atau regenerasi kofaktor BH4). Tes ini
bermanfaat dalam deteksi awal defisiensi BH4 dan deteksi penderita
PKU yang responsif terhadap pemberian BH4.
Deteksi penderita PKU yang berespons terhadap pemberian BH4
penting, karena beberapa penderita PKU mendapat manfaat dari
pemberian BH4 oral (sapropterin dihydrochloride) ditunjukkan dengan
penurunan kadar phenylalanine darah bahkan bisa mencapai kadar
normal. Dari sejumlah laporan, modalitas BH4 challenge bervariasi
mulai dari tes dalam 24 jam dengan pemberian BH4 dosis tunggal (10-
20 mg/kg) hingga pemberian selama beberapa minggu dengan
pemantauan kadar phenylalanine harian ataupun mingguan.
Secara umum diterima bahwa penurunan kadar phenylalanine
sekurang-kurangnya 30% sebagai respons terhadap pemberian BH4
mengindikasikan efek klinis yang signifikan. Frekuensi respons
terhadap BH4 paling tinggi pada pasien HPA ringan (nonPKU) atau
pada PKU ringan akibat mutasi PAH yang masih memiliki aktivitas
residual enzim. Sebaliknya, tingkat respons penderita PKU klasik
(aktivitas PAH sedikit ataupun tanpa aktivitas residual) sangat rendah.
Pada neonatus, tes harus dilakukan sebelum pemberian diet rendah
phenylalanine pada bayi dengan peningkatan kadar phenylalanine
(>400 µmol/L).
 Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Defisiensi BH4 mempengaruhi sintesis katekolamin, serotonin, dan
nitrit oksida di sistem saraf pusat dan pengukuran metabolit tersebut
pada cairan serebrospinal penting untuk mendiagnosis derajat defisiensi
BH4. Penilaian bukan hanya kadar absolut 5-hydroxyindolacetic acid
dan homovanillic acid pada cairan serebrospinal, rasio neurotransmiter
juga penting memberi informasi diagnostik yang berhubungan dengan
beratnya serta luaran defisiensi BH4.
f. Penatalaksanaan
 Terapi Diet
Tujuan utama penatalaksanaan pada penderita PKU adalah
mempertahankan kadar phenylalanine darah dalam batas aman (120-
360 µmol/L, 120-240 µmol/L pada ibu hamil) untuk mencegah retardasi
mental, menyokong pertumbuhan normal hingga dewasa. Hal ini dapat
dicapai dengan pemberian diet rendah phenylalanine.
Pembatasan diet phenylalanine merupakan terapi utama PKU dan
biasanya dimulai setelah konfirmasi penyakit ini pada neonatus.
Penderita PKU harus menghindari makanan kaya protein (daging, ikan,
telur, roti, produk susu, kacang-kacangan, dan bijibijian) serta makanan
dan minuman yang mengandung pemanis aspartame, tepung, kedelai,
bir. Diet penderita PKU umumnya terdiri dari makanan alami yang
mengandung protein rendah (sayur-sayuran, buah, dan beberapa jenis
sereal). Di negara-negara maju sejumlah makanan berprotein rendah
seperti roti rendah protein dan pasta rendah protein sudah tersedia.
Pada bayi, pengaturan diet relatif mudah karena dikontrol orang tua.
Sejumlah pusat kesehatan mengijinkan pemberian ASI untuk menyuplai
protein. Seiring pertambahan umur, pengaturan diet makin sulit karena
anak-anak sulit memilah makanan yang rutin dikonsumsi anak-anak
seusianya. Pengaturan diet lebih sulit pada remaja dan dewasa.
 Glycomacropeptide
Glycomacropeptide merupakan protein berasal dari keju yang kaya
asam aminoesensial, tetapi tidak mengandung tyrosine, tryptophan, atau
phenylalanine. Protein ini dapat digunakan sebagai asupann untuk diet
rendah phenylalanine, khususnya yang dibuat dengan proses pemurnian
yang baik, sehingga menghasilkan produk bebas phenylalanine dengan
suplementasi asam amino aromatik selain phenylalanine.
 BH4
Sejumlah mutasi berkaitan dengan fenotip PKU sensitif terhadap BH4,
sehingga pemberian BH4 eksogen dapat meningkatkan aktivitas PAH
yang berguna menurunkan kadar phenylalanine dalam sirkulasi.
Kemampuan BH4 (sapropterin dihydrochloride) dalam manajemen
terapi PKU telah menjadi topik diskusi. Kira-kira 20-60% penderita
PKU menunjukkan reduksi >30% kadar phenylalanine dalam darah
dengan penggunaan sapropterin. Idealnya sapropterin akan
menurunkan kadar phenylalanine hingga terkontrol tanpa restriksi diet,
tetapi biasanya sapropterin diberikan kombinasi dengan terapi diet.
 Large Neutral Aminoacid
Phenylalanine berkompetisi dengan large neutral amino acid lain untuk
transpor me lewati barier darah-otak, sehingga suplementasi dengan
asam amino lainnya selain phenylalanine dapat menjadi pendekatan
terapi potensial. Pemberian asamasam amino tersebut setelah pem
berian phenylalanine oral mengurangi peningkatan phenylalanine pada
otak pada penderita PKU. Akan terapi, ini masih dalam tahap penelitian
lebih lanjut.
 Phenylalanine Ammonia Lyase (PAL)
Phenylalanine ammonia lyase adalah enzim berasal dari bakteri yang
mengkatalisis konversi L-phenylalanine menjadi transcinnamic acid
dan amonia. Pada model tikus PKU, kadar phenylalanine darah dan
otak berkurang dalam 90 hari setelah injeksi phenylalanine ammonia
lyase. Penurunan pada pemberian oral pada tikus mencapai 40% tanpa
efek samping serius. Pemberian PAL oral diharapkan dapat menjadi
terapi tambahan penderita PKU.
g. Luaran
Anak-anak PKU yang mendapat terapi awal menghasilkan luaran yang baik
dengan perkembangan kognitif dalam batas normal. Mempertahankan kadar
phenylalanine rendah seumur hidup memberikan efek positif dalam hal
konsentrasi, mood, atensi, sehingga menghasilkan perbaikan fungsi kognitif.
Meskipun perbaikan kognitif dicapai tetapi beberapa tantangan muncul.
Fungsi eksekutif (perencanaan, organisasi) individu PKU cukup berbeda
signifikan meskipun terapi telah diberikan sejak bayi. Masalah dalam
bersekolah dan belajar merupakan hal yang umum ditemukan pada
anakanak penderita PKU, sehingga penilaian neuropsikologis penting dalam
identifikasi awal dan perencanaan program.
B. Nefrolitiasis

Suatu kondisi ketika material keras yang menyerupai batu terbentuk di


dalam ginjal. Yang berasal dari sisa zat – zat limbah di dalam darah yang
disaring oleh ginjal yang kemudian mengendap dan mengkristal seiring waktu.
Endapan batu di dalam ginjal bisa disebabkan oleh makanan atau masalah
kesehatan lain yang mendasari. Jadi batu tersebut dapat terletak di manapun
dari ginjal hingga ujung alat kelamin. Gejala yang dapat ditimbulkan oleh batu
ginjal juga bervariasi sesuai dengan letak penyumbatan tersebut. Gejala yang
paling umum di jumpai merupakan nyeri pinggang yang menjalar hingga ke
selangkangan, nyeri saat berkemih, kencing berpasir hingga kencing berdarah,
kadang juga dapat disertai demam dan mual muntah. Jadi, terbentuknya batu
melalui beberapa tahap, yaitu Crystal Nucleation ( air kencing yang kental
akan mulai membentuk Kristal – Kristal padat, dan menjadi suatu nucleus ),
Crystal Growth ( ketika nucleus sudah terbentuk, maka Kristal akan terus
bertambah besar hingga mencapai titik maksimal ), Crystal Aggregation
( ketika Kristal tidak dapat tumbuh lagi, dia akan bergabung dengan Kristal –
kristal lainnya untuk membentuk partikel yang lebih besar ). Setelah
mengetahui bagaimana terbentuknya batu ginjal tersebut, kita juga perlu
mengetahui beberapa tipe komposisi batu ginjal untuk mengetahui agar dapat
menghambat terbentuknya batu tersebut, berikut beberapa tipe batu ginjal
berdasarkan urutan paling sering dijumpai, yaitu batu kalsium, batu asam urat,
batu struvit, dan batu cysteine. Dalam pengobatan penyakit batu ginjal yang
dilakukan tergantung kepada ukuran dari batu. Jika batu ginjal masih
tergolong kecil atau menengah serta masih dapat melewati saluran kemih
tanpa harus dilakukan operasi, dan menyarankan penderita untuk minum air
putih saja sesuai takaran yang disarankan. Dengan adanya aliran cairan secara
terus – menerus, diharapkan batu ginjal dapat terdorong keluar dengan
sendirinya. Apabila gejala yang dirasakan oleh pasien cukup mengganggu,
biasanya dokter cukup meresepkan obat pereda rasa sakit. Penanganan batu
ginjal yang dengan prosedur khusus (misalnya dengan energy laser,
ultrasound, atau operasi) biasanya baru akan diterapkan jika batu berukuran
lebih besar sehingga menyumbat saluran kemih. Pencegahan batu ginjal cukup
sederhana, hanya perlu minum cukup air putih tiap hari dan membatasi
konsumsi makanan, minuman, atau suplemen yang mengandung zat – zat
yang berpotensi menyebabkan terbentuknya batu ginjal, seperti zat oksalat,
suplemen kalsium, dan protein hewani.dan membatasi zat zat tertentu, dan
juga bisa dilakukan dengan menkonsumsi obat – obatan yang diresepkan oleh
dokter biasanya langkah ini dianjurkan untuk mencegah kambuh bagi mereka
yang sebelumnya pernah menderita batu ginjal.

C. Tirosinemia
Tirosinemia adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh tidak dapat
memecah zat yang disebut tirosin yang berasal dari makanan. Tirosin adalah
suatu asam amino yang berperan membentuk protein. Sebagian besar manusia
memiliki enzim yang disebut fumarylacetoacetate hydrolase (FAH) yang
memecah tirosin, tetapi penderita tirosinemia tidak dapat membentuk enzim
FAH. Akibatnya setelah memakan protein, tirosin akan menumpuk di darah
dan diubah menjadi zat berbahaya, yaitu succinylacetone yang menimbulkan
gangguan ginjal, hati, dan susunan saraf pusat.
Tirosinemia adalah kelainan genetika yang langka. Sekitar 1 : 100.000
bayi yang lahir mengidap kelainan ini. Gejala tirosinemia muncul setelah
beberapa bulan pertama kehidupan. Gejala yang umum antara lain berat badan
tidak bertambah, rewel, demam, diare, muntah, pembesaran hati, kuning,
memar di kulit, dan perdarahan. Jika tidak ditata laksana, tirosinemia akan
menyebabkan gagal hati hingga kematian.
Penyakit tirosinemia dapat diobati dengan mempertahankan kadar tirosin
dalam darah dengan diet dan obat-obatan. Diet dengan formula khusus yang
tidak memiliki asam amino fenilalanin dan tirosin dapat memperlambat
perkembangan gangguan yang tak terelakkan. Obat yang disebut NTBC yang
akan menghambat jalur metabolisme tirosin dapat membalikkan gejala
tirosinemia dan membantu hati dan jaringan ginjal untuk kembali normal.
Maka jika pengobatan tirosinemia, NTBC ditambah diet maka kemungkinan
kelangsungan hidup lebih dari 90%.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Phenylketonuria merupakan suatu penyakit kelainan metabolisme
asam amino akibat mutasi gen phenylalanine hydroxylase yang
menyebabkan peningkatan phenylalanine darah dan otak. Kelainan ini
dapat menyebabkan kelainan fungsi kognitif, intelektual, tingkah laku, dan
pertumbuhan. Skrining neonatus sangat penting untuk deteksi dini dan
dapat dilakukan dengan cara sederhana menggunakan tes Guthrie. Terapi
awal anak yang menderita phenylketonuria dapat memperbaiki luaran
penyakit.
Nefrofiliasis Suatu kondisi ketika material keras yang menyerupai
batu terbentuk di dalam ginjal. Yang berasal dari sisa zat – zat limbah di
dalam darah yang disaring oleh ginjal yang kemudian mengendap dan
mengkristal seiring waktu. Gejala yang paling umum di jumpai merupakan
nyeri pinggang yang menjalar hingga ke selangkangan, nyeri saat
berkemih, kencing berpasir hingga kencing berdarah, kadang juga dapat
disertai demam dan mual muntah.
Tirosinemia adalah penyakit langka menyangkut kelainan genetika
yang menyebabkan tubuh tidak dapat memecah zat yang disebut tirosin
yang berasal dari makanan. Tirosin adalah suatu asam amino yang
berperan membentuk protein. Sebagian besar manusia memiliki enzim
yang disebut fumarylacetoacetate hydrolase (FAH) yang memecah tirosin,
tetapi penderita tirosinemia tidak dapat membentuk enzim FAH.

B. Saran
Karena banyaknya kasus Malnutrisi khusunya idnosnesia. Maka dalam
penjagaan dan pemeliharannya kami membutuhkna peran tenaga
kesehatan dalam keikut sertaan menjaga kesehatan Indonesia sebagai
upaya menanggulangi malnutrisi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

 Kurniawan, Liong. 2015. Patogenesis, Skrining, Diagnosis, dan


Penatalaksanaan Phenylketonuria, Edisi CDK-232/ vol. 42 no. 9, tahun. 2015
668. Makasar, Indonesia.

 http://penyakitlangkaindonesia.org/id/basic-article/apa-itu-tirosinemia. Diakses
pada Senin, 26 November 2018 pukul 11.00 WIB

 http://id.thehealtylifestyleexpo.com/tyrosinemia-44129. Diakses pada Senin, 26


November 2018 pukul 11.00 WIB

 http://www.Alodokter.com/batu-ginjal.html. Diakses pada Senin, 26 November


2018 Pukul 09.00 WIB

 http://harian.analisadaily.com/mobile/kesehatan/news/proses-terbentuknya-
batu-ginjal/412647/2017/09/11. Diakses pada Senin, 26 November 2018 Pukul
09.00 WIB

 
 

Anda mungkin juga menyukai