Anda di halaman 1dari 18

Dari ajaran Gaudium et Spes, Art.

29 menampakkan pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang


melekat pada diri manusia sebagai insane, ciptaan Allah. Hak ini tidak diberikan kepada seseorang
karena kedudukan, pangkat atau situasi; hak ini dimiliki setiap orang sejak lahir oleh karena ia
manusia.Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setaip bentuk diskriminasi, entah yang
bersifat sosial atau budaya, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit, suku , keadaan sosial,
bahasa ataupun agam, karena berlawanan dengan maksud kehendak Allah.

SIFAT-SIFAT GEREJA

Dalam doa syahadat/credo/aku percaya, kita mengakui 4 sifat gereja yaitu: gereja yang satu, kudus,
katolik dan apostolik. Penjelasan dari masing-masing sifat gereja sebagai berikut:

1. 1.      Sifat gereja yang Satu


a)      Pengertian

Kesatuan itu nampak jelas dalam:

v  Kesatuan iman para anggotanya

Kesatuan iman ini bukan kesatuan statis tetapi kesatuan yang dinamis, artinya iman yang sama
namun diungkapkan dan dirumuskan secara berbeda-beda. Kesatuan di sini bukanlah keseragaman
tetapi bisa dipahami seperti Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.

v  Kesatuan dalam pimpinan yaitu hierarki. Yesus memilih 12 rasul namun Ia juga memilih Petrus
sebagai ketua para rasul. Dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman
yang kemudian diteruskan dalam diri Paus juga masing-masing uskup sebagai pemimpin Gereja di
sebuah wilayah.

v  Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental. Kebaktian dan sakramen-sakramen


merupakan ekspresi simbolis dari kesatuan gereja artinya lewat kesatuan kebaktian, sakramen-
sakramen yang diterima Nampak jelas kesatuan gereja itu sendiri.

b)      Upaya memperjuangkan kesatuan Gereja

Kita sudah mendengar tentang fakta perpecahan gereja. Hal ini terjadi karena perbuatan manusia.
Untuk itu semangat persatuan harus dipupuk dan diperjuangkan melalui berbagai cara seperti:
v  Usaha untuk menguatkan persatuan kita dalam gereja:

 Aktif berpartisipasi dalam kehidupan bergereja


 Setia dan taat kepada persekutuan umat dan hirarki
v  Usaha untuk menguatkan persatuan antar-Gereja:

 Jujur dan terbuka antar satu dengan yang lain


 Lebih melihat persamaan daripada mempersoalkan perbedaan
 Mengadakan kegiatan bersama seperti doa bersama
1. 2.      Gereja yang Kudus
a)      Pengertian

Kekudusan gereja nampak dalam beberapa hal antara lain:

v  Sumber gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus . gereja menerima kekudusan
dari Kristus sendiri (Yoh 17: 11)

v  Tujuan dan arah gereja adalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan
manusia.

v  Jiwa Gereja adalah kudus sebab jiwa gereja adalah Roh Kudus sendiri

v  Unsur-unsur Ilahi yang otentik/asli yang berada dalam gereja adalah kudus misalnya ajaran-
ajaran atau sakramen-sakramen.

v  Anggotanya adalah kudus karena ditandai oleh Kristus melalui pembaptisan dan dipersatukan
melalui iman, harapan dan cinta yang kudus. Artinya, kita semua dipanggil menjuju kekudusan.

b)      Upaya mewujudkan kekudusan Gereja:

v  Saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai anak-anak Allah

v  Merenungkan dan mendalami Kitab Suci khususnya ajaran dan hidup Yesus yang merupakan
arah dan pedoman hidup kita.

1. 3.      Sifat Gereja Yang Katolik


Arti Katolik:
v  Hidup di tengah segala bangsa

v  Ajaran gereja dapat diwartakan untuk segala bangsa dengan keanekaragamannya

v  Gereja terbuka terhadap semua bangsa dari berbagai daerah, agama, suku dan budaya

v  Iman dan ajaran gereja bersifat umum artinya dapat diterima dan dihayati oleh siapa saja

Upaya mewujudkan kekatolikan gereja

 Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, suku, agama manapun


 Bekerja sama dengan siapapun demi kebaikan bersama
 Memprakarsai upaya memperjuangkan dunia yang lebih baik
 Jiwa besar dan terlibat aktif untuk memberi kesaksian bahwa katolik artinya terbuka terhadap
siapapun
 Katolik juga tidak sekedar melebur diri dalam dunia dengan segala fenomenanya
 Namun, gereja tetap mempertahankan identitasnya
Sumber/dasarnya: Luk 10: 16

 Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku, dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak
Dia yang mengutus Aku
1. 4.      Sifat Gereja Yang Apostolik
Arti Apostolik

v  Berasal dari para rasul dan tetap berpegang teguh pada kesaksian iman mereka yang hidup
bersama YESUS

v  Tidak terpaku pada gereja perdana namun tetap berkembang dibawah bimbingan Roh Kudus

v  Gereja berhubungan dengan para rasl yang diutus oleh Kristus sendiri

v  Hubungan itu tampak dalam beberapa hal berikut

 Fungsi dan kuasa hierarki diwariskan dari para rasul


 Ajaran-ajaran gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
 Ibadat dan struktur gereja pada dasarnya berasal dari para rasul
Usaha mewujudkan Keapostolikan Gereja?
 Setia mempelajari injil sebagai iman gereja para rasul
 Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret kita dengan iman Gereja para rasul
 Setia dan loyal kepada hierarki sebagai pengganti para rasul
Sifat-Sifat/Ciri Gereja Zaman Ini?

v  Option for the poor atau keberpihakan pada orang-orang yang miskin. Gereja senantiasa
membantu dan memihak mereka yang miskin sekaligus mereka yang tertindas. Dalam hal ini gereja
berupaya menjadi suara bagi mereka (the voice of the voiceless)

v  Kenabian: dalam konteks ini, gereja mengambil peran sebagai seorang nabi yang mengkritisi
ketidakadilan yang ada. gereja juga menjadi saksi akan Kristus yang mengasihi. Disinilah nampak
sikap gereja yang profetis (kenabian)

v  Membebaskan: gereja menjadi pembebas bagi masyarakat yang berada dalam kungkungan atau
belenggu ketidakadilan atau ketidakadilan.

v  Ragi. Seperti ragi yang membuat sebuah adonan terus berkembang maka gereja pun mengambil
peran dan tugas yang sama

v  Dinamis/aggiornamento: gereja terus berkembang mengikuti perkembangan zaman dan terus


berubah namun tetap mempertahankan identitasnya.

v  Kharismatis: gereja terus berusaha dan mengakomodir setiap potensi yang ada yang dimiliki oleh
umatnya sebagai anugerah Allah
SIMBOLISME SENI KATOLIK:
DELAPAN SIMBOL ROH KUDUS

Sahabat-sahabat GK,
Kita tentu sudah mengenal burung merpati dan api sebagai dua simbol Roh Kudus. Namun tahukah
anda bahwa sebenarnya ada DELAPAN simbol Roh Kudus yang tercatat secara resmi dalam
Katekismus Gereja Katolik (KGK) #694-701? Nah apa saja simbol-simbol tersebut? Yuk kita pelajari
sama-sama.

1) AIR

Dalam upacara Pembaptisan, air adalah lambang tindakan Roh Kudus, karena sesudah
menyerukan Roh Kudus, air menjadi tanda sakramental yang berdaya guna bagi kelahiran kembali.
Seperti pada kelahiran kita yang pertama, kita tumbuh dalam air ketuban, maka air Pembaptisan
adalah tanda bahwa kelahiran kita untuk kehidupan ilahi, dianugerahkan kepada kita dalam Roh
Kudus. “Dibaptis dalam satu Roh”, kita juga “diberi minum dari satu Roh” (1 Kor 12:13). Jadi Roh
dalam Pribadi-Nya adalah air yang menghidupkan, yang mengalir dari Kristus yang disalibkan dan
yang memberi kita kehidupan abadi.

2) URAPAN

Salah satu lambang Roh Kudus adalah juga urapan dengan minyak, malahan sampai [urapan
minyak] menjadi sinonim dengan [Roh Kudus]. Dalam inisiasi Kristen, urapan adalah tanda
sakramental dalam Sakramen Penguatan, yang karenanya dinamakan “Khrismation” dalam Gereja-
gereja Timur. Tetapi untuk mengerti sepenuhnya bobot nilai dari lambang ini, orang harus kembali
ke urapan pertama, yang Roh Kudus kerjakan, yaitu Urapan Yesus.

“Khristos” (terjemahan dari kata bahasa Ibrani “Mesias”) berarti “yang diurapi dengan Roh Allah”.
Dalam Perjanjian Lama sudah ada orang yang “diurapi” Tuhan; terutama Daud adalah seorang yang
diurapi. Tetapi Yesus secara khusus adalah Dia yang diurapi Allah: kodrat manusiawi yang Putera
terima, diurapi sepenuhnya oleh Roh Kudus. Oleh Roh Kudus, Yesus menjadi “Kristus”. Perawan
Maria mengandung Yesus dengan perantaraan Roh Kudus, yang mengumumkan-Nya melalui
malaikat pada kelahiran-Nya sebagai Kristus, dan yang membawa Simeon ke dalam kenisah,
supaya ia dapat melihat Dia yang diurapi Tuhan.
[Roh Kudus]-lah yang memenuhi Kristus, dan kekuatan-Nya keluar dari Kristus, waktu Ia melakukan
penyembuhan dan karya-karya keselamatan. Pada akhirnya Ia jualah yang membangkitkan Yesus
dari antara orang mati. Dalam kodrat manusiawi-Nya, yang adalah pemenang atas kematian,
setelah sepenuhnya dan seutuhnya menjadi “Kristus”, Yesus memberikan Roh Kudus secara
berlimpah ruah, sampai “orang-orang kudus” dalam persatuan-Nya dengan kodrat manusiawi Putera
Allah menjadi “manusia sempurna” dan “menampilkan Kristus dalam kepenuhan-Nya” (Ef 4:13):
“Kristus paripurna”, seperti yang dikatakan Santo Agustinus.

3) API

Sementara air melambangkan kelahiran dan kesuburan kehidupan yang dianugerahkan dalam Roh
Kudus, api melambangkan daya transformasi perbuatan Roh Kudus. Nabi Elia, yang “tampil
bagaikan api dan perkataannya bagaikan obor yang menyala” (Sir 48:1), dengan perantaraan
doanya menarik api turun atas kurban di Gunung Karmel — lambang api Roh Kudus yang
mengubah apa yang Ia sentuh.

Yohanes Pembaptis, yang mendahului Tuhan “dalam roh dan kuasa Elia” (Luk 1:17) mengumumkan
Kristus sebagai Dia, yang “akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk 3:16).
Mengenai Roh ini Yesus berkata: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku
harapkan, api itu telah menyala” (Luk 12:49). Dalam “lidah-lidah seperti api” Roh Kudus turun atas
para rasul pada pagi hari Pentakosta dan memenuhi mereka (Kis 2:3-4). Dalam tradisi rohani,
lambang api ini dikenal sebagai salah satu lambang yang paling berkesan mengenai karya Roh
Kudus: “Janganlah padamkan Roh” (1 Tes 5:19).

4) AWAN DAN SINAR

Kedua lambang ini selalu berkaitan satu sama lain, ketika Roh Kudus menampakkan Diri. Sejak
masa teofani Perjanjian Lama, awan — baik yang gelap maupun yang cerah — menyatakan Allah
yang hidup dan menyelamatkan, dengan menyelubungi kemuliaan-Nya yang adikodrati. Demikian
juga dengan Musa di Gunung Sinai, dalam kemah wahyu dan selama perjalanan di padang gurun;
pada Salomo waktu pemberkatan kenisah. Semua gambaran ini telah dipenuhi dalam Roh Kudus
oleh Kristus.

Roh turun atas Perawan Maria dan “menaunginya”, supaya ia mengandung dan melahirkan Yesus
(Luk 1:35). Di atas gunung transfigurasi, [Roh Kudus] datang dalam awan “yang menaungi” Yesus,
Musa, Elia, Petrus, Yakobus, dan Yohanes, dan “satu suara kedengaran dari dalam awan: Inilah
Anak-Ku yang Kupilih dengarkanlah Dia” (Luk 9:34-35). “Awan” yang sama itu akhirnya
menyembunyikan Yesus pada hari Kenaikan-Nya ke surga dari pandangan para murid (Kis 1:9);
pada hari kedatangan-Nya awan itu akan menyatakan Dia sebagai Putera Allah dalam segala
kemuliaan-Nya.

5) METERAI

Meterai adalah sebuah lambang yang erat berkaitan dengan pengurapan. Kristus telah disahkan
oleh “Bapa dengan meterai-Nya” (Yoh 6:27) dan di dalam Dia, Bapa juga memeteraikan tanda milik-
Nya atas kita. Karena gambaran meterai (bahasa Yunani “sphragis”) menandakan akibat
pengurapan Roh Kudus yang tidak terhapuskan dalam penerimaan Sakramen Pembaptisan,
Penguatan, dan Tahbisan (Imamat), maka ia dipakai dalam berbagai tradisi teologis untuk
mengungkapkan “karakter” yang tidak terhapuskan, tanda yang ditanamkan oleh ketiga Sakramen
yang tidak dapat diulangi itu.

6) TANGAN

Yesus menyembuhkan orang sakit dan memberkati anak-anak kecil, dengan meletakkan tangan ke
atas mereka. Atas Nama-Nya para Rasul melakukan hal yang sama. Melalui peletakan tangan para
rasul, Roh Kudus diberikan. Surat kepada umat Ibrani memasukkan peletakan tangan dalam “unsur-
unsur pokok” ajarannya. Dalam epiklese sakramentalnya, Gereja mempertahankan tanda
pencurahan Roh Kudus ini yang mampu mengerjakan segala sesuatu.

7) JARI

“Dengan jari Allah” Yesus mengusir setan (Luk 11:20). Sementara perintah Allah ditulis dengan “jari
Allah” atas loh-loh batu (Kel 31:18); “surat Kristus” yang ditulis oleh para rasul, “ditulis dengan Roh
Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging yaitu di dalam hati
manusia” (2 Kor 3:3). Madah “Veni Creator Spiritus” berseru kepada Roh Kudus sebagai “jari tangan
kanan Bapa” (digitus Paternae dexterae).

8) MERPATI

Pada akhir air bah (yang adalah lambang Pembaptisan), merpati — yang diterbangkan oleh Nuh
dari dalam bahtera — kembali dengan sehelai daun zaitun segar di paruhnya sebagai tanda bahwa
bumi sudah dapat didiami lagi. Waktu Kristus naik dari air Pembaptisan-Nya, Roh Kudus — dalam
rupa merpati — turun atas-Nya dan berhenti di atas-Nya. Roh turun ke dalam hati mereka yang
sudah dimurnikan oleh Pembaptisan dan tinggal di dalamnya. Di beberapa gereja, Ekaristi Suci
disimpan di dalam satu bejana logam yang berbentuk merpati (columbarium) dan digantung di atas
altar. Merpati dalam ikonografi Kristen sejak dahulu adalah lambang Roh Kudus.
Devosi bukanlah liturgi. Devosi adalah suatu sikap bakti yang berupa penyerahan
seluruh pribadi kepada Allah dan kehendak-Nya sebagai perwujudan cinta kasih, Atau
yang lebih lazim: devosi adalah kebaktian khusus. kepada berbagai misteri iman yang
dikaitkan dengan pribadi tertentu: devosi kepada sengsara Yesus, devosi kepada Hati
Yesus, devosi kepada Sakramen Mahakudus, devosi kepada Maria, dan lain-lain.

Semua devosi harus diatur sedemikian rupa sehingga selaras dengan liturgi kudus:
sesuai dengan rnasa liturgi, bersumber pada liturgi, dan mengantarumat kepada liturgi,
sebab menurut hakekatnya liturgi jauh mengungguli semua bentuk devosi (lihai KL13).

Tujuan dari devosi antara lain:

1. menggairahkan iman don kasih kepada Allah;


2. mengantar umat pada penghayatan irnan yang benar akan misteri karya
keselamatan Allah dalarn Yesus Kristus;
3. mengungkapkan dan meneguhkan iman terhadap salah satu kebenaran misteri
iman;
4. memperoleh buah-buah rohani.
Cara membina suara hati agar semakin
peka terhadap keputusan yang dilakukan
secara kelompok dgn cara 
a. refleksi
b. doa arwah
c. doa perrmohonan
d. rekoleksi, retret, sarasehan kitab suci
1. SIKAP KITA TERHADAP HATI NURANI
 Menghormati setiap suara hati yang keluar dari hati nurani kita
 Mendengarkan dengan cermat dan teliti setiap bisikan hati nurani
 Mempertimbangkan secara masak dan dengan pikiran sehat apa yang dikatakan oleh hati nurani
 Melaksanakan apa yang disuruh oleh hati nurani

 Menurut Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes (kegembiraan dan harapan) artikel 16:
“Di lubuk hati nuraninya, manusia menemukan hukum yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri
melainkan harus ditaati. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan
apa yang baik dan menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk
hatinya: jalankan ini dan elakkan itu. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar suci di
situ ia seorang diri bersama Allah, yang pesanNya menggema dalam hatinya. Berkat hati nurani
dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap
sesama.”
1. CARA MEMBINA SUARA HATI
Ada beberapa cara membina suarah hati/hati nurani yaitu:

 Mengikuti suara hati dalam segala hal


Seseorang yang selalu berbuat sesuai dengan hati nuraninya, hati nuraninya akan semakin terang
dan berwibawa

Seseorang yang selalu mengikuti dorongan suara hati, keyakinan akan menjadi sehat dan kuat.

 Mencari keterangan pada sumber yang baik


Membaca bacaan rohani: Kitab Suci, dokumen gereja dan buku-buku rohani lainnya

Bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang dapat dipercaya

Mengikuti kegiatan rohani: rekoleksi, retret, perayaan ekaristi, dll.

 Koreksi diri atau introspeksi diri


Secara rutin mengevaluasi diri dan pengalaman setiap hari, entah itu pengalaman positif maupun
sebaliknya.

1. Paham Nasionalis, percaya bahwa Bangsa Israel akan merdeka dari penjajahan dan Kerajaan Allah
akan ditegakkan

2. Paham Apokaliptis, percaya bahwa Allah akan menghabisi orang jahat dan Kerajaan Allah akan berdiri

3. Paham Para Rabi, percaya bahwa Allah menguasai hukum dan karenanya kebenaran akan ditegakkan

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/12245782#readmore


Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
4. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan   
Negara atau Pemerintah.

1. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Romo Mangun)


Rohaniawan kelahiran Ambarawa, Semarang, 6 Mei 1929 kesehariannya akrab disapa dengan
panggilan Romo Mangun. Dia merupakan Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan Yulius Sumadi
dan Serafin Kamdaniyah.
Semenjak kecil Romo atau Mas Ta (nama kecil untuk Romo) tumbuh dalam lingkungan relijius di
asrama Bruderan. Saat usia kanak-kanak dia pernah bermain menjadi imam sementara adik-
adiknya menjadi umatnya. Ketika itu zaman sedang susah, dia pernah berkeliling menjual sabun
batangan demi membantu orang tua. Atmosfer itulah yang membentuk kedisiplinan, hidup prihatin
dan tanggung-jawab dalam dirinya.
Pada usia mudanya, dia banyak terlibat dalam kehidupan yang keras. Dia pernah menjadi Prajurit
BKR, TKR Divisi III, Batalyon V pada tahun 1945-1946 dan Kompi Zeni 1947-1948 Komando Seksi
TP Brigade XVII, Kompi Kedu. Selepas itu mulai aktivitas relijiusnya menjadi seorang Pastor tahun
1959-1999.
Selain aktif menjadi rohaniawan, dia juga dikenal sebagai penulis, budayawan, arsitek, dan aktivis
pembela kaum kecil. Dalam bidang sastra, dia banyak menelurkan karya-karys essai dan novel.
Salah satu novelnya yang terkenal adalah ‘Burung-Burung Manyar’.
Berkat keseriusannya buku ‘Buku Sastra dan Religiositas’ yang ditulisnya mendapatkan
penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982.
Dalam bidang arsitektur, dia dinobatkan sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Penghargaan
Aga Khan Award pernah diterimanya sebagai apresiasi tertinggi atas karya arsitektural rancangan
pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta.
Sementara ’teriakannya’ untuk orang miskin, dia suarakan melalui pendidikan. Dia membangun
Yayasan Dinamika Edukasi Dasar dan membangun SD bagi anak-anak korban proyek
pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code,
Yogyakarta.
Untuk pandangan hidup baginya terletak pada mendaya-gunakan barang-barang yang terbuang
menjadi lebih bermanfaat. Dia juga lebih mementingkan proses yang baik daripada hasil yang baik
tapi prosesnya buruk.
Dasar dalam Injil Lukas 15:1-7 (kalau ada orang mementingkan keuntungan/ hasil ‘bisnis’, ada
domba seratus, hilang satu akan berkata: ”Daripada mencari yang satu belum tentu ketemu
sedangkan yang 99 bisa terlantar, ya.. lebih baik yang lebih banyak diprioritaskan.
Tetapi sikap pastoral sejati akan berkata: 
”Yang 99 memang membutuhkan perhatian namun yang satu jauh lebih membutuhkan perhatian.”
2. Franz Magnis Suseno (Romo Magnis)
Franz Magnis-Suseno seorang rohaniawan Katolik dari Ordo Serikat Yesus (SJ). Pria 75 tahun ini
datang ke Indonesia pada tahun 1961, selepas menyelesaikan S2 filsafat di Hochschule fur
Philosophie di Pullach, Jerman.
Saat ini beliau masih menjabat sebagai direktur program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta. Buah karya pemikirannya diabadikan dalam buku 'Etika Politik', referensi
mahasiwa. Bukunya ilmu politik dan filsafat di Indonesia.
Romo Magnis terlihat concern alias peduli pada budaya Jawa. Banyak karya tulis yang telah
dituliskannya seperti 'Etika Jawa' ditulisnya setelah ia selesai menjalankan tahun sabbat di Paroki
Sukoharjo, Jawa Tengah.
Dia menulis sekitar 25 buku di bidang filsafat, etika, dan pandangan hidup orang Jawa. Pada tahun
2002, dia menerima gelar Doctor Honoris Causae dalam teologi dari Universitas Luzern di Swiss.
Untuk pandangan hidupnya, dia teguh menjalankan radikalisme iman. Radikalisme yang dia anut
tidak meminggirkan keyakinan lain. Poin pentingnya, bagaimana membuat radikalisme itu terbuka
dan toleran. Hal itulah yang mendorongnya menerima perspektif baru tentang Islam dari inter-aksi
positifnya dengan Gus Dur dan Cak Nur.
3. MGR Albertus Soegijapranata
Lahir dari keturunan andi dalem kraton Surakarta menjadikannya mewarisi budaya kejawen. Dia lah
MGR Albertus Soegijapranata atau dikenal dengan nama Soegija. Awal karirnya dimulai tahun 1909,
Soegijadiminta oleh Pr. Frans van Lith bergabung dengan Kolese Xaverius, sekolah Yesuit di
Muntilan.
Di sana Soegija menjadi tertarik dengan iman Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910.
Pada tahun 1919 dia terbang ke Belanda untuk menjalani pendidikan biarawan Serikat Yesus.
Tahun 1923 dia kembali ke tanah air tapi kemudian berangkat lagi Belanda tahun 1928 untuk belajar
teologi dan menjadi pastor di sana.
Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsentrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik
Semarang, yang baru didirikan. Di sana mendapatkan tantangan dari pemerintahan Jepang. Masa
itu banyak gereja diambil alih dan pastor ditangkap ataupun dibunuh. Untungnya dia mampu
melolosakan diri.
Dia dikenal sebagai imam Katolik pertama yang mengembangkan ajaran Katolik adat ketimuran. Ia
menentang paham bahwa Gereja itu identik dengan kolonial Belanda.
Selain rohaniawan, darah pejuang juga mengalir padanya. Sikap nasionalisme yang tinggi
membuatnya begitu keras melawan Jepang. Dia menggunakan gereja sebagai markas.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan berkumandang. Dia memimpin seremoni pengibaran bendara
Merah Putih depan Gereja Gedangan, Semarang. Peran besar lain juga ditunjukannya, dia
melindungi para pejuang merah putih ketika berkobar perang sengit dengan pasukan sekutu dan
Belanda. Saat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, Soegija pun pindah ke Gereja Santo Yoseph di
Bintaran, Yogya, agar lebih mudah berkomunikasi dengan pemerintah pusat.
Di kala situasi genting itu, dia senantiasa menghidupkan iman umat Katolik agar terus berjuang
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
4. Ignatius Joseph Kasimo
Pria kelahiran pada tahun 1900 seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia. Atas jasa dan
perjuangannya terhadap bangsa dan negara, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 113/TK/2011 tanggal 7 November 2011.
Pasca Indonesia merdeka sempat menududuki jabatan menteri.
Semasa muda dia aktif mengikuti Jong Java, organisasi pemuda yang berhaluan kebangsaan. Pada
tahun 1923 dia mendirikan Pakempalen Politik Katolik Djawa berganti menjadi Persatuan Politik
Katolik Djawa (PPKD). Sebagai ketua PPKD dia menggariskan asas perjuangan organisasi, pada
pencapaian kemuliaan dan kehormatan bangsa.
Perjuangannya total ditempuh melalui politik. Pada tahun 1931 Kasimo menjadi anggota Volskraad.
Dia menyampaikan pidato bahwa bangsa Indonesia berhak untuk memerintah diri sendiri, lepas dari
kekuasaan Belanda. Dia mendukung Petisi Sutarjo (tahun 1936) dan Aksi Indonesia Berparlemen
yang dicetuskan GAPI (tahun 1939).
Desember 1945-tahun 1960 ia memimpin Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI). Dalam bidang
pemerintahan beberapa kali ia menjadi menteri, yakni Menteri Muda Kemakmuran, Menteri
Persediaan Makanan Rakyat dan terakhir Menteri Perekonomian. Selain itu ia juga duduk sebagai
anggota KNIP, DPR-RIS, Konstituante dan DPA.
Ketika Agresi Militer Belenda meletus, dia turun berjuang turut bergerilya. Dia berperan menjadi
media komunikasi dengan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.
Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, dia menjadi mediasi antara Indonesia dengan Belanda.
Berungkali dia menyurati Parlemen Belanda untuk mengubah sikap mereka. Alhasil Belanda
menyetujui usul Elsworth Bunker mengenai penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda
tentang status Irian Barat.
Selain focus pada politik, masalah pertanian turut menjadi perhatiannya. Dia mengeluarkan ‘Kasimo
Plan’ pada tahun 1948 yang bertujuan peningkatan produksi pangan dengan cara melakukan
intensifikasi dan eksentifikasi pertanian.
Ketika menjabat Kepala Jawatan Pertanian Pusat tahun 1951-1954. Dia mengeluarkan regulasi
memotong kapitalisme tebu. Proses tenam hingga penjualan tebu ke pabrik gula berlandaskan pada
kontrak. Sebelumnya, tanah rakyat disewa oleh pabrik gula dan rakyat disuruh menanaminya
dengan menerima upah. Peraturan ini cukup menguntungkan rakyat dan karena itu Kasimo digelari
Bapak Tebu Rakyat.
5. Romo Shindunata
Bernama lengkap Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J. atau lebih dikenal dengan nama pena
Sindhunata. Pria kelahiran Kota Batu, Jawa Timur 12 Mei 1952 adalah seorang imam Katolik yang
memiliki dedikasi tinggi untuk umat. Termasuk anggota Yesuit, readkstur majalah kebudayaan
"BASIS".
Perjalanan karirnya berawal sebagai wartawan Harian Kompas, cenderung menulis tentang sepak
bola, dan masalah kebudayaan. Namun Sindhunata mungkin lebih dikenal sebagai penulis.
Novelnya yang terkenal adalah "Anak Bajang Menggiring Angin" tahun 1983, yang diterbitkan oleh
Gramedia.
Dirinya seorang pemerhati seni dan kebudayaan. Beberapa organisasi didirikan seperti komunitas
"PANGOENTJI" (Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe, BI: Paguyuban Minum Ciu) dan Rumah Petroek.
Ada kumpulan puisinya"Air Kata-Kata" yang digubah oleh musisi Jawa, yang berjudul "Cintamu
Sepahit Topi Miring" yang di buat oleh group rapper asal jogja, Jahanam. Lirik-liriknya yang
menokohkan tokoh pewayangan ini penuh makna tentang kehidupan yang bagus untuk kita resapi.
Kini pria 62 tahun ini menetap di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta. Romo Sindunata
juga menulis banyak karya sastra lain dan kebudayaan.
6. Richardus Kardis Sandjaja
Seorang Romo kelahiran di Desa Sedan, Muntilan, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Willem
Kromosendjojo, sebagai pembantu perawat di sebuah klinik Katolik yang dipimpin oleh misionaris
Yesuit di Muntilan. Ibunya bernama Richarda Kasijah, dari keluarga katolik.
Saat masih kecil Romo dikenal anak yang cerdas di kalangan para bruder. Sikap hidupnya sangat
sederhana rendah hati, jujur dan terbuka terhadap satu sama lain. Dia rajin menghadiri misa gereja.
Hingga ketika duduk di sekolah dasar timbul keinginan menjadi seorang imam.
Tumbuh di masa paska kemerdekaan membuatnya terjun mempertahankan kemerdekaan. Hingga
peristiwa naas menimpanya. Saat usia 34 tahun dirinya terbunuh akibat kesalah-pahaman dari pihak
pemuda yang menganggap dirinya mitra Belanda.
Gugurnya Romo Sandjaja menjadi simbol ketabahan, kesucian, kesederhanaan, dan kesetiaan bagi
umat Katolik.
Semasa menjadi imam kiprah Romo Sandjaja mendapat banyak kesulitan karena situasi perang.
Namun dirinya berserah pada kekuasaan ilahi. Dia tetap tabah walau beberapa kali bangunan
Gereja dirusak oleh tentara perang yang tidak senang dengan karya missi. Dibalik kepahitan itu, dia
tetap berlaku bijaksana. Dia justru aktif menjalin komunikasi dengan (penjajah) Belanda.
Tak sampai itu, kerikil tajam juga menghampiri semasa penjajahan Jepang tahun 1942 - 1945,
banyak gereja yang dirusak dan kekayaan mereka dirampas. Terpaksa Romo Sandjaja harus
melarikan diri dan bersembunyi.
Usainya proklamasi kemerdekaan, tepatnya tahun 1948 Romo membangun kembali gerejanya. Dan
dirinya terpilih menjadi dan Rektor di Seminari Menengah di Muntilan.
Namun tak lama berselang, 20 Desember 1948 nasib berkata lain. Situasi was-was revolusi
kemerdekaan Indonesia menimbulkan kecurigaan di kalangan pemuda terhadap para Pastor.
Delapan pemuda itu menculik imam dan frater. Dia adalah Romo Sandjaja, Pr dan Frater Herman A.
Bouwens, SJ.
Bersama seorang seminaris Yesuit dari Belanda itu mereka diinterogasi, lalu dibunuh di lapangan
terbuka di daerah pinggiran Muntilan. Jenazahnya bergelimpangan di sawah antara desa Kembaran
dan Patosan. Baru pemakaman secara khidmat dilakukan oleh pramuka dan anggota-anggota
Angkatan Udara dan dimakamkan di tempat pendiri Gereja di antara orang Jawa, yaitu Romo van
Lith yang sudah beristirahat sejak tahun 1926. (koranopini.com)
PERKAWINAN

Sifat atau ciri hakiki perkawinan katolik adalah: 1. monogami, 2. tidak dapat diceraikan dan 3.
berlangsung seumur hidup. Berikut refleksinya.

adi sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik, yaitu:


1. Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta
yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas
mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, PIL, WIL.
2. lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh
kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam
untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan
sangat dituntut. 
3. Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya
konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan
disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu,
dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi
sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk.Ef 5:2233). 
Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang
berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Sifat-sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga
perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil
atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas
perceraian itu. Dengan demikian suami-istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat
perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah. Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja
terjadi poligami suksesif.
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Jadi, merupakan lawan dari
poligami atau poliandri. Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas
monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka pintu untuk poligami, tetapi tidak
untuk poliandri.

Perkawinan sebagai sakramen, itu maksudnya adalah bahwa Perkawinan itu menjadi sarana dan
tanda kehadiran Kristus yang menyelamatkan. Jadi artinya, suami menjadi tanda kehadiran Kristus
bagi istrinya, dan demikian pula istri bagi suaminya. Dengan demikian, perkawinan tersebut menjadi
gambaran akan kasih Kristus (sebagai mempelai pria) kepada Gereja (sebagai mempelai wanita, lih.
Ef 5:22-33).
Nah kesatuan Kristus dan Gereja-Nya ini dirayakan secara istimewa dalam perayaan Ekaristi.
Dalam perayaan Ekaristi-lah, pihak yang Katolik mengambil bagian dalam kasih kesatuan antara
Kristus dan Gereja-Nya, dan dengan demikian memperbaharui kembali janji perkawinannya di
hadapan Tuhan. Karena itu, salah satu syarat penerimaan Ekaristi bagi umat Katolik yang sudah
menikah adalah: perkawinan mereka sudah sah menurut hukum Gereja. Ikatan perkawinan yang
sah inilah yang diperbaharui dalam sakramen Ekaristi.
Dalam Ekshortasi Apostoliknya, Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II yang terberkati
mengajarkan:
“Peran pengudusan dalam keluarga Kristiani mengambil dasar dari Sakramen Baptis, dan
diekspresikan secara tertinggi dalam Ekaristi, di mana perkawinan Kristiani secara mesra
diikatkan…. Ekaristi adalah sumber perkawinan Kristiani. Kurban Ekaristi, menghadirkan
perjanjian kasih antara Kristus dan Gereja-Nya, yang dimeteraikan oleh darah-Nya di kayu
Salib. Di kurban Perjanjian Baru dan kekal ini, pasanganpasangan Kristiani terhubung
dengan sumber yang darinya perjanjian perkawinan mereka itu sendiri mengalir, disusun,
dan senantiasa diperbaharui….” (Familiaris Consortio, 57) 
halangan dari hukum ilahi ini adalah:
 impotensi seksual yang bersifat tetap (kan. 1084)
 ikatan perkawinan sebelumnya (kan. 1085) 
 hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kan. 1091 §1)
Halangan dari hukum gerejawi. Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh
otoritas Gereja. Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan
memiliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk
mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan
kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai
dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui
kesejahteraan masing-masing anggota (kan. 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja
dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiwa
adalah norma hukum tertinggi (kan. 1752).

Tajuk rencana/Editorial adalah artikel pokok dalam surat kabar yang merupakan pandangan


redaksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi pembicaraan pada saat surat kabar itu diterbitkan.
Dalam tajuk rencana/Editorial biasanya diungkapkan adanya informasi atau masalah aktual,
penegasan pentingnya masalah, opini redaksi tentang masalah tersebut, kritik dan saran atas
permasalahan, dan harapan redaksi akan peran serta pembaca.

Pernyataan fakta dan opini ini biasanya diutarakan secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi
penulisan dengan tujuan untuk mempengaruhi pendapat/ menerjemahkan berita yang menonjol
agar pembaca menjadi menyimak seberapa penting berita tersebut. Fungsi tajuk rencana/editorial
biasanya menjelaskan berita, artinya, dan akibatnya pada masyarakat. Tajuk rencana/Editorial juga
mengisi latar belakang dari kaitan berita tersebut dengan kenyataan sosial dan faktor yang
mempengaruhi dengan lebih menyeluruh. Dalam tajuk rencana/editorial terkadang juga ada ramalan
atau analisis kondisi yang berfungsi untuk mempersiapkan masyarakat akan kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi, serta meneruskan penilaian moral mengenai berita tersebut.

Anda mungkin juga menyukai