Anda di halaman 1dari 14

IJTIHAD, TAQLID DAN ITTIBA’

MAKALAH

Oleh:

RIFATUR RIZKI DAN MIFTAKHUL M QOLISAH

Dosen:

Ustadz Ainur Rofiq, M. Pd.I

The eLKISI INSTITUTE


Mojokerto – Jawa Timur
2021
i

PENGANTAR

‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ ٱ‬


َ ُ‫يَ ْرفَع ِ هَّلل ُ ذَّل ِ َين َءا َمنُو ۟ا ِمنمُك ْ َو ذَّل ِ َين ُأوتُو ۟ا لْ ِعمْل َ د ََر َجٰ ٍۢت ۚ َو هَّلل ُ ِب َما تَ ْع َمل‬
‫ون َخ ِب ٌۭري‬

Segala puji bagi dzat, yang karena-Nya kita masih bisa merasakan ni’mat
Islam dan iman hingga detik ini.

Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabiyulloh Muhammad


Shollallohu ‘alaihi wa Sallam, manusia mulia yang menjadi utusan bagi seluruh umat
di alam ini.

Alhamdulillah, makalah yang membahasa mengenai Ijtihad, Taqlid, dan


Ittiba’ telah selesai kami susun. Tentunya kami mengharapakan ridha Alloh dalam
menyusun makalah ini, sekaligus makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqih. Kami memohon kepada Alloh agar buku ini bisa menjadi manfaat bagi
penyusun dan pembaca.

Demikian pengantar kami, mohon maaf bila ada salah kata dalam penyusunan
makalah ini, kritik dan saran para pembaca sangat kami harapkan.
‫ٱ‬
ٌۭ ‫نَرْص ٌۭ ِّم َن هَّلل ِ َوفَ ْت ٌۭح قَ ِر‬
‫يب‬

eLKISI International Islamic Boarding School, 2 Juli 2021

Rif’atur Rizki dan Miftakhul M Qolisah


ii

DAFTAR ISI

PENGANTAR.........................................................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................2

A. IJTIHAD........................................................................................................................2

B. TAQLID.........................................................................................................................6

C. ITTIBA’.........................................................................................................................9

BAB III PENUTUP..............................................................................................................10

A. Kesimpulan...............................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................11
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam mempunyai tradisi keilmuwan yang kuat sejak zaman dahulu. Terbukti
dari para Ulama-ulama yang sholih dan mempunyai kecerdasan dalam keilmuan.
Sehingga kita sebagai pewaris ilmu-ilmu itu harus bisa tetap menjaga tradisi
keilmuan.
Ilmu Ushul Fiqih merupakan cabang ilmu yang sangat penting bagi orang
Islam. Dari Ushul Fiqih kita bisa menarik hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh Alloh ta’ala dan Rosul-Nya ‫ﷺ‬.
Termasuk di antara pembahasan dalam kajian Ushul Fiqih adalah Ijtihad,
Taqlid dan Ittiba’. Untuk itu perlu kita jelaskan mengenai definisnya dan
pembahasan singkatnya dalam makalah yang ringkas ini. Dengan mengharap
kepada Alloh ta’ala agar ilmu yang kita kaji ini bisa memberikan manfaat bagi kita
semua.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi Ijtihad?


2. Apa definisi Taqlid?
3. Apa definisi Ittiba’?
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. IJTIHAD

1. Pengertian

Ijtihad ialah

‫والسنَّ ِة‬
ّ ‫ا ْجهِت َا ُد ِإ ْس ِت ْف َرا ُغ ُالو ْسع ِ يِف ن َ ْيلِ ُحمْك ٍ رَش ْ ِع ّ ٍي ب َِط ِريْ ِق ا ْس ِتن ْ َب ِاط ِم َن ال ِكتَ ِاب‬
‫ِإل‬ ‫ِإل‬
“Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan
jalan menentukan dari kitab dan sunah.”1

Orang yang berijtihad disebut mujtahid

‫امل ُ ْجهَت ِ دُ ه َُو ال َف ِق ْي ُه امل ُ ْس َت ْف ِر ُغ ِل ُو ْس ِع ِه ِل َت ْح ِص ْيلِ َظ ٍّن حِب ُ مْك ٍ رَش ْ ِع ّ ٍي ب َِط ِريْ ِق ا ْس ِتن ْ َب ِاط ِمهْن َا‬
‫ِإل‬
“Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama dengan jalan istinbath dari Al-Qur’an dan As-Sunah.”2

2. Syarat-Syarat Orang yang Berijtihad:

a. Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan dengan hukum itu
meskipun tidak hafal di luar kepala;

b. Mesti mengetahui bahasa arab dari segi sintaktis dan filologinya, seperti
nahwu, shorof, ma’ani, bayan, dan badi’ agar dapat menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an atau sunah dengan cara berpikir yang benar;

1
Moh. Rifa’I, USHUL FIQIH, h. 145
2
Moh. Rifa’I, USHUL FIQIH, h. 145
3

c. Mesti mengetahui ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang seluas-
luasnya karena ilmu ini sebagai dasar berijtihad;

d. Mesti mengetahui soal-soal ijma’ agar tiada timbul pendapat yang


bertentangan dengan ijma’ itu;

e. Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan hadits yang shahih dan
hasan, yang dhaif, yang makbul, dan yang mardud;

f. Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’ (asrarusy syari’ah), yaitu kaidah-kaidah


yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakkan beban taklif kepada
mukallaf; dan

g. Memiliki sifat takwa dan muru’ah (harga diri), tidak takabur dan menjauhi
segala larangan Alloh swt.

3. Soal-Soal yang Diijtihadkan

Masalah yang diijtihadkan ialah hukum-hukum syara’ yang tidak mempunyai


dalil qathi’ dan bukan terhadap hukum-hukum akal dan masalah-masalah yang
berhubungan dengan ilmu kalam. Juga bukan terhadap masalah-masalah yang
sudah mempunyai dalil yang qath’i, seperti shalat lima waktu, zakat, dan
sebagianya.

4. Cara Berijtihad

a. Hendaklah para mujtahid mula-mula memperhatikan dalil yang tinggi


tingkatnya, kemudian menggunakan dalil berikutnya. Urutannya ialah: (1)
nash Al-Qur’an, (2) khabar mutawatir, (3) khabar ahad, (4) dhahir Qur’an,
dan (5) dhahir hadits.

b. Jika tidak mendapati demikian, hendaklah ia memperhatikan perbuatan-


perbuatan Nabi, kemudian taqrirnya.
4

c. Jika tidak mendapati demikian, hendaklah ia memperhatikan fatwa-fatwa


sahabat, jika tidak mendapati juga, barulah ia menetapkan hukum dengan
qiyas, atau dengan salah satu dalil yang dibenarkan syara’ sambil
memperhatikan kemaslahatan dan menolak kemufsadatan.

d. Jika menghadapi dalil-dalil yang berlawanan, hendaklah ia mengumpulkan


(jama’) dalil-dalil yang menurut cara yang dibenarkan kaidah.

e. Jika tidak mengkin mengumpulkan (jama’), barulah dicari jalan manarjih


(menguatkan salah satu) dalil itu.

f. Jika tidak mungkin karena sama-sama kuatnya, hendaklah dinasakhkan,


dicari mana yang dahulu dan mana yang kemudian dan yang dahulu itulah
yang dibatalkan dan yang kemudian itulah yang membatalkan. Kalau tidak
diketahui hendaklah tawaquf (berhenti). Ia tidak boleh menetapkan hukum
dengan dalil yang bertentangan. Hendaklah menggunakan dalil yang lebih
rendah tingkatannya.

5. Kebenaran Ijtihad

Para Mujtahid banyak jumlahnya, mungkin pula mereka berselisih pendapat satu
sama lain dalam suatu hukum. Kalau demikian, apakah setiap Mujtahid benar?

Sebagian Ulama berpendapat bahwa semua Mujtahid mencapai kebenaran.


Sebagian Ulama lagi berpendapat hal ini tidak benar sebab suatu masalah dapat
menjadi benar dan salah dalam satu waktu dan kebenaran itu menjadi berbilang-
bilang tidak satu.

Menurut Abu Hanifa, Malik dan Syafi’i:

‫لَي َْس لُك ُّ ُم ْجهَت ِ ٍد ِب ُم ِصي ٍْب َوَأ َّن امل ُ ِصي َْب ِمهْن ُ ْم َوا ِح ٌد‬

“Tidak semua Mujtahid mencapai kebenaran, tetapi yang bisa mencapai hanya
satu.”
5

Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda:

)‫اب فَهَل ُ َأ ْج َر ِان َوإ ْن ْاجهَت َدَ فََأخ َْطَأ فَهَل ُ َأ ْج ٌر َوا ِح ٌد (رواه البخارى ومسمل‬
َ ‫احلَامِك ُ َذا ا ْجهَت َدَ فََأ َص‬
‫ِإ‬
“Hakim apabila berijtihad kemudian kemudian dapat mencapai kebenaran, maka
ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai
kebenaran, ia mendapat satu pahala.”

Hadits ini menyatakan bahwa benar itu hanya satu dan setiap Mujtahid itu
meskipun salah, tetap mendapat pahala karena Ijtihadnya. Sedangkan Mujtahid
yang mencapai kepada kebenaran mendapat satu pahala lagi, yaitu pahala
kebenarnnya.
6

B. TAQLID

1. Pengertian

‫ال َت ْق ِل ْيدُ قَ ُب ْو ُل ال َقائِلِ َوَأن َْت اَل تَ ْعمَل ُ ُح َّج َت ُه‬

“Menerima pendapat orang lain padahal tidak mengetahui alasannya.”

2. Syarat-Syarat Taqlid

a. syarat orang yang bertaklid; ialah orang awam yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum syara’. Ia tidak boleh mengikuti orang alim yang
mengamalkan. Sedang orang yang alim dan sanggup mencari sendiri hukum-
hukum syara’ harus berijtihad sendiri jika cukup waktunya. Akan tetapi,
kalau waktunya telah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu
untuk mengerjakan yang lain dalam soal ibadah menurut suatu pendapat
boleh mengikuti pendapat orang alim lainnya.

b. Soal-Soal yang Ditaklidi; terhadap hukum akal tidak boleh bertaklid kepada
orang lain, seperti mengetahui ada Zat pencipta alam semesta ini serta sifat-
sifat-Nya karena jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut ialah
dengan akal yang semua manusia memilikinya.

Firman Alloh ta’ala:


‫ٱ‬ ‫ٱ‬
َ ُ‫َو َذا ِقي َل لَه ُُم ت َّ ِب ُعو ۟ا َمٓا َأ َنز َل هَّلل ُ قَالُو ۟ا ب َ ْل نَتَّبِٰ ُع َمٰ ٓا َألْ َف ْينَٰا عَلَ ْيٰ ِه َءابَٓا َءن َٰٓا ۗ َأ َولَ ْٰو اَك َن َءاب َٰٓا ُؤمُه ْ اَل ي َ ْع ِقل‬
‫ٰون‬
‫ِإ‬
‫اَل‬
َ ُ‫َش ْئـ~ًٰۭٔا َو هَي ْ َتد‬
‫ون‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah


diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang
kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek
7

moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat
petunjuk.” QS. Al-Baqarah: 170

Jika yang ditaklidi adalah hukum syara’, maka dalam hal ini dapat dibagi
dua;

1). Yang tidak boleh ditaklidi, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa
ramadhan, zakat, haji, dan juga tentang haramnya berzina serta
minuman keras karena perkara-perkara ini semua orang dapat
mengetahuinya; dan

2). Yang dibolehkan taklid, seperti menyelidiki dan mencari dalil perkara-
perkara ibadah dan hukum-hukum yang kecil-kecil lainnya. Alasannya
firman Alloh ta’ala:

16: 43
‫ٱ‬
َ ‫فَ ْسٔـََٰٔلُ ٓو ۟ا َأ ْه َل ِّذل ْك ِر ن ُكنمُت ْ اَل تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
‫ِإ‬
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui.” QS. An-Nahl: 43

3. Taklid yang Diharamkan

1. Taklid kepada orang yang tidak memperdulikan ayat-ayat Al-Qur’an lantaran


taklid kepada nenek moyang; dan

2. Taklid kepada orang yang kita tidak tahu, apakah orang yang kita taklidi itu
mempunyai keahlian untuk ditaklidi

4. Pesan Empat Imam

1. Imam Abu Hnifah berkata;

ْ ‫هللا فَُأ ْت ُر ُكوا قَ ْويِل‬


ِ ِ‫هللا َو َخرَب َ َر ُس ْول‬
ِ ‫اب‬َ ‫ْن اَك َن قَ ْويِل ْ خُي َا ِل ُف ِك َت‬
‫ِإ‬
8

“Kalau ucapanku menyalahi kitab Alloh dan sunah Rosul, tinggalkan


ucapanku.”

2. Imam Malik berkata;

َ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َسمَّل‬


ُ ‫لُك ُّنَا َر ٌّد َو َم ْرد ُْو ٌد اَّل َصا ِح ٌب ه ََذا ال َقرْب ِ يَعْىِن النَّيِب ُّ َصىَّل‬
‫ِإ‬
“Kita semua menolak dan ditolak, melainkan yang mempunyai kuburan ini
(Nabi Muhammad ‫)ﷺ‬

3. Imam Syafi’I berkata;

ْ ‫ِإ َذا خَص َ َخرَب ٌ خُي َا ِل ُف َم ْذ َهيِب ْ فَات َّ ِب ُع ْو ُه َوا ْعلَ ُم ْوا َأن َّ ُه َم ْذ َهيِب‬
“Bila mana telah sah suatu khabar (walaupun) menyalahi mazhabku, maka
ikutilah khabar itu dan ketahuilah itulah yang sebenarnya mazhabku.”

4. Imam Ahmad Hanbal berkata;

‫اَل تُ َقدّْل ْ يِن ْ َواَل تُ َقدِّل ْ َما ِلاًك َواَل التَّ ْو ِر َّي َواَل األ ْو َز ِع َّي َوخ ُْذ ِم ْن َح ْي ُث َأخ َُذ ْوا‬

“Janganlah kamu taklid kepadaku dan janganlah taklid kepada Imam Malik
dan janganlah taklid pula kepada Imam Tsauri dan jangan kepada Imam
Auza’I dan ambilah dari mana mereka ambil.”
9

C. ITTIBA’

1. Pengertian

Ittiba’ artinya mengikut, sedangkan menurut istilah:

‫اإل ِت ّ َبا ُع قَ ُب ْو ُل ال َقائِلِ َوَأن َْت تَ ْعمَل ُ ُح َّج َت ُه‬

“Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui dari mana sumber
alasan tersebut.”

Ittiba’ menurut syara’ diperintahkan, sesuai dengan firman Alloh:


‫ٱ‬
َ ‫فَ ْسٔـََٰٔلُ ٓو ۟ا َأ ْه َل ِّذل ْك ِر ن ُكنمُت ْ اَل تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬
‫ِإ‬
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.” QS. An-Nahl: 43

َٰ ‫ٱت َّ ِب ُعو ۟ا َمٓا ُأن ِز َل ل َ ْيمُك ِّمن َّر ِبّمُك ْ َواَل تَت َّ ِب ُعو ۟ا ِمن ُدو ِن ِه ٓۦ َأ ْو ِل َيٓا َء ۗ قَ ِلياًۭل َّما ت ََذكَّ ُر‬
‫ون‬
‫ِإ‬
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu
ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.”
QS. Al-A’raaf: 3

Sabda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬:

‫عَلَيمُك ْ ب ُِسنَّيِت ْ َو ُسنَّ ِة اخلُلَ َفا ِء َّالر ِاش ِد ْي َن ِم ْن ب َ ْع ِد ْي‬

“Wajib kamu mengikuti sunahku dan perjalanan/cara-cara Khulafaur Rasyidin


sesudahku.” (Abu Dawud dan lain-lain)
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membaca dan mempelajari tentang apa pengertian Ijtihad, taqlid dan
ittiba’, maka kita bisa membedakannya dan juga mengetahui contoh-contohnya.

Ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum


syara’ dengan jalan menentukan dari kitab dan sunah. Sedangkan taqlid adalah
menerima pendapat orang lain padahal tidak mengetahui alasannya. Sedangkan
ittiba’ adalah menerima perkataan orang lain dan kamu mengetahui dari mana
sumber alasan tersebut.

Tentunya semua ilmu bermanfaat bagi kita, terutama bagi ummat Islam,
termasuk ilmu ushul fiqih mengenai ijtihad, taqlid, dan ittiba’ ini. Untuk itu, wajib
bagi kita ummat Islam untuk terus menambah dan memperdalam ilmu agama,
serta ilmu-ilmu penunjang kehidupan kita.
11

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Suci:

Al-Quran (dan terjemahnya), Departemen Agama RI.

Buku:

Rifa’i, Moh, Ushul Fiqih, (Bandung, PT ALMA’ARIF)

Anda mungkin juga menyukai