1. Identifikasi Istilah
a. Magnitudo
Sebuah besaran yang menyatakan besarnya energi seismik yang dipancarkan oleh
sumber gempa. Skala yang umumnya digunakan adalah Skala Richter (SR).
Tingkat kerusakan menurut SR
1-3 SR = tidak dirasakan manusia
3-3,9 SR = dirasakan oleh masyarakat di sekitar pusat gempa. Lampu gantung
goyang
4-4,9 SR = terasa sekali getarannya
5-5,9 SR = sangat sulit untuk berdiri tegak. Porselin & kaca pecah. Dinding
yang lemah pecah, retak, permukaan air di daratan berbentuk gelombang
6-6,9 SR = batu runtuh, bangunan bertingkat tinggi runtuh, bangunan lemah
rubuh
7-7,9 SR = tanah longsor, jembatan roboh, kerusakan total di daerah gempa
= terdapat kerusakan serius dalam radius 100km
b. Ancaman
Situasi kondisi, karakteristik non alam maupun alam yang berpotensi
menimbulkan korban ataupun kerusakan
c. BMKG
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. BMKG bertugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang meteorologi (cabang ilmu yang mempelajari tentang
prakiraan cuaca/dalam jangka pendek), klimatologi (ilmu yang mepelajari tentang
iklim/kondisi cuaca yang dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang),
kualitas udara, dan geofisika (bagian dari ilmu bumi yang mempelajari bumi
menggunakan kaidah/prinsip fisika) sesuai perundang-undangan yang berlaku.
d. Manajemen
Suatu ilmu pengetahuan yang sistematis agar dapat memahami mengapa dan
bagaimana manusia saling bekerja sama agar dapat menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi orang lain maupun golongan tertentu dan masyarakat luas.
e. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna (Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, 2007).
Hari Kesiapsiagaan 26 april
2. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah konsep kesiapsiagaan dan mitigasi gempa dan tsunami di masa
pandemi?
2. Bagaimanakah konsep uum manajemen risiko bencana?
3. Penjelasan mengenai bencana, ancaman, kerentanan, dan kapasitas!
4. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh dokter M untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami
di tengah pandemi COVID-19?
3. Analisa Masalah
1. Bagaimanakah konsep kesiapsiagaan dan mitigasi gempa dan tsunami di
masa pandemi?
a. Rencana kesiapsiagaan tsunami dalam masa pandemi COVID-19
setidaknya meliputi:
1. Peninjauan lokasi Rumah Sakit. Melakukan evaluasi apakah rumah sakit yang
menangani pasien COVID-19 berada di daerah rendaman tsunami atau tidak.
Jika demikian, agar mempertimbangkan dipindahkan ke rumah sakit lain yang
tahan gempa dan jauh dari kemungkinan rendaman tsunami.
2. Penyiapan TES dan TEA. Kapasitas TES dan TEA yang sudah ditentukan perlu
ditinjau kembali agar masyarakat tetap bisa menerapkan jaga jarak. Bila
diperlukan, TES dan TEA diperbanyak dan dilakukan desinfeksi secara rutin
sebelum terjadi bencana. TES dan TEA yang ditambahkan harus berlokasi di
daerah aman dari ancaman tsunami dan dapat memanfaatkan tempat yang saat
ini kosong dikarenakan COVID-19, seperti sekolah, asrama mahasiswa yang
saat ini diliburkan, perkantoran dimana pegawai bekerja dari rumah, wisma
pemerintah yang kosong, hotel kosong karena tidak ada wisatawan, dan lain
sebagainya. BPBD, pemerintah daerah, bersama masyarakat harus menyiapkan
lokasi pengungsian dengan memastikan ketersediaan sarana kebersihan seperti
air bersih, peralatan cuci tangan, sabun dan/atau hand sanitizer.
3. Sarana, prasarana, dan protokol pekerja sosial. BPBD bersama pemerintah
daerah dan masyarakat perlu menyiapkan sarana, prasarana, dan protokol agar
pekerja sosial yang akan memberikan dukungan evakuasi (sebisa mungkin
relawan dari masyarakat) tetap terproteksi. Caranya dengan menyediakan
cadangan APD yang dipakai saat membantu evakuasi dan termometer sebagai
bagian dari peralatan P3K.
4. Rencana evakuasi dan protokol kesehatan. BPBD perlu menyiapkan rencana
evakuasi dan protokol kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat secara umum
diharapkan tetap memastikan menjaga jarak (physical distancing),
menggunakan masker, dan menjaga kebersihan diri dan sekitarnya pada saat
evakuasi. Untuk itu, BPBD perlu melakukan sosialisasi terkait hal ini sejak
dini, sebelum terjadi ancaman tsunami. Untuk penggunaan masker tidak perlu
menggunakan masker medis, bisa menggunakan masker kain yang dibuat
sendiri.
c. Jenis-jenis Ancaman/Hazard
1. Ancaman alamiah (Natural hazards): Proses atau fenomena alam yang bisa
menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain,
kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan
ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
2. Ancaman biologis (Biological hazard): Proses atau fenomena yang bersifat organik
atau yang dinyatakan oleh vektor-vektor biologis, termasuk keterpaparan terhadap
mikro-organisme yang bersifat patogen, toksin dan bahan-bahan bioaktif yang bisa
mengakibatkan hilangnya nyawa, cedera, sakit atau dampak-dampak kesehatan
lainnya, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial
dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
3. Ancaman geologis (Geological hazard): Proses atau fenomena geologis yang
bisammengakibatkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain,
kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan
ekonomi, atau kerusakan lingkungan
4. Ancaman hidro-meteorologis (Hydro-meteorological hazard): Proses atau fenomena
yang bersifat atmosferik, hidrologis atau oseanografis yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda,
hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan
lingkungan.
5. Ancaman sosial-alami (Socio-natural hazard): Fenomena meningkatnya kejadian
peristiwa-peristiwa ancaman bahaya geofisik dan hidrometeorologis tertentu seperti
tanah longsor, banjir, tanah ambles, dan kekeringan, yang diakibatkan oleh interaksi
antara ancaman bahaya-ancaman bahaya alam dengan sumber daya lahan dan
lingkungan yang dimanfaatkan secara berlebihan atau rusak.
6. Ancaman teknologi (Technological hazards): Suatu ancaman bahaya yang berasal dari
kondisi teknologi atau industri, termasuk kecelakaan, prosedur berbahaya, kegagalan
prasarana atau aktivitas khusus oleh manusia, yang bisa menyebabkan hilangnya
nyawa, cedera, sakit atau dampak-dampak kesehatan lainnya, kerusakan harta benda,
hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan
lingkungan.
Hazard memiliki hubungan antara kerentanan dan kapasitas. Makin tinggi kerentanan
pada suatu komunitas atau orang ataupun suatu kondisi makan ancaman yang akan
didapatkan akan semakin besar Dan berbanding terbalik dengan kapasitas, yang
merupakan usaha dari proses mitigasi baik secara sdm , dan lingkungan yang mendukung
pada proses pencegahann atau penanggulan bencana, sehingga makin besar kapasita ,
ancaman atau hazard akan semakin kecil, sehingga kerugian dan dampak negatif dari
suatu bencana dapat diminimalisir atau dihindari.
5. Strukturisasi
6. Learning Objective
1. Bagaimana parameter mengukur kesiapsiagaan bencana dari segi fasilitas
dalam mengahadapi bencana?
2. Faktor2 apa saja yang perlu kita lihat dalam merecnakan kesiapsiagaan gempa
bumi dan tsunami saat pandemi COVID-19?
3. Bagaimana hazard dan kerentanan serta mitigasi gempa bumi dan tsunami saat
pandemi covid-19?
4. Peran dokter terhadap kesiapsiagaan risiko bencana dan mitigasi?
5. Prinsip Kesiapsiagaan Bencana yang berbasis masyarakat?
AWAS
Diperkirakan tinggi tsunami yang akan tiba melebihi 3m.
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota untuk segera mengarahkan masyarakat untuk
evakuasi secara menyeluruh.
SIAGA
Diperkirakan tinggi tsunami yang akan tiba antara 0.5 – 3m.
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota untuk segera mengarahkan masyarakat untuk
evakuasi.
WASPADA
Diperkirakan tinggi tsunami yang akan tiba kurang dari 0.5m.
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota untuk segera mengarahkan masyarakat untuk
menjauhi pantai dan tepian sungai.
2. Faktor2 apa saja yang perlu kita lihat dalam merecnakan kesiapsiagaan gempa
bumi dan tsunami saat pandemi COVID-19?
Apabila dalam kondisi darurat COVID-19 ini terjadi gempa bumi yang berpotensi
tsunami, BPBD dan pemerintah daerah perlu menerapkan langkah khusus terkait
penyiapan evakuasi masyarakat. Evakuasi tsunami harus diutamakan untuk
menyelamatkan jiwa masyarakat. Jika masyarakat merasakan goncangan yang kuat
atau gempa yang berayun lemah tapi lama, masyarakat agar segera melakukan
evakuasi mandiri menuju Tempat Evakuasi Sementara (TES) ,yaitu tempat aman yang
sudah ditetapkan sebagai lokasi evakuasi tsunami, seperti dataran tinggi,
dataran/hamparan yang jauh dari pantai, atau gedung/bangunan yang sudah disepakati
sebagai tempat evakuasi yang aman. Setelah ancaman tsunami berakhir, maka dengan
arahan dan petunjuk dari pihak berwenang, masyarakat dapat pindah menuju Tempat
Evakuasi Akhir (TEA), atau jika tidak terjadi tsunami masyarakat bisa kembali ke
rumah. Jika masyarakat harus tinggal di TEA lebih lama, pihak berwenang harus
memberikan dukungan fasilitas dan medis yang lebih baik
1. Peninjauan lokasi Rumah Sakit. Melakukan evaluasi apakah rumah sakit yang
menangani pasien COVID-19 berada di daerah rendaman tsunami atau tidak. Jika
demikian, agar mempertimbangkan dipindahkan ke rumah sakit lain yang tahan
gempa dan jauh dari kemungkinan rendaman tsunami.
2. Penyiapan TES dan TEA. Kapasitas TES dan TEA yang sudah ditentukan perlu
ditinjau kembali agar masyarakat tetap bisa menerapkan jaga jarak. Bila diperlukan,
TES dan TEA diperbanyak dan dilakukan desinfeksi secara rutin sebelum terjadi
bencana. TES dan TEA yang ditambahkan harus berlokasi di daerah aman dari
ancaman tsunami dan dapat memanfaatkan tempat yang saat ini kosong dikarenakan
COVID-19, seperti sekolah, asrama mahasiswa yang saat ini diliburkan, perkantoran
dimana pegawai bekerja dari rumah, wisma pemerintah yang kosong, hotel kosong
karena tidak ada wisatawan, dan lain sebagainya. BPBD, pemerintah daerah, bersama
masyarakat harus menyiapkan lokasi pengungsian dengan memastikan ketersediaan
sarana kebersihan seperti air bersih, peralatan cuci tangan, sabun dan/atau hand
sanitizer.
3. Sarana, prasarana, dan protokol pekerja sosial. BPBD bersama pemerintah daerah dan
masyarakat perlu menyiapkan sarana, prasarana, dan protokol agar pekerja sosial yang
akan memberikan dukungan evakuasi (sebisa mungkin relawan dari masyarakat) tetap
terproteksi. Caranya dengan menyediakan cadangan APD yang dipakai saat
membantu evakuasi dan termometer sebagai bagian dari peralatan P3K.
4. Rencana evakuasi dan protokol kesehatan. BPBD perlu menyiapkan rencana evakuasi
dan protokol kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat secara umum diharapkan tetap
memastikan menjaga jarak (physical distancing), menggunakan masker, dan menjaga
kebersihan diri dan sekitarnya pada saat evakuasi. Untuk itu, BPBD perlu melakukan
sosialisasi terkait hal ini sejak dini, sebelum terjadi ancaman tsunami. Untuk
penggunaan masker tidak perlu menggunakan masker medis, bisa menggunakan
masker kain yang dibuat sendiri.
5. Evakuasi berdasarkan penggolongan orang terdampak COVID-19, sebagai berikut:
a. Pasien Dalam Pengawasan (PDP):
Mereka umumnya adalah pasien yang sedang dirawat di rumah sakit khusus
untuk COVID-19. Sebaiknya pasien COVID-19 tidak dirawat di daerah dengan
risiko bencana tinggi agar tidak perlu dilakukan mobilisasi pasien pada saat
bencana terjadi karena ini dapat mengakibatkan penyebaran terjadi. Apabila
rumah sakit terletak di daerah ancaman tsunami, maka BPBD dan pemerintah
daerah perlu menyiapkan protokol evakuasi khusus untuk melakukan evakuasi
pasien dan pekerja medisnya.
Periksa kembali kode bangunan Rumah Sakit supaya memenuhi kode bangunan
tahan gempa yang terkini;
Apabila rumah sakit memiliki beberapa lantai, tempatkan PDP di lantai atas
yang sekiranya tidak terkena sapuan gelombang tsunami;
Memberikan tanda khusus bagi PDP, seperti gelang dengan warna khusus;
Jika dievakuasi ke TES dan TEA tempatkan perawatan PDP di tempat / ruang
yang terpisah dari yang lain;
Petugas medis perlu diberitahu tempat dan jalur evakuasi masing-masing untuk
PDP dan pasien non-PDP dan diberikan pelatihan merawat pasien dalam situasi
darurat
Perlu ditugaskan pekerja sosial dan relawan yang dilatih untuk dapat membantu
evakuasi PDP selama keadaan darurat, membekali petugas medis dan relawan
dengan APD dan peralatan P3K termasuk thermometer yang memadai;
Memastikan ketersedian peralatan hiegienitas dan sanitasi sehingga dapat
memberlakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tempat
perawatan di lokasi evakuasi.
b. Orang Dalam Pemantauan (ODP):
Mereka umumnya adalah orang yang diperintahkan melakukan karantina
mandiri (isolasi diri) dirumah.
BPBD perlu berkoordinasi dengan Dinkes agar memiliki data dan mengetahui
lokasi-lokasi ODP yang tinggal di zona tergenang tsunami;
Memberi tanda khusus bagi orang-orang dengan status ODP saat evakuasi,
seperti memberikan pita dengan warna khusus ditangan, masker dengan tanda
khusus, atau tanda lainnya;
Perlu ditetapkan TES dan TEA untuk ODP. Memastikan ODP berada di satu
tempat evakuasi dengan menyiapkan tempat khusus bagi mereka sehingga
tempat evakuasi ODP terpisah dari masyarakat yang sehat atau orang tanpa
gejala;
Perlu dipertimbangkan rencana jalur evakuasi dan rencana tempat pengungsian
dimana ODP dan warga masyarakat yang sehat terpisah;
ODP perlu diberi tahu tempat dan jalur evakuasi mereka;
Perlu ditugaskan pekerja sosial (sebisa mungkin relawan dari masyarakat) untuk
membantu evakuasi ODP selama keadaan darurat dan membekali relawan
dengan APD (Alat Pelindung Diri) dan peralatan P3K termasuk thermometer;
Memastikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat evakuasi.
c. Orang Tanpa Gejala (OTG):
Mereka adalah orang yang tidak memiliki gejala ataupun tanda tanda klinis
COVID-19 tetapi memiliki risiko terkena Virus Corona. Mereka dapat
evakuasi di tempat yang bersamaan dengan tetap memperhatikan jaga jarak,
menggunakan masker, dan menjaga kebersikah diri. Apabila dalam evakuasi
tsunami ada diantara OTG yang memiliki gejala demam (≥380C) atau riwayat
demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk, maka agar diisolasi terpisah di tempat evakuasi sampai
ancaman tsunami selesai dan dapat ditangani lebih lanjut oleh petugas medis
3. Bagaimana hazard dan kerentanan serta mitigasi gempa bumi dan tsunami saat
pandemi covid-19?
Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami
Kerentanan : Kondisi fisik, sosial, dan mental yang menentukan risiko suatu
hazard dalam menimbulkan bencana
1. Fisik
Kondisi bangunan yang tidak memadai (rentan guncangan)
2. Sosial
Tingkat kepadatan penduduk dan kemiskinan
3. Mental
Dilihat dari korban jiwa maupun luka-luka yang mengindikasikan kesadaran
dan pengetahuan masyarakat terkait upaya mengurangi risiko terjadinya gempa
bumi
Mitigasi, berdasarkan Kochi International Association dan BMKG
1. Mengenalli lokasi bangunan tempat tinggal (apakah berada di patahan gempa
dengan melihat potensi gempa di pemetaan wilayah )
2. Membangun rumah dengan konstruksi tahan gempa (material yang bagus)
3. Merenovasi bangunan yang belum tahan guncangan gempa (perlu di lingkungan
publik seperti sekolah, Fasyankes
4. Mengurangi risiko pergeseran dan robohnya perabot saat gempa agar tidak
menghalangi jalan saat evakuasi
5. Membentuk organisasi mandiri
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait gempa bumi
b. Membuat peta wilayah dan memastikan tempat paling aman untuk
evakuasi
c. Meningkatkan kesiapsiagaan (no hp/telp darurat seperti ambulan,
pemadam kebakaran)
d. Simulasi gempa bumi (melatih sikap dan tindakan
1. Bencana adalah urusan bersama.Bencana dapat menimpa siapa saja, tidak peduli
usia, jenis kelamin, tingkat kesejahteraan, dan latar belakang sosial budaya. Oleh
karena itu bencana merupakan urusan semua orang/pihak. Siapapun turut
bertanggungjawab dan berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.
2. Berbasis pengurangan risiko bencana. Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan
tsunami harus berdasakan analisis risiko dan upaya sistematis untuk mengurangi
risiko tersebut serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi
ancaman bencana. Kebijakan pengurangan risiko bencana juga menjaga agar
kegiatan pembangunan tidak meningkatkan kerentanan masyarakat.
3. Pemenuhan hak masyarakat. Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan tsunami
merupakan pemenuhan hak masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, masyarakat memiliki hak-hak yang harus dijamin oleh
negara, baik hak atas perlindungan, peningkatkan kemampuan, hak informasi,
hak berperan serta, hak pengawasan dan hak mendapatkan bantuan apabila
terkena bencana.
4. Masyarakat menjadi pelaku utama. Dalam proses mewujudkan kesiapsiagaan
gempa bumi dan tsunami, masyarakat harus menjadi pelaku utama, meskipun
dukungan teknis dari pihak luar juga sangat dibutuhkan. keberhasilan pihak luar
dalam menfasilitasi masyarakat untuk mewujudkan kesiapsiagaan adalah
keberhasilan masyarakat juga dan diharapkan masyarakat akan memiliki seluruh
proses peningkatan kesiapsiagaan itu sendiri.
5. Dilakukan secara partisipatoris. Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan tsunami
mendorong pengakuan atas hak dan ruang bagi setiap warga untuk
menyampaikan suaranya dalam proses peningkatan kesiapsiagaan. Warga
masyarakat juga akan diberi kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi
pembuatan kebijakan dan strategi kesiapsiagaan. Upaya peningkatan
kesiapsiagaan memberikan kesempatan dan menghormati prakarsa-prakarsa yang
datang dari warga.
6. Mobilisasi sumberdaya lokal. Prakarsa pengurangan risiko bencana juga
merupakan upaya pengerahan segenap aset, baik modal material maupun modal
sosial, termasuk kearifan lokal masyarakat sebagai modal utama. Mobilisasi
sumberdaya mengandung prinsip pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan
sekaligus meningkatkan daya dukung lingkungan terhadap berbagai risiko
bencana dengan mengacu pada kebutuhan masyarakat dan hak-haknya.
Masyarakat dapat membangun kerjasama yang saling menguntungkan dengan
lembaga swadaya masyarakat, lembaga usaha maupun lembaga-lembaga lainnya
dari luar komunitas untuk bersama-sama mengurangi risiko bencana.
7. Inklusif. Upaya peningkatan kesiapsiagaan menggunakan prinsip pelibatan
semua pihak, dengan mengakomodasi sumber-sumber daya dari berbagai
kelompok di dalam maupun di luar komunitas sebagai bagian dari jaringan sosial
komunitas yang berdasarkan solidaritas dan kerelawanan.
8. Berlandaskan Kemanusiaan. Peningkatan kesiapsiagaan merupakan bagian dari
upaya untuk mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berusaha
memenuhi semua hak dasar dengan tetap meyakini bahwa perbedaan dan
keragaman adalah suatu kekuatan. Upaya kesiapsiagaan akan mendukung
peningkatan kemampuan masyarakat dengan mengembangkan sumber daya yang
dimiliki masyarakat sendiri
Menurut Abarquez dan Murshed (2004), terdapat 7 (tujuh) tahapan secara berurutan
yang dapat dijalankan sebelum terjadinya bencana, atau setelah bencana terjadi untuk
mengurangi risiko di masa mendatang. Setiap tahapan dalam proses CBDRM tumbuh
dari tahap sebelumnya dan mengarah ke tindakan selanjutnya. Melalui tahapan
tersebut dapat membangun sebuah perencanaan dan sistem penerapan yang dapat
menjadi alat (tools) dalam manajemen risiko bencana. Tahapan CBDRM adalah
sebagai berikut:
1. Tepat waktu
2. Akurat
1. Mengikuti arahan yang dikeluarkan oleh lembaga terkait peringatan dini bencana
7. Sintesis
1. Kesiapsiagaan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerentanan sehingga
dapat memperkecil dampak dari suatu bencana
2. Dibutuhkannya kerjasama tim tanggap darurat bencana dan rumah sakit untuk
evakuasi berdasarkan penggolongan orang yang terdampak COVID-19
3. Situasi pandemi membutuhkan sistem yang berbeda untuk kesiapsiagaan tsunami
dan gempa dan itu harus direncanakan secara matang
Pertemuan 1
Pertemuan 2