Anda di halaman 1dari 19

Exsecutive Summary B-06

Leader : Dendri Yaneski


Scriber: Muthia Ara Agusti Ayu
Anggota :
 Dendri Yaneski
 Muhammad Ichsan
 Nurul Nazira
 Mega Defina Putri
 Muthia Ara Agusti Ayu
 Fanny Salsabila Putri
 Sarah Nurul Husna
 Wandwiulan
 Firda Savira
 Dian Islami

1. Identifikasi Istilah
a. Magnitudo
Sebuah besaran yang menyatakan besarnya energi seismik yang dipancarkan oleh
sumber gempa. Skala yang umumnya digunakan adalah Skala Richter (SR).
Tingkat kerusakan menurut SR
1-3 SR = tidak dirasakan manusia
3-3,9 SR = dirasakan oleh masyarakat di sekitar pusat gempa. Lampu gantung
goyang
4-4,9 SR = terasa sekali getarannya
5-5,9 SR = sangat sulit untuk berdiri tegak. Porselin & kaca pecah. Dinding
yang lemah pecah, retak, permukaan air di daratan berbentuk gelombang
6-6,9 SR = batu runtuh, bangunan bertingkat tinggi runtuh, bangunan lemah
rubuh
7-7,9 SR = tanah longsor, jembatan roboh, kerusakan total di daerah gempa
= terdapat kerusakan serius dalam radius 100km

b. Ancaman
Situasi kondisi, karakteristik non alam maupun alam yang berpotensi
menimbulkan korban ataupun kerusakan

c. BMKG
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. BMKG bertugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang meteorologi (cabang ilmu yang mempelajari tentang
prakiraan cuaca/dalam jangka pendek), klimatologi (ilmu yang mepelajari tentang
iklim/kondisi cuaca yang dirata-ratakan selama periode waktu yang panjang),
kualitas udara, dan geofisika (bagian dari ilmu bumi yang mempelajari bumi
menggunakan kaidah/prinsip fisika) sesuai perundang-undangan yang berlaku.

d. Manajemen
Suatu ilmu pengetahuan yang sistematis agar dapat memahami mengapa dan
bagaimana manusia saling bekerja sama agar dapat menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi orang lain maupun golongan tertentu dan masyarakat luas.

e. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna (Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, 2007).
Hari Kesiapsiagaan 26 april

f. Manajemen Risiko Bencana


Suatu proses sistematis dalam menggunakan keputusan administratif, organisasi,
keterampilan operasional, dan kapasitas untuk mengimplementasikan kebijakan,
strategi, dan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dampak dampak dari
bencana alam dan bencana non alam (lingkungan dan teknologi). Proses sistematis
tersebut meliputi langkah-langkah struktural dan nonstruktural untuk menghindari
(pencegahan), atau membatasi (mitigasi, kesiapsiagaan, dan respon) efek
merugikan dari bahaya (UN-ISDR, 2004).
Identifikasi Konsep : Manajemen Risiko Bencana (Tsunami dan Gempa Bumi) di Masa
Pandemi

2. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah konsep kesiapsiagaan dan mitigasi gempa dan tsunami di masa
pandemi?
2. Bagaimanakah konsep uum manajemen risiko bencana?
3. Penjelasan mengenai bencana, ancaman, kerentanan, dan kapasitas!
4. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh dokter M untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami
di tengah pandemi COVID-19?
3. Analisa Masalah
1. Bagaimanakah konsep kesiapsiagaan dan mitigasi gempa dan tsunami di
masa pandemi?
a. Rencana kesiapsiagaan tsunami dalam masa pandemi COVID-19
setidaknya meliputi:
1. Peninjauan lokasi Rumah Sakit. Melakukan evaluasi apakah rumah sakit yang
menangani pasien COVID-19 berada di daerah rendaman tsunami atau tidak.
Jika demikian, agar mempertimbangkan dipindahkan ke rumah sakit lain yang
tahan gempa dan jauh dari kemungkinan rendaman tsunami.
2. Penyiapan TES dan TEA. Kapasitas TES dan TEA yang sudah ditentukan perlu
ditinjau kembali agar masyarakat tetap bisa menerapkan jaga jarak. Bila
diperlukan, TES dan TEA diperbanyak dan dilakukan desinfeksi secara rutin
sebelum terjadi bencana. TES dan TEA yang ditambahkan harus berlokasi di
daerah aman dari ancaman tsunami dan dapat memanfaatkan tempat yang saat
ini kosong dikarenakan COVID-19, seperti sekolah, asrama mahasiswa yang
saat ini diliburkan, perkantoran dimana pegawai bekerja dari rumah, wisma
pemerintah yang kosong, hotel kosong karena tidak ada wisatawan, dan lain
sebagainya. BPBD, pemerintah daerah, bersama masyarakat harus menyiapkan
lokasi pengungsian dengan memastikan ketersediaan sarana kebersihan seperti
air bersih, peralatan cuci tangan, sabun dan/atau hand sanitizer.
3. Sarana, prasarana, dan protokol pekerja sosial. BPBD bersama pemerintah
daerah dan masyarakat perlu menyiapkan sarana, prasarana, dan protokol agar
pekerja sosial yang akan memberikan dukungan evakuasi (sebisa mungkin
relawan dari masyarakat) tetap terproteksi. Caranya dengan menyediakan
cadangan APD yang dipakai saat membantu evakuasi dan termometer sebagai
bagian dari peralatan P3K.
4. Rencana evakuasi dan protokol kesehatan. BPBD perlu menyiapkan rencana
evakuasi dan protokol kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat secara umum
diharapkan tetap memastikan menjaga jarak (physical distancing),
menggunakan masker, dan menjaga kebersihan diri dan sekitarnya pada saat
evakuasi. Untuk itu, BPBD perlu melakukan sosialisasi terkait hal ini sejak
dini, sebelum terjadi ancaman tsunami. Untuk penggunaan masker tidak perlu
menggunakan masker medis, bisa menggunakan masker kain yang dibuat
sendiri.

b. Evakuasi berdasarkan penggolongan orang terdampak COVID-19,


sebagai berikut:
1. Pasien Dalam Pengawasan (PDP):
 Mereka umumnya adalah pasien yang sedang dirawat di rumah sakit khusus
untuk COVID-19. Sebaiknya pasien COVID-19 tidak dirawat di daerah
dengan risiko bencana tinggi agar tidak perlu dilakukan mobilisasi pasien
pada saat bencana terjadi karena ini dapat mengakibatkan penyebaran
terjadi.
 Apabila rumah sakit terletak di daerah ancaman tsunami, maka BPBD dan
pemerintah daerah perlu menyiapkan protokol evakuasi khusus untuk
melakukan evakuasi pasien dan pekerja medisnya.
 Periksa kembali kode bangunan Rumah Sakit supaya memenuhi kode
bangunan tahan gempa yang terkini;
 Apabila rumah sakit memiliki beberapa lantai, tempatkan PDP di lantai atas
yang sekiranya tidak terkena sapuan gelombang tsunami;
 Memberikan tanda khusus bagi PDP, seperti gelang dengan warna khusus;
 Jika dievakuasi ke TES dan TEA tempatkan perawatan PDP di tempat /
ruang yang terpisah dari yang lain;
 Petugas medis perlu diberitahu tempat dan jalur evakuasi masing-masing
untuk PDP dan pasien non-PDP dan diberikan pelatihan merawat pasien
dalam situasi darurat;
 Perlu ditugaskan pekerja sosial dan relawan yang dilatih untuk dapat
membantu evakuasi PDP selama keadaan darurat, membekali petugas
medis dan relawan dengan APD dan peralatan P3K termasuk thermometer
yang memadai;
 Memastikan ketersedian peralatan hiegienitas dan sanitasi sehingga dapat
memberlakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tempat
perawatan di lokasi evakuasi

2. Orang Dalam Pemantauan (ODP):


 Mereka umumnya adalah orang yang diperintahkan melakukan karantina
mandiri (isolasi diri) dirumah.
 BPBD perlu berkoordinasi dengan Dinkes agar memiliki data dan
mengetahui lokasi-lokasi ODP yang tinggal di zona tergenang tsunami;
 Memberi tanda khusus bagi orang-orang dengan status ODP saat evakuasi,
seperti memberikan pita dengan warna khusus ditangan, masker dengan
tanda khusus, atau tanda lainnya;
 Perlu ditetapkan TES dan TEA untuk ODP. Memastikan ODP berada di
satu tempat evakuasi dengan menyiapkan tempat khusus bagi mereka
sehingga tempat evakuasi ODP terpisah dari masyarakat yang sehat atau
orang tanpa gejala;
 Perlu dipertimbangkan rencana jalur evakuasi dan rencana tempat
pengungsian dimana ODP dan warga masyarakat yang sehat terpisah;
 ODP perlu diberi tahu tempat dan jalur evakuasi mereka;
 Perlu ditugaskan pekerja sosial (sebisa mungkin relawan dari masyarakat)
untuk membantu evakuasi ODP selama keadaan darurat dan membekali
relawan dengan APD (Alat Pelindung Diri) dan peralatan P3K termasuk
thermometer;
 Memastikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat evakuasi.

3. Orang Tanpa Gejala (OTG):


Mereka adalah orang yang tidak memiliki gejala ataupun tanda tanda klinis
COVID-19 tetapi memiliki risiko terkena Virus Corona. Mereka dapat evakuasi di
tempat yang bersamaan dengan tetap memperhatikan jaga jarak, menggunakan
masker, dan menjaga kebersikah diri.Apabila dalam evakuasi tsunami ada diantara
OTG yang memiliki gejala demam (=38°C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk, maka agar
diisolasi terpisah di tempat evakuasi sampai ancaman tsunami selesai dan dapat
ditangani lebih lanjut oleh petugas medis.

2. Bagaimanakah konsep umum manajemen risiko bencana?


Strategi umum dalam penanggulangan bencana meliputi kegiatan tahap
prabencana yang merupakan bagian dari manajemen risiko bencana
Mengurangi Risiko Bencana (Reduce The Risk)
1. Pemantapan koordinasi pencegahan dan kesiapsiagaan
2. Pembangunan sistem pengurangan risiko dan kesiapsiagaan terpadu
3. Pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya dengan berbasis kajian risiko dan
perencanaan kontinjensi
4. Penyediaan sarana dan praserana sistem peringatan dini yang terintegrasi
5. Pembangunan infrastruktur mitigasi bencana
6. Peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan
7. Penyebarluasaan informasi kebencanaan yang andal (medsos)
8. Dukungan logistik dan peralatan yang memadai

3. Penjelasan mengenai bencana, ancaman, kerentanan, dan kapasitas!


a. Bencana = Bahaya x Kerentanan
Dimana:

Bencana ( Disasters ) adalah kerusakan yang serius akibat fenomena alam luar
biasa dan/atau disebabkan oleh ulah manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa, kerugian material dan kerusakan lingkungan yang dampaknya
melampaui kemampuan masyarakat setempat untuk mengatasinya dan
membutuhkan bantuan dari luar. Disaster terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu
Hazard dan Vulnerability;
1. Bahaya ( Hazards ) adalah fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi
merusak atau mengancam kehidupan manusia, kehilangan harta-benda,
kehilangan mata pencaharian, kerusakan lingkungan. Misal : tanah longsor,
banjir, gempa-bumi, letusan gunung api, kebakaran dll;
2. Kerentanan ( Vulnerability ) adalah keadaan atau kondisi yang dapat
mengurangi kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri untuk
menghadapi bahaya atau ancaman bencana;
 Risiko ( Kerentanan ) adalah kemungkinan dampak yang merugikan yang
diakibatkan oleh hazard dan/atau vulnerability.

b. Model Manajemen Bencana


 Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada komunitas
yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi berbagai
implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Manajemen bencana pada dasarnya
berupaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi
kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima
model manajemen bencana yaitu:
 Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model
yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih
mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini
meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness,
dan early warning.
 Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini membagi tahap
kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan
sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini
seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.
 Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada
pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction,
mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada
daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana
adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan
relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan
mitigation kurang ditekankan.
 The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya
mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan
maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
 Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen
bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun
hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko
tersebut.Bahaya/Ancaman (Hazards) : Situasi, kondisi atau karakteristik biologis,
klimatologis, geografis, geologis, social, ekonomi, politik, budaya dan teknologi
suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang berpotensi
menimbulkan korban dan kerusakan.

c. Jenis-jenis Ancaman/Hazard
1. Ancaman alamiah (Natural hazards): Proses atau fenomena alam yang bisa
menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain,
kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan
ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
2. Ancaman biologis (Biological hazard): Proses atau fenomena yang bersifat organik
atau yang dinyatakan oleh vektor-vektor biologis, termasuk keterpaparan terhadap
mikro-organisme yang bersifat patogen, toksin dan bahan-bahan bioaktif yang bisa
mengakibatkan hilangnya nyawa, cedera, sakit atau dampak-dampak kesehatan
lainnya, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial
dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan.
3. Ancaman geologis (Geological hazard): Proses atau fenomena geologis yang
bisammengakibatkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain,
kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan
ekonomi, atau kerusakan lingkungan
4. Ancaman hidro-meteorologis (Hydro-meteorological hazard): Proses atau fenomena
yang bersifat atmosferik, hidrologis atau oseanografis yang bisa menyebabkan
hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda,
hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan
lingkungan.
5. Ancaman sosial-alami (Socio-natural hazard): Fenomena meningkatnya kejadian
peristiwa-peristiwa ancaman bahaya geofisik dan hidrometeorologis tertentu seperti
tanah longsor, banjir, tanah ambles, dan kekeringan, yang diakibatkan oleh interaksi
antara ancaman bahaya-ancaman bahaya alam dengan sumber daya lahan dan
lingkungan yang dimanfaatkan secara berlebihan atau rusak.
6. Ancaman teknologi (Technological hazards): Suatu ancaman bahaya yang berasal dari
kondisi teknologi atau industri, termasuk kecelakaan, prosedur berbahaya, kegagalan
prasarana atau aktivitas khusus oleh manusia, yang bisa menyebabkan hilangnya
nyawa, cedera, sakit atau dampak-dampak kesehatan lainnya, kerusakan harta benda,
hilangnya penghidupan dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan
lingkungan.
Hazard memiliki hubungan antara kerentanan dan kapasitas. Makin tinggi kerentanan
pada suatu komunitas atau orang ataupun suatu kondisi makan ancaman yang akan
didapatkan akan semakin besar Dan berbanding terbalik dengan kapasitas, yang
merupakan usaha dari proses mitigasi baik secara sdm , dan lingkungan yang mendukung
pada proses pencegahann atau penanggulan bencana, sehingga makin besar kapasita ,
ancaman atau hazard akan semakin kecil, sehingga kerugian dan dampak negatif dari
suatu bencana dapat diminimalisir atau dihindari.

4. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh dokter M untuk meningkatkan


kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman gempa bumi dan
tsunami di tengah pandemi COVID-19?
a. Assessment --> Proses mengumpulkan & menganalisis informasi tentang alam,
kemungkinan dan tingkat keparahan risiko bencana.
Fase-fase assessment
1. Identifikasi masalah
2. Riset & Analisis data
3. Pengambilan keputusan
4. Evaluasi risiko: mengevaluasi & memilih model untuk diadopsi
5. Karakterisasi risiko: Keakuratan teknis analisis
6. Komunikasi risiko: Pertukaran yang konstan antara pemangku kepentingan dengan
niat membawa kesesuaian antara aktual, yang dirasakan & risiko yang
diperkirakan
Menurut BNPB (Buku pedoman latihan kesiapsiagaan bencana), faktor yang paling
menentukan untuk menghadapi suatu bencana :
1. Pengetahuan yang dimiliki oleh "diri sendiri" untuk menyelamatkan diri dari ancaman
risiko bencana diikuti oleh faktor bantuan anggota keluarga, teman, Bantuan Tim
SAR dan disekelilingnya
2. Selain itu, perlunya edukasi untuk meningkatkan pemahaman risiko berdesain tema"
latihan kesiapsiagaan bencana siap, untuk selamat !"yang didorong dalam proses
penyadaran ( awareness) dalam meningkatkan kemampuan diri sendiri proses
penyadaran berguna, agar:
 setiap orang dapat memahami risiko bencana mampu mengelola ancaman
 Berkontribusi dalam mendorong ketangguhan masyarakat dari ancaman
bahaya bencana ( Meliputi absorptive, adaptive, dan transformative).

b. Upaya mendasar untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran


menumbuhkan budaya siaga melalui " latihan kesiapsiagaan"
Jenis- jenis latihan kesiapsiagaan :
1. Aktivasi sirine peringatan dini
2. Latihan evakuasi mandiri di sekolah/ madrasah, di rumah sakit siaga bencana, di
gedung bertungkat, dan di pemukiman.
3. Uji terap tempat pengungsian sementara
4. Latihan kesiapsiagaan yang dilaksanakan secara khusus, melibatkan :
 Kelompok rentan ( seperti anak-anak, kaum lansia, dan tuna wisma)
 Para penyandang disabilitas
 Orang-orang yang berkebutuhan khusus

5. Strukturisasi
6. Learning Objective
1. Bagaimana parameter mengukur kesiapsiagaan bencana dari segi fasilitas
dalam mengahadapi bencana?
2. Faktor2 apa saja yang perlu kita lihat dalam merecnakan kesiapsiagaan gempa
bumi dan tsunami saat pandemi COVID-19?
3. Bagaimana hazard dan kerentanan serta mitigasi gempa bumi dan tsunami saat
pandemi covid-19?
4. Peran dokter terhadap kesiapsiagaan risiko bencana dan mitigasi?
5. Prinsip Kesiapsiagaan Bencana yang berbasis masyarakat?

6. Hasil Belajar Mandiri


1. Bagaimana parameter mengukur kesiapsiagaan bencana dari segi fasilitas dalam
menghadapi bencana?
Parameter yaitu berupa framework kesiapsiagaan masyarakat yang diperlukan sebagai
standar untuk mengetahui apa saja yang perlu disiapkan sebelum, saat, dan segera
sesudah terjadinya bencana. Parameter ini dapat digunakan sebagai tool untuk menilai
seberapa jauh tingkat kesiapsiagaan di suatu daerah.
 Framework ini dikembangkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) yang bekerja sama dengan UNESCO/ISDR (United Nations for
Education/International Strategu for Disaster Reduction dengan melakukan
kajian thd faktor-faktor kritis yang berpengaruh signifikan terhadap
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam (terutama gempa
bumi dan tsunami). Dari kajian ini disepakati 5 faktor kritis yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan:
a. Pengetahuan (P)
 Faktor utama dan kunci untuk kesiapsiagaan
 Pengalaman: tsunami di aceh dan berbagai daerah lainnya. Ketika air
laut surut ke tengah laut banyak penduduk pesisir yang berlari ke
pantai untuk mengambil ikan yang terdamoar. Mereka tidak tahu
kalau surutnya air tersebut merupaka suatu pertanda akan terjadinya
tsunami
 Akibat : sebagian besar tidak sempat menyelamatkan diri
 Kesimpulan : pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat
mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap siaga
dalam menagantisipasi bencana, (terutama yang tinggal di pesisir)
b. Kebijakan, Peraturan, dan Panduan (K)
 Upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana
 Kebijakan yang diperlukan adalah : kebijakan pendidikan publik,
rencana tanggao darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi
sumber daya (pendanaan, organisasi pengelola, SDM dan fasilitas2
yang penting untuk kondisi darurat bencana
 Kebijakan2 ini dapat direalisasikan dalam berbagai bentuk, tetapi
akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit dalam
peraturan spt: SK atau Perda yang disertai dengan job description
yang jelas, agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal
maka dibutuhkan panduan-panduan operasional
c. Rencana untuk Keadaan Darurat Bencana (RDB)
 Rencana untuk merespon keadaan darurat bencana alam
 Bagian penting dalamm kesiapsiagaan terutama yang berkaitan
dengan evakuasi, pertolongan pertama dan penyelamatan, agar korban
bencana dapat diminimalkan.
 Upaya paling krusial, terutama pada saat terjadi bencana dan hari-hari
pertama setelah kejadian bencana (sebelum datangnya bantuan dari
luar)
 Pengalaman: dari pengalaman berbagai bencana di Indonesia
diketahui bahwa bantuan dari luar tidak dapat segera datang karena
rusaknya sarana infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan)
d. Sistem Peringatan Bencana (PB)
 Meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya
bencana
 Sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat terutama
untuk mengurangi korban jiwa
 Maka dari itu diperlukan latihan dan simulasi (apa yang harus
dlakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana
harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai dengan loasi
di mana masyarakat sedang berada saat terjadi peringatan
e. Mobilisasi Sumber Daya (MSD)
 Meliputi kemampuan untuk memobilisasi sumber daya yang
tersedia (SDM, Pendanaan, dan sarana-prasaran penting)
 Kemampuan ini menjadi potensi yang dapat mendukung atau
sebaliknya menjadi kendala dalam kesiapsiagaan mengantisipasi
bencana gempa dan tsunami
Beberapa fasilitas yang diperlukan diantaranya:
1. Rencana pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk makanan dan minuman,
pakaian, tempat/tenda pengungsian, air bersih, MCK dan sanitasi lingkungan,
kesehatan dan informasi tentang bencana dan korban. Peralatan dan
perlengkapan evakuasi. Fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat
(Rumah sakit/posko kesehatan, pemadam kebakaran, PDAM, Telkom, PLN,
pelabuhan, bandara). Posko bencana dan prosedur tetap (Protap) pelaksanaan.
2. Melakukan Pengecekan Massal Ketangguhan Bencana Fasilitas Kesehatan
3. Kementerian Kesehatan minimal perlu bekerja sama dengan Perhimpunan
Rumah Sakit Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat (PUPR), serta Perusahaan Listrik Negara dalam melakukan pendataan
ulang ketangguhan bangunan dan infrastruktur penunjang fasilitas kesehatan
terutama di RS rujukan penanganan COVID-19. Pendataan tersebut sebaiknya
meliputi ketersediaan rencana kontijensi penanganan bencana rumah sakit
dalam periode pandemi COVID-19, bahaya bencana alam terdekat dari rumah
sakit tersebut baik dari segi jarak maupun waktu, daya tahan bangunan, serta
keselamatan rute akses yang tetap digunakan ketika bencana. Apabila tidak
memungkinkan untuk meminta setiap rumah sakit melaporkannya ke dalam
satu sistem daring rumah sakit tangguh bencana, maka pilihan yang kurang
ideal namun masih dapat dilaksanakan adalah mengirim tim gabungan untuk
menginspeksi kelayakan tersebut. Apabila memungkinkan juga memiliki dua
RS rujukan yang berbeda untuk korban bencana dan pasien COVID-19.
4. Mempersiapkan Tempat Penampungan Sementara Sesuai Protokol Kesehatan
5. Kementerian Kesehatan perlu bekerja sama dengan Kementerian Sosial,
Kementerian PUPR, BNPB, Palang Merah Indonesia dan Pemerintah Daerah
dalam merumuskan konsep dan protokol Tempat Penampungan Sementara
yang aman dari risiko penularan COVID-19 bagi korban bencana alam.
6. Persiapan TES (tempat evakuasi sementara) dan TEA (TE akhir). Kapasitas
TES dan TEA yang sudah ditentukan perlu ditinjau kembali agar masyarakat
tetap bisa menerapkan jaga jarak. Bila diperlukan, TES dan TEA diperbanyak
dan dilakukan desinfeksi secara rutin sebelum terjadi bencana. TES dan TEA
yang ditambahkan harus berlokasi di daerah aman dari ancaman tsunami dan
dapat memanfaatkan tempat yang saat ini kosong dikarenakan COVID-19,
seperti sekolah, asrama mahasiswa yang saat ini diliburkan, perkantoran
dimana pegawai bekerja dari rumah, wisma pemerintah yang kosong, hotel
kosong karena tidak ada wisatawan, dan lain sebagainya. BPBD, pemerintah
daerah, bersama masyarakat harus menyiapkan lokasi pengungsian dengan
memastikan ketersediaan sarana kebersihan seperti air bersih, peralatan cuci
tangan, sabun dan/atau hand sanitizer.
7. Sarana, prasarana, dan protokol pekerja sosial. BPBD bersama pemerintah
daerah dan masyarakat perlu menyiapkan sarana, prasarana, dan protokol agar
pekerja sosial yang akan memberikan dukungan evakuasi (sebisa mungkin
relawan dari masyarakat) tetap terproteksi. Caranya dengan menyediakan
cadangan APD yang dipakai saat membantu evakuasi dan termometer sebagai
bagian dari peralatan P3K.

Tanda Peringatan Tsunami

AWAS
Diperkirakan tinggi tsunami yang akan tiba melebihi 3m.
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota untuk segera mengarahkan masyarakat untuk
evakuasi secara menyeluruh.
SIAGA
Diperkirakan tinggi tsunami yang akan tiba antara 0.5 – 3m.
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota untuk segera mengarahkan masyarakat untuk
evakuasi.
WASPADA
Diperkirakan tinggi tsunami yang akan tiba kurang dari 0.5m.
Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/Kota untuk segera mengarahkan masyarakat untuk
menjauhi pantai dan tepian sungai.

2. Faktor2 apa saja yang perlu kita lihat dalam merecnakan kesiapsiagaan gempa
bumi dan tsunami saat pandemi COVID-19?
Apabila dalam kondisi darurat COVID-19 ini terjadi gempa bumi yang berpotensi
tsunami, BPBD dan pemerintah daerah perlu menerapkan langkah khusus terkait
penyiapan evakuasi masyarakat. Evakuasi tsunami harus diutamakan untuk
menyelamatkan jiwa masyarakat. Jika masyarakat merasakan goncangan yang kuat
atau gempa yang berayun lemah tapi lama, masyarakat agar segera melakukan
evakuasi mandiri menuju Tempat Evakuasi Sementara (TES) ,yaitu tempat aman yang
sudah ditetapkan sebagai lokasi evakuasi tsunami, seperti dataran tinggi,
dataran/hamparan yang jauh dari pantai, atau gedung/bangunan yang sudah disepakati
sebagai tempat evakuasi yang aman. Setelah ancaman tsunami berakhir, maka dengan
arahan dan petunjuk dari pihak berwenang, masyarakat dapat pindah menuju Tempat
Evakuasi Akhir (TEA), atau jika tidak terjadi tsunami masyarakat bisa kembali ke
rumah. Jika masyarakat harus tinggal di TEA lebih lama, pihak berwenang harus
memberikan dukungan fasilitas dan medis yang lebih baik

Rencana kesiapsiagaan tsunami dalam masa pandemi COVID-19 setidaknya meliputi:

1. Peninjauan lokasi Rumah Sakit. Melakukan evaluasi apakah rumah sakit yang
menangani pasien COVID-19 berada di daerah rendaman tsunami atau tidak. Jika
demikian, agar mempertimbangkan dipindahkan ke rumah sakit lain yang tahan
gempa dan jauh dari kemungkinan rendaman tsunami.
2. Penyiapan TES dan TEA. Kapasitas TES dan TEA yang sudah ditentukan perlu
ditinjau kembali agar masyarakat tetap bisa menerapkan jaga jarak. Bila diperlukan,
TES dan TEA diperbanyak dan dilakukan desinfeksi secara rutin sebelum terjadi
bencana. TES dan TEA yang ditambahkan harus berlokasi di daerah aman dari
ancaman tsunami dan dapat memanfaatkan tempat yang saat ini kosong dikarenakan
COVID-19, seperti sekolah, asrama mahasiswa yang saat ini diliburkan, perkantoran
dimana pegawai bekerja dari rumah, wisma pemerintah yang kosong, hotel kosong
karena tidak ada wisatawan, dan lain sebagainya. BPBD, pemerintah daerah, bersama
masyarakat harus menyiapkan lokasi pengungsian dengan memastikan ketersediaan
sarana kebersihan seperti air bersih, peralatan cuci tangan, sabun dan/atau hand
sanitizer.
3. Sarana, prasarana, dan protokol pekerja sosial. BPBD bersama pemerintah daerah dan
masyarakat perlu menyiapkan sarana, prasarana, dan protokol agar pekerja sosial yang
akan memberikan dukungan evakuasi (sebisa mungkin relawan dari masyarakat) tetap
terproteksi. Caranya dengan menyediakan cadangan APD yang dipakai saat
membantu evakuasi dan termometer sebagai bagian dari peralatan P3K.
4. Rencana evakuasi dan protokol kesehatan. BPBD perlu menyiapkan rencana evakuasi
dan protokol kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat secara umum diharapkan tetap
memastikan menjaga jarak (physical distancing), menggunakan masker, dan menjaga
kebersihan diri dan sekitarnya pada saat evakuasi. Untuk itu, BPBD perlu melakukan
sosialisasi terkait hal ini sejak dini, sebelum terjadi ancaman tsunami. Untuk
penggunaan masker tidak perlu menggunakan masker medis, bisa menggunakan
masker kain yang dibuat sendiri.
5. Evakuasi berdasarkan penggolongan orang terdampak COVID-19, sebagai berikut:
a. Pasien Dalam Pengawasan (PDP):
Mereka umumnya adalah pasien yang sedang dirawat di rumah sakit khusus
untuk COVID-19. Sebaiknya pasien COVID-19 tidak dirawat di daerah dengan
risiko bencana tinggi agar tidak perlu dilakukan mobilisasi pasien pada saat
bencana terjadi karena ini dapat mengakibatkan penyebaran terjadi. Apabila
rumah sakit terletak di daerah ancaman tsunami, maka BPBD dan pemerintah
daerah perlu menyiapkan protokol evakuasi khusus untuk melakukan evakuasi
pasien dan pekerja medisnya.
 Periksa kembali kode bangunan Rumah Sakit supaya memenuhi kode bangunan
tahan gempa yang terkini;
 Apabila rumah sakit memiliki beberapa lantai, tempatkan PDP di lantai atas
yang sekiranya tidak terkena sapuan gelombang tsunami;
 Memberikan tanda khusus bagi PDP, seperti gelang dengan warna khusus;
 Jika dievakuasi ke TES dan TEA tempatkan perawatan PDP di tempat / ruang
yang terpisah dari yang lain;
 Petugas medis perlu diberitahu tempat dan jalur evakuasi masing-masing untuk
PDP dan pasien non-PDP dan diberikan pelatihan merawat pasien dalam situasi
darurat
 Perlu ditugaskan pekerja sosial dan relawan yang dilatih untuk dapat membantu
evakuasi PDP selama keadaan darurat, membekali petugas medis dan relawan
dengan APD dan peralatan P3K termasuk thermometer yang memadai;
 Memastikan ketersedian peralatan hiegienitas dan sanitasi sehingga dapat
memberlakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tempat
perawatan di lokasi evakuasi.
b. Orang Dalam Pemantauan (ODP):
Mereka umumnya adalah orang yang diperintahkan melakukan karantina
mandiri (isolasi diri) dirumah.
 BPBD perlu berkoordinasi dengan Dinkes agar memiliki data dan mengetahui
lokasi-lokasi ODP yang tinggal di zona tergenang tsunami;
 Memberi tanda khusus bagi orang-orang dengan status ODP saat evakuasi,
seperti memberikan pita dengan warna khusus ditangan, masker dengan tanda
khusus, atau tanda lainnya;
 Perlu ditetapkan TES dan TEA untuk ODP. Memastikan ODP berada di satu
tempat evakuasi dengan menyiapkan tempat khusus bagi mereka sehingga
tempat evakuasi ODP terpisah dari masyarakat yang sehat atau orang tanpa
gejala;
 Perlu dipertimbangkan rencana jalur evakuasi dan rencana tempat pengungsian
dimana ODP dan warga masyarakat yang sehat terpisah;
 ODP perlu diberi tahu tempat dan jalur evakuasi mereka;
 Perlu ditugaskan pekerja sosial (sebisa mungkin relawan dari masyarakat) untuk
membantu evakuasi ODP selama keadaan darurat dan membekali relawan
dengan APD (Alat Pelindung Diri) dan peralatan P3K termasuk thermometer;
 Memastikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat evakuasi.
c. Orang Tanpa Gejala (OTG):
Mereka adalah orang yang tidak memiliki gejala ataupun tanda tanda klinis
COVID-19 tetapi memiliki risiko terkena Virus Corona. Mereka dapat
evakuasi di tempat yang bersamaan dengan tetap memperhatikan jaga jarak,
menggunakan masker, dan menjaga kebersikah diri. Apabila dalam evakuasi
tsunami ada diantara OTG yang memiliki gejala demam (≥380C) atau riwayat
demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk, maka agar diisolasi terpisah di tempat evakuasi sampai
ancaman tsunami selesai dan dapat ditangani lebih lanjut oleh petugas medis

3. Bagaimana hazard dan kerentanan serta mitigasi gempa bumi dan tsunami saat
pandemi covid-19?
Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami

Kerentanan : Kondisi fisik, sosial, dan mental yang menentukan risiko suatu
hazard dalam menimbulkan bencana
1. Fisik
Kondisi bangunan yang tidak memadai (rentan guncangan)
2. Sosial
Tingkat kepadatan penduduk dan kemiskinan
3. Mental
Dilihat dari korban jiwa maupun luka-luka yang mengindikasikan kesadaran
dan pengetahuan masyarakat terkait upaya mengurangi risiko terjadinya gempa
bumi
Mitigasi, berdasarkan Kochi International Association dan BMKG
1. Mengenalli lokasi bangunan tempat tinggal (apakah berada di patahan gempa
dengan melihat potensi gempa di pemetaan wilayah )
2. Membangun rumah dengan konstruksi tahan gempa (material yang bagus)
3. Merenovasi bangunan yang belum tahan guncangan gempa (perlu di lingkungan
publik seperti sekolah, Fasyankes
4. Mengurangi risiko pergeseran dan robohnya perabot saat gempa agar tidak
menghalangi jalan saat evakuasi
5. Membentuk organisasi mandiri
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat terkait gempa bumi
b. Membuat peta wilayah dan memastikan tempat paling aman untuk
evakuasi
c. Meningkatkan kesiapsiagaan (no hp/telp darurat seperti ambulan,
pemadam kebakaran)
d. Simulasi gempa bumi (melatih sikap dan tindakan

4. Peran dokter terhadap kesiapsiagaan risiko bencana dan mitigasi?


Calon dokter dilatih untuk mampu menyusun peta bahaya (hazard map) di daerah
praktiknya nanti, sehingga mampu menentukan halhal apa saja yang berpotensi
menimbulkan  bencana,  baik struktur geografis maupun kebiasaan masyarakat.
Bukan hanya membuat hazard map, mahasiswa kedokteran juga dilatih untuk
bekerjasama dengan masyarakat dalam mengurangi dampak bencana, termasuk
meningkatkan ketahanan masyarakat dalam bidang kesehatan.

5. Prinsip Kesiapsiagaan Bencana yang berbasis masyarakat?


• Prinsip Kesiapsiagaan Gempa Bumi Dan Tsunami Berbasis Masyarakat
Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan tsunami yang menempatkan warga masyarakat
yang tinggal di daerah rawan terhadap bencana gempa dan tsunami tersebut sebagai
pelaku utama, sebagai subjek yang berpartisipasi dan bukan objek, akan lebih
berkelanjutan dan berdaya guna. Oleh karena itu kesiapsiagaan gempa bumi dan
tsunami berbasis masyarakat yang dikembangkan perlu memperhatikan prinsip-
prinsip sebagai berikut :

1. Bencana adalah urusan bersama.Bencana dapat menimpa siapa saja, tidak peduli
usia, jenis kelamin, tingkat kesejahteraan, dan latar belakang sosial budaya. Oleh
karena itu bencana merupakan urusan semua orang/pihak. Siapapun turut
bertanggungjawab dan berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.
2. Berbasis pengurangan risiko bencana. Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan
tsunami harus berdasakan analisis risiko dan upaya sistematis untuk mengurangi
risiko tersebut serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi
ancaman bencana. Kebijakan pengurangan risiko bencana juga menjaga agar
kegiatan pembangunan tidak meningkatkan kerentanan masyarakat.
3. Pemenuhan hak masyarakat. Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan tsunami
merupakan pemenuhan hak masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, masyarakat memiliki hak-hak yang harus dijamin oleh
negara, baik hak atas perlindungan, peningkatkan kemampuan, hak informasi,
hak berperan serta, hak pengawasan dan hak mendapatkan bantuan apabila
terkena bencana.
4. Masyarakat menjadi pelaku utama. Dalam proses mewujudkan kesiapsiagaan
gempa bumi dan tsunami, masyarakat harus menjadi pelaku utama, meskipun
dukungan teknis dari pihak luar juga sangat dibutuhkan. keberhasilan pihak luar
dalam menfasilitasi masyarakat untuk mewujudkan kesiapsiagaan adalah
keberhasilan masyarakat juga dan diharapkan masyarakat akan memiliki seluruh
proses peningkatan kesiapsiagaan itu sendiri.
5. Dilakukan secara partisipatoris. Upaya kesiapsiagaan gempa bumi dan tsunami
mendorong pengakuan atas hak dan ruang bagi setiap warga untuk
menyampaikan suaranya dalam proses peningkatan kesiapsiagaan. Warga
masyarakat juga akan diberi kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi
pembuatan kebijakan dan strategi kesiapsiagaan. Upaya peningkatan
kesiapsiagaan memberikan kesempatan dan menghormati prakarsa-prakarsa yang
datang dari warga.
6. Mobilisasi sumberdaya lokal. Prakarsa pengurangan risiko bencana juga
merupakan upaya pengerahan segenap aset, baik modal material maupun modal
sosial, termasuk kearifan lokal masyarakat sebagai modal utama. Mobilisasi
sumberdaya mengandung prinsip pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan
sekaligus meningkatkan daya dukung lingkungan terhadap berbagai risiko
bencana dengan mengacu pada kebutuhan masyarakat dan hak-haknya.
Masyarakat dapat membangun kerjasama yang saling menguntungkan dengan
lembaga swadaya masyarakat, lembaga usaha maupun lembaga-lembaga lainnya
dari luar komunitas untuk bersama-sama mengurangi risiko bencana.
7. Inklusif. Upaya peningkatan kesiapsiagaan menggunakan prinsip pelibatan
semua pihak, dengan mengakomodasi sumber-sumber daya dari berbagai
kelompok di dalam maupun di luar komunitas sebagai bagian dari jaringan sosial
komunitas yang berdasarkan solidaritas dan kerelawanan.
8. Berlandaskan Kemanusiaan. Peningkatan kesiapsiagaan merupakan bagian dari
upaya untuk mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berusaha
memenuhi semua hak dasar dengan tetap meyakini bahwa perbedaan dan
keragaman adalah suatu kekuatan. Upaya kesiapsiagaan akan mendukung
peningkatan kemampuan masyarakat dengan mengembangkan sumber daya yang
dimiliki masyarakat sendiri

Menurut Abarquez dan Murshed (2004), terdapat 7 (tujuh) tahapan secara berurutan
yang dapat dijalankan sebelum terjadinya bencana, atau setelah bencana terjadi untuk
mengurangi risiko di masa mendatang. Setiap tahapan dalam proses CBDRM tumbuh
dari tahap sebelumnya dan mengarah ke tindakan selanjutnya. Melalui tahapan
tersebut dapat membangun sebuah perencanaan dan sistem penerapan yang dapat
menjadi alat (tools) dalam manajemen risiko bencana. Tahapan CBDRM adalah
sebagai berikut:

1. Pemilihan komunitas atau kelompok masyarakat (Selecting the


Community). Tahapan ini memilih komunitas yang paling rentan.

2. Membangun hubungan dan memahami masyarakat (Rappot Building


and Understandig the Community). Hal ini pada dasarnya membangun
hubungan dan kepercayaan dengan orang-orang lokal.

3. Penilaian risiko bencana partisipatif (Participatory Disaster Risk


Assessment). Proses diagnostik untuk mengidentifikasi risiko yang dihadapi
oleh masyarakat dan bagaimana masyarakat mengatasi risiko tersebut. Dalam
proses ini termasuk penilaian bahaya, kerentanan, dan kapasitas.
4. Perencanaan partisipatif manajemen risiko bencana (Participatory
Disaster Risk Management). Setelah melakukan tahapan penilaian,
masyarakat mengidentifikasi langkah-langkah pengurangan risiko bencana
yang akan mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas. Langkah-
langkah pengurangan risiko selanjutnya diterjemahkan ke dalam rencana
manajemen risiko bencana berbasis masyarakat.

5. Membentuk dan melatih organisasi manajemen risiko bencana berbasis


masyarakat (Building and Training a Community Disaster Risk
Management Organization). Risiko bencana yang ada lebih baik dikelola
oleh organisasi masyarakat yang memastikan bahwa risiko dapat dikurangi
melalui implementasi dari rencana yang telah dibuat. Serta melatih para
komponen yang ada dalam organisasi untuk membangun kapasitas mereka.

6. Implementasi manajemen komunitas (Community- Managed


Implementation). CBDRM harus mengarah pada pelaksanaan rencana
partisipatif dan memberikan motivasi kepada anggota lain dari masyarakat
untuk mendukung kegiatan dalam rencana.

7. Pemantauan dan evaluasi partisipatif (Participatory Monitoring and


Evaluation). Tahapan ini merupakan sebuah sistem komunikasi dimana
informasi mengalir kepada semua orang yang terlibat, baik masyarakat,
lembaga yang mendukung, donator, hingga pemerintah.

Prinsip kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat , terdiri dari kesiapsiagaan


Peringatan dini berbasis masyarakat Yang terdiri dari 4 unsur :

1. Kesiapan pengetahuan tentang risiko ( bahaya dan kerentanan)

2. Kesiapan pemantauan dan layanan peringatan

3. Kesiapan penyebarluasan dan komunikasi

4. Kesiapan dan kemampuan penanggulangan

Peringatan dini masyarakat memiliki 3 prinsip :

1. Tepat waktu

2. Akurat

3. Dapat dipertanggung jawabkan.

Dalam peringatan dini bencana, masyarakat bertanggung jawab untuk:

1. Mengikuti arahan yang dikeluarkan oleh lembaga terkait peringatan dini bencana

2. Berpastisipasi dalam kegiatan latihan peringatan dini di masyarakat

3. Memberikan informasi yang tepat terkait potensi bencana yang terjadi


4. Menjaga seluruh sumberdayaa dan peralatan yang terpasang untuk mendukung
sistem peringatan dini

5. Terlibat aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana

Prinsip Rencana Siaga Rumah Tangga Menghadapi Bencana Prinsip rencana


siaga untuk rumah tangga dalam menghadapi bencana menurut IDEP (2007)
adalah sebagai berikut :
1. Sederhana Rencana darurat rumah tangga dibuat sederhana sehingga mudah
diingat oleh seluruh anggota keluarga. Bencana adalah situasi yang sangat
mencekam sehingga mudah mencetus kebingungan. Rencana darurat yang baik
hanya berisi beberapa rincian saja yang mudah dilaksanakan.
2. Tentukan jalan melarikan diri Pastikan anda dan keluarga tahu jalan yang paling
aman untuk keluar dari rumah saat gempa bumi. Jika anda berencana
meninggalkan daerah atau desa, rencanakan beberapa jalan dengan
memperhitungkan kemungkinan beberapa jalan yang putus atau tertutup akibat
bencana.
3. Tentukan tempat bertemu Dalam keadaan keluarga terpencar, misalnya ibu di
rumah, ayah di tempat kerja, sementara anak-anak di sekolah saat gempa bumi
terjadi, tentukan tempat bertemu. Yang pertama semestinya lokasi yang aman
dan dekat rumah. Tempat ini biasanya menjadi tempat anda dan keluarga
bertemu pada keadaan darurat. Tempat kedua dapat berupa bangunan atau
taman di luar desa, digunakan pada keadaan anggota keluarga yang tidak bisa
kembali ke rumah.

7. Sintesis
1. Kesiapsiagaan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerentanan sehingga
dapat memperkecil dampak dari suatu bencana
2. Dibutuhkannya kerjasama tim tanggap darurat bencana dan rumah sakit untuk
evakuasi berdasarkan penggolongan orang yang terdampak COVID-19
3. Situasi pandemi membutuhkan sistem yang berbeda untuk kesiapsiagaan tsunami
dan gempa dan itu harus direncanakan secara matang
Pertemuan 1

Pertemuan 2

Anda mungkin juga menyukai