Anda di halaman 1dari 33

22

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Manajemen

a. Pengertian Manajemen

Menurut Hasibuan (2007: 1-2) manajemen adalah seni dan ilmu

untuk menata proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya

yang lainnya dengan efektif dan efisien demi mencapai tujuan tertentu.

Menurut Ebert (2007: 166) manajemen merupakan suatu proses

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan sumber daya

keuangan, manusia, dan informasi perusahaan untuk mencapai tujuannya.

Mutiara (2002: 13) menyatakan bahwa manajemen adalah sebuah

proses yang terdiri atas fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasi,

pemimpinan, dan pengendalian kegiatan sumber daya manusia dan sumber

daya lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efisien.

Menurut Luther Gulick mendefinisikan manajemen adalah suatu

bidang ilmu pengetahuan yang berusaha secara sistematis untuk

memahami mengapa dan bagaimana manusia melukan suatu pekerjaan

secara bersama-sama untuk mencapai tujuan dan membuat system

kerjasama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan (Handoko, 2015: 11).

Manajemen sebagai seni adalah kemampuan pengelolaan sesuatu

secara kreatif. Secara umum manajemen adalah pengelolaan suatu

pekerjaan untuk mendapatkan hasil untuk mencapai tujuan yang telah


23

ditetapkan sebelumnya dengan cara menggerakkan oranglain untuk

bekerja (Herujito, 2001:4). Menurut George R. Terry menyatakan para

praktisi menganggap bahwa keberhasilan dalam manajemen sangat

ditentukan oleh pengetahuan dan keahlian yang mencakup tiga bidang

yang bersifat (1) teknik; (2) manusiawi; dan (3) pemikiran.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen

adalah seni dan ilmu yang mengatur suatu proses perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dari memanfaatkan

sumber daya untuk mencapai sebuah tujuan tertentu.

b. Fungsi-Fungsi Manajemen

Menurut Ebert (2007: 166-167) fungsi atau proses manajemen

antara lain:

1) Perencanaan, yaitu proses manajemen yang menetapkan segala

sesuatu yang harus dilakukan oleh organisasi dan mengatur

langkah yang akan dilakukan.

2) Pengorganisasian, yaitu proses manajemen untuk menetapkan

langkah terbaik untuk mengatur sumber daya dan aktivitas

organisasi menjadi struktur yang logis.

3) Pelaksanaan, yaitu proses manajemen untuk memotivasi dan

memandu pekerja atau karyawan untuk mencapai tujuan

organisasi.

4) Pengawasan, yaitu proses manajemen yang mengawasi kinerja

organisasi untuk memastikan tujuan dapat tercapai.


24

Fungsi manajemen secara umum menurut George Terry dalam

Herujito (2001: 27) yang membentuk manajemen sebagai salah satu

proses sebagai berikut:

1) Perencanaan (Planning)

Kegiatan yang menetapkan tujuan dan sebab dari tintakan-

tindakan selanjutnya.

(a) Menjelaskan, memastikan dan memantapkan tujuan yang

dicapai.

(b) Memprediksi keadaan atau peristiwa pada waktu yang akan

datang.

(c) Memperkirakan kondisi pekerjaan yang dilakukan.

(d) Memilih tugas sesuai dengan pencapaian tujuan.

(e) Membuat rencana secara menyeluruh dengan menekankan

kreativitas agar diperoleh sesuatu yang baru dan lebih baik.

(f) Membuat kebijaksanaan, standar, prosedur dan metode-metode

untuk pelaksanaan kerja.

(g) Memikirkan kemungkinan dan peristiwa akan terjadi.

(h) Mengubah perencanaan sesuai dengan arahan dari hasil

pengawasan.

2) Pengorganisasian (Organizing)

Kegiatan untuk membagi tugas atau pekerjaan diantara anggota

kelompok dan membuat ketentuan dalam hubungan-hubungan

yang diperlukan.
25

(a) Membagi pekerjaan ke dalam tugas-tugas operasional.

(b) Mengelompokkan tugas ke dalam posisi-posisi secara

operasional.

(c) Menempatkan dan memilih pekerja untuk pekerjaan yang

sesuai.

(d) Menggabungkan jabatan operasional ke dalam unit-unit yang

saling berkaitan.

(e) Menjelaskan persyaratan dari setiap jabatan.

(f) Menyediakan berbagai fasilitas untuk pegawai.

(g) Menyesuaikan wewenang dan tanggungjawab bagi setiap

anggota.

(h) Menyelaraskan organisasi sesuai dengan petunjuk hasil

pengawasan.

Kegiatan menggerakkan anggota-anggota kelompok untuk

melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas masing-masing.

(a) Mengikuti dengan senang hati terhadap semua putusan,

tindakan atau perbuatan.

(b) Berkomunikasi secara efektif.

(c) Memotivasi anggota.

(d) Mengarahkan oranglain agar bekerja dengan baik.

(e) Memberi penghargaan kepada pekerja yang memiliki prestasi.


26

(f) Mencukupi kebutuhan pegawai sesuai dengan kegiatan

pekerjaannya.

(g) Mengupayakan perbaikan pengarahan sesuai petunjuk

pengawasan.

Kegiatan untuk menyelaraskan antara pelaksanaan dan rencana

yang telah ditentukan.

(a) Membandingkan hasil pekerjaan dengan perencanaan yang

telah ditentukan.

(b) Membuat media pelaksanaan secara akurat dan tepat.

(c) Memindahkan data secara terperinci agar dapat terlihat

perbandingannya dan penyimpangannya.

(d) Memberitahukan media pengukur pekerjaan.

(e) Menilai hasil pekerjaan dengan standar hasil kerja.

(f) Membuat saran sebagai tindakan perbaikan kepada anggota.

(g) Melaksanakan pengawasan sesuai dengan petunjuk hasil

pengawasan.

c. Tujuan Manajemen

Ahmad Sofian A. & Muttahidah (2013: 16) mendefinisikan

tujuan manajemen adalah penyelenggaraan kegiatan organisasi dimulai

dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dengan

baik sehingga organisasi berjalan dengan memuaskan maka akan tercapai

tujuan perusahaan yaitu memperoleh keuntungan yang besar dan


27

berlangsungnya organisasi dapat berjalan dengan masa waktu yang lama

dan panjang.

Sofian & Muttahidah (2013: 15-16) menyatakan bahwa tujuan

manajemen adalah melaksanakan agar suatu usaha terencana secara

sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, lengkap dan akurat sehingga

tujuan dapat dicapai secara produktif, efektif, berkualitas dan efisien.

Efektivitas yaitu menyangkut kepada tujuan atau ukuran perbandingan

antara rencana dan tujuan yang dicapai. Efisiensi berkaitan dengan cara

sesuatu dibuat dengan benar. Produktivitas adalah perbandingan terbaik

antara hasil yang diperoleh dengan jumlah sumber daya yang digunakan.

2. Manajemen Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Kegiatan penyelenggaraan pengajaran dan kependidikan

khususnya pada SMK merupakan suatu kegiatan manajemen yang

melibatkan beberapa aspek baik dari dalam maupun luar sekolah.

Kegiatan kependidikan juga dipengaruhi oleh lingkungan dalam serta

lingkungan luar sekolah salah satunya dalam pelaksanaan praktik.

Kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan lembaga pengajaran dan

pendidikan dikelola dengan mengoptimalkan keseluruhan sumber daya

yang dimiliki dan bekerjasama dengan pihak industri, sehingga akan

mendapatkan hasil didikan yang unggul dan sesuai dengan kebutuhan

dunia kerja. Sesuai konsep dari pengembangan pendidikan kejuruan,

yaitu menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan vokasional

tertentu maka kehadiran SMK justru semakin penting.


28

Dalam menjalankan pelaksanaan manajemen di SMK harus

berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Profesional, manajemen harus direncanakan dan dilaksanakan

secara sistematis secara terukur dan terprogram dengan

menggunakan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

b. Normatif, manajemen harus dilaksanakan sejalan dengan norma

yang berlaku.

c. Partisipatif, pengelolaan manajemen harus melibatkan keseluruhan

unsur yang ada di sekolah secara berbuka, aktif, dan proporsional

sehingga tidak didominasi oleh segelintir unsur saja.

d. Transparan, dalam pelaksanaan manajemen harus terbuka bagi semua

pihak yang terlibat dalam sistem, baik yang berkenan dengan program

kebijakan dan kegiatan ataupun dalam hal pengelolaan

keuangan (Depdiknas, 2005: 8).

Komponen-komponen yang terdapat dalam Total Quality

Management diantaranya: (1) dalam TQM harus ada perbaikan terus

menerus (continuous improvement); (2) adanya perubahan kultur yang

diaplikasikan tidak hanya bagaimana bisa mengubah perilaku staf, tetapi

juga memerlukan perubahan dalam metode mengarahkan institusi; (3)

adanya organisasi terbalik; (4) menjaga hubungan dengan pelanggan; (5)

kolega sebagai pelanggan; (6) pemasaran internal; (7) profesionalisme

dan fokus pelanggan (Edward Sallis, 2012: 73).


29

Menurut Alma (2008: 235) menyatakan bahwa beberapa metode untuk

meningkatkan jasa layanan yang ditawarkan oleh sebuah organisasi, yaitu

mengangkat staf yang terampil, cekatan, bertanggungjawab dan akurat,

meningkatkan kualitas jasanya, dan mengindustrialisasikan jasa dengan

menambah beberapa peralatan

3. Kemitraan

a. Pengertian Kemitraan

Berdasarkan dari kamus besar Bahasa Indonesia pengertian dari

kemitraan adalah sahabat, teman, dan kawan kerja. Apabila disimpulkan

kemitraan menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah kerjasama dengan

sahabat, teman maupun kawan kerja untuk mencapai tujuan tertentu. Dapat

disimpulkan juga, kemitraan merupakan kerjasama seseorang dengan

seseorang, seseorang dengan kelompok yang keduanya mempunyai visi dan

misi juga mempunyai tanggungjawab yang sama. Menurut Soekidjo

Notoatmojo (2003: 20), kemitraan adalah kerjasama dalam bentuk formal

yang terikat kontrak kerja berlandaskan hukum yang dijalankan bersama oleh

per orangan, komunitas atau sebuah institusi untuk mencapai tujuan tertentu.

Senada dengan Bernal (2014: 33) menyatakan bahwa kemitraan adalah

hubungan atau kerjasama antara dua pihak atau lebih, berdasar pada

kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat.

Disisi lain menurut Amy Cox-Petersen (2011: 5), kemitraan adalah

kerjasama antara dua orang atau lebih atau kelompok demi mencapai suatu

tujuan bersama sesuai dengan tujuan yang telah disepakati bersama.

Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa


30

kemitraan merupakan hubungan antara individu dengan individu, kelompok

atau institusi yang mempunyai tujuan yang sama, saling menguntungkan dan

memiliki tanggungjawab yang sama dalam berbagai hal, dapat berupa bisnis

maupun berupa kemitraan untuk memajukan institusi yang berasaskan saling

menguntungkan. Berdasarkan asas saling menguntungkan tersebut maka

diwajibkan antar pihak untuk dapat mengkondisikan satu sama lain dan

menyesuaikan segala hal yang bermanfaat dalam mencapai proses untuk

mencapai tujuan yang telah disepakati. Hal ini sangat penting dan perlu

komunikasi secara intensif yang bertujuan untuk perkembangan bersama

sebagai partner yang professional dalam mencapai tujuan.

b. Prinsip dan Konsep Kemitraan

Dalam suatu kemitraan membutuhkan suatu prinsip demi mencapai

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu prinsip kemitraan sangat

dibutuhkan sesuai tata cara yang berlaku sesuai prinsip kemitraan bersama.

Kemitraan tidak akan terjalin tanpa adanya prinsip kuat didalamnya, selain itu

ide dan konsep yang dilaksanakan oleh kedua pihak yang bermitra sebaiknya

berdasarkan strategi bersama. Rukmana (2006: 60) mengatakan bahwa prinsip


31

yang sangat penting dan tidak dapat ditawar dalam menjalin kemitraan adalah

saling percaya antar lembaga atau institusi yang bermitra.

Dasar nilai dan konsep menjadi tiga hal yang berpengaruh pada

perubahan paradigma dan perubahan tersebut menjadi sebuah prinsip

kemitraan. Soekidjo Notoatmojo, (2003: 106) mengatakan bahwa ada tiga

prinsip kunci dari kemitraan, yaitu persamaan, keterbukaan dan saling

menguntungkan.

1) Persamaan (equity)

Individu, institusi atau organisasi yang bersedia bermitra

harus merasa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”.

Besarnya suatu institusi adalah apabila sudah bersedia untuk

menjalin kemitraan harus merasa sama.

2) Keterbukaan (transparancy)

Prinsip keterbukaan adalah segala hal yang menjadi

kekurangan atau kelemahan dan kekuatan atau kelebihan masing-

masing pihak harus diketahui pihak lainnya. Hal ini dilakukan bukan

untuk menyombongkan satu sama lain, atau merendahkan yang satu

dengan yang lainnya, tetapi untuk lebih saling memahami masing-

masing pihak sehingga tidak ada rasa saling curiga.

3) Saling menguntungkan (benefit)

Prinsip saling menguntungkan dalam sebuah kemitraan

tidak semata-mata soal materi tetapi juga non materi. Saling


32

menguntungkan hal dalam hal ini adalah dilihat dari sinergitas

dalam mencapai tujuan bersama.

Kemitraan dilihat dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata

partnership, dan berasal dari akar kata partner. Partner dapat diterjemahkan

“pasangan, jodoh, sekutu, atau kampanyon”. Makna partnership yang

diterjemahkan menjadi persekutuan atau perkongsian. Ambar Teguh, (2014 :

129) mengatakan bahwa konsep kemitraan dapat dimaknai sebagai bentuk

persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan

kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka

meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau

tujuan tertentu, sehingga dapat memperoleh hasil yang baik.

Dalam kerjasama yang bersifat kolaboratif antara swasta dengan

pemerintah (lembaga publik), dalam kesepakatan kerjasama tersebut didasari

oleh kesamaan visi dan tujuan untuk diwujudkan secara bersama-sama.

Kerjasama kolaboratif menuntut adanya penyelarasan visi dan tujuan, strategi,

dan aktivitas untuk mencapai tujuan. Walaupun dalam kolaborasi terdapat

penyamaan visi, tujuan, strategi dan aktivitas antara kedua belah pihak,

masing-masing pihak tetap memiliki otoritas untuk mengambil keputusan

secara independen. Masing-masing pihak tetap memiliki kewenangan dalam

mengelola organisasinya walaupun tetap tunduk pada kesepakatan antara

kedua belah pihak.

Sementara itu kemitraan antara swasta dengan pemerintah, Bovaird

(dalam Dwiyanto, 2012: 252) menyatakan bahwa kemitraan merupakan

pengaturan pekerjaan berdasarkan komitmen timbal balik yang melebihi dan


33

diatas yang diatur dalam kontrak antara satu sektor berada dalam sektor publik

dengan organisasi diluar sektor publik. Kemitraan yang terjalin antara swasta

dan pemerintah yang intensif dan interaktif dan masing-masing pihak

memiliki independensi tetapi juga memiliki komitmen untuk mewujudkan

tujuan bersama. Dalam kerjasama kolaboratif masing-masing pihak

berlandaskan oleh adanya suatu kepentingan bersama untuk mendapatkan

solusi terhadap masalah yang dihadapi kedua pihak. Kemauan bekerjasama

dilatar belakangi adanya keingingan untuk mencari solusi terhadap masalah

yang dihadapi bersama oleh suatu organisasi.

Ciri-ciri kerjasama antara lembaga Non Pemerintah dengan organisasi

publik yaitu kerjasama yang bersifat sukarela, pihak satu dengan yang lainnya

memiliki kedudukan yang setara, masing-masing memiliki otonomi dan

kekuasaan untuk mengambil keputusan secara independen walaupun kedua

belah pihak sepakat untuk tunduk pada perjanjian bersama dan pihak yang

bekerjasama memiliki tujuan yang bersifat transformasional atau memiliki

keinginan untuk meningkatkan kapasitas sistemik degnan menggabungkan

sumberdaya yang dikuasai (Dwiyanto, 2012: 253).

Pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan yang bersifat kolaboratif pada

umumnya menggunakan sumber daya yang dikuasainya dan kapasitas yang

dimilikinya sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk mencapai

visi dan tujuan bersama. Institusi pemerintah menggunakan pegawai, anggaran,

dan kapasitas mereka untuk melaksanakan kegiatan yang menjadi

tanggungjawabnya. Sementara institusi lembagai menggunakan modal atau akses


34

terhadap keahlian, donasi, sumberdaya manusia dan teknologinya untuk

melaksanakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Kemitraan ini melibatkan

penggabungan sumberdaya, berbagi resiko, liabilities, dan manfaat dari

kemitraan yang dilaksanakan. Perbedaan antara kerjasama kemitraan dan

kerjasama non-kemitraan sebagaimana ditunjukkan dalam table berikut:

Tabel 1. Perbedaan antara Kerjasama Kemitraan dan Kerjasama


Non-Kemitraan

Ciri-ciri Tipe kerjasama Pemerintah dan Swasta


Kemitraan Non-Kemitraan
Sifat kerjasama Kolaboratif Swastanisasi,
Outsourcing
Intensitas Tinggi Rendah
Jangka waktu Panjang Pendek
Kedudukan para pihak Setara dan otonom Tidak setara,
terikat dengan
kontrak
Manfaat dan resiko Saling berbagi Manfaat dihitung
manfaat dan resiko sebagai
kompensasi atas
prestasi, resiko
ditanggung
masing-masing
pihak
Sumberdaya untuk Penggabungan Tidak ada
pelaksanaan kegiatan sumberdaya Penggabungan
sumberdaya
Sumber: Dwiyanto (2012: 256)

c. Pola dan Model Kemitraan

Kemitraan yang terjadi dilapangan tidak selalu ideal seperti teori,

sebab dalam pelaksanaannya kemitraan yang dilakukan berdasar pada

kepentingan pihak yang bermitra. Rukmana (2006: 79) mengatakan bahwa

kemitraan yang dilakukan antara pihak terkait dapat mengarah pada tiga

pola, diantaranya:
35

1) Pola kemitraan kontraproduktif;

Pola kontraproduktif ini akan terjadi jika pihak yang

bermitra masih berpijak pada pola konvensional, yaitu

mengutamakan kepentingan shareholders dengan mengejar profit

sebesar-besarnya. Fokus perhatian pihak tersebut memang lebih

bertumpu pada cara ia bisa mendapatkan keuntungan maksimal,

sementara hubungan kemitraan yang terjadi hanya sekedar pemanis

belaka. Masing-masing pihak berjalan dengan targetnya msing-

masing tanpa ada tujuan bersama yang ingin dicapai.

2) Pola kemitraan semiproduktif;

Pola kemitraan ini mengacu pada fokus kepentingan jangka

pendek dan belum atau tidak menimbulkan sense of belonging di satu

pihak dan low benefit di pihak lain. Kemitraan lebih mengedepankan

aspek kariatif atau public relation, dimana lembaga pendidikan masih

dianggap objek. Dengan makna lain kemitraan masih belum strategis

dan masih mengedepankan kepentingan perusahaan atau industri

bukan kepentingan bersama antara lembaga pendidikan dengan

perusahaan.

3) Pola kemitraan produktif;

Prinsip simbiosis mutualisme sangat terlihat dalam pola ini.

Pola kemitraan ini menempatkan mitra sebagai subjek dan dalam

paradigm comont interest. Dunia industri atau perusahaan


36

mendapatkan manfaat dari adanya kemitraan yang dibangun,

demikian juga dengan lembaga pendidikan yang bermitra. Dari

kemitraan ini kedua belah pihak memperoleh manfaat dan

memiliki tujuan bersama yang ingin diwujudkan.

Ambar Teguh Sulistiyani, (2004: 81) menjelaskan beberapa

model kemitraan seperti berikut:

1) Kemitraan Semu (pseudo partnership), adalah suatu

persekutuan yang terjadi antara dua pihak atau lebih namun

tidak sebenarnya melakukan kerjasama secara seimbang satu

dengan pihak lainnya.

2) Kemitraan mutualistik (Mutualism partnership), adalah

persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari

aspek pentingnya melakukan kerjasama, yaitu saling

mendapatkan dan memberikan manfaat yang lebih, sehingga

dapat mencapai tuuan secara lebih optimal.

3) Kemitraan melalui peleburan dan pengembangan (conjugation

partnership), adalah kemampuan dua pihak atau lebih dapat

melakukan konjugasi dalam rangka meningkatkan kemampuan

masing-masing.

Selain model-model diatas, Soekidjo Notoatmojo, (2003: 111)

menjelaskan bahwa terdapat model kemitraan yang dapat dilaksanakan,

model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaringan atau

networking atau sering disebut building linkages.


37

Kemitraan ini hanya dalam bentuk jaringan kerja (networking) saja.

Masing-masing institusi atau mitra telah mempunyai program sendiri

mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi. Adanya

persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik yang lain

diantara mereka, kemudian dibentuklah jaringan kerja.

Menurut Mawhinney (1993: 2-3) model-model kemitraan dibagi

menjadi 5 (lima) yaitu: 1) Donation, 2) Sponsorship, 3) Cooperation, 4)

Coordination, dan 5) Collaboration. Model-model tersebut dijelaskan

sebagai berikut:

1) Donation; Donasi berupa sumbangan finansial atau non-

finansial untuk mendukung suatu layanan atau program.

Harapan pendonor (donors expectations) disesuaikan dengan

keringanan pajak (tax credits) bagi pendonor atau pengakuan

masyarakat (donors expectations). Sebagai contoh sebuah

lembaga mendonasikan seperangkat peralatan atau dana untuk

mendukung suatu program yang digalakkan pemerintah.

2) Sponsorship; menyediakan dukungan finansial bagi suatu

program dalam periode atau kurun waktu tertentu (specific

time period or cycle), atau menyediakan sumbangan

sumberdaya barang (in kind) dengan tujuan untuk mendukung

suatu program atau layanan. Sebagai contoh sebuah sekolah

lokal mungkin menyediakan ruang kantor atau peralatan, atau

mungkin perpustakaan untuk menyediakan ruang pertemuan


38

3) atau menugaskan pegawai dan peserta didiknya sebagai

pertisipan untuk mendukung program yang dilaksanakan.

4) Cooperation; Lembaga atau badan yang berjumlah dua atau

lebih berbagi informasi umum tentang otorisasi, layanan dan

tujuan mereka. Mereka bekerja bersama secara informal untuk

mencapai tujuan organisasi dari hari ke hari. Sebagai contoh

dengan saling memberi referensi atau dukungan. Hal ini adalah

suatu jenjang yang relative dangkal dari interaksi antara

lembaga atau badan, seperti pertemuan-pertemuan interen

badan atau lembaga dan jaringan informal.

5) Coordination; Suatu pendekatan multi disipliner dimana para

professional dari lembaga atau badan yang berbeda saling

berunding, membagi pengambilan keputusan, berkoordinasi

dan meningkatkan intervensi terhadap kualitas layanan mereka

dengan maksud untuk merealisasikan tujuan yang telah dibagi

dengan sebaik-baiknya. Koordinasi dikategorikan dengan

perundingan bersama dan sering relasinya diformalkan untuk

mencapai tujuan yang sesuai dan disepakati. Koordinasi

mengharuskan suatu pemahaman bersama antara kedua lembaga

tentang bentuk layanan yang akan dijalankan terutama

menyangkut akuntabilitas (accountability) dan tanggungjawab

(responsibility). Koordinasi antar lembaga hampir tidak berbeda

dengan kooperasi, tetapi keterwakilannya memiliki tingkat yang

lebih rumit dalam hal interaksi antar lembaga.


39

5) Collaboration; Hal yang berbeda dari model-model kemitraan

yang lain, kolaborasi mengharuskan dua atau lebih

lembaga/badan bekerjasama dalam semua tahapan program atau

pengembangan layanan dengan kata lain bersama-sama dalam

perencanaan, bersama-sama dalam pengimplementasian, dan

bersama-sama dalam mengevaluasi. Hal itu merupakan suatu

kerjasama inverstasi dari sumberdaya (waktu, pendanaan,

materal) oleh sebab itu bersama-sama menanggung resio,

berbagi keuntungan dan kewenangan untuk semua mitra.

Untuk mendeskripsikan integrasi yang dihasilkan dari pencampuran

berbagai disiplin penyedia (provider) dan biasanya melibatkan beberapa

organisasi untuk bekerja sama dalam suatu struktur yang disatukan atau

diseragamkan dipergunakan istilah kolaborasi. Dalam ruang lingkup internal

organisasi sekolah, kolaborasi adalah “bagaimana kepala sekolah,

personel-personel sekolah dan masyarakat bekerja bersama-sama untuk

mewujudkan tujuan sekolah” (Alexson, 2008: 14).

Sementara menurut Brisard, Menter, & Smith (2005: 14) menurut

hasil penelitian yang mereka lakukan dalam program kemitraan dalam

program kemitraan untuk pendidik guru pemula di Skotlandia membagi

kerjasama kemitraan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu collaborative type dan

complementary type.
40

1) Tipe “Collaborative”; merepresentasikan suatu pendekatan

terpadu dari segi keahlian dari universitas dan staf sekolah

dipersatukan dalam penggabungan dalam semua aspek dari

program yang ada.

2) Tipe “Compelementary”; mempresentasikan suatu model lama

yang dalam masing-masing pihak berperean terpisah dan

berbeda peran, ketika digabungkan bersama, memasukkan

suatu pengalaman yang sesuai untuk guru-peserta didik.

Adanya perbedaan cakupan, ukuran, dan area dari kerja kemitraan

sehingga tidak ada satu model kerjasama kemitraan yang sesuai untuk

diterapkan pada semua kondiri. Wales Council for Voluntary Action (2011:

2-3) membagi model kemitraan menjadi 4 (empat) model, yaitu:

1) Organisasi nyata (virtual); dalam model ini, mitra memberi

kemitraan sebuah identitas terpisah, tetapi tanpa menciptakan

sebuah identitas legal yang jelas. Kemitraan terlihat independen,

dengan memiliki logo sendiri, nama sendiri, bangunan gedung

sendiri, dan personil yang mandiri. Namun dalam level resmi,

satu mitra bekerja sendiri dan mengelola beragam semberdaya.

2) Organisasi terpisah (Separate organization); dalam model ini

mitra mendirikan sbuah organisasi yang jelas dan secara resmi

terpisah dari identitas formal dari mitra.


41

Kemitraan ini paling sesuai untuk kemitraan besar dengan

jangka panjang atau menengah, dan untuk itu dibutuhkan untuk

menggaji personil dan memangku atau menjalankan program-

program atau aktivitas yang dilakukan.

3) Menempatkan staf dari organisasi mitra (Co-locating staff from

partner organizations); sebuah model formal yang lebih kecil,

dimana gabungan personil dari organisasi mitra bekerja

bersama untuk sebuah aenda bersama dibawah sebuah

kelompok pengawas. Kadang-kadang mitra akan menghimpun

berbagai sumberdaya untuk mendukung pekerjaan mitra.

4) Gabungan pengawas tanpa menugaskan sumberdaya personel

(Steering group without dedicated staff resources); model resmi

paling sederhana. Kemitraan secara sederhana terdiri dari

gabungan pengawas tanpa mendedikasikan personil atau

anggaran.

Sedangkan Andrew Wilson (2013, 1-2) mengkategorikan model-

model kemitraan menjadi:

1) Sistem rujukan (Referral systems), ini merupakan model

kemitraan dengan menggunakan sebuah tujuan khusus.

Organisasi sepakat berproses untuk berbagi informasi dan

merujuk pada perwakilan lain. Sudah ada perjanjian tertulis

meskipun pada dasarnya hanya untuk menyepakati prosedur

dan form untuk digunakan bersama. Tujuannya adalah mitra


42

2) dapat lancar dan dapat mewakili waktu ekstra untuk kembali

mengumpulkan informasi terkait kemitraan.

3) Jaringan (Networking); merupakan model yang paling

sederhana dari kemitraan, organisasi datang bersama biasanya

secara teratur, untuk membagi pengalaman praktis mereka dan

membahas berbagai kesamaan yang dimiliki, tidak ada

komitmen dekepan kecuali dua atau lebih organisasi

memutuskan untuk melakukannya.

4) Konsorsium (Consortium), merupakan model kemitraan untuk

tujuan yang rinci. Berbagai organisasi setuju untuk bersama

menawarkan ragam sumberdaya, bertindak menekan kelompok

atau lainnya demi tujuan yang berfaedah; mungkin ada

perjanjian tertulis, misalnya suatu kontrak keuangan apabila

tawaran pendanaan diterima. Berbagai organisasi dapat

melakukan kerja secara mandiri atau bersama-sama degnan

tujuan jika bekerja sama akan lebih banyak meraih kesuksesan.

4) Multi-agency working, merupakan sebuah model kemitraan yang

membutuhkan perencanaan dengan pasti untuk menjamin

kesuksesan. Dua atau lebih organisasi akan berbagi sumberdaya

untuk melaksanakan kerja bersama. Sebuah tingkatan kepercayaan

antar individu membutuhkan binaan dalam bekerja.


43

d. Sikap dan Perilaku Kemitraan

Sikap dalam kemitraan dapat dilihat sebagai tingkah laku yang

ditampilkan setiap individu dalam menghadapi stimulus yang terjadi

ditempat seseorang melaksanakan kerjasama (Nana Rukmana, 2006: 75).

Perilaku dan sikap kemitraan yang baik menurut Allan R. Cohen dan

David L. Branford, (Nana Rukmana, 2006: 78-79) yaitu:

1) Setia kepada pihak yang bermitra dan memiliki pendapat

bahwa keseluruhan keuntungan dari unit kerja yang bermitra

harus didahulukan.

2) Menghargai perbedaan sudut padang dan budaya organisasi

masing-masing pihak, walaupun hal tersebut mungkin

mengarah kepada perbedaan. Sumber belajar dan kreativitas

dapat diambil dari perbedaan pengalaman dan keahlian mitra.

3) Memiliki sikap lapang dada atas kekurangan mitra anda, karena

tidak ada seorangpun yang sempurna, dan semua pihak yang

melakukan bisnis bersama harus saling memberikan kebebasan

kepada masing-masing mitra selama unit kerja tidak dirugikan.


44

4) Memiliki dugaan yang terbaik mengenai motif dan kemampuan

dasar mitra. Penjelasannya yaitu, jika mitra anda memiliki

kemampuan yang kurang bukan diakibatkan karena ia bodoh

atau ingin merugikan, melainkan karena mitra anda memang

belum paham dengan apa yang anda maksud.

e. Konsep Organisasi Kemitraan yang Efektif

Tony Lendrum (2003: 12-13) menyatakan bahwa efektivitas

organisasi ditentukan oleh tiga elemen penting yakni lingkungan, proses,

dan manusia. Ketiga elemen ini secara bersama-sama akan sangat

menentukan keberhasilan dan efektivitas kerjasama kemitraan yang

dilakukan oleh berbagai institusi.

Menurut Rukmana (2006: 88) lingkungan dapat memberikan

batasan kepada masing-masing lembaga yang bermitra dalam

operasionalisasi kegiatan bersama. Budaya organisasi mencakup

keyakinan dasar organisasi dan sistem dalam penilaian. Lingkungan yang

baik dan proses yang efektif akan berdampak pada tingkat keberhasilan

kemitraan dengan melibatkan orang-orang yang tepat, baik secara

individual maupun dalam tim untuk menjalankan pola kemitraan tersebut.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep

organisasi kemitraan yang efektif merupakan budaya organisasi mencakup

keyakinan dasar organisasi, sistem dalam penilaian, lingkungan, proses dan

manusia elemen yang dibutuhkan dalam sebuah kemitraan untuk mencapai


45

keberhasilan dan efektivitas kerjasama kemitraan yang dilakukan oleh

berbagai institusi.

f. Kemitraan Bidang Pendidikan

Suatu lembaga pendidikan agar dapat menjalin kemitraan yang

baik maka diperlukan pengembangan kapasitas kemitraan berupa

kemampuan dan kesanggupan untuk melakukan kerjasama antara pihak

yang bermitra. Kemitraan yang sifatnya sama-sama menguntungkan dalam

sebuah kelompok kerja dan kemitraan yang didukung dengan kesediaan

dan kesiapan untuk melayani masyarakat menjadi dasar dalam menjalin

kemitraan dalam penyelenggaraan pendidikan (Jalal & Supriadi, 2001:

193). Dengan demikian, keberhasilan dalam kemitraan di dunia

pendidikan akan terwujud manakala pihak-pihak yang bermitra saling

menghormati dan menghargai serta menjadikan masyarakat sebagai subjek

utama yang harus dilayani.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bill Boyle & Marie Brown

(2000) telah berhasil mengidentifikasi 4 (empat) kunci yang perlu

diperhatikan agar kemitraan antara sektor publik dan sektor swasta dapat

terlaksana dengan sukses yaitu:

1) Adanya perpaduan yang tepat antara kepakaran (expertise) dan

keahlian (skills) dari penyedia layanan. Sebab kemitraan hanya

akan dapat dibagun dengan fondasi yang kuat.


46

2) Kekuatan komitmen dari masing-masing pihak yang bermitra

untuk membagi tujuan dan struktur yang jelas dalam

pengambilan keputusan.

3) Kontribusi personil dari semua level. Kemitraan seharusnya

memperbolehkan staf perusahaan dan universitas untuk membuat

kontribusi yang kuat dan sederajad dalam pelaksanaan kemitraan.

4) Prosedur monitoring dan evaluasi yang jelas.

Suatu lembaga pendidikan akan melakukan kolaborasi dengan

lembaga-lembaga lain yang tepat dalam melaksanakan kemitraan. Robbins

& Judge (2009: 524) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan usaha

untuk menemukan suatu solusi yang dapat diterima oleh semua pihak

(win-win solution) yang mana tujuan dari masing-masing pihak dapat

tercapai. Dalam suatu kemitraan sangat penting adanya kolaborasi demi

keberhasilan kemitraan antar lembaga. Hal ini terutama pada saat

dibutuhkan solusi pada suatu permasalahan yang harus diselesaikan

bersama dengan cara kompromi atau konsensus dan saling melengkapi.

Kemitraan antara lembaga pendidikan dengan organisasi eksternal

dapat dilihat dan dicermati dari contoh jalinan kemitraan antara Medical

College of Wisconsin dengan organisasi komunitas untuk meningkatkan

kualitas kesehatan masyarakat. Kemitraan yang dibangun bersifat simbiosis

mutualisme dan sumber dana yang digunakan dari Medical College of

Wisconsin. Medical College of Wisconsin memperoleh manfaat dari

kemitraan tersebut yaitu dapat mempraktikan teori ke dalam tataran praktis,


47

sementara organisasi mitra mendapatkan layanan kesehatan gratis

(Medical College of Wisconsin, 2012: 1-2).

Pengembangan jalinan kemitraan tersebut kemudian disusun

langkah-langkah yang merupakan model jalinan kemitraan yang akan

disepakati oleh kedua belah pihak yaitu Medical College of Wisconsin

dengan mitranya. Model program kemitraan sebagaimana ditunjukkan

dalam gambar berikut:


48

Healtier Wisconsin Partnership Program

Understanding the Environment for Partnerships


o Respect for the past
o Importance of broad-based support
o Knowledge of the needs and barriers
o Understanding of both individual attitudes and
organizational structures
o Commitment from leadership
o Awareness of the economics of the situation
o Role of ongoing evaluation and feedback o
Need for tangible returns on investment

Commitment to Partnership Principles

o Respect, trust, genuineness


o Shared goals and missions o
Commitment by all partners
o Measurable objectives, attainable
o Open communication
o Flexibility and compromise
o Shared resources and credit

Partnership Development

o Build relationships
o Resources and assess needs
o Develop compatible goals
o Develop and implement programs
o Provide continuous feedback
o Assess outcomes
o Maintain and expand progress

Gambar 1. Model Kemitraan Medical College of


Wisconsin dengan Mitra

Sumber : Wisconsin Medical Journal, Vol. 99, No. 1, 31-


32, January/February 2000.

Berdasarkan gambar 1, pihak pemohon kemitraan kepada program

kemitraan kesehatan Wisconsin harus mempersiapkan bukti yang jelas


49

tentang pemahaman lingkungan kemitraan. Menganggapi dan menilai

perbedaan dari lingkungan dengan mitra lain, kemudian melaksanakan

kemitraan tersebut sambil mewujudkan kemitraan yang saling menerima

adalah krusial untuk penyusunan kesuksesan dalam kemitraan.

Komitmen yang telah dibuat dan disepakati pada prinsip-prinsip

kemitraan merupakan hal penting untuk kesuksesan jangka pangjang dari

kemitraan. Prinsip tersebut meliputi pengembangan tujuan umum, saling

menghormati dan memahami, membangun kepercayaan, dan

mengutamakan kekuatan dan asset-asset. Pemberian umpan balik dan

komunikasi juga merupakan hal penting dan fleksibel untuk berkembang.

Kemitraan harus memberikan keuntungan timbal balik, berbagi rasa saling

menghormati dan berbagi kekuatan sumberdaya.

Kemitraan harus menyiapkan dan mengakui kesepakatan dan

komitmen yang jelas tentang tahap-tahap dalam pengembangan kemitraan.

Mitra harus menilai kebutuhan, membangun relasi, mengembangkan

tujuan-tujuan yang sesuai, menyediakan timbal balik dan menilai outcome.

Pada tahapan ini menjadikan mitra lebih diperkenalkan lebih baik,

mengembangkan cara untuk mempertahankan kemitraan, membangun

kepercayaan dan memperluas kemajuan.

B. Penelitian yang Relevan

1. Zainal Arifin (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Implementasi

Manajemen Stratejik Berbasis Kemitraan Dalam Meningkatkan


50

Mutu SMK (Studi Pada SMK Kelompok Teknologi Bidang

Otomotif di Kota Yogyakarta)”, menyimpulkan bahwa:

(1) Kemitraan merupakan hal mendasar dan sangat penting yang

perlu dibangun oleh kedua belah pihak untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan bersama;

(2) Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas

dan efisiensi pendidikan untuk menghasilkan pendidikan yang

bermutu adalah dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki

dan melakukan power sharing dengan stake holder dalam kerangka

kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri;

(3) SMK diharuskan untuk dapat mencapai mutu pendidikan

dengan lebih akurat dan tajam;

(4) strategi untuk peningkatan partisipasi stake holder dapat

dilakukan dengan beberapa macam hal diantaranya membuat

kebijakan baru yang sesuai dengan harapan stake holder agar semua

stake holder dapat melibatkan diri dan memberikan kontribusi serta

memiliki tanggungjawab terhadap kebijakan yang sudah disusun.

2. Pramono Husodo (2015), dalam skripsinya yang berjudul

“Kemitraan Antara Jurusan Teknik Bangunan SMK Negeri 2 Depok

dengan Dunia Industri”, menyimpulkan; 1) kendala pelaksanaan

magang dan prakerin adalah kurangnya perhatian industri terhadap

siswa serta bidang pekerjaan di industri yang kurang relevan dengan

jurusan siswa; 2) kegiatan kemitraan dengan dunia industri sudah


51

berjalan di jurusan teknik bangunan SMK Negeri 2 Depok yaitu

Praktik Kerja Industri (prakerin), magang, ujian praktik kejuruan,

kunjungan industri, guru tamu, pembekalan prakerin, pelatihan

teknologi mutakhir, dan rekrutmen karyawan; 3) kegiatan yang

melibatkan industri dapat dikembangkan dengan meningkatkan

kualitas kegiatan yang sudah berjalan. Perlunya pengembangan

kemitraan dengan BUMN untuk tempat prakerin atau magang

siswa. Melalui pengembangan pada ujian praktik kejuruan adalah

dengan menambah jumlah printer. Kunjungan industri sebagai

kegiatan wajib bagi siswa. Guru tamu dapat dijadikan sebagai

kegiatan rutin setiap tahun.

Pembekalan prakerin perlu secara rutin menghadirkan

praktisi industri sebagai narasumber. Rekrutmen karyawan

dikembangkan dengan meningkatkan ketertiban.

kedua penelitian diatas menyimpulkna betapa pentingnya kemitraan

antara instansi pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan dengan

dunia usaha/industri untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu

pendidikan yang dimaksud seyogyanya kompetensi yang dimiliki

peserta didik setelah lulus dengan kompetensi yang dibutuhkan dunia

usaha dan dunia industri. Hasil kedua penelitian tersebut semakin

menguatkan pentingnya penelitian ini dilaksanakan karena

menitikberatkan juga pada kemitraan lembaga pendidikan dengan

dunia usaha dan dunia industri.


52

3. Bambang Ixtiarto (2016), dalam tesisnya yang berjudul Kemitraan

Sekolah Menengah Kejuruan dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri

(Kajian aspek pengelolaan pada SMK Muhammadiyah 2 Wuryantoro

Kabupaten Wonogiri), peneletian ini menggunakan penekatan

kualitatif dengan hasil penelitiannya yaitu SMK Muhammadiyah 2

Wuryantoro telah melaksanakan tugas-tugas dengan baik dalam

merencanakan program kemitraan sekolah denga DU/DI untuk

mempromosikan peserta didiknya pada setiap program keahlian

masing-masing. Bentuk dari kerjasama yang telah dibuat yaitu: a)

Merencanakan promosi sekolah dengan mengembangkan komunikasi

dengan DU/DI, praktik kerja industri bagi peserta didik,

menyesuaikan kurikulum, penyaluran lulusan ke DU/DI , magang

guru, b) memanfaatkan peran DU/DI sebagai guru tamu

Namun ada perbedaan antara penelitian ini dengan kedua

penelitian tersebut. Penelitian ini akan meneliti kemitraan yang

telah terjalin khusus antara SMK Negeri 2 Gedangsari dengan PT

Astra International. Penelitian ini akan fokus pada proses-proses

yang lebih teknis bagaimana kemitraan tersebut dapat terjalin

muali dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan

pengawasan dari kemitraan tersebut.


53

C. Alur Pikir

Berikut adalah alur ilustrasi dari kerangka berpikir dalam penelitian ini:

Otonomi Sekolah

Kemitraan sekolah

Manajemen Kemitraan

Perencanaan Pengorganisasian Pelaksanaan Pengawasan

Lulusan SMK N 2 Gedangsari Program


Keahlian Tata Busana menjadi wirausahawan

Gambar 2. Alur Pikir

Otonomi sekolah diberikan oleh pemerintah sebagai keleluasaan

sekolah untuk mengelola pelaksanaan pembelajaran sesuai karakteristik

sekolah tersebut dengan tetap mengacu tujuan pendidikan nasional. Salah satu

upaya sekolah yaitu SMK Negeri 2 Gedangsari program keahlian tata busana

untuk menjalin kemitraan dengan lembaga non pemerintah Yayasan

Pendidikan Astra Michael D. Ruslim. Dalam menjalankan kemitraan tersebut

meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang

bertujuan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu lulusan SMK

Negeri 2 Gedangsari program keahlian tata busana menjadi wirausahawan.


54

D. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana manajemen kemitraan SMK Negeri 2 Gedangsari dengan

Yayasan Pendidikan Astra Michael D. Ruslim?

a. Bagaimana perencanaan kemitraan SMK Negeri 2 Gedangsari

dengan Yayasan Pendidikan Astra Michael D. Ruslim?

b. Bagaimana pengorganisasian kemitraan SMK Negeri 2 Gedangsari

program keahlian tata busana dengan Yayasan Pendidikan Astra

Michael D. Ruslim?

c. Bagaimana pelaksanaan kemitraan SMK Negeri 2 Gedangsari

program keahlian tata busana dengan Yayasan Pendidikan Astra

Michael D. Ruslim?

d. Bagaimana pengawasan kemitraan SMK Negeri 2 Gedangsari

program keahlian tata busana dengan Yayasan Pendidikan Astra

Michael D. Ruslim?

Anda mungkin juga menyukai