Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD)

Di Ruang HD

OLEH :

REVI ARINTA

2018.01.014

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BANYUWANGI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan ini telah disahkan pada


Hari :
Tanggal :
Ruangan : HD

Oleh

REVI ARINTA
201801014

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

( ) ( )

Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau gagal ginjal kronis
(GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi
secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh
gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit,
sehingga terjadi uremia atau azotemia (Smeltzer, 2010).

2. Klasifikasi
Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). Melihat nilai laju filtrasi glomerulus ( LFG ) baik secara
langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin, jenis
kelamin dan umur seseorang. Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan secara langsung,
tetapi hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda
filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktik klinis adalah
kreatinin serum.
Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKD
KDIGO) proposed classification, dapat dibagi menjadi :

Stadium LFG Terminologi


(ml/min/1,73m2)
G1 Lebih dari 90 Normal atau
meningkat
G2 60-89 Ringan
G3a 45-59 Ringan-sedang
G3b 30-44 Sedang-berat
G4 15-29 Berat
G5 Kurang dari 15 Terminal

3. Etiologi
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes
melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan glomerulonephritis.
Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun penyebab-penyebab dari penyakit
ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat :
 Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti
bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati iskemik,
hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis
 Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa
- Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal
segmental glomerulosclerosiso
- Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritis
 Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik
 Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan hyperplasia
prostate
 Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi
ginjal dan menyebabkan nefropati
 Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala yang
berupa penuruhnan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel ginjal
menjadi nekrosis

4. WOC

5. Manifestasi klinis
Menurut Tanto, 2014 Manifestasi klinis GGK tidak spesifik dari biasanya
ditemukan pada tahap akhir penyakit. Pada stadium awal, GGK biasanya
asimtomatik. Tanda dan gejala GGK melibatkan berbagai system organ, diantaranya
a. Gangguan keseimbangan cairan: oedemaperifer, efusi pleura, hipertensi, asites
b. Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala hyperkalemia, asidosis
metabolic (nafas Kussmaul), hiperfosfatemia
c. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual, muntah, gastritis,
ulkus peptikum, malnutrisi
d. Kelainan kulit: kulit terlihat pucat, kering, pruritus, ekimosis
e. Gangguan metabolik endokrin: dislipidemia, gangguan metabolik glukosa,
gangguan hormon seks
f. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik
normokrom), gangguan hemostatis.

6. Pemeriksaan penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
 Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
 Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
 Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
 EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal
pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta
sisa fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1. Laju endap darah 2)
2. Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1. 3)
3. Ureum dan Kreatinin
4. Hiponatremia
5. Hiperkalemia
6. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8. Gula darah tinggi
9. Hipertrigliserida
10. Asidosis metabolik
7. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada CKD (SDKI. 2017) sebagai berikut :
1) Hipervolemia
2) Defisit nutrisi
3) Nausea
4) Gangguan integritas kulit/jaringan
7. Intervensi

no Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


keperawatan
1 Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipervolemia
selama 1 X 4 jam maka hipervolemia Observasi:
meningkat dengan kriteria hasil: 1. Periksa tanda dan
1. Asupan cairan meningkat gejala hipervolemia
2. Haluaran urin meningkat (edema, dispnea,
3. Edema menurun suara napas
4. Tekanan darah membaik tambahan)
5. Turgor kulit membaik 2. Monitor intake dan
output cairan
3. Monitor jumlah
dan warna urin
Terapeutik
4. Batasi asupan
cairan dan garam
5. Tinggikan kepala
tempat tidur
Edukasi
6. Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan cairan
Kolaborasi
7. Kolaborasai
pemberian diuretik
8. Kolaborasi
penggantian
kehilangan kalium
akibat deuretik
9. Kolaborasi
pemberian
continuous renal
replecement
therapy (CRRT),
jika perlu
2 Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nutrisi
Nutrisi selama 3x8 jam diharapkan pemenuhan Observasi
kebutuhan nutrisi pasien tercukupi 1. Identifikasi status
dengan kriteria hasil: nutrisi
1. intake nutrisi tercukupi 2. Identifikasi
2. asupan makanan dan cairan tercukupi makanan yang
disukai
3. Monitor asupan
makanan
4. Monitor berat
badan
Terapeutik
5. Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
6. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
7. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
Edukasi
8. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
9. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrisi yang
dibutuhkan, jika
perlu
11. Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan
3 Nausea Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Mual
selama 1x4 jam maka nausea membaik Observasi
dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi pengalaman
1. Nafsu makan membaik mual
2. Keluhan mual menurun 2. Monitor mual(mis.
3. Pucat membaik Frekuensi, durasi, dan
4. Takikardia membaik (60-100 tingkat keparahan)
kali/menit) Terapeutik
3. Kendalikan faktor
lingkungan penyebab
(mis. Bau tak sedap,
suara, dan rangsangan
visual yang tidak
menyenangkan)
4.Kurangi atau hilangkan
keadaan penyebab mual
(mis. Kecemasan,
ketakutan, kelelahan)
Edukasi
5. Anjurkan istirahat dan
tidur cukup
6. Anjurkan sering
membersihkan mulut,
kecuali jika
merangsang mual
7. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengatasi mual(mis.
Relaksasi, terapi musik,
akupresur)
Kolaborasi
8. Kolaborasi pemberian
antiemetik, jika perlu
4 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan integritas kulit
integritas selama 1 X 4 jam diharapkan integritas Obsevasi
kulit kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi
1. Integritas kulit yang baik bisa penyebab
dipertahankan gangguan integritas
2. Perfusi jaringan baik kulit (mis.
3. Mampu melindungi kulit dan Perubahan
mempertahankan kelembaban kulit sirkulasi,
perubahan status
nutrisi)
Terapeutik
2. Ubah posisi tiap 2
jam jika tirah
baring
3. Lakukan
pemijataan pada
area tulang, jika
perlu
4. Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering
5. Bersihkan perineal
dengan air hangat
Edukasi
6. Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis.
Lotion atau serum)
Laporan Pendahuluan Hemodialisa (HD)

1.      Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti
fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu
dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).

            Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis =


pemisahan atau filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialis yang
digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh
ketika secara akut ataupun secara progresif ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut. Tetapi ini dilakukan dengan menggunakan
sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semipermeabel
(ginjal buatan). Hemodialisis dapat dilakukan pada saar toksin atau zat
beracun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen
atau menyebabkan kematian (Mutaqin & Sari, 2011).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu
bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan
pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney
Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang
dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency,
HD persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2.      Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari hemodilisis adalah untuk memindahkan produk-produk
limbah terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin
dialisis. Pada klien gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis dapat
menurunkan risiko kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi
zat toksik dalam sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisis tidak
menyembuhkan atau mengembalikan fungsi ginjal secara permanen. Klien
GGK biasanya harus menjalani terapi dialiss sepanjang hidupnya (biasanya
tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam perkali terapi) atau
sampai mendapat ginjal baru melalui transplantasi ginjal (Mutaqin & Sari,
2011).

3.      Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan
HD kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan,
Indikasi hemodialisis segera antara lain (D87uaurgirdas et al., 2007) :
a.       Kegawatan ginjal
·         Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
·         Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
·         Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
·         Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
·         Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
·         Uremia ( BUN >150 mg/dL)
·         Ensefalopati uremikum
·         Neuropati/miopati uremikum
·         Perikarditis uremikum
·         Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L
·         Hipertermia
b.      Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
c.      Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt.
Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari
hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007) :
·         GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
·         Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
·         adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
·         Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
·         Komplikasi metabolik yang refrakter.
4.      Prinsip Hemodialisis
Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja
hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
a)        Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
b)        Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi
yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.
c)        Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena
perbedaan hidrostatik didalam darah dan dialisat.
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi
jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser dan
rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi
berbagai komplikasi yang dapat terjadi, misalnya: emboli udara, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat atau berlebihan (hipotensi, kram, muntah) perembesan
darah, kontaminasi, dan komplikasi terbentuknya pirau atau fistula
(Mutaqin & Sari, 2011)

5.      Pedoman Pengkajian Praprosedur Hemodilasis


Untuk memudahkan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pasien dengan hemodialisis yang komprehensif, berikut adalah
pedoman dalam melakukan pengkajian keperawatan praprosedur
hemodialisa.
a)        Pengkajian Anamnesis
1)      Kaji identitas klien
2)      Rasional: memudahkan kelengkapan asuhan
3)      Kaji adanya progam dokter tentang pelaksanaan hemodilasis
4)      Rasional: Sebagai peran kolaboratif untuk melaksanakan intervensi
keperawatan yang sesuai dengan progam dokter
5)      Kaji kondisi psikologis, mekanisme koping, dan adanya kecemasan
praprosedur
6)      Rasional: mekanisme koping maladktif terutama pada pasein yang
pertama kali divonis untuk cuci darah dapat memepengaruhi pelaksanaan.
Peran perawat sangat penting untuk membantu pasien dalam mencari
mekanisme koping yang positif. Prosedu kecemasan merupakan hal yang
paling sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan hemodilalisis.
Peran perawat memberikan dukungan dan penjelasan yang ringkas dan
mudah dimengerti agar bisa menurunkan kecemasan pasien.
7)      Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur hemodialisis
8)      Rasional: untuk menentukan tingkat koorperatif dan sebaga materi dasar
untuk memberikan penjelasan prosedur hemodialisis sesuai dengan tingkat
pengetahuannya.
9)      Beri penjelasan prosedur pemasangan dan lakukan penandatangan
informed consent
10)  Rasional: hemodialisis dapat menimbulkan komplikasi. Klien perlu diberi
penjelasan dan menyatakan persetujuannya melalui surat pesetujuan
tindakan.
11)  Kaji adanya riwayat dilakukan hemodialisis sebelumnya.
12)  Rasional: untuk memantau reaksi pasca hemodialisis
13)  Kaji pemakaian obat-obatan sebelumnya
Rasional: klien yang meminum obat-obatan (preparat glikosida
jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat
untuk memastikan agar kadar obat ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksis. Beberapa obat akan
dikeluarkan dari darah pada saat dialisis, oleh karena itu penyesuaian dosis
oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang terikat dengan protein
tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran metabolit obat yang
lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien
menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisinya harus dievaluasi dengan
cermat. Terapi antihipertensi yang sering merupakan bagian dari susunan
terapi dialisis meruapakan salah satu contih dimana komunikasi, pendidikan
dan evalusasi dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus
mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh,
jika obat antihipertensi diminum pada pagi hari yang sama dengan saat
menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis
dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.

b)      Pemeriksaan Fisik
1)        Timbang berat badan pasien
Rasional: sebagai pengukuran standar sebelum dilaksanakan hemodialisis. Berat
badan akan menurun pada saat prosedur selesai dilaksanakan.
2)        Periksa Tanda-tanda vital
Rasional: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis. Denyut nadi dan tekanan
darah biasanya diatas rentang normal. Kondisi ini harus diukur pada saat
selesai prosedur dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur.
3)        Kaji adanya akses vakuler
Rasional: Pengkajian akses vaskular diperlukan dalam pengkajian praprosedur
·         Subklavia dan femoralis
Rasional: akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui katerisasi subklavia untuk pemakaian sementara.
Kateter dwi lumen atau multi lumen dimasukkan ke dalam vena subklavia.
Meskipun metode akses vaskular ini memiliki risiko misalnya dapat
menyebabkan cedera vaskuler seperti hematom, pneumothoraks, infeksi,
trombosis vena subklavia, dan aliran darah yang tidak adekuar. Namun
metode tersebut biasanya dapat digunakan selama beberapa minggu.
Kateter femoralis dapat dimasukan ke dalam pembuluh darah femoralis
untuk pemakaian segera dan sementara. Kateter tersebut dikeluarkan jika
sudah tidak diperlukan karena kondisi pasein telah membaik, atau terdapat
cara akses lain. Oleh karena mayoritas pasien hemodialisis jangka panjang
yang harus dirawat dirumah sakit merupakan pasien dengan kegagalan
akses sirkulasi yang permanen, maka salah satu prioritas dalam perawatan
pasien hemodilasis adalah perlindungan terhadap akses sirkulasi tersebut.
·         Fistula arteri vena
Rasional: Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan yang
biasanya dilakukan pada lengan bawah dengan cara menghubungkan atau
menyambung pembuluh arteri dengan vena secara dihubungkan antar sisi
atau dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah. Fistula tersebutkan
memerlukan waktu 4 hingga 6 minggu untuk menjadi matang sebelum siap
digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar
fistula pulih dn segmen vena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat
menerima jarum berlumen besar dengan ukuran – 14 sampai – 16. Jarum
ditusukan ke dalam pembuluh darah agar cukup aliran darah yang akan
mengalir melalui dialiser. Segmen arteri fistula digunakan untuk aliran
darah arteri dan segmen vena digunakan untuk memasukan kembali reinfus
darah yang sudah didialisis. Untuk menampung aliran darah ini, segmen
arteri vena fistula tersebut harus lebih besar daripada pembuluh darah
normal. Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan guna meningkatkan
ukuran pembuluh darah yaitu dengan meremas remas bola karet untuk
melatih fistula yang dibuar dilengan bawah sehingga pembuluh darah yang
sudah lebar dapat menerima jarum berukuran besar yang digunakand alam
proses hemodialisis.
·         Shunt/ Tandur
Rasional:  dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum
dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong
pembuluh arteri atau vena dari sapi, materia; gore tex (heterografi) atau
tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila
pembuluh darah pasien tidak cocok untuk dijadikan fistula. Tandur
biasanya dipasang pada lengan bawah, lengan atas atau paha bagian atas.
Pasien dengan sistem vaskular yang terganggu seperti pasien diabetes,
biasanya memerlukan pemasangan tandur sebelum menjalani hemodialisis.
Oleh karena tandur tersebut merupakan pembuluh darah artifisial, risiko
infkesi akan meningkat.
c)      Pengkajian Penunjang
1)        Kaji pemeriksaan laboratorium
Rasional: pemeriksaan lab menjadi parameter untuk dilakukan
hemodialisis, meliputi Hb, Hematokrit, kadar albumin, BUN, Kreatinin dan
elektrolit.
2)        Konfirmasi pemeriksaan HbSag dan status HIV
Rasional: Preventif perawat dalam menjaga atau mempertahankan universa;
precaution dan mencegahan menular
3)         Kaji adanya peningkatan kadar SGOT/PT
Rasional: Menilai keterlibatan hati dengan melihat peningkatan enzim
serum hati

d)      Perawatan Hemodialisa
1)      Perawatan sebelum hemodialisis (Pra HD)
·         Persiapan mesin :
-          Listrik                                            - Air (sudah melalui pengolahan)
-          Saluran pembuangan                  - Dialyzer (ginjal buatan)
-          AV Blood line                           - AV Fistula/ Abocath
-          Infuse set                                   - Spuit 50cc, 5 cc
-          Insulin, Heparin Injeksi               - Xylocain (anestesi local)
-          Nacl 0,90%                                - Kain Kasa/ Gaas Steril
-          Persiapan peralatan & obat2         - Duk steril
-          Sarung tangan steril                     - Bak & mangkuk steril kecil
-          Klem, Plester                                 - Desinfektan (alkohol, betadin)
-          Gelas ukur                                  - Timbangan BB
-          Formulir Hemodialisis                 - Sirkulasi darah
    Langkah – langkah:
1.   Letakkan GB (ginjal buatan) pada holder dengan posisi merah diatas
2.  Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah
3.  Hubungkan uung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL
dihubungkan dengan alat penampung/ matkan
4. Letakkan posisi GB terbalik yaitu yang tanda merah dibawah, biru
diatas
5. Gantungkan NaCl 0,9% (2-3 Kolf)
6. Pasang inus set pada kolf NaCl
7.  Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat
khusus
8. Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, 9untuk hubungan
tekanan arteri, tekanan vena, pemberian obat-obatan)
9. Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
10. Jalankan Qb dengan kecapatan kurang lebih dari 100 ml/m
11. Udara yang ada dalam GB harus hilang sampai bebas udara degan cara
menekan nekan VBL
12. Air trap/ bubble trap disisi 2/3 – ¾ bagian
13. Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan
14. Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung
VBL, klem tetap dilepas
15. Masukan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U
16. Ganti kolf NaCl dengan baru yang telah diberi heparin 500 U dan klem
infus dibuka
17. Jalankan sirkulasi darah dan soaking (melembabkan GB) selama 10- 15
menit sebelum dihubungkan dengan sirkulasi sistemik pasien
Catatan Istilah dalam kegiatan Hemodialisa Persiapan Sirkulasi:
·         Rinsing (Membilas GB + VBL + ABL)
·         Priming (Mengisi GB + VBL + ABL)
·         Soaking (Melembabkan GB)
Cara melembabkan GB yaitu dengan menghubungkan GB dengan sirkulasi
dialisat. Bila mempergunakan dialyzer reuse/ pemakaian GB ulang:
·         Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat
·         Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat biarkan kurang lebih 15
menit pada posisi rinse.

Test formalin dengan tablet clinitest:


Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau drain ambil 100 tts ( 1/ 2 cc)
masukkan ke dalam tabung gelas, masukan 1 cairan tablet clinitest ke dalam
tabung gelas yang sudah berisi cairan. Lihat reaksi:
·        Warna biru : - / negatif
·        Warna hijau : + / positif
·        Warna kuning : + / positif
·        Warna coklat : + / positif
Selanjutnya mengisis GB sesuai dengan cara mengisi GB baru.
·         Volume priming: darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB + VBL)
Cara menghitung volume priming :
NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah Nacl yang ada didalam mat
kan (gelas tampung/ukur). Contoh:
·         Nacl yang dipakai membilas 1000 cc
·         Nacl yang ada didalam mat kan : 750 cc
Jadi volume priming : 1000 cc – 750 cc = 250 cc
·         Persiapan pasien: Persiapan mental, izin hemodialisis, persiapan fisik
(timbang BB, Posisi, Observasi Ku dan ukur TTV)

2)      Perawatan Selama Hemodialisis (Intra HD) Pasien


Sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi:
·         Dengan internal A-V shunt / Fistula cimino
·         Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan dan tangan
·         Teknik aseptic + antiseptic: Betadine + acohol
·         Anestesi local (lidocain, procain inj)
·         Punksi vena. Dengan Av fistula no G. 14 s/d G. 16 abocath, fiksasi tutup
dengan kasa steril
·         Berikan bolus heparin inj (dosisi awal)
·         Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa steril
·         Dengn eksternal A-V shunt, desifektan, klem kanula arteri dan vena
·         Bolus heparin inj (dosis awal)
·         Tanpa 1 & 2 (femora, dll), desinfektan anestesi lokal
·         Punksi outlet / vena salah satu vena yang besar biasanya dilengan
·         Bolus heparin inj (dosis awal), fiksasi dan tutup kassa steril
·         Punksi inlet (vena atau arteri femoralis), raba arteri femoralis, tekan
arteri femoralis 0,5 – 1 cm ke arah medial vena femoralis
·         Anestesi lokal (infiltrasi anestesi)
·         Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3 – 5 menit dan fiksasi,
tutup kassa steril
3)      Memulai Hemodilasis
·         Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
·         Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
·         Semua klem dibuka, kecuali klem infus set 100 ml/m, samoai sirkulasi
darah terisi semua
·         Jalankan pompa darah dengan Ob
·         Pompa darah  (blood pump stop, sambungkan ujung dari VBL dengan
punksi outlet
·         Fiksasi ABL dan VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak)
·         Cairan priming diampung digelas ukur dan jumlahnya dicatat (cairan
dikeluarkan sesuai kebutuhan)
·         Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15 menit bisa
dinaikan sampai 300 ml/ m (dilihat dari keadaan pasien)
·         Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure, arteri
pressure, hidupkan air/ blood leak detector
·         Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan). Heparin
dilarutkan dengan NaCl
·         Ukur Td, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/ lemah
lakukan megukur TD, nadi lebih sering
·         Isi formulir HD antara lain: Nama, umur, BB, TD, N, S, P, Tipe GB,
cairan priming yang masuk, makan/ minum, keluhan selama HD, Masalah
selama HD.
Cacatan:
§  Permulaan HD posisi dialyzer terbalik setelah dialyzer bebas udara posisi
kembalikan ke posisi sebenarnya
§  Pada waktu menghubungkan venous line dengan punksi outlet, udara harus
diamankan lebih dulu
§  Semua sambungkan dikencangkan
§  Tempat-tempat punksi harus sering dikontrol, untuk menghindari terjadi
perdarahan dari tempat punksi
Ø  Mesin:
Memprogam mesin hemodialisis:
·         Qb: 200 – 300 ml/ m
·         Qd : 300 – 500 ml/m
·         Temperatur : 36 – 400 c
·         TMP, UFR
·         Heparinisasi
Dosis awal : 25 – 50 U/ kg BB
Dosis selanjutnya (maintance) = 500 – 1000 U/ kg BB
Cara memberikan:
·         Kontinus
·         Intermiten (biasa diberikan tiap 1 jam sampai 1 jam terakhir sebelum HD
selesai
Heparin Umum:
Kontinius:
Dosis awal : ........ U
Dosis Selanjutnya: ........ U
Intermitten:
Dosis awal : ...... U
Dosis selanjutnya : ...... U
Heparinisasi Regional :
Dosis awal : ....... U
Dosis Selanjutnya : ..... U
Protamin : ....... U
Heparin : Protamin = 100 U : 1 mg
Heparin & Protamin dilarutkan dengan NaCl, hepain diberikan atau
dipasang pada selang sebelum dialyzer. Protamin diberikan atau dipasang
pada selang sebelum masuk ke tubuh / VBL.
Heparinisasi Minimal:
Syarat – syarat:
Dialyzer Khusus (kalau ada)
Qb tingi ( 250 – 300 ml/ m)
Dosis Heparin : 500 U (pada sirkulasi darah)
Bilas dengan NaCl yang masuk harus dhitung
Banyaknya Nacl yang masuk harus dikeluarkan dari tubuh, bisa
dimasukkan ke dalam progam ultrafiltarsi
Catatan :
   Dosis awal: diberikan pada waktu punksi (sirkulasi sistem)
   Dosis selanjutnya: diberkan dengan sirkulasi ekstra korporeal
   Tekanan (+) , tekanan (-)
   Tekanan / Pressure:
o   Aterial pressure / tekanan arteri: banyaknya darah yang keluar dari tubuh
o   Venous pressure/  tekanan vena: lancar atau tidak darah yang masuk ke
dalam.

4)      Pengamatan Observasi, Monitor Selama Hemodialisa


·         Pasien: Keadaan umum, TTV, Perdarahan, tempat punksi inlet, outlet,
keluhan / komplikasi hemodialisis
·         Mesin & Peralatan: Qb & Qd, temperature, koduktiviti, Pressure/ tekanan
arterial & venous, dialysate, UFR, Air leak & blood leak, heparinisasi,
sirkulasi ekstra corporeal, sambungan-sambungan
Catatan:
Obat menaikkan TD (Tu. Pend hipotensi berat): Efedrin 1 ampul + 10 cc
aquadest kmd disuntik 2 ml/ IV

5)      Perawatan Sesudah Hemodialisis (Post HD)


Menghadiri HD:
Persiapan alat:
Kain kassa/ gaas sterl, plester, verband gulung, alkohol/ betadine, antibiotik
powder (Nebacetin/cicatrin), bantal pasir (1 – ½ kram): pada punksi
femoral
Cara Bekerja:
·         Menit sebeum hemodialisis berakhir Qb diturunkan sekitar 100cc/m
UFR= 0
·         Ukur TD, nadi
·         Blood Pump Stop
·         Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut, bekas punksi inlet ditekan
dengan kassa steril yang diberi betadine
·         Hubungkan ujung ABL dengan indus set 50 – 100 cc, 100ml/m Nacl
masuk
·         Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan dorong dengan Nacl sambil
Qb dijalankan
·         Setelah darah masuk ke tubuh blood pump stop, ujun VBL diklem
·         Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet ditekan dengan kassa
steril yang diberi betadine
·         Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet
dan outlet dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/ band aid
lalu pasang verband
·         Ukur TTV : TD, N, S, P
·         Timbang BB (kalau memungkinkan)
·         Isi Formulir Hemodialisis
Catatan:
o   Cairan pendorong/ pembilas NaCl sesuai dengan kebutuhan kalau perlu
didorong dengan udara (harus hati-hati)
o   Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
o   Bekas punksi femoral lebih lama, setelah peredarahn berhenti, ditekan
kembali dengan bantal pasir
o   Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih lama
o   Memakai teknik aseptik dan antiseptik
Scribner:
·         Pakai sarung tangan
·         Sebelum ABL & VBL dilepas dari kanula maka kanula arteri & kanula
vena harus diklem lebih dulu
·         Kanula arteri & vena dibilas dengan Nacl yang diberi 250 U – 300 U
heparin inj
·         Kedua sisi kanula dihubungkan kembali dengan konektor
·         Lepas klem pada kedua kanula
·         Fiksasi
·         Pasang balutan dengan sedikit kanula bisa dilihat dari luar untuk
mengetahui ada bekuan atau tidak
·         Bila perdarahan pada pungsi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet &
outlet dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/band aid lalu
pasang verband
·         Ukur TTV: TD, N, S, P
·         Timbang BB
·         Isi Formulir
Catatan:
o   Cairan pendorong atau pembilas Nacl sesuai dengan kebutuhan. Kalau perlu
didorong dengan udar
o   Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
o   Bekas pungsi femoral lebih lama, setelah perdaragan berhenti, ditekan
kembali dengan bantal pasir
o   Memakai teknik aseptik dan antiseptik.

7.      Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian
dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit
ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun
tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun
masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik
terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani H  reguler. Namun sekitar 5-
15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan
Light, 2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik
hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
komplikasi Kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat
pada Tabel 2.4 di bawah ini (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
·         Penyakit jantung
·         Malnutrisi
·         Hipertensi / volume excess
·         Anemia
·         Renal osteodystrophy
·         Neurophaty
·         Disfungsi reproduksi
·         Komplikasi pada akses
·         Gangguan perdarahan
·         Infeksi
·         Amiloidosis
·         Acquired cystic kidney disease
DAFTAR PUSTAKA

Nahas, Meguid El & Adeera Levin. (2010) Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press

SDKI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. jakarta: persatuan perawatan


nasional indonesia.

Smeltzer, S. (2010) . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume
2 Edisi 8. Jakarta : EGC.

Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the Kidney. 9th
edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C., Schrier, R.W.
editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473-505.

Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed. Phildelphia.
Lipincott William & Wilkins.

Mutaqqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.

Kusuma, Hardhi & Amin, Huda Nurarif. (2012). Handbook for Health Student. Yogyakarta:
Mediaction Publishing.
LEMBAR KONSUL

HARI/TANGGAL REVISI PARAF

Anda mungkin juga menyukai