Anda di halaman 1dari 13

BOOK REPORT :

WHOLE HEARTED INTEGRATION

Harmonizing Pyschology And Christianity Through Word And Deed

Kirk E. Farnsworth

Oleh : David Ruskandi

Menjadi pertanyaan yang banyak dilontarkan oleh orang-orang Kristen didalam


menghadapi berbagai problema kehidupanya adalah, apakah mereka perlu datang kepada
seorang therapist non Kristen untuk mendapatkan nasehat bahkan solusi untuk dapat keluar dari
permasalahan kehidupanya? Apakah hal tersebut merupakan langkah yang bijaksana mengingat
nasehat yang diberikan mungkin saja bertentangan dengan prinsip kekristenan yang
dipraktekanya. Didalam bukunya ini, Kirk E. Farnswort berusaha menggumuli
permasalahan-permasalahan seperti ini dengan mempertimbangkan besarnya kontribusi ilmu
psikolologi didalam mengerti tingkah laku manusia beserta emosinya dan mencoba
mengharmoniskan keduanya dengan kekristenan melalui perkataan dan perbuatan.

Materi yang diulas didalam buku ini beserta beberapa contoh-contohnya secara seleftif
dipilih oleh Farnsworth bagaimana menerapkan suatu persatuan atau integrasi antara dua disiplin
ilmu yang banyak memberikan dampak terhadap kemajuan pemikiran manusia. Dengan
merasionalisasi berbagai fenomena seperti kerasukan setan yang terkadang dijawab berbeda
tergantung dari aspek mana kita memandang apakah psikologi atau teologi.

Beberapa penulis yang memiliki latar belakang psikolog seperti Meyer menuliskan
mengenai apa yang disebut sebagai, “mind cure”, yang sering diklasifikasi kedalam jenis pseudo
theologi yang sedang menyamar menjadi pseudo psychologi. Hal ini tentu saja memperlihatkan
bagaimana adanya korelasi atau hubungan nyata antara beberapa prinsip didalam ilmu teologi
yang terdapat juga didalam ilmu psikologi. Kontribusi baik ilmu teologi terhadap kajian
psikologi manusia maupun disiplin ilmu psikologi terhadap pemahaman teologi tampaknya tidak
dapatdipandang secara sebelah mata lagi dan seharusnya dapat dimanfaatkan dengan
mempertimbangkan pokok-pokok kebenaran diantar a keduanya yang sesungguhnya saling
memperkaya dan berjalan selaras. Hal ini dapat terlihat nyata didalam salah satu buku berjudul,
“healing love”, yang ditulis oleh seorang psikolog bernama Everett Shostrom.

Pendekatan integrasi yang diterapkan oleh penulis adalah pengaplikasian ilmu psikologi
melalui penemuan-penemuan modern didalam percobaan dan pengamatan psikologi yang coba
diterapkanya kedalam kehidupan beragama kekristenan. Bahwa keduanya sesungguhnya
dapatlah diterapkan untuk mencapai kehidupan yang ideal. Menurut thesis dari Shostrom yang
coba menyatakan adanya alasan teologis dan psikologis bagi berjalanya penurutan dan iman
secara bersama-sama. Bahwa kebiasaan manusia memiliki pola nyata pembentukan terhadap
karakter seseorang. Ini adalah penemuan yang terdokumentasi dengan baik didalam banyak
penelitian ilmu psikologi sosial terkini. Yesus mengetahui prinsip ini dan mengaplikasikanya
dalam pengajaranya seperti ketika ia berkata, “dimana hartamu berada, disanalah sesungguhnya
hatimu berada” (Matius 6:21). Shostrom mencoba menangkap maksud dari Tuhan Yesus ketika
mengatakan hal tersebut adalah bahwa kita dapat mengalihkan kemelekatan antara diri kita
dengan harta kita melalui pengalihan apa yang telah menjadi keamanan finansial kita kedalam
pekerjaan Allah.

Apa sesungguhnya nama yang cocok bagi pendekatan ini? Yaitu harmonisasi antara
psikologi dengan kekristenan. Beberapa psikolog Kristen menyarankan pendekatan translasi.
Tetapi seorang psikolog lain yang sekular bernama Sigmund Koch berpendapat bahwa ketika dua
sistem bahasa yang berbeda dipertemukan secara bersama-sama maka proses tersebut harusnya
diberi nama kumulasi atau penggabungan. Pendekatan ini menitik beratkan adanya perpaduan
yang memiliki identitasnya masing-masing yang tidak dapat berbaur satu sama lainya sehingga
saling memperkaya satu dengan lainya. Dengan kata lain, ketika pergi dari satu bahasa ke bahasa
lainya, maka kita sedang mengubah sudut pandang kita. Sedangkan sudut pandang yang berbeda
tidaklah saling tercampur tetapi berkembang dengan berlipat ganda. Koch berpendapat bahwa
psikologi dan teologi tidaklah dapat saling bergabung secara satu disiplin ilmu menyerap yang
lainya, melainkan teologi harus dipandang dari sudut pandang psikologi dan psikologi juga harus
dipandang dari sudut pandangan teologi sehingga keduanya dapat saling memberikan
kontribusinya masing-masing yang dapat memperkaya dan memperlebar sudut pandang dan
pemaknaanya masng-masing.

Beberapa psikolog Kristen menyarankan terminologi lain yaitu sistesis atau interface
untuk menunjukkan interaksi antara sudut pandang psikologi dengan teologi. Penulis buku dalam
hal ini, lebih menyukai istilah integrasi. Terminologi ini untuk menunjukkan kepada usaha
mempersatukan yang tidak dapat berbaur satu dengan lainya yaitu antara psikogi dengan teologi.
Integrasi merupakan suatu proses dimana keduanya dapat saling mempertahankan dirinya tanpa
kehilangan identitasnya masing-masing sambil mendapatkan manfaat dari sudut pandang satu
dengan yang lainya karena mengkomunikasikan kebenaran yang sama. Yaitu, “all truth is God’s
truth”.

Nature dari Integrasi

Berpikir secara kekistenan terhadap psikologi atau merefleksikan secara ilmu kejiwaan/
psikologi terhadap teologi dapat tercapai dengan berpikir secara “out of the box”. Atau memiliki
pemikiran yang diluar batasan suatu disiplin ilmu tertentu dan mengkolaborasikanya dengan
disiplin ilmu lainya untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari keduanya. Kemudian
melangkah lebih jauh lagi pada langkah selanjutnya yaitu bagaimana mempraktekanya kedalam
kehidupan keseharian seorang Kristen.

Metodelogi tentu saja hal utama didalam melakukan proses integrasi karena dapat
mendemonstrasikan bagaimana validitas pendekatan yang dilakukan seseorang saat proses
integrasi. Maka terlebih dahulu diperlukanya penguasaan pemahaman yang cukup baik didalam
keduanya yaitu ilmu teologi dan psikologi. Seorang psikolog Kristen bernama Gary Collins
menyarankan agar suatu pendekatan psikologi untuk dapat memiliki bobot yang baik seharusnya
memiliki suatu dasar fondasi theistik. Demikian juga dalam bentuk teologi yang akan diterapkan
dalam metode tersebut. Perlunya menghindari bias terhadap posisi subyektif teologi yang telah
dimiliki seseorang. Sebagai contohnya struktur teologi yang dianut seseorang akan sangat
mempengaruhi dalam mendikte proses dan hasil akhir suatu proses integrasi. Oleh sebab itu
perlu disusun suatu metodelogi teologis yang kritis dan sebaiknya telah teruji terlebih dahulu
sebelum melangkah kedalam integrasi.

Bagaimana seharusnya prosedur yang ditempuh dalam membangun metode integrasi


yang sesungguhnya menjadi tantangan yang nyata. Bagi sebagian kalangan Kristen hal ini
sesederhana seperti membuat Alktiab sebagai pusat dari kebenaran dimana ilmu psikologi akan
difungsikan dan diuji. Bagi kaum injili hal ini adalah yang menjadi perhatian utamanya. Tetapi
sesungguhnya apabila kita hendak mengamati lebih teliti lagi dari dekat maka terlihat bahwa
Alkitab adalah sebagai obyek yang dipelajari dimana psikologi sebagai langkah atau cara kita
mempelajari Alkitab. Maka menjadi pertanyaan tersendiri adalah masalah otoritas tertinggi
diantara keduanya. Karena ilmu psikologi diterapkan dalam mempelajari tingkah laku manusia
apakah harus ditempatkan dibawah otoritas teologi? Haruskah teologi menjadi suatu disiplin
ilmu penjaga yang berfungsi sebagai benteng yang akan melindungi kebenaran?

Terdapat suatu keyakinan dikalangan kekristenan akan adanya derajat kebenaran yang
dapat diintegrasikan. Seperti kita memiliki kebenaran yang disingkapkan melalui Alkitab dan
juga kebenaran yang dapat ditemukan melalui ala mini. Apakah hal ini memberikan suatu
implikasi bahwa kebenaran yang dibukakan kepada para teolog melalui Alkitab itu dapat
dikatakan lebih valid kebenaranya dari pada yang diungkapkan oleh psikologi saat mempelajari
manusia? Apakah suatu kebenaran dapat dikatakan lebih benar dari kebenaran lainya? Menjawab
pertanyaan-pertanyaan substansial ini, diperlukan suatu analisa dan pemahaman untuk dapat
membedakan antara data yang diolah dan tingkat kebenaranya dengan fakta yang teruji sebagai
suatu kebenaran. Jadi suatu data yang mentah bukan representasi yang baik bagi kebenaran
karena fakta merupakan suatu interprestasi yang benar terhadap suatu data. Hal ini bisa
diterapkan juga kedalam teologi dimana data teologi memiliki suatu derajat kebenaran tertentu
yang tidak lebih superior dari kebenaran yang dihasilkan oleh psikologi, karena data teologi itu
sendiri harus dapat diuji oleh Alkitab sebagai otoritas penguji suatu kebenaran. Sehingga jelaslah
kedudukan antara keduanya bahwa Allah sebagai sumber kebenaran tersebut menghendaki suatu
proses integrasi yang sepenuh hati antara keduanya.

Metode ini menuntut bukan hanya sebatas Tuhan telah berbicara tetapi juga bagaimana
melakukanya untuk terhindar dari perangkap integrasi setengah hati. Seperti yang telah
dilakukan oleh beberapa psikolog di Rosemead School of Psychology di Biola University
menerapkan suatu pendekatan integrasi yang dilakukan dengan cara memikirkan terlebih dahulu
prinsip kekristenan terhadap data psikologi dan juga berpikir secara psikologi akan kekristenan,
kemudian baru dilanjutkan kedalam pengumpulan data yang didapatkan yaitu
pemikiran-pemikiran abstrak beserta aplikasinya kedalam pengalaman hidup seseorang.

Maka untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkanya, Kirk E. Farnsworth memecah
pembahasanya kedalam beberapa unit yang berisi pokok-pokok pemikiranya yang
mengkolaborasi sekaligus mempersatukan suatu tatanan pembicaraan dan kehidupan beserta
dengan Tuhan sebagai tema utamanya yang mengkaitkan sekaligus mempersatukan kekristenan
dan psikologi seperti diuraikanya pasal demi pasal bukunya. Pasal 1 dan 2 berisi suatu
pembicaraan mengenai Allah didalam dua pendekatan yaitu teologi dan psikologi. Didalam
mengintegrasikan psikologi dengan teologi atau dengan kekristenan. Ini adalah metode yang
akan mengizinkan kita untuk dapat berbicara mengenai Tuhan dan menemukan
kebenaran-kebenaran yang dinyakatan Allah didalamnya melalui dua proses pewahyuan yaitu
wahyu umum dan wahyu khusus. Dan inilah kebenaran yang ingin kita hadirkan didalam
perjalan kehidupan kita sehari-hari bersama dengan sumber kebenaran. Pada bagian pertama,
Farnsworth melakukan suatu analisa yang mendetail mengenai berbagai isu psikologis dan
bagaimana itu dapat ditingkatkan untuk dapat mengizinkan Allah bekerja didalam melakukan
suatu penelitian psikologi. Dengan kata lain, dalam pasal pertama buku ini mengusulkan
bagaimana caranya agar kita dapat berbicara lebih efektif dengan Allah melalui suatu disiplin
ilmu psikologi.

Pada pasal ke-2, Farnsworth bertanya lebih lanjut mengenai bagaimana caranya
berteologi? Bagaimana mungkin suatu pengalaman keagamaan dapat dipelajari secara valid
sebagai suatu bentuk komunikasi beserta dengan Tuhan? Kembali, tujuanya adalah untuk
menberi suatu saran, bagaimana caranya berbicara lebih intim dengan Allah, dan didalam kasus
ini menggunakan disiplin ilmu teologi.

Pada pasal ke-3, merupakan inti sari dari pencarian buku ini. Pada bagian inilah,
Farnsworth berusaha menunjukkan bahwa berjalan bersama dengan Allah dan berbicara bersama
dengan Allah harus diparallelkan. Dua metode alternatif integrasi diperkenalkan. Yang pertama
menekankan pada pembicaraan bersama dengan Allah, dan yang kedua menekankan pada
berjalan bersama-sama dengan Allah. Kedua alternative ini adalah integrasi kritis dan integrasi
penyatuan, dihadirkan dan diperbandingkan secara mendetail. Mencapai suatu kesimpulan
bahwa integrasi haruslah seimbang dan mampu mewujud didalam kehidupan keseharian yang
melakukanya.

Hal ini haruslah mampu menggantikan dari sekedar perbandingan konsep-konsep


teologis dan psikologis yang masih abstrak melalui suatu proses klarifikasi dari pemikiran
kekristenan mengenai konsep-konsep teologi dan psikologi menjadi suatu komitment diri sendiri
dan pengakuan pribadi untuk menghidupkanya. Ini haruslah sanggup mengikuti Yesus dengan
segenap hati didalam perkataan dan perbuatan, mengizinkan kebenaran Ilahi untuk hidup melalui
kita agar kita dapat hidup seperti Yesus hidup.

Pada pasal yang teakhir adalah mengenai kebenaran, Alkitab, dan manusia. Meskipun hal
ini adalah bersifat mendasar, Farnsworth memiliki alasan kuat untuk menempatkanya diakhir
buku dan bukanya di awal bukunya. Buku ini mengikuti alur outline yang dipersiapkan penulis
sebagai berikut :

1. Kebenaran, Alkitab, dan manusia.


2. Teologi.
3. Psikologi.
4. Metodelogi Integrasi.

Menurut Farnsworth, bagian ke-4 inilah yang sering menyulitkan para integrator untuk
dapat menemukan metodelogi yang tepat bagi integrasi teologi dan psikologi. Minimnya
tuntunan didalam literatur-literatur yang membahas langkah-langkah melakukan psikologi yang
terbaik agar manfaat dari integrasi dapat dimaksimalkan. Demikian juga dengan halnya
langkah-langkah berteologi yang dapat meningkatnya mutu integrasi sangat sukar untuk
diperoleh. Maka buku ini menjadi salah satu langkah awal yang mencoba melakukanya menjadi
tujuan utama buku ini dapat menyediakan kebutuhan integrasi tersebut.
1. PSIKOLOGI

Para psikolog beragama kristen seperti Collins, Koteskey, dan Van Leeuwen saat ini
sedang mengusahakan apa yang disebut dengan “Psikologi Kristen”, yaitu suatu bentuk psikologi
yang dapat mengakomodir prinsip-prinsip kekristenan, melalui psikologi percobaan baru ini
suatu proses integrasi antara psikologi dengan teologi terjadi. Sehingga seorang psikolog
mendapatkan manfaat baru yang didapat dari kekayaan penggabungan kedua disiplin ilmu yang
dapat menunjangnya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan manusia. Maka diperlukan
suatu usaha agar seluruh penelitian psikologi dapat dimanfaatkan oleh kekristenan sebisa
mungkin melalui suatu usulan yang dapat membangun, menafsirkan ulang, dan mereformasi
psikologi. Suatu rekonstruksi ulang dari sudut pandang kekristenan sangat diperlukan dewasa ini
bagi disiplin ilmu psikologi.
Menjadi suatu kebutuhan baru saat ini yang memerlukan identifikasinya. Maka
diperlukan pemahaman terhadap ideologi didalam psikologi itu sendiri mengenai manusia.
Ideologi yang pertama adalah evolusionisme. Menurut teori ini bahwa manusia berkembang dari
bentuk kehidupan yang lebih sederhana dan rendah seperti binatang karena adanya kemiripan
baik secara anatomi maupun secara psikologis. Para psikologis berusaha melihat kesamaan
antara faktor emosi dan perasaan seekor kera dengan emosi dan perasaan seorang manusia. Hal
ini tentu saja tidak cocok dengan sudut pandang kekristenan.
Maka diperlukan suatu bentuk ideologi lain yang dapat diadopsi kedalam proses
integrasi. Ideologi tingkah laku dimana tingkah laku manusia diamati dan dicatat didalam suatu
penelitian ilmiah sebagai suatu bagian ilmu pengetahuan natural. Melalui ideologi tingkah laku
manusia ini maka kita dapat memperkaya teologi kita dalam memahami khotbah diatas bukit
Tuhan Yesus dengan lebih baik karna kita dapat memahami alasan dari tingkah laku yang
berkaitan dengan emosi dan perasaan manusia yang digambarkan didalam khotbah diatas bukit
oleh Tuhan Yesus. Van Leeuwen telah memberikan daftarnya mengenai psikologi sebagai sebuah
ilmu manusia.
1. Pandangan holistic dari kehidupan mental sebagai reaksi total dari berpikir, berperasaan, dan
berusaha mengatasi permasalahan yang ada.
2. Menyadari bahwa seluruh fenomena yang ada mengenai manusia adalah bersifat kontekstual.
Yaitu melekat pada ruang dan waktu tertentu saja.
3. Pemahaman terhadap suatu fenomena berdasarkan istilahnya sendiri dan kepentinganya
sendiri. Tanpa memperdulikan sebab akibatnya.
4. Toleransi terhadap keambiguitasan. Yaitu hidup dengan kesadaran bahwa esensi dari suatu
situasi atau respon manusia terhadapnya tidak dapat disalin ulang sama persis.
5. Pemberitahuan akan tujuan sebenarnya dari suatu penelitian terhadap seluruh partisipan.
6. Penggunaan suatu deskripsi, metodelogi kualitatif.
7. Mengadakan suatu dialog antara peneliti dengan yang diteliti.

Psikologi bentuk ini adalah psikologi kognitif sebaga suatu pendekatan didalam
mempelajari proses menerima, mengingat, dan berpikir manusia. Beberapa catatan penting
didalam mengintegrasikan yaitu adanya keseimbangan sudut pandang antara teologi dan
psikologi. Perlunya kesadaran bahwa ini bukanlah satu-satunya metodeologi yang dapat
diterapkan.

2. TEOLOGI

Apa itu teologi? Dan siapa yang seharusnya berteologi? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan
yang dulunya diperuntukkan bagi para teolog. Maka diperlukan suatu pemahaman baru yang
disebut Teologi Pembebasan yang populer dikalangan feminist, kaum marginal lain seperti kulit
hitam, Asia, Hispanik, dan penduduk asli Amerika. Robert McAfee Brown merekomendasikan
hal berikut :

1. Teologi haruslah menjadi suatu proses yang terbuka bagi siapa saja dan seluruh kalangan.
Tidak boleh ada sekat-sekat pembatasan.
2. Teologi haruslah suatu proses usaha bersama bukan suatu otoritas individualistik.
3. Teologi haruslah suatu proses yang dapat diperbaiki dan dikoreksi.
4. Teologi haruslah dihidupkan dan bukan hanya sekedar dipikirkan belaka.
5. Teologi haruslah dapat menjadi suatu proses yang berkesinambungan dengan interaksi
antara Kitab Suci dengan konteks kehidupan yang melakukan teologi.

Sebagai contohnya didalam teologi kaum kulit hitam, lebih banyak menekankan kepada
pengertian alkitabiah akan pengharapan. Sedangkan dalam teologi feminis banyak menekankan
kepada peran kaum perempuan seperti didalam Alkitab. Masing-masing orang memiliki
pengalaman keagamaan yang berbeda-beda. Yonathan Edwards dan Rudolf Otto telah
memberikan kepada kita sebuah kerangka yang baik untuk memahami pengalaman keagamaan.
Menurut mereka bahwa pengalaman keagamaan berdasarkan penemuan subyektif dari realita
obyektif akan Allah. Lebih jauh, perlunya keseimbangan antara aspek rasional dan non rasional
dari pertemuan tersebut.
Untuk menghindari sisi ekstrim dari pengakuan pengalaman keagamaan maka Lane
mendaftarkan beberapa kriteria yang diperlukan untuk menvalidasi pengalaman keagamaan
seseorang sebagai tanda dari pekerjaan Roh Kudus yang sesungguhnya, yaitu dengan
membaginya kedalam dua kategori, pertama adalah makna, dan kedua adalah kepantasan.
Mengenai kategori pertama, makna didapatkan kriteria sebagai berikut :

1. Bermakna, atau memiliki makna dan arti dimana pengalaman tersebut harus dapat
melengkapi dan memperkaya kehidupan spiritual seseorang dalam keseharianya.
2. Sementara, atau pengalaman tersebut harus menyatakan bahwa hidup kita ini ciptaan
Tuhan yang berharga.
3. Pertalian, atau memungkinkan untuk mengekspresikan arti nonrasional dari pengalaman
secara rasional.

Sedangkan didalam kategori yang kedua, kepantasan didapati :

1. Berharga, perlunya penyerahan total.


2. Pengubahan, kehidupan seseorang harus dapat diubahkan melalui pengalaman spiritual
tersebut.
3. Kecocokan, pengalaman tersebut harus selaras juga dengan pengalaman keagamaan
kelompok lainya.

3. METODE INTEGRASI

Farnsworth mengingatkan bahwa proses integrasi bukanlah proses yang otomatis


langsung dapat terjadi. Ini merupakan suatu pergumulan seperti kisah ketika bangsa Israel keluar
dari tanah mesir. Salah satu yang menjadi pokok permasalahan dalam integrasi adalah bagaimana
menghadirkan kebenaran Allah didalam orang-orang tebusanya. Salah satu jawaban terhadap
pertanyaan ini adalah integrasi kritikal.

Bentuk integrasi ini akan mengambil prinsip-prinsip dasar dari kekristenan dan
mengaplikasikanya kedalam psikologi untuk mengarahkan langkah hidup seseorang kepada
kerajaan Allah. Kritikal integrasi berasal dari sosiolog kristen bernama David Lyon untuk
menekankan peran dari kekristenan didalam teori sosiologi. Bagaimana prinsip-prinsip
kekristenan dapat diperlakukan didalam lingkungan bersosial dan interaksinya. Sedangkan dalam
Integrasi Penyatuan, dimana konsep-konsep psikologi dan teologi dapat diaplikasikan kedalam
kehidupan sehari-hari.

Praktek Psikologi

Area berikutnya dari psikologi adalah aktivitas praktek. Salah satu bentuk populer saat ini
dari praktek psikologi khususnya bagi kalangan kristen adalah konseling. Oleh sebab peran
pentingnya dalam pertumbuhan gereja. Yang perlu diperhatikan didalam praktek konseling
kristen adalah professionalisme. Seperti fokus pada perhatian dari seorang konselor terhadap
persiapanya dan praktek dari konseling tersebut. Ini berarti bahwa seorang konselor kristen harus
dapat memenangkan pengakuan sebagai seorang yang kompeten didalam melakukang konseling
yang professional.

Pada proses pendekatan Integrasi Kritikal, maka akan dilakukanya proses review
terhadap asumsi-asumsi dan kesimpulan, bahkan mungkin menginterprestasikan ulang sebuah
kesimpulan apabila diperlukan untuk kemudian dimasukkan kedalam kesimpulan. Sedangkan
Integrasi Penyatuan akan melengkapi kekurangan dari metode Integrasi Kritikal dengan cara
menghubungkan dunia keduanya pada akhir proses, dilanjutkan dengan mengumpulkan dan
melakukan suatu analisa terhadap data untuk dapat diaplikasikan nantinya kedalam kehidupan
sehari-hari.

Seperti yang telah disinggung bahwa Integrasi Penyatuan adala sebuah proses verifikasi,
relasi, dan aplikasi. Ini berarti bahwa kebenaran yang diklaimnya ditemukan melalui pembacaan
Alkitab atau mengalami sebuah pengalaman keagaaman. Untuk kemudian dilakukan suatu
penelitian terhadap pengalaman manusia atau melakukan telaah terhadap literatur psikologi yang
ada. Hal tersebut harus dapat diverifikasi keakuratanya dan memiliki satu kesinambungan antara
satu dengan lainya sebelum dapat diterapkan kedalam praktek kehidupan seseorang. Verifikasi
adalah permulaan dari metode.

Adanya fakta psikologis dan teologis yang ingin kita integrasikan ditentukan oleh
metodelogi yang menghasilkanya. Kita harus sanggup mengenali teologi yang baik dan psikologi
yang baik. Jika tidak maka proses integrasi menjadi tidak relevan lagi dan tidak perlu diupayakan
lebih lanjut.

Aplikasi Pribadi
Alkitab menekankan bagaimana cara menyambut dan meresponi pengenalan akan Allah
dan pengetahuan akan Allah. Ini adalah sebuah praktek kehidupan dan bukan sebagai pendengar
saja (Yakobus 1:22), tetapi sebagai seorang murid dan juga sebagai seorang percaya (1
Tesalonika 4:1-12). Inilah sebagai alasan mengapa buku ini menyusun pengalaman berjalan
bersama dengan Allah sebagai tahapan bersama-masa dengan berkomunikasi atau berbicara
dengan Allah. Ini adalah langkah yang telah ditempuh oleh Integrasi Penyatuan (Embodied
Integrasion process).

Sedangkan aplikasididalam kehiupan seseorang adalah produk dari salah satu konsep
model hubungan didalam mempersiapkan Integrasi Kritikal, Dengan kata lain pada Integrasi
Kritikal berakhir dengan orientasi kekristenan terhadap sesuatu hal. Ini menghasilkan
pokok-pokok pemikiran kekristenan. Sedangkan didalam Integrasi Penyatuan, akan
menghasilkan tindakan, dan bukan sekedar orientasi pemikiran kekristenan. Didalam pola hidup
kekristenan, dan bukan sekedar pemikiran kekristenan. Tujuan dari metode Integrasi Kritikal
adalah orthodoksi, sedangkan tujuan dari Integrasi Penyatuan adalah Orthopraksi.
Pengaplikasian tentu saja menjadi tahap awal dan tahap akhir dari suatu proses integrasi.
Integrasi yang sepenuh hati adalah bagaimana Firman Allah menjadi daging, atau tindakan
seorang kristen. Sehingga Integrasi sepenuh hati adalah suatu bentuk mengikuti Yesus dalam
perkataan dan perbuatan atau suatu bentuk inkarnasi.

4. KEBENARAN, ALKITAB, DAN MANUSIA.

Integrasi antara psikologi dan teologi berdasarkan tiga kenyataan. Yaitu kenyataan akan
adanya realita kebenaran, kenyataan Alkitab, dan kenyataan manusia. Untuk sanggup memahami
secara utuh natur dari integrasi maka diharuskan memahami terlebih dahulu natur dari ketiga
kenyataan diatas. Maka bagian penutup dari buku ini, Farnsworth mencoba melakukan ringkasan
dari intisari pembahasan buku ini.
Pemahaman manusia tentu dipengaruhi sisi subyektifitas dan obyektifitas yang ada. Maka
dalam memahami suatu kebenaran diperlukan kesadaran yang dimiliki, yang hanya
dimungkinkan melalui suatu proses interaksi. Sebagai contohnya adalah rasul Thomas yang baru
akan percaya kebangkitan Yesus setelah dia dapat membuktikan sendiri melalui metode yang
dilakukanya.
Integrasi akan mengubah sudut pandang kita dalam melihat realita dunia. B.F.Skinner
menerjemahkan, “perasaan”, sebagai suatu bentuk pengamatan yang sifatnya introspektif.
Perasaan merupakan hasil pasif dari kebiasaan, termsuk berpikir yang didefinisikan Skinner
sebagai suatu tindakan verbal yang tidak secara otomatis menghasilkan pengetahuan. Seorang
psikolog lain bernama R.B. Zajonc lebih memilih supremasi dari emosi, atau perasaan, didalam
konsep berpikir.
Ketika kita mencoba menghilangkan sisi subyektifitas dari tahapan integrasi kita untuk
memperoleh suatu hasil yang tidak terkontaminasi oleh perasaan kita, sebenarnya kita telah
terperangkap kedalam bias rasionalisme.Tentu saja kita harus menyadari bahwa didalam
mengetahui suatu kebenaran tidak dapat lepas dari subyektifitas selain dari obyektifikas yang
saling membaur didalamnya.
Alasan yang paling mendasar bagi pencarian kita akan Tuhan dan kebenaranya untuk
dapat membangun suatu relasi yang intim dengan Dia adalah, karena kita telah diciptakan serupa
dengan gambar Allah. Sehingga kita memiliki kemiripan dengan Dia. Hal ini menyangkal suatu
ideologi bahwa manusia adalah sebagian ilahi dan sebagian binatang. Substansinya adalah kita
memiliki kapasitas untuk menjadi serupa dengan Allah dalam perkataan dan perbuatan hidup kita
sehari-hari.
Farnsworth tentu saja tidak menyarankan bahwa terdapat suatu hubungan biologis antara
manusia dengan Allah dalam keserupaan tersebut. Tetapi relasinya didalam kapasitas sebagai
rumah Allah, atau Roh Kudus menghuni kehidupan manusia. Sehingga Roh Kudus dapat
menghuni melalui suatu hubungan dan bukan sekedar hunian secara fisik Maka pengaruh dari
Roh Kudus didalam mengubah kehidupan seseorang adalah sejauh mana hubungan seseorang
dengan Allah.

Anda mungkin juga menyukai