Disusun Oleh:
Nama : Farah Fildzah R
NIM : 180106013
Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik
(...................................................) (...............................….)
Hidronefrosis adalah obstruksi saluran kemih proksimal terhadap kandung kemih yang
mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter serta atrofi hebal
pada parenkim ginjal (Price, 1995).
Hidronefrosis adalah dilatasi pelvis ureter yang dihasilkan oleh obstruksi aliran keluar urin
oleh batu atau kelainan letak arteria yang menekan ureter sehingga pelvis membesar dan terdapat
destruksi progresif jaringan ginjal (Gibson, 2003).
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal akibat
adanya obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik,
sehingga tekanan diginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih,
tekanan baik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter
akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal saja yang rusak (Smeltzer & Brenda,
2001).
Hidronefrosis merupakan suatu keadaan pelebaran dari pelvis ginjal dan kalises. Adanya
hidronefrosis harus dianggap sebagai respons fisiologis terhadap gangguan aliran urine.
Meskipun hal ini sering disebabkan oleh proses obstruktif, tetapi dalam beberapa kasus, seperti
megaureter sekunder untuk refluks pralahir, sistem pengumpulan mungkin membesar karena
tidak adanya obstruksi (Arif Muttaqin dan Kumala Sari, 2012).
2. Etiologi
1) Urinalisis :
2) Blood Study :
3) Imaging Studies:
a. CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non invasif
untukmemberikan gambaran penampang ginjal & saluran kemih yang sangat jelas
c. Voiding Cystourethrogram :
vesikoureteral refluk
a. Anestesi
Anestesi adalah tindakan untuk membantu pasien tidak merasa sakit selama prosedur
medis dilakukan. Anestesi sering juga disebut sebagai bius dan dapat diberikan
melalui berbagai cara, mulai dari disuntik, dihirup, hingga dioles. Obat yang
digunakan selama proses anestesi akan membuat saraf mati rasa untuk sementara
waktu.
Hipertensi merupakan penyebab utama kematian dan kelainan pra operasi yang paling
sering pada pasien bedah, dan menjadi faktor risiko utama penyakit jantung, otak, ginjal
dan pembuluh darah selama periode intraoperatif atau pasca operasi. Hipertensi
Konsekuensi dari penggunaan obat antihipertensi adalah interaksi dengan obat lain yang
digunakan selama operasi. Pertimbangan harus diambil terutama karena waktu paruh dan
dosis penyesuaian obat ini. Komite Nasional 7 (JNC 7) tentang pencegahan, deteksi,
evaluasi dan pengobatan tekanan darah tinggi 2003, derajat hipertensi dapat
99 mmHg) dan hipertensi stadium 2 (tekanan sistolik 160 mmHg atau tekanan diastolik
resistensi vaskular perifer (SVR) atau peningkatan keduanya. Tetapi penyebab paling
prabedah, tatalaksana pasien yang di bawah pengaruh obat anestesi dan pengobatan pasca
lebih sensitif terhadap prosedur anestesi dan pembedahan, sehingga harus berhati-hati
pada awal anestesi dan pembedahan hingga pasca operasi, terutama untuk mengontrol
menggunakan teknik anestesi yang sesuai, agen anestesi dan agen antihipertensi.
Hipertensi pasca operasi dapat terjadi karena beberapa faktor seperti, agen antihipertensi
yang tidak memadai, gangguan pernapasan, nyeri, kelebihan cairan, atau distensi
kandung kemih. Penatalaksanaan perioperatif yang baik pada pasien hipertensi sebelum
6. Patofisiologi
Obstruksi total akut ureter pada binatang percobaan menyebabkan pelebaran
mendadak dan peningkatan tekanan lumen bagian proksimal tem pat obstruksi. Filtrasi
glomerulus tetap berlangsung dengan peningkatan filtrasi pada tubulus dan penumpukan
cairan di ruang interstisium. Peningkatan tekanan interstisium menyebabkan disfungsi
tubulus. Kerusakan nefron ireversibel terjadi dalam waktu kira-kira 3 minggu. Pada
obstruksi parsial, kerusakan ireversibel terjadi dalam waktu yang lebih lama dan
bergantung pada derajat obstruksi.
Sebagian besar penyebab obstruksi saluran kemih yang diuraikan diatas
menyebabkan obstruksi parsial lambat terhadap aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
hidronefrosis dan atrofi korteks ginjal progresif akibat kerusakan nefron yang
berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Hanya hidronefrosis bilateral
yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Statis urine akibat obstruksi meningkatakan
insidensi pielonefritis akut dan pembentukan batu saluran kemih yang keduanya dapat
memperberat obstruksi.
Obstruksi ureter akut oleh batu, bekuan darah, atau kerak papila renalis akan
menyebabkan kolik ureter akibat peningkatan peristalsis ureter. Kolik ureter merupakan
nyeri intermitten yang sering kali sangat berat pada sudut ginjal posterior dan menjalar
disekitar pinggang (flank) menuju daerah pubis. obstruksi unilateral kronis biasanya
asimtomatik bahkan pada obstruksi total dan umumnya berlanjut dengan kerusakan ginjal
permanen sebelum terdeteksi. Obstruksi parsial bilateral kronis memberikan gambaran
gagal ginjal kronis progresif, meliputi hipertensi, kegagalan fungsi tubulus (poliuria,
asidosis tubulus renalis, dan hiponatremia), dan timbulnya batu saluran kemih atau
pielonefritis akut. Penanganan pasien tersebut dapat mengembalikan fungsi tubulus
menjadi normal bila dilakukan secara dini. Obstruksi bilateral total meneyebabkan gagal
ginjal akut tipe pascaginjal dan selanjutnya dengan cepat menuju ekmatian bila tidak
segera dikoreksi. Oleh karena itu, keadaan ini termasuk kegawatdaruratan medis
(Kimberly, 2011).
Sedangkan menurut Vinay Kumar, dkk (2007) Obstruksi bilateral total
menyebabkan anoria, yang menyebabkan pasien segera berobat. Apabila obstruksi
terletak dibawah kandung kemih, gejala dominant adalah keluhan peregangan kandung
kemih. Secara paradoks, obstruksi bilateral inkomplit menyebabkan poliuria bukan
oliguria, akibat terganggunya kemampuan tubulus memekatkan urin dan hal ini dapat
menyamarkan sifat asli kelainan ginjal. Sayangnya, hidronefrosis unilateral dapat tetap
asintomatik dalam jangka lama, kecuali apabila ginjal yang lain tidak berfungsi karena
suatu sebab. Ginjal yang membesar sering ditemukan secara tidak sengaja pada
pemerksaan fisik rutin. Kadang-kadang penyebab dasar hidronefrosis, seperti kalkulus
ginjal atau tumor obstruktif, menimbulkan gejala yang secara tidak langsung
menimbulkan perhatian ke hifronefrosis. Dihilangkanya obstruksi dalam beberapa
minggu biasanya memungkinkan pemulihan total fungsi, namun seiring dengan waktu
perubahan menjadi ireversibel.
B. Pertimbangan Anestesi
a. Definisi Anestesi
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa
sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes
Perubahan pola
Gangguan eliminasi urine
Resiko infeksi
Urin refluk ke keseimbangan
pelvis ginjal volume cairan
Dilakukan
Ansietas tindakan
Penenkanan pada pembedahan
medulla/sel-sel ginjal
a. Menggunakan oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa pelumpuh otot
atau rumatan dengan obat intravena kontinyu, menggunakan dosis sesuai umur dan berat badan.
b. Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama prosedur
tindakan.
c. Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan pada saat
prosedur tindakan.
a. Resiko aspirasi
c. Hipertensi
d. Cardiomegali
Fokus Pengkajian
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sangat mendukung untuk mengetahui masalah pada
klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Pemeriksaan ini meliputi :
a) Inspeksi bnetuk dada
Untuk melihat seberapa berat gangguan sistem kardiovaskuler. Bentuk dada yang biasa
ditemukan adalah :
· Bentuk dada thoraks phfisis (panjang dan gepeng)
· Bentuk dada thoraks en bateau (thoraks dada burung)
· Bentuk dada thoraks emsisematous (dada berbentuk seperti tong)
· Bentuk dada thoraks pektus ekskavatus (dada cekung ke dalam)
Gerakan pernapasan : kaji kesimetrisan gerakan pernapasan klien
b) Palpasi rongga dada
Tujuannya :
· Melihat adanya kelainan pada dinding thoraks
· Menyatakan adanya tanda penyakit paru dengan pemeriksaan sebagai berikut :
Gerakan dinding thoraks saat inspirasi dan ekspirasi
Getaran suara : getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa yang diletakkan pada dada klien saat
klien mengucapkan kata –kata.
c) Perkusi
Teknik yang dilakukan adalah pemeriksa meletakkan falang terakhir dan sebagaian falang kedua
jari tengah pada tempat yang hendak diperkusi. Ketukan ujung jari tengah tangan kanan pada jari
kiri tersebut dan lakukan gerakan bersumbu pada pergelangan tangan. Posisi klien duduk atau
berdiri.
d) Auskultasi
Suara napas normal
Trakeobronkhial, suara normal yang terdengar pada trakhea seperti meniup pipa besi, suara
napas lebih keras dan pendek saat inspirasi.
Bronkovesikuler, suara normal di daerah bronkhi, yaitu di sternum atas (torakal 3 – 4)
Vesikuler, suara normal di jaringan paru, suara napas saat inspirasi dan ekspirasi sama.
2) B2 (Blood)
Inspeksi
Inspeksi adanya parut pascapembedahan jantung. Posisi parut dapat memberikan petunujuk
mengenai lesi katup yang telah dioperasi
Denyut apeks : posisinya yang normal adalah pada interkostal kiri ke – 5 berjarak 1 cm
medial dari garis midklavikula.
o Palpasi
o Tujuannya adalah mendeteksi kelainan yang tampak saat inspeksi. Teknik yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
Palpasi dilakukan dengan menggunakan telapak tangan, kemudian dilanjutkan dengan
tekanan yang sedikit keras.
Pemeriksa berdiri di kanan klien, minta klien duduk kemudian berbaring telentang.
Pemeriksa meletakkan tangan di prekordium, samping sternum dan lakukan palpasi denyut
apeks.
Berikan tekanan yang lebih keras pada telapak tangan. Kemudian tangan ditekan lebih keras
untuk menilai kekuatan denyut apeks.
Lanjutkan dengan melakukan palpasi denyut apeks menggunakan ujung jari telunjuk dan
tengah. Palpasi daerah prekordial di samping sternum.
Kaji denyut nadi arteri, tarikan dan getaran denyutan.
Impuls Parasternal dapat teraba bila pangkal telapak tangan diletakkan tepat pada bagian
kiri dari sternum dengan jari – jari agak terangkat sedikit dari dada.
Thrill
Aliran darah yang turbulen menimbulkan murmur jantung saat auskultasi, terkadang
dapat teraba. Murmmur yang teraba ini disebut thrill. Prekordium harus dipalpasi menggunakan
telapak tangan secara sistematik untuk menentukan adanya thrill.
Palpasi arteri karotis :
Arteri karotis mudah dipalpasi pada otot – otot sternomastoideus. Hasil pemeriksaan ini
dapat memberikan banyak informasi mengenai bentuk gelombang denyut aorta yang dipengaruhi
oleh berbagai kelainan jantung.
Tekanan vena jugularis
Teknik pengukuran tekanan vena jugularis adalah sebagai berikut :
Minta klien berbaring telentang, dengan kepala ditinggikan pada tempat tidur atau meja
pemeriksaan
Kepala klien harus sedikit diplangkan menjauhi sisi leher yang akan diperiksa
Carilah vena jugularis eksterna
Palpasi denyutan vena jugularis interna (bedakan denyutan ini dengan denyutan arteri karotis
interna yang berada di sebelah vena jugularis interna)
Tentukan titik tertinggi denyutan vena jugularis interna yang masih terlihat
Dengan menggunakan penggaris cm, ukurlah jarak vertikal antara titik ini dengan sudut
sternal
Catatlah jarak dalam cm dan tentukan sudut kemiringan klien berbaring
Pengukuran yang lebih dari 3 -4 cm di atas sudut sternal dianggap suatu peningkatan
Perkusi
Pemeriksaan perkusi pada jantung biasanya jarang dilakukan jika pemeriksaan foto
rontgen toraks telah dilakukan. Tetapi pemeriksaan perkusi ini tetap bermanfaat untuk
menentukan adanya kardiomegali, efusi perikardium, dan aneurisma aorta. Foto rontgen toraks
akan menunjukkan daerah redup sebagai petunjuk bahwa jantung melebar. Daerah redup jantung
akan mengecil pada emfisema.
B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat penurunan
PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang disebut dengan
Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap lingkungan.
Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon verbal.
Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun
(tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam
lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah
ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini
bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,
(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan
motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6
tergantung responnya.
B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
- Kateter urin
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal.
- Distesi kandung kemih
c. Vital signs
DO :
c. Vita signs :
- N : 110 X/menit
- RR : 20X/mnt
- SpO2 : 99%
- S : 36,8C
Rencana Intervensi, Implementasi dan Evaluasi
1) . Pre Anestesi
Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan
N : 86X/mnt
RR : 14X/mnt
Intervensi :
d. Berikan kesempatan kepada klien dan keluarganya untuk bertanya terkait prosedur tindakan
Implementasi :
b. Mengorientasikan klien pada lingkungan dengan bahasa yang mudah dipahami dan diselingi
dengan pujian untuk klien.
d. Memberikan kesempatan kepada klien dan keluarganya untuk bertanya terkait prosedur
tindakan
Evaluasi
2) . Intra Anestesi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama intra anestesi, masalah resiko aspirasi teratasi
dengan kriteria hasil tidak terjadi aspirasi.
Itervensi :
a. Lakukan tindakan kolaborasi dengan DPJP anestesi untuk tindakan induksi tekhnik
inhalasi dengan LMA dengan agen sevofluran 2%
b. Lakukan kolaborasi dengan DPJP Anestesi untuk maintenance dengan tekhnik LMA no 4,
terhubung kesirkuit semiclose mesin anestesi dengan konsentrasi gas anestesi sevoflurane
2%, O2 : 3L/m. N2O : 2L/mnt
Implementasi :
a. Melakukan tindakan kolaborasi dengan DPJP anestesi untuk tindakan induksi teknik
inhalasi dengan LMA dengan agentsevofluran 2%
b. Melakukan kolaborasi dengan DPJP anestesi untuk maintenance dengan teknik LMA
no 4, terhubung ke sirkuit semi close mesin anestesi dengan konsentrasi gas anestesi
sevofluran 2% o2: 3L N2O:2L/mnt
S:
O:
P: pertahankan intervensi
Pasca Anestesi
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi selama anestesi, masalah Ketidakefektifan pola
nafas teratasi dengan kriteria hasil :
RR : 18X/mnt
N : 98X/mnt
CR : <2detik
Intervensi:
Implementasi :
Evaluasi :
O:
A : masalah teratasi
Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Vol. 2, ed. 7. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Price, Sylvia A, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa :
Peter Anugerah. Edisi 4, Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC