Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN OPERASI HIDRONEFOSIS


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH R.A. KARDINAH TEGAL

Disusun Oleh:
Nama : Farah Fildzah R
NIM : 180106013

Mengetahui,
Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(...................................................) (...............................….)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPANBANGSA
2021
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi

Hidronefrosis adalah obstruksi saluran kemih proksimal terhadap kandung kemih yang
mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter serta atrofi hebal
pada parenkim ginjal (Price, 1995).
Hidronefrosis adalah dilatasi pelvis ureter yang dihasilkan oleh obstruksi aliran keluar urin
oleh batu atau kelainan letak arteria yang menekan ureter sehingga pelvis membesar dan terdapat
destruksi progresif jaringan ginjal (Gibson, 2003).
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal akibat
adanya obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir balik,
sehingga tekanan diginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra atau kandung kemih,
tekanan baik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika obstruksi terjadi disalah satu ureter
akibat adanya batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal saja yang rusak (Smeltzer & Brenda,
2001).
Hidronefrosis merupakan suatu keadaan pelebaran dari pelvis ginjal dan kalises. Adanya
hidronefrosis harus dianggap sebagai respons fisiologis terhadap gangguan aliran urine.
Meskipun hal ini sering disebabkan oleh proses obstruktif, tetapi dalam beberapa kasus, seperti
megaureter sekunder untuk refluks pralahir, sistem pengumpulan mungkin membesar karena
tidak adanya obstruksi (Arif Muttaqin dan Kumala Sari, 2012).
2. Etiologi

Menurut Kimberly (2011) penyebab dari hidronefrosis adalah sebagai berikut:


a. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
b. Striktur uretra
c. Batu ginjal
d. Striktur atau stenosis ureter atau saluran keluar kandung kemih
e. Abnormalitas kongenital
f. Tumor kandung kemih, ureter, atau pelvis
g. Bekuan darah
h. Kandung kemih neurogenik
i. Ureterokel
Sedangkan menurut David Ovedoff (2002) penyebab dari hidronefrosis adalah sebagai
berikut:
a. Tekanan membalik akibat obstruksi congenital.
b. Obstruksi pada perbatasan ureteropelvis (uretropelvic junction), penyempitan
ureter atau kompresi ekstrinsik didapat.
c. Batu atau neoflasma dalam ureter pada perbatasan ureteropelvis dalam vesika,
pada leher kandung kemih, atau prostat.
d. Berkaitan dengan terapi radiasi atau fibrosis retroperitoneal.
e. Menyebabkan atoni, fibrosis, dan hilangnya daya peristaltik.
f. Atrofi parenkim ginjal, terutama tubulus kemudian tekanan kembali ke tubulus
proksimal dan glomerolus.
3. Tanda & Gejala
Menurut David Ovedoff (2002) tanda dan gejala hidernefrosis adalah:
a. Nyeri dan pembengkakan di daerah pinggang
b. Kolik menunjukan adanya batu
c. Demam dan menggigil bila terjadi infeksi
d. Mungkin terdapat hipertensi
e. Beberapa penderita tidak menunjukan gejala
Menurut Smeltzer & Brenda (2001) Pasien mungkin asimtomatik jika awitan
terjadi secara bertahap. Obstruksi akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan
pinggang. Jika terjadi infeksi maja disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria
akan terjadi. Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena maka tanda
dan gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti:
a. Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).
b. Gagal jantung kongestif.
c. Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi).
d. Pruritis (gatal kulit).
e. Butiran uremik (kristal urea pada kulit).
f. Anoreksia, mual, muntah, cegukan.
g. Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.
4. Pemeriksaan Diagnostik/ Pemeriksaan Penunjang

Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis:

1) Urinalisis :

a. Warna, kejernihan & bau urine

b. Keasaman (Ph) & berat jenis urine

c. Protein, glukosa, badan keton dalam urine

d. Sedimen urine : Erytrosit, leukosit, silinder, kristal, pus & bakteri

2) Blood Study :

a. Complete blood count :

b. Leukosit : meningkat pada infeksi, peritonitis

c. Erytrosit, HB, HMT : menurun pada CKD

d. Protein serum : menurun pada nepritis

e. Uric acid : meningkat pd kerusakan fungsi renal,kerusakan absorbsi tubuler.

f. BUN (Blood Urea Nitrogen) : meningkat pada glomerulonefritis, obstruksi tubuler,

obstruksi uropati, sindrome nefrotik

g. Kreatinin serum : meningkat pada insufisiensi ren

3) Imaging Studies:

a. CT scan renal & MRI (Magnetic Resonance Imaging) : tehnik non invasif

untukmemberikan gambaran penampang ginjal & saluran kemih yang sangat jelas

b. IVP (intravenous Pyelogram) : visualisasi ginjal,ureter& vesika urinaria dg

memasukanmedia kontras radiopaquemelalui intra vena kmd dilakukan foto rontgent

c. Voiding Cystourethrogram :

1) Memasukkan medium kontras ke dalambladder dengan tekanan syringe kemudian

dilakukan pengambilan gambar dengan fluoroskopi.


2) Dilakukan pada pasien infeksi saluran kemih, striktur uretra /katup, BPH,

vesikoureteral refluk

d. USG : Mengetahui akumulasi cairan,massa, malformasi, perubahan ukuran organ(renal

hypertropi), urinary obstruksi, lesi renal (abces, kista, batuginjal)

5. Penatalaksanaan Anestesi pada Hipertensi

a. Anestesi

Anestesi adalah tindakan untuk membantu pasien tidak merasa sakit selama prosedur

medis dilakukan. Anestesi sering juga disebut sebagai bius dan dapat diberikan

melalui berbagai cara, mulai dari disuntik, dihirup, hingga dioles. Obat yang

digunakan selama proses anestesi akan membuat saraf mati rasa untuk sementara

waktu.

b. Penatalaksaanaan Anestesi pada hipertensi

Hipertensi merupakan penyebab utama kematian dan kelainan pra operasi yang paling

sering pada pasien bedah, dan menjadi faktor risiko utama penyakit jantung, otak, ginjal

dan pembuluh darah selama periode intraoperatif atau pasca operasi. Hipertensi

terkontrol agresif akan menurunkan komplikasi akibat kerusakan organ akhir.

Konsekuensi dari penggunaan obat antihipertensi adalah interaksi dengan obat lain yang

digunakan selama operasi. Pertimbangan harus diambil terutama karena waktu paruh dan

dosis penyesuaian obat ini. Komite Nasional 7 (JNC 7) tentang pencegahan, deteksi,

evaluasi dan pengobatan tekanan darah tinggi 2003, derajat hipertensi dapat

diklasifikasikan menjadi pra-hipertensi (120-139/80-89), hipertensi tahap 1 (140- 159/90-

99 mmHg) dan hipertensi stadium 2 (tekanan sistolik 160 mmHg atau tekanan diastolik

100 mmHg). Menurut etiologinya, hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi


primer (80-95%) dan hipertensi sekunder (10-15%) karena penyebabnya. Biasanya

hipertensi selalu berhubungan dengan abnormalitas aktivitas simpatis, peningkatan

resistensi vaskular perifer (SVR) atau peningkatan keduanya. Tetapi penyebab paling

umum dari hipertensi adalah peningkatan resistensi pembuluh darah perifer.

Penatalaksanaan perioperatif hipertensi meliputi evaluasi dan optimalisasi kondisi pasien

prabedah, tatalaksana pasien yang di bawah pengaruh obat anestesi dan pengobatan pasca

bedah. Pasien dengan hipertensi cenderung mengalami ketidakstabilan hemodinamik dan

lebih sensitif terhadap prosedur anestesi dan pembedahan, sehingga harus berhati-hati

pada awal anestesi dan pembedahan hingga pasca operasi, terutama untuk mengontrol

hemodinamik. Pemantauan terbaik untuk pasien dengan hipertensi adalah dengan

menggunakan teknik anestesi yang sesuai, agen anestesi dan agen antihipertensi.

Hipertensi pasca operasi dapat terjadi karena beberapa faktor seperti, agen antihipertensi

yang tidak memadai, gangguan pernapasan, nyeri, kelebihan cairan, atau distensi

kandung kemih. Penatalaksanaan perioperatif yang baik pada pasien hipertensi sebelum

pembedahan akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

6. Patofisiologi
Obstruksi total akut ureter pada binatang percobaan menyebabkan pelebaran
mendadak dan peningkatan tekanan lumen bagian proksimal tem pat obstruksi. Filtrasi
glomerulus tetap berlangsung dengan peningkatan filtrasi pada tubulus dan penumpukan
cairan di ruang interstisium. Peningkatan tekanan interstisium menyebabkan disfungsi
tubulus. Kerusakan nefron ireversibel terjadi dalam waktu kira-kira 3 minggu. Pada
obstruksi parsial, kerusakan ireversibel terjadi dalam waktu yang lebih lama dan
bergantung pada derajat obstruksi.
Sebagian besar penyebab obstruksi saluran kemih yang diuraikan diatas
menyebabkan obstruksi parsial lambat terhadap aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
hidronefrosis dan atrofi korteks ginjal progresif akibat kerusakan nefron yang
berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Hanya hidronefrosis bilateral
yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Statis urine akibat obstruksi meningkatakan
insidensi pielonefritis akut dan pembentukan batu saluran kemih yang keduanya dapat
memperberat obstruksi.
Obstruksi ureter akut oleh batu, bekuan darah, atau kerak papila renalis akan
menyebabkan kolik ureter akibat peningkatan peristalsis ureter. Kolik ureter merupakan
nyeri intermitten yang sering kali sangat berat pada sudut ginjal posterior dan menjalar
disekitar pinggang (flank) menuju daerah pubis. obstruksi unilateral kronis biasanya
asimtomatik bahkan pada obstruksi total dan umumnya berlanjut dengan kerusakan ginjal
permanen sebelum terdeteksi. Obstruksi parsial bilateral kronis memberikan gambaran
gagal ginjal kronis progresif, meliputi hipertensi, kegagalan fungsi tubulus (poliuria,
asidosis tubulus renalis, dan hiponatremia), dan timbulnya batu saluran kemih atau
pielonefritis akut. Penanganan pasien tersebut dapat mengembalikan fungsi tubulus
menjadi normal bila dilakukan secara dini. Obstruksi bilateral total meneyebabkan gagal
ginjal akut tipe pascaginjal dan selanjutnya dengan cepat menuju ekmatian bila tidak
segera dikoreksi. Oleh karena itu, keadaan ini termasuk kegawatdaruratan medis
(Kimberly, 2011).
Sedangkan menurut Vinay Kumar, dkk (2007) Obstruksi bilateral total
menyebabkan anoria, yang menyebabkan pasien segera berobat. Apabila obstruksi
terletak dibawah kandung kemih, gejala dominant adalah keluhan peregangan kandung
kemih. Secara paradoks, obstruksi bilateral inkomplit menyebabkan poliuria bukan
oliguria, akibat terganggunya kemampuan tubulus memekatkan urin dan hal ini dapat
menyamarkan sifat asli kelainan ginjal. Sayangnya, hidronefrosis unilateral dapat tetap
asintomatik dalam jangka lama, kecuali apabila ginjal yang lain tidak berfungsi karena
suatu sebab. Ginjal yang membesar sering ditemukan secara tidak sengaja pada
pemerksaan fisik rutin. Kadang-kadang penyebab dasar hidronefrosis, seperti kalkulus
ginjal atau tumor obstruktif, menimbulkan gejala yang secara tidak langsung
menimbulkan perhatian ke hifronefrosis. Dihilangkanya obstruksi dalam beberapa
minggu biasanya memungkinkan pemulihan total fungsi, namun seiring dengan waktu
perubahan menjadi ireversibel.
B. Pertimbangan Anestesi

a. Definisi Anestesi

(pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi,

kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa

sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan

rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes

Sr pada tahun 1846

b. TEKNIK ANESTESI GENERAL ANESTESI DENGAN LMA


Teknik anestesi yang digunakan pada kasus Tn. D menggunakan teknik general anestesi
dengan inhalasi LMA. Anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum
yang dilakukan dengan cara memberikan kombinasi obat yang berupa gas dan atau cairan
volatile ( mudah menguap) melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi .
kelompok obat ini dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi dan
mungkin dapat jugadigunakan setelah induksi dengan anestetik intra vena
Indikasi
 Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi mengalami kegagalan
 Penatalaksaanaan atau kesulitan jalan nafas yang tidak dapat diperkirakan
 Pada airway management setelah resusitasi pada pasien tidak sadar
Kontra indikasi: kenapa klien tidak dilakukan tindakan spinal ? karena pasien
terdapat kelainan tulang belakang
Ddssdssaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
WOC Jaringan parut ginjal/ureter, batu, tumor.

Obstruksi total/sebagian total aliran urin

Akumulasi urin di Penyempitan


Dilkukan Obstruksi akut Urin terkumpul
piala ginjal ureter/uretra
tindakan di saluran kemih
pembedahan
Kolik renalis/ Urin mengalir
nyeri pinggang balik ke ginjal Cairan dalam tubuh Urin yang keluar
tidak dapat sedikit
diekskresikan
Post pembedahan Nyeri akut Hidroureter

Perubahan pola
Gangguan eliminasi urine
Resiko infeksi
Urin refluk ke keseimbangan
pelvis ginjal volume cairan

Dilakukan
Ansietas tindakan
Penenkanan pada pembedahan
medulla/sel-sel ginjal

Ginjal tidak bisa Gangguan fungsi ginjal Kurangnya informasi


menghasilkan tindakan Pembedahan
eritropoetin yang akan dilakukan
Kerusakan sel-sel
ginjal
Kurang pengetahuan
Produksi eritrosit
menurun
Kegagalan ginjal
untuk membuang
anemia limbah metabolik
Rumatan Anestesi

Menurut (RI, 2015), rumatan anestesi dapat melputi:

a. Menggunakan oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa pelumpuh otot

atau rumatan dengan obat intravena kontinyu, menggunakan dosis sesuai umur dan berat badan.

b. Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama prosedur

tindakan.

c. Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan pada saat

prosedur tindakan.

d. Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur tindakan.

Resiko penyulit Pembedahan

a. Resiko aspirasi

b. Resiko ketidakefektifan pola nafas

c. Hipertensi

d. Cardiomegali
Fokus Pengkajian

B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sangat mendukung untuk mengetahui masalah pada
klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Pemeriksaan ini meliputi :
a)      Inspeksi bnetuk dada
Untuk melihat seberapa berat gangguan sistem kardiovaskuler. Bentuk dada yang biasa
ditemukan adalah :
·         Bentuk dada thoraks phfisis (panjang dan gepeng)
·         Bentuk dada thoraks en bateau (thoraks dada burung)
·         Bentuk dada thoraks emsisematous (dada berbentuk seperti tong)
·         Bentuk dada thoraks pektus ekskavatus (dada cekung ke dalam)
Gerakan pernapasan : kaji kesimetrisan gerakan pernapasan klien
b)      Palpasi rongga dada
Tujuannya :
·         Melihat adanya kelainan pada dinding thoraks
·         Menyatakan adanya tanda penyakit paru dengan pemeriksaan sebagai berikut :
      Gerakan dinding thoraks saat inspirasi dan ekspirasi
      Getaran suara : getaran yang terasa oleh tangan pemeriksa yang diletakkan pada dada klien saat
klien mengucapkan kata –kata.
c)       Perkusi
Teknik yang dilakukan adalah pemeriksa meletakkan falang terakhir dan sebagaian falang kedua
jari tengah pada tempat yang hendak diperkusi. Ketukan ujung jari tengah tangan kanan pada jari
kiri tersebut dan lakukan gerakan bersumbu pada pergelangan tangan. Posisi klien duduk atau
berdiri.
d)      Auskultasi
Suara napas normal
 Trakeobronkhial, suara normal yang terdengar pada trakhea seperti meniup pipa besi, suara
napas lebih keras dan pendek saat inspirasi.
 Bronkovesikuler, suara normal di daerah bronkhi, yaitu di sternum atas (torakal 3 – 4)
 Vesikuler, suara normal di jaringan paru, suara napas saat inspirasi dan ekspirasi sama.

2)      B2 (Blood)
 Inspeksi
 Inspeksi adanya parut pascapembedahan jantung. Posisi parut dapat memberikan petunujuk
mengenai lesi katup yang telah dioperasi
 Denyut apeks : posisinya yang normal adalah pada interkostal kiri ke – 5 berjarak 1 cm
medial dari garis midklavikula.
o Palpasi
o Tujuannya adalah mendeteksi kelainan yang tampak saat inspeksi. Teknik yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
 Palpasi dilakukan dengan menggunakan telapak tangan, kemudian dilanjutkan dengan
tekanan yang sedikit keras.
 Pemeriksa berdiri di kanan klien, minta klien duduk kemudian berbaring telentang.
Pemeriksa meletakkan tangan di prekordium, samping sternum dan lakukan palpasi denyut
apeks.
 Berikan tekanan yang lebih keras pada telapak tangan. Kemudian tangan ditekan lebih keras
untuk menilai kekuatan denyut apeks.
 Lanjutkan dengan melakukan palpasi denyut apeks menggunakan ujung jari telunjuk dan
tengah. Palpasi daerah prekordial di samping sternum.
 Kaji denyut nadi arteri, tarikan dan getaran denyutan.

Palpasi denyut apeks :


 Normal pada interkosta ke – 5 (2 – 3 cm medial garis midklavikula). Dapat tidak teraba bila
klien gemuk, dinding toraks tebal, emfisema dan lain – lain.
 Meningkat bila curah jantung besar misalnya pada insufisiensi aorta/mitral.

Impuls Parasternal dapat teraba bila pangkal telapak tangan diletakkan tepat pada bagian
kiri dari sternum dengan jari – jari agak terangkat sedikit dari dada.
Thrill
Aliran darah yang turbulen menimbulkan murmur jantung saat auskultasi, terkadang
dapat teraba. Murmmur yang teraba ini disebut thrill. Prekordium harus dipalpasi menggunakan
telapak tangan secara sistematik untuk menentukan adanya thrill.
Palpasi arteri karotis :
Arteri karotis mudah dipalpasi pada otot – otot sternomastoideus. Hasil pemeriksaan ini
dapat memberikan banyak informasi mengenai bentuk gelombang denyut aorta yang dipengaruhi
oleh berbagai kelainan jantung.
Tekanan vena jugularis
Teknik pengukuran tekanan vena jugularis adalah sebagai berikut :
 Minta klien berbaring telentang, dengan kepala ditinggikan pada tempat tidur atau meja
pemeriksaan
 Kepala klien harus sedikit diplangkan menjauhi sisi leher yang akan diperiksa
 Carilah vena jugularis eksterna
 Palpasi denyutan vena jugularis interna (bedakan denyutan ini dengan denyutan arteri karotis
interna yang berada di sebelah vena jugularis interna)
 Tentukan titik tertinggi denyutan vena jugularis interna yang masih terlihat
 Dengan menggunakan penggaris cm, ukurlah jarak vertikal antara titik ini dengan sudut
sternal
 Catatlah jarak dalam cm dan tentukan sudut kemiringan klien berbaring
 Pengukuran yang lebih dari 3 -4 cm di atas sudut sternal dianggap suatu peningkatan
Perkusi
Pemeriksaan perkusi pada jantung biasanya jarang dilakukan jika pemeriksaan foto
rontgen toraks telah dilakukan. Tetapi pemeriksaan perkusi ini tetap bermanfaat untuk
menentukan adanya kardiomegali, efusi perikardium, dan aneurisma aorta. Foto rontgen toraks
akan menunjukkan daerah redup sebagai petunjuk bahwa jantung melebar. Daerah redup jantung
akan mengecil pada emfisema.
B 3 : Brain (Persyarafan/Neurologik)
- Tingkat kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat penurunan
PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.
Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang disebut dengan
Glasgow Coma Scale (GCS).
GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap lingkungan.
Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon verbal.
Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua
pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya..
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya
acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,
berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat,
mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh
tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun
(tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam
lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah
ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala.
Adanya defisit tingkat kesadaran memberi kesan adanya hemiparese serebral atau sistem
aktivitas reticular mengalami injuri. Penurunan tingkat kesadaran berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas (kecacatan) dan mortalitas (kematian).
Jadi sangat penting dalam mengukur status neurologikal dan medis pasien. Tingkat kesadaran ini
bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien,
(apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap
rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan
motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6
tergantung responnya.
B 4 : Bladder (Perkemihan – Eliminasi Uri/Genitourinaria)
- Kateter urin
- Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
- Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya
perfusi pada ginjal.
- Distesi kandung kemih

B 5 : Bowel (Pencernaan – Eliminasi Alvi/Gastrointestinal)


- Rongga mulut
Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukan adanya dehidarsi.
- Bising usus
Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen.
Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus
selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal
dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
- Distensi abdomen
Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan memeriksa adanya
gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan yang
disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien
dengan respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan,
kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan.
Nyeri
- Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal
- Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya
- Mual dan muntah.
B 6 : Bone (Tulang – Otot – Integumen)
- Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung kuku,
ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran
mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis
pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice
(warna kuning) pada pasien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran
darah portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama.
Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat,. Warna
kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam, infeksi. Pada pasien yang menggunkan
ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak
steril.
- Integritas kulit
- Perlu dikaji adanya lesi, dan dekubitus
1. Diagnosa keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi akut saluran urine


b. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukan tindakan pembedahan
c. Resiko aspirasi berhubungan dengan anestesia
d. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengaruh obat anestesi
Analisa Data
No Symptom Etiologi Problem
I. PRE ANESTESI
1. DS : klien mengatakan nyeri pada pinggang bagian Gangguan Nyeri akut
kanan obstruksi akut
saluran urin
DO:

a. Klien tampak mengerutkan dahi menahan sakit

b. Klien nampak memegangi area yang sakit

c. Vital signs

N : 108X/mnt, RR : 18X/mnt, S : 36,8 C, SpO2 : 99%


2. DS: klien mengatakan takut akan dilakukan tindakan Prosedure ansietas
pembedahan tindakan

DO: a. Klien nampak cemas dan gelisah

N : 108X/mnt, RR : 18X/mnt, S : 36,8 C,


INTRA ANESTESI

No Symptom Etiologi Problem


1 DS :- Efek obat Resiko komplikasi
anestesi disfungsi
DO :
pernafasan
a. Klien tampak tidur setelah diinduksi teknik anestesi
menggunakan general anestesi inhalasi dengan LMA
karena pasien terdapat kelain tulang belakang jadi
tidak bisa dilakukan dengan teknik spinal .
terhubung dengan circuit mesin anestesi dengan
agen inhalasi sevoflurane : 2%, O2 : 3L/mnt, N2O :
2L/mnt,

b. Tampak nafas spontan dan nadi radalis tera

2 DS :- Anestesia Resiko aspirasi

DO :

a. Maintenance inhalasi anestesi menggunakan LMA


no 4

b. Klien terdapat gangguan pda tulang belakang jadi


harus lebih diwaspadai, dalam memilih teknik
anestesinya
PASCA ANESTESI

No Symptom Etiologi Problem

1 DS:- Pengaruh obat Ketidakefektifan


anestesia pola nafas
DO:

a. Tampak klien belum sadar dan bernafas


menggunakan bantuan

b. Terpasang canul oksigen

c. Vita signs :

- N : 110 X/menit
- RR : 20X/mnt
- SpO2 : 99%
- S : 36,8C
Rencana Intervensi, Implementasi dan Evaluasi
1) . Pre Anestesi
Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan masalah teratasi dengan kriteria hasil :

a. Klien lebih tenang

b. TTV dalam batas normal:

N : 86X/mnt

RR : 14X/mnt

Intervensi :

a. Bina hubungan saling percaya

b. Orientasikan klien pada lingkungan dengan bahasa yang mudah dipahami

c. Ciptakan suasana yang tidak mengancam secara emosional.

d. Berikan kesempatan kepada klien dan keluarganya untuk bertanya terkait prosedur tindakan

Implementasi :

a. Membina hubungan saling percaya

b. Mengorientasikan klien pada lingkungan dengan bahasa yang mudah dipahami dan diselingi
dengan pujian untuk klien.

c. Menciptakan suasana yang tidak mengancam secara emosional.

d. Memberikan kesempatan kepada klien dan keluarganya untuk bertanya terkait prosedur
tindakan
Evaluasi

S: klien mengatakan sudah lebih tenang akan tindakan pembedahan

O:Klien nampak lebih baik

A:masalah sudah teratasi

P: Lanjutkan untuk tindakan anestesi

2) . Intra Anestesi

Resiko Aspiras berhubungan dengan tindakan anestesi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama intra anestesi, masalah resiko aspirasi teratasi
dengan kriteria hasil tidak terjadi aspirasi.

Itervensi :

a. Lakukan tindakan kolaborasi dengan DPJP anestesi untuk tindakan induksi tekhnik
inhalasi dengan LMA dengan agen sevofluran 2%

b. Lakukan kolaborasi dengan DPJP Anestesi untuk maintenance dengan tekhnik LMA no 4,
terhubung kesirkuit semiclose mesin anestesi dengan konsentrasi gas anestesi sevoflurane
2%, O2 : 3L/m. N2O : 2L/mnt

c. Pantau monitor vital sign

Implementasi :

a. Melakukan tindakan kolaborasi dengan DPJP anestesi untuk tindakan induksi teknik
inhalasi dengan LMA dengan agentsevofluran 2%

b. Melakukan kolaborasi dengan DPJP anestesi untuk maintenance dengan teknik LMA
no 4, terhubung ke sirkuit semi close mesin anestesi dengan konsentrasi gas anestesi
sevofluran 2% o2: 3L N2O:2L/mnt

c. Melkukan pemantauan vital sign


Evaluasi :

S:

O:

a. klien bernafas spontan

b. Maintenancedengn teknik inhalasi LMA no 4 dengan konsentrasi anestesi sevofluran 2%


N2O : 3Lm

c. TTV: RR: 18x/mnt, SPO2:99% N: 80-90x/mnt

A:masalah sudah teratasi

P: pertahankan intervensi

Pasca Anestesi

Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengaruh obat anestesi

Tujuan:

Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi selama anestesi, masalah Ketidakefektifan pola
nafas teratasi dengan kriteria hasil :

a. Klien dapat bernafas dengan normal

b. Tanda-tanda vital dalam batas normal

RR : 18X/mnt

SpO2 : 99% tanpa oksigen dengan canul

N : 98X/mnt

CR : <2detik
Intervensi:

a. Monitor tanda-tanda vital

b. Ajarkan teknik bernafas dan relaksasi yang benar

c. Monitoring Respirasi dan status oksigen

Implementasi :

a. Memonitor tanda-tanda vital

b. Mengajarkan teknik bernafas dan relaksasi yang benar

c. Memonitor respirasi dan status oksigenasi

Evaluasi :

S:klien mengatakan sudah bisa bernafas dengan baik

O:

a. Klien tampak bernafas dengan teratur dan tampak tenang

b. Klien lebih nyaman

c. TTV: RR : 18x/mnt SpO2 : 99% N: 120X/mnt CR : <2detik

A : masalah teratasi

P : Klien boleh pindah ke ruang rawat inap dan tetap di awasi.


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan


dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Vol. 2, ed. 7. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Price, Sylvia A, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa :
Peter Anugerah. Edisi 4, Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai