1
hadapan tujuh puluh para ulama fiqh Madinah dan semuanya
menyetujuiku (watha’ani), maka akupun menamainya dengan al-
Muwaththa’”.
• Imam Malik menyusun kitab ini menjadi 2 bagian:
• Pertama mengenai perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad
SAW (sunnah) serta riwayat perkataan dan perbuatan Nabi tersebut
(hadis).
• Kedua, mengenai pendapat dan keputusan resmi sahabat Nabi,
penerus mereka, dan beberapa ulama kemudian.
• Kitab ini ditulis pada masa pemerintahan Khalifah Al Mansur (754-775
M) dan baru selesai di masa Khalifah Al Mahdi (775-785 M).
6 Pelajaran tentang niat • Nama lengkap beliau Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-
dari Imam Nawawi Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria.
• Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah
kampung di daerah Dimasyq (Damaskus) yang sekarang merupakan
ibukota Suriah.
• Beliau wafat pada tanggal 24 Rajab 676 H.
• Umurnya singkat, namun ilmunya terus kekal dan langgeng.
• Jumlah karyanya sekitar 40 (empat puluh) kitab, diantaranya:
• Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah
Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin
Nadzir.
• Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-
Majmu’.
• Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
• Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul
Arifin, Al-Adzkar.
• Itu semua dilakukan beliau karena hanya ingin meraih ridho Allah,
bukan ingin disebut orang paling cerdas, bukan ingin pula meraih gelar
mentereng atau ingin mendapat balasan dunia semata.
7 Bahaya salah niat (1): Abu Hurairah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda,
mujahid masuk neraka “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah
orang yang mati syahid di jalan Allah. Ia didatangkan dan diperlihatkan
kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun
mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, ‘Amal apakah yang engkau
lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang semata-
mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berkata, ‘Engkau
dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani.
Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian
diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya
(tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka.’
8 Bahaya salah niat (2): “Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan
orang ‘alim masuk mengajarkannya serta membaca al-Qur-an. Ia didatangkan dan
neraka diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun
mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, ‘Amal apakah yang telah
engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab, ‘Aku
menuntut ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca al-Qur-an
hanyalah karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta! Engkau menuntut
ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-
Qur-an supaya dikatakan seorang qari’ (pembaca al-Qur-an yang baik).
Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian
diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan
melemparkannya ke dalam neraka.’
9 Bahaya salah niat (3): “Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki
orang kaya masuk dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan
2
neraka kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya
(mengakuinya). Allah bertanya, ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan
nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak pernah meninggalkan
shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku
melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berkata, ‘Engkau dusta!
Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan
(murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’
Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan
melemparkannya ke dalam neraka’,” (HR. Muslim)
10 Bahaya salah niat Anas bin Malik ra. berkata,
dalam menuntut ilmu ى ِب ِه ْال ُع َل َما َء ِ ب ْالع ِْل َم لِي َُج
َ ار َ َمنْ َط َل
َ اس إِ َل ْي ِه أَ ْد َخ َل ُه هَّللا ُ ال َّن
ِ ف ِب ِه وُ جُو َه ال َّن َ ى ِب ِه ال ُّس َف َها َء أَ ْو َيصْ ِر َ
(1)
ار ِ أ ْو لِ ُي َم
َ ار
“Siapa menuntut ilmu untuk menandingi para ulama, atau mendebat
orang-orang bodoh, atau memalingkan pandangan-pandangan manusia
kepadanya, maka Allâh akan memasukkannya ke neraka.” (HR. At-Tirmidzi,
Shahîh at-Targhîb, no. 106)
11 Bahaya salah niat Anas bin Malik ra. berkata,
dalam menuntut ilmu أَ ْو َيصْ ِرفُ أَعْ ي َُن، اري ِب ِه ال ُّس َف َها َء َ
ِ أ ْو ُي َم، ب ْالع ِْل َم ُي َباهِي ِب ِه ْال ُع َل َما َء
َ َمنْ َط َل
َ
ِ َت َبوَّ أ َم ْق َعدَ هُ م َِن ال َّن، اس إِ َل ْي ِه
ِ ال َّن
(2)
ار
“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat
dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, maka silakan ia
mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Hakim dalam Mustadroknya)
12 Menuntut ilmu harus Rasulullah saw bersabda:
karena Allah َمنْ َت َعلَّ َم عِ ْلمًا ِممَّا ُي ْب َت َغى ِب ِه َوجْ ُه هَّللا ِ َع َّز َو َج َّل
يب ِب ِه َع َرضًا م َِن ال ُّد ْن َيا َ ِالَ َي َت َعلَّ ُم ُه إِالَّ لِيُص
ف ْال َج َّن ِة َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة
َ َْل ْم َي ِج ْد َعر
“Siapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan hanya mengharap wajah
Allâh ‘Azza Wa Jalla, namun ternyata ia tidak menuntut ilmu kecuali untuk
mendapatkan sedikit dari kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium
bau surga pada hari Kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Ibnu Hibban, Shahîh ath-Targhib, no. 105)
13 Belajar untuk ibadah Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama.
dan mengajar Beliau menjawab, “Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar
tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar dan
untuk mengajari yang lainnya.”
14 Ikhlas sebab derajat Syaikh Sholih Al-Ushoimi –hafidzahullah- menasehatkan:
tinggi Tidaklah para salafussholih itu unggul dan sampai pada derajat ilmu (yang
tinggi), melainkan karena sebab ikhlasnya mereka saat menuntut ilmu,
karena mengharap pahala Allah tuhan semesta alam. (Khulashoh Ta’dhiimil
‘Ilmi, hal. 11)
15 Jatah ilmu Syaikh Sholih Al-‘Ushoimi juga mengatakan:
sebanyak kadar ikhlas وانما ينال المرء العلم على قدر اخالصه
“Seorang itu mendapatkan jatah ilmu, sebanyak kadar ikhlasnya.”
(Khulashoh Ta’dhiimil ‘Ilmi, hal. 11)
16 Tidak cukup niat ikhlas, Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,
namun juga harus “Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka
ittiba’ tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak
ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas
dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai
ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk
Rasul saw.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72)
3
4