Anda di halaman 1dari 34

Halaman |1

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah menganugerahkan rahmat, karunia serta Ridha-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang “Ijtihad Dan
Mujtahid”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata
kuliah Pengelolaan Pendidikan. Makalah ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang kemudian bermamfaat bagi kita.
Selama mengerjakan tugas makalah ini, Saya telah banyak
menerima bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak. Maka pada
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada:
1. Dosen pembimbing yang telah memberikan kami pengarahan, nasihat
dalam pembuatan makalah ini.
2. Orang tua yang telah memberikan dorongan dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Rekan-rekan serta semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan
satu persatu yang telah membantu penyusun dalam pembuatan
makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap karya tulis ini dapat berguna dan dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya. Penyusun mengharapkan kritik dan
saran untuk kemajuan di masa-masa mendatang. Atas perhatiannya
penyusun ucapkan terima kasih.

Barru,27 Maret 2021


Halaman |2

Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman |3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan,
tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang
itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam
liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak
lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk
menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks
Halaman |4

B. Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari ijtihad?


2. Apakah dasar-dasar dari berijtihad?
3. Apa saja kah objek dari ijtihad?
4. Bagaimanakah fungsi dan kedudukan ijtihad bagi manusia?
5. Apasajakah metode yang digunakan untuk ijtihad? Dan
bagaimanakah hasilnya?
6. Apa saja kah perbedaan ijtihad, ittiba’ , taqlid dan talfiq?
7. Apa saja kah syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid?
8. Apa saja kah tingkatan-tingkatan mujtahid?

C. Tujuan

1. Mengetahui definisi ijtihad


2. Mengetahui dasar-dasar dari berijtihad
3. Mengetahui objek dari ijtihad
4. Mengetahui fungsi-fungsi serta kedudukan ijtihad bagi manusia
5. Mengetahui metode dan hasil ijtihad
6. Mengetahui perbedaan ijtihad, ittiba’, taqlid dan talfiq
7. Mengetahui syarat-syarat menjadi mujtahid
8. Mengetahui tingkatan-tingkatan mujtahid
Halaman |5

BAB II

PEMBAHASAN

a. Definisi Ijtihad

ِ ‫ْع فِي نَي ِْل ُح ْك ٍم َشرْ ِع ٍّي بِطَ ِر‬


ِ َ‫يق اِإل ْستِ ْنب‬
‫اط‬ ُ ‫اِإل جْ تِهَا ُد هُ َو ِإ ْستِ ْف َرا‬
ِ ‫غ ال ُوس‬
ِ ‫فِي ْال ِكتَا‬
‫ب َوال ُّسنَّ ِة‬
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’
dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang
terkandung) pada Alquran dan sunah.

Kata ijtihad beasal dari kata (jahada), kata ini beserta derivasinya
berarti “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari
berbagai urusan”. Perkataan ini menunjukkan pekerjaan yang sulit
dilakukan atau lebih dari biasa. Secara ringkas, ijtihad berarti sungguh-
sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu.1 Dalam pengertian
inilah, Nabi Muhammad saw. Menggunakan kata ijtihad :

Keutamaan seorang yang alim diatas orang yang bersungguh-sungguh


dalam ibadah (mujtahid) seratus derajat.2.

Rasulullah saw bersungguh-sungguh (yajtahidu) pada sepuluh hari


terakhir untuk melakukan apa yang dikerjakan pada hari-hari lain.3

2.1.1 Definisi ijtihad secara terminologis

Pengertian ijtihad secara istilah pada umumnya banyak dibicarakan


dalam buku-buku usul fiqh. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh
ahli usul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang
1
muhammad Musa Towana, al-Ijtihad : Maza Hajatina Ilaihi fi Haza al-Asr (Dar al-Kutub al – Hdisah,1972), hlm.97.
2
Muqaddimah Sunan ad-Darimi, I:100.
3
Sahih Muslim. I:480.
4
Muhammad Khudari Bik, Usul al-Fiqih (Beirut: Dar al-Fikr,1981), hlm.367.
5
AliYafie,”Posisi Ijtihad dalam Keutuhan Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (Editor), Ijtihad dalam
Sorotan (Bandung: Mizam,1988), hlm. 68.
Halaman |6

ahli fiqh atau mujtahid untuk memperolehpengetahuan tentang hukum-


hukum syara’.4 Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad dalam istilah
usul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat”.5

Ijtihad sebagai sebuah konsep yang menggambarkan usaha


maksimal dalam penalaran, sehingga menghasilkan pendapat pribadi
yang orisinil, dalam perkembangannya telah dibatasi dengan seperangkat
pengertian. Akan tetapi sesuai dengan pembatasan yang dibuat dalam
uraian ini, maka pengertian ijtihad akan dilihat sepanjang pemakaiannya
pada periode awal sejarah islam, tepatnyapada masa-masa Rasulullah dan
sahabat-sahabatnya.

Perkataan Al Ijtihad, seperti yang diuraikan dalam lisan al-Arab,


terambil dari kata Al-Jahd dan Al-Juhd, secara etimologi berarti al-
Thaqah (tenaga,kuasa dan daya), sementara al-Ijtihad dan tenaga” (bazl
al-wus’i wa al-majhud) .

1.1.2 Ijtihad dalam Lintasan Sejarah

Secara historis , ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-


masa awal islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad saw, dan
kemudianberkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-
masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami
pasang surut dan karakteristiknya masing-masing.6 Bahwa ijtihad itu
telah ada sejak zaman Rasul saw, antara lain dapat dilacak dari riwayat
berikut :
Halaman |7

1. Dari Amr ibn al-Asra, ia mendengar Rasul saw. Bersabda ,


“Apabila seorang hakim hendak menatapkan suatu hukum
kemudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka
baginya dua pahala. Dan apabila dia hendak menatapkan
hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya,
maka untuknya satu pahala”.7
2. Pada suatu hari Umar ibn al-Khattab ra menyesali suatu
perbuatannya yang dianggap membatalkan puasa. Dari Umar
ibnal-Khattabra, ia berkata, “Aku memeluk (istriku) dan
kemudian aku menghadap (mendatangi) Rasul saw. Seraya aku
bertanya, “sungguh aku telah melakukan suatu perbuatan yang
luar biasa , (aku mencium istriku) padahal aku tengah
berpuasa .”

6
Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam (Jakarta: INIS, 1991).hlm.45-46
7
Terjemah H.R.al-Bukhari, muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nas’i dan Ibn Majah.
Halaman |8

Rasulullah saw bertanya pada Umar, “bagaimana pendapatmu


kalau engkau berkumur dengan air (sedangkan engkau dalam
keadaan puasa)?” Umar menjawab, “Menurut pendapatku itu
tidak mengapa (tidak membatalkan puasa).” “Kalau
begitu,”kata nabi,”teruskan (puasamu).”8
3. Ada dua orang sahabat Nabi yang sedang dalam perjalanan,
maka mereka berdua salat tanpa wudu dan hanya bertayamum
karena ketiadaaan air. Sesuai menunaikan salat, tiba-tiba
keduanya mendapatkan air. Kemudian yang seorang
mengulangi kembali salatnya karena masih ada waktu salat,
sementara yang lain tidak mengulangi salatanya karena
menganggap salat yang telah ia mengulangi salatnya karena
menganggap salat yang telah ia lakukan tetap sah.9 Ketika
keduanya bertemu dengan Rasul membenarkan kedua pendapat
mereka. Kepada yang mengulangi salatnya Rasul bersabda,
“Pendapatmu sesuai sunah dan salatmu tetap sah” kepada
yang mengulangi salatnya Nabi bersabda, “Untukmu dua kalli
lipatnya ganjaran”.10
4. Sewaktu Rasul saw hendak mengutus Muaz ibn Jabal ra untuk
di qadli (hakim) di daerah Yaman, beliau sempat berdialog
dengan Muaz. “Bagaimana (cara kamu menyelesaikan perkara
jika kepadamu diajukan suatu perkara?)” Muaz menjawab,
“Akan aku putuskan menurut ketentuan hukum yang ada dalam
Kitab Allah?” yang ada dalam sunaah Rasul, “Jawab Muaz
lebih jauh .”Kalau tidak (juga) kamu jumpai dalam sunah
Rasul dan tidak pula dalam kitab Allah?” Nabi mengakhiri
Halaman |9

pertanyaannya. Muaz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan


seksama.” Kemudian Rasul pun mengakhiri dialognya
sambilmenepuk-nepuk dada Mu’az seraya beliau bersabda,
“Segala puji hanya teruntuk Allah yang telah memberikan
petunjuk kepada utusan Rasul-Nya jalan yang diridai Rasul
Allah”.11
H a l a m a n | 10

8
Terjemah H.R. ad-Darimi.
9
Muhammad Amin, “Ijtihad”, hlm.47.
10
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqi’in an Rabb al-Alamin (Berikut : Dar al-Jail, t.t), I:204.
11
Abu Dawud, Suwon Abi Dawud (Mesir: Mustafa al-Babi al-Habibi, 1952), II: 268.
5. Suatu ketika kelompok sahabat Nabi Muhammad saw.
Bepergian dan diantara mereka terdapat ‘Umar ibn al-Khattab
da Mu’az ibn Jabal ra. Di tengah perjalanan datang waktu
shalat subuh, sementara mereka tidak mendapatkan air padahal
mereka dalam keadaan berhadas besar (junub) yang
menyebabkan mereka harus mandi. Mu’az menganalogikan
bersuci dengan debu sama hukumnya dengan bersuci dengan
air, dan atas dasar qiyas itulah ia mengguling-gulingkan seluruh
tubuhnya diatas tanah (padang pasir) untuk bertayamum dan
mengerjakan shalat subuh pada waktunya. Berbeda dengan
ijtihad Muaz, Umar tetap mencari air dan untuk itu beliau
terpaksa mengakhirkan (menunda) shalat subuhnya dari
perjalanan, mereka menanyakan persoalan tersebut kepada
Rasulullah saw Nabi saw menjelaskan bahwa qiyas yang fasid
karena bertentangan dengan ayat dibawah ini,
H a l a m a n | 11

12
yang artinya :
“..... dan jika kamu dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan,
keluar dari tempat buang air atau habis menyentuh wanita
(bersenggama ), kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang baik (suci),
kemudian usaplahmaka dan kedua tanganmu”(QS Al-
Maidah(5):6).

Apabila hadis-hadis diatas dan hadis-hadis lain yang senada


dipertautkan satu dengan yang lalin, maka teranglah bahwa rekayasa
ijtihad pada zaman Nabi Muhammad saw sendiri timbul bukan semata-
mata atas dorongan dan rangsangan dari Nabi sendiri seperti tersurat dan
tersirat dalam hadis pertama dan kedua, melainkan juga lahir atas inisiatif
sebagian sahabat sendiri seperti tercermin dalam riwayat-riwayat ketiga,
keempat, dan kelima.

b. Dasar-dasar ijtihad
H a l a m a n | 12

Sunah betapapun beragam maknanya disepakati sebagai nas bersama


Al-Quran, Sunah adalah dua sumber hukum Islam. Otentitias (keaslian)
alquran diterima dengan penuh keyakinan , dan tidak satupun mazhab
dalam Islam yang meragukan Al-Quran yang mereka baca sekarang ini.
Karena itu, seluruh ayat Al-Quran diriwayatkan secara qat’i atau qat’i
al-subut atau qat’i al-wurud. Sebagian sunah juga diterima secara
meyakinkan (Misalnya, karena jumlah periwayatnya mencapai jumlah
orang yang mustahil bersepakat untuk berdusta). Akan tetapi sebagian
Sunah yang lain hanya diterima pada tingkat dugaan kuat saja. Sunah
jenis kedua ini disebut zanni al-subut.

Sebagian nas menunjukkan hal yang sangat jelas dan disepakati


12
kandungan
Ibn al-qayyim maknanya
al-jauziyah A'lam 1:204 (mujma’ ‘alih), tetapi sebagian lagi menimbulkan
penafsiran yang bermacam-macam (mukhtalaf fih).

Perkataan “al-zaniyat wa alzani” (QS Al-Nur:2) tidak menunjukkan


makna yang berbeda-beda. Akan tetapi kata “lamastum” (QS An-
Nisa:43) dapat diartikan “menyentuh” atau “bersetubuh”. Kata “al-
zaniyat wa al-zani” mengandung penunjukkanyang pasti (qat’i al-
dalalah), sedangkan kata “lamastum” memiliki Al-Quran memberikan
qat’i al-dalalah, walaupun seluruhnya qat’i al-subut. Tak semua zanni al-
dalalah, walau hampir seluruhnya zanni al-subut. Berdasar subut dan
dilalah-nyya kita meneetapkan dua jenis hukum: hukum-hukum qat’i dan
hukum-hukum zanni. Para ulama sepakat bahwa ijtihad hanya boleh
dilakukan pada jenis hukuman yang kedua.

Mengingat pentingnya penjelasan tentang keduanya, kita jelaskan


disini tulisan al-Syaikh Muhammad al-Madani :
H a l a m a n | 13

Jenis pertama : adalah hukum-hukum qat’iat yang ditegaskan oleh


dalil kekukuhannya tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu,
tidak boleh ber-ikhtilaf padanya, tidak boleh ditolak atau diterima
berdasarkan ijtihad para mujtahidin.

Kita dapat membagi jenis pertama ini sebagai berikut :13


1. Akidah yang qat’i, yang wajib diimani karena tegaknya dalil
yang meyakinkan darisegi al-subut-nya dan al-dalalah-nya.
Inilah garis pemisah antara muslim dan bukan muslim. Siapa
yang menolaknya satupun darinya, ia keluar dari ikatan islam.
Misalnya: Tauhid; diutusnya para Rasul; diturunkan kitab-
kitab;ditutupnya kenabian dengan Muhammad saw;
kebangkitan sesudah mati; balasan amal dari hari akhirat;
bahwa Allah bersifat Maha Sempurna, terpelihara dari segala
kekurangan, dan bahwa rasul tidak mungkin berdusta,
menyembunyikan atau khianat; dan lain-lainnya, berupa
akidah-yang dengan itu seorang muslim menjadi muslim, dan
tanpa itu seorang keluar dari islam. Disini tidak boleh orang
berijtihad. Ini adalah hakikat yang tentu, pasti dan abadi, tidak
dikenai perubahan sepanjang masa sampai kari kiamat. Tidak
boleh disini memberikan penafsiran apapun, yang mengubah
atau membatalkannya.
2. Hukum-hukum amaliah yang diperintahkan syariat secara jelas
dan gemblang, berupa tuntutan, larangan, atau pilihan.
Misalnya; wajibnya shalat, zakat,saum Ramadhan, haji bagi
yang mampu, shalat lima waktusehari-semalam, bilangan rakaat
H a l a m a n | 14

tertentu, haramnya membunuh tanpa hak, memakan harta yang


batil, menuduh yang tidak besalah, zina, menimbulkan
kerusakandi bumi, dan sebagainya; juga menghalalkan yang
baik dan mengharamkan yyang jelek, dan seterusnya.
3. Kaidah-kaidah umum, yang diambil dari syariat dengan nas
yang jelas, atau ditarik(di-istimbat) sesudah penelitian yang
seksama, dan diketahui bahwa syariat menjadikannya sebagai
dasar-dasar hukumnya. Misalnya “tidak memudratkan dan tidak
dimudratkan”. Allah tidak menjadikan kesulitan bagimudalam
13
agama,Mawatin
Muhammad al-Madani, “hudud gugur
al-Ijtihad karena
fi al-Syariat kesamaan.”
al-Islamiyah Allah tidak
(Kuwait:Maktabah disembah
al-Manar,t.t).29.

kecuali dengan apa yang disyariatkan,”semua muamalah bebas


kecuali yang dilarang”. Dan sebagainya.

Jenis Kedua: adalah hukum-hukum atau penalaranan yang tidak


di tetapkan secara jelas dan qat’i baik perayatnya maupun artinya.
Hukum-hukum ini dipahami karena adanya isyarat yang menunjuk ke
arah itu, sehingga timbul perbedaan paham,perbedaan perspektif, baik
karena hal yang berkaitan dengan periwayatan ataupunpenunjukkan.
Inilah yang dijadikan syariat tempatijtihad para mujtahidin. Inilah tempat
penalaran, pemikiran pertimbangan pentrjih-an, penjelasan, perkiraan
keselamatan, kebaikan, serta perubahan keaaan. Disini pula timbulnya
ikhtilaf. Contoh-contohnya:14

1. Dibidang ilmu kalam : perbedaan pandangan mengenai qada


dan qadar, takwil tentang wajah, tangan, dan mata Tuhan,
kemungkinan kaum mukminin melihat Allah dan sebagainya.
H a l a m a n | 15

2. Dibidang hukum fiqih : perbedaan fuqaha tentang ukuran


susunan yang diharamkan untuk melakukan ikatan pernikahan,
hukum qisas bagi yang membunuh terpaksa, pernikahan tanpa
izin wali, dan sebagainya.
3. Dibidang kaidah usu dan fiqh yang meng-klasifikasikan
hukum: ikhtilaf tentang nasikh-mansukh dalam Alquran,
mendahulukan hadis ahad daripada qiyas, dan sebagainya.

Pada pemahaman tentang perbedaan yang zanni dan yang qat’i


inilah terletak kendala ijtihad, sehingga ijtihad tak akan mengubah
syariat. Disini terletak kriteria untuk menentukan apakah perbedaan
paham itu masih dalam kerangka Islam (sehingga dapat ditoleransi)
sudah keluar darinya (sehingga tidak dapat diakui lagi). Disini pula
terletak kriteria untuk menentukan kapan kita boleh ber-ikhtilaf 15
H a l a m a n | 16

14
Muhammad al-Madani, Mawatin al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyah (Kuwait:Maktabah al-Manar,t.t hlm. 6-7
15
Ibid halamn 11-12
c. Objek Ijtihad

Menurut imam al-ghazali,setiap hukum syara’ yang tidak memiliki


dalil yang qathi’.Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang
tidak bisa dijadikan objek ijtihad.Dengan demikian, syari’at islam dalam
kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-
hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang
berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban
melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji, dan diharamkan melakukan
zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu ditetapakan hukumnya
didalam al-qur’an dan as-sunah. Kewajiban shalat dan zakat
berdasarkan firman Allah SWT.

ُ ‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوَأ ِطي ُعوا ال َّر‬


َ ‫سو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْر َح ُم‬
‫ون‬ َّ ‫َوَأقِي ُموا ال‬
H a l a m a n | 17

Artinya: ”dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS, an-Nur, 56)”


2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanni, baik maksudnya,
petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum
yang belum ada nashnya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang yang berkeadaannya masih dzanni, maka yang
menjadi lapangan ijtihad antara lain bagaiman maksud dari nash tersebut,
maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti
bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi
lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut,
misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-
lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka
yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-
kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, dan lain-lain namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan
di kalangan para ulama 16

16
Prof, DR, Rachmat syafei, MA, ilmu ushul fiqih(PUSTAKA SETIA Bandung), 106
H a l a m a n | 18

2. Fungsi dan kedudukan ijtihad

Ijtihad tentu juga memiliki fungsi. Namun, sebelum itu, kembali


lagi pada pengertian ijtihad. Menurut mayoritas ulama’ ushul, pengertian
ijtihad ialah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh
atau mujtahid untuk memperoleh ‘pengertian tingkat zhann’ mengenai
suatu hukum syara’ ”.17 Hal ini menunjukan bahwa fungsi ijtihad ialah
untuk mengeluarkan hukum syara’ ‘amaliy yang statusnya zhanniy .18
Arti hukum syara’ ‘amaliy ialah hukum Islam yang yang berhubungan
dengan tingkah laku dan perbuatan umat manusia.19 Sedangkan
pengertian zhanniy sendiri menurut bahasa adalah ragu, dugaan, atau
sangkaan, dan menurut istilah zhanniy ialah apa yang menunjukkan
makna, tetapi mengandung hal-

hal untuk mentakwilkan dan menyimpang dari arti ini, yang di


maksud olehnya ialah arti lain.20

Singkatnya, ijtihad adalah cara untuk menentukan hukum suatu


perkara yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an atau Hadist atau bahkan
telah tercantum pada keduanya namun masih bersifat zhanniy dan tentu
saja tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad,


sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga 
berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan
H a l a m a n | 19

akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.
Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya
disebut Ijma’ atau kesepakatan.

17
Ahmad Azhar Basyir; Munawir Sjadzali; I. Zainal Abidin; Ibrahim Husen; Harun Nasution; Jalaludin Rahmat,
Ijtihad Dalam Sorotan, Mizan, Bandung , 1988, hlm 23.
18
Ibid, hlm 23.
19
Ibid
20
Pengertian Zhanni al-Dalalah, diakses dari http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-zhanni-al-
dalalah.html, pada tanggal 4 September 2014 pukul 06.30 WIB.
H a l a m a n | 20

2.5 Metode dan Hasil Ijtihad

Ada sejumlah metode dalam pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas,


Mashalih Mursalah, Istinbath, Ijma’, dan Istihsan.
A. Qiyas
Qiyas artinya mengukur atau mempersamakan, yakni
memperbandingkan atau mempersamakan hukum suatu perkara dengan
perkara lain berdasarkan persamaan ‘illah (sebab yang mendasari
ketetapan hukum).
Misalnya, arak (khamr) diharamkan karena memabukkan (Q.S.
2:219) dan riba diharamkan karena mengandung unsur penganiayaan
(Q.S. 2:275).
Maka, secara Qiyas, benda dan hal lain pun jika ternyata
memabukkan atau mengandung unsur penganiayaan menjadi haram juga.
Kaidah Ushul Fiqih menyatakan, “Hukum itu berputar menurut ‘illah-
nya”.
B. Mashalih Mursalah.
Mashalih Mursalah adalah melakukan hal-hal yang tidak
melanggar hukum, tidak dianjurkan Quran dan Sunnah, tetapi sangat
diperlukan untuk memelihara kelestarian dan keselamatan agama, akal,
harta, diri, dan keturunan. Misalnya, membukukan dan mencetak Al-
Quran dan Al-Hadits; menggaji muadzin, imam, khotib, dan guru agama,
serta mengadakan perayaan peringatan Hari-Hari Besar Islam.
C. Istinbath
Istinbath yaitu menghukumi suatu perkara setelah
mempertimbangkan permasalahannya. Misalnya soal riba (pembayaran
H a l a m a n | 21

berlebih atas utang atau pinjaman yang disyaratkan pemberi pinjaman).


Bunga pinjaman bank secara istinbath dibolehkan karena pinjaman yang
diberikan bersifar pinjaman-produktif.
Tidak ada illat penganiayaan dalam bunga pinjaman itu karena
pinjaman yang diberikan adalah bukan pinjaman-konsumtif, tetapi untuk
modal usaha atau memperbesar modal perusahaan yang telah berjalan.
Kalau pinjaman itu konsumtif, yakni untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari, maka haram hukumnya bunga yang ada dalam pinjaman itu.
Namun demikian, ada pula pendapat yang tetap mengharamkan
bunga pinjaman-produktif karena tetap mengandung unsur penganiayaan
--bank tidak mau tahu apakah usaha seseorang itu untung atau rugi.
D. Istihsan
Istihsan adalah penetapan hukum dengan penyimpangan dari
hukum umum kepada hukum khusus untuk mencapai kemanfaatan.
Misalnya, menanami tanah wakaf yang diwakafkan untuk pendirian
masjid sambil menunggu biaya pembangunan. Hasilnya dijual dan
disediakan untuk biaya pembangunan masjid.
Contoh lain adalah lupa makan dan minum selagi berpuasa. Hadits
menyebutkan, orang yang berbuat demikian dianjurkan meneruskan
puasanya, tanpa penjelasan batal-tidaknya puasa orang tersebut.
Namun orang yang berwudhu lalu lupa atau tanpa sengaja
mengeluarkan angin, ditetapkan batal wudhunya.
H a l a m a n | 22

E. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara,
meliputi:
·        Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-
sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
·        Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun
tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
·        Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama
tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak
membantahnya. Wallahu a'lam.

3. Perbedaan ijtihad, ittiba’, taqlid dan talfiq

Secara bahasa lafadz ijtihad adalah bentuk mashdar dari


fi’il ijtahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam
bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk
menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalam
Al Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Adapun menurut para ahli ushul
fikih, antara lain Imam Syaukani dan Imam Zarkasyi, ijtihad adalah
mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam)
yang bersifat operasional dengan isthinbath. Menurut Imam al-Amidi,
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan ntuk mencari hukum
Islam yang bersifat Dhanny sampai merasa dirinya tidak mampu mencari
tambahan kemampuannya itu.21
H a l a m a n | 23

2.6.2 Ittiba’
       Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti, sedangkan menurut istilah
adalah Menerima pendapat seseorang dengan mengetahui dasar
dalilnya.22 Masalah ittiba’ adalah masalah yang prinsip, mengingat bahwa
ketetapan Allah terhadap agama adalah bersih dari segala bentuk campur
tangan  al-fikr (pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan)
yang berakibat seseorang dihukumkan al-ihdats fiddini.23
      Ittiba’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
a.       Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua
kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya
dan menjauhi laranganNya.
b.      Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat,
ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin
Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah,
Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat
yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para
Nabi).
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin,
sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam
dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan
sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh
keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan
dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang
dikerjakan.24

21
ENSIKLOPEDI ISLAM 2 Fas Kal, hlm. 183
22
 Drs. H. Chabib Toha MA, Ke-NU-an Ahlussunnah Wal Jama’ah, hlm. 33
23
Berittiba’ kepada Rosul, diakses dari http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/tafseer/24-ber-ittiba’-kepada-
rasul-html, pada tanggal 3 september 2014 pukul 5.33 WIB
24
 Ushul-fiqh, diakses dari http://deriaadlis.blogspot.com/2010/01/ushul-fiqhfiqh-ijtihad-taqlid-ittiba_14.html pada
tanggal 3 September 2014 Pukul 6.10 WIB
H a l a m a n | 24

2.6.3 Taqlid
Taqlid adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti pendapat
seseorang tanpa mengetahui dalilnya.25 Taqlid ialah mengikuti pendapat
seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya.
Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui
dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
       Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :
1.       Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan
ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i
dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum
minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang kewajiban
shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat
dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat
Islam.
Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada
penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak
dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
2.       Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-
masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti
masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal
wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab,
masalah ini memang ada dalilnya dari Al-Qur’an. Tetapi dalilnya perlu
diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh
dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya
H a l a m a n | 25

terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan perbedaan-


perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang
seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.
       Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang
tidak berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil
pendapat atau fatwa dari para mujtahid.
       Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak
wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah,
mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah
25
 Drs. H. Chabib Toha MA, Ke-NU-an Ahlussunnah Wal Jama’ah,, hlm. 32
lain mereka beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini,
jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah,
tidak semestinya kita bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua
masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab
lain.
       Taqlid yang diharamkan ialah :
1. Bertaqlid kepada seseorang tnpa mengindahkan Al-Qur’an dan
sunnah.
2. Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya
berijtihad.26
       Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia
ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid
yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan
Hambali).
       Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat
dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab
H a l a m a n | 26

tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan


dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang
terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam
kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad
Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.27
2.6.4 Talfiq
       Talfiq adalah mengikuti pendapat satu Imam dalam satu masalah
kemudian bertaqlid kepada Imam lain dalam masalah lain.28 Talfiq ialah
mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian
bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh: mengambil
wudlu mengikuti Imam Hanafi dan shalat mengikuti Imam Syafi’i.
       Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :
1.            Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab
dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi
dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini
dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua
 Keunggulan Islam, diakses dari http://syedelee.tripod.com/keunggulanislam/id50.html pada tanggal 3
26

masalah yang
September 2014
27
berbeda.
pukul 07.00 WIB
 Ibid.
28
 Talfiq, diakses dari ml.scribd.com/doc/70383305/Talfiq pada tanggal 3 sepetember 2014 pukul 8.00 WIB

Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai
keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
2.            Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab
dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali
menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak
menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.29
H a l a m a n | 27

       Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab,


misalnya kita di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita
memakai madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum
madzhab tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah dan
bingungngya orang lain, namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah
yang masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus
berkeras diri untuk bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai madzhab
Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki.

4. Syarat-syarat menjadi mujtahid

Tidak semua orang bisa berijtihad atau menjadi mujtahid. Di antara


banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
menlakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kita-
kitab ushul fiqh, yang terpenting ialah :

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an


yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu
membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi SAW
yang berhubungan denagn masalah hukum, dalam arti sanggup
membahas hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan
oleh ijma’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak
bertentangan dengan ijma’.
4. Memliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dapat
menggunakannya untuk istinbath hukum.
H a l a m a n | 28

5. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan


yang benar tentang hukum, dan sanggup
mempertanggungjawabkannya.
1.1 29 Taqlid, pengertian, dan jenisnya, diakses dari http://adiabdullah.wordpress.com/2008/01/24/81/ 3
September pukul 8.20 WIB
6. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab, Al-Qur’an dan
Sunnah, sebagai sumber asasi Hukum Islam, tersusun dalam gaya
bahasa Arab yang sangat tinggi, dan di dalam ketinggian dan
keunikan gaya bahasa inilah, antara lain, terletak segi
kemukjizatan Al-Qur’an.
7. Memiliki pengetahuan mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
Al-Qur’an dan hadis, agar, dalam menggali hukum tidak
mempergunakan ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi yang telah di-
nasakh (hapus).
8. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul al-ayat)
dan latar belakang suatu hadis (asbab al-wurud al-hadist), agar
mampu menggalu hukum secara tepat.
9. Mengetahui sejarah para perawi hadis, supaya dapat menilai
sesuatu hadis: apakah dapat diterima ataukah tidak. Sebab,
penentuan derajat atau nilai suatu hadis bergantung sekali pada
ihwal perawi yang lazim disebut “sanad hadis”. Tanpa mengetahui
sejarah para perawi hadis, tidak mungkin ta’dil dan tarjih
(penyaringan) dapat dilakukan.
10.Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh), sehingga
mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum untuk
menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan digali
hukumnya.30
5. Tingkatan-tingkatan mujtahid
H a l a m a n | 29

Menurut para sarjana usul al-fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi


persyaratan-persyaratan tersebutlah yang berhak menyandang predikat
“mujtahid”. Namum, mereka membedakan derajat para mujtahid ke
dalam beberapa martabat – sejak dari tingkatan tertinggi sampai
peringkat terendah. Beberapa tingkatan mujtahid yang dimaksud adalah :

1. Mujtahid mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-


hukum syariat langusng dari sumbernya yang terpokok mempunya
dasar-dasar istimbat (usul al-istimbat) sendiri, tidak mengikuti
usul al-istimbat mujtahid lain. Mujtahid mustaqil ini yang
30 memiliki kesanggupan untuk meng-istimbat-kan hokum-hukum
Ahmad Azhar Basyir; Munawir Sjadzali; I. Zainal Abidin; Ibrahim Husen; Harun Nasution; Jalaludin Rahmat,
Ijtihad Dalam Sorotan, Mizan, Bandung , 1988, hlm 30.
syariat dari sumbernya yang terpokok (Al-quran dan hadist) tidak
terikat dengan pendapat mujtahid yang lain.
2. Mujtahid muntasin, yakni mujtahid yang dalam meng-istimbat-kan
hukum mengikuti (memilih) usul al-istimbat imam mazzhab
tertentu walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda
pendapat dengan imamnya.
3. Mujtahid mazhab, ialah mujtahid yang tidak meng-istimbat-kan
hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal) akan tetapi dia hanya
membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk
kemudian memilih salah satu pendapat yang dipandang paling
kuat.
4. Mujtahid mustadhil, adalah ulama yang tidak mengadakan tarjih
terhadap pendapat-pendapata yang ada, akan tetapi dia
mengemukaan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan
H a l a m a n | 30

menerangkan mana yang patut dipegang(diikuti) tanpa melakukan


tarjih terlebih dahulu31

31
Muhammad Abu Zahrah, Muhdarah, hlm. 121-128
H a l a m a n | 31

BAB III

PENUTUP

3.1Kesimpulan

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Secara umumnya, ijtihad berarti sungguh-sungguh

atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Dasar dari ijtihad adalah
Sunnah dan Al-Qur’an. Objek ijtihad ada dua macam, yaitu a) syariat
yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan pada
dalil-dalil yang qathi’ b) Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,
yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanni.

Fungsi dari ijtihad sendiri adalah cara untuk menentukan hukum suatu
perkara yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an atau Hadist atau bahkan
telah tercantum pada keduanya namun masih bersifat zhanniy dan tentu
saja tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Ada sejumlah metode dalam pelaksanaan Ijtihad, yakni Qiyas,


Mashalih Mursalah, Istinbath, Ijma’, dan Istihsan

Perbedaan ijtihad, ittiba’ taqlid, dan talfiq adalah jika ijtihad


adalah berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki
dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Qur’an
dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan ittiba adalah menerima
pendapat seseorang dengan mengetahui dasar dalilnya. Sedangkan taqlid
adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa
H a l a m a n | 32

mengetahui dalilnya. Sedangkan talfiq adalah mengikuti pendapat satu


Imam dalam satu masalah kemudian bertaqlid kepada Imam lain dalam
masalah lain

Syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid adalah

1. Mengetahui ilmu al-Qur’an


2. Mengetahui ilmu hadist Nabi SAW
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan
oleh ijma’
4. Mempunyai pengetahuann luas tentang qiyas
5. Mengetahui ilmu logika
6. Menguasai bahsa arab
7. Mengerti soal nasihk-mansukh
8. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dan suatu hadist
9. Mengetahui sejarah para perawi hadist
10.Mengetahui kaidah-kaidah istinbath hukum

Menurut para sarja usul al-fiqh tingkatan mujtahid dari yang tertinggi
hingga terendah adalah sebagai berikut :

1. Mujtahid mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-


hukum syariat langusng dari sumbernya
2. Mujtahid muntasin, yakni mujtahid yang dalam meng-istimbat-kan
hukum mengikuti (memilih) usul al-istimbat imam mazzhab
tertentu
H a l a m a n | 33

3. Mujtahid mazhab, ialah mujtahid yang tidak meng-istimbat-kan


hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal) akan tetapi dia hanya
membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada
4. Mujtahid mustadhil, adalah ulama yang tidak mengadakan tarjih
terhadap pendapat-pendapata yang ada

3.2 Saran

Didalam pembuatan makalah ini mungkin terdapat berbagai kesalahan


dalam penulisan atau pengetahuan, maka kami penulis meminta maaf
kepada pembaca,serta kami selaku penyusun meminta kritik dan saran
sebagai motivasi kami menjadi lebih baik lagi.Semoga makalah ini bisa
bermanfaat dikemudian hari khususnya bagi kami dan umumnya bagi
pembaca. Amien.....
H a l a m a n | 34

DAFTAR PUSTAKA
Minhaji.Akh.2005.Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer.

Yogyakarta: UII-Press.

Sobaruddin, Muhammad. 2000. Ijtihad dalam Islam. Surabaya: Usana


Offset Printing

Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar Ibn Khaththab. Jakarta Utara:CV.


Rajawali

Ibrahim, Hosen. 1998. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung:Mizan

Abdurrachman, Asymuni.1973. Pengantar kepada Ijtihad.

Jakarta:Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai