KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah menganugerahkan rahmat, karunia serta Ridha-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang “Ijtihad Dan
Mujtahid”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dari mata
kuliah Pengelolaan Pendidikan. Makalah ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang kemudian bermamfaat bagi kita.
Selama mengerjakan tugas makalah ini, Saya telah banyak
menerima bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak. Maka pada
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada:
1. Dosen pembimbing yang telah memberikan kami pengarahan, nasihat
dalam pembuatan makalah ini.
2. Orang tua yang telah memberikan dorongan dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
3. Rekan-rekan serta semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan
satu persatu yang telah membantu penyusun dalam pembuatan
makalah ini.
Akhirnya penyusun berharap karya tulis ini dapat berguna dan dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya. Penyusun mengharapkan kritik dan
saran untuk kemajuan di masa-masa mendatang. Atas perhatiannya
penyusun ucapkan terima kasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman |3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada
periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan,
tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai
dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang
itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam
liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak
lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk
menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes,
dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan
ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika
kehidupan yang semakin kompleks
Halaman |4
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
a. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad beasal dari kata (jahada), kata ini beserta derivasinya
berarti “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari
berbagai urusan”. Perkataan ini menunjukkan pekerjaan yang sulit
dilakukan atau lebih dari biasa. Secara ringkas, ijtihad berarti sungguh-
sungguh atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu.1 Dalam pengertian
inilah, Nabi Muhammad saw. Menggunakan kata ijtihad :
6
Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fikih Islam (Jakarta: INIS, 1991).hlm.45-46
7
Terjemah H.R.al-Bukhari, muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nas’i dan Ibn Majah.
Halaman |8
8
Terjemah H.R. ad-Darimi.
9
Muhammad Amin, “Ijtihad”, hlm.47.
10
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqi’in an Rabb al-Alamin (Berikut : Dar al-Jail, t.t), I:204.
11
Abu Dawud, Suwon Abi Dawud (Mesir: Mustafa al-Babi al-Habibi, 1952), II: 268.
5. Suatu ketika kelompok sahabat Nabi Muhammad saw.
Bepergian dan diantara mereka terdapat ‘Umar ibn al-Khattab
da Mu’az ibn Jabal ra. Di tengah perjalanan datang waktu
shalat subuh, sementara mereka tidak mendapatkan air padahal
mereka dalam keadaan berhadas besar (junub) yang
menyebabkan mereka harus mandi. Mu’az menganalogikan
bersuci dengan debu sama hukumnya dengan bersuci dengan
air, dan atas dasar qiyas itulah ia mengguling-gulingkan seluruh
tubuhnya diatas tanah (padang pasir) untuk bertayamum dan
mengerjakan shalat subuh pada waktunya. Berbeda dengan
ijtihad Muaz, Umar tetap mencari air dan untuk itu beliau
terpaksa mengakhirkan (menunda) shalat subuhnya dari
perjalanan, mereka menanyakan persoalan tersebut kepada
Rasulullah saw Nabi saw menjelaskan bahwa qiyas yang fasid
karena bertentangan dengan ayat dibawah ini,
H a l a m a n | 11
12
yang artinya :
“..... dan jika kamu dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan,
keluar dari tempat buang air atau habis menyentuh wanita
(bersenggama ), kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang baik (suci),
kemudian usaplahmaka dan kedua tanganmu”(QS Al-
Maidah(5):6).
b. Dasar-dasar ijtihad
H a l a m a n | 12
14
Muhammad al-Madani, Mawatin al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyah (Kuwait:Maktabah al-Manar,t.t hlm. 6-7
15
Ibid halamn 11-12
c. Objek Ijtihad
16
Prof, DR, Rachmat syafei, MA, ilmu ushul fiqih(PUSTAKA SETIA Bandung), 106
H a l a m a n | 18
akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa.
Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya
disebut Ijma’ atau kesepakatan.
17
Ahmad Azhar Basyir; Munawir Sjadzali; I. Zainal Abidin; Ibrahim Husen; Harun Nasution; Jalaludin Rahmat,
Ijtihad Dalam Sorotan, Mizan, Bandung , 1988, hlm 23.
18
Ibid, hlm 23.
19
Ibid
20
Pengertian Zhanni al-Dalalah, diakses dari http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-zhanni-al-
dalalah.html, pada tanggal 4 September 2014 pukul 06.30 WIB.
H a l a m a n | 20
E. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang suatu perkara,
meliputi:
· Ijma’ Qauli, yaitu para ulama berijtihad bersama-sama atau sendiri-
sendiri tentang suatu masalah lalu memutuskan hukum yang sama.
· Ijma’ ‘Amali, yaitu kesepakatan yang tidak diucapkan namun
tercermin dalam kesamaan sikap dan pengamalan.
· Ijma’ Sukuti, yakni “menyetujui dengan cara mendiamkan”. Ulama
tertentu mengetapkan hukum atas suatu perkara dan ulama lain tidak
membantahnya. Wallahu a'lam.
2.6.2 Ittiba’
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti, sedangkan menurut istilah
adalah Menerima pendapat seseorang dengan mengetahui dasar
dalilnya.22 Masalah ittiba’ adalah masalah yang prinsip, mengingat bahwa
ketetapan Allah terhadap agama adalah bersih dari segala bentuk campur
tangan al-fikr (pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan)
yang berakibat seseorang dihukumkan al-ihdats fiddini.23
Ittiba’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua
kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya
dan menjauhi laranganNya.
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat,
ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin
Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah,
Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat
yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat
dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para
Nabi).
Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin,
sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam
dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan
sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh
keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan
dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang
dikerjakan.24
21
ENSIKLOPEDI ISLAM 2 Fas Kal, hlm. 183
22
Drs. H. Chabib Toha MA, Ke-NU-an Ahlussunnah Wal Jama’ah, hlm. 33
23
Berittiba’ kepada Rosul, diakses dari http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/tafseer/24-ber-ittiba’-kepada-
rasul-html, pada tanggal 3 september 2014 pukul 5.33 WIB
24
Ushul-fiqh, diakses dari http://deriaadlis.blogspot.com/2010/01/ushul-fiqhfiqh-ijtihad-taqlid-ittiba_14.html pada
tanggal 3 September 2014 Pukul 6.10 WIB
H a l a m a n | 24
2.6.3 Taqlid
Taqlid adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti pendapat
seseorang tanpa mengetahui dalilnya.25 Taqlid ialah mengikuti pendapat
seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya.
Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui
dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :
1. Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan
ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i
dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum
minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang kewajiban
shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat
dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat
Islam.
Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada
penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak
dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
2. Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-
masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti
masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal
wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab,
masalah ini memang ada dalilnya dari Al-Qur’an. Tetapi dalilnya perlu
diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh
dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya
H a l a m a n | 25
masalah yang
September 2014
27
berbeda.
pukul 07.00 WIB
Ibid.
28
Talfiq, diakses dari ml.scribd.com/doc/70383305/Talfiq pada tanggal 3 sepetember 2014 pukul 8.00 WIB
Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai
keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
2. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab
dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali
menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak
menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.29
H a l a m a n | 27
31
Muhammad Abu Zahrah, Muhdarah, hlm. 121-128
H a l a m a n | 31
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Secara umumnya, ijtihad berarti sungguh-sungguh
atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Dasar dari ijtihad adalah
Sunnah dan Al-Qur’an. Objek ijtihad ada dua macam, yaitu a) syariat
yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan pada
dalil-dalil yang qathi’ b) Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,
yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanni.
Fungsi dari ijtihad sendiri adalah cara untuk menentukan hukum suatu
perkara yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an atau Hadist atau bahkan
telah tercantum pada keduanya namun masih bersifat zhanniy dan tentu
saja tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Menurut para sarja usul al-fiqh tingkatan mujtahid dari yang tertinggi
hingga terendah adalah sebagai berikut :
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Minhaji.Akh.2005.Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer.
Yogyakarta: UII-Press.
Jakarta:Bulan Bintang