Anda di halaman 1dari 13

Makalah

PUASA WAJIB

Disusun Oleh :

Kelompok 9

Nama : Aqida Sella Nafasya


Nim : 202019043
Semester : 4
Unit : B
Dosen Pembimbing : M. Rezki Andhika, M

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

TEUNGKU DIRUNDENG MEULABOH

ACEH BARAT
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Humanisme................................................ 2


B. Pendidikan Humanis................................................................. 2
C. Konsep Humanisasi Hakikat Pendidikan.................................. 4
D. Orientasi Pendidikan Humanistik............................................. 6
E. Pendidikan Islam dalam Paradigma Pendidikan Humanistik.. . 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 10
B. Saran ......................................................................................... 10

Daftar Pustaka ............................................................................................. 11


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik


dalam diri, maupun komunitas. Oleh karena itu proses pendidikan yang benar
adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi dan
eksploitasi. Pada satu sisi manusia berperan sebagai subjek pendidikan dan pada
sisi yang lain sebagai objek pendidikan. Sebagai subjek pendidikan secara moral
ia bertanggung jawab melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan
nilai-nilai yang dikehendaki oleh manusia dimana pendidikan berlangsung.
Sebagai objek pendidikan, manusia adalah sebagai sasaran pembinaan dalam
melaksanakan proses pendidikan yang pada hakikatnya memiliki pribadi yang
sama dengan manusia dewasa.

Pendidikan tidak sekedar mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik,


tetapi lebih dari itu mentransfer nilai. Selain itu pendidikan merupakan kerja
budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan
daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. untuk
mencapai tujuan di atas, maka pendidikan humanis adalah salah satu bentuk
pendidikan yang harus diterapkan di sebuah lembaga pendidikan. Pendidikan
humanis merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan
kreatif.

Prilaku setiap orang ditentukan oleh orang itu dan memahami manusia
terhadap lingkungan dan dirinya sendiri, memandang manusia sebagai manusia
yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun
karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.Pendidikan yang mengusung
kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintah-paksaan,” tetapi
dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik
lahir maupun batin.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Humanisme

Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda
yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau
isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis
doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas
manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku
bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi
berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat
Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan
mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta
kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan
jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan
nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika.
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka
merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi
perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama.

B. Pendidikan Humanis

Pendidikan Islam mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources


dan human investment.Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuh
kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi
landasan moral dan etik sebagai perekat nilai kemanusiaan dalam pemberdayaan
jati diri bangsa. Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika
hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.

Humanisasi dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan


orang. Dengan kentalnya persaudaraan sesorang cenderung dipahami sebagai
sikap humanisme. Humanismemengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti
kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna
filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir
bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya.
tujuan.Humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada
berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi
manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun.1

Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.31


Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan
berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik
secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia
dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan, dan “penuaan.”
Sedangkan aspek ruhaniah-psikologis manusia melalui pendidikan dicoba
“didewasakan,” disadarkan, dan “di-insânkâmil-kan” melalui pendidikan sebagai
elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang
berkeadaban.

Cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan among. Ada dua hal
yang mendasari adanya pendekatan tersebut. Pertama, kemerdekaan sebagai
syarat untuk meng- hidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir maupun batin,
hingga dapat hidup merdeka. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk
menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-
baiknya.2

1
Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj.
A.Widya Martaya (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.66.
2
8Fadjar, Holistika, h.183. Lihat juga Fadjar, Tinta, h. 156.
Berangkat dari kenyataan masih lebarnya jurang perbedaan antara tuntutan
dunia abad ke-21 akan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta
sikap, kepribadian, dan moral manusia Indonesia pada umumnya dengan
kemampuan dan sikap manusia Indonesia pada umumnya agar Indonesia dapat
mendudukkan diri secara bermartabat dalam masyarakat dunia di era globalisasi
ini. Pendidikan Islam dan pembangunan kebudayaan harus mampu
menyelenggarakan dan menciptakan proses pendidikan atau suasana pendidikan
yang dapat mengembangkan dan membudayakan kemampuan, sikap, kepribadian
dan watak yang humanis dalam menghadapi persaingan dan tantangan zaman.
Hanya dengan pendidikan yang relevan dan bermutu maka Islam akan mampu
mengembangkan IPTEK dan kebudayaan serta mewujudkan masyarakat yang
maju, demokratis, berbudaya, adil dan makmur dalam bingkai pendidikan Islam.3

Olehkarena itu, teman sebaya adalah pendidik yang kerap kali berdayaguna
dan berhasil guna di masyarakat. Sudah sejak masa kecil, apalagi masa remaja dan
sampai ke alam dewasa, teman sebaya amat penting dalam proses kehidupan.
Sebab pendidikan terbaik masuk ke hati sanubari seseorang dengan teman sebaya,
amat sering mengenali sampai lahir-batin. Teman sebaya juga yang dapat
mengenali dengan lebih baik dibanding orang lain, nilai-nilai yang sungguh
dijunjung tinggi seseorang, bukan hanya “dikatakan dijunjung tinggi”. Teman
sebaya dapat ditemukan dalam lingkungan pergaulan seorang manusia, sejak kecil
sampai dewasa.Mereka ini ada dalam keluarga, yaitu kakak-adik. Mereka juga ada
dalam lingkungan sekolah, di kampung, dalam organisasi, atau dalam lingkup
pekerjaan dan lembaga keagamaan. Sekarang terbuka kemungkinan untuk
memperoleh teman sebaya melalui radio dan televisi serta internet. Hampir tidak
terbatas potret untuk memperoleh teman sebaya, yang berpengaruh baik maupun
buruk.

C. Konsep Humanisasi Hakikat Pendidikan

3
Winarno Surakhman, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan (Yogyakarta:
Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003).
Secara umum pendidikan bertujuan membantu manusia untuk mendapatkan
eksistensi kemanusiaannya secara utuh. Pendidikan juga bertujuan untuk
menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Unsur yang paling
membedakan manusia dengan hewan adalah anugerah akal yang telah diberikan
oleh Allah. Dengan begitu hanya manusia yang mengalami proses pendidikan.
Manusia dalam pandangan kaum eksistensialis merupakan makhluk yang
dilahirkan ke dunia dalam keadaan tak berdaya dan ia terpaksa bertanggung jawab
terhadap eksistensinya.4

Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang diberikan akal untuk berpikir,
pendidikan tentu akan menjadi jalan bagi manusia dalam upaya maksimalisasi
potensi yang diberikan tersebut. Pendidikan akan menjadi landasan manusia
dalam bersikap dan bertindak dalam proses hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Sehingga diharapkan mampu hidup dalam keseimbangan. Pendidikan bukan
hanya dalam konteks sekolah-sekolah formal seperti yang kita kenal selama ini.
Namun, pendidikan lebih dari sekedar paham seperti itu. Pendidikan bukan hanya
proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan merupakan sebuah kemampuan
manusia untuk mengenal potensi dirinya sendiri dan mampu mengembangkan
potensi tersebut, sehingga pada akhirnya manusia dengan kemampuan dan
kesadarannya, menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat.5

Namun pertanyaan kita kemudian, kesalahan apa yang mendasari fenomena


pendidikan kita saat ini?. Tentunya dalam konteks ke-islam-an dan ke-
indonesiaan. Fenomena-fenomena yang sudah dijelaskan pada pendahuluan di
atas sedikit melukis wajah pendidikan kita di Indonesia yang begitu sangat
memperihatinkan. Para pemikir pendidikan menilai bahwa ini adalah akibat
menjamurnya praktek pengekangan dan deksriminatif atas kebebasan anak didik.
Dehumanisasi juga bisa terlukis pada praktek-praktek pendidikan formal.11
“Kesewenangan” guru di dalam dunia pendidikan kita sekarang ini makin

4
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
hal. 20
5
McRobert Lewis. Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future.
Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2): 2016, 137-146.
mengakar. Proses doktrinasi yang seakan-akan menganggap bahwa murid atau
anak didik adalah sebuah wadah yang hanya dan harus menerima apa yang
disampaikan guru, tanpa memberi kesempatan kepada anak didik untuk menelaah
dan menolak. Ini tidak hanya terjadi di dalam pendidikan formal yang berbasis
umum, namun juga terjadi dalam dunia pedagogi islam. Masih banyak lembaga
dan institusi pendidikan islam yang cenderung menggunakan metode doktrinisasi
yang berakibat lahirnya pelajar-pelajar muslim yang monoton dan tidak dinamis
dalam mengkaji ilmuilmu agama maupun ilmu umum.

Pada dasarnya ketika kita bicara tentang hakikat pendidikan tentu tidak lepas
membicarakan unsur hakikat manusia. Berdasarkan dua aliran besar yang
memiliki pendapat tentang hakikat manusia ini, aliran idelisme spritualisme dan
materalisme, H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho menyimpulkan bahwa ada beberapa
poin perihal hakikat manusia. Di antaranya:

a. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat mewujudkan


kemanusiaannya yang berbeda dengan dunia binatang karena manusia itu
adalah makhluk yang memerlukan pendidikan.
b. Manusia adalah animal educabili, yang berarti bahwa manusia mempunyai
potensi untuk dididik atau dikembangkan.
c. Manusia adalah makhluk sosial. Meski dalam kelompoknya binatang juga
mengenal kehidupan sosial, itu tidak sama halnya dengan hubungan
antarmanusia yang mengenal nilai-nilai etika, baik-buruk.

Beberapa rumusan proses pendidikan. H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho


mengklasifikasikan pada beberapa proses. Di antaranya adalah bahwa pendidikan
itu sebagai transmisi kebudayaan, pengembangan kepribadian, pengembangan
akhlak mulia serta religius, mempersiapkan pekerja-pekerja yang terampil dan
produktif, pengembangan pribadi paripurna atau seutuhnya dan pembentukan
manusia baru.6

D. Orientasi Pendidikan Humanistik


6
McRobert Lewis. Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future.
Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2): 2016, 22-42
Wawasan humanisme dalam pendidikan mengusung prinsip pemberdayaan
tiap manusia sebagai individu yang bebas untuk mengembangkan potensinya. Itu
artinya pendidikan diadakan untuk mengelola dan mengembangkan diri manusia
agar menjadi manusia yang utuh sesuai kodrat fitrah yang dimilikinya, setidaknya
ada dua karakter utama orientasi pendidikan yang berkembang sejak abad
pertengahan hingga kini. Pertama, orientasi mencari kebenaran. Pendidikan
dilakukan untuk mencari kebenaran sejati. ini merupakan orientasi pendidikan
skolastik. Kedua, Orientasi pengabdian masyarakat, pendidikan diposisikan
sebagai upaya penyejahteraan masyarakat. Pengabdian masyarakat juga bisa
berarti pendidikan dilakukan hanya untuk kepentingan manusia, inilah akar visi
humanisme yang tersirat dalam paradigma pendidikan ini.7

Pendidikan yang memang dibutuhkan agar manusia menjadi cakap dan


mandiri untuk mengatasi masalah-masalah baik masalah pribadi maupun sosial.
Pendidikan humanis ini berupaya membentuk keselarasan jiwa dan badan untuk
mencapai keutamaan. Kesempurnaan jiwa dan badan akan terbentuk dengan
memperlihatkan dua aspek penting, Intelektualitas dan Spiritualitas. Dengan kata
lain seluruh upaya pendidikan diarahkan pada pengembangan kepribadian yang
mencakup olah pikir, olah karsa dan olah cipta, demikian adalah pola
pengembangan individual manusia.8

Namun demikian tidak melupakan peran manusia sebagai bagian integral


masyarakat, seorang individu akan selalu terikat dengan hubungan interpersonal
dengan individu lainnya, untuk itulah pendidikan humanistik tidak bisa
mengesampingkan dimensi sosial manusia.

Sebagai makhluk rasional yang memiliki kebebasan dalam berpikir manusia


senantiasa berkeinginan untuk menghasilkan sesuatu yang baik dalam
pandangannya, baik untuk dirinya maupun untuk banyak orang, akan tetapi
kebaikan dalam pandangan tiap manusia bersifat relatif dan sering kali tidak sama,

7
Quthfi Mu’arif, Menggali akar visi humanis Liberal Art membentuk manusia berparadigma
holistik, dalam Jurnal Edukasi vol viii/nomor 1/2011. hlm.42.
8
Quthfi Mu’arif, Menggali akar visi humanis Liberal Art membentuk manusia berparadigma
holistik, dalam Jurnal Edukasi vol viii/nomor 1/2011. hlm.44
bahkan boleh dikatakan kebaikan dalam pandangan manusia itu sebanyak jenis
dan jumlah manusia itu sendiri, dari situ sering kali menimbulkan perbedaan
pendapat. Perbedaan inilah yang kemudian mesti disikapi dengan positif, karena
dengan berpikir dan bersikap positif akan memunculkan ide-ide baru yang lebih
baik. Dalam menghadapi ragam ide dalam kehidupan manusia tentu sering
menghadapi masalah, sebab sebagai makhluk rasional manusia memiliki
kehendak dan arah berpikir dan kreasinya sendiri. Dalam pada itu manusia
senantiasa menuntut perkembangan yang lebih baik dan memudahkan untuk
kehidupannya. Itulah mengapa manusia juga disebut dengan makhluk hadap
masalah, dalam rangka itulah pendidikan humanitik mengorientasikan proyek
kerjanya. Yaitu agar manusia senantiasa cakap dan sigap serta dewasa dalam
menghadapi permasalahan hidup terkait dirinya sendiri maupun dengan
lingkungannya.

E. Pendidikan Islam dalam Paradigma Pendidikan Humanistik

Menciptakan pendidikan Islam yang humanis berarti memformat pendidikan


yang mampu menyadarkan nalar kritis peserta didik masyarakat muslim agar tidak
jumud dengan hanya berpasrah menerima apa yang sudah ada dan terlaku sebagai
budaya yang lestari di lingkungannya. Tapi juga mampu mendialogkan dengan
perkembangan zaman yang ditengarai dengan maraknya teknologi serta pesatnya
laju perkembangan ilmu pengetahuan di segala penjuru yang kian hari kian
mengasingkan. Kenyataan ini harus bisa dimengerti oleh setiap peserta didik yang
hidup di era global. Prinsip belajar pun harus bisa diselaraskan dengan
perkembangan. Sebab jika tidak pada nantinya manusia akan jauh tertinggal dan
terasingkan.

Praktik-praktik pengajaran di beberapa sekolah seperti pengajaran verbal,


yang mana garis besarnya hanya dikte, diktat, hafalan, tanya jawab yang
ujungujungnya hafalan yang ditagih melalui evaluasi tes tertulis harus segera
direnovasi. Sebab jika demikian adanya berarti pendidikan belum mendidik siswa
untuk mampu menghayati dan berpikir kritis terhadap nilai-nilai yang ada dalam
kandungan materi yang diajarkan, namun hanya sebatas pelanggengan status quo
yang dimapankan. padahal dalam Islam penghayatan pada esensi materi adalah
titik tolak nilai pendidikannya di mana penghayatan itu akan berimplikasi pada
sikap dan amaliah peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Penghayatan itu
juga yang akan mengantar peserta didik agar dapat hidup selaras di tengah
maraknya arus teknologi.9

Di samping itu, sedikit menilik pada sebuah kenyataan sejarah, Jika dirujuk
kembali pada masa kejayaan Islam (abad 8-11), berpikir kritis telah menjadi
sebuah simbol masa keemasannya. Kesadaran kritis dalam berparadigma menjadi
sumber lahirnya cendekiawan-cendekiawan muslim termasyhur seperti Imam
Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, imam empat madzhab dan imam-imam
kenamaan lainnya. Kesadaran kritis para cendekiawan muslim itu telah banyak
menyumbangkan keilmuan kepada dunia modern, hingga kemudian pasca abad 11
Islam mengalami kemunduran yang ditengarai adanya kebekuan ijtihad.
Kemunduran ini menyebabkan era keemasan beralih ke tangan bangsa barat.

Menyikapi hal ini, tidak perlu memperebutkan kembali sebuah kejayaan yang
akan diakui menjadi milik siapa, namun permasalahannya bagaimana pendidikan
Islam mampu mengulang dan mengemaskan kembali kejayaan pendidikan Islam
pada masa sejarah yang pernah berada di puncak keemasannya, yang mana
daripada itu akan membuahkan generasi muslim yang mampu mengeksplorasi dan
mengaktualisasikan pemikirannya secara aplikatif, sehingga akan terjalin
harmonisasi yang selaras antara perkembangan jaman dengan paradigma Islam
berbasis humanisme-teosentris.

Humanisme Teosentris merupakan dua konsep yang saling terkait menjadi


satu kesatuan tak terpisahkan atas dasar pemahaman bahwa Islam adalah agama
yang sangat Humanis berdasarkan ke Tauhidan, maka harus ada kurikulum yang
menjembatani antara Ketauhidan dan juga keilmuan yang non agama. Oleh karena
itu. maka perlu adanya pembaharuan dalam kurikulum sesuai dengan

9
Charlene Tan. Educative Tradition and Islamic School in Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun,
3(3): 2015, 417-430
perkembangan. Begitu juga memperbaharui paradigma yang melandasi
pelaksanaan pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan humanis memandang manusia sebagai manusia, yaitu sebagai


makhluk ciptaan Tuhan dengan fithrah-fithrah tertentu. Manusia yang manusiawi
yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanis diharapkan bisa berfikir, merasa,
berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa
mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang
sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat
ingin mencari kesamaan, dan lain sebagainya. Pendidikan humanis dalam bingkai
pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik,
mandiri, dan kreatif. Memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan
Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri
manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan
hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen
secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya memperkaya setiap
individu dengan tetapmempertimbangkanperbedaan antara masing-masing
pribadi.

B. Saran
Dengan pendidikan semoga membantu membangkitkan dan
membimbing potensi tersebut agar terbentuk dan dapat dioptimalkan secara baik
oleh peserta didik agar peserta mampu dapat mengenali siapa dirinya,
lingkungannya dan tuhannya, sehingga ia menjadi pribadi yang cerdas secara akal,
10
Peter Kaylene & Tressa Lawrence Rosone. Multicultural Perspective on the Motivation of
Students in Teaching Physical Education. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(1): 2016, 115-126
cerdas secara emosi, dan cerdas secara spiritual. Dengan demikian peserta didik
akan tumbuh menjadi seseorang yang mencintai sesama manusia, mencintai alam
dan akan menambah ketakwaan dan keimanannya kepada Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-‘Aliyât,”


dalam Imarah, al-A‘mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad ‘Abduh.Bairut: al-
Muassasah al-‘Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nashr, 1972, Juz III.

Al-Abrasyi,Muhammad Athiyah. Al-Ittijahât al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah.


Mesir: Isa al-Bâbi al-Halabi, t.t..

Lewis, M. (2016). Character Education as the Primary Purpose of Schooling


for the Future. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2), 137-146.

Meraj, M. A. (2016). Islamic Approach to The Environment and The Role's


in The Environment Protected. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(1), 1-14.

Moussa, Muhammad Youseef. (1279 H). Islam and Humanity’s Need of It


(Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs.

Mu’arif, Quthfi. (2011). Menggali akar visi humanis Liberal Art membentuk
manusia berparadigma holistik, dalam Jurnal Edukasi vol viii/nomor 1/2011.

Tilaar, H.A.R. & Riant Nugroho. (2012). Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai