PUASA WAJIB
Disusun Oleh :
Kelompok 9
ACEH BARAT
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .............................................................................. 10
B. Saran ......................................................................................... 10
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prilaku setiap orang ditentukan oleh orang itu dan memahami manusia
terhadap lingkungan dan dirinya sendiri, memandang manusia sebagai manusia
yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun
karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.Pendidikan yang mengusung
kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintah-paksaan,” tetapi
dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik
lahir maupun batin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Humanisme
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda
yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau
isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis
doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas
manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku
bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi
berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat
Kristen garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan
mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta
kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan
jatuhnya kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan
nilai seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika.
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka
merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi
perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama.
B. Pendidikan Humanis
Cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan among. Ada dua hal
yang mendasari adanya pendekatan tersebut. Pertama, kemerdekaan sebagai
syarat untuk meng- hidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir maupun batin,
hingga dapat hidup merdeka. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk
menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-
baiknya.2
1
Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj.
A.Widya Martaya (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.66.
2
8Fadjar, Holistika, h.183. Lihat juga Fadjar, Tinta, h. 156.
Berangkat dari kenyataan masih lebarnya jurang perbedaan antara tuntutan
dunia abad ke-21 akan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta
sikap, kepribadian, dan moral manusia Indonesia pada umumnya dengan
kemampuan dan sikap manusia Indonesia pada umumnya agar Indonesia dapat
mendudukkan diri secara bermartabat dalam masyarakat dunia di era globalisasi
ini. Pendidikan Islam dan pembangunan kebudayaan harus mampu
menyelenggarakan dan menciptakan proses pendidikan atau suasana pendidikan
yang dapat mengembangkan dan membudayakan kemampuan, sikap, kepribadian
dan watak yang humanis dalam menghadapi persaingan dan tantangan zaman.
Hanya dengan pendidikan yang relevan dan bermutu maka Islam akan mampu
mengembangkan IPTEK dan kebudayaan serta mewujudkan masyarakat yang
maju, demokratis, berbudaya, adil dan makmur dalam bingkai pendidikan Islam.3
Olehkarena itu, teman sebaya adalah pendidik yang kerap kali berdayaguna
dan berhasil guna di masyarakat. Sudah sejak masa kecil, apalagi masa remaja dan
sampai ke alam dewasa, teman sebaya amat penting dalam proses kehidupan.
Sebab pendidikan terbaik masuk ke hati sanubari seseorang dengan teman sebaya,
amat sering mengenali sampai lahir-batin. Teman sebaya juga yang dapat
mengenali dengan lebih baik dibanding orang lain, nilai-nilai yang sungguh
dijunjung tinggi seseorang, bukan hanya “dikatakan dijunjung tinggi”. Teman
sebaya dapat ditemukan dalam lingkungan pergaulan seorang manusia, sejak kecil
sampai dewasa.Mereka ini ada dalam keluarga, yaitu kakak-adik. Mereka juga ada
dalam lingkungan sekolah, di kampung, dalam organisasi, atau dalam lingkup
pekerjaan dan lembaga keagamaan. Sekarang terbuka kemungkinan untuk
memperoleh teman sebaya melalui radio dan televisi serta internet. Hampir tidak
terbatas potret untuk memperoleh teman sebaya, yang berpengaruh baik maupun
buruk.
3
Winarno Surakhman, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan (Yogyakarta:
Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003).
Secara umum pendidikan bertujuan membantu manusia untuk mendapatkan
eksistensi kemanusiaannya secara utuh. Pendidikan juga bertujuan untuk
menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Unsur yang paling
membedakan manusia dengan hewan adalah anugerah akal yang telah diberikan
oleh Allah. Dengan begitu hanya manusia yang mengalami proses pendidikan.
Manusia dalam pandangan kaum eksistensialis merupakan makhluk yang
dilahirkan ke dunia dalam keadaan tak berdaya dan ia terpaksa bertanggung jawab
terhadap eksistensinya.4
Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang diberikan akal untuk berpikir,
pendidikan tentu akan menjadi jalan bagi manusia dalam upaya maksimalisasi
potensi yang diberikan tersebut. Pendidikan akan menjadi landasan manusia
dalam bersikap dan bertindak dalam proses hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Sehingga diharapkan mampu hidup dalam keseimbangan. Pendidikan bukan
hanya dalam konteks sekolah-sekolah formal seperti yang kita kenal selama ini.
Namun, pendidikan lebih dari sekedar paham seperti itu. Pendidikan bukan hanya
proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan merupakan sebuah kemampuan
manusia untuk mengenal potensi dirinya sendiri dan mampu mengembangkan
potensi tersebut, sehingga pada akhirnya manusia dengan kemampuan dan
kesadarannya, menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat.5
4
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
hal. 20
5
McRobert Lewis. Character Education as the Primary Purpose of Schooling for the Future.
Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2): 2016, 137-146.
mengakar. Proses doktrinasi yang seakan-akan menganggap bahwa murid atau
anak didik adalah sebuah wadah yang hanya dan harus menerima apa yang
disampaikan guru, tanpa memberi kesempatan kepada anak didik untuk menelaah
dan menolak. Ini tidak hanya terjadi di dalam pendidikan formal yang berbasis
umum, namun juga terjadi dalam dunia pedagogi islam. Masih banyak lembaga
dan institusi pendidikan islam yang cenderung menggunakan metode doktrinisasi
yang berakibat lahirnya pelajar-pelajar muslim yang monoton dan tidak dinamis
dalam mengkaji ilmuilmu agama maupun ilmu umum.
Pada dasarnya ketika kita bicara tentang hakikat pendidikan tentu tidak lepas
membicarakan unsur hakikat manusia. Berdasarkan dua aliran besar yang
memiliki pendapat tentang hakikat manusia ini, aliran idelisme spritualisme dan
materalisme, H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho menyimpulkan bahwa ada beberapa
poin perihal hakikat manusia. Di antaranya:
7
Quthfi Mu’arif, Menggali akar visi humanis Liberal Art membentuk manusia berparadigma
holistik, dalam Jurnal Edukasi vol viii/nomor 1/2011. hlm.42.
8
Quthfi Mu’arif, Menggali akar visi humanis Liberal Art membentuk manusia berparadigma
holistik, dalam Jurnal Edukasi vol viii/nomor 1/2011. hlm.44
bahkan boleh dikatakan kebaikan dalam pandangan manusia itu sebanyak jenis
dan jumlah manusia itu sendiri, dari situ sering kali menimbulkan perbedaan
pendapat. Perbedaan inilah yang kemudian mesti disikapi dengan positif, karena
dengan berpikir dan bersikap positif akan memunculkan ide-ide baru yang lebih
baik. Dalam menghadapi ragam ide dalam kehidupan manusia tentu sering
menghadapi masalah, sebab sebagai makhluk rasional manusia memiliki
kehendak dan arah berpikir dan kreasinya sendiri. Dalam pada itu manusia
senantiasa menuntut perkembangan yang lebih baik dan memudahkan untuk
kehidupannya. Itulah mengapa manusia juga disebut dengan makhluk hadap
masalah, dalam rangka itulah pendidikan humanitik mengorientasikan proyek
kerjanya. Yaitu agar manusia senantiasa cakap dan sigap serta dewasa dalam
menghadapi permasalahan hidup terkait dirinya sendiri maupun dengan
lingkungannya.
Di samping itu, sedikit menilik pada sebuah kenyataan sejarah, Jika dirujuk
kembali pada masa kejayaan Islam (abad 8-11), berpikir kritis telah menjadi
sebuah simbol masa keemasannya. Kesadaran kritis dalam berparadigma menjadi
sumber lahirnya cendekiawan-cendekiawan muslim termasyhur seperti Imam
Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, imam empat madzhab dan imam-imam
kenamaan lainnya. Kesadaran kritis para cendekiawan muslim itu telah banyak
menyumbangkan keilmuan kepada dunia modern, hingga kemudian pasca abad 11
Islam mengalami kemunduran yang ditengarai adanya kebekuan ijtihad.
Kemunduran ini menyebabkan era keemasan beralih ke tangan bangsa barat.
Menyikapi hal ini, tidak perlu memperebutkan kembali sebuah kejayaan yang
akan diakui menjadi milik siapa, namun permasalahannya bagaimana pendidikan
Islam mampu mengulang dan mengemaskan kembali kejayaan pendidikan Islam
pada masa sejarah yang pernah berada di puncak keemasannya, yang mana
daripada itu akan membuahkan generasi muslim yang mampu mengeksplorasi dan
mengaktualisasikan pemikirannya secara aplikatif, sehingga akan terjalin
harmonisasi yang selaras antara perkembangan jaman dengan paradigma Islam
berbasis humanisme-teosentris.
9
Charlene Tan. Educative Tradition and Islamic School in Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun,
3(3): 2015, 417-430
perkembangan. Begitu juga memperbaharui paradigma yang melandasi
pelaksanaan pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Dengan pendidikan semoga membantu membangkitkan dan
membimbing potensi tersebut agar terbentuk dan dapat dioptimalkan secara baik
oleh peserta didik agar peserta mampu dapat mengenali siapa dirinya,
lingkungannya dan tuhannya, sehingga ia menjadi pribadi yang cerdas secara akal,
10
Peter Kaylene & Tressa Lawrence Rosone. Multicultural Perspective on the Motivation of
Students in Teaching Physical Education. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(1): 2016, 115-126
cerdas secara emosi, dan cerdas secara spiritual. Dengan demikian peserta didik
akan tumbuh menjadi seseorang yang mencintai sesama manusia, mencintai alam
dan akan menambah ketakwaan dan keimanannya kepada Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Mu’arif, Quthfi. (2011). Menggali akar visi humanis Liberal Art membentuk
manusia berparadigma holistik, dalam Jurnal Edukasi vol viii/nomor 1/2011.