Dosen Pengampu
Disusun Oleh
Puri Puspita Loka
153200098
Ilmu Komunikasi C
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjat kan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan tidak pula shalawat penulis lantunkan kepada
junjungan tetringgi, Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah
yang berjudul “PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK
BERSENJATA DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER (Studi Kasus Dugaan
Pelanggaran HAM oleh Israel di Sheikh Jarrah)” sebagai syarat untuk memenuhi syarat
pengumpulan tugas mata kuliah Sistem Hukum Indonesia dengan baik dan optimal.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkonstribusi
dan memberikan dukungan dalam penyusunan makalah ini. Tentu saja makalah ini tidak akan
mendapatkan hasil yang optimal apabila tidak ada bimbingan dari dosen mata kuliah Sistem
Hukum Indonesia, yaitu Ibu Catur Sugiarti, S. H., M. H.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini baik
dari segi isi, sistematika, maupun bahasa. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis
menerima segala kritik dan saran dari pembaca sebagai evaluasi kedepannya. Penulis berharap
makalah yang telah disusun ini dapat memberikan manfaat, konstribusi, dan inspirasi terutama
mengenai Sistem Hukum Indonesia.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
2.1 Pelanggaran Hak Asasi Manusia Ditinjau dari Hukum Humaniter ................................. 4
2.3 Hukum Humaniter mengatur tindakan pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata ..... 8
2.4 Pelanggaran HAM yang dilakukan Isreal di ditinjau dari Hukum Humaniter ............... 12
2.4.2 Pelanggaran HAM Israel di Sheikh Jarrah dalam Hukum Humaniter .................... 13
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
DenHaag 1907 dengan dilengkapi Protokol Tambahan 1977. Hukum Humaniter befungsi
untuk membatasi pertingkaian bersenjata, cara, dan metode perang yang dilakukan.
Hukum Humaniter Internasional memiliki keterkaitan dengan Hukum Hak Asasi
Manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain meskipun memiliki sumber dasar
yang berbeda. Apalagi dalam konteks kondisi konflik bersenjata. Kedua nya memiliki
tujuan yang sama yaitu memberikan perlindungan terhadap rakyat. Meskipun hukum
mengenai peperangan telah diatur, namun tidak sedikit pula terjadi pelanggaran dalam
konflik bersenjata yang membenarkan penggunaan kekerasan oleh pihak yang bersengketa
demi mewujudkan keberhasilan dalam perang, tanpa memperhatikan perikemanusiaan dan
menimbulkan penderitaan yang tidak perlu sehingga telah terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia.
Pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan salah satunya terjadi dalam konflik Israel dan
Palestina yang terjadi pada Mei 2021. Awal mula konflik terjadi saat malam bulan
Ramadhan 1442 Hijriyah, sekelompok militer Israel secara tiba-tiba menyerang tempat
ibadah disaat warga Palestina menetap di Al-Aqsa setelah sholat sebagai bentuk protes
rencana Israel mengusir warga Palestina dari rumah dan lingkungan mereka di Sheikh
Jarrah. Pada Oktober 2020, pengadilan Israel memutuskan bahwa beberapa keluarga
Palestina yang tinggal di Sheikh Jarrah akan digusur pada Mei 2021 dengan tanah mereka
diserahkan kepada keluarga Yahudi yang ditolak oleh warga Palestina. Polisi Isreal
melakukan penyerangan menggunakan granat kejut, peluru karet, meriam air yang
menyebabkan korban terhadap warga sipil, yaitu lebih dari 200 warga Palestina terluka.
Koflik tersebut memanas ketika serangan tersebut dibalas oleh Hamas yang kemudian
menimbulkan serangan udara dari kedua pihak menyebabkan rusaknya rumah dan fasilitas
umum seperti sekolah, rumah sakit, dan jalan-jalan
Pengusiran paksa yang dilakukan Isreal telah melanggar hak asasi manusia warga
negara Palestina serta melanggar Hukum Humaniter dan termasuk kejahatan perang.
Yerussalem Timur merupakan bagian dari wilayah Palestina sehingga memindahkan
warga sipil dari wilayah yang diduduki adalah pelanggaran pidana di bawah hukum
internasional.
Konflik bersenjata dan perebutan wilayah telah melanggar Hak Asasi Manusia serta
telah terjadi pelanggaran dalam kode etik perang dimana seharusnya tidak boleh
melibatkan warga sipil. Kemanusiaan harusnya menjadi sebuah unsur yang begitu penting
dan harus ditempatkan di atas kekuatan senjata. Namun, yang terjadi di Sheikh Jarrah
konflik bersenjata menjadi prioritas utama tanpa dan mengesampingkan kemanusiaan.
2
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan pembahasan dengan judul
“PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA
DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER (Studi Kasus Dugaan Pelanggaran HAM
oleh Israel di Sheikh Jarrah)”.
1. Untuk mengetahui pelanggaran Hak Asasi Manusia ditinjau dari Hukum Humaniter.
2. Untuk mengetahui Hukum Humaniter mengatur tindakan HAM dalam konflik
bersenjata.
3. Untuk mengetahui pelanggaran HAM yang dilakukan Isreal di Palestina ditinjau dari
Hukum Humaniter.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Hak Asasi Manusia untuk saat ini, masa depan, perjanjian dan instrument hukum
lainnya. Peraturan atas Hak Asasi Manusia ada agar hak-hak setiap manusia tidak
dilanggar dan dihormati baik secara nasional maupun internasional.
5
yang terjadi. Jean Pictet mengemukakan bahwa Hukum Humaniter memiliki dua
cabang, yaitu Den Haag dan Jenewa.
1. Hukum Den Haag
Hukum Den Haag merupakan hukum humnaiter yang membahas
mengenai metode dan sarana perang. Den Haag merupakan hasil dari
Konferensi Perdamaian Pertama yang diadakan tahun 1889 dan Konferensi
Perdamaina Kedua yang diadakan tahun 1907. Konvensi Den Haag
menghasilkan tiga konvensi yaitu:
a. Konvensi Penyelesaian Sengketa Konflik Internasional.
b. Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
c. Konvensi Adaptasi Prinsip-Prinsip Konvensi Jenewa 22 Agustus tentang
Hukum Perang di Laut. Sedangkan Konvensi Den Haag tahun 1907
menghasilkan tentang penyelesaina sengketa internasional.
2. Konvensi Jenewa
Hukum Jenewa mengatur perlindungan korban perang dan memiliki
empat perjanjian pokok yaitu:
a. Kovensi Jenewa untuk perbaikan kondiis yang terluka dan sakit di
Angkatan bersenjata di lapangan.
b. Konvensi Jenewa untuk perbaikan kondisi Anggota Angkatan Bersenjata
yang terluka, sakit, dan karam di laut.
c. Konvensi Janewa tentang perlakuan terhadap tawanan perang.
d. Konvensi Janewa tentang perlindungan orang sipil pada saat perang.
Konvensi Jenewa keempat tahun 1949 yang pada tahun 1977 ditambahkan ke
dalam Protokol Tambahan 1977 yang dimaksud:
6
Berdasarkan asas ini, para pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan, di mana mereka dilarang menggunakan
kekerasan yang dapat mengakibatkan luka yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu.
b. Prinsip Kemanusiaan
Berdasarkan asas ini, para pihak yang bersengketa dituntut untuk
memperhatikan kemanusiaan, di mana mereka dilarang
menggunakan kekerasan yang dapat mengakibatkan luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c. Prinsip Kstaria
Mengandung makna bahwa dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat berbagai
macam tipu meslihat dan cara-cara yang khianat dilarang.
Dalam implikasinya, ketiga prinsip ini harus dilaksanakan dengan
seimbang.
Hukum Humaniter Internasional akan selalu dekan dan berkaitan dengan dengan
hukum hak asasi manusia. Mahkamah Internasional (ICJ) telah membuat tiga
pernyataan mengenai hubungan antara dua badan aturan hak asasi manusia dan
hukum humaniter dalam tiga proporsi yang saling berkaitan (ICJ, 1996). Pertama,
hukum hak asasi manusia tetap beralaku bahkan selama konflik bersenjata. Kedua,
dapat diterapkan dalam situasi konflik, hanya tunduk pada pengurangan. Ketiga,
ketika hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia berlaku, maka HHI
adalah lex specialist.
Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia merupakan bagian dari
hukum internasional public. Kedua cabang hukum ini sama-sama mengatur perilaku
untuk melindungi manusia berdasarkan prinsip dasar yang sama, yaitu menghormati
harkat dan martabat manusia (Malcolm, 2008). Perlindungan individu dalam konteks
hukum humaniter internasional terdapat dalam Pasal 3 dari empat Konvensi Jenewa
1949. Dalam pasal tersebut terdapat aturan “concurrent rules” yang menyatakan
bahwa orang yang tidak ikut serta secara aktif dalam sengketa bersenjata dalam
keaadaan apapun harus diperlakukan atas dasar kemanusiaan, tanpa pembedaaan
7
apapun yang dapat merugikan atas dasar ras, agama, atau kepercayaan, jenis
kelamin, keturunan atau kekayaan.
Prinsip-prinsip kemanusiaan juga tercantum dalam Pasal 3 yang ditegaskan
kembali dalam Pembukaan Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949,
dan berkaitan dengan Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-Internasional
(Protokol II). Dalam pembukaan ini disebutkan bahwa “‘Recalling’ furthermore that
international instruments relating to human rights offer a basic protection to the
human person.” (mengingat lebih jauh bhawa instrument internasional yang
berkaitan dengan hak asasi manusia menawarkan perlindungan dasar bagi pribadi
manusia).
2.3 Hukum Humaniter mengatur tindakan pelanggaran HAM dalam konflik bersenjata
2.3.1 Konflik Bersenjata
Konflik bersenjata merupakan sengketa bersenjata antara dua negara atau lebih,
di mana terdapat sengketa antara pemerintahan negara dengan pemberontak, serta
segala bentuk sengketa lainnya baik yang bersifat internasional maupun non-
internasional. Konflik bersenjata penuh dengan kekerasan dan pertaikan di mana
seringkali terjadi kekejaman dan kekerasan yang tidak manusiawi sehingga
memlanggar hak asasi manusia. Bebrerapa ahli seperti Pietro Verri menjelaskan
bahwa istilah konflik bersenjata merupakan segala bentuk sengketa bersenjata antara
dua atau beberapa pihak negara dengan suatu negara dengan suatu entitas bukan
negara, sutau negara dengan suatu faksi pemberontak, ataupun antara dua kelompok
entis yang berada dalam suatu negara.Sedangkan Dieter Fleck, dalam Haryomataram
(2002) menjelaskan bahwa konflik bersenjata internasional terjadi jika suatu pihak
menggunakan kekuatan senjata terhadap pihak lain. Penggunaan kekuatan militer
oleh orang perorangan atau kelompok orang tidak akan cukup. Tidak relevan apakah
pihak-pihak yang berkonflik menganggap diri mereka berperang dengan setiap
orang dan bagaimana mereka menggambarkan konflik ini.
Dari berbagai penjelasan diatas, maka dapat dikatan untuk dianggap sebagai
konflik bersenjata, harus ada penggunaan pasukan bersenjata satu pihak terhadap
pihak lainnya. Tidak perlu mempertimbangkan apakah salah satu atau kedua belah
pihak menolak keadaan tersebut dalam keadaan perang, mauoun jumlah korban dan
lamanya konflik berlangusung tidak diperhitungkan. Konflik bersenjata sendiri
terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional,
8
1. Konflik Bersenjata Internasional
Dalam konteks Hukum Humaniter internasional sangat beragam, tetapi
secara sederhana konflik bersenjata internasional dapat diartikan sebagai
konflik bersenjata yang melibatkan dua atau lebih negara lain di dalamnya
dalam konflik tersebut. Meskipun demikian, di dalam instrument-instrumen
hukum terdapat beberapa pasal dan ayat yang menekankan definisi beserta
ruang lingkup konflik bersenjata. Seperti yang terdapat pada pasal 1 ayat 4
Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa 12 Agustus yang menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan konflik bersenjata adalah situasi-situasi di dalam
ayat di atas termasuk pertikaian-pertikaian bersenjata di dalamnya rakyat-rakyat
sedang berperang melawan dominasi colonial dan pendudukan asing dan
melawan pemerintah-pemerintahan rasialis untuk melaksanakan hak
menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijunjung tinggi di dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan deklarasi terikat tentang asas-asas Hukum
Internasional mengenai hubungan-hubungan persahabatan dan Kerjasama di
antara negara-negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Syahmin, 1985).
2. Konflik Bersenjata Non-Internasional
Konflik bersenjata non-internasional disebut juga sebagai perang
pemberontakan dan bisa juga dianggap sebagai perang saudara. Perang ini lebih
mengarah pada separatisme, yaitu ketika suatu wilayah ingin memisahkan diri
dari negara induk. Aturan-aturan serta ketentuan mengenai konflik bersenjata
non-internasional terdapat pada pasal 3 Konvensi Jenewa dan definisi yang lebih
luas mengenai konflik bersenjata non-internasional terdapat dalam pasal 1 ayat
1 Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 dimana di dalam nya berisi
penjelasan mengenai apa yang dimaksud serta kriteria apa saja yang dapat
dikatakan sebuah konflik merupakan konflik bersenjata, hal tersebut harus
berlaku pada semua sengketa bersenjata yang tidak tercakup oleh pasal 1
Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 1494 dan yang
berhubungan dengan Perlindungan Korban-Korban Sengketa Bersenjata
Internasional (Protokol I).
9
2.3.1 Hukum Humaniter dalam mengatur konflik bersenjata
Hukum Humaniter internasional akan selalu dekat dan berhubungan dengan
adanya hak asasi manusia. Kedua konteks dan konsep tersebut tidak dapat
dipisahkan. Hak asasi manusia dalam konteks dan ruang lingkup kondisi konflik
bersenjata akan selalu berkaitan dengan hukum humaniter itu sendiri. Meskipun
begitu, keduanya memiliki sumber dasar yang berbeda, namun tetap dengan tujuan
dan konsep yang sama yaitu ada karena sebagai dasar perlindungan terhadap rakyat.
Dalam sebuah peperangan yang terjadi disebuah wilayah, konflik bersenjata
yang terjadi tidak hanya berdampak bagi keamanan negara, tetapi juga akan secara
langsung beradmpak pada bagi wilayah di masyarakat sekitar di mana konflik
tersebut terjadi. Agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia sehingga
aturan-aturan tersebut terwujud di dalam suatu hukum yaitu Hukum Humaniter
Internasional. Perang merupakan sutau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan
yang begitu tinggi. Banyak peperangan yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu
seperti halnya faktor ekonomi, budaya, SARA, perebutan wilayah, hingga
perssaingan kekuatan militer untuk menunjukkan siapa yang lebuh kuat diantara dua
kekuatan besar dunia.
Dalam Hukum Internasional telah diatur hal-hal yang berkaitan dengan konflik
bersenjata dimana mengatur ketentuan-ketentuan dan hukum cara dilakukannya
perang. Hukum ini diatur ketika terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, di
mana terdapat berbagai pembatasan pada perang. Seperti dilarangnya penggunaan
gas. Sedangkan pembatasan mengenai penggunaan peralatan senjata di saat medan
perang pertama kali diatur dalam Deklarasi XIV Den Haag 1907. Dalam deklarasi
tersebut, diatur mengenai sasaran mana saja yang dinayatakan sah dan dapat kenali
jelas pada saat perang berlangsung. Adanya senjata-senjata baru yang semakin
canggih bisa dapat membahayakan pelanggaran hak-hak asasi manusia ketika
peperangan. Oleh karena itu, deklarasi tersebut menjadi bahan untuk Menyusun
Konferensi Den Haag ke-IV dan peraturan perang di darat tahun 1899 yang terdapat
dalam pasal 23. Di dalam pasal 23 dimaksudkan sebagai adanya larangan dalam
penggunaan senjata-senjata seperti proyektil dan peralatan perang lain yang
sekiranya dapat menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Penggunaan senjata dan
peluru, maupun senjata beracun, peledak, roktet-roket, serta granat harus
dikendalikan.
10
Perang dilaksanakan sudah semestinya dengan aturan-aturan yang formalitas
dan dapat dipertanggung jawabkan karena itu, hukum humaniter menjadi batasan
dalam berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum Humnaiter sebagai pembatas
kekuatan yang diperlukan dalam mengalahkan musuh. Tujuan ini dilakukan untuk
alasan kemanusiaan dan pembatasan terhadap penderitaan yang tidak perlu. Cara
berperang yang tidak mengenal batas dapat merugikan umat manusia. Salah satu
aturan yang mengatur konflik bersenjata yaitu konvensi Jenewa yang mengatur
mengenai penggunaan peralatan atau alat perang tertentu dalam suatu konflik.
a. Deklarasi St. Pesterburg 1868 yang melarang pengguanaan proyektil jenis
tertentu pada saat berlangsungnya perang.
b. Protokol Jenewa 1925, yang membahas mengenai pengguaan gas pencekik
beracun atau jenis gas lainnya serta melakuka perang secara biologis.
c. Konvensi 1972, yang melarangan dilakukannya pengembangan,
penimbunan senjata biologis, serta pembuatan serta pemusnahanya.
d. Konvensi 1980, mengenai larangan dan pembatasan dalam menggunakan
senjata konvensional tertentu yang dapat menimbulkan luka yang tidak
perlu dan memberikan efek yang tidak pandang bulu. Hal tersebut termasuk
diatur dalam:
1. Protokol I: fragmen yang tidak dapat didekteksi.
2. Protokol II: pelarangan serta pembatasan dalam menggunakan ranjau,
booby trap don serta peralatan lain.
3. Protokol III: pelarangan serta pembatasan senjata pembakar.
e. Konvensi 1933, pelarangan dan pembatasan dalam pengembangan,
pembuatan, penimbunan, dan penggunaan senjata kimian dan
pemusnahanya.
f. Protokol 1995, yaitu dilarangnya pengguaan senjata laser yang dapat
menyebabkan kebutaan.
g. Protokol 1996, yang merupakan revisi dari pelarangan dan pembatasab
penggunaan ranjau darat, boby trap, dll.
h. Konvensi mengenai larangan menggunakan, meyimpan, membuat,
mengirimkan ranjau anti personil dan pemusnahannya.
i. Amandemen 2001 terhadap Pasal 1 dari Konvensi Senjata Konvensional.
j. Konvensi Dublin 2009, mengenai larangan dalam menggunakan Bom
Cluster.
11
2.4 Pelanggaran HAM yang dilakukan Isreal di ditinjau dari Hukum Humaniter
2.4.1 Konflik Israel dan Palestina di Sheikh Jarrah
Dalam konflik bersenjata tidak jarang terjadi kekerasan dan penggunaan
senjata-senjata canggih yang dapat menyebabkan luka dan penderitaan yang tidak
perlu kepada masyarakat yang terlibat konflik. Konflik bersenjata selalu
menyebabkan korban dan melanggar hak asasi manusia masyarakat sipil dalam
prosesnya. Pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil ini telah diautur
dalam Hukum Humaniter Internasional yang di dalamnya telah ditetapkan batasan-
batasan etika perang. Namun, nyatanya dengan keberadaan Hukum Humaniter
Internasional, pelanggaran hak asasi manusia tetaplah terjadi. Menurut Dosen
Fakultas Hukum UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H, M.H.,LL.,Ph.D,
menjelaskan bahwa perang sangat tidak direkomendasikan oleh hukum internasional
dalam menyelesaikan sengketa antara dua negara namun jika tidak dapat
dihindarkan, maka dalam perang Hukum Humaniter akan berlaku dengan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan saat perang terjadi (uii.ac.id).
Salah satu contohnya adalah konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina pada
Mei 2021 lalu. Isreal diduga telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia serta
melanggar etika perang dalam konflik bersenjata tersebut. Konflik yang terjadi
diantara kubu kelompok Islam Palestina Hamas dan Israel telah menciptakan krisis
kemanusiaan.
Konflik bersenjata ini semakin memanas sejak 10 Mei 2021 di mana rudal yang
melesat antara Gaza dan kota-kota di Israel tidak terhitung jumlahnya dan
merupakan episode yang cukup intens dalam konflik Israel dan Palestina yang
berlangsung selama bertahun-tahun. Konflik tersebut dipicu pada Oktober 2020 di
mana pengadilan Israel memutuskan bahwa beberapa keluarga Palestina yang
tinggal di Sheikh Jarrah yang akan dilakukan penggusuran pada Mei 2021 dengan
tanah mereka diserahkan kepada keluarga Yahudi. Atas putusan sudang ini, pada
Februari 2021, beberapa keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah mengajukan banding
ke putusan pengadilan dan memicu protes seputar siding banding. Pada akhir April,
warga Palestina mulai berdemonstrasi di jalan-jalan Yerussalem untuk melakukan
protes. Hal inilah memicu ketegangan pengunjuk rasa dan kekerasan pecah di Masjid
Al-Aqsa.
12
Pada 7 Mei 2021 bentrokan terjadi disekitar kompleks Masjid Al-Aqsa yang
merupakan salah satu situs Islam yang dinilai paling suci. Bentrokan terjadi antara
warga Palestina dan polisi Israel di mana polisi Israel menggunakan senjata berupa
granat setrum, peluru karet, dan meriam air yang menyebabkan warga Palestina dan
sekitar 20 petugas polisi terluka. Dilansir dari dw.com akibat serangan tersebut pada
sore hari kelompok Islam militan Palestina Hamas, yang telah menguasai Jalur Gaza
sejak 2007 dan digolongkan sebagai organisasi teroris oleh Uni Eropa dan AS
mengirimkan ultimatum bahwa akan melakukan serangan balik jika Isreal tidak
menarik senjata dan pasukannya dari kompleks masjid dan Sheikh Jarrah.
Meskipun mendapatkan ultimatum tersebut, Israel tidak menghantikan aksinya
dalam melakukan penyerangan di Sheikh Jarrah yang menyebabkan Hamas
menembakkan roket dengan menargetkan kota Yerussalem pada 10 Mei. Serangan
ini menyebabkan kerusakan properti tetapi tidak meninggalkan korban. Akibat
serangan ini, Israel melakukan serangan balasan ke jalur Gaza dan menewaskan dua
anak. Hal ini menyebabkan baku tembak dan serangan balasan terus berlanjut
dengan mengintensifkan dan menargetkan lebih banyak kota. Serangan udara yang
diluncurkan Israel menghancurkan sebuah blok Menara kota Gaza. Dalam serangan
ini sekitar 10 tokoh senior militer Hamas terbunuh beserta puluhan warga sipil.
Selain menggunakan serangan udara, Israel juga menggunakan artileri dan tank
Israel untuk melakukan penembakan ke Palestina dari dalam wilayah Israel. Sebagai
balasannya Hamas melakukan serangan dengan menghujani kota-kota Israel
meliputi Tel Aviv, Ashkelon, dan Beersheba. Milisi Hamas telah tercatat
meluncurkan sekitar 2.300 roket ke Israel.
2.4.2 Pelanggaran HAM Israel di Sheikh Jarrah dalam Hukum Humaniter
Dalam konflik antara Israel dan Palestina dapat dikatakan sebagai konflik
bersenjata non-internasional dan Internasional. Konflik ini bersifat konflik
bersenjata non-internasional karena yang menjadi pihak-pihak yang terlibat dalam
berlangsungnya konflik antara Israel dan Palestina merupakan tantara nasional Israel
dan pasukan militant Hamas yang statusnya bukanlah Angkatan bersenjata resmi
dari Palestina. Apalagi kedudukan wilayah Palestina dinilai menjadi wilayah
pendudukan Israel dan warga Palestina dianggap sebagai pengungsi perang
meskipun berdirinya Palestina telah diakui secara internasional oleh PPB sehingga
13
konflik terjadi diantara dua negara dan dapat dikatakan sebagai konflik Internasional
juga.
Dalam konflik bersenjata ini, Israel diduga melakukan pelanggaran terhadap
hukum humaniter internasional serta menyalahi hak asasi manusia. Hal itu dilihat
pada serangan Israel yang mengenai warga sipil Palestina dimana tindakan ini
disalahkan dalam Konvensi Jenewa IV yang berisi mengenai Perlindungan Sipil di
Waktu Perang. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Konvensi Jaenewa IV
merupakan salah satu bagian dari ruang lingkup hukum humaniter. Dalam konvensi
tersebut berisi sanksi-sanksi Pemberantasan Pelanggaran dan Penyalahgunaan
Konvensi yang tertulis yaitu Protokol Tambahan I. Lahirnya Protokol Tambahan I
ini merupakan hasil dari adanya metode peperangan yang digunakan oleh negara-
negara yang telah berkembang serta disertai dengan aturan-aturan mengenai tata cara
berperang. Dalam Protokol Tambahan I juga telah diatur pelarangan dalam
menggunakan proyektil atau senjata dan cara-cara yang dapat mengakibatkab luka
berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu.
Protokol Tambahan I juga mengatur beberapa pelanggaran yang diduga
dilakukan oleh Israel yaitu mengenai larangan serangan yang bersifat membabi buta
dan bersifat pembalasan terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, objek-objek
yang dinilai sangat penting bagi kelangsungan hidup penduduk sipil, benda-benda
yang sifatnya religious, instalasi dan bangunan berbahaya, serta lingkungan alam.
Berdasarkan aturan tersebut, Israel telah melakukan penyerangan dan menyebabkan
korban pada warga sipil dan merusak fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas
serta mencoba menyerang bangunan suci yaitu Masjid Al-Aqsa.
Selain menyerang warga sipil dan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu
serta merusak fasilitas umum yang dibutuhkan untuk keberlanjutan hidup warga
sipil, Israel juga telah melanggar hukum humaniter yaitu mengusir secara paksa
warga sipil yang tinggal di wilayah yang diakui secara Internasional. Menurut juru
bicara OHCHR, Rupert Colville mengatakan bahwa penggusuran, jika diperintahkan
dan dilaksanakan maka akan melanggar kewajiban Israel di bawah hukum
internasional. Yerussalem Timur tetap menjadi bagian dari wilayah Palestina di
mana Hukum Humaniter Internasional berlaku di wailayah tersebut. Sehingga,
kekuasaan penduduk harus dihormati dan negara manapun tidak dapat menyita hak
milik pribadi di wilayah pendudukan tersebut. Israel tidak dapat memaksakan
perangkathukumnya sendiri di wilayah pendudukan Palestina termasuk Yerrusalem
14
Timur untuk mengusir warga Palestina dari rumah mereka. Jika hal ini terus
berlanjut maka Israel telah melakukan pelanggaran hak katas perumahan yang layak.
Aksi ini melanggar ha katas perumahan yang layak, privasi, dan melanggar hak asasi
manusia. Hal ini tentu saja dilarang oleh Konvensi Jenewa keempat dan merupakan
pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Dalam Hukum Humaniter ada tiga prinsip yang harus dijunjung tinggi ketika
berlangsungnya perang, yaitu prinsip perbedaan, prinsip pembatasan, dan prinsip
proposionalitas. Israel telah melanggar ketiga prinsip ini, sehingga upaya yang bisa
dilakukan untuk membawa Israel ke ranah hukum dengan menggunakan dua
pendekatan yaitu, pendekatan kelembagaan melalui Dewan Keamanan PPB atau
melalui Statuta Roma atau Mahkamah Pidana Internasional.
Namun, saat ini Amerika Serikat dan Israel belum meratifikasi Statuta Roma
1998. Sedangkan negara peratifikasi Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 harus menerbitkan undang-undang nasional yang akan memberikan sanksi
pidana efektif bagi pelaku kejahatan yang sulit ditempuh. Tidak mungkin pula untuk
menghukum pelaku kejahatan dengan hukum nasional, karena Israel sendiri
melindungi pelaku kejatahan yang dilakukan oleh warganya. Jalan lain yang dapat
ditempuh yaitu melalui mahkamah ad hoc yang mengadili khusus kejahatan Israel
di Palestina. Hal ini memungkinkan jika Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
sebuah resolusi untuk membentuk mahkamah seperti pembentukan ICTY dan ICTR.
Oleh karena itu, Dewan Keamanan PBB sebagai tanggung jawab utama dalam
memelihara perdamaina dan keamanan internasional dapat menentukan situasi jika
terdapat ancaman dalam perdamaian, pelanggaran perdamaian, dan tindakan agresi.
Atas desakan masyarakat internasional, Dewan HAM PPB sepakat untuk
mengadakan penyelidikan independen di wilayah pendudukan Israel di Palestina,
termasuk Yerusalem Timur dan di Israel. Penyelidikan ini akan difokuskan pada
pencarian fakta dab pengumpulan bukti-bukti hukum dalam mengidentifikasi pelaku
agar mempertanggungjawabkan perbuatannya.
15
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter merupakan dua konsep dan aturan
yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Meskipun memiliki dasar hukum
yang berbeda, tetapi kedua aturan tersebut sama-sama memiliki tujuan untuk
melindungi harkat dan martabat manusia dari bentuk pelanggaran yang menimbulkan
penderitaan berlebihan yang tidak perlu. Meskipun hukum humaniter sudah diatur jelas
dalam Hukum Internasional, tetapi dalam penerapannya khususnya dalam kasus konflik
bersenjata, masih sering terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Salah satu
contohnya yaitu konflik antara Israel dan Palestina di Sheikh Jarrah dalam konflik
bersenjata dimana Israel diduga melanggar Konvensi Jenewa IV dan Protokol
Tambahan I. Isreal telah melibatkan warga sipil dalam penyerangan serta merusak
fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan untuk melanjutkan kehidupan warga sipil. Selain itu,
Israel juga telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan hak privasi dalam
pengusiran paksa wilayah penduduk yang diakui secara internasional.
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSATAKA
Ashri, Muhammad. (2019). Reconciliation of Humanitarian Law and Human Rights Law in
Armed Conflict. Jounal Law Review, 5 (2), 209-213.
Daffa, Achmad. (2021). Aspek Hukum Humaniter Terhadap Peperangan Antara Militer Israel
dengan Milisi Hamas. Diakses pada 24 Juni 2021, dari
https://www.malangtimes.com/baca/67516/20210519/160200/aspek-hukum-
humaniter-terhadap-peperangan-antara-militer-israel-dengan-milisi-hamas
ICJ, Legality or Threat of Use of Nuclear Weapons, Advisory Opinion, 8 July 1996, para. 25;
ICJ, The Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian
Territory, Advisory Opinion, 9 July 2004, para. 106; ICJ, Case concerning armed
activity on the territory of the Congo (Democratic Republic of the Congo v. Uganda),
Judgment of 19 December 2005, paras. 216–220
Malcolm N. Shaw. (2008). International Law. 6th edition. Cambridge: Cambridge University
Press, p. 1196: See also: Olivier De Schutter. (2010). International Human Rights Law:
Cases, Materials, Commentary. Cambridge: Cambridge University Press, p. 4
Rt.com. (2021). UN Warns Israel’s Forced Evivtions in East Jerusalem Could Amount to War
Crimes Amid Violent Clashed in Annexed Area. Diakses pada 24 Juni 2021, dari
https://www.rt.com/news/523202-un-israel-war-crimes-palestine-evictions/
Uii.ac.id. (2021). Agresi Israel terhadap Palestina dari Perspektif Hukum Humaniter dan
Politik Internasional. Diakses pada 24 Juni 2021, dari https://www.uii.ac.id/agresi-
israel-terhadap-palestina-dari-perspektif-hukum-humaniter-dan-politik-internasional/
Wijaya, Pandasurya. (2021). Dewan PBB akan Selidiki Pelanggaran HAM Israel tergadap
Palestina di Gaza. Diakses pada 24 Juni 2021, dari
https://www.merdeka.com/dunia/dewan-ham-pbb-akan-selidiki-pelanggaran-ham-
israel-terhadap-palestina-di-gaza.html