Anda di halaman 1dari 24

" Isu-isu Kontemporer Dalam Perspektif Ilmu Administrasi Publik"

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Administrasi publik
Dosen Pengampu : Dr. Diana H, MSi

Oleh :
Afiza Augustika Wardani 21041010249
Bayu Daffario Ardana 21041010267
Dinda Nuria Millatiana 21041010248
Rizki revashandi ihsan.L 21041010261

KELAS G
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

1
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Isu-isu Kontemporer
Dalam Perspektif Ilmu Administrasi Publik" ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah pengantar ilmu administrasi publik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang isu-isu administrasi publik kontemporer bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Diana H, MSi, selaku dosen mata
kuliah pengantar ilmu administrasi publik yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah
yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 08 September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………...………………....………………..
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI……………………..……….……………………………..…….................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah…………….....……...…………………………....………… 4
1.2 Rumusan Masalah……………...……..…..…………………………....…………….. 5
1.3 Tujuan……………………………..…………….……………………………..………...5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Publik………………………………...…………………………......……… 6
2.2 Reformasi Administrasi…..………………...………………………..........………….. 8
2.3 Pelayanan Publik……...…………………………………………...…………...……. 10
2.4 Desakan untuk Melakukan Privatisasi (peran sektor swasta yang terus meningkat)...12
2.5 Demokratisasi, Desentralisasi, dan Good Governance.......................................12
2.6 Multikultularisme..................................................................................................13
2.7 Bencana alam dan kasus sosial..........................................................................14
2.8 Responsivitas terhadap warga sebagai klien......................................................15
2.9 Bekerja sama dengan warga sebagai mitra……………......……......................…16
2.10 Sebuah perspektif multidimensi antara klien dan mitra.....................................17
2.11 Peran G&PA......................................................................................................18
2.12 Peran warga negara..........................................................................................19
2.13 Peran Media dan akademisi..............................................................................20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan………..............……………………...………………………………….. 22
3.2 Saran………………………………………....…………..…………………………… 22
DAFTAR PUSTAKA……………………..............…………………………….……..
……………...23

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Administrasi Publik memainkan peranan yang penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat ditentukan oleh kualitas
Administrasi Publik yang dimiliki oleh suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia, keberadaan Administrasi Publik merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan
tujuan negara yang berada di dalam UUD 1945 antara lain untuk memajukan kesejahteraaan urnum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Memasuki abad ke 21, administrasi negara dihadapkan dengan dunia yang tidak
dapat diprediksi (unpredictable) dan tidak pasti (uncertainty). Pemanasan global, krisis
pangan, krisis ekonomi, pasar yang semakin global, maraknya media sosial dan berbagai
bencana alam menyajikan isu-isu sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan yang semakin
kompleks. Tentu saja, kondisi tersebut tidak dapat lagi diatasi dengan pola pemikiran (mind-
set) tradisional. Administrasi negara, menurut Bourgon (2009), perlu memperluas perannya
melampaui aktivitas dan situasi yang biasa terprediksi. Kompleksitas isu, ekonomi dunia
yang semakin modern dan masyarakat jejaring menyajikan masalah- masalah yang semakin
rumit.
Situasi dunia yang makin tidak terprediksi dan penuh dengan ketidakpastian tidak
relevan dipahami dengan pendekatan masa lalu. Situasi dunia yang makin tidak terprediksi
dan penuh dengan ketidakpastian tidak relevan dipahami dengan pendekatan masa lalu.
Dalam pandangan Rhenald Kasali (2017), dunia yang terus berubah tidak dapat diatasi
dengan logika lama atau cara pandang kemarin tidak dapat digunakan untuk mengatasi solusi
hari ini ataupun masa depan. Sayangnya, para pemimpin, politisi, bahkan birokrat masih saja
menerapkan kebiasaan berpikir lama mereka untuk memahami persoalan masa kini. Ibarat
seorang dokter yang tidak pernah memperbaharui keahliannya menghadapi penyakit yang
makin kompleks Rendahnya kinerja administrasi negara dalam berbagai bidang menunjukkan
bahwa ada sesuatu yang keliru dalam logika memahami masalah-masalah pelayanan publik.
Masih lemahnya budaya melayani masyarakat banyak ditemukan di berbagai sektor publik.
Pelayanan yang bertele-tele dan tidak ramahnya pelayanan publik menunjukkan tidak

4
pahamnya administrator negara terhadap esensi pelayanan publik. Akibatnya, administrasi
negara tidak dipersiapkan untuk mengantisipasi berbagai masalah dan tantangan baru.
Bahkan, administrasi negara saat ini masih cenderung resisten terhadap perubahan
(Katsamunska, 2012). Situasi ini tentu saja tidak kondusif bagi berkembangnya inovasi dalam
pelayanan publik.
kondusif Dalam teori dan praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan
yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulai pada masa sebelum lahirnya konsep
Negara Bangsa hingga lahirnya ilmu modern dan Administrasi Publik yang hingga saat ini
telah mengalami beberapa kali pergeseran paradigma.
Pergeseran paradigma Administrasi Publik tersebut, telah membawa implikasi
terhadap penyelenggaraan peran Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan
yang digunakan dalam pembuatan dan pelaksanaan strategi, pengelolaan organisasi secara
internal, serta interaksi antara Administrasi Publik dengan politisi, masyarakat dan aktor
Lainnya. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat menentukan corak
dan ragam dalam penyelengaraan Pemerintahan dan sebuah Negara, termasuk Indonesia.
Corak dan ragam tersebut akan sangat ditentukan oleh kondisi lokal yang ada di Negara
tersebut, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah
menyesuaikan diri dengan perkembangan paradigma yang ada, serta sejauhmana penyesuaian
tersebut dilakukan dengan memperhatikan konteks lokal dan permasalahan yang ada di
Negara tersebut. Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai dengan bergesernya
paradigma dalam Administrasi Publik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari administrasi publik kontemporer?
2. Darimana datangnya isu-isu administrasi publik kontemporer?
3. Bagaimana cara mengatasi adanya isu-isu administrasi publik kontemporer?
4. Apa peranan pemerintah dalam konteks administrasi publik?
5. Siapa pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mendeskripsi pengertian dan fungsi kebijakan publik
2. Mendeskripsi masalah dalam reformasi administrasi
3. Mendeskripsi perubahan dalam permasalahan pelayanan publik
4. Mendeskripsi peran sektor swasta yang terus meningkat

5
5. Mendeskripsi pentingnya demokratisasi dan desentralisasi dalam mewujudkan good
government
6. Mendeskripsi Permasalahan dalam multikulturalisme
7. Mendeskripsi dampak dari bencana alam dan kasus sosial
8. Mendeskripsi pengaruh dari responsivitas terhadap warga sebagai klien
9. Mendeskripsi bekerja sama dengan warga sebagai mitra
10. Mendeskripsi perspektif multidimensi antara klien dan mitra
11. Mendeskripsi peran dari G&PA
12. Mendeskripsi peran dari warga negara
13. Mendeskripsi peran dari media dan akademisi

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebijakan Publik


Isu-isu kebijakan publik merupakan bagian dari tahapan proses kebijakan yang sangat
penting. Terdapat beberapa dimensi untuk memilah isu-isu kebijakan yang bersifat
kontemporer, yaitu isu-isu tentang substansi kebijakan dan isu-isu tentang proses kebijakan.
Salah satu pendekatan penting dalam menganalisis isu-isu kebijakan publik adalah policy
deliberative approach, sebuah pendekatan yang mengedepankan dialog antar pihak-pihak
yang berkepentingan untuk mendapatkan kepastian tentang isu kebijakan yang bersifat
strategis.
Secara umum, isu-isu tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama yaitu, isu-isu
substansi kebijakan (policy substantive), yang saat ini sedang aktual adalah isu bidang
kesehatan karena adanya wabah atau pandemi Covid 19 yang terjadi hampir di semua negara
dalam berbagai belahan dunia. Substansi kebijakan tersebut menggambarkan bahwa sebuah
isu kebijakan secara sekuensial (sequential) dapat memunculkan isu kebijakan ikutan, atau
bahkan sebuah isu kebijakan muncul secara bersamaan dengan isu-isu kebijakan lainnya.
Karena itu diperlukan adanya penetapan isu-isu kebijakan berdasarkan skala prioritas,
kemudian dijadikan agenda kebijakan berdasarkan skala prioritas pula. Hal ini akan
membantu formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan berdasarkan skala prioritas,
sekaligus menentukan indikator kinerjanya.
Kedua, isu-isu proses kebijakan, secara sistem isu-isu ini dapat dijadikan dasar untuk
penyusunan tahap-tahap: pengaturan agenda, formulasi kebijakan, pengambilan keputusan,

6
implementasi, dan evaluasi. Antar tahapan satu dengan tahapan lainnya bersifat sekuensial
yang akan memunculkan isu-isu berikutnya. Isu-isu yang telah ada ataupun isu-isu
Kontemporer merupakan keberadaan kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungannya.
Kajian tentang isu-isu kebijakan dari dimensi proses diawali dari pentingnya
mencermati isu-isu baik ditinjau dari urgensinya, periodisasinya, atau eskalasinya karena
menuntut adanya keseriusan dan ketajaman dalam menggali isu-isu tersebut. Intelligence
(inteligensi) merupakan kemampuan analis dalam memahami isu-isu baik menyangkut
kemampuan menalar, daya tangkap terhadap isu yang berkembang, merencanakan, dan
kemampuan orientasi untuk memecahkan masalah. Promotion (promosi) merupakan
kemampuan untuk menawarkan atau menjelaskan bahwa isu-isu yang digali adalah sangat
strategis agar dapat berkembang menjadi pengaturan agenda, dan segera diformulasikan
dalam sebuah kebijakan.
Prescription (resolusi) merupakan kemampuan dalam memberikan resolusi ataupun
rekomendasi atas penyelesaian persoalan yang dihadapi dan bersifat sementara tetapi sangat
diperlukan untuk memastikan pentingnya isu tersebut menjadi sebuah agenda kebijakan.
Invocation merupakan seruan ataupun harapan agar isu-isu yang terjadi dapat ditindaklanjuti
sesuai derajat eskalasinya untuk segera diselesaikan. Application merupakan harapan agar
usulan terhadap resolusi atas isu-isu yang telah dirumuskan dapat segera ditindaklanjuti.
Termination, adalah penghentian yang bersifat sementara atas penetapan isu-isu yang telah
dikaji agar dapat segera ditindaklanjuti. Appraisal merupakan penilaian bahwa apabila isu-isu
yang dihadapi segera diselesaikan maka dapat diwujudkan suatu efektivitas kebijakan.
Isu-isu kebijakan publik kontemporer perlu dikaji secara teliti agar dapat dipilih isu
strategis diantara isu-isu yang dihadapi untuk diangkat sebagai masalah kebijakan (policy
problem) dan selanjutnya dapat ditetapkan sebagai agenda kebijakan (agenda setting). Kajian
secara teliti melalui tahapan-tahapan tersebut akan sangat membantu pemerintah untuk
melakukan formulasi kebijakan dalam bentuk perundang-undangan yang dapat dijadikan
pengungkit dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi pemerintah. Berawal dari
penetapan isu kebijakan hingga formulasi kebijakan yang tepat, akan dapat
dioperasionalisasikan berbagai program dan kegiatan yang tepat sasaran. Melalui tahapan ini
juga akan dapat diwujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabilitas dan
berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan publik dapat didefinsikan sebagai serangkaian kegiatan yang sadar, terarah,
dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan para pihak yang

7
berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang mengarah pada tujuan tertentu. Sehingga
untuk efektivitas kebijakan publik diperlukan kegiatan sosialisasi, pelaksanaan dan
pengawasan kebijakan. Perlu ditekankan bahwa sifat kebijakan publik perlu dituangkan pada
peraturan-peraturan perundangan yang bersifat memaksa. Sebelum kebijakan publik tersebut
diterbitkan dan dilaksanakan, kebijakan tersebut harus ditetapkan dan disahkan oleh badan/
lembaga yang berwenang. Peraturan perundang-undangan sebagai produk dari kebijakan
publik merupakan komoditas politik yang menyangkut kepentingan publik. Oleh karenanya,
kebijakan publik pada satu pandangan tertentu, dipersyaratkan bersifat fleksibel, harus bisa
diperbaiki, dan disesuaikan dengan perkembangan dinamika pembangunan.Pembahasan
kebijakan publik tidak bisa lepas dari usaha untuk melaksanakan kebijakan publik tersebut.
Pelaksanaan kebijakan publik merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan
dirumuskan dan ditetapkan. Pelaksanaan kebijakan mengacu pada mekanisme, sumberdaya,
dan hubungan terkait dengan pelaksanaan program kebijakan (Mthethwa, 2012). Tanpa
pelaksanaannya, kebijakan yang telah ditetapkan akan sia-sia. Oleh karena itu, pelaksanaan
kebijakan mempunyai kedudukan yang esensial dalam kebijakan publik. Pelaksanaan
kebijakan merupakan kegiatan lanjutan dari proses perumusan dan penetapan kebijakan.
Sehingga pelaksanaan kebijakan dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan,
baik oleh individu maupun kelompok pemerintah, yang diorientasikan pada pencapaian
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.
Implikasi dari pelaksanaan kebijakan merupakan konsekuensi yang muncul sebagai
akibat dari dilaksanakannya kebijakan-kebijakan tersebut. Hasil evaluasi pada pelaksanaan
kebijakan dapat menghasilkan dampak yang diharapkan (intended) atau dampak yang tidak
diharapkan (spillover negative effect). Proses pelaksanaan kebijakan tidak hanya menyangkut
perilaku badan-badan administratif/pemerintahan yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan
juga menyangkut jaringan pada kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial, yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari para pihak yang terlibat
(stakeholders).
Kesalahan atau ketidaksempurnaan suatu kebijakan biasanya akan dapat dievaluasi
setelah kebijakan itu dilaksanakan, begitu juga keberhasilan pelaksanaan kebijakan dapat
dianalisa pada akibat yang ditimbulkan sebagai hasil pelaksanaan kebijakan. Penilaian atas
kebijakan dapat mencakup isi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan dampak kebijakan.
Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu dikembangkan metode yang
aplikatif. Misalnya pemanfaatan software-software kebijakan Publik yang dapat

8
merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (seperti AHP
dan System Dynainic) harus dikuasai dalam oleh para pembuat kebijakan. Termasuk adalah
penguasaan metode system thinking dan system dynainic untuk memperkuat proses
pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti knowledge management harus menjadi
kurikulum dalam administrasi Publik.
2.2 Reformasi Administrasi
Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi
sangat relevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem
Birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi masalah yang sangat
fundamental. Banyak sekali masalah yang ditemukan oleh berbagai pakar tentang praktik
administrasi pemerintahan di Indonesia.
Masalah pertama adalah tingkat Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para
aparatur pemerintah. Lembaga riset dunia1 menyatakan bahwa Indonesia masuk kategori
sebagai negara yang terkorup di dunia dari 159 negara yang disurvei. Masalah kedua adalah
kecenderungan praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang berorientasi kekuasaan dan
kekayaan (wealth and power oriented) ketimbang pelayanan pada masyarakat (public services
oriented). Aparatur birokrasi yang seharusnya memposisikan dirinya sebagai abdi masyarakat
pada kenyataannya menempatkan dirinya sebagai elite sosial yang meminta pengabdian dari
masyarakat. Hal ini jika terus dipertahankan menyebabkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat termarginalkan, pembangunan terabaikan, karena lebih mengutamakan
kepentingan para pejabat.
Masalah ketiga yang dihadapi administrasi pemerintah adalah rendahnya kapasitas
berinovasi para pegawai pemerintah untuk memecahkan persoalan publik yang semakin
kompleks dalam dunia yang tidak pernah istirahat dari dinamika perubahan yang cepat.
Selama ini, pemerintah dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk cepat tanggap
(responsiveness) terhadap perubahan permasalahan sosial yang harus dipecahkan, dan juga
terhadap pergeseran peluang yang harus cepat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan dan masyarakat. Masalah keempat adalah kuatnya pengaruh politik dalam
lingkungan administrasi pemerintah. Intervensi ini menyebabkan penyelenggaraan
pemerintahan menjadi tidak profesional. Akibatnya kinerja pemerintah dan birokrasinya
menjadi kurang baik. Timbul konflik dalam tubuh organisasi pemerintah bahkan
bermunculan penyimpangan dalam praktik administrasi pemerintah. Hal ini dapat kita simak
secara nyata dalam masa kepemerintahan Gus Dur, Megawati, maupun SBY-JK saat ini,
yang alih-alih lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan partai yang mendukungnya

9
dalam memenangkan pemilu, akibatnya praktik penyelenggaraan dalam birokrasi menjadi
serba “PELANGI”. Dampaknya, visi, misi, dan tujuan organisasi pemerintah menjadi tidak
sejalan dan sinergistik antar departemen ataupun antar sektor. Karena kecenderungan yang
diaplikasikan bukannya visi, misi, dan tujuan negara, tetapi kepentingan partai politik.
Alhasil, rakyat menjadi korbannya, dan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana
dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 belum optimal tercapai, jika tidak
dikatakan tidak.
Masalah kelima adalah bahwa posisi masyarakat kita, sangat lemah ketika berhadap-
hadapan dengan organisasi pemerintah, tidak ada posisi tawar (low bargaining position) dan
bahkan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Ketiadaan komitmen dan paradigma
tentang peran, kedudukan, dan fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah
menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia tidak memiliki visi, kehilangan ruh dan
berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang
diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, tidak adanya kemauan potitik dan pemerintah.
Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang
terkait dan terintegrasi. Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya program
pembangunan, tetapi juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai
agen pembangunan.
2.3 Pelayanan Publik
Pelayanan publik senantiasa berubah untuk menyesuaikan diri dengan dinamika
perkembangan kebutuhan masyarakat yang terdapat di negara-negara maju atau pada belahan
dunia lainnya. Pergeseran tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu kerangka pelaksanaan
pelayanan publik yang lebih baik, efisien, responsive, dan berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan lembaga-lembaga tersebut yang
beroperasi di Indonesia. Adanya tuntutan perbaikan pelayanan publik tersebut kadangkala
menjadi prasyarat utama oleh lembaga-lembaga internasional atau negara-negara donor
tersebut dalam memberikan bantuan . Seperti IMF dan World Bank, kedua lembaga keuangan
yang amat berpengaruh tersebut sejak hampir dua dekade terakhir ini semakin rajin
mendesakkan tuntutan politik terhadap negara-negara berkembang untuk mendevolusikan
sistem pemerintahan dan sistem pelayanan publiknya yang monopolistik dengan
menganjurkan kebijakan pemerkuatan otonomi daerah, privatisasi sektor publik dan
pemberian kesempatan yang luas pada sektor-sektor di luar birokrasi pemerintah .
Menelusuri permasalahan pelayanan publik di Indonesia sebenarnya dapat dilihat
pada beberapa periode dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya dimulai pada masa

10
orde baru dan terakhir periode reformasi. Pergeseran paradigma dalam pelayanan publik tidak
dilepaskan dari perubahan iklim politik yang berimplikasi pada kebijakan-kebijakan yang
dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam era reformasi ditandai pada para-digma
deregulasi setengah hati, dimana pemerintah memilih sektor tertentu untuk dideregulasi yang
pertimbangan utamanya bukan pencapaian efisiensi pelayanan publik, tetapi keamanan bisnis
antara pejabat negara dan pengusaha besar. Kemudian pada paradigma reformasi pelayanan
publik. Paradigma ini mengkaji ulang peran pemerintah dan mendefinisikan kembali sesuai
dengan konteksnya, yaitu perubahan ekonomi dan politik global, penguatan civil society,
good governance, peranan pasar dan masyarakat yang semakin besar dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan publik.
Sekalipun di Indonesia secara politik era reformasi itu sudah berjalan sekitar 10 tahun
sejak lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998, namun dalam penyelenggaraan
pelayanan publik masih ditandai berbagai kelemahan-kelemahan, padahal sudah banyak
upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat antara lain perumusan kembali Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
yang sebenarnya memberikan perluasan kewenangan pada tingkat pemerintah daerah,
dipandang sebagai salah satu upaya untuk memotong hambatan birokratis yang acapkali
mengakibatkan pemberian pelayanan memakan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. Upaya
ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan
dalam diklat-diklat struktural pada berbagai tingkatan. Hanya saja dari berbagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik, namun masih saja
ditemukan berbagai kelemahan dalam pelayanan publik ini. Hal tersebut dapat dilihat pada
hasil survay yang dilakukan oleh UGM pada tahun
2002 diketahui bahwa dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas,
kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan .
Menurut Albrecht dan Zemke kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari
berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia pemberi pelayanan, strategi,
dan pelanggan. Sementara Mohammad menyebutkan bahwa pelayanan yang berkualitas
sangat tergantung pada aspek-aspek seperti bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan
sumber daya manusia, dan kelembagaan yang mengelola. Dilihat dari sisi pola
penyelenggaraannya, pelayanan publik di Indonesia masih memiliki berbagai kelemahan
antara lain: kurang responsive, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi,
birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, dan inefisiensi.
Kelemahan pelaksanaan pelayanan publik lainnya dapat dilihat pada sisi

11
kelembagaan,kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus
dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan khirarki yang
membuat pelayanan menjadi berbelit-belit , dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih
sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi
tidak efisien.
Dalam lingkungan yang dinamis dibutuhkan kapabilitas yang adaptif untuk merespon
perubahan-perubahan lingkungan yang demikian cepat. Ada tiga jenis kapabilitas organisasi
yang dibutuhkan dalam konteks lingkungan yang dinamis yaitu: (1) Kapabilitas berpikir ke
depan (thinking a head), (2) kapabilitas berpikir lagi (thinking again), dan (3) kapabilitas
berpikir melintas (thinking across) (Neo dan Chen, 2007). Kapabilitas thinking ahead adalah
kemampuan administrator untuk membaca peluang dan tantangan perubahan lingkungan
strategis yang dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap organisasi publik dan
masyarakat. Selanjutnya, kapabilitas thinking again menunjukkan kemampuan evaluatif dari
para pejabat publik untuk mengidentifikasi semua kebijakan dan program yang telah
dilaksanakan, apakah efektif menjawab persoalan publik atau tidak. Jika efektif, maka
kebijakan atau program ditingkatkan kualitasnya. Namun jika tidak, maka perlu dicari solusi
atau berani untuk menghentikan kebijakan dan program yang tidak efektif. Kapabilitas
berpikir melintas atau thinking across menunjukkan kemampuan untuk belajar dari
pengalaman khususnya pengalaman yang dialami masyarakat atau bangsa lainnya. Kemajuan
yang dicapai oleh masyarakat negara atau wilayah lain ataupun kegagalan yang dialami oleh
masyarakat lain dapat menjadi informasi penting sebagai bahan pembelajaran. Paling tidak,
administrator dapat melakukan upaya-upaya adaptif maupun preventif agar persoalan bangsa
lain tidak terjadi wilayahnya. Inovasi membutuhkan insentif atau reward. Dalam keterbatasan
anggaran pemerintah menjadi tantangan tersendiri bagi upaya memotivasi pegawai untuk
mengagas inovasi pelayanan publik.
2.4 Desakan untuk Melakukan Privatisasi (peran sektor swasta yang terus meningkat)
Kegagalan pemerintah telah mendorong perlunya lebih banyak partisipasi sektor
swasta dalam pemerintahan melalui gerakan privatisasi. Gerakan ini muncul di Inggris pada
tahun 1980-an dan mendapat banyak perhatian. Sejak itu, gerakan privatisasi telah
merevolusi sistem organisasi pemerintahan. Kebutuhan untuk privatisasi telah memaksa
instansi pemerintah untuk bekerja lebih efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip yang
berlaku untuk dunia pribadi. Penerapan prinsip-prinsip manajemen di sektor swasta telah
menciptakan NPM (New Public Management). NPM mungkin memiliki fokus yang berbeda

12
pada tata kelola yang efektif. Tentu saja, fokus ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk
mengatasi kebutuhan mendesak dan berbagai perbaikan yang dihasilkan dari umpan balik dan
kritik masyarakat. Menerapkan prinsip-prinsip manajemen sektor swasta di lembaga publik
untuk mencapai pemerintahan yang kecil tapi efisien (pendekatan minimalis) bukan tanpa
masalah. Bagi para pendukungnya, upaya untuk mencapai tujuan pemerintah seefektif
mungkin sering dikritik karena mengabaikan aspek keadilan, pemerataan dan demokrasi.
Dengan kata lain, regulator semakin mendapat perhatian dari masyarakat umum ketika
mereka mengadopsi NPM. Lanjutkan cara ini.
2.5 Demokratisasi, Desentralisasi, dan Good Governance
Ada banyak kelemahan dalam upaya untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh
ketidakmampuan pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip sektor swasta yang
direkomendasikan oleh NPM. Kelemahan utama yang banyak dikritik oleh para ahli adalah
fokus yang berlebihan pada efisiensi. Ini menyederhanakan masalah dengan melihat warga
hanya sebagai pelanggan yang harus memenuhi kebutuhan mereka. Pandangan ini cenderung
menempatkan warga negara pada posisi negatif dan hanya menerima apa yang diputuskan
oleh pemerintah. Pendekatan jangka panjang tersebut merupakan proses demokratisasi yang
melihat warga negara tidak hanya sebagai pelanggan yang harus memberikan pelayanan
terbaik, tetapi juga sebagai pemilik negara yang memiliki kekuatan untuk menentukan
manfaat pembangunan dan pengembangan ini namun tidak dapat disesuaikan.
Demokratisasi diperlukan untuk memainkan peran warga negara. Partisipasi dalam
semua proses pengembangan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah sangat
penting untuk memastikan peran warga negara sebagai pengambil keputusan. Namun tanpa
kemauan politik, keterbukaan dan respon cepat dari pemerintah yang terlibat di masyarakat,
hal ini tentu tidak akan terjadi. Munculnya gagasan-gagasan good governance tentu
merupakan perubahan yang disambut baik dalam implementasi NPM yang terlalu fokus pada
manajemen publik. Dengan pendekatan good governance, kehadiran warga negara dipandang
setara dengan pihak lain dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di sektor swasta
dan di pemerintahan. Demokratisasi, yang didukung oleh pendekatan tata pemerintahan yang
baik, khususnya mendorong pengetahuan mendalam tentang warga yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan. Konsensus publik diusulkan sebagai motor penggerak
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi dan otonomi harus meningkatkan
kemungkinan warga negara untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
2.6 Multikulturalisme

13
Salah satu masalah utama dalam ilmu administrasi yang sebelumnya tidak diakui
sebagai masalah adalah kenyataan bahwa lingkungan di mana ia beroperasi sangat tidak
merata dan sangat tidak merata. Berbagai teori administrasi publik didasarkan pada asumsi
bahwa administrasi publik beroperasi di dalam komunitas atau sistem komunitas dengan
karakteristik sosial, ekonomi, politik dan demografis, pendidikan, dan sosial dari orang yang
sama dengan kita. Situasi seperti itu bisa menjadi potret negara-negara Eropa Barat di masa
lalu, di mana eksekutif pertama kali muncul. Namun, ketika ilmu eksekutif mulai diterapkan
di belahan dunia lain, kita dihadapkan pada fakta bahwa asumsi dasar yang digunakan untuk
membangunnya menjadi kurang relevan. Heterogenitas, tidak seperti yang umum di negara-
negara Eropa Barat, adalah karakteristik terpenting bagi negara-negara di luar Eropa Barat.
Di Amerika Serikat yang berkembang pesat, heterogenitas adalah kenyataan yang tak
terelakkan. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah pembentukan sosial nasional bagi para
pendatang dari berbagai negara dari seluruh benua di planet ini. Namun, dalam praktiknya,
telah ditunjukkan bahwa ketidakseragaman ini tidak dianggap sebagai faktor penting yang
harus diperhitungkan para ahli dalam mengembangkan berbagai teori. Sebagaimana
dikemukakan oleh Effendi (1999-2-3), yaitu berbagai dokumen administrasi yang disediakan
oleh masyarakat, umur, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal atau golongan
umum. Tapi itu tidak didasarkan pada etnis, tetapi pada seperangkat identitas ras, budaya dan
agama. Yang lebih merepotkan lagi adalah manajemen pembangunan. Ini adalah subdisiplin
administratif profesional yang digunakan sebagai sarana untuk memfasilitasi perubahan
kelembagaan di bidang sosial, ekonomi dan budaya negara. Oleh karena itu, mengejutkan
bahwa beberapa pemerintah pembangunan secara historis menganggap negara-negara multi-
etnis seperti India, Nigeria, Turki, Rusia dan Indonesia sebagai perusahaan yang terintegrasi
dengan baik dan toleran terhadap pertumbuhan. Tujuannya adalah ekonomi, masalah etnis,
serta negara-negara berkembang yang semakin menjadi perhatian negara-negara maju.
Masuknya migran yang terus meningkat dari Asia dan Afrika ke Eropa Barat, Amerika
Serikat dan Australia menciptakan ketegangan baru yang disebabkan oleh masalah etnis yang
belum pernah dialami negara-negara ini. Misalnya, masuknya migran dari Turki, Maroko,
dan Aljazair ke negara-negara Eropa Barat seperti Italia, Jerman, Prancis, dan Belanda, jika
dibiarkan, menyebabkan masalah sosial, politik, dan ekonomi akibat perbedaan tersebut.
Di Indonesia, etnisitas telah lama menjadi masalah serius. Fakta sejarah yang tak
terbantahkan bahwa Indonesia sangat heterogen secara etnis. Ada ribuan orang dari berbagai
latar belakang, termasuk agama, adat istiadat, budaya, bahasa, ekonomi dan politik. Sejak
awal, saya menyadari bahwa konflik bisa muncul kapan saja. Sayangnya, di zaman Orde

14
Baru, fakta bahwa Indonesia memiliki perbedaan etnis, alih-alih diskusi, menekankan isu
tabu yang dikenal sebagai kelompok etnis SARA (suku, agama, ras, identitas) telah
disembunyikan dengan melakukan. Buka pencarian untuk solusi umum. Puluhan tahun
penolakan etnis di Indonesia menyebabkan runtuhnya pemerintahan Suharto pada tahun
1998, mengganggu sarana untuk mengendalikan harmoni buatan ini dan menyebabkan
bencana.
2.7 Bencana alam dan kasus sosial
Bencana alam seperti kekeringan, gempa bumi, banjir, letusan gunung berapi, dan
angin topan merupakan tantangan serius yang harus diatasi oleh pemerintah negara
berkembang dan negara berkembang. Polusi, pembalakan liar, penggunaan pestisida dan
kerusakan lingkungan alam akibat pemanasan global adalah beberapa faktor di balik
meningkatnya frekuensi bencana alam. Selain penurunan kualitas lingkungan alam, proses
alam yang terjadi di alam menyebabkan bencana alam. Karena pergerakan lempeng benua
sering menyebabkan gempa bumi dan tsunami, begitu pula pergerakan kerak bumi. Beberapa
teknik canggih telah dikembangkan untuk mendeteksi terjadinya bencana untuk mencegah
atau meminimalkan kerusakan serius. Persoalannya, bencana-bencana tersebut sering terjadi
secara tiba-tiba dan kemampuan pemerintah untuk mengantisipasi keadaan darurat akibat
bencana alam sangat buruk. Akibatnya, manajemen bencana sering gagal. Menanggapi
Bencana Alam Laporan pengungsi lebih sering terdengar daripada pengungsi yang dikelola
dengan baik. Bagi korban bencana alam, ini mudah. Kami menghadapi tantangan untuk
mendeteksi luas wilayah bencana dan jumlah korban, termasuk yang tewas, hilang, dan
terluka. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab dalam membantu korban. Peran pemerintah sebagai koordinator
penanggulangan bencana adalah munculnya berbagai masalah seperti tidak meratanya
distribusi bantuan di lapangan dalam menghadapi tsunami Aceh, terus hilangnya jalur
bantuan dan tertundanya pemulihan. Ras yang bagus. Dalam hal ini, sistem administrasi yang
dimiliki oleh pemerintah Indonesia tampaknya belum siap menghadapi keadaan darurat
tersebut.
Namun, negara-negara berkembang seperti Indonesia bukan satu-satunya yang tidak
mampu menanggapi keadaan darurat yang disebabkan oleh bencana alam. Berita
ketidakpedulian para korban Badai Katrina yang melanda New Orleans, Mississippi pada
akhir Agustus 2005, menunjukkan bahwa Amerika Serikat tetap menjadi masalah, bahkan
bagi negara-negara maju. Tidak mudah untuk mengelolanya. Keterlambatan pemerintah
federal AS dalam penanganan bencana menciptakan anarki yang ditandai dengan kelaparan,

15
pemerkosaan, pembunuhan, dan penjarahan di lokasi bencana di Jakarta Post pada 5
September 2005: 12. Pemerintahan Bush kemudian tidak menanggapi bencana tersebut dan
mengangkat isu diskriminasi rasial.
2.8 Responsivitas terhadap warga sebagai klien
Atas nama demokrasi, para profesional hampir diwajibkan untuk memuaskan publik yang
tidak jelas. Selain itu, ada risiko bahwa pengaruh yang kuat dari beberapa orang bisa tampak
jelas dengan suara keras dan yang keliru berpura-pura mewakili pendapat banyak
orang.Pendekatan responsif lainnya menunjukkan bahwa demokrasi membutuhkan
administrator yang responsif terhadap kehendak rakyat, setidaknya melalui legislatif dan
politisi jika tidak langsung kepada rakyat. Pendekatan ini lebih tanggap terhadap kebutuhan
untuk mendorong sektor publik yang fleksibel, sensitif, dan dinamis.
Faktanya, pihaknya berpendapat bahwa hanya dengan menciptakan lingkungan yang
berasal dari pasar, G&PA dapat menerapkan sejumlah reformasi yang diperlukan untuk
meningkatkan kinerja, efektivitas, dan efisiensi mereka. Meskipun responsif kadang-kadang
dianggap bermasalah dalam literatur administrasi publik, itu tidak diragukan penting bagi
politisi, birokrat, dan warga negara. Seorang politisi atau birokrat yang responsif harus
bersikap reaktif, simpatik, peka, dan mampu merasakan kebutuhan dan opini publik. Tidak
diragukan, ini adalah salah satu kondisi terpenting untuk mendapatkan kontrak sosial yang
adil antara warga dan pejabat pemerintah.
Oleh karena itu, para pakar dan praktisi menyarankan pengembangan indikator kinerja
berdasarkan opini publik. Opini penerima layanan harus dianggap indikator yang baik dari
hasil kebijakan publik. Dengan demikian, pendekatan NPM menganjurkan ide
memperlakukan warga sebagai klien, pelanggan, dan penerima manfaat utama operasi sektor
publik yang saat ini lebih berorientasi pada penilaian kinerja. Pada dasarnya, motivasi untuk
memenuhi tuntutan yang diajukan oleh warga adalah sama dengan memuaskan kebutuhan
pelanggan tetap di supermarket lingkungan biasa.
Menurut pandangan ini, responsivitas di arena publik sangat sesuai dengan pernyataan
berorientasi bisnis seperti pelanggan selalu benar dan tidak pernah berdebat dengan
kebutuhan klien yang diingat setiap tenaga penjual sejak hari pertama bekerja. Pada
dasarnya, daya tanggap menunjukkan kecepatan dan ketepatan ketika penyedia layanan
menanggapi permintaan tindakan atau informasi. Menurut definisi ini, kecepatan dapat
merujuk pada waktu tunggu antara permintaan tindakan warga negara dan jawaban dari
badan publik atau pelayan publik. Akurasi berarti sejauh mana tanggapan penyedia
memenuhi kebutuhan atau keinginan pengguna layanan.

16
Namun, meskipun kecepatan merupakan faktor yang relatif sederhana untuk diukur,
keakuratan lebih rumit. Di luar tren terbaru menganalisis arena publik dalam hal yang sesuai
untuk pasar, akurasi layanan publik harus mempertimbangkan kesejahteraan sosial,
kesetaraan, kesempatan yang sama, dan distribusi yang adil dari «barang publik» untuk
semua warga negara. Membandingkan hasil publik yang objektif dengan kriteria absolut
untuk kecepatan, kualitas, dan akurasi. Kriteria mutlak perlu ditentukan terlebih dahulu
dalam proses strategis penetapan indikator kinerja.
Akibat dari sejumlah batasan dan keseimbangan, sikap tanggap memiliki dampak positif
terhadap kesejahteraan sosial, dan meningkatkan proses modernisasi di sektor publik. Posisi
manajerial baru-baru ini, seperti pendekatan NPM, juga menunjukkan bahwa, seperti di
sektor swasta, peningkatan hasil eksternal akan memiliki dampak yang mendalam pada
mekanisme kontrol internal. Ini hanya menyiratkan bahwa manajer dan pelayan publik
menjadi lebih sensitif terhadap tugas-tugas mereka dan sangat berkomitmen untuk melayani
masyarakat.
2.9 Bekerjasama dengan warga sebagai mitra
Jenis ideal birokrasi, seperti yang ditetapkan oleh Max Weber, jelas mendefinisikan
karakteristik organisasi yang masih relevan selama bertahun-tahun. Organisasi publik telah
mengalami banyak perubahan pada abad lalu, tetapi mereka masih didasarkan pada warisan
Weberian dari tatanan hierarcal jelas, konsentrasi kekuasaan di antara para pejabat senior,
struktur formal dengan aturan dan peraturan yang ketat, saluran komunikasi terbatas,
keterbukaan terbatas pada inovasi dan perubahan, dan tidak mematuhi pilihan untuk
digantikan. Ide-ide ini tampaknya sangat berbeda dari sifat kerja sama, yang berarti
perundingan, partisipasi, kerja sama, aliran informasi bebas dan tak terbatas, inovasi,
perjanjian yang didasarkan pada kompromi dan saling pengertian, dan distribusi dan
redistribusi daya dan sumber daya yang lebih adil.
Menurut analisa utopian ini, kolaborasi adalah bagian penting dari demokrasi. Ini
berarti kemitraan di mana otoritas dan administrator negara menerima peran para pemimpin
yang perlu menjalankan kehidupan warga negara dengan lebih baik bukan karena mereka
lebih kuat atau lebih unggul, tetapi karena ini adalah misi dimana mereka diwajibkan. Mereka
harus melihat diri mereka sebagai berkomitmen kepada warga yang telah setuju untuk
dipimpin atau diperintah oleh pemerintah dengan syarat bahwa kehidupan mereka terus
meningkat. Untuk mendukung pengakuan atas, Thompson menyatakan bahwa demokrasi
tidak menderita birokrasi dengan senang hati. Semua sinyal ini bahwa persatuan negara alami
dalam administrasi publik adalah otoriter.

17
Tampaknya aneh untuk meminta kerja sama yang tulus antara mereka yang
berkuasa dan mereka yang mendelegasikan kekuasaan. Dalam banyak hal, meningkatnya
keterlibatan warga oleh kelompok bunga, partai politik, pengadilan, dan lembaga demokrasi
lainnya hanya akan mengganggu para politisi di kantor dan para pelaksana pelaksana negara.
Keterlibatan yang terlalu luas, di mata para politisi yang dipilih dan pejabat pemerintah yang
ditunjuk, dapat dianggap sebagai campur tangan dalam pekerjaan administratif mereka. Jadi,
kebebasan berbicara di hadapan umum dibatasi dan dikaburkan oleh kebutuhan para
administrator dan politisi untuk memerintah. Akibatnya, masyarakat kekurangan kebebasan
suara dan pengaruh. Sementara mekanisme demokrasi langsung dirancang untuk
menunjukkan hambatan tersebut pintu, demokrasi perwakilan modern memungkinkan
mereka masuk melalui pintu masuk belakang. Demokrasi perwakilan sering mengurangi
motivasi untuk kemitraan dengan tata kelola. Konstitusi, legislatif, struktur federal dan lokal,
serta institusi pemilu berada dalam penurunan yang lambat namun signifikan di banyak
masyarakat barat. Kebutuhan untuk mendorong kerja sama tingkat tertentu di antara lembaga
pemerintah politik, lembaga profesional administrasi publik, dan warga sebagai kelompok
atau kelompok pribumi telah disebutkan sebelumnya dan sudah maju dalam beberapa hal.
2.10 Sebuah perspektif multidimensi antara klien dan mitra
Seperti yang sudah ditunjukkan, kolaborasi didasarkan pada responsif. Namun, bagian
luar juga jelas. Selain itu, peningkatan kerja sama bukanlah ide baru dalam pemerintahan,
namun belum mencapai potensi penuh akibat persaingan informal dengan strategi perusahaan
seperti NPM. Interaksi ekonomi antara manajer dan pelanggan memiliki kelemahan mendasar
bagi negara-negara modern. Istilah klien, atau klien yang diterapkan di sektor swasta (yaitu
teori pilihan rasional atau teori lembaga), merupakan konsep dasar tentang kepemilikan,
pengampunan, kontribusi terhadap masyarakat, dan keterlibatan pribadi dalam kegiatan sipil.
Ketika seseorang diidentifikasi sebagai pelanggan, dia tidak aktif terlibat dalam inisiatif
sosial, tetapi hanya konsumen pasif dari pelayanan (atau produk), yang tunduk pada niat baik
dan kepentingan si pemilik.
Proses interaksi dari populasi G&PA yang berkembang harus diikuti dengan tingkat
integrasi yang masuk akal yang berlaku untuk semua lembaga sosial. Hubungan antara
G&PA, warga dan organisasi sosial lainnya adalah tujuan strategis demokrasi modern
terhadap semangat tata kelola pemerintahan yang baru (Fredrickson 1997). Administrasi
formal lama ditandai oleh tiga struktur, yaitu (1) transaksi layanan yang sah antara G&PA
dan warga; (2) hubungan sosial — transaksi informasi dan sumber daya manusia antara

18
warga dan pemain sosial lainnya; dan (3) sebuah transaksi barang ekonomi — kritik,
pengetahuan, dan transaksi barang ekonomi antara G&PA dan pemain sosial lainnya.
2.11 Peran G&PA
Peters (1999) menguraikan tentang keyakinan umum bahwa lembaga publik dewasa
ini terstruktur untuk mencegah partisipasi yang efektif. Mengingat hal ini, implikasi untuk
kolaborasi tidak perlu interpretasi lebih lanjut; Mereka hanya menekankan perubahan dan
tantangan yang dihadapi birokrasi modern dari era kita. Dari perspektif ini, tanggung jawab
utama pemerintah dan pemerintah adalah menetapkan tujuan-tujuan strategis yang dapat
memperkuat kemitraan dan memberdayakan warga negara. Kemitraan ini harus
dikombinasikan dengan sumber daya yang tersedia di sektor swasta dan tersier yang semakin
aktif terlibat dalam masyarakat dan publik untuk berbagai alasan. Untuk memenuhi
kebutuhan bagi partisipasi masyarakat yang efektif, organisasi ini harus fokus pada alat
“akuntabilitas” untuk menghadapi perubahan struktur dan budaya masa depan dan mencapai
tujuan mereka. Pemberdayaan dapat mendorong tindakan sipil yang disengaja tanpa
manipulasi negara. Pemerintah hanya dapat merangsang kondisi lingkungan yang diperlukan
untuk mendorong tindakan sukarela oleh warga, secara individu atau dalam kelompok, atau
sebagai bagian dari organisasi. Program interaktif dan kolaborasi perlu dikelola oleh warga
dan oleh para profesional yang memahaminya. Akan tetapi, para profesional dari dinas
kepada umum melaksanakan tugasnya sebagai penasihat dan pembela umum yang jujur, dan
bukan sebagai administrator lembaga – lembaga publik (kotak 1998, 1999; Rimmer 1997).
Seperti yang disarankan dalam riset sebelumnya, berbagai program dan teknik dapat
diterapkan untuk mencapai tujuan ini.
Pertama, program-program sukarela dalam kesehatan, kesejahteraan, pendidikan, dan
keamanan menuntut dukungan negara dan federal (Brudney 1990). Program pelatihan yang
tepat bagi para sukarelawan, serta kepemimpinan dan manajemen sukarela, hendaknya
dikembangkan dan dilaksanakan oleh para profesional. Kedua, aktivitas pendidikan yang
menekankan pentingnya kewirausahaan di tingkat individu dan organisasi dapat dimulai pada
usia dini dan meningkatkan kesadaran akan nilai keterlibatan masyarakat yang kuat sejak usia
dini. Tanpa komitmen yang luas terhadap pendidikan, inisiatif jangka panjang tetap terbatas
dan tidak lengkap. Pemerintah juga bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kerja sama
antara berbagai kelompok relawan.
2.12 Peran warga negara
Box (1998, 73–74) mengidentifikasi tiga jenis warga negara, diklasifikasikan dari
sepanjang rangkaian keinginan mereka untuk mempengaruhi tindakan penguasa dan

19
kebijakan publik yaitu pertama, dianggap sebagai konsumen publik layanan yang menerima
barang publik secara gratis dan membiarkan orang lain melakukan pekerjaan
kewarganegaraan, kedua aktivis adalah yang terlibat dalam kehidupan publik dan tindakan
kewarganegaraan untuk masyarakat, dan ketiga anjing penjaga yang ada di tengah kontinum,
hanya terlibat dalam isu-isu kunci yang relevan dengan diri mereka secara pribadi. Namun,
pengaruh politik dan sosial dari kelompok yang relatif kecil ini sangat besar dan tidak boleh
diremehkan. Secara praktis dan ideologis, garda depan ini membuka jalan bagi perubahan
sosial yang potensial.
Berdasarkan O’Connell (1989), organisasi sukarela dan yang ketiga sektor merupakan sekitar
10 persen dari volume ekonomi dari semua kegiatan pemerintah di Amerika Serikat, dan
jumlah ini (termasuk jumlah relawan) terus bertambah.
Didukung oleh minat akademik yang berkembang pesat dan usaha praktis, potensi
timbal balik yang menjanjikan keterkaitan dan kolaborasi antara G&PA dan warga negara
dapat dikembangkan lebih lanjut. Dalam hubungan ini, warga negara memiliki beberapa
peran. Yang paling dasar adalah partisipasi aktif dalam menjalankan kehidupan mereka dan
mengelola komunitas mereka. Peran ini sangat penting, sehingga tidak diserahkan semata-
mata di tangan politisi atau bahkan pelayan publik profesional. Hal ini dapat dicapai pada
beberapa tingkatan yaitu, individu, kelompok, atau institusional (Vigoda dan Golembiewski
2001).
Partisipasi dalam pergaulan lingkungan atau kelompok – kelompok sukarela untuk membantu
kaum muda, lansia, atau bagian – bagian lain dari penduduk, keterlibatan aktif dalam panitia
warga, keterlibatan dalam panitia – panitia orang tua di sekolah, menyumbangkan uang,
waktu, atau usaha untuk amal atau tujuan sosial yang setara, pengembangan pelayanan
masyarakat dalam berbagai tata krama, dan mendorong orang lain untuk mengambil bagian
dalam kegiatan sakral. Hal tersebut adalah misi yang layak untuk mengizinkan berkelanjutan
di antara orang-orang dalam proses administratif. Selain itu, warga negara wajib
menyuarakan kritik yang membangun terhadap sistem publik untuk mendorong budaya
akuntabilitas dan memberikan umpan balik bagi para politisi dan pelayanan masyarakat,
dengan meningkatkan responsibilitas dan rasa tanggung jawab mereka. Hal ini dapat dicapai
melalui jurnalisme sipil asli, surat kepada surat kabar, pejabat publik dan politisi, program
radio dan televisi, kendali dan penggunaan media komputerisasi untuk menyebarkan
pengetahuan dan sikap.
Sistem pendidikan memiliki kuasa untuk mengajari mereka yang termuda untuk
menjadi lebih terlibat dan untuk menggunakan metode ini dengan lebih ekstensif. Dengan

20
cara ini, keterlibatan masyarakat dapat terdengar ketika anak-anak tumbuh dewasa dan
menjadi warga dewasa dengan hak-hak dan tugas-tugas formal. Jadi, warga negara, seperti
halnya para pemain sosial lainnya, menjadi perantara sosialisasi kemitraan. Mereka memiliki
misi pendidikan untuk berkontribusi meningkatkan motivasi dan memberikan nilai-nilai
keterlibatan di generasi mendatang. Kemampuan mereka untuk meningkatkan pemahaman
tanggung jawab bersama dalam kehidupan sosial. Yang terakhir, untuk mengupayakan
partisipasi politik berskala besar (Almond dan Verba 1963; Verba, Schlozman, dan Brady
1995) dan mobilisasi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa menciptakan kondisi yang
diperlukan untuk keterlibatan seperti itu. Orang memiliki tugas untuk terlibat dalam kegiatan
kolaboratif dengan G&PA tetapi seperti yang disebutkan sebelumnya, G&PA memiliki tugas
yang lebih besar untuk menciptakan kondisi bagi keterlibatan tersebut dengan segala cara
yang tersedia. Selain itu, untuk meningkatkan kolaborasi antara warga dan G&PA dapat
menjadi lebih tenang dan lebih efektif ketika media dan akademisi bergabung dalam upaya
tersebut.
2.13 Peran media dan akademisi.
Fox dan Miller (1997) memperkirakan bahwa “pembicaraan kebijakan publik telah
memasuki era hiperrealitas yang dikendalikan media, terlepas dari pengalaman hidup
pemerintahan” (64). Media dalam demokrasi bebas bertanggung jawab atas promosi
akuntabilitas kepada warga negara. Untuk mencapai tujuan ini, media berupaya
meningkatkan transparansi lembaga-lembaga pemerintah. Tugas penting ini menimbulkan
perdebatan yang sah antara warga dan pemerintah mengenai bagaimana sumber daya publik
digunakan dan apakah tanggung jawab dibagi secara pantas untuk meningkatkan kebaikan
publik. Terlepas dari keterbatasannya, unsur-unsur positif “demokrasi lingkaran” (Fox and
Miller 1995) tidak dapat realistis tanpa media yang aktif, independen, dan bertanggung
jawab.
Media dalam demokrasi bebas bertanggung jawab atas promosi akuntabilitas kepada
warga negara. Untuk mencapai tujuan ini, media berupaya meningkatkan transparansi
lembaga-lembaga pemerintah. Tugas penting ini menimbulkan perdebatan yang sah antara
warga dan pemerintah mengenai bagaimana sumber daya publik digunakan dan apakah
tanggung jawab dibagi secara pantas untuk meningkatkan kebaikan publik. Terlepas dari
keterbatasannya, unsur-unsur positif “demokrasi lingkaran” (Fox and Miller 1995) tidak
dapat realistis tanpa media yang aktif, independen, dan bertanggung jawab. Namun, media
memiliki peran lain juga. Tanggung jawab utama mereka adalah untuk melayani sebagai

21
saluran komunikasi yang efektif dan dapat diandalkan antara warga dan pemerintah, salah
satu yang mempromosikan kolaborasi dan kemitraan.
Media adalah alat yang sangat kuat yang menggunakan pengaruh besar atas sikap dan
pendapat orang. Kekuatan ini dapat digunakan untuk mendorong keterlibatan warga dan
partisipasi dalam berbagai cara, tetapi juga untuk memperluas kesediaan administratif untuk
berkonsultasi kepada warga mengenai keputusan kebijakan yang relevan. Promosi tujuan ini
di saluran televisi dan radio publik termasuk jaringan komputerisasi yang tunduk pada
keputusan pembuat kebijakan. Warga yang sadar akan kekuatan mereka mungkin menuntut
keterlibatan yang lebih besar oleh media publik dalam meliput aksi kewirausahaan dan dalam
menghasilkan opini publik yang baik mengenai aktivitas yang mendukung masyarakat.
Media juga dapat mendorong perekrutan publik untuk kegiatan kolaborasi melalui program
pendidikan. Mengenai media, surat kabar, dan jaringan komputer swasta, kekuasaan warga
mungkin diarahkan langsung pada perusahaan telekomunikasi bisnis, menggunakan kekuatan
kolektif dari kelompok-kelompok konsumen dan opini publik umum. Ini adalah cara penting
di mana responsif/ketanggapan dapat bekerja dalam pelayanan kolaborasi.
Pemain penting lain dalam proses ini adalah akademisi. Kontribusi ilmu manajemen
dan administrasi kolaborasi antara G&PA – warga dan kemitraan warga ada dua. Pertama,
dengan menunjukkan teori pertimbangan, dasar konseptual, dan praktis berarti konteks untuk
kerja sama, ilmu manajerial mendorong pemahaman tentang upaya sosial bersama.
Pengetahuan ini penting untuk mengisolasi dan menumbuhkan manfaat kemitraan. Hal ini
juga menyoroti keuntungannya atas persaingan negara sederhana, yang merupakan konstruksi
utama sistem berbasis ekonomi atau interaksi berbasis responsif. Kedua, ketika ditegaskan
kembali oleh kekuatan ilmu pengetahuan, diskusi tentang kolaborasi diprioritaskan daripada
isu-isu umum dalam urusan sosial. Agenda publik menjadi lebih sensitif terhadap masalah
kemitraan dan nilai pertumbuhannya. Cara ini, pengelola dan administratif ilmu juga
mempromosikan legitimasi kerjasama dan mendorong lebih banyak individu untuk
berpartisipasi dalam perusahaan manajemen publik. Penegasan ilmiah tentang manfaat
sebenarnya dari tindakan kolaboratif mendorong penerimaan mereka baik di mata warga dan
penguasa, yang dalam jangka panjang dapat menetapkan mereka secara lebih kukuh dalam
budaya negara.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Administrasi publik membahas yang meliputi Negara dan pemerintahan. Tetapi,
dalam kehidupan praktek administrasi publik perlu dipikirkan upaya untuk mempertegas
garis batas antara Negara, pemerintah dan administrasi publik. Administrasi publik juga
mempunyai banyak sekali definisi, yang secara umum dapat dilihat dalam Trias Politika yaitu
Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif.
Administrasi publik saat ini menghadapi lingkungan yang dinamis namun menyajikan
hal-hal yang tidak dapat diprediksi dan tidak pastii. Untuk merespon situasi tersebut,
administrasi negara perlu mengembangkan kapabiltas baru yang relevan dengan dinamika
lingkungan dan tuntutan publik. Ada tiga jenis kapabilitas berpikir yang terbukti dibutuhkan
dalam pengembangan administrasi negara untuk saat ini dan masa depan yaitu berpikir ke
depan (thinking ahead), berpikir lagi (thinking again) dan berpikir melintas (thinking across).
Dengan pengembangan ketiga jenis kapabilitas berpikir maka administrasi negara dapat
memfasilitasi terciptanya iklim yang kondusif bagi berkembangnya inovasi pelayanan publik.
Administrasi publik meliputi semua cabang pemerintahan dan hal – hal yang
berkaitan dengan publik. Terdapat hubungan interaktif antara administrasi publikdengan
lingkungan sosialnya. Di antara berbagai unsur lingkungan sosial, unsur budaya merupakan
unsur yang paling banyak mempengaruhi penampilan (performance) administrasi publik.
Ilmu administrasi yang berorientasi kepada pencapaian tujuan masyarakat disebut dengan
istilah “Administrasi Publik/Negara”.
3.2 Saran
Dari penjelasan di atas, dalam isu – isu administrasi diharapkan mendapatkan solusi
atas isu atau permasalahan yang ada di dalam administrasi publik. Masyarakat atau publik
selalu menuntut untuk mendapat pelayanan yang lebih baik dari Administrasi Publik. Banyak
isu-isu Administrasi Publik yang masih menunggu untuk di klarifikasi, diteliti, dianalisis,
dikaji secara ilmiah, dan dicarikan solusi pemecahannya secara berkesinambungan. Jadi,
masyarakat (publik) mengharapkan agar pemerintah dapat segera menemukan solusi dan
dapat memecahkan isu – isu dari administrasi publik tersebut.

23
DAFTAR PUSTAKA

https://journal.uniga.ac.id/index.php/JPB/article/view/1

http://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/view/448

http://ejurnal.unisri.ac.id/index.php/MAP/article/view/1552

https://journal.unismuh.ac.id/index.php/Otoritas/article/view/22

https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/public
inspiration/article/view/3013/2157

https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11034

https://www.researchgate.net/publication/227547066_From_Responsiveness_to_Coll
aboration_Governance_Citizens_and_the_Next_Generation_of_Public_Administration

24

Anda mungkin juga menyukai