Anda di halaman 1dari 20

NILAI, SIKAP, KEPRIBADIAN, EMOSI, DAN KEPUASAN KERJA

DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Perilaku Organisasi Pendidikan Islam”

Dosen Pengampu : Dr. Hj. Sulistyorini, M.Ag.

Oleh

Anik Yulikah

12508194001

PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2021
A. PENDAHULUAN
Dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam selalu terdapat filosofi
kelembagaan yang didalamnya terdapat nilai, sikap, kepribadian, emosi dan kepuasan
kerja. Keberadaan ke empat unsur tersebut, meskipun tidak nampak secara kasat mata,
namun sesungguhnya memiliki dampak yang luar biasa terhadap berkembangnya sebuah
lembaga pendidikan. Keempat unsur tersebut juga berperan penting dalam membentuk
konsep berfikir sekaligus sikap bertindak para pengelola lembaga pendidikan Islam dalam
menghadapi segala tantangan dan hambatan. Tak hanya itu, nilai sikap,kepribadian dan
juga kepuasan kerja juga digunakan untuk memupuk setiap kekuatan dan peluang dalam
mengembangkan lembaga pendidikan Islam.
Nilai, sikap, kepribadian dan kepuasan kerja tersebut bagi setiap pengelola
lembaga pendidikan Islam memiliki keragaman dan dinamika yang luar biasa. Hal ini
dikarenakan setiap personalia lembaga pendidikan Islam memiliki persepsi dan respon
yang berbeda dalam melihat berbagai aspek yang ada di lembaganya. Oleh karena itu,
agar keberagaman cara berfikir dan bersikap tersebut dapat menguntungkan organisasi
maka perlu diikat dan akhirnya menjadi sebuah budaya organisasi.
Menciptakan budaya organisasi pada lembaga pendidikan Islam menjadi
pondasi awal dalam membangun perekat sosial di antara para pengelola. Hal ini penting
dilakukan dalam membentuk kesamaan identitas dan komitmen bersama sehingga arah
pengembangan lembaga pendidikan Islam dapat dipahami semua pihak yang terkait (set
mission). Sebenarnya budaya organisasi di lembaga pendidikan Islam juga dilakukan
dalam rangka mengawal setiap lini manajemen baik itu dalam melakukan perubahan,
mengaktualisasikan program kerja maupun menjaga mutu secara berkelanjutan. Ini
mengandung arti bahwa budaya organisasi dilakukan akan selalu mewarnai dalam setiap
tahapan pengelolaan lembaga pendidikan Islam.
Menurut Prof. Dr. Baharuddin, MPd.I. berbicara budaya organisasi dalam
lembaga pendidikan Islam tidak terlepas dari kerangka ilmu ushul fiqh. Budaya organisasi
dalam tinjauan ilmu fiqh sesungguhnya tidak lepas dari konsep “urf” yang memiliki
makna sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka apa saja yang dipandang baik dan dikenal oleh semua pengelola lembaga
pendidikan Islam sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi kode etik organisasi, maka
harus dilaksanakan.
Budaya organisasi menjadi aturan main yang membentuk perilaku para
pengelola ketika berinteraksi dengan pengelola lain maupun masyarakat luas. Budaya
organisasi bisa menjadi kekuatan tersembunyi dari lembaga pendidikan Islam manakala
dijalankan dengan satu kesatuan yang utuh dan para pengelola bahu membahu meyakini,
menerjemahkan dan mengimplementasi hal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dan
pertaruhan harga diri.
Apalagi dalam era digital ini, era terjadinya berbagai disrupsi (gangguan) baik
dalam bidang bisinis maupun pasar tenaga kerja. Banyak pekerjaan tumbuh sekaligus
hilang, dan terjadi pula pada sebuah Lembaga Pendidikan. Karenanya harus ada
antisipasi, menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut? Apa yang perlu disesuaikan?
SDM mesti beradaptasi dan memiliki kesiapan serta kemampuan dan skill, terkhusus
terhadap kemampuannya untuk mengimplementasikan nilai, sikap, emosi, kepribadian
yang mana hal itu adalah beberapa poin yang membuat SDM tersebut tidak bisa
tergantikan dengan robot/mesin.
Dalam World Economic Forum dirilis 10 skill yang mesti dimiliki di era 4.0
yaitu; 1) Pemecahan Masalah (Complex problem solving), 2) Critical thinking, 3)
Creativity, 4) People management (manajemen manusia) atau leadership, 5) Coordinating
with other, 6) Emotion intelligence, 7) Judgment and decision making (penilaian dan
pengambilan keputusan), 8) Service orientation, Kemampuan untuk „melayani‟, 9)
Negotiation, dan 10) Cognitive flexibility, Kemampuan untuk switch atau pengalihan
dalam berpikir sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.1 Beberapa alasan tentang
pentingnya memperhatikan nilai-nilai, sikap, emosi dan kepribadian, serta kepuasan kerja
juga disebutkan oleh beberapa penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa
kemampuan akademik bawaan (IQ) tidak memberikan prediksi kinerja seseorang dalam
bekerja dan seberapa sukses mereka dikemudian hari.2 Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa kolerasi skor IQ dengan tingkat kinerja seseorang dalam karier, taksiran tertinggi
hanya 25 persen, bahkan dengan analisa lain hanya 10 atau 4 persesn. 3. Karenanya
pembelajaran dengan mengedepankan IQ (kecerdasan linguistik dan logis-matematis)

1
Widiarini, Annisa Dea. (2018), "Ingat, Ini "Skill" yang Harus Dimiliki di Era Industri 4.0",
https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/31/10222981/ingat-ini-skill-yang-harus-dimiliki-di-era-
industri-40?page=all.
2
McClelland, David.C. (1973). Testing for Competence Rather than Intelligence, American Psycologist,
46., dan Goleman, D. (2003). Working with Emotional Intelligence, Jakarta, Gramedia, hal 25.
3
ibid, hal 30
yang sekarang ini mendominasi lembaga pendidikan harus diubah spektrumnya menjadi
lebih majemuk dan mengedepankan nilai,sikap-kepribadian serta kecerdasan emosional
(EI).
Pertanyaannya bagaimana meningkatkan dan mengasah itu semua, terutama
sejak dini? Disinilah diperlukan perubahan paradigma, terutama paradigma berfikir dan
pembelajaran di lembaga pendidikan. Bagaimana lembaga-lembaga pendidikan merubah
konsepsi pembelajaran, materi-ajar, strategi belajar sehingga itu semua mampu
menfasilitasi minat-bakat dan kecendrungan sesuai dengan tantangan era digital. Untuk
melakukan perubahan paradigma dan pembelajaran dalam dunia pendidikan, maka guru
adalah ujung tombaknya, mereka harus memiliki kesiapan-kesiapan untuk itu.
Dalam organisasi terutama organisasi jasa-layanan seperti pendidikan,
diperlukan kepribadian dan sikap mental (emosi) serta perilaku “orientasi service”.
Kepribadian tertentu memiliki kecendrungan sikap-sikap tertentu dan sikap-sikap itu
akan mengarahkan perilaku orientasi service. Karenanya guru sebagai ujung tombak
pendidikan diharapkan memilki ke 3 hal tersebut Kepribadian yang positif, Kecerdasan
Emosi (EI) yang baik serta perilaku orientasi service, seperti teori perilaku organizational
citizenship behavior (OCB).
Ciri khas budaya organisasi yang paling melekat di lembaga pendidikan Islam
adalah spirit ruhul jihad. Budaya organisasi ini menekankan pentingnya bekerja dan
mengabdi di lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari jihad paling agung dalam
Islam. Dalam konteks manajemen modern, ruhul jihad harus dioperasionalkan dalam
aspek yang lebih spesifik. Sebagian pengelola lembaga pendidikan Islam masih
memandang bahwa ruhul jihad masih sebatas kepada pengajaran dan pendidikan.
Sementara aspek yang lain seperti penjamina mutu (quality assurance), pelayanan yang
memuaskan (customer sastisfaction) dan sebagainya, nampaknya masih belum banyak
diperhatikan.
Di era sekarang, memperjuangkan budaya organisasi yang unggul dalam
lembaga pendidikan Islam merupakan sebuah pertaruhan dan kebutuhan. Berbicara
kualitas lembaga pendidikan Islam dari zaman ke zaman akan menghadapi kompleksitas
permasalahan yang beragam dan kian rumit. Oleh karena itu, ruhul jihad sebagai salah
satu core values budaya organisasi harus terus dipertahankan dan dikembangkan
implementasinya dalam berbagai aspek dalam mengelola lembaga pendidikan Islam.
Maka sudah sepestinya menjadikan Ruhul jihad is power, yakni ruhul jihad sebagai
kekuatan utama dalam membawa lembaga pendidikan Islam lebih maju dan beradab. Hal
ini sesuai dengan firman Alloh dalam al Qur’an at Taubah ayat 20 yang berbunyi :

ِ َّ ‫الَّذِين آمنُوا وهاج ُروا وجاهدُوا فِي سبِي ِل‬


‫ّللا بِأ ْموا ِل ِه ْم وأ ْنفُ ِس ِه ْم‬
َٰ ُ ‫ّللا وأ‬
‫ولئِك ُه ُم ْالفائِ ُزون‬ ِ َّ ‫أعْظ ُم درجة ِع ْند‬
Artinya : orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan
harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

Apabila prinsip ruhul jihad dibudayakan dan ditransformasikan (sharing ruhul


jihad is more powerful) dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sebuah nilai, sikap, dan
kepribadian yang mewarnai setiap elemen manajerial lembaga pendidikan Islam, tentu
hal itu akan membawa tsunami perubahan yang produktif bagi pengembangan lembaga
pendidikan Islam dalam mencetak mutu pendidikan Islam yang unggul, unggul dan
unggul.
Intinya, sebuah organisasi dituntut untuk mengelola dan mengoptimalkan
sumber daya manusia, tidak terkecuali sebuah lembaga Pendidikan, dengan
mengoptimalkan implementasi nilai, sikap, emosi dan kepribadian serta kepuasan kerja.
Tujuannya yaitu agar pengelolaan sumber daya manusia dapat berjalan sesuai dengan apa
yang diharapkan organisasi, dan mampu menunjang berkembangnya lembaga
pendidikan. Unsur- unsur tersebut meskipun secara kasat mata tidak terlihat, namun
memiliki imbas yang luar biasa terhadap keberlangsungan Lembaga Pendidikan yang
apabila tepat dalam pengelolaannya akan menjadi kekuatan Lembaga, tetapi apabila tidak
diperhatikan maka akan mengancam keberlangsungan Lembaga Pendidikan. Karena bisa
jadi unsur-unsur tersebut akan berkembang menjadi sebuah kepribadian yang
menghambat berkembangnya Lembaga seperti munculnya budaya mangkir. Istilah
mangkir adalah kecenderungan untuk pergi tanpa alasan yang baik. Kemangkiran telah
lama dianggap sebagai masalah yang signifikan dan meluas dalam permasalahan
karyawan. Kemangkiran sendiri memiliki keterkaitan dengan kepuasan kerja dan
komitmen dalam organisasi.4 Sebagai hasilnya, sebuah teori telah dikembangkan dan

4
Podsakoff, P.M., Mackenzie, S.B., Paine, J.B., Dan Bachrach, D.G. (2000). Organizational Citizenship
Behavior: A Critical Review of Theoretical Empirical Literature And Suggestions For Future Research.
Journal of Management, 26 (3): 513-563.
banyak studi yang dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kemangkiran karyawan.
Aamodt,5 mengemukakan sebuah teori menarik dari kemangkiran karyawan, yang
berpendapat bahwa kemangkiran merupakan hasil dari ciri-ciri kepribadian.

B. PEMBAHASAN DAN DISKUSI


Sebuah organisasi dituntut untuk mengelola dan mengoptimalkan sumber daya
manusia, terutama dalam hal mengimplementasikan nilai, sikap, emosi, kepribadian,
emosi dan kepuasan kerja. Tujuannya yaitu agar pengelolaan sumber daya manusia dapat
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan organisasi. Berikut akan dijelaskan terkait
nilai, sikap, kepribadian, emosi dan kepuasa kerja dalam Lembaga Pendidikan Islam.
1. NILAI
Nilai berasal dari bahasa latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan,
berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik,
bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Nilai
adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai,
berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermanfaat. Menurut
Steeman, nilai adalah sesuatu yang memberi makna pada hidup, yang memberi acuan,
titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat
mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan. Nilai
selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang sangat erat
antara nilai dan etika. Nilai akan selalu berhubungan dengan kebaikan, kebijakan dan
keluhuran budi serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi serta
dikejar oleh seseorang sehingga ia merasakan adanya suatu kepuasan dan ia merasa
menjadi manusia yang sebenarnya.6 Linda dan Richard Eyre mengungkapkan yang
dimaksud dengan nilai adalah :
standar-standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita
hidup lebih baik, dan memperlakukan orang lain secara lebih baik. Sedangkan yang
dimaksud dengan moralitas adalah perilaku yang diyakini banyak orang sebagian
benar dan sudah terbukti tidak menyusahkan orang lain, bahkan sebaliknya. 7

5
Aamodt, G. M. 2004. Applied industrial/organizational psychology. Belmont, California: Wadsworth,
Inc.
6
Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987), hal 65.
7
Sutarji Adisusilo, pembelajaran Nilai-Karakter: Kontruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan
Pembelajaran Afektif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal 57.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada didalam yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan
seseorang tentang sesuatu yang baik dan buruk, indah dan tak indah, layak dan tidak
layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang tentang
semua itu tidak bisa disamakan, kita hanya bisa mengetahuinya dari perilaku yang
bersangkutan. Oleh karena itu, nilai pada dasarnya merupakan standar perilaku, ukuran
yang menentukan atau kriteria seseorang tentang sesuatu yang baik dan tidak baik, indah
dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak lain. Standar itu yang akan
mewarnai tingkah laku seseorang.
Nilai sebagai sesuatu yang abstrak mempunyai sejumlah indikator yang dapat
kita cermati, yaitu:
a. Nilai memberi tujuan atau arah (goals or purposes) kemana kehidupan harus
menuju, harus dikembangkan atau harus diarahkan.
b. memberi inspirasi (aspirations)atau inspirasi kepada seseorang untuk hal yang
berguna, yang baik, yang positif bagi kehidupan.
c. mengarahkan seseorang untuk bertingkah laku (attitudes) atau bersikap sesuai
moralitas masyarakat, jadi nilai itu memberi acuan atau peoman sebagaimana
seharusnya seseorang harus bertingkah laku.
d. Nilai itu menarik (intersts) memikat hati seseorang untuk dipikirkan, untuk
direnungkan, untuk dimiliki, untuk diperjuangkan, dan untuk dihayati.
e. Nilai mengusik perasaan (feelings) hati nurani seseorang ketika sedang
mengalami berbagai perasaan, dan suasana hati, seperti senang, sedih, tertekan,
bergembira, bersemangat dan lain-lain.
f. Nilai terkait dengan keyakinan atau kepercayaan seseorang (beliefs and
convictions) suatu kepercayaan atau keyakinan juga terkait dengan nilai-nilai
tertentu.8
Suatu nilai menuntut adanya aktivitas (activities) perbuatan atau tingkah laku
tertentu sesuai nilai tersebut, jadi nilai tidak berhenti pada pemikiran, tetapi mendorong
atau menimbulkan niat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan niat tersebut. Nilai
biasanya muncul dalam kesadaran, hati nurani atau pikiran seseorang, ketika yang
bersangkutan dalam situasi kebingungan, mengalami dilema atau menghadapi berbagai

8
Ibid, 58-59.
persoalan hidup (worries, problems, obstacles). Nilai merupakan apa yang diyakini
seseorang terhadap sebuah pendapat. Nilai yang diyakini seseorang akan menghadapi pro
dan kontra di lingkungan, baik dari keluarga, teman, rekan kerja, dan masyarakat.
Nilai penting untuk mempelajari perilaku keorganisasian karena nilai
meletakkan dasar untuk memahami sikap dan motivasi, serta karena nilai memengaruhi
persepsi kita. Nilai memengaruhi sikap dan perilaku. Sumber system nilai kita sebagian
besar ditentukan secara genetic. Sisanya disebabkan oleh factor-faktor lingkungan seperti
budaya nasional, perintah orang tua guru, teman, dan masyarakat.

2. SIKAP
Pengertian Sikap Menurut Oxford Advanced Learner Dictionary mencantumkan
bahwa sikap (attitude) berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu “Manner of placing or
holding the body, dan way of feeling, thinking or behaving”. Campbel mengemukakan
bahwa sikap adalah “A syndrome of response consistency with regard to social objects”.
Artinya sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten terhadap obyek sosial.9 Menurut
Eagle dan Chaiken mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi
terhadap obyek sikap yang diekspresikan ke dalam prosesproses kognitif, afektif (emosi)
dan perilaku.10
Dari definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri
dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan
dipelajari), perilaku (cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi
(menyebabkan respon-respon yang konsisten).
Ciri-ciri Sikap menurut Heri Purwanto adalah: a. Sikap bukan dibawa sejak lahir
melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungannya
dengan obyeknya. b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap
dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu
yang mempermudah sikap pada orang itu. c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa
mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu obyek. Dengan kata lain sikap itu
terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu
yang dapat dirumuskan dengan jelas. d. Obyek sikap itu merupakan suatu hal tertentu

9
Notoatmojdo, Soekijdo. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta, 2003, Hal 29.
10
Wawan, A dan Dewi, M.. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan Perilaku Manusia.. Yogyakarta
: Nuha Medika. 2010. Hal 20.
tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. e. Sikap mempunyai segi-
segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan
kecakapan- kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.11
Tingkatan Sikap sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: a) Menerima
(receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (obyek); b) Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila
memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan
tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang
tersebut menerima ide itu; c) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga, dan d) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap
yang paling tinggi.12
Fungsi Sikap Menurut Katz (1964) sikap mempunyai beberapa fungsi, yaitu: a)
Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat Fungsi ini berkaitan
dengan sarana dan tujuan. Orang memandang sejauh mana obyek sikap dapat digunakan
sebagai sarana atau alat dalam rangka mencapai tujuan. Bila obyek sikap dapat membantu
seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersifat positif terhadap obyek
tersebut. Demikian sebaliknya bila obyek sikap menghambat pencapaian tujuan, maka
orang akan bersikap negatif terhadap obyek sikap yang bersangkutan; b) Fungsi
pertahanan ego Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk
mempertahankan ego atau akunya. Sikap ini diambil oleh seseorang pada waktu orang
yang bersangkutan terancam keadaan dirinya atau egonya; c) Fungsi ekspresi nilai Sikap
yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai
yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan
kepuasan dapat menunjukkan kepada dirinya. Dengan individu mengambil sikap tertentu
akan menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan;
d.) Fungsi pengetahuan Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan
pengalaman-pengalamannya. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu

11
Notoatmojdo, Soekijdo. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta, 2003, Hal 34.
12
Ibid.
terhadap suatu obyek, menunjukkan tentang pengetahuan orang terhadap obyek sikap
yang bersangkutan.13
Komponen Sikap Menurut Azwar sikap terdiri dari 3 komponen yang saling
menunjang yaitu: a) Komponen kognitif Merupakan representasi apa yang dipercayai
oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang
dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila
menyangkut masalah isu atau yang kontroversial; b) Komponen afektif Merupakan
perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya
berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen
afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu; c)
Komponen konatif Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap
yang dimiliki oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk
bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.14
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Menurut Azwar yaitu: a) Pengalaman
pribadi Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila pengalaman
tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila
pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional; b)
Pengaruh orang lain yang dianggap penting Individu pada umumnya cenderung untuk
memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan
untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut; c) Pengaruh
kebudayaan Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat
asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah: d) Media massa Dalam pemberitaan surat
kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual
disampaikan secara obyektif berpengaruh terhadap sikap konsumennya: e) Lembaga
pendidikan dan lembaga agama Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan
lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila
pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap, dan f) Faktor emosional Kadang

13
Wawan, A dan Dewi, M.. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan Perilaku Manusia.. Yogyakarta
: Nuha Medika. 2010. Hal 23.
14
Azwar, S. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Hal 23.
kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi
sebagai sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahana.15
Sedangkan tiga sikap yang mempengaruhi pekerjaan baik dilingkungan
perusahaan maupun Lembaga Pendidikan yaitu:
• Kepuasan kerja Istilah kepuasan keja merujuk pada sifat umum individu terhadap
pekerjaannya.Seseorang dengan tingkat kepuasan tinggi menunjukkan sikap yang
positif terhadap kerja itu.
• Keterlibatan kerja istilah keterlibatan kerja merupakan tingkat dimana seseorang
mengaitkan dirinya ke pekerjaannya, secara aktif berpartisipasi didalamnya, dan
mengganggap kinerjanya penting bagi nilai dirinya.
• Komitmen pada organisasi Merupakan tingkat dimana karyawan mengaitkan
dirinya ke organisasi tertentu dan sasaran-sasarannya, dan berharap
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut.

3. KEPRIBADIAN
Menurut Allport dalam Robbins dan Judge (2008), kepribadian adalah
keseluruhan cara di mana seorang individu beraksi dan berinteraksi dengan individu lain.
Kepribadian membentuk perilaku setiap individu. Maka, apabila ingin memahami dengan
lebih baik perilaku seseorang dalam suatu organisasi, sangatlah berguna jika mengetahui
sesuatu tentang kepribadiannya.16 Sedangkan Luthans mengemukakan, “Personality is
mean how people affect others and how they understand and view themselves, as well as
their pattern of inner and outer measurable traits and the person-situation interaction.”
(Kepribadian berarti bagaimana orang mempengaruhi orang lain dan bagaimana mereka
memahami dan melihat diri mereka, serta pola mereka dalam dan luar sifat-sifat terukur
dan interaksi orang-situasi).17
Kepribadian adalah pola cara yang relatif abadi yang seseorang merasa, berpikir,
dan berperilaku. Kepribadian merupakan faktor penting dalam organisasi mengapa
karyawan bertindak seperti yang mereka lakukan dalam organisasi dan mengapa mereka
memiliki sikap yang menguntungkan atau tidak menguntungkan terhadap pekerjaan dan

15
Ibid. Hal 30
16
Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat. 2009.
17
Luthans, Fred. Perilaku Organisasi. Yogyakarta. Andi. 2011. Hal 126.
organisasi mereka. Kepribadian telah terbukti mempengaruhi pilihan karir, kepuasan
kerja, stres, kepemimpinan, dan beberapa aspek prestasi kerja.18
Kepribadian seorang individu merupakan suatu kelompok ciri yang relative
stabil, tendensi-tendensi, dan temperamen-temperamen yang sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor yang diwariskan, dan oleh factor-faktor social, kultur, dan lingkungan.19
Kepribadian didefinisikan sebagai karakteristik fisik dan mental yang stabil yang
memberikan indentitas pada individu.20
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepribadian
adalah karakteristik fisik (perilaku) dan mental (perasaan dan fikiran) yang stabil
seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain yang sifat-sifatnya relative abadi
sehingga menunjukkan sebuah identitas diri individu.Alasan paling penting kenapa
pimpinan atau manajer baik dalam perusahaan maupun Lembaga pendidikan perlu
mengetahui bagaimana mengkur kepribadian adalah bahwa riset telah menunjukkan
kegunaan uji kepribadian dalam keputusan perekrutan dan membantu pimpinan atau
manajer memprediksi siapa yang terbaik untuk sebuah pekerjaan.

4. KEPUASAN KERJA
Job satisfaction atau kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan
seseorang yang memperlihatkan perbedaan antar jumlah penghargaan yang diterima
pekerja dengan jumlah yang diyakini seharusnya mereka terima. Menurut Robbins, “Job
satisfaction is a positive feeling about a job resulting from an evaluation of its
characteristics.” (Kepuasan kerja adalah perasaan positif terhadap pekerjaan yang
dihasilkan dari evaluasi atas karakteristik-karakteristik).21 Sedangkan Lock
mengemukakan: “Job satisfaction is a pleasurable or positive emotional state resulting
from the appraisal of one’s job or job experience.” (Kepuasan kerja merupakan suatu

18
George, Jennifer M. and Jones, Garenh R.. Understanding and Managing Organizational Behavior, sixth
edition. Pearson Education, Inc., publishing as Prentice Hall, One Lake Street, Upper Saddle River, New
Jersey 074558. 2012. Hal 38.
19
Winardi, J.. Manajemen Perikalu Organisasi, edisi revisi. Jakarta: Premada Media. 2004. Hal 220.
20
Kreitner, R. dan Kinicki, A. Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Salemba Emban
Patria. . 2003. Hal 175.

21
Robbins Stephen P. and Timothy A. Judge. Organizational Behavior. 15th Edition, Pearson Printice All.
Person Education Limited. England. 2013. Hal 113.
ungkapan emosional yang bersifat positif atau menyenangkan sebagai hasil dari penilaian
terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja).22
Mathis dan Jackson dalam Sopiah mengemukakan, “Job satisfaction is a positive
emotional state resulting one’s job experience.” (Kepuasan kerja merupakan pernyataan
emosional yang positif yang merupakan hasil evaluasi dari pengalaman kerja).23 Kreitner
dan Kinicki, mengemukkan, “Kepuasan kerja adalah suatu efektivitas atau respons
emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan.24
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Kepuasan
kerja adalah suatu ungkapan emosional seorang pekerja yang bersifat positif tehadap
pekerjaannya yang sudah dievaluasi berdasarkan karakteristik-karakteristiknya sesuai
dengan harapan pekerjaannya. Menurut Sopiah aspek-aspek kerja yang berpengaruh
terhadap kepuasan kerja: Promosi, Gaji, Pekerjaan itu sendiri, Supervise, Teman kerja,
Keamanan kerja, Kondisi kerja, Administrasi/ kebijakan perusahaan, Komunikasi,
Tanggung jawab, Pengakuan, Prestasi kerja, dan Kesempatan untuk berkembang.25
Selanjutnya, kita akan membahas hubungan kepuasan kerja di tempat kerja.
Menurut Robbin,26 kepuasan kerja dihubungan dengan 7 aspek di tempat kerja: 1)
Kepuasan kerja dan kinerja. Pekerja yang bahagia lebih mungkin merupakan pekerja yang
produktif; 2) Kepuasan kerja dan perilaku kewargaan organisasional (organizational
citizenship behavior [OCB]). Pekerja yang puas akan kelihatan berbicara positif
mengenai organisasinya, membantu yang lain, dan melebihi ekspektasi normal dalam
pekerjaannya, mungkin kerana ingin membalsa pengalaman positifnya. Mereka yang
merasa rekan kerjanya membantu mereka lebih mungkin terlibat dalam perilaku yang
membantu, sedangkan yang memiliki hubungan antalogistik dengan rekan kerjanya
kurang mungkin untuk melakukannya demikian. Individu dengan ciri-ciri kepribadian
tertentu jugalebih puas dengan pekerjaan merek, yang kemudian mengarahkan mereka
untuk terlibat di lebih banyak OCB. Akhirnya, menunjukkan bahwa orang dalam suasana
hati yang baik, mereka akan lebih mungkin untuk terlibat dalam OCB; 3) Kepuasan kerja

22
Luthans, Fred. Perilaku Organisasi. Yogyakarta. Andi. 2011. Hal 141.
23
Sopiah. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. 2008. Hal 170.
24
Kreitner, R. dan Kinicki, A. Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Salemba Emban
Patria. 2003. Hal 271.
25
Sopiah. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. 2008. Hal 172.
26
Robbins Stephen P. and Timothy A. Judge. Organizational Behavior. 15th Edition, Pearson Printice All.
Person Education Limited. England. 2013. Hal 113.
dan kepuasan pelanggan. Pekerja yang puas akan pekerjaannya akan meningkatkan
kepuasan dan loyalitas pelanggannya; 4) Kepuasan kerja dan absen. Dalam hal ini ketika
pekerja tidak puas atas pekerjaannya maka mereka lebih cenderung meninggalkan
pekerjaannya, tetapi factor-faktor lainnya jyga mempengaruhi hubungan itu. Organisasi
yang memberikan cuti sakit mendorong semua pekerja, termasuk mereka yang sangat
puas, untuk mengambil cuti. Pekerja yang tidak puas akan memiliki tingkat absen yang
tinggi, tetapi ketika mereka memiliki tingkat absen rendah berarti mereka puas atas
pekerjaannya: 5) Kepuasan kerja dan perputaran pekerja. Hubungan kepuasan kerja dan
perputaran pekerja dipengaruhi oleh prospek kerja. Jika seseorang dihadapkan oleh
pekerjaan yang tidak diinginkan maka ketidakpuasan kerja kurang prediktif untuk
perputaran karena pekerja itu lebih mungkin beralih pada perputaran pekerjaan saat
peluang pekerjaannya banyak. Tetapi jika seseorang dihadapkan oleh pekerjaan yang
diinginkan maka kepuasan kerja dapat dirasakannya; 6) Kepuasan kerja dan
penyimpangan di tempat kerja. Pekerja yang tidak puas atas pekerjaannya akan melalukan
perilaku-perilaku yang menyimpang, seperti penyalahan zat terlarang, mencuri di tempat
kerja, sosialisasi yag kurang, dan sering terlambat; 7) Manajer sering “tidak paham”.
Banyak manajer tidak perduli dengan kepuasan kerja pekerjanya. Namun ada juga
manajer yang masih beranggapan berlebihan bahwa para pekerja puas dengan pekerjaan,
sehingga mereka tidak berfikir ada masalah saat benar-benar ada masalah. Manajer
seharusnya tertarik akan sikap pekerjanya karena sikap memberikan peringatan mengenai
masalah potensial dan mengurangi perilaku. Menciptakan angkatan kerja yang hamper
puas tidak pernah menjadi jaminan kinerja organisasi yang sukses, tetapi bukti
menyatakan dengan kuat bahwa apa pun yang dapat dilakukan manajer untuk
meningkatkan sikap pekerja akan mungkin menghasilkan efektivitas organisasi yang
meningkat sampai pada kepuasan pelanggan yang tinggi.

5. KECERDASAN EMOSIONAL (EI)


Salovey dan Mayers mendefinisikan emosi sebagai respon terorganisasi,
termasuk sistem fisiologis, yang melewati berbagai batas sub-sistem psikologis, misalnya
kognisi, motivasi, dan pengalaman.27 Goleman mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan

27
Wahyono, T. Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik. Jogjakarta: Anima.2001.
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam hubungan dengan orang lain.28
Peter Salovey dan Jack Mayer mendefiniskan EI sebagai “Kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam
sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Sejumlah keterampilan yang
berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, serta
kemampuan untuk mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan dan meraih
tujuan kehidupan. Sedangkan Reuven Bar-On mengemukakan bahwa kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi dan kecakapan non-kognitif,
yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan
tekanan lingkungan.29
Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat
menggunakan perasaannya secara optimal guna mengenali dirinya sendiri dan lingkungan
sekitarnya. Kecerdasan emosilah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan
potensi unik kita dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai yang paling dalam,
mengubahnya dari apa yang kita fikirkan menjadi apa yang kita jalani.
Dimensi Kecerdasan Emosi (EI), menurut Goleman meliputi; A) Kecakapan
Pribadi (Personal Competence), Kecakapan untuk menentukan bagaimana kita mengelola
diri sendiri). Dan B. Kecakapan Sosial (Social Copetence), Kecakapan untuk bagaimana
menangani hubungan).Kecakapan Pribadi terdiri dari; 1) Kesadaran Diri (Self
Awereness), 2) Pengaturan Diri (Self Control), 3) Motivasi (Self Motivation). Kecakapan
Sosial (Social Competence), terdiri dari; 4) Empati (Emphaty), 5) Keterampilan Sosial
(Social Skill).30

28
Goleman, Daniel. “Emotional Intelligence (Terjemahan T Hermaya)”, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.2003. Hal 512.
29
Stein, S. J Howard. “Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses”, Kaif, Bandung. 2002. Hal
30.
30
Goleman, Daniel. “Emotional Intelligence (Terjemahan T Hermaya)”, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.2003. Hal 42-43.
Diskusi
Berdasarkan beberapa pembahasan diatas ternyata urgensi nilai, sikap,
kepribadian, emosi dan juga kepuasan kerja dalam lembaga pendidikan islam tidak jauh
berbeda dengan perusahaan. Tidak sedikit Lembaga-lembaga Pendidikan islam yang
menempatkan implementasi dan juga pengawasan terhadap nilai, sikap, kepribadian dan
emosi dan kepuasan kerja menjadi program yang penting, bahkan sebelum Lembaga
tersebut resmi dibuka. Banyak Lembaga Pendidikan yang menggunakan penilaian
implementasi kelima unsur tersebut dengan berbagai metode pengukuran, dan
menggunakan hasil yang didapatkan untuk pengambilan keputusan penting dalam sebuah
Lembaga.
Beberapa penelitian banyak yang menyebutkan bahwa nilai, sikap, emosi,
kepribadian dan kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan terhadap
perkembangan sebuah Lembaga Pendidikan Islam. Seperti penelitian Colquitt et al
bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh factor personal dan kepribadian. Dan juga
penelitian Gibson et al. 1992 tentang Big Five (Openness, Conscientiousness,
Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism) merupakan karakter kepribadian positif,
ini akan mendukung seseorang dalam bersikap dan berperilaku terhadap organisasi.
Makin baik kepribadian dan emosi (BV dan EI) seseorang, akan memberikan dampak
pada bagaimana mereka mempersepsi dan penafsiran secara terorganisir terhadap
stimulus yang masuk.31 Dan juga masih banyak penelitian yang lain yang menemukan
bahwa kepribadian memberikan pengaruh terhadap komitmen organisasi. George dan
Brief berpendapat bahwa kemauan seseorang untuk membantu orang lain juga
dipengaruhi oleh mood (EI dan Big Five), Barrick & Mount (2001), menyatakan bahwa
dimensi BV (extraversion) adalah penentu utama dalam perilaku sosial. Oleh karena itu,
individu dengan karakter extraversion akan menampilkan perilaku yang lebih fleksibel
dan membuat mereka lebih mungkin untuk menunjukkan OCB.
Dalam organisasi dan juga Lembaga Pendidikan, kepribadian merupakan hal
penting yang mempengaruhi perilaku kerja. Perilaku kerja tersebut bahkan juga menjadi
salah satu penyebab alasan yang menyebabkan seorang karyawan yang sering mangkir
krrja ataupun tidak disiplin disamping factor lain yaitu situasi kerja.

31
Colquitt, J. A, Wesson, M. J, Porter, C. O. L. H., Conlon, D. E., & Ng, K. Y. Justice at the Millennium:
A Meta-Analytic Review of 25 Years of Organizational Justice Research. Journal of Applied Psychology,
86(3), 2001.
Bila BV baik, secara umum maka mereka akan mudah bergaul, memiliki sikap
ramah, tidak mudah mengeluh, siap membantu orang lain dan seterusnya. Dimana
kesemua itu akan memberikan efek pada perilaku berbentuk kesediaan secara sadar dan
sukarela bekerja, memberikan kontribusi lebih dari peran yang dituntut secara formal oleh
organisasi (OCB). Yang didalam Lembaga pendidikan Islam biasa disebut dengan ruhul
jihad atau service oriented.
Orang dengan EI tinggi akan mampu memahami diri sendiri, orang lain dan
linkungannya dengan baik, dan dapat memanfaatkan emosinya untuk meningkatkan
perilaku dan sikap menuju hal yang lebih positif, lebih termotivasi, puas juga mengatasi
masalah lingkungan kerja serta kehidupannya. EI juga mengurangi stress kerja dan
mengarahkan kinerja tinggi serta keberhasilan organisasi.32

C. KESIMPULAN
Nilai, sikap, kepribadian, emosi, dan kepuasan kerja adalah sesuatu yang penting
dalam pelaksanaan Lembaga pendidikan Islam. Banyak penelitian yang memfokuskan
unsur-unsur kepribadian tersebut sangat berpengaruh terhadap berkembangnya lembaga
pendidikan. Seperti hal nya perusahaan, kini Lembaga pendidikan sudah banyak yang
menempatkan aspek religiusitas dan ketinggian nilai, sikap, emosi dan kepuasan kerja
dalam pembinaan terhadap seluruh pelaku organisasi.

Implementasi dari nilai, sikap, kepribadian, emosi dan kepuasan kerja menjadi
tanggungjawab bersama bukan hanya tugas menejer tetapi juga setiap pelaku organisasi/
Lembaga. Hal ini sesuai dengan ajaran agam Islam bahwa kita semua adalah kholifah fil
‘ardli, sehingga masing-masing kita akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang
kita laksanakan, seperti nilai, sikap, kepribadian, dan juga emosi. Seperti dalam al Qur’an
Al Isro’ Ayat 17.

32
Mounts, dkk. 2005. Shynees, Sociability, and Parental Support for the College Transition: Relation to
Adolescents Adjustment. Journal of Youth and Adolescence, Vol. 35, No. 1, 71-80.
ُ‫کم ۟ و اِن اساتُم فلہا فاِذا جآء وعد‬ ُ ‫اِن احسنتُم احسنتُم ِِلنفُ ِس‬
‫کم و ِليد ُخلُوا المس ِجد کما دخلُوہُ ا َّول م َّرۃ َّو ِليُت ِب ُروا ما‬ َٰ
ُ ‫اِل ِخرۃِ ِلي‬
ُ ‫س ٓو ٗءا ُو ُجوہ‬
‫علوا تت ِبير‬
Artinya : Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri.
Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu
sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami
bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke
dalam masjid (Masjidil Aqsa), sebagaimana ketika mereka memasukinya
pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai.
Demikian juga menejer juga bertanggungjawab terhadap pelaksanaan nilai, sikap,
kepribadian dan juga kepuasan kerja. Sebagaimana dalam sebuah Hadist :

ُ‫ف عرقُه‬ ُ ‫أ ْع‬


َّ ‫طوا األ ِجير أ ْجرہُ قبْل أ ْن ي ِج‬
Artinya “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR.
Ibnu Majah, shahih).

.
DAFTAR RUJUKAN

Aamodt, G. M.. Applied industrial/organizational psychology. Belmont, California:


Wadsworth, Inc. 2004.

Azwar, S. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.

Colquitt, J. A, Wesson, M. J, Porter, C. O. L. H., Conlon, D. E., & Ng, K. Y. Justice at


the Millennium: A Meta-Analytic Review of 25 Years of Organizational Justice Research.
Journal of Applied Psychology, 86(3), 2001.

Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas Tinjauan Etis dan Budaya
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987.

George, Jennifer M. and Jones, Garenh R.. Understanding and Managing Organizational
Behavior, sixth edition. Pearson Education, Inc., publishing as Prentice Hall, One Lake
Street, Upper Saddle River, New Jersey 074558. 2012.

Goleman, Daniel. “Emotional Intelligence (Terjemahan T Hermaya)”, PT Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.2003.

Kreitner, R. dan Kinicki, A. Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.
Salemba Emban Patria. . 2003.

Luthans, Fred. Perilaku Organisasi. Yogyakarta. Andi. 2011.

McClelland, David.C. (1973). Testing for Competence Rather than Intelligence,


American Psycologist, 46., dan Goleman, D. Working with Emotional Intelligence,
Jakarta: Gramedia.1973.

Mounts, dkk. 2005. Shynees, Sociability, and Parental Support for the College
Transition: Relation to Adolescents Adjustment. Journal of Youth and Adolescence, Vol.
35, No. 1, 71-80.

Notoatmojdo, Soekijdo. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta,


2003.

Podsakoff, P.M., Mackenzie, S.B., Paine, J.B., Dan Bachrach, D.G. (2000).
Organizational Citizenship Behavior: A Critical Review of Theoretical Empirical
Literature And Suggestions For Future Research. Journal of Management, 26 (3): 513-
563.

Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge. Perilaku Organisasi, Jakarta: Salemba Empat.
2009.

Sopiah. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi. 2008.


Stein, S. J Howard. “Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses”, Kaif,
Bandung. 2002.

Sutarji Adisusilo, pembelajaran Nilai-Karakter: Kontruktivisme dan VCT Sebagai


Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Wahyono, T. Memahami Kecerdasan Emosi Melalui Kerja Sistem Limbik. Jogjakarta:


Anima.2001.

Wawan, A dan Dewi, M.. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan Perilaku
Manusia.. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010.

Widiarini, Annisa Dea. (2018), "Ingat, Ini "Skill" yang Harus Dimiliki di Era Industri
4.0", https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/31/10222981/ingat-ini-skill-yang-harus-
dimiliki-di-era-industri-40?page=all.

Winardi, J.. Manajemen Perikalu Organisasi, edisi revisi. Jakarta: Premada Media. 2004.

Anda mungkin juga menyukai