Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan
kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur dilakukan secara alamiah sehingga dapat
meminimalisasi timbulnya cidera dalam bekerja. Kenyamanan tercipta apabila pekerja telah melakukan postur
kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat
bekerja.
Terdapat banyak metode dalam analisa postur dan pergerakan kerja, salah satunya adalah dengan metode
REBA atau Rapid Entire Body Assessment yang dikembangkan oleh oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc.
Atamney. Metode Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang
ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan
pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban
eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang
mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney,
2000).
Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan
cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ini dilakukan dengan cara
pemberian skor resiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang
mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah
akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi
postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin.
Selama ini perhitungan skor dan level resiko pada REBA dilakukan secara manual atau dengan menggunakan
bantuan software movie plotter, sebuah software untuk menentukan koordinat x dan y dari aktivitas kerja yang
telah direkam dalam bentuk video. Dari koordinat-koordinat tersebut dihitung sudut menggunakan rumus
segitiga, sudut yang dihasilkan digunakan untuk pehitungan skor dengan bantuan microsoft excel, baru
kemudian ditentukan level resiko dan tindakan perbaikannya.
Hal diatas dirasa terlalu banyak langkah dan prosesnya terlalu lama. Maka dari itu perlu dibuatkan software
yang terintegrasi, mulai dari proses perhitungan sudut, proses penentuan range sudut, coupling, beban yang
diangkat sampai ke level resiko dan tindakan perbaikan. Selain itu juga terdapat fasilitas database untuk
menyimpan postur yang telah dihitung dan juga fasilitas cetak.
Untuk menentukan sudut dalam software ini diperlukan tiga titik koordinat. Dari ketiga titik koordinat tersebut
bisa ditentukan panjang masing-masing garis yang menghubungkan antar koordinat.
Rumus perhitungan sudut diatas adalah dasar perhitungan sudut dalam software REBA. Akan tetapi dalam
aplikasi perhitungan pada postur kerja tertentu rumus tersebut masih memerlukan perhitungan khusus. Berikut
ini adalah aturan perhitungan sudut dalam software REBA .
2. Mendorong/Menarik (Push/Pull)
Kegiatan mendorong adalah kegiatan menekan berlawanan arah tubuh dengan usaha yang
bertujuan untuk memindahkan obyek. Kegiatan menarik kebalikan dengan itu.
3. Memutar (Twisting)
Kegiatan memutar merupakan kegiatan MMH yang merupakan gerakan memutar tubuh bagian
atas ke satu atau dua sisi, sementara tubuh bagian bawah berada dalam posisi tetap. Kegiatan
memutar ini dapat dilakukan dalam keadaan tubuh yang diam.
4. Membawa (Carrying)
Kegiatan membawa merupakan kegiatan memegang atau mengambil barang dan
memindahkannya. Berat benda menjadi berat total pekerja.
5. Menahan (Holding)
Memegang obyek saat tubuh berada dalam posisi diam (statis)
Pemilihan manusia sebagai tenaga kerja dalam melakukan kegiatan penanganan material
bukanlah tanpa sebab. Penanganan material secara manual memiliki beberapa keuntungan
sebagai berikut :
1. Fleksibel dalam gerakan sehingga memberikan kemudahan pemindahan beban pada ruang
terbatas dan pekerjaan yang tidak beraturan.
2. Untuk beban ringan akan lebih murah bila dibandingkan menggunakan mesin.
3. Tidak semua material dapat dipindahkan dengan alat.
Manual material handling (MMH) merupakan sumber utama terjadinya cedera punggung.
MMH meliputi mengangkat, menurunkan, membawa, mendorong dan menarik barang.
Sementara itu faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya nyeri punggung (back injury), adalah
arah beban yang akan diangkat dan frekuensi aktivitas pemindahan. Risiko-risiko nyeri tersebut
banyak dijumpai pada beberapa industri, antara lain: industri berat, pertambangan, konstruksi /
bangunan, pertanian, rumah sakit dan lain-lain. Beberapa perimeter yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut:
1. Beban yang harus diangkat
2. Perbandingan antara berat badan dan orangnya
3. Jarak horisontal dari beban terhadap orangnya
4. Ukuran beban yang akan diangkat (beban yang berdimensi besar akan mempunyai jarak center
of gravity (CG) yang lebih jauh dari tubuh, dan bisa mengganggu jarak pandangannya)
2. Karakteritik Material
Karakteristikmaterial atau bahan, meliputi:
a) Beban, ukuran berat benda, usaha yang dibutuhkan untuk mengangkat, maupun momen inersia
benda.
b) Dimensi, atau ukuran benda seperti lebar, panjang, tebal, dan bentuk benda baik itu kotak,
silinder, dll.
c) Distribusi beban, ukuran letak unit CG dengan reaksi pekerja untuk membawa dengan satu atau
dua tangan.
d) Kopling, cara membawa benda oleh pekerja berkaitan dengan tekstur, permukaan, atau letak.
e) Stabilitas beban, ukuran konsistensi lokasi CG
3. Karakteristik Tugas/Pekerjaan
Karakeristik tugas ini meliputi kondisi pekerjaan manual material handling yang akan
dilakukan. Terdiri dari :
a) Geometri tempat kerja, termasuk didalamnya jarak pergerakan, langkah yang harus ditempuh,
dll.
b) Frekuensi, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan termasuk frekuensi pekerjaan
yang dilakukan.
c) Kompleksitas pekerjaan, termasuk didalamnya ketepatan penempatan, tujuan aktivitas maupun
komponen pendukungnya.
d) Lingkungan kerja, seperti suhu, pencahayaan, kebisingan, getaran, bau bauan, juga daya tarik
kaki.
4. Sikap Kerja
Penanganan manual material handling juga melibatkan metode kerja atau sikap dalam
menyelesaikanbpekerjaan/tugas. Pengamatan meliputi pada :
a) Individu, merupakan ukuran metode operasional, seperti kecepatan, ketepatan, cara/postur saat
memindahkan.
b) Organisasi, berkaitan dengan organisasi kerja seperti luas bangunan pabrik, keberadaan tenaga
medis, maupun utilitas kerjasama tim.
c) Administrasi, seperti sistem insentif untuk keselamatan kerja, kompensasi, rotasi kerja maupun
pengendalian dan pelatihan keselamatan.
Aktivitas manual material handling banyak digunakan karena memiliki fleksibilitas yang
tinggi, murah dan mudah diaplikasikan. Akan tetapi berdasar data diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa aktivitas manual material handlingjuga diikuti dengan Risiko apabila
diterapkan pada kondisi lingkungan kerja yang kurang memadai, alat yang kurang mendukung,
dan sikap kerja yang salah. Penelitian yang dilakukan NIOSH (NIOSH, 1981) memperlihatkan
sebuah statistik yang menyatakan bahwa dua -pertiga dari kecelakaan akibat tekanan berlebihan,
berkaitan dengan aktivitas menaikkan barang (lifting loads activity).
Faktor Risiko diasosiasikan dengan jumlah tugas yang dapat menyebabkan
cedera musculoskeletal. Faktor Risiko digunakan untuk menganalisa tugas manual (manual
task ). Manual task atau manual material handling memiliki interaksi yang kompleks antara
pekerja dan lingkungan kerja. Faktor Risiko kemudian dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu :
1. Tekanan langsung kepada tubuh.
Hal ini meliputi faktor seperti tingkat tekanan pada muscular, postur/sikap kerja, pengulangan
pekerjaan, getaran peralatan dan lama waktu kerja.
2. Kontribusi faktor Risiko yang secara langsung mempengaruhi tuntutan kerja
Hal ini meliputi layout area kerja, penggunaan alat, penangan beban. Jika komponen ini di desain
ulang pengaruh dari tekanan dapat dikurangi.
3. Memodifikasi faktor Risiko dapat memberi masukan pada perubahan sikap kerja sehingga akibat
dari faktor Risiko dapat dikurangi.
C. Postur Kerja
Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan aktivitas kerja yang biasanya
terkait dengan desain area kerja dan persyaratan kegiatan kerja (Pulat, 1992). Postur kerja
mencerminkan hubungan antara dimensi tubuh pekerja dan dimensi alat pada tempat kerjanya
(Pheasant, 1986). Bridger, 1995 menjelaskan bahwa tujuan utama dilakukannya penelitian
mengenai postur adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip untuk mendesain lingkungan
kerja agar tingkat postural stress pada pekerja rendah. Penggunaan desain lingkungan kerja
tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat insiden fatigue (kelelahan) dan ketidaknyamanan
di tempat kerja.
Sikap kerja alamiah atau postur normal yaitu sikap atau postur dalam proses kerja yang
sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian
penting tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang sehingga keadaan menjadi relaks
dan tidak menyebabkan keluhan Musculoskeletal Disorders dan sistem tubuh yang lain (Baird
dalam Merulalia, 2010). SedangkanPostur janggal adalah deviasi (pergeseran) dari gerakan
tubuh/anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktivitas dari postur/posisi
normal secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal ini
adalah salah satu faktor untuk terjadinya gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem
muskuloskeletal (Humantech, 1995). Menurut Weiner (1992), postur tubuh yang tidak seimbang
dan berlangsung lama dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan stres pada bagian
tubuh tertentu, yang disebut dengan postural stressakibat dari postur tubuh yang jelek.
Pertimbangan-pertimbangan ergonomi yang berkaitan dengan postur kerja dapat membantu
mendapatkan postur kerja yang nyaman bagi pekerja, baik itu postur kerja berdiri, duduk, angkat
maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan postur kerja tertentu yang terkadang
tidak menyenangkan. Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada postur kerja
yang tidak alami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan mengakibatkan
pekerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh, cacat produk bahkan cacat tubuh.
Untuk menghindari postur kerja yang demikian, pertimbangan-pertimbangan ergonomis antara
lain menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengurangi keharusan pekerja untuk bekerja dengan postur kerja membungkuk dengan
frekuensi kegiatan yang sering atau dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengatasi hal ini
maka stasiun kerja harus dirancang terutama sekali dengan memperhatikan fasilitas kerja seperti
meja, kursi dan lain-lain yang sesuai dengan data anthropometri agar pekerja dapat menjaga
postur kerjanya tetap tegak dan normal. Ketentuan ini terutama sekali ditekankan bilamana
pekerjaan harus dilaksanakan dengan postur berdiri.
2. Pekerja tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum.
Pengaturan postur kerja dalam hal ini dilakukan dalam jarak jangkauan normal (konsep/prinsip
ekonomi gerakan). Disamping itu pengaturan ini bias memberikan postur kerja yang nyaman.
Untuk hal-hal tertentu pekerja harus mampu dan cukup leluasa mengatur tubuhnya agar
memperoleh postur kerja yang lebih leluasa dalam bergerak.
3. Pekerja tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang lama, dengan
kepala, leher, dada atau kaki berada dalam postur kerja miring.
4. Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekwensi atau periode waktu yang lama
dengan tangan atau lengan berada dalam posisi diatas level siku yang normal.
F. Metode Penilaian Postur Kerja
Penilaian postur kerja diperlukan ketika didapati bahwa postur kerja pekerja memiliki
Risiko menimbulkan cedera muskuleskeletal yang diketahui secara visual atau melalui keluhan
dari pekerja itu sendiri. Dengan adanya penilaian dan analisis perbaikan postur kerja, diharapkan
dapat diterapkan untuk mengurangi atau menghilangkan Risiko cedera muskuluskeletal yang
dialami pekerja.
Untuk penilaian kembali postur kerja, diperlukan ketika terjadi perubahan spesifikasi
produk atau penambahan jenis produk baru. Kedua hal tersebut akan memungkinkan terjadinya
perubahan metode kerja yang dilakukan pekerja dalam menghasilkan produk, dan metode baru
tersebut kemungkinan juga dapat menimbulkan cedera muskuluskeletal, sehingga perlu
dilakukan penilaian postur kerja kembali.Selain saat terjadi perubahan spesifikasi atau
penambahan jenis produk baru, penilaian kembali postur kerja juga diperlukan saat dilakukan
rotasi kerja. Rotasi kerja dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebosanan pekerja
karena melakukan pekerjaan yang sama dan terus-menerus (monoton). Maka saat terjadi rotasi
kerja, perlu dilakukan penilaian postur kerja kembali. Hal ini dikarenakan pekerja tersebut akan
beradaptasi terlebih dahulu terhadap pekerjaannya, dan postur kerjanya dalam melakukan
pekerjaan tersebut akan berbeda dengan pekerjaan yang sebelumnya, sehingga perlu dilakukan
penilaian kembali postur kerja dari pekerja. Namun jika tidak terjadi perubahan spesifikasi
produk, atau penambahan jenis produk baru, atau rotasi kerja, tidak perlu dilakukan penilaian
kembali postur kerja dari pekerja yang ada.
1. Ovako Working Postures Analysis System (OWAS)
OWAS adalah suatu metode untuk mengevaluasi beban postur (postural load) selama
bekerja. Metode OWAS didasarkan pada sebuah klasifikasi yang sederhana dan sistematis dari
postur kerja yang dikombinasikan dengan pengamatan dari tugas selama bekerja. Metode OWAS
pertama kali dilakukan untuk menganalisis postur kerja pada industri baja. Metode ini telah
digunakan dalam penelitian dan pembangunan di Finlandia, Swedia, Jerman, Belanda, India, dan
Australia.
Prosedur OWAS dilakukan dengan melakukan observasi untuk mengambil data postur,
beban/tenaga, dan fase kerja untuk kemudian dibuat kode berdasarkan data tersebut. Evaluasi
penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang ada dan selanjutnya
dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus diambil.
Klasifikasi postur kerja dari metode OWAS adalah pada pergerakan tubuh bagian belakang
(trunks), lengan (arms), dan kaki (legs). Setiap postur tubuh tersebut terdiri atas 4 postur bagian
belakang, 3 postur lengan, dan 7 postur kaki. Berat beban yang dikerjakan juga dilakukan
penilaian mengandung 3 skala point.
2. Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode penelitian untuk
menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang oleh Lynn Mc
Atamney dan Nigel Corlett (1993) yang menyediakan sebuah perhitungan tingkatan
beban muskuloskeletal di dalam sebuah pekerjaan yang memiliki Risiko pada bagian tubuh dari
perut hingga leher atau anggota badan bagian atas.
Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan penilaian postur leher,
punggung, dan lengan atas. Setiap pergerakan di beri skor yang telah ditetapkan. RULA
dikembangkan sebagai suatu metode untuk mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor
Risiko. Metode didesain untuk menilai para pekerja dan mengetahui beban musculoskletal yang
kemungkinan menimbulkan gangguan pada anggota badan atas.
Metode ini menggunakan diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam menetapkan
evaluasi faktor Risiko. Faktor Risiko yang telah diinvestigasi sebagai faktor beban eksternal
yaitu:
a) Jumlah pergerakan
b) Kerja otot statik
c) Tenaga/kekuatan
d) Penentuan postur kerja oleh peralatan
e) Waktu kerja tanpa istirahat.
Dalam usaha untuk penilaian 4 faktor beban eksternal (jumlah gerakan, kerja otot statis,
tenaga kekuatan dan postur), RULA dikembangkan untuk (Mc Atamney dan Corlett, 1993):
a) Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja dengan kerja bersiko yang
menyebabkan gangguan pada anggota badan bagian atas.
b) Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja, penggunaan tenaga dan
kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan kelelahan otot.
c) Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian ergonomi yaitu
epidomiologi, fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.
Pengembangan dari RULA terdiri atas tiga tahapan yaitu :
a) Mengidentifikasi postur kerja
b) Sistem pemberian skor
c) Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat Risiko yang ada dan
dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang melebihi detail berkaitan dengan analisis yang yang
didapat.
Ada empat hal yang menjadi aplikasi utama dari RULA, yaitu untuk :
a) Mengukur Risiko muskuloskeletal, biasanya sebagai bagian dari perbaikan yang lebih luas dari
ergonomi.
b) Membandingkan beban muskuluskeletal antara rancangan stasiun kerja yang sekarang dengan
yang telah dimodifikasi.
c) Mengevaluasi keluaran misalnya produktivitas atau kesesuaian penggunaan peralatan.
d) Melatih pekerja tentang beban muskuluskeletal yang diakibatkan perbedaan postur kerja.
Dalam mempermudah penilaian postur tubuh, maka tubuh dibagi atas 2 segmen grup yaitu grup
A dan grup B.