Anda di halaman 1dari 20

Jumat, 15 Mei 2009

Prinsip Dasar Perhitungan Sudut dengan Software REBA


Kegiatan Manual material handling sering dijumpai pada kegiatan-kegiatan industri. Pemindahan material
secara manual apabila tidak dilakukan secara ergonomis, maka akan menimbulkan kecelakaan dalam kegiatan
industri. 

Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan
kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja sebaiknya postur dilakukan secara alamiah sehingga dapat
meminimalisasi timbulnya cidera dalam bekerja. Kenyamanan tercipta apabila pekerja telah melakukan postur
kerja yang baik dan aman. Postur kerja yang baik sangat ditentukan oleh pergerakan organ tubuh saat
bekerja. 

Terdapat banyak metode dalam analisa postur dan pergerakan kerja, salah satunya adalah dengan metode
REBA atau Rapid Entire Body Assessment yang dikembangkan oleh oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc.
Atamney. Metode Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang
ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan
pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban
eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang
mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney,
2000). 

Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan
cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ini dilakukan dengan cara
pemberian skor resiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang
mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah
akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi
postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin. 

Selama ini perhitungan skor dan level resiko pada REBA dilakukan secara manual atau dengan menggunakan
bantuan software movie plotter, sebuah software untuk menentukan koordinat x dan y dari aktivitas kerja yang
telah direkam dalam bentuk video. Dari koordinat-koordinat tersebut dihitung sudut menggunakan rumus
segitiga, sudut yang dihasilkan digunakan untuk pehitungan skor dengan bantuan microsoft excel, baru
kemudian ditentukan level resiko dan tindakan perbaikannya. 

Hal diatas dirasa terlalu banyak langkah dan prosesnya terlalu lama. Maka dari itu perlu dibuatkan software
yang terintegrasi, mulai dari proses perhitungan sudut, proses penentuan range sudut, coupling, beban yang
diangkat sampai ke level resiko dan tindakan perbaikan. Selain itu juga terdapat fasilitas database untuk
menyimpan postur yang telah dihitung dan juga fasilitas cetak. 
Untuk menentukan sudut dalam software ini diperlukan tiga titik koordinat. Dari ketiga titik koordinat tersebut
bisa ditentukan panjang masing-masing garis yang menghubungkan antar koordinat. 

Dasar perhitungan Software REBA 

Rumus perhitungan sudut diatas adalah dasar perhitungan sudut dalam software REBA. Akan tetapi dalam
aplikasi perhitungan pada postur kerja tertentu rumus tersebut masih memerlukan perhitungan khusus. Berikut
ini adalah aturan perhitungan sudut dalam software REBA . 

Untuk Postur Leher. 


Dalam aturan REBA, sudut leher adalah sudut antara garis tegak lurus punggung (garis B) terhadap leher
(garis A). Sehingga untuk mendapatkan sudut leher maka titik yang harus diketahui adalah titik 6, titik 2, dan
titik 1. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur leher adalah
dengan mengurangi 1800 dengan sudut leher yang telah dihasilkan. 

Untuk Postur Punggung. 


Sudut punggung adalah sudut antara garis tegak lurus kaki atas (garis C) terhadap punggung (Garis B). Untuk
mendapatkan sudut punggung maka diperlukan tiga titik yaitu titik 7, titik 6, dan titik 2. Setelah didapatkan
sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur punggung adalah dengan mengurangi 1800
dengan sudut punngung yang telah dihasilkan. 

Untuk Postur Kaki. 


Pada postur kaki, sudut yang dihitung adalah sudut antara garis tegak lurus punngung (garis B) terhadap kaki
bagian atas (garis C). Untuk mendapatkan sudut kaki maka diperlukan tiga titik yaitu titik 8, titik 6, dan titik 7.
Setelah itu didapatkan sudut untuk postur kaki dengan menggunakan rumus segitiga. 

Untuk Postur Lengan Atas. 


Sudut lengan atas adalah sudut antara garis lurus punggung (garis B) terhadap lengan atas sampai siku (garis
D). Untuk mendapatkan sudut lengan atas maka diperlukan tiga titik yaitu titik 6, titik 2, dan titik 3. Setelah itu
didapatkan sudut untuk postur lengan atas dengan menggunakan rumus segitiga. 

5. Untuk Postur Lengan Bawah 


Begitu juga dengan lengan bawah, sudut yang dihitung adalah sudut antara garis lurus lengan atas sampai
siku (garis D) terhadap lengan bawah (garis E). Untuk mendapatkan sudut pergelangan tangan maka
diperlukan tiga titik yaitu titik 2, titik 3, dan titik 4. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka
untuk mencari sudut postur lengan bawah adalah dengan mengurangi 1800 dengan sudut lengan bawah yang
telah dihasilkan. 

Untuk Postur Pergelangan Tangan. 


Untuk pergelangan tangan, sudut dihitung dari garis lurus lengan bawah (garis E) terhadap pergelangan
tangan (garis F), Untuk mendapatkan sudut pergelangan tangan maka diperlukan tiga titik yaitu titik 3, titik 4,
dan titik 5. Setelah didapatkan sudutnya dengan rumus segitiga maka untuk mencari sudut postur pergelangan
tangan adalah dengan mengurangi 1800 dengan sudut punngung yang telah dihasilkan. 

Related Posts : Ergonomi

resiko postur kerja dengan metode REBA pada


material manual Handling
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Manual material handling (MMH)


Meskipun telah banyak mesin yang digunakan pada berbagai industri untuk mengerjakan
tugas pemindahan, namun jarang terjadi otomasi sempurna di dalam industri. Disamping pula
adanya pertimbangan ekonomis seperti tingginya harga mesin otomasi atau juga situasi praktis
yang hanya memerlukan peralatan sederhana. Sebagai konsekuensinya adalah melakukan
kegiatan manual di berbagai tempat kerja. Bentuk kegiatan manual yang dominan dalam industri
adalah Manual material handling (MMH).
Definisi Manual material handling (MMH) adalah suatu kegiatan transportasi yang
dilakukan oleh satu pekerja atau lebih dengan melakukan kegiatan pengangkatan, penurunan,
mendorong, menarik, mengangkut, dan memindahkan barang (Suhadri, 2008).
Selama ini pengertian MMH hanya sebatas pada kegiatan mengangkat dan menurunkan yang
melihat aspek kekuatan vertikal. Padahal kegiatan MMH tidak terbatas pada kegiatan tersebut
diatas, masih ada kegiatan menarik dan mendorong di dalam kegiatan MMH. Kegiatan MMH
yang sering dilakukan oleh pekerja di dalam industri antara lain :
1.      Kegiatan pengangkatan benda (LiftingTask)
2.     Kegiatan pengantaran benda (Caryying Task)
3.      Kegiatan mendorong benda (Pushing Task)
4.      Kegiatan menarik benda (Pulling Task)
Berbeda dengan pendapat di atas menurut Occupational Safety and Health
Administration  (OSHA) mengklasifikasikan kegiatan manual material handlingmenjadi lima
yaitu :
1.      Mengangkat/Menurunkan (Lifting/Lowering)
Mengangkat adalah kegiatan memindahkan barang ke tempat yang lebih tinggi yang masih dapat
dijangkau oleh tangan. Kegiatan lainnya adalah menurunkan barang.

2.      Mendorong/Menarik (Push/Pull)
Kegiatan mendorong adalah kegiatan menekan berlawanan arah tubuh dengan usaha yang
bertujuan untuk memindahkan obyek. Kegiatan menarik kebalikan dengan itu.

3.      Memutar (Twisting)
Kegiatan memutar merupakan kegiatan MMH yang merupakan gerakan memutar tubuh bagian
atas ke satu atau dua sisi, sementara tubuh bagian bawah berada dalam posisi tetap. Kegiatan
memutar ini dapat dilakukan dalam keadaan tubuh yang diam.
4.      Membawa (Carrying)
Kegiatan membawa merupakan kegiatan memegang atau mengambil barang dan
memindahkannya. Berat benda menjadi berat total pekerja.

5.      Menahan (Holding)
Memegang obyek saat tubuh berada dalam posisi diam (statis)
Pemilihan manusia sebagai tenaga kerja dalam melakukan kegiatan penanganan material
bukanlah tanpa sebab. Penanganan material secara manual memiliki beberapa keuntungan
sebagai berikut :
1.      Fleksibel dalam gerakan sehingga memberikan kemudahan pemindahan beban pada ruang
terbatas dan pekerjaan yang tidak beraturan.
2.      Untuk beban ringan akan lebih murah bila dibandingkan menggunakan mesin.
3.      Tidak semua material dapat dipindahkan dengan alat.
Manual material handling (MMH) merupakan sumber utama terjadinya cedera punggung.
MMH meliputi mengangkat, menurunkan, membawa, mendorong dan menarik barang.
Sementara itu faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya nyeri punggung (back injury), adalah
arah beban yang akan diangkat dan frekuensi aktivitas pemindahan. Risiko-risiko nyeri tersebut
banyak dijumpai pada beberapa industri, antara lain: industri berat, pertambangan, konstruksi /
bangunan, pertanian, rumah sakit dan lain-lain. Beberapa perimeter yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut:
1.      Beban yang harus diangkat
2.      Perbandingan antara berat badan dan orangnya
3.      Jarak horisontal dari beban terhadap orangnya
4.      Ukuran beban yang akan diangkat (beban yang berdimensi besar akan mempunyai jarak center
of gravity (CG) yang lebih jauh dari tubuh, dan bisa mengganggu jarak pandangannya)

B.     Faktor Risiko Manual material handling (MMH)


Semua aktivitas manual handling melibatkan faktor-faktor sebagai berikut:
1.      Karakteristik Pekerja
Karakteristik pekerja masing-masing berbeda dan mempengaruhi jenis dan jumlah pekerjaan
yang dapat dilakukan. Karakteristik pekerja terdiri dari:
a)      Fisik, yang meliputi ukuran pekerja secara umum seperti usia, jenis kelamin, antropometri, dan
postur tubuh.
b)      Kemampuan sensorik, ukuran kemampuan sensorik pekerja yang meliputi penglihatan,
pendengaran, kinestetik, sistem keseimbangan danproprioceptive.
c)      Motorik, ukuran kemampuan motorik/gerak pekerja yang meliputi kekuatan, ketahanan,
jangkauan, dan karakter kinematis.
d)     Psikomotorik, mengukur kemampuan pekerja menghadapi proses mental dan gerak seperti
memproses informasi, waktu respon, dan koordinasi
e)      Personal, ukuran nilai dan kepuasan pekerja dengan melihat tingkah laku, penerimaan Risiko,
persepsi kebutuhan ekonomi, dll
f)       Training/pelatihan, ukuran kemampuan pendidikan pekerja dalam training formal atau
keterampilan dalam menangani instruksi MMH.
g)      Status kesehatan
h)      Aktivitas dalam waktu luang

2.      Karakteritik Material
Karakteristikmaterial atau bahan, meliputi:
a)      Beban, ukuran berat benda, usaha yang dibutuhkan untuk mengangkat, maupun momen inersia
benda.
b)      Dimensi, atau ukuran benda seperti lebar, panjang, tebal, dan bentuk benda baik itu kotak,
silinder, dll.
c)      Distribusi beban, ukuran letak unit CG dengan reaksi pekerja untuk membawa dengan satu atau
dua tangan.
d)     Kopling, cara membawa benda oleh pekerja berkaitan dengan tekstur, permukaan, atau letak.
e)      Stabilitas beban, ukuran konsistensi lokasi CG

3.      Karakteristik Tugas/Pekerjaan
Karakeristik tugas ini meliputi kondisi pekerjaan manual material handling  yang akan
dilakukan. Terdiri dari :
a)      Geometri tempat kerja, termasuk didalamnya jarak pergerakan, langkah yang harus ditempuh,
dll.
b)      Frekuensi, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan termasuk frekuensi pekerjaan
yang dilakukan.
c)      Kompleksitas pekerjaan, termasuk didalamnya ketepatan penempatan, tujuan aktivitas maupun
komponen pendukungnya.
d)     Lingkungan kerja, seperti suhu, pencahayaan, kebisingan, getaran, bau bauan, juga daya tarik
kaki.

4.      Sikap Kerja
Penanganan manual material handling juga melibatkan metode kerja atau sikap dalam
menyelesaikanbpekerjaan/tugas. Pengamatan meliputi pada :
a)      Individu, merupakan ukuran metode operasional, seperti kecepatan, ketepatan, cara/postur saat
memindahkan.
b)      Organisasi, berkaitan dengan organisasi kerja seperti luas bangunan pabrik, keberadaan tenaga
medis, maupun utilitas kerjasama tim.
c)      Administrasi, seperti sistem insentif untuk keselamatan kerja, kompensasi, rotasi kerja maupun
pengendalian dan pelatihan keselamatan.
Aktivitas manual material handling banyak digunakan karena memiliki fleksibilitas yang
tinggi, murah dan mudah diaplikasikan. Akan tetapi berdasar data diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa aktivitas manual material handlingjuga diikuti dengan Risiko apabila
diterapkan pada kondisi lingkungan kerja yang kurang memadai, alat yang kurang mendukung,
dan sikap kerja yang salah. Penelitian yang dilakukan NIOSH (NIOSH, 1981) memperlihatkan
sebuah statistik yang menyatakan bahwa dua -pertiga dari kecelakaan akibat tekanan berlebihan,
berkaitan dengan aktivitas menaikkan barang (lifting loads activity).
Faktor Risiko diasosiasikan dengan jumlah tugas yang dapat menyebabkan
cedera musculoskeletal. Faktor Risiko digunakan untuk menganalisa tugas manual (manual
task ). Manual task atau manual material handling memiliki interaksi yang kompleks antara
pekerja dan lingkungan kerja. Faktor Risiko kemudian dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu :
1.      Tekanan langsung kepada tubuh.
Hal ini meliputi faktor seperti tingkat tekanan pada muscular, postur/sikap kerja, pengulangan
pekerjaan, getaran peralatan dan lama waktu kerja.
2.      Kontribusi faktor Risiko yang secara langsung mempengaruhi tuntutan kerja
Hal ini meliputi layout area kerja, penggunaan alat, penangan beban. Jika komponen ini di desain
ulang pengaruh dari tekanan dapat dikurangi.
3.      Memodifikasi faktor Risiko dapat memberi masukan pada perubahan sikap kerja sehingga akibat
dari faktor Risiko dapat dikurangi.

C.    Postur Kerja
Postur kerja adalah posisi tubuh pekerja pada saat melakukan aktivitas kerja yang biasanya
terkait dengan desain area kerja dan persyaratan kegiatan kerja (Pulat, 1992). Postur kerja
mencerminkan hubungan antara dimensi tubuh pekerja dan dimensi alat pada tempat kerjanya
(Pheasant, 1986). Bridger, 1995 menjelaskan bahwa tujuan utama dilakukannya penelitian
mengenai postur adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip untuk mendesain lingkungan
kerja agar tingkat postural stress pada pekerja rendah. Penggunaan desain lingkungan kerja
tersebut diharapkan dapat mengurangi tingkat insiden fatigue (kelelahan) dan ketidaknyamanan
di tempat kerja.
Sikap kerja alamiah atau postur normal yaitu sikap atau postur dalam proses kerja yang
sesuai dengan anatomi tubuh, sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian
penting tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon, dan tulang sehingga keadaan menjadi relaks
dan tidak menyebabkan keluhan Musculoskeletal Disorders dan sistem tubuh yang lain (Baird
dalam Merulalia, 2010). SedangkanPostur janggal adalah deviasi (pergeseran) dari gerakan
tubuh/anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktivitas dari postur/posisi
normal secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama. Gerakan postur janggal ini
adalah salah satu faktor untuk terjadinya gangguan, penyakit, atau cidera pada sistem
muskuloskeletal (Humantech, 1995). Menurut Weiner (1992), postur tubuh yang tidak seimbang
dan berlangsung lama dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan stres pada bagian
tubuh tertentu, yang disebut dengan  postural stressakibat dari postur tubuh yang jelek.
Pertimbangan-pertimbangan ergonomi yang berkaitan dengan postur kerja dapat membantu
mendapatkan postur kerja yang nyaman bagi pekerja, baik itu postur kerja berdiri, duduk, angkat
maupun angkut. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan postur kerja tertentu yang terkadang
tidak menyenangkan. Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada postur kerja
yang tidak alami dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini akan mengakibatkan
pekerja cepat lelah, adanya keluhan sakit pada bagian tubuh, cacat produk bahkan cacat tubuh.
Untuk menghindari postur kerja yang demikian, pertimbangan-pertimbangan ergonomis antara
lain menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1.      Mengurangi keharusan pekerja untuk bekerja dengan postur kerja membungkuk dengan
frekuensi kegiatan yang sering atau dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengatasi hal ini
maka stasiun kerja harus dirancang terutama sekali dengan memperhatikan fasilitas kerja seperti
meja, kursi dan lain-lain yang sesuai dengan data anthropometri agar pekerja dapat menjaga
postur kerjanya tetap tegak dan normal. Ketentuan ini terutama sekali ditekankan bilamana
pekerjaan harus dilaksanakan dengan postur berdiri.
2.      Pekerja tidak seharusnya menggunakan jarak jangkauan maksimum.
Pengaturan postur kerja dalam hal ini dilakukan dalam jarak jangkauan normal (konsep/prinsip
ekonomi gerakan). Disamping itu pengaturan ini bias memberikan postur kerja yang nyaman.
Untuk hal-hal tertentu pekerja harus mampu dan cukup leluasa mengatur tubuhnya agar
memperoleh postur kerja yang lebih leluasa dalam bergerak.
3.      Pekerja tidak seharusnya duduk atau berdiri pada saat bekerja untuk waktu yang lama, dengan
kepala, leher, dada atau kaki berada dalam postur kerja miring.

4.      Operator tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam frekwensi atau periode waktu yang lama
dengan tangan atau lengan berada dalam posisi diatas level siku yang normal.

D.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Postur Kerja


Postur adalah posisi relatif bagian tubuh tertentu pada saat bekerja yang ditentukan oleh
ukuran tubuh, desain area kerja dan task requirements serta ukuran perlatan/benda lainnya yang
digunakan saat bekerja (Pulat, 1992). Postur dan pergerakan memegang peranan penting dalam
ergonomi. Salah satu penyebab utama gangguan otot rangka adalah postur janggal (awkward
posture). Hal-hal yang dapat mempengaruhi postur tubuh ketika bekerja adalah karateristik
pekerjaan (kebutuhan pekerja), desain tempat kerja dan faktor personal pekerja
Tabel II.1 Faktor yang mempengaruhi postur tubuh
Faktor Contoh
Karakteristik   pengguna Umur
(faktor personal) Antropometri
Berat badan
Kebugaran (olah raga)
Pergerakan sendi (banyaknya persendian)
Masalah musculoskeletal terbaru
Cidera atau operasi awal
Penglihatan
Handedness
Kegemukan
Kebutuhan Kebutuhan visual
pekerjaan/kegiatan Kebutuhan manual (posisi tenaga)
Masa waktu
Periode istirahat
Pekerjaan yang mobile/tidak atau kecepatan
dalam bekerja
Desain tempat kerja Dimensi tempat duduk
Dimensi permukaan tempat kerja
Desain tempat duduk
Dimensi ruang kerja (ruang untuk kepala,
ruang untuk kaki)
Keleluasaan pribadi
Kualitas dan tingkat iluminasi
Sumber : Bridger, 1995

E.     Risiko Postur Tubuh Yang Salah


Postur janggal dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dan  ketidaknyamanan.
Dilakukannya postur janggal pada jangka waktu panjang dapat menyebabkan cidera dan keluhan
pada jaringan otot rangka maupun saraf tepi (Levy, 2006)

Tabel II.2 Postur-postur janggal dan alokasi kemungkinan terjadinya sakit


Postur Janggal Alokasi kemungkinan terjadinya sakit
Berdiri Pada kaku, region lumbal
Duduk tanpa dukungan lumbar Pada region lumbar
Duduk tanpa dukungan punggung Pada otot-otot punggung
Duduk tanpa tumpuan kaki Pada lutut, kaki, dan region lumbar
yang baik
Duduk dengan mengistirahatkan bahu Pada bahu dan otot-otot leher
pada permukaan alat kerja yang terlalu
tinggi
Tangan meraih sesuatu yang sulit Pada bahu dan lengan bagian atas
terjangkau (jauh/tinggi)
Kepala mendongak Pada region leher
Posisi membungkuk, punggung yang Pada region lumbar dan otot-otot
mengarah ke depan punggung
Semua posisi tegang Pada semua otot (karena semua otot
terlibat)
Posisi ekstrim yang terus-menerus pada Pada semua sendi (karena semua sendi
setiap sendi terlibat)
Sumber : Levy, 2006
Beberapa masalah berkenaan dengan postur kerja yang sering terjadi sebagai berikut :
1.      Postur tangan
Mengangkat siku lebih tinggi dari bahu atau menggapai benda dibelakang badan dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya keluhan Musculoskeletal Disorders pada bagian leher
dan bahu. Dikutip dari identifikasi Washington State Ergonomic Rule/Guideline, bekerja dengan
tangan di atas kepala selama lebih dari 2 jam sehari juga merupakan faktor risiko terjadinya
MSDs (Levy, 2006).
Menurut Humantech (1995), postur lengan yang berisiko adalah ketika melakukan fleksi sebesar
45° dan ketika posisi lengan berada pada bagian belakang tubuh yang ditandai oleh posisi siku
berada di belakang tubuh. Sedangkan untuk pergelangan tangan, yang memiliki risiko adalah
ketika melakukan fleksi maupun ekstensi sebesar lebih dari 45°.
Kegiatan sehari-hari pekerja secara normal memperbolehkan dilakukannya fleksi sebesar 10° dan
ekstensi sebesar 35° (Kumar, 2001). Penggunaan pergelangan tangan yang memiliki risiko
terhadap MSDs menurut Humantech adalah melakukan gerakan menjepit dengan jari, menekan
dengan jari, fleksi, dan ekstensi lebih dari 45°.Berdasarkan Bridger (1995), Ulnar deviation yang
dilakukan pekerja atau membengkokan pergelangan tangan ke sisi luar dari garis tengah
pergelangan tangan dapat menyebabkan geskan pada bagian ibu jari. Apabila hal tersebut terjadi
berulang-ulang maka akan menyebabkan pembungkus tendon mengalami inflamasi yang bila
terjadi dalam jangka waktu panjang dapat membatasi pergerakan pergelangan .
2.      Postur leher
Beban pada otot pada saat pekerjaan yang menggunakan bagian tubuh atas secara intensif dapat
berkaitan dengan terhadap terjadinya gangguan kronis pada otot bahu dan leher (Kumar, 2001).
Sakit pada leher diduga disebabkan oleh dilakukannya fleksi dan rotasi terlalu lama pada leher.
Bekerja dengan menekukkan leher lebih dari 30° tanpa penyangga dan tanpa variasi postur lain
selama lebih dari 2 jam sehari juga merupakan faktor risiko MSDs yang telah diidentifikasi
oleh Washington State Ergonomics Rule/Guideline (Levy, 2006). Menurut Humantech (1995),
postur leher yang memiliki risiko terhadap MSDs adalah ketika membungkuk lebih dari 20°,
dimiringkan ke samping, menengadah, dan memutar.
3.      Postur batang tubuh
Postur janggal pada batang tubuh dapat meningkatkan risiko terjadinya cidera pada punggung
(Levy, 2006). Menurut Manning et al dalam Kumar (2001), 60% dari total cidera pada punggung
diakibatkan oleh perputaran batang tubuh. Keluhan pada punggung tersebut menurut
4.      Postur kaki
Menurut Humantech (1995) postur kaki yang merupakan faktor risiko ergonomi antara lain
adalah berjongkok, yaitu menekuk lutut horizontal sebesar kurang dari 45°, berdiri dengan satu
kaki dimana tumpuan berat badan tertuju pada satu kaki saja walaupun kaki yang lainnya
menginjak permukaan lantai, dan berlutut dengan kedua kaki menyentuh lantai.

F.     Metode Penilaian Postur Kerja
Penilaian postur kerja diperlukan ketika didapati bahwa postur kerja pekerja memiliki
Risiko menimbulkan cedera muskuleskeletal yang diketahui secara visual atau melalui keluhan
dari pekerja itu sendiri. Dengan adanya penilaian dan analisis perbaikan postur kerja, diharapkan
dapat diterapkan untuk mengurangi atau menghilangkan Risiko cedera muskuluskeletal yang
dialami pekerja.
Untuk penilaian kembali postur kerja, diperlukan ketika terjadi perubahan spesifikasi
produk atau penambahan jenis produk baru. Kedua hal tersebut akan memungkinkan terjadinya
perubahan metode kerja yang dilakukan pekerja dalam menghasilkan produk, dan metode baru
tersebut kemungkinan juga dapat menimbulkan cedera muskuluskeletal, sehingga perlu
dilakukan penilaian postur kerja kembali.Selain saat terjadi perubahan spesifikasi atau
penambahan jenis produk baru, penilaian kembali postur kerja juga diperlukan saat dilakukan
rotasi kerja. Rotasi kerja dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi rasa kebosanan pekerja
karena melakukan pekerjaan yang sama dan terus-menerus (monoton). Maka saat terjadi rotasi
kerja, perlu dilakukan penilaian postur kerja kembali. Hal ini dikarenakan pekerja tersebut akan
beradaptasi terlebih dahulu terhadap pekerjaannya, dan postur kerjanya dalam melakukan
pekerjaan tersebut akan berbeda dengan pekerjaan yang sebelumnya, sehingga perlu dilakukan
penilaian kembali postur kerja dari pekerja. Namun jika tidak terjadi perubahan spesifikasi
produk, atau penambahan jenis produk baru, atau rotasi kerja, tidak perlu dilakukan penilaian
kembali postur kerja dari pekerja yang ada.
1.      Ovako Working Postures Analysis System (OWAS)
OWAS adalah suatu metode untuk mengevaluasi beban postur (postural load) selama
bekerja. Metode OWAS didasarkan pada sebuah klasifikasi yang sederhana dan sistematis dari
postur kerja yang dikombinasikan dengan pengamatan dari tugas selama bekerja. Metode OWAS
pertama kali dilakukan untuk menganalisis postur kerja pada industri baja. Metode ini telah
digunakan dalam penelitian dan pembangunan di Finlandia, Swedia, Jerman, Belanda, India, dan
Australia.
Prosedur OWAS dilakukan dengan melakukan observasi untuk mengambil data postur,
beban/tenaga, dan fase kerja untuk kemudian dibuat kode berdasarkan data tersebut. Evaluasi
penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang ada dan selanjutnya
dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus diambil.
Klasifikasi postur kerja dari metode OWAS adalah pada pergerakan tubuh bagian belakang
(trunks), lengan (arms), dan kaki (legs). Setiap postur tubuh tersebut terdiri atas 4 postur bagian
belakang, 3 postur lengan, dan 7 postur kaki. Berat beban yang dikerjakan juga dilakukan
penilaian mengandung 3 skala point.
2.      Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode penelitian untuk
menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang oleh Lynn Mc
Atamney dan Nigel Corlett (1993) yang menyediakan sebuah perhitungan tingkatan
beban muskuloskeletal di dalam sebuah pekerjaan yang memiliki Risiko pada bagian tubuh dari
perut hingga leher atau anggota badan bagian atas.
Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan penilaian postur leher,
punggung, dan lengan atas. Setiap pergerakan di beri skor yang telah ditetapkan. RULA
dikembangkan sebagai suatu metode untuk mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor
Risiko. Metode didesain untuk menilai para pekerja dan mengetahui beban musculoskletal yang
kemungkinan menimbulkan gangguan pada anggota badan atas.
Metode ini menggunakan diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam menetapkan
evaluasi faktor Risiko. Faktor Risiko yang telah diinvestigasi sebagai faktor beban eksternal
yaitu:
a)      Jumlah pergerakan
b)      Kerja otot statik
c)      Tenaga/kekuatan
d)     Penentuan postur kerja oleh peralatan
e)      Waktu kerja tanpa istirahat.
Dalam usaha untuk penilaian 4 faktor beban eksternal (jumlah gerakan, kerja otot statis,
tenaga kekuatan dan postur), RULA dikembangkan untuk (Mc Atamney dan Corlett, 1993):
a)      Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja dengan kerja bersiko yang
menyebabkan gangguan pada anggota badan bagian atas.
b)      Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja, penggunaan tenaga dan
kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan kelelahan otot.
c)      Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian ergonomi yaitu
epidomiologi, fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.
Pengembangan dari RULA terdiri atas tiga tahapan yaitu :
a)      Mengidentifikasi postur kerja
b)      Sistem pemberian skor
c)      Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat Risiko yang ada dan
dibutuhkan untuk mendorong penilaian yang melebihi detail berkaitan dengan analisis yang yang
didapat.
Ada empat hal yang menjadi aplikasi utama dari RULA, yaitu untuk :
a)      Mengukur Risiko muskuloskeletal, biasanya sebagai bagian dari perbaikan yang lebih luas dari
ergonomi.
b)      Membandingkan beban muskuluskeletal antara rancangan stasiun kerja yang sekarang dengan
yang telah dimodifikasi.
c)      Mengevaluasi keluaran misalnya produktivitas atau kesesuaian penggunaan peralatan.
d)     Melatih pekerja tentang beban muskuluskeletal yang diakibatkan perbedaan postur kerja.
Dalam mempermudah penilaian postur tubuh, maka tubuh dibagi atas 2 segmen grup yaitu grup
A dan grup B.

3.      REBA (Rapid Entire Body Assessment)


a.      Pengertian
Rapid Entire Body Assessment atau yang biasa disebut dengan REBA yaitu Salah satu
metode yang digunakan untuk menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh. Metode ini
didesain untuk mengevaluasi pekerjaan atau aktivitas, dimana pekerjaan tersebut memiliki
kecenderungan menimbulkan ketidaknyamanan seperti kelelahan pada leher, tulang punggung,
lengan, dan sebagainya. Metode ini mengevaluasi pekerjaan dengan memberikan nilai/score pada
5 aktivitas level yang berbeda. Hasil nilai ini menunjukkan tingkatan atau level Risiko yang
dihadapi oleh karyawan dalam melakukan pekerjaannya dan terhadap beban kerja yang
ditanggungnya. Risiko dari pekerjaan terkait dengan penyakit otot dan postur tubuh.
Analisa REBA dilakukan dengan membagi postur tubuh kedalam dua kategori, kategori A
dan B. Kategori A terdiri dari tubuh, leher dan kaki, sedangkan kategori B terdiri dari lengan atas
dan bawah serta pergelangan untuk gerakan ke kiri dan kanan. Masing-masing kategori memiliki
skala penilaian postur tubuh lengkap dengan catatan tambahan yang dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam desain perbaikan. Setelah penilaian postur tubuh, yang dilakukan
kemudian adalah pemberian nilai pada beban atau tenaga yang digunakan serta faktor terkait
dengan kopling (Hignett, S., McAtamney, L. 2000). Nilai untuk masing-masing postur tubuh
dapat diperoleh dari tabel penilaian yang telah ada. Total nilai pada kategori A merupakan nilai
yang diperoleh dari penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada tabel A dengan nilai
beban atau tenaga. Sedang total nilai pada kategori B merupakan nilai yang diperoleh dari
penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada tabel B dengan nilai kopling untuk kedua
tangan. Nilai REBA diperoleh dengan melihat nilai dari kategori A dan B pada tabel C untuk
memperoleh nilai C yang kemudian dijumlahkan dengan nilai aktivitas. Sedangkan tingkatan
Risiko dari pekerjaan diperoleh dari tabel keputusan REBA. Langkah-langkah yang diperlukan
dalam menerapkan metode REBA ini antaralain:
1)      Mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja di lantai produksi.
2)      Menentukan bagian-bagian tubuh yang akan diamati, antara lain batang tubuh, pergelangan
tangan, leher, kaki, lengan atas, dan lengan bawah.
3)      Penentuan nilai untuk masing-masing postur tubuh dan penentuanactivity score.
4)      Penjumlahan nilai dari masing-masing kategori untuk memperoleh nilai REBA.
5)      Penentuan level risiko dan pengambilan keputusan untuk perbaikan.
6)      Implementasi dan evaluasi desain metode, fasilitas, dan lingkungan kerja.
7)      Penilaian ulang dengan menggunakan metode REBA untuk desain baru yang
diimplementasikan.
8)      Evaluasi perbandingan nilai REBA untuk kondisi sebelum dan setelah implementasi desain
perbaikan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari metode REBA yang di diantaranya:
1)      Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh dengan cepat.
2)      Menganalisa faktor-faktor Risiko yang ada dalam melakukan pekerjaan.
3)      Metode ini cukup peka untuk menganalisa pekerjaan dan beban kerja berdasarkan posisi tubuh
ketika bekerja
4)      Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang kemudian diberi kode-
kode secara individual berdasarkan bidang-bidang geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
5)      Membuat desain metode, fasilitas dan lingkungan kerja.
Rapid Entire Body Assissment (REBA) adalah suatu metode dalam bidang ergonomi yang
digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan
kaki seorang pekerja. Metode ini juga dilengkapi dengan faktor coupling, beban eksternal, dan
aktivitas kerja. Dalam metode ini, segmen-segmen tubuh dibagi menjadi dua grup, yaitu grup A
dan Grup B. Grup A terdiri dari punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sedangkan grup B
terdiri dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Penentuan skor REBA, yang
mengindikasikan level Risiko dari postur kerja, dimulai dengan menentukan skor A untuk
postur-postur grup A ditambah dengan skor beban (load) dan skor B untuk postur-postur grup B
ditambah dengan skor coupling. Kedua skor tersebut (skor A dan B) digunakan untuk
menentukan skor C. Skor REBA diperoleh dengan menambahkan skor aktivitas pada skor C.
Dari nilai REBA dapat diketahui level Risiko cedera.
Pengembangan Rapid Entire Body Assissment (REBA) terdiri atas 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1)      Mengidentifikasikan kerja,
2)      Sistem pemberian skor,
3)      Skala level tindakan yang menyediakan sebuah pedoman pada tingkat yang ada, dibutuhkan
untuk mendorong penilaian yang lebih detail berkaitan dengan analisis yang didapat.
REBA merupakan suatu metode penelitian untuk penilaian tubuh dengan cepat secara
keseluruhan. Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penilaian postur punggung,
leher, kaki, dan lengan tangan dan pergelangan tangan. Setiap pergerakan diberi dengan skor
yang telah ditetapkan. REBA dikembangkan sebagai suatu metode untuk menilai postur kerja
yang merupakan faktor Risiko (risk factor). Metode ini didesain untuk menilai pekerja dan
mengetahui Muscules keletal yang kemungkinan dapat menimbulkan gangguan pada anggota
tubuh. Dalam usaha untuk penilaian 4 (empat) faktor beban eksternal, jumlah gerakan, kerja otot
statis, tenaga/ kekuatan, dan postur, REBA dikembangkan untuk:
1)      Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja yang beRisiko menyebabkan
gangguan pada anggota tubuh,
2)      Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja, penggunaan tenaga dan
kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan kelelahan (fatique) otot,
3)      Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian ergonomi, yaitu
epidemiologi, fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi
Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah alat yang berguna dalam pengukuran Risiko
pada pemindahan material secara manual. Dirancang oleh Sue Highnett dan Lynn McAtamney
sebagai alat untuk menganalisa sikap kerja pada keseluruhan tubuh , REBA juga dapat
digunakan untuk mengukur beban dan aktivitas. REBA dapat digunakan baik untuk pengukuran
dimensi struktur tubuh (static anthropometry) maupun pengukuran dimensi fungsional tubuh
(dynamic anthropometry), dan dapat diterapkan pada sebagian besar jenis kegiatan.
Penggunaan REBA memunculkan hasil angka yang menunjukkan total Risiko pada sikap
kerja dan aktivitas yang diukur. Hal ini merupakan suatu kelebihan dalam melaksanakan
pengukuran Risiko karena hasil dilengkapi dengan identiflkasi dari pergerakan atau sikap kerja
yang spesifik yang mungkin menyebabkan masalah atau yang sedang diamati.
Setiap sikap kerja atau pergerakan dibagi kedalam satu seri sudut untuk tubuh bagian atas
dan tubuh bagian bawah, dengan nilai total berasal dari kombinasi posisi leher, batang tubuh,
lengan atas dan lengan bawah . Faktor lain yang juga diperhitungkan pada REBA adalah beban
dan pergerakan yang dilakukan pada material, termasuk hal memegang material, frekuensi
pergerakan yang harus dilakukan, apakah tubuh memiliki landasan yang kokoh dari tempat
bergerak atau tidak, dan apakah gerakan dibarengi dengan gerakan berputar atau menekuk pada
waktu yang bersamaan.
b.      Langkah-Langkah Metode REBA
Metode REBA merupakan metode pengamatan, dimana peneliti atau pengguna rnetode ini
harus mengamati/melihat aktivitas yang dilakukan, dan kemudian dianalisa lebih lanjut
menggunakan metode REBA. Pelaksanaan pengukuran menggunakan Rapid Entire Body
Assessment (REBA) melalui 6 langkah sebagai berikut:
1)      Pengamatan terhadap aktivitas
2)      Pemilihan sikap kerja yang akan diukur
3)      Pemberian skor pada sikap kerja
4)      Pengolahan skor
5)      Penyusunan skor REBA
6)      Penentuan level
Dalam mempermudah penilaiannya maka pengukuran menggunakan REBA dibagi atas 2
grup, yaitu :
1)      Score A, terdiri atas leher (neck), punggung (trunk), kaki (legs) dan beban (force/load)
2)      Score B, terdiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), pergelangan tangan
(wrist), aktivitas (activity) dan genggaman (coupling) Metode REBA memberikan standard skor
yang digunakan untuk
Pada masing-masing grup diberikan suatu skala postur tubuh dan suatu pernyataan tambahan.
Diberikan juga faktor beban/kekuatan dancoupling. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dinilai
pada metode REBA. Postur Batang Tubuh REBA dapat dilihat pada Gambar 3.2.

4)      Perhitungan Skor REBA


Skor REBA diperoleh dengan menambahkan skor aktivitas (activityscore) ke skor C, sesuai
dengan persamaan :
Skor REBA = Skor C + Activity Score
Skor REBA = INT (Neck + Trunk + Legs + Load/Force + Upper arm +Lower
arm + Wrist + Coupling) + Activity Score
5)      Perhitungan Level Tindakan REBA
Lebih lanjut skor REBA dipetakan kedalam level tindakan (action level) seperti tertulis pada
Tabel II.16, yang dapat juga dihitung dengan menggunakan persamaan :
REBA Action Level = INT (REBA Score)
n Level = INT (INT (Neck + Trunk + Legs + Load/Force + Upper arm + Lower arm + Wrist + Coupling) +
Activity Score)
Tabel II.16. Level Tindakan REBA
Reba skor Level Risiko Level Tindakan Tindakan
Dapat diabaikan 0 Tidak
1
diperlukan
Kecil 1 Mungkin
2-3
diperlukan
4-7 Sedang 2 Perlu
8-10 Tinggi 3 Segera
11-15 Sangat tinggi 4 Sekarang juga
Sumber : Hignett, S., McAtamney, L. 2000

Anda mungkin juga menyukai