Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FIQH IBADAH DAN

MUAMALAH
“MUSYARAKAH, MUDHARABAH, MURABAHAH”
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Maragustam, M.A
Muhammad Aufal Minan, M. Pd

Oleh :
Ahmad Setyabudi 19104010115
Habibatul Muazizah 19104010116

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2020/2021
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “FIQH
IBADAH DAN MUAMALAH” ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW. Kami mengucapkan terima kasih
yang setulusnya kepada dosen pengampu mata kuliah ‘FIQH IBADAH DAN
MUAMALAH”, Bapak Prof. Dr. H. Maragustam, M.A dan Bapak Muhammad Aufal
Minan, M. Pd
yang telah membimbing kami. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
kedua orang tua, teman-teman serta orang yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak Ibu sekalian.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah FIQH IBADAH DAN
MUAMALAH, menambah wawasan pengetahuan tentang Syirkah dalam islam.
Kami mohon maaf jika makalah ini terdapat banyak kekurangan, maka dari itu
kami mengharapkan agar para pembaca makalah ini dapat memberikan saran serta
kritiknya untuk perbaikan yang semestinya.

Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………..1
B. Tujuan……………………………………………………..1
C. Rumusan Masalah…………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A. MUDHOROBAH………………………………
B. MUSYARAKAH…… ………………………
C. MUROBAHAH………... ……………………
BAB III PPENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia telah diciptakan Allah untuk melaksanakan tugas menjadi
khalifah di muka bumi ini. Dengan bekal akal, manusia akan memilih dan
mencari segala sesuatu yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya baik rohani maupun jasmani. Salah satu yang disenangi manusia
addalah harta benda sebagai salah satu sarana memperoleh kesenangan dunia.
Untuk mendapatkan harta, manusia menggunakan akal dan pikirannya
melakukan berbagai usaha dan pekerjaan atau sering disebut ekonomi.
Dalam pandangan islam, kegiatan ekonomi tidak hanya bertujuan
mendapatkan kesenangan duniawi saja, namun juga menjadi jembatan untuk
menggapai akhirat serta cita-cita luhur yakni memakmurkan bumi dan
sebagai bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah swt. Diharapkan pula cita-
cita ekonomi menurut islam yaitu, mampu merubah persaingan yang tidak
sehat, egois, dan monopoli menjadi saling pengertian dan mengeksploitir
kekayaan dengan cara terbaik demi kemaslahatan umat, serta tidak
menyimpang dari perintah Allah SWT.
Sebagai hamba Allah, perlunya disadari dan diyakini bahwa setiap
muslim wajib melaksanakan ibadah mahdhah maupun ibadah muamalah.
Kedua ibadah tersebut sama-sama pentingnya.
Oleh karena itu, dalam merealisasikannya islam mengatur carakerja sama
dalam ekonomi, diantaranya musyarokah, mudharabah, dan murabahah.
B. TUJUAN
1. Memenuhi tugas mata kuliah fiqh ibadah dan muamalah
2. Menambah wawasan tentan musyarakah, mudharabah, murabahah

C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian dari musyarakah, mudharabah, murabahah?
2. Apa saja landasan hukum musyarakah, mudharabah, murabahah ?
3. Apa saja syarat rukun musyarakah, mudharabah, murabahah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. MUDLOROBAH/QIRODL
A. Pengertian Mudharabah/qirodl
Perkataan ”mudharabah” (‫ )مضاربة‬secara etimologi adalah bermakna
dikeluarkan, dari bentuk masdar (‫ )الضرب‬yang artinya pergi. Tentang
ma’na ini Allah SWT berfirman:
ِ ‫ض َر ْبتُ ْم فِي اأْل َ ْر‬
‫ض‬ َ ‫َوإِ َذا‬
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi
Sedangkan “qirodl” (‫راض‬33‫ )ق‬atau bisa disebut dengan (‫)مقارضة‬
Lafadz “qiradl” secara bahasa diambil dari lafadz “al qardl”, yaitu
bermakna memotong. dibentuk dari masdar ( (‫رض‬33‫الق‬yang artinya
memotong.
Mudharabah disebut qairadh atau muqaradhah karena pemilik modal
memotong sebagian hartanya agar diniagakan dengan memperoleh
sebagian keuntungan, dan demikian juga yang meniagakan memotong
sebagian keuntungan pemilik modal yang diperoleh karena usahanya.1
Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan tentang pengertian
mudharabah sebagai berikut: ”Mudharabah disebut juga mu’amalah.
Yang dimaksud disini, ialah: Akad antara kedua belah pihak, salah
seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan uang kepada pihak lainnya
untuk diperdagangkan/ diniagakan. Dan laba dibagi dua sesuai dengan
kesepakatan.”2
Qiradl adalah pemberian harta oleh seorang pemilik terhadap seorang
amil (pekerja) yang akan menggunakannya untuk bekerja dan laba dari
harta tersebut dibagi di antara keduanya. 3

B. Landasan Hukum Mudharabah/Qirodl


Diriwayatkan oleh Ibnu Majah diterima dari Shuhaib r.a.:
،‫ اَ ْلبَ ْي ُع إِلَى أَ َج ٍل‬:ُ‫ث فِ ْي ِهنَّ ا ْلبَ َر َكة‬ ٌ َ‫ ثَال‬:‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو‬ َ ‫أَنَّ النَّبِ َّي‬
ِ ‫ َو َخ ْلطُ ا ْلبُ ِّر بِالش َِّع ْي ِر لِ ْلبَ ْي‬،ُ‫ضة‬
‫ت الَ لِ ْلبَ ْي ِع‬ َ ‫َوا ْل ُمقَا َر‬
Artinya: “Bahwa Nabi SAW. Telah bersabda: “Ada tiga perkara
yang didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan pembayaran
cicilan (tidak kontan) (2) muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan
(3) mencampur gandum untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” 4
1
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-Maktabah Tijariyah
Kubra, 1976), hal. 34
2
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, juz III , Darul Tsaqofah Islamiyah, (tanpa tahun). Hal. 147
3
Al-Ghozi, Muhammad bin Qosim, Fath Al-Qorib Al-Mujib, Surabaya : Al-Hidayah Hal. 37
C. Ketentuan-Ketentuan Mudharabah/Qirodl
Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan Mudharabah/Qirodl
dalam makalah ini meliputi rukun dan syarat mudharabah menurut
sebagian fuqaha.
a. Rukun Mudharabah
Menurut keterangan Abdurrahman Al-Jaziri, Ulama madzhab
Hanafi berpendapat bahwa rukun Mudharabah/Qirodl ada dua
yaitu:
1. Ijab
2. Qabul .4
Sedangkan ulama madzhab Maliki berpendapat rukun
Mudharabah/Qirodl itu ada lima, yaitu:
1. Modal
2. Pekerjaan
3. Keuntungan
4. Dua orang yang melakukan kerjasama (Al’Aqidani)
5. Shigat (ijab qabul).5
Menurut ulam madzhab Syafi’i, rukun Mudharabah/Qirodl
ada enam, yaitu:
1. Pemilik modal
2. Modal yang diserahkan
3. Orang yang berniaga
4. Perniagaan yang dilakukan
5. Ijab (pernyataan penyerahan)
6. Qabul (pernyataan penerimaan)7

b. Syarat Mudharabah/Qirodl
Mengenai pembahasan tentang syarat-syarat
Mudharabah/Qirodl, di bawah ini akan dikutip sebagian pendapat
para ahli fiqh, yang meliputi Permodalan, keuntungan dan kerugian,
pemilik modal, pelaku dan pekerjaan. Antara lain sebagai berikut.
1. Permodalan

4
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-Maktabah Tijariyah
Kubra, 1976), hal. 36

5
Ibid : hal. 41
Untuk kesahan mudharabah Sayyid Sabiq memberikan syarat-
syarat terhadap permodalan, antara lain:
a. Modal harus berbentuk uang tunai, jika berbentuk emas atau
perak yang masih batangan, atau masih berbentuk barang, maka
tidak sah.
b. Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan
antara modal dan keuntungan. Mengenai jenis modal, ulama
madzhab Hambali membatasi, bahwa modal hanya berupa emas
dan perak yang telah distempel raja (mata uang resmi negara).
Maka tidak boleh dengan mata uang selain emas dan perak.6
Demikian juga dengan ulama madzhab Syafi’i, namun
demikian ada juga sebagian ulama madzhab Syafi’I yang
membolehkan dengan mata uang yang terbuat dari tembaga yang
sudah dijadikan alat tukar menukar kebutuhan hidup seperti emas
dan perak.
2. Keuntungan dan Kerugian Keuntungan
Sayyid Sabiq mengemukakan syarat mudharabah yang
berhubungan dengan keuntungan, hanya satu syarat saja, yaitu:
Bahwa keuntungan yang menjadi milik kedua belah pihak harus
jelas prosentasenya, seperi setengah, sepertiga, atau
seperempat.7
Hal ini berarti bahwa menentukan keuntukan tidak boleh
disebutkan dalam nilai uang (nominal), melainkan
penyebutannya (penentuannya) masih berbentuk serikat.

3 Pemilik Modal
Dalam hal persyaratan yang berkaitan dengan pemilik
modal, semua ahli fiqh sepakat tentang keharusan pemilik
modal adalah orang yang telah mampu meniagakan (jaizu
tasharuf), dan syarat ini menjadi syarat utama dalam setiap
perniagaan, demikian juga bagi si pelaku.

4 Pelaku Niaga (pelaksana)


Selain si pelaku harus seseorang yang mampu berniaga
(jaizu tasharuf), ada ketentuan lain yang berhubungan dengan

6
Ibid : hal. 47

7
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, juz III , Darul Tsaqofah Islamiyah, (tanpa tahun) hal. 149
pelaksana, yaitu tentang kedudukan dia setelah mengadakan
perjanjian dan diserahi modal.
Mengenai hal ini Sayyid Sabiq menjelaskan: ”Jika akad
telah berlangsung dan pelaksana sudah memegang harta
(modal) maka segala tindakan pelaksana itu menjadi amanat.
Ia tidak berkewajiban menjamin kecuali dengan sengaja. Dan
jika terjadi kerugian tanpa disengaja maka sedikit pun ia tidak
berkewajiban apa-apa. Selain itu ucapan yang dipegang adalah
ucapannya (pelaksana) yang disertai sumpah jika dituduh
menyia-nyiakan harta atau terjadi kerugian. Karena persoalan
pertama tidak ada pengkhianatan”.

5. Pekerjaan
Mengenai pekerjaan yang dilakukan pelaku. Sayyid Sabiq
berpendapat bahwa : ”Mudharabah itu bersifat mutlaq, pemilik
modal tidak mengikat pelaksana (pekerja) untuk berdagang di
negara tertentu atau memperdagangkan barang tertentu, atau
berdagang pada waktu tertentu, sementara di waktu lain tidak,
atau ia hanya bermu’amalah kepada orang-orang tertentu dan
syarat-syarat lain semisalnya. Karena persyaratan yang
mengikat seringkali dapat menyimpangkan tujuan akad, yaitu
keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa
itu mudharabah menjadi fasid. Demikian menurut madzhab
Maliki dan As-Syafi’i.
Adapun Abu Hanifah dan Ahmad, keduanya tidak
mensyaratkan syarat tertentu, mereka mengatakan:
”Sesungguhnya sebagaimana mudharabah menjadi sah dengan
mutlaq, sah pula dengan muqayyad (terikat)”. Dalam keadaan
mudharabah muqayyad pelaksana tidak boleh melewati syarat-
syarat yang telah ditentukan, jika ketentuan itu dilanggar maka ia
wajib menjaminnya”.8

2. MUSYARAKAH/SYIRKAH
A. Pengertian Musyarakah/syirkah
Perkataan “Musyarakah” (‫ )مشاركة‬secara etimologi bermakna
persekutuan/bercampur yang berasal dari masdar berupa “Asy-
Syirkah” (‫)الشركة‬

8
Ibid : hal. 149
Secara epistimologi Musyarakah menurut Muhammad bin
Qasim Al-Ghozi adalah tetapnya hak secara umum pada barang satu
bagi dua orang atau lebih. 9
Sedangkan menurut Sayid Sabiq perlu dipisahkan satu
persatu, hal ini disesuaikan dengan macam-macam syirkah yang
berbeda-beda dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula.
Syaikh Sayyid Sabiq mengemukakan tentang syirkah sebagai
berikut: ”Macam-macam syirkah: Syirkah ada dua macam:
1. Syirkah Amlak
2. Syirkah ‘Uqud
Syirkah amlak ialah, bahwa lebih dari satu orang memiliki sesuatu
jenis barang tanpa akad”.
”Syirkah ’uqud yaitu bahwa dua orang atau lebih melakukan akad
untuk menggabungkan dalam suatu kepentingan harta dan hasilnya
berupa keuntungan.
Macam-macam Syirkah ’uqud:
1. Syirkah ’Inan
Syirkah ’Inan adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang,
bahwa mereka akan memperdagangkannya dengan keuntungan dibagi
dua”.
2. Syirkah Mufawadhah
”Syirkah Mufawadah adalah bergabungnya dua orang atau lebih
untuk melakukan kerjasama dalam suatu urusan. Dengan ketentuan
syarat-syarat sebagai berikut: Samanya modal masingmasing,
mempunyai wewenang bertindak yang sama, mempunyai agama yang
sama dan masingmasing menjadi penjamin lainnya atas apa yang ia
beli dan ia jual”.
3. Syirkah Abdan
”Syirkah Abdan yaitu dua orang bersepakat untuk menerima
pekerjaan, dengan ketentuan upah yang mereka terima dibagi menurut
kesepakatan”
4. Syirkah Wujuh
”Syirkah wujuh yaitu bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu
tanpa permodalan, yang ada hanya berpegangan pada nama baik
mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka. Syirkah ini
adalah syirkah tanggung

9
Al-Ghozi, Muhammad bin Qosim, Fath Al-Qorib Al-Mujib, Surabaya : Al-Hidayah Hal. 34
jawab, tanpa kerjasama dan modal, dengan catatan keuntungan untuk
mereka”10

B. Landasan Hukum Musyarakah/Syirkah


Syirkah disyari’atkan dengan kitabullah sunah dan ijma’. Dibawah ini
akan dikutipkan beberapa dalil baik dari Al-qur’an maupun As-Sunnah
yang dijadikan dasar hukum syirkah, antara lain:
a. Al-Qur’an surat Shad ayat 24
۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
‫وا‬ ۟ ُ‫ض إِاَّل ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬ ٍ ‫ض ُه ْم َعلَ ٰى بَ ْع‬ ُ ‫َوإِنَّ َكثِي ًرا ِّمنَ ٱ ْل ُخلَطَٓا ِء لَيَ ْب ِغى بَ ْع‬
ٰ
َ َ‫ستَ ْغفَ َر َربَّ ۥهُ َو َخ َّر َرا ِك ًعا َوأَن‬
‫اب‬ ْ ‫ت َوقَلِي ٌل َّما ُه ْم ۗ َوظَنَّ دَا ُوۥ ُد أَنَّ َما فَتَنَّهُ فَٱ‬ َّ ٰ ‫ٱل‬
ِ ‫صلِ ٰ َح‬
Artinya: Dan sesunguhnya kebanyakan orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian
yang lain, kecuali orangorang yang beriman dan beramal shaleh,
dan amat sedikitlah mereka ini
Kata ‫ ا ْلخلطاء‬dalam ayat diatas bermakna ,‫ الشرك‬demkianlah
menurut para ahli, seperti dikutip oleh Abu Bakar Jabir Al-
Jazairiy dalam kitab Minhajul al-Muslim.
b. As-Sunnah, Rasulullah bersabda bahwa Allah berfirman:
ْ‫ فَإِ َذا َخانَهُ َخ َر ْجتُ ِمن‬،ُ‫صا ِحبَه‬ َ ْ‫ش ِري َكي ِن َما لَ ْم يَ ُخن‬
َ ‫أح ُد ُه َما‬ ُ ِ‫أنَا ثَال‬
َّ ‫ث ال‬
‫بَينِ ِه َما‬
Artinya: Aku ini ketiga dari dua orang yang berserikat, selama
salah seorang mereka tidak menghianati temannya. Apabila salah
seorang telah khianat terhadap temannya Aku keluar dari antara
mereka.16

C. Ketentuan-ketentuan Musyarakah/Syirkah
1. Rukun Musyarakah/Syirkah
Mengenai rukun Musyarakah/Syirkah menurut Sayyid Sabiq
hanya ada dua macam yaitu:
a. Ijab
b. Qabul
Dalam ijab qabul ini, beliau berpendapat cukup dengan salah
satu pihak berkata: ”Aku bersyirkah untuk urusan ini dan itu”.
Dan yang lain berkata:”Telah aku terima”.
Lain halnya dengan Abdurrahman Al-Jaziriy beliau
mengemukakan: ” Musyarakah/Syirkah secara umum mempunyai
beberapa rukun yaitu:

10
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, juz III , Darul Tsaqofah Islamiyah, (tanpa tahun).hal. 202-204
1. Aqidani (dua orang yang berserikat)
2. Shighat (Ijab qabul)
3. Mahal (tempat atau sasaran dalam syirkah), yaitu
a. Harta
b. Pekerjaan.”18

2. Syarat Musyarakah/Syirkah
Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat syirkah meliputi
permodalan, anggota syirkah, keuntungan dan kerugian, serta
pekerjaan. Dibawah ini akan diuraikan satu persatu dari keempat
hal tersebut secara terpisah.
1. Permodalan
Berkaitan dengan modal, ulama madzhab Syafi’i
memberikan beberapa persyaratan, sebagaimana dikutip oleh
Abdurrahman AlJazairiy sebagai berikut: ”Modal itu harus
berupa barang mitsli, artinya barang yang dapat dibatasi oleh
takaran atau timbangan dan barang tersebut bisa dipesan,
seperti emas dan perak. Keduanya bisa ditimbang. Dan seperti
gandum, padi dan semisalnya, itu semua bias dibatasi dengan
takaran. 11
2. Anggota Syirkah
Menurut Abdurrahman Al-Jaziriy, ulama madzhab
Syafi’i memberikan persyaratan kepada anggota syirkah
sebagai berikut: ”Adapun tentang anggota syirkah maka
masing-masing disyaratkan hendaknya:
a. Pandai
b. Dewasa
c. Merdeka
Jadi perjanjian kerjasama (Syirkah) tidak sah jika
terselenggara dari orang bodoh, orang gila, anak kecil dan
abid (budak) yang belum mendapat ijin dari tuannya.
Demikian pula tidak sah dari orang yang dipaksa atau
oarang yang tidak mempunyai kekuasaan bertindak, dan sah
dari orang buta dengan syarat dalam pekerjaannya
mewakilkan pada orang lain”20
3. Keuntungan dan Kerugian

11
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-Maktabah Tijariyah
Kubra, 1976) hal. 76
Dalam hal ini ulama madzhab Syafi’i sebagaimana
yang dikutip oleh Abdurrahman AlJaziriy berpendapat:
”Disyaratkan agar keuntungan dan kerugian sesuai dngan
kadar modal. Baik para anggota syirkah itu sama dalam
pekerjaan atau berbeda. Apabila satu anggota syirkah
menyerahkan modal 100 dan anggota lain 50, maka anggota
kedua itu hanya mendapat (menerima) prosentase sepertiga
keuntungan.
Apabila disyaratkan mendapat keuntungan lebih
rendah atau lebih dari ketentuan tersebut (prosentase modal)
maka perjanjian syirkah menjadi batal. Dan masing-masing
anggota syirkah berhak meminta kembali upah pekerjaannya
sesuai dengan harta
modalnya”
4. Pekerjaan (usaha)
Ulama madzhab Syafi’i mempunyai pendapat yang
berbeda, yaitu mereka tidak mensyaratkan bahwa pekerjaan
harus disesuaikan dengan modal.
Hal ini dikemukakan oleh Abdurrahman Al-Jaziriy
berikut ini: ”Menurut ketentuan hokum yang kuat, tidak
disyaratkan sama dalam hal modal dan pekerjaan, jadi sah
adanya modal anggota syirkah dan pekerjaannya menjadi
bandingan untuk tambahan keuntungan, dinyatakan sebagai
sikap sosial dan dirinya tidak memperoleh apa-apa.

3. MUROBAHAH
A. Pengertian Murobahah
Kata murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual (bermakna:
saling) yang diambil dari bahasa Arab, yaitu “Ar-Ribhu” (‫ )الربح‬berarti
kelebihan dan tambahan (keuntungan). Jadi, murabahah diartikan dengan
saling menambah (menguntungkan). Hakikatnya adalah menjual barang
dengan harga (modal) yang diketahui penjual dan pembeli dengan
tambahan keuntungan yang jelas. Jadi, Murabahah artinya saling
mendapatkan keuntungan. Dalam perspektif fiqh Murabahah merupakan
salah satu bentuk dari jual beli.12
Hal ini senada dengan Firman Allah surat al-Baqarah ayat 16 :
12
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-Maktabah Tijariyah
Kubra, 1976) hal. 76
َ‫ض ٰللَةَ بِ ۡال ُه ٰدى فَ َما َربِ َح ۡت ت َِّجا َرتُ ُهمۡ َو َما َكانُ ۡوا ُم ۡهتَ ِد ۡين‬ ۡ َ‫ َك الَّ ِذ ۡين‬3ِ‫ولٓ ِٕٕٮ‬
َّ ‫اشتَ َر ُوا ال‬ ٰ ‫ُا‬
Artinya : “Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk.
Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak
mendapat petunjuk.”
Sedangkan secara terminologi murabahah dapat diartikan akad jual
beli atas barang tertentu, hakikatnya adalah menjual barang dengan harga
(modal) yang diketahui penjual dan pembeli dengan tambahan
keuntungan yang jelas. Jadi, Murabahah artinya saling mendapatkan
keuntungan. 13

B. Landasan Hukum Murabahah


Dibawah ini akan dikutipkan beberapa dalil baik dari Al-qur’an
maupun As-Sunnah yang dijadikan dasar hukum Murabahah, antara lain :
a. Al-Qur’an surat An Nisa ayat 29

ُ ‫يَ ٰـٓأَيُّ َها ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا اَل ت َۡأ‬


ً‫ بَ ۡينَڪُم بِ ۡٱلبَ ٰـ ِط ِل إِٓاَّل أَن تَ ُكونَ تِ َج ٰـ َرة‬3‫ڪلُ ٓو ْا أَمۡ َوٲلَ ُكم‬
َ ُ‫ض ِّمن ُك ۚمۡ‌ َواَل ت َۡقتُلُ ٓو ْا أَنف‬
‫مۡ‌ إِنَّ ٱهَّلل َ َكانَ بِ ُكمۡ َر ِحي ۬ ًما‬3ۚ‫س ُك‬ ٍ ۬ ‫عَن تَ َرا‬
Artinya :"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu".
Meski tidak ditemukan adanya hadits yang menjelaskan secara
langsung tentang murabahah. Namun ada beberapa hadits yang
dapat menjadi rujukan, di antaranya adalah:
Transaksi ini lazim digunakan oleh Rasulullah Saw dan para
sahabat. Para ulama membenarkan keabsahan murabahah dalam
ijma’ ulama, seperti Ibnu Rusyd (Ulama Malikiyah)” yang
mengklaim bahwa murabahah adalah bentuk jual beli yang
dibolehkan (halal) oleh mayoritas ulama dalam bentuk ijma’14

C. Ketentuan-ketentuan Murabahah
1. Rukun Murabahah :
13
Terminologi tentang Murabahah dapat juga dilihat pada kitab: Bidayatul Mujtahid jilid II-karya
Ibnu Rusy, Fiqh Sunnah Jilid 12 hlm.83-karya Sayyid Sabiq

14
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mugtashid, Beirut: Lebanon: Dar al-Kutub Al-
lmiyah, tt., h. 161.
1) Penjual,
2)Pembeli,
3) Barang yang diperjualbelikan,
4) Harga barang,
5) ljab qabul, yaitu pernyataan persetujuan kedua belah pihak. ljab
adalah pernyataan si penjual, sedang qabul adalah pernyataan si
pembeli. 15
Menurut madzhab Hanafi, rukun jual beli hanyalah ijab dan
qabul yang menunjukkan adanya pertukaran atau kegiatan saling
memberi. Dengan kata lain rukun jual beli ini adalah pekerjaanyang
menunjukkan keridhoan atau kerelaan terhadap adanya pertukaran
harta milik, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

2. Syarat Murabahah
Adapun rukun jual beli yang terdiri dari lima unsur di atas,
masing-masing mempunyai syarat, yaitu :
1) Berakal. Oleh karena itu jual beli yang dilakukan oleh anak
kecil yang belum berakal dan orang gila hukumnya tidak
sah . Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut
Ulama Hanafiyah, apabila akad.
2) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
Artinya, seseorang tidak dapat bertindak bertindak dalam
waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli.
Misalnya, Pak Arif menjual sekaligus membeli barangnya
sendiri. Jual beli seperti ini tidak sah. 16
Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan, antara lain:
1) Barang itu harus suci.
2) Barang itu harus bermanfaat.
3) Barang itu dapat diserahterimakan. 17
4) Barang tersebut ada pada saat akad berlangsung

15
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh, h. 347.

16
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid 3 (ttp: Dar Al-Fikr, 1983), h. 129.

17
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam, IV, h. 385
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian mudharabah adalah pemberian harta oleh seorang pemilik
terhadap seorang amil (pekerja) yang akan menggunakannya untuk bekerja
dan laba dari harta tersebut dibagi di antara keduanya
Pengertian syirkah ialah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan
harta yang lainnya, sehingga tak dapat dibedakan antara keduanya.
Pengertian murabahah ialah akad jual beli atas barang tertentu, hakikatnya
adalah menjual barang dengan harga (modal) yang diketahui penjual dan
pembeli dengan tambahan keuntungan yang jelas. Jadi, Murabahah artinya
saling mendapatkan keuntungan.
2. Landasan hukum mengenai mudhorobah, musyarakah, dan murobahah telah
tertera dalam Al-Quran dan Hadis
3. Rukun dalam murdhorobah yaitu pemilik modal, modal, orang yang
berniaga, perniagaan yang dilakukan, ijab, dan qabul. Sedangakan syarat
dari mudhorobah yaitu permodalan, keuntungan dan kerugian , pemilik
modal, pelaku niaga dan pekerjaan.
Rukun musyarakah yaituaqidani, shigat, mahal. Sedangkan syarat syirkah
yaitu permodalan, anggota syirkah, keuntungan dan kerugian, dan
pekerjaan.
Rukun murabahah yaitu penjual, pembeli, baran yang diperjualbelikan,
harga barang, ijab qabul. Sedangakan syarat murobahah yaitu aqidani dan
barang yang diperjualbelikan.
Daftar Pustaka

1. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-


Maktabah Tijariyah Kubra, 1976),
2. Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, juz III , Darul Tsaqofah Islamiyah, (tanpa tahun).
3. Al-Ghozi, Muhammad bin Qosim, Fath Al-Qorib Al-Mujib, Surabaya : Al-
Hidayah
4. Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Hajar, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, Riyadh : Dar al-Falaq, 1424
H
5. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-
Maktabah Tijariyah Kubra, 1976), hal. 36
6. Ibid : hal. 41
7. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, juz III , Darul Tsaqofah Islamiyah, (tanpa
tahun).. hal. 148-149
8. Al-Ghozi, Muhammad bin Qosim, Fath Al-Qorib Al-Mujib, Surabaya : Al-
Hidayah Hal. 34
9. Sunan Abu Dawud 2936 https://carihadis.com/Sunan_Abu_Daud/2936
10. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Al-‘Arba’ah, Juz III (Al-
Maktabah Tijariyah Kubra, 1976) hal. 76
11. Terminologi tentang Murabahah dapat juga dilihat pada kitab: Bidayatul
Mujtahid jilid II-karya Ibnu Rusy, Fiqh Sunnah Jilid 12 hlm.83-karya Sayyid
Sabiq
12. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mugtashid, Beirut: Lebanon:
Dar al-Kutub Al-lmiyah, tt., h. 161.
13. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh, h. 347.
14. Abd al-Rahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh, II, h. 150

Anda mungkin juga menyukai