Anda di halaman 1dari 27

PENERAPAN KONSELING BERPUSAT PRIBADI DALAM

PELAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Makalah

untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Teori dan Model dalam BK


yang Diampu oleh Dr. Carolina Ligya , M.Kes.,
dan Dr. M. Ramli, M.A.

Oleh Kelompok 1:
1. Herman Titing
2. Muya Barida

PROGRAM STUDI DOKTOR BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hakikat pendekatan Konseling Berpusat Pribadi perlu dipelajari secara
mendalam untuk dikuasai dalam praktik layanan Bimbingan dan Konseling,
terutama dalam paradigma implementasi Pendidikan modern dan post-modern
yang menonjolkan eksistensi keAKUan individu. Pendekatan konseling berpusat
pribadi ini menjadi celah bagi terakuinya potensi-potensi individu untuk
dikembangkan berdasarkan apa yang menjadi pilihan hidupnya daripada sekedar
perintah atau paksaan dari orang lain. Hal ini menjadi salah satu nilai luhur dari
pendekatan konseling berpusat pribadi karena pandangannya terhadap individu
yang memiliki kekuatan dan sumber daya, bukan individu yang patologis. Bahkan
terhadap individu yang dipandang oleh masyarakat dengan stigma negatif-pun,
pendekatan Person-centered dapat diterapkan. Sebagai contoh Lipinska (2009)
menerapkan pendekatan person-centered untuk memberikan psikoterapi bagi
orang demensia dengan menciptakan kondisi yang memiliki kedalaman relasional,
yang meliputi: 1) Kondisi terapeutik tingkat tinggi yang saling menguatkan
interaksi, 2) “Keheningan” dan “keberanian” dari terapis. 3) Mendengarkan untuk
mengekspresikan daripada ekspresi, dan 4) Menekankan pengalaman klien. Selain
itu, walaupun person-centered memfokuskan pada personal individu, namun
Synder (2002) mengkaji bahwa Person-centered dapat diterapkan untuk terapi
pasangan dan keluarga.
Person-centered yang memilihi hiroh humanis ini telah mengalami
pengembangan yang kaya dalam implementasinya. Mearns dan Thorne (2000)
telah memperluas gagasan Rogers tentang self menjadi konfigurasi self.
Konfigurasi adalah kontrak hipotetik yang berarti pola koheren dari berbagai
perasaan, pikiran, dan respons perilaku yang disimbolisasikan atau
diprasimbolisasikan sebagai refleksi dari dimensi eksistensi dalam self.
Konfigurasi self bisa jadi terus tumbuh, tetapi kadang-kadang “bukan demi
pertumbuhan”. Mearns dan Thorne juga menganjurkan sebuah actualizing process
(proses mengaktualisasikan) yang dideskripsikan oleh sebuah homeostatis

2
psikologis yang kesinambungannya berada di bawah “control ganda.” Di mana
pendorong kecenderungan untuk mengaktualisasikan dan penahan mediasi sosial
dapat menerapkan kekuatannya. Di samping itu, sehubungan dengan relasi
terapiutik, Mearns dan Thorne terdapat tiga elemen dalam relasi terapiutik, yaitu
kepercayaan, intimasi, dan mutualitas.
Psikolog Kanada, Rennie (1998) telah mengembangkan apa yang
diistilahkannya sebagai pendekatan eksperiensial terapi person-centered.
Pendekatan Rennie beredar di seputar refleksivitas klien dan terapis, yang
didefenisikan sebagai self-awareness (kesadaran tentang diri) dan agency dalam
self-awareness tersebut. Pendekatan Rennie memfokuskan pada proses-proses
klien dan terapis. Dua elemen proses adalah proses identifikasi “saya lihat anda
tampaknya telah berhenti” dan proses pengarahan “Saya tidak tahu apakah itu
berguna atau tidak, tetapi satu hal yang dapat anda coba adalah akan melihat
apakah anda dapat melakukan kontak dengan perasaan terjebak).
Person-centered dapat dinyatakan sebagai pendekatan yang telah terbukti
efektif dalam dalam beberapa intervensi. Penelitian Sa’ad et., al. (2013)
membuktikan bahwa penderapan pendekatan Person-centered menunjukkan
penurunan yang signifikan (pre-test ke post-test) pada depresi, meningkatkan
konsep diri dan ketahanan remaja di luar nikah yang hamil. Selanjutnya Gibbard
dan Hanley (2008) menyampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan delama
lima tahun yang menunjukkan bahwa konseling Person-centered efektif untuk
klien dengan masalah kesehatan mental umum, seperti kecemasan dan depresi.
Efektivitas tidak terbatas pada individu dengan gejala ringan hingga sedang yang
baru timbul, tetapi meluas ke orang dengan gejala sedang hingga parah dengan
durasi yang lebih lama.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini di antaranya:
1. Bagaimana hakikat Person-centered?
2. Bagaimana analisis hasil-hasil penelitian penerapan Person-centered dalam
pelayanan BK?
3. Bagaimana rekomendasi penerapan Person-centered di sekolah?

3
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengaji:
1. Hakikat Person-centered.
2. Analisis hasil-hasil penelitian penerapan Person-centered dalam pelayanan
BK.
3. rekomendasi penerapan Person-centered di sekolah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Person-centered
1. Tokoh dan Sejarah Person-centered

Carl Ransom Rogers (1902-1987)

Tanggal : 8 Januari 1902


Tempat : Oak Park, Illimois, Chicago, Amerika
Meninggal : 4 Februari 1987 (Umur 85 tahun)
Ayah/Ibu : Walter A Rogers dan Julia M. Cushing
(Rogers adalah putra keempat dari enam
bersaudara)
Istri : Hellen Elliont (seorang artis) kemudian Rogers
berkenalan dengan Bernice Todres
(seorang janda, tetapi hubungan mereka berakhir)

Rogers merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Rogers


dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang
insinyur sipil dan kontraktor sukses. Keluarga Rogers merupakan keluarga
pekerja keras dengan keyakinan Kristen Protestan konservatif hampir
fundamentalis yang terkenal keras, kaku dalam hal agama, moral dan
etika. Rogers dikenal sebagai anak yang sering sakit-sakitan, pemalu,
pelamun, tidak banyak teman serta kutu buku. Pada masa pertumbuhan
dan perkembangannya, Rogers memiliki kekaguman serta mengadopsi
sikap dari ayahnya. Ayahnya dianggap sebagai seorang master bidang seni
mengontrol kasih secara tidak kentara. Pernyataannya bahwa: ”Dalam
keluarga kami perilaku orang lain yang meragukan” itu tidak kami
setujui, seperti bermain kartu, menonton bioskop, merokok, meminum
minuman keras dan lainnya. tidak kompeten secara sosial selain kontak-
kontak superfisial. Namun, ia masih menyalahkan orang tuanya karena
telah membuatnya merasa bahwa dirinya tidak pantas dicintai.

5
Rogers berupaya untuk melepaskan diri dari terapi-terapi
psychodynamic interpretatif. Rogers mencoba untuk mengemansipasi
orang dari pengaruh orang tua pada zamannya yang menguasai pikiran,
perasaan, dan tindakan anak-anak. Terapi Person-centered dari Rogers
tumbuh dan berkembang untuk menantang kecenderungan otoritarian
dalam terapi maupun parenting dan mendukung hak-hak klien untuk
menemukan arahnya sendiri. Roger dipengaruhi oleh psikolog-psikolog
seperti Combs, Snygg, dan Maslow.
Rogers kuliah di University of Wisconsin untuk belajar pertanian,
kemudian pindah ke sejarah dengan tujuan untuk mendukung
profesionalnya sebagai pendeta. Pada umur 20 tahun, ia pergi ke China
pada acara Word Student Christian Federation Conference International,
di sanalah ia mengemansipasi dirinya dengan pemikiran religius orang
tuanya. Setelah menyelesaikan kuliahnya, dia menikah dengan seorang
artis, Hellen Elliont. Pada saat istrinya sakit ia mengalami saat-saat
menegangkan yaitu istrinya berulang kali duduk di kursi roda sampai ia
meninggal. Rogers bertemu dengan seorang janda yang lebih muda
darinya yaitu Bernice Todres, tetapi karena hubungan yang hanya
sesekali dan episodik akhirnya berakhir.
Pada tahun 1924, Rogers studi di Union Theological Seminary
kemudian pindah ke Teachers College, Columbia University. Di sana ia
dipapari filsafat instrumentalis John Dewey, pendekatan perilaku yang
sangat statistik dan orientasi Freudian. Rogers menerima gelar Columbia
University tahun 1939 kemudian yang merasa lebih kompeten sebagai
terapis karena pengalamannya memberikan pelayan dengan pembelajaran
dan insight peralihan dari mendiagnosa ke mendengarkan sebagai terapi
wawancara.
Pada tahun 1940, Rogers mendapat gelar profesor psikologi di Ohio
state University. Ia menjalankan berbagai konsultasi berhubungan dengan
perang termasuk konselor pelatihan. Kemudian ia menjadi direktur
konseling di sebuah organisasi kesejahteraan tentara. Rogers
mengembangkan dan mempresentasikan pendekatan Client Centered di

6
University of Minnesota Dengan judul “some newer concepts in
psychotherapy” pada 11 Desember 1940.
Pada masa kesuksesan ide-idenya, tahun 1940, terdapat banyak
pertentangan yang bersifat profesional maupun pribadi. Dua pertentangan
profesional adalah pertentangan dengan psikiater dan psikolog behavioral .
Rogers ditentang oleh psikiater dan psikolog untuk diberikan izin praktek
psikoterapi dan untuk memiliki tanggung jawab administratif atas
pekerjaan kesehatan mental. Secara spontan ia menyoroti filosofis dan
praktis yang terdapat dalam pandangan humanistik atau Client Centered
yang berlawanan dengan pandangan behavioral. Secara pribadi Rogers
terus berusaha menjadi pribadi yang memiliki pikiran terbuka dan terus
tumbuh untuk berjuang dan sukses melawan beberapa krisis dan kesulitan
pribadi.
Sekitar tahun 1940 sampai 1957 ia menjadi Profesor psikologi dan
sekretaris eksekutif pusat konseling di Universitas of Chicago. Di
sinilah Rogers mengembangkan dan mempublikasikan praktik Person-
centered therapy. Pada tahun 1957 Rogers menjadi Profesor Psikologi dan
psikiatri University of Wisconsin dan mulai menerapkan pendekatan
Person-centered pada para penderita skizofrenia di rumah sakit. Pada
tahun 1968 Rogers bersama rekannya membantu orang-orang
tersebut sebelum ia meninggal. Pada hari-hari menjelang Rogers
meninggal, ia mengembangkan minat yang besar di bidang aplikasi ide-ide
person centered kerja kelompok, perubahan masyarakat, pencegahan
nuklir, dan lokakarya berskala besar di dunia. Penamaan client centered
dirubah oleh Rogers dan kawan-kawan menjadi person centered pada
tahun 1974. Maksud dilakukan pengubahan ini untuk memberikan
deskripsi yang lebih kuat tentang nilai-nilai manusiawi dan
pendekatan mutualitas untuk digunakan pada berbagai konteks selain
psikoterapi dan konseling.
Rogers adalah seorang pionir pemberani yang sekitar 50 tahun lebih
mengabdikan dirinya untuk menginspirasi orang lain mengejar
ketertinggalan. Rogers sering disebut sebagai the father of psychotherapy

7
research, yang mana dia adalah orang pertama yang mempelajari proses
konseling secara mendalam dengan menganalisis transkrip sesi terapi yang
sebenarnya; dia adalah orang pertama yang melakukan studi besar tentang
psikoterapi menggunakan metode kuantitatif; dia adalah orang pertama
yang merumuskan teori komprehensif tentang kepribadian dan psikoterapi
yang didasarkan pada penelitian empiris; dan dia berkontribusi untuk
mengembangkan teori psikoterapi yang tidak menekankan pada patologi
dan berfokus pada kekuatan dan sumber daya individu. Dia tidak takut
untuk mengambil posisi yang kuat, dan Rogers menantang status quo
sepanjang karir profesionalnya.

2. Pandangan Hakikat Manusia


Falsafah dan asumsi dasar Person-centered berdasarkan pada
pandangan positif tentang manusia yang melihat orang memiliki sifat
bawaan berjuang keras ke arah menjadi untuk berfungsi secara penuh
(becoming fully functioning). Asumsi dasarnya adalah dalam konteks suatu
hubungan pribadi dengan kepedulian terapis, klien mengalami perasaan
yang sebelumnya ditolak atau disimpangkan dan peningkatan self-
awareness. Beberapa pandangan Person-centered terhadap hakikat
manusia yaitu:
a. Manusia bersifat bebas rasional, mudah berubah, proaktif dan sukar
dipahami.
b. Manusia pada dasarnya aktif, bukan pasif.
c. Setiap individu dalam dirinya terdapat motor penggerak, yaitu terbuka
pada pengalaman diri dan percaya pada diri sendiri.
d. Manusia cenderung untuk melakukan aktualisasi diri, hal ini dapat
dipahami bahwa organisme akan mengaktualisasikan kemampuannya
dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri.
e. Manusia pada dasarnya bermanfaat dan berharga dan dia memiliki
nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebagai hal yang baik bagi dirinya.
f. Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang
medan fenomenal dan individu itu mereaksi medan itu sebagaimana

8
yang dipersepsi. Oleh karena itu, persepsi individu tentang medan
fenomenal bersifat subjektif.
g. Secara mendasar manusia itu baik dan dapat dipercaya, konstruktif,
serta tidak merusak dirinya.

3. Struktur Kepribadian
Sejak awal Rogers mengurusi cara bagaimana kepribadian dapat
berubah dan berkembang, Rogers tidak menekankan aspek struktural
kepribadian, tetapi Rogers lebih mementingkan dinamika daripada struktur
kepribadian. Namun demikian, dari 19 rumusannya mengenai
hakikat pribadi:
a. Organisme berada dalam dunia pengalaman yang terus-menerus
berubah atau phenomenal field, di mana dia menjadi titik pusatnya.
Pengalaman adalah segala sesuatu yang berlangsung di dalam diri
individu pada saat tertentu, meliputi proses psikologis, kesan–kesan
motorik, dan aktivitas aktivitas motorik. Medan fenomenal ini bersifat
privat, hanya dapat dikenali isi sesungguhnya dan selengkapnya oleh
diri sendiri. Karena itu sumber terbaik untuk memahami seseorang
adalah orang itu sendiri. Inilah konsep laporan diri (self-report) dari
terapi Person-centered.
b. Organisme menanggapi dunia sesuai dengan persepsinya.
c. Organisme mempunyai kecenderungan pokok yaitu keinginan untuk
mengaktualisasikan, memelihara, dan meningkatkan diri atau self
actualization, maintain dan enhance.
d. Organisme mereaksi medan fenomena secara total atau gestalt dan
berarah tujuan yang baik atau good directed.
e. Pada dasarnya tingkah laku merupakan usaha yang berarah tujuan untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan untuk mengaktualisasi-
mempertahankan, dan memperluas diri dalam medan fenomenanya.
f. Emosi akan menyertai tingkah laku yang berarah tujuan, sehingga
intensitas atau kekuatan emosi itu tergantung kepada pengamatan

9
subjektif seberapa penting tingkah laku itu dalam usaha aktualisasi,
memelihara, dan mengembangkan diri.
g. Jalan terbaik untuk memahami tingkah laku seseorang adalah dengan
menggunakan kerangka pandangan itu sendiri atau internal frame of
reference, yaitu yakni persepsi, sikap, dan perasaan yang dinyatakan
dalam suasana yang bebas atau suasana berpusat pada konseli.
h. Sebagian dari medan fenomenal sacara berangsur mengalami
diferensiasi, sebagai proses terbentuknya self. Self adalah kesadaran
akan keberadaan dan fungsi diri, yang diperoleh melalui pengalaman
dimana diri atau I atau me terlibat di dalamnya sebagai objek atau
subjek.
i. Struktur self terbentuk sebagai hasil interaksi organisme dengan medan
fenomenal, terutama interaksi evaluatif dengan orang lain.
j. Apabila terjadi konflik antara nilai-nilai yang sudah dimiliki dengan
nilai – nilai baru yang akan diintrojeksi, organisme akan meredakan
konflik itu dengan: 1) merevisi gambaran dirinya, serta mengaburkan
atau distortion nilai-nilai yang semula ada di dalam dirinya, atau
dengan 2) mendistorsi nilai – nilai baru yang akan
ddiintrojeksi/diasimilasi.
k. Pengalaman yang terjadi dalam kehidupan individu akan diproses oleh
kesadaran dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: 1)
Disimbolkan atau simbolyzed: diamati dan disusun dalam hubungannya
dengan self, 2) Dikaburkan atau distorted: tidak ada hubungan dengan
struktur self, 3) Diingkari atau diabaikan atau denied/ignore:
pengalaman itu sebenarnya disimbolkan tetapi dibaikan karena
kesadaran tidak memperhatikan pengalaman itu atau diingkari karena
tidak konsisten dengan struktur self.
l. Kebanyakan cara bertingkah laku yang diterima individu adalah
konsisten dengan pengertian self.
m. Perilaku individu juga didasarkan pada pengalaman dan kebutuhan
yang tidak disimbolisasikan.

10
n. Apabila individu menolak untuk menyadari pengalaman-pengalaman
yang berarti yang akhirnya tidak disimbolisasikan dan diorganisir ke
dalam keseluruhan struktur self akan mengakibatkan maladjusment
psikologis.
o. Penyesuaian psikologis terjadi apabila semua pengalaman organisme itu
diasimilasikan pada taraf sadar ke dalam hubungan yang serasi dengan
konsep diri.
p. Setiap pengalaman yang tidak serasi dengan struktur self dipersepsi
sebagai suatu ancaman, dan semakin kuat persepsi itu akan semakin
terorganisasi struktur self untuk mempertahankan diri.
q. Dalam kondisi yang tidak ada ancaman bagi struktur self, pengalaman
yang tidak serasi itu dipersepsi, diuji, dan direvisi oleh struktur self agar
dapat mengasimilasi dan melingkupi pengalaman tersebut. Terjadinya
perubahan dalam kepribadian, ketika kepribadian dapat menerima segi
baru dalam dirinya.
r. Apabila individu mempersepsi dan menerima segala pengalamannya ke
dalam satu sistem yang serasi dan terpadu, maka dia akan lebih
memahami dan menerima orang lain sebagai individu.
s. Jika individu memiliki kepercayaan diri untuk melakukan proses
penilaian (dapat menilai sikap, persepsi, dan perasaan baik terhadap
dirinya, orang lain, atau peristiwa tertentu secara tepat), maka dia akan
menemukan bahwa sistem yang lama itu tidak perlu lagi.
Berdasarkan 19 rumusan pribadi di atas, maka diperoleh tiga
konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya yaitu self, organism
dan phenomenal field, yaitu:
a. Self
Konsep pokok dari teori kepribadian Rogers adalah self, sehingga
dapat dikatakan self merupakan struktur kepribadian yang sebenarnya.
Self atau konsep self adalah konsep menyeluruh yang terorganisasi dan
tersusun dari persepsi ciri-ciri tentang “I” atau “me” (aku sebagai
subjek atau aku sebagai objek) dan persepsi hubungan “I” atau “me”
dengan orang lain dan berbagai aspek kehidupan. Konsep self

11
menggambarkan konsepsi orang tentang dirinya sendiri, ciri-ciri yang
dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep self juga
menggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai
perannya dalam kehidupan dan dalam kaitannya dengan hubungan
interpersonal. Rogers mendeskripsikan the self atau self-
structure sebagai sebuah konstruk yang menunjukkan bagaimana setiap
individu melihat dirinya sendiri. Self ini dibagi menjadi dua, yaitu: Real
Self dan Ideal Self. Real Self adalah keadaan diri individu saat ini,
sementara Ideal Self adalah keadaan diri individu yang ingin dilihat
oleh individu itu sendiri atau apa yang ingin dicapai oleh individu
tersebut.
b. Organism
Organisme yang mencakup mahkluk hidup, realitas subjektif, dan
holisme. Organisme dalam hubungannya dengan makhluk hidup adalah
makhluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya, tempat semua
pengalaman dan segala sesuatu yang secara potensial terdapat dalam
kesadaran setiap saat. Organisme dalam hubungannya dengan realitas
subjektif, organisme menanggapi dunia seperti yang diamati atau
dialaminya. Jadi realita bukan masalah benar atau salah melainkan
masalah persepsi yang sifatnya subjektif. Organisme dalam
hubungannya dengan holisme, organisme adalah satu kesatuan sistem,
sehingga perubahan pada satu bagian akan mempengaruhi bagian lain.
Setiap perubahan memiliki makna pribadi atau bertujuan, yakni tujuan
mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan diri.
c. Phenomenal Field
Medan fenomena berbicara tentang keseluruhan pengalaman itu,
baik yang internal (persepsi mengenai diri sendiri) maupun eksternal
(persepsi dunia luar), disadari maupun tidak disadari dinamakan medan
fenomena. Medan fenomena adalah seluruh pengalaman pribadi
seseorang sepanjang hidupnya di dunia, sebagaimana persepsinya yang
bersifat subjektif dan benar bagi dirinya sendiri.

12
4. Perkembangan Kepribadian
Sebagaimana telah dijelaskan dalam 19 rumusan hakikat
kepribadian, maka sejatinya kepribadian individu merupakan hasil
interaksi antara self, organisme, dan medan fenomenal. Ketika organisme
dihadapkan dengan medan fenomenal maka self-lah yang memfilter
sejumlah pengalaman-pengalaman yang ada, yang mana pengalaman yang
sesuai maupun tidak sesuai dengan self namun tidak ada ancaman maka
akan dicoba untuk disimbolisasikan dan akan memperkaya self ke arah
yang positif. Akan tetapi, apabila pengalaman yang tidak seusia dengan
struktur self dipersepsi sebagai suatu ancaman dan persepsi itu semakin
kuat maka akan semakin terorganisasi struktur self untuk mempertahankan
diri. Ada sejumlah gagasan umum tentang pengembangan kepribadian
yang berkaitan dengan Person-centered. Pada dasarnya, Person-centered
berpandangan bahwa kepribadian dapat diaktualisasikan sepenuhnya
ketika individu dihadapkan pada unconditional positive regard (hal positif
tanpa syarat). Individu yang telah dihadapkan pada hal positif bersyarat
dapat memiliki self esteem (harga diri) yang rendah dan perasaan berharga
yang rendah. Padahal seorang individu yang mampu melakukan self
actualization (mengaktualisasikan diri) akan lebih terbuka untuk
mengalami dan kurang defensif, akan belajar untuk hidup pada saat ini,
akan mempercayai keterampilan pengambilan keputusannya sendiri, akan
memiliki lebih banyak pilihan hidup dan menjadi lebih kreatif.

5. Pribadi Sehat dan Bermasalah


Sejak kecil anak-anak tetap membutuhkan penerimaan dan
pandangan yang positif dari lingkungan sekitarnya. Ketika anak
mendapatkan penerimaan, maka anak mulai mendefenisikan diri mereka
sesuai dengan pengalaman hidupnya dibandingkan dengan tekanan tentang
bagaimana orang lain memandang atau penghormatan mereka terhadap
dirinya. Bersihnya pandangan seseorang terhadap dirinya membuat self-
concept anak menilai sebuah proses yang selanjutnya berfungsi sebagai
pemandu yang dapat dipercaya, sehingga dari kondisi tersebut akan

13
membentuk kesesuaian antara apa yang seseorang inginkan dengan apa
yang terjadi, apa yang diharapkan dalam diri dan apa yang terjadi, kondisi
seperti ini membentuk individu dengan pribadi yang sehat.
Menurut Rogers, selain nilai yang dipelajari dalam keluarga,
sekolah, atau gereja biasanya terjadi ketidaksesuaian antara pengalaman
individu seperti: seksualitas adalah suatu kesalahan, kepatuhan dalam
suatu otoritas itu baik, mendapatkan banyak uang merupakan hal yang
penting, perempuan seharusnya tidak menjadi pribadi yang mandiri dan
asertif. Kesemua pengalaman, perasaan, gagasan, perilaku tersebut diakui
oleh beberapa orang yang secara radikal sehingga individu mulai
mengalami perkembangan yang tidak sehat dan berakibat pada terjadinya
kecemasan, dimana hal ini merupakan faktor penyebab terjadinya perilaku
yang tidak sehat.
Dapat disimpulkan bahwa pribadi yang sehat dalam pandangan
Person-centered adalah pribadi yang Congruence, yaitu adanya kesesuaian
antara yang individu inginkan atau harapkan dengan apa yang terjadi pada
kenyataan. Sementara pribadi bermasalah adalah pribadi yang
Incongruence, yaitu adanya ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan
atau diharapkan oleh individu dengan apa yang terjadi pada kenyataan.
Individu yang sehat dikarakteristikkan sebagai individu yang dapat
berfungsi secara penuh atau full functioning person yaitu: a) Meningkatnya
keterbukaan terhadap pengalaman, b) Kecenderungan terhadap hidup yang
eksistensial, 3) Meningkatnya kepercayaan terhadap organisme, 4)
Kebebasan memilih, 5) Kreatif, 6) Konstruktif dan terpercaya, dan 7)
Kehidupan yang kaya warna (Rogers, 2012).

6. Tujuan Konseling
Pada dasarnya tujuan dari pelaksanaan konseling Person-centered
untuk membantu konseli mencapai proses pertumbuhan menjadi full
functioning person sehingga mampu mengatasi berbagai permasalah
dirinya baik saat ini dan masa depan. Adapun tujuan dari Konseling
Person-centered menurut Seligman (2007) antara lain:

14
a. Untuk memfasilitasi kepercayaan dan kemampuan konseli untuk berada
di saat sekarang. Hal ini memungkinkan konseli untuk jujur dalam
prosesnya tanpa merasa dihakimi oleh konselor.
b. Untuk mempromosikan kesadaran diri dan harga diri konseli.
c. Memberdayakan konseli untuk berubah.
d. Untuk mendorong kesesuaian dalam perilaku dan perasaan konseli.
e. Untuk membantu konseli mendapatkan kemampuan untuk mengatur
hidup mereka dan menjadi aktualisasi diri.

7. Karakteristik Konselor dan Konseli


Person-centered mengutamakan hubungan terapeutik antara konselor
dan konseli, yang dikarakteristikkan dengan adanya:
a. Dua orang berada dalam hubungan psikologis.
b. Orang pertama, yang disebut konseli yang berada dalam kondisi
incongruence (tidak selaras), sensitif, dan cemas.
c. Orang kedua, yang disebut konselor yang berada dalam kondisi
congruence (selaras) atau terintegrasi dalam hubungan konseling.
d. Konselor memiliki unconditional positive regards kepada konseli.
e. Konselor merasakan empati terhadap kerangka acuan konseli dan
berusaha mengomunikasikan perasaannya kepada konseli.
f. Konseli menerima pengungkapan rasa empati dan unconditional
positive regard sehingga merasa dipahami dan self esteem-nya tinggi.

8. Peran dan Tugas Konselor dan Konseli


Person-centered memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pendekatan konseling direktif yang lain. Menurut pandangan Person-
centered, seorang konselor dan konseli:
a. Konselor bukanlah pihak otoritas yang maha tahu atas segala kondisi
konseli, akan tetapi konselor berperan sebagai fasilitator yang berusaha
menyadarkan potensi-potensi konseli. Maka dari itu, person-centered
memposisikan konseli sebagai individu yang aktif, bukan pasif.

15
b. Konselor bukanlah pihak yang menginisiasi dan memfinalisasi arah
hidup konseli dalam proses konseling, akan tetapi proses konseling
berakar dari kapasitas konseli untuk mencapai self awareness dan
perubahan yang self-directed baik dalam sikap maupun perilaku.

9. Hubungan Konseling
Ide dasar Person-centered yang Rogers kembangkan dari gerakan
humanistik dalam psikoterapi terutama berkaitan dengan peran sentral dari
hubungan klien-terapis sebagai sarana untuk tumbuh dan berubah, telah
digabungkan dalam banyak pendekatan teoretis lainnya. Rogers
menyampaikan bahwa “If I can Provide a certain type of relationship, the
other will discover within himself the capacity to use that relationship for
growth, and change and personal development will occur”. Hubungan
dalam konseling Person-centered yang bersifat hangat, bukan berarti
konselor selalu menyetujui sikap dan perilaku konseli yang salah, namun
antara konselor dan konseli harus menekankan pada keaslian agar tetap
mampu menegakkan hubungan terapeutik yang professional. Hubungan
dalam konseling Person-centered:
a. Difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan konseli untuk
menemukan cara-cara menghadapi kenyataan.
b. Menekankan medan fenomenal konseli. Medan fenomenal (fenomenal
field) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya,
baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Konseli tidak lagi
menolak pengalaman-pengalaman sebagaimana adanya.
c. Prinsip-prinsip konseling berdasarkan hasrat kematangan psikologis
manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka hubungan konseling
yang bersifat konstruktif terjadi karena hubungan konselor dan konseli.
d. Hubungan konseling tidak dilakukan dengan suatu sekumpulan teknik
yang khusus, tetapi pendekatan ini berfokus pada person sehingga
konselor dan konseli memperlihatkan sifat-sifat manusiawi dan
partisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

16
10. Tahapan Konseling
Adapun tahap-tahap konseling Person-centered secara umum dapat
diuraikan:
a. Konseli datang pada konselor atas kemauannya sendiri atau saran orang
lain.
b. Konselor memberikan pemahaman kepada konseli bahwa situasi
konseling sejak awal menjadi tanggung jawab konseli.
c. Konselor mendorong konseli untuk mampu mengungkapkan pikiran,
perasaan, dengan menunjukkan keaslian, menerima konseli apa adanya
dan empati.
d. Konselor berusaha agar konseli mampu menerima dirinya sendiri (self-
acceptance).
e. Konseli menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil.
f. Konseli merealisasikan pilihannya.

11. Teknik-Teknik Konseling


Teknik yang digunakan dalam Person-centered berbeda dari yang
digunakan dalam pendekatan konseling lain. Perbedaannya adalah bahwa
konseling lain sering kali berfokus pada sesuatu yang dapat dilakukan
konseli selama sesi konseling, sedangkan teknik yang digunakan dalam
Person-centered digunakan oleh konselor untuk menciptakan lingkungan
yang memfasilitasi proses kesadaran diri. Teknik-teknik ini biasanya
disebut dengan sikap utama konselor.
a. Congruence (Kesesuaian)
Kesesuaian adalah apakah konselor itu asli dan otentik dalam apa yang
dia katakan dan lakukan. Seringkali, jika konselor mengatakan satu hal
tetapi bahasa tubuh mencerminkan sesuatu yang lain, konseli menyadari
hal ini dan dapat berdampak pada kepercayaan dan keterbukaan mereka
dalam hubungan terapeutik. Misalnya, seorang konselor mungkin
berkata "Saya mengerti dari mana Anda berasal" kepada klien tetapi
memiliki ekspresi bingung di wajahnya. Konseli dapat melihat
kebingungan ini dan merasa tidak nyaman dengan mengungkapkan

17
perasaan mulai saat ini. Oleh karena itu, peran utama konselor adalah
menyadari bahasa tubuh mereka dan apa yang mereka katakan serta
berada di saat ini. Jika timbul kebingungan, konselor harus mampu
menangani hal ini dengan konseli. Kembali ke contoh sebelumnya dari
konselor yang menyatakan pemahaman dan memiliki pandangan
bingung, terapis memperhatikan konseli terlihat gelisah setelah
komentar tentang pemahaman dan selanjutnya menjelaskan kepada
konseli mengapa dan bagaimana dia memahami pernyataan tersebut.
Hal ini membuat konseli merasa nyaman dan memastikan kepercayaan
yang berkelanjutan.
b. Unconditional positive regard and acceptance (Hal positif tanpa syarat)
Hal positif tanpa syarat mengacu pada konselor yang menerima,
menghormati dan peduli tentang konseli. Hal ini tidak berarti konselor
harus setuju dengan semua yang dikatakan atau dilakukan konseli,
namun, konselor harus melihat konseli melakukan yang terbaik yang
dia bisa dan mendemonstrasikan hal ini dengan mengungkapkan
kepedulian daripada tidak setuju dengannya. Hal positif tanpa syarat
memungkinkan konseli untuk mengungkapkan bagaimana mereka
berpikir tanpa merasa dihakimi, dan membantu memfasilitasi proses
perubahan dengan menunjukkan bahwa mereka dapat diterima.
c. Empathy (Empati)
Empati adalah keterampilan yang digunakan oleh konselor untuk
menunjukkan pemahaman emosi konseli. Empati berbeda dengan
simpati karena simpati sering dilihat sebagai perasaan kasihan pada
konseli, sedangkan empati menunjukkan pengertian dan memungkinkan
konseli untuk lebih terbuka.
Konseling person-centered juga menggunakan teknik
Nondirectiveness yang mengacu pada memungkinkan konseli menjadi
fokus dalam sesi konseling tanpa konselor memberikan nasihat atau
menerapkan strategi atau aktivitas. Teknik lain yang digunakan konselor
Person-centered dalam proses terapeutik atau biasa disebut dengan
keterampilan komunikasi dasar konseling meliputi reflection of feelings

18
(refleksi perasaan), open questions (pertanyaan terbuka), paraphrasing
(parafrase), dan encouragers (penyemangat).

12. Kelemahan dan Kelebihan Person-centered


Adapun kelemahan dan kelebihan Person-centered dapat
dideskripsikan sebagai berikut.
a. Kelemahan
1) Sulit bagi konselor untuk bersifat netral dalam situasi hubungan
interpersonal, apabila diterapkan oleh konselor lain.
2) Konseling menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif
dan mendengarkan cerita konseli.
3) Minimalnya teknik untuk membantu konseli memecahkan
masalahnya.
4) Tidak cukup sistematik, terutama yang berkaitan dengan konseli
yang tanggungjawabnya terbatas.
5) Sulit diterapkan bagi negara yang memiliki kultur non-direktif,
misalnya di Asia.
b. Kelebihan
1) Individu dapat mengeksplorasi pengalaman-pengalaman psikologis
yang bermakna baginya dengan perasaan aman.
2) Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok.
3) Memberikan peluang yang lebih luas terhadap konseli untuk
didengar.
4) Konseli memiliki pengalaman positif dalam konseling ketika mereka
fokus dalam menyelesaikan masalahnya.
5) Konseli merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh
ketika mereka didengarkan dan tidak dijustifikasi.
6) Sangat strategis diterapkan bagi negara yang memiliki kultur
direktif, misalnya di Amerika dan Afrika.

B. Analisis Hasil-Hasil Penelitian Penerapan Person-centered Dalam


Pelayanan BK

19
Bebebarap hasil temuan penelitian penerapan Clien Centered dalam
Pelayanan BK dapat dideskripsikan pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Temuan Penerapan Client-Centered dalam Pelayanan BK


No Nama dan Tahun Subjek Penelitian Hasil Penelitian
1 Susanti (2017) 14 siswa kelas VIII di Melalui analisis t-test sampel
SMP Negeri 3 Banda berkorelasi dapat disimpulkan
Lampung bahwa penggunaan konseling
individual dengan pendekatan
person-centered efektif untuk
meningkatkan hasil belajar siswa.
2 Fajariyah (2011) Satu siswa di SMK Melalui analisis data kualitatif yang
Negeri 1 Surabaya meliputi Langkah reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi data
dapat disimpulkan bahwa proses
pelaksanaan terapi person-centered
dapat mengatasi siswa tidak
percaya diri.
3 Komariyah dan Tujuh siswa di SMP N Melalui analisis t-rest dapat
Nuryanto (2019) 16 Yogyakarta disimpulkan bahwa konseling
kelompok menggunakan
pendekatan person-centered efektif
untuk meningkatkan kepercayaan
diri siswa.
4 Paramitha (2019) 24 siswa kelas VIII di Melalui analisis t-test dapat
SMP Negeri 7 Kisaran disimpulkan bahwa pendekatan
Timur, Asahan, person-centered dapat
Sumatra Utara meningkatkan kepercayaan diri
siswa.
5 Azmila (2019) Siswa di SMA Negeri 1 Melalui analisis uji Wilcoxon dapat
Mandah, Riau, disimpulkan bahwa pendekatan
Pekanbaru person-centered dalam konseling
kelompok dapat meningkatkan
regulasi diri siswa.
6 Utari (2019) Sembilan siswa di SMA Melalui analisis t-test dapat
PGRI Pekanbaru disimpulkan bahwa layanan
konseling kelompok dengan
pendekatan person-centered dengan
Teknik empathy efektif untuk
mengatasi kecemasan siswa.
7 Adesti (2018) Siswa di SMA Negeri 1 Penerapan konseling person-
Srono centered dapat meningkatkan
kemandirian mengambil keputusan
yang rendah
8 Anjani. Yusmansyah, Empat siswa kelas XI di Melalui analisis uji Wilcoxon dapat
dan Utaminingsih SMA Negeri 14 Bandar disimpulkan bahwa konseling
(2018) Lampung person-centered dapat digunakan
untuk meningkatkan kemandirian
belajar siswa.
9 Azzahra, Septtyanti, Siswa SMA Melalui analisis beberapa artikel
dan Yluani (2028) jurnal, disimpulkan bahwa
pendekatan person-centered perlu
diterapkan dalam layanan konseling
individual untuk meningkatkan
kepercayaan diri siswa.
10 Ningsafitriyah, Tujuh siswa kelas X di Melalui analisis uji Wilcoxon Pair
Maulida, Pristianti, dan SMK Ar-Rohman Test dapat disimpulkan bahwa
Wardani (2019) Magetan konseling kelompok dengan Teknik
Person Centered Therapy efektif
untuk meningkatkan kecerdasan
emosi siswa.
11 Mustikasari (2018) Satu siswa kelas X di Melalui analisis baseline dari model

20
SMA Negeri 1 ABA dapat disimpulkan bahwa
Purwoasri konseling person centered tidak
efektif untuk meningkatkan self
esteem siswa, karena minimnya
waktu pemberian intervensi dan
pengaruh factor lain seperti pola
asuh orang tua, kelas sosial, dan
teman sebaya.
12 Mahmudah (2019) Tiga siswa kelas X di Melalui analisis paired sample t-test
SMK Hidayatus dapat disimpulkan bahwa layanan
Sholihin Kediri konseling individual menggunakan
pendekatan person centered tidak
efektif untuk meningkatkan konsep
diri siswa, karena ada factor lain
yang juga mempengaruhi konsep
diri seperti orang lain dan
kelompok rujukan.
13 Rahmah dan Hasanati Orang yang mengalami Melalui studi kasus diperoleh
(2016) skizofrenia yang sedang kesimpulan bahwa penerapan
proses rawat jalan konseling person-centered dapat
membawa perubahan positif yaitu
meningkatkan kesadaran terhadap
pentingnya berobat untuk proses
penyembuhan subjek.
14 Cindani Trika Kusuma Seorang perempuan Melalui analisis hasil tes BDI
(2020) berusia 22 tahun yang sebelum dan setelah threatment
sedang menempuh S1 dapat disimpulkan bahwa ada
penurunan depresi pada subjek
setelah diberikan intervensi person-
centered therapy.
15 Setyawati () 30 siswa kelas VIII di Melalui analisis t-test dapat
MTS Negeri 4 Sleman disimpulkan bahwa layanan
konseling kelompok dengan Teknik
person-centered therapy mampu
meningkatkan ketaatan terhadap
tata tertib di sekolah.
Dan sebagainya.
Evaluasi dari beberapa jurnal, bahwa dalam Konseling Centered empati disebut sebagai Teknik,
padahal itu adalah sifat hubungan konselor terhadap konseli. Ada beberapa hasil penelitian yang
tidak efektif melalui pendekatan Client Centered, hal ini memerlukan penguatan bahwa untuk
betul-betul membuat konseling itu efektif maka seorang konselor harus memiliki sikap utama
konselor yang sesuai dengan yang disyaratkan Rogers yaitu congruence, unconditional positive
regards, dan emphaty. Selain itu, diperhatikan juga bagaimana karakteristik konseli karena
pendekatan ini sangat cocok apabila konseli memposisikan dirinya sebagai individu yang aktif
bukan pasif.

C. Rekomendasi Penerapan Person-centered di Sekolah


Rogers menyampaikan bahwa “The organism has one basic tendency
and striving – to actualize, maintain and enhance the experiencing organism”
dan “This process of the good life is not, I am convinced, a life for the faint-
hearted. It involves the stretching and growing of becoming more and more of
one’s potentialities. It involves the courage to be. It means launching oneself
fully into the stream of life” mengisyaratkan bahwa siswa sebagai organisme
atau individu memiliki suatu kecenderungan dan mengupayakan usaha-usaha

21
dasar untuk mengaktualisasikan, memelihara, dan meningkatkan kualitas
dirinya terhadap arah positif yang diinginkan. Untuk mengaktualisasikan,
memeliharan, dan meningkatkan kualitas dirinya inilah mereka perlu
keberanian untuk menjadi, sehingga siswa secara penuh kesadaran
meluncurkan diri sendiri secara penuh ke dalam arus kehidupan. Pendekatan
person-centered sangat baik untuk diterapkan dalam pemberian threatment atau
intervensi kepada individu, karena memandang bahwa individu itu baik,
rasional, mudah berubah, proaktif, memiliki motor penggerak, bermanfaat dan
berharga, dapat dipercaya, konstruktif, serta sifat-sifat positif lainnya. Inovasi
pendekatan terapeutik person-centered saat ini sudah lebih dari 200 praktik,
salah satunya expressive art therapy dan play group therapy untuk
meningkatkan pertumbuhan personal baik secara individual maupun kelompok.
Di sekolah merupakan pertemuan individu-individu dengan budaya yang
beragam. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga dapat menerapkan
pendekatan person-centered, karena siswa akan lebih berkembang sebagai full
functioning person manakala lingkungan sekolah juga mendukung secara
genuine atau congruence, unconditional positive regard¸dan penuh emphathy.
Ratnawati (2017) melalui kajiannya bahwa konsep empathy, congruence,
unconditional positive regard dalam person centered therapy perlu diterapkan
di sekolah dalam manajemen kelas. Layanan bimbingan dan konseling, baik itu
bimbingan kelompok, konseling kelompok, maupun konseling individual
sangat membantu siswa untuk mencapai aktualisasi diri.
Pada tabel 1 telah dapat diambil contoh bahwa pendekatan person-
centered telah diiterapkan dalam layanan bimbingan dan konseling, terutama
layanan konseling baik yang sifatnya individual maupun kelompok. Penerapan
Person-centered di sekolah dapat direkomendasikan dalam layanan:
1. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok sebagai fungsi preventif dan pengembangan,
dapat memunculkan topik-topik pembahasan layanan yang meningkatkan
kemampuan individu untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebagai contoh
topik tentang self exploration, self concept, pengembangan empati.
Bimbingan dalam setting kelompok melibatkan beberapa individu yang juga

22
memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Penting bagi konselor
sebagai pemimpin kelompok untuk memahami frame of references dari
setiap anggota kelompok.
2. Konseling Individual
Sejak awal kariernya sebagai seorang psikoterapis, Rogers telah
memberikan layanan terapi secara individul. Konseling individual juga
dapat menerapkan pendekatan Person-centered untuk membantu konseli
memecahkan permasalahan secara mandiri. Beberapa topik permasalahan
yang dapat difasilitasi melalui pendekatan Client Centerd yaitu rasa mider,
atau rendah diri, apatis, kecemasan, borderline personality disorder,
konsumsi alkohol, masalah psikosomatis, kesulitan interpersonal, depresi,
dan masalah pernikahan atau keluarga misalnya kehamilan yang tidak
diinginkan dan disharmonis, rasa sakit, dan kehilangan orang yang dicintai.
3. Konseling Kelompok
Pada 1960-an dan 1970-an Rogers menerapkan prinsip-prinsip yang
berpusat pada orang dalam kerja kelompok, yang sangat berhasil
mempopulerkan konseling kelompok. Dia mempelopori pengembangan
kelompok pertemuan dasar dan kelompok pertumbuhan pribadi (Corey,
2016). Sebagai layanan yang berfungsi kuratif, maka konseling kelompok
mempromosikan kemampuan untuk membantu seluruh anggota kelompok
mengatasi incongruence melalui dinamika kelompok. Tujuan dari konseling
kelompok yaitu untuk menyediakan iklim yang aman di mana anggota dapat
menjelajahi seluruh perasaan dan pengalaman mereka, untuk membantu
anggota menjadi semakin terbuka terhadap pengalaman baru dan
mengembangkan kepercayaan diri dan penilaian mereka sendiri. Topik
permasalahan yang dibahas dalam konseling kelompok juga dapat memetik
dari topik permasalahan dalam konseling individual.
Konselor atau pemimpin kelompok konseling memberikan sedikit
penataan atau arahan dan mengizinkan anggota untuk menentukan
bagaimana waktu dihabiskan dalam kelompok. Anggota dipandang
memiliki kapasitas untuk menemukan arah yang bermakna, mampu
membantu satu sama lain, dan bergerak menuju hasil yang konstruktif.

23
Peran dan tugas konselor sebagai pemimpin kelompok dalam konseling
kelompok yaitu:
1. Pemimpin kelompok memulai dan mendorong interaksi dengan cara
mereka menyusun kelompok dan mencontohkan perilaku. Mereka
mendemonstrasikan cara berbagi, mengambil risiko, berhubungan
dengan jujur, dan melibatkan orang lain dalam interaksi.
2. Pemimpin kelompok mengarahkan anggotanya pada proses kelompok,
mengajari mereka bagaimana mendapatkan hasil maksimal dari
kelompok mereka dan membantu mereka menjadi sadar akan dinamika
kelompok.
3. Pemimpin kelompok harus mampu mendengarkan secara aktif dan
sensitif. Hanya dengan memberikan perhatian penuh pada komunikasi
verbal dan nonverbal anggota, mereka dapat membantu peserta bergerak
menuju tingkat eksplorasi diri dan pemahaman diri yang lebih dalam.
4. Pemimpin kelompok bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang
aman dan mendukung yang kondusif untuk mengeksplorasi masalah
pribadi yang signifikan.
5. Pemimpin kelompok memiliki tugas untuk menetapkan batasan,
menetapkan aturan kelompok, memberi tahu anggota tentang hak dan
tanggung jawab mereka, dan melindungi anggota.

24
REFERENSI

Alwisol (2004), Psikologi Kepribadian, Malang: UMM Press.


Anjani, R., Yusmansyah, Y., & Utaminingsih, D. (2018). Penggunaan Konseling
Client Centered untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Siswa. ALIBKIN
(Jurnal Bimbingan Konseling).
Delfanti, R. L., Piccioni, D. E., Handwerker, J., Bahrami, N., Krishnan, A. P.,
Karunamuni, R., Hattangadi-Gluth, J. A., Seibert, T. M., Srikant, A., Jones,
K. A., Snyder, V. S., Dale, A. M., White, N. S., McDonald, C. R., Farid, N.,
Louis, D. N., Perry, A., Reifenberger, G., von Deimling, A., … Papers, G.
(2018). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指
標に関する共分散構造分析Title. New England Journal of Medicine,
372(2), 2499–2508.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7556065%0Ahttp://www.pubmedcentr
al.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC394507%0Ahttp://dx.doi.org/10.101
6/j.humpath.2017.05.005%0Ahttps://doi.org/10.1007/s00401-018-1825-
z%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27157931
Farmasi, J., & Dan, S. (2017). No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者にお
ける 健康関連指標に関する共分散構造分析Title. 14(1), 55–64.
George Boeree. (2008). Personality Theories. Jogjakarta: Prismaspies
Gibbard, I., & Hanley, T. (2008). A five-year evaluation of the effectiveness of
person-centred counselling in routine clinical practice in primary care.
Counselling and Psychotherapy Research, 8(4), 215–222.
https://doi.org/10.1080/14733140802305440
Hayes, K. (2015). Person-Centred Therapy: A Guide to Counselling Therapies.
Published by: J & S Garrett Pty Ltd, Dvd, 207–222.
https://www.aipc.net.au/articles/person-centred-therapy/
Ningsafitriyah, U. W., Wardani, S. Y., Maulida, T. R., & Pristianti, E. (2019).
Efektivitas Layanan Konseling Kelompok Dengan Pendekatan Pct Untuk
Meningkatkan Kecerdasan Emosi Siswa. Indonesian Journal of Learning
Education and Counseling, 2(1), 100–106.
https://doi.org/10.31960/ijolec.v2i1.213

25
No Title ‫خ خخ‬
‫خ خخخخ خخ خخ خ خخ خخ خخخ خ خ خخ خخ خخ خخ خخ خ خ‬.
(1387). http://www.ghbook.ir/index.php?name= ‫مجموعه م قاالت دوم یه هم‬
‫او دی شی سرا سری ر ساو ه ت لوی زی ون و‬
egap&92631=di_koob&enilnodaer=ksat&koobd_moc=noitpo&‫س کوالری سم‬
=108&chkhashk=03C706812F&Itemid=218&lang=fa&tmpl=component
Oktaviani.J. (2018). 済無No Title No Title. Sereal Untuk, 51(1), 51.
Rahmah, H., & Hasanati, N. (2016). Konseling Client-Centered untuk
Meningkatkan Kesadaran Berobat pada Penderita Skizofrenia. 19–20.
Ratnawati, V. (2017). Penerapan Person Centered Therapy Di Sekolah (Empathy,
Congruence, Unconditional Positive Regard) Dalam Manajemen Kelas.
Journal of Education Technology, 1(4), 252.
https://doi.org/10.23887/jet.v1i4.12862
Rogers, C. R. 2012. On Becoming a Person (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sa’ad, F. M., Yusooff, F., Nen, S., & Subhi, N. (2014). The Effectiveness of
Person-centered Therapy and Cognitive Psychology Ad-din Group
Counseling on Self-concept, Depression and Resilience of Pregnant Out-of-
wedlock Teenagers. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 114, 927–
932. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.809
Safitri, H. (2009). Digilib.Uinsby.Ac.Id Digilib.Uinsby.Ac.Id Digilib.Uinsby.Ac.Id
Digilib.Uinsby.Ac.Id Digilib.Uinsby.Ac.Id Digilib.Uinsby.Ac.Id
Digilib.Uinsby.Ac.Id. 28–44.
Setyawati, S., & Yogyakarta, U. M. (n.d.). Konseling Kelompok Dengan Teknik
Client Centered Therapy Dalam Meningkatkan. 2018.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/11552/J. NASKAH
PUBLIKASI.pdf?sequence=10&isAllowed=y
Smp, D. I., & Kisaran, N. (2019). Pengaruh Pendekatan Client Centered
Terhadap Kepercayaan Diri Siswa Kelas Viii-1.
Smp, V., Smp, V., & Smp, V. (2019). (1) , (2). 4(1), 78–90.
Snyder, M. (2002). Applications of Carl Rogers’ theory and practice to couple and
family therapy: a response to Harlene Anderson and David Bott. Journal of
Family Therapy, 24(3), 317–325. https://doi.org/10.1111/1467-6427.00219
Sofian S. Willis. (2009). Konseling Individual Teori Dan Praktek. Bandung:
Alfabeta
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurikhsan. (2008). Teori Kepribadian. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Tamime, A. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.
Tamime, A. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.
Tamime, A. (2019). No TitleΕΛΕΝΗ. Αγαη, 8(5), 55.

26
Therapy, P. C., & Meningkatkan, D. (2019). KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMA
PENGARUH CLIEN-CENTERED THERAPY DALAM MENINGKATKAN
Diza Rahma Azzahra 1 , Rizna Nur Septyanti 2 , Wiwin Yuliani 3 1. 2(1), 30–
36.

27

Anda mungkin juga menyukai