Anda di halaman 1dari 14

IMPLEMENTASI LIMA PILAR BELAJAR PENDIDIKAN INDONESIA DALAM

PEMBELAJARAN

pilar-pilar pendidikan

PILAR – PILAR PENDIDIKAN


Pilar-pilar Pendidikan Rekomendasi UNESCO
Pengertian Pilar-pilar Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pilar” diartikan sebagai“tiang
penyangga” (terbuat dari besi atau beton).
kata pilar dalam bahasa Inggris berarti pillars (sama artinya dengan pilar dalam bahasa
Indonesia).
Dalam bahasa Arab sering disebut ‫سﺎﺳأ‬.
Eksistensi pilar dalam berbagai hal bisa dikatakan sangat penting peranannya sebagai
penopang agar menjadi suatu yang utuh (unity). Bangunan atau rumah berangkat dari
pondasi yang dilengkapi dengan pilar agar atap bisa berdiri kokoh dan tidak mudah roboh
sehingga tampak menjadi lengkap dan melengkapi. .
Istilah pilar dalam pendidikan bisa menjadi bagian yang tak kalah penting,
eksistensinya seperti halnya tujuan, sasaran, instrument pendidikan, dll. Adapun maksud dari
pembahasan pilar-pilar pendidikan adalah bahwa sendi pendidikan ditopang oleh semangat
belajar yang kuat melalui pola belajar yang bervisi ke depan dengan melihat perubahan-
perubahan kehidupan.Dalam pendidikan, belajar merupakan bagian yang tak terpisahkan
karena pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya
manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran (belajar-mengajar). Belajar juga dikatakan
sebagai key term (kata kunci) paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa
belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan.
Hal ini juga melihat dari kondisi zaman yang cepat berubah terutama di bidang
teknologi dan informasi sehingga visi paradigma pendidikan harus relevan yang kemudian
diturunkan ke dalam metode pembelajaran. Yaitu merubah paradigma teaching (mengajar)
menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi proses
bagaimana“belajar bersama antar guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga
termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah menjadi learning society
(masyarakat belajar). Dalam paradigma ini, peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa) tapi
learner (yang belajar).
Sebagai objek sekaligus subjek pendidikan manusia menjadi titik sentral dalam
proses belajar yang mengarah pada tujuan pendidikan. Manusia belajar dari apa saja di
sekitarnya untuk survive sekaligus pengembangan potensi diri, lahir dari ketidaktahuan dari
rahim seorang ibu dan dibekali pengelihatan, pendengaran dan akal untuk digunakan dalam
tugasnya sebagai khalifatullah fil ardh.
Berangkat dari sinilah, paradigma learning ingin diusung sebagai pilar pendidikan
untuk kepentingan manusia dengan perubahan zaman dan ini berangkat dari paradigma
belajar. Jadi maksud dari pilar-pilar pendidikan yang penulis maksud dalam pembahasan ini
adalah sendi-sendi pendidikan menurut Unesco harus ditopang setidaknya oleh empat hal,
learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together.

Learning to belive and convince the almighty God


(Belajar untuk mempercayai dan meyakini Tuhan
yang Maha Esa)
Mempercayai dan meyakini Tuhan yang Maha Esa tidak terdapat dalam 4
(empat) pilar Unesco. Inilah pilar yang hilang, namun tidak demikian dengan
Indonesia. Indonesia merupakan negara ketuhanan yang menjunjung tinggi
nilai keagamaan oleh karena itu pilar ini dimasukan kedalam pilar belajar di
indonesia. Adapun pada proses implementasinya pilar ini sudah terdapat
dengan adanya mata pelajaran agama dan PKn. Yang mengajarkan budi
pekerti dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Dan sekarang
dalam tujuan pembelajaranpun telah dimasukan unsur spiritual dalam K1.

Learning to Know (belajar untuk menguasai)


Belajar untuk mendapatkan pengetahuan. Ini adalah bagian dari proses pembelajaran
yang memungkinkan pelajar/mahasiswanya untuk tidak sekedar memperoleh pengetahuan
tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi besar
untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang
tinggi.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui
informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui
(learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna
tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan.Guna
merealisir learning to know, pendidik seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai
sumber informasi melainkan juga fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat
berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam
mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu
Learning to know mengandung makna bahwa belajar tidak hanya berorientasi pada
produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi pada proses belajar.
Dalam proses belajar, peserta didik bukan hanya menyadari apa yang harus di pelajari
tetapi juga diharapkan menyadari bagaimana cara mempelajari apa yang seharusnya
dipelajari. Kesadaran tersebut, memungkinkan proses belajar tidak terbatas di sekolah
saja, akan tetapi memungkinkan peserta didik untuk belajar secara berkesinambungan.
Inilah hakekat dari semboyan "belajar sepanjang hayat". Apabila hal ini dimiliki
peserta didik, maka masyarakat belajar (learning society) sebagai salah satu tuntutan
global saat ini akan terbentuk. Oleh sebab itu belajar untuk mengetahui juga dapat
bermakna belajar berpikir karena setiap individu akan terus belajar sehingga dalam
dirinya akan tumbuh kemauan dan kemampuan untuk berpikir. Learning to know,
dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk
mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga
berarti learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari
kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.

Tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi juga menguasai teknik memperoleh


pengetahuan tersebut. Pilar ini berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang
memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi. Secara implisit, learning to
know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long education). Asas belajar sepanjang hayat
bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia
hidup, baik didalam maupun diluar sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur
hidup berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan
mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.

Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu untuk belajar, maka kita
mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang bertanggung jawab atas pedidikan diri
sendiri menyadari, bahwa:
1) Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam kandungan hingga
manusia meninggal.
2) Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu
dini untuk belajar.
3) Belajar/ mendidik diri sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian integral/ totalitas
kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).
Menurut Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang identik dengan pihak yang
memiliki tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah
tunas-tunas bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan yang
terbaik untuk anak negeri ini di masa yang akan datang.

Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas
pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan
memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun
sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar. Guru bisa dikatakan
unggul dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan tidak
banyak bergantung pada orang lain.

Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu
berperan sebagai berikut:
a. Guru berperan sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang
baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar
berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
b. Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
c. Guru sebagai pengelola
Guru berperan menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat belajar
secara nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan
pembelajaran, yaitu:
a) Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b) Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c) Siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan
diberikan reinforcement.
d) Penguasaan secara penuh.
e) Siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.

d. Guru sebagai demonstrator


Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa
lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
e. Guru sebagai pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan.
Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
f.Guru sebagai mediator
Guru selain dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang media pendidikan juga harus
memiliki keterampilan memilih dan menggunakan media dengan baik.
g.Guru sebagai Evaluator
Yakni sebagai penilai hasil pembelajaran siswa. Dengan penilaian tersebut, guru dapat
mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta
ketepatan/ keefektifan metode mengajar (Fakhruddin, 2010:49-61).

Kiat-kiat Agar Menjadi Guru Favorit menurut Fakhruddin (2010:97) yaitu:


a) Sabar
b) Bisa menjadi sahabat
c) Konsisten dan komitmen dalam bersikap
d) Bisa menjadi pendengar dan penengah
e) Visioner dan misioner
f) Rendah hati
g) Menyenangi kegiatan mengajar
h) Memaknai mengajar sebagai pelayanan
i) Bahasa cinta dan kasih sayang
j) Menghargai proses

Learning to do (belajar untuk menerapkan)


Belajar untuk menerapkan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kamampuan kerja
generasi muda. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit
yang tidak terbatas pada penguasaan keterampilan yang mekanistis melainkan juga terampil
dalam berkomusikasi, bekerja sama, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar
kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang intelligent dalam bekerja dan
mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Pendidikan merupakan proses belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do).
Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta
pemilihan dan penerimaan nilai. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk
mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.Learning to do bisa berjalan jika
lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang
dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi
unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini
keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih
dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan
seseorang.
Learnning to do mengandung makna bahwa belajar bukanlah sekedar mendengar dan
melihat untuk mengakumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar dengan dan untuk melakukan
sesuatu aktivitas dengan tujuan akhir untuk menguasai kompetensi yang diperlukan dalam
menghadapi tantangan kehidupan. Kompetensi akan dapat dimiliki oleh pesrta didik apabila
diberikan kesempatan untuk belajar dengan melakukan apa yang harus dipelajarinya secara
langsung.Dengan demikian learning to do juga berarti proses pembelajaran berorientasi pada
pengalaman langsung (learning by experience).
Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga
lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim.
Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan
sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau
nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar
dan bekerja.

Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh
untuk terampil berbuat/ mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna
bagi kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi muda untuk
mendukung dan memasuki ekonomi industry (Soedijarto, 2010). Dalam masyarakat industri
tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan
kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring,
designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi
konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan
juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan
mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi
muda yang intelligent dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.

Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk


mengaktualisasikan ketrampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to
do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan minat
adalah kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat anak dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan
berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi
menjadi dua yaitu:
1) Lingkungan social
Yang termasuk dalam lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga
teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Lingkungan social yang
lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
2) Lingkungan nonsosial
Factor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya,
rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan cuaca.
Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa (Muhibbin
Syah, 2004:138).

Sekolah juga berperan penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa berbuat
sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam
menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung
jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah
Ada 4 pilar-pilar pendidikan universal yang dirumuskan oleh UNESCO (Geremeck,
1986) yaitu, belajar untuk mengetahui ( learning to know) , belajar untuk melakukan
(learning to do) , belajar menjadi ( learning to be), belajar dengan berkerjasama ( learning to
live together) merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap peserta didik.

Learning to live together (belajar untuk dapat hidup


bersama)

Learning to live together adalah belajar untuk bekerjasama melalui proses


bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat
global dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok tidak mungkin dapat
hidup sendiri atau mengasingkan diri dari masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini termasuk
juga pembentukan masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari akan adanya
perbedaan pandangan antar individu. Learning to live together, learning to live with others ,
dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi
—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik—dalam semangat
menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.

Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live together,
learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat
penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang
berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk
bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan
sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang lain.
Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know,
lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together, masalah
kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan
demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan
kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan bahasa daerah,
tumbuhnya sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah,
(pemerintahan daerah).

Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi
desa global ternyata tidak menghapus konflik antar manusia yang selalu mewarnai sejarah
umat manusia. Di zaman yang semakin kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti
konflik nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu
didasari oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima suatu
perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi muda untuk
menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan
kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi,
dan pengertian.

Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk memberikan pengetahuan dan
kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat
persamaan. Itulah sebabnya Learning to live together menjadi pilar belajar yang penting
untuk menanamkan jiwa perdamaian.

Learning to be (belajar untuk menjadi)


Learning to be mengandung arti bahwa belajar adalah proses untuk membentuk manusia
yang memiliki jati dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik harus berusaha memfasilitasi
peserta didik agar bealajar mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu yang
berkepribadian utuh dan bertanggung jawab sebagai individu sekaligus sebagai anggota
masyarakat. Dalam pengertian ini terkandung makna bahwa kesadaran diri sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa yakni makhluk hidup yang memiliki tanggung jawab sebagai khalifah
serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya. Learning to be, sehingga dapat
mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat
pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa
estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.

Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi
dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan
masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada
masing-masing peserta didik.

Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar
memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa
untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian
dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan
sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai
dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil,
sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1) Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong
untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
2) Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan pada situasi
yang tepat.
3) Minat
4) Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif
dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh
melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan bersifat
otomatis.
5) Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut
perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.

Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan
pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan
mandiri (Aezacan, 2011).

Garis Besar Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO


a. Kekuatan
Ke empat pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus
pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik tidak hanya
diajarkan IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan masalah, akan tetapi juga
hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah maraknya perbedaan pendapat
dimasyarakat. Dengan ke kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
b. Kelemahan
Meskipun ke empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu
diingat, masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut, seperti kurangnya
SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap masyarakat atau daerah
dalam memandang arti penting pendidikan, kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih
minim akan sangat menghambat kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
c. Peluang
Apabila pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka
pada gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang bermartabat di mata
masyarakat dunia.
d. Ancaman
Ke empat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi peserta didik dan
pengajar apabila tujuan atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi
akan muncul sikap pesimis dan putus asa kehilangan kepercayaan diri.

Lima Pilar Pendidikan di Indonesia


Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II telah dibentuk dan saat ini mulai menyiapkan kebi-
jakan untuk 5 tahun ke depan. Khusus di bidang pendidikan, saat ini dicetuskan beberapa
pilar dalam pencapaian

tujuan pendidikan nasional oleh Menteri Pendidikan Nasional. Demikian disampaikan


Kepala Pusat PPPPTK Matematika, Herry Sukarman, M.Sc. Ed, selaku Pembina Upacara
pada Upacara Bendera 17 Desember 2009. Dalam amanatnya, lebih lanjut Kepala Pusat men-
jelaskan mengenai lima pilar ini yang meliputi pilar ketersediaan (availability), pilar keter-
jangkauan (avordability), pilar mutu (quality), dan pilar jaminan (assurance) serta
kesetaraan(equity).

a). Pilar Pertama Ketersediaan adalah terkait ketersediaan layanan pendidikan yang memadai
sesuai dengan standar, baik dalam kurikulum, sesumber, metode, strategi, dll.

b). Pilar Kedua adalah Keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip pemenuhan
hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Untuk men-
dukung keterjangkauan ini perlu didukung dengan pemanfaatan berbagai media dan
teknologi.

c). Pilar Ketiga adalah Mutu. Peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian
utama, bukan saja dari output dan outcome tetapi menyangkut input dan proses pendidikan.

d). Pilar Keempat Penjaminan Mutu Pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih
banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor mempengaruhi
peningkatan mutu pendidikan.

e). Pilar Kelima adalah kesetaraan. Pendidikan harus menjangkau semua level masyarakat
dengan tidak ada pembedaan. Indonesia adalah negara besar dengan berbagai keragaman,
pendidikan harus mempu melayani semua warganya dengan setara dan tidak membeda-
bedakan adanya keragaman tersebut.
Pilar-pilar pendidikan lainnya:
Learning How to Learn

Sekolah boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu masalah
terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang tidak
bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How to
Leam akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi
dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh percaya
diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge society. Orang-orang
yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting ada¬lah mereka yang mampu
belajar lebih lanjut.

Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari
model belajar “memilih” (menghafal) menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti).
Asumsi yang digunakan dalam model belajar “memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta
didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang
dipentingkan dalam model belajar “memiliki” ini adalah penerima pelajaran, yang akan
menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai
dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar
“menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut membimbing, memotivasi,
memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.

Learning Throughout Learn

Perubahan dan perkembangan kehidupan berjalan terus menerus yang semakin keras
dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali harus belajar terus menerus sepanjang
hayat. Learning Throughout Life ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik
bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil
pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari,
maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti.

Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam
abad mendatang adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi
paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini.
Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan
pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk di sini
adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif, serta
mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya suatu masyarakat
dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian dunia hanya mungkin terwujud di dalam
sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang berbudaya.

Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita
gunakan selama ini rasanya terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk
menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang patuh dan
kurang memikirkan terbinanya manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang
eksklusif, dikotomis, dan parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik,
dan holistis.

Menurut menteri baru, M. Nuh, seperti dipaparkan oleh Prof. Dr. Fasli Jalal
mengungkapkan lima pilar pendidikan Indonesia dalam tingkat makro. Demikian kurang
lebih kutipannya.

Kalau kita lihat kebijakan makro dalam pendidikan seperti kata menteri yang baru prof
M. Nuh: menerjemahkan 5 pilar pembangunan pendidikan.

1. Bagaimana agar ada ketersediaan pelayanan pendidikan. Asal ada anak Indonesia
yang mau bersekolah, jangan sampai kapasitas yg ada tidak cukup mengakomodir
mereka. Jadi jalur pendidikan itu harus ada.

2. Itu saja tidak cukup, maka sesudah mengamati ketersediaan, harus ada kemampuan
murid atau orang tua untuk mendapat akses terhadap yang sudah tersedia tadi.
Affordability, keterjangkauan pada kapasitas yang tersedia.

3. Itu pun belum cukup, maka bermutunya pelayanan tadi, yg terjangkau dan tersedia,
harus bermutu karena kalau tidak mutu, mengurangi mapannya anak didik kita.

4. Harus ada kesetaraan: antara kesetaraan desa dan kota, yang memerlukan perhatian
khsusus dan yang normal, kesetaraan jender, kesetaraan dalam sosial-ekonomi.

5. Bagiamana menjamin atau keterjaminan bahwa 4 hal di atas itu terlaksana dalam
operasional.
Daftar pustaka

Salam, B. (1997). Pengantar Pedagogik. Jakarta: PT Rineka Cipta


Yusak, Muchlas. 2003. Wawasan Kependidikan, Empat Pilar Pendidikan. Semarang:
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.

http://pendidikan.infogue.com/aliran_teori_dan_pilar_pilar_dalam_pendidikan
Http://Atikatikaaziz.Blogspot.com.2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html?m=1
(12 Maret 2012)
http://www.ilmupendidikan.net/2010/03/16/paradigma-pembelajaran-menjawab-tantangan-
jaman.php
http://alveean.wordpress.com/2008/10/24/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco/
http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html

Anda mungkin juga menyukai