Implementasi Lima Pilar Belajar Pendidikan Indonesia Dalam Pembelajaran PDF Free
Implementasi Lima Pilar Belajar Pendidikan Indonesia Dalam Pembelajaran PDF Free
PEMBELAJARAN
pilar-pilar pendidikan
Dengan kebijakan tanpa batas umur dan batas waktu untuk belajar, maka kita
mendorong supaya tiap pribadi sebagai subjek yang bertanggung jawab atas pedidikan diri
sendiri menyadari, bahwa:
1) Proses dan waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam kandungan hingga
manusia meninggal.
2) Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu
dini untuk belajar.
3) Belajar/ mendidik diri sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian integral/ totalitas
kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).
Menurut Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang identik dengan pihak yang
memiliki tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah
tunas-tunas bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan yang
terbaik untuk anak negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas
pengajaran yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan
memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar, maupun
sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar-mengajar. Guru bisa dikatakan
unggul dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan tidak
banyak bergantung pada orang lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu
berperan sebagai berikut:
a. Guru berperan sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang
baik apabila ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar
berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
b. Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
c. Guru sebagai pengelola
Guru berperan menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat belajar
secara nyaman. Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan
pembelajaran, yaitu:
a) Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b) Setiap siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c) Siswa akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan
diberikan reinforcement.
d) Penguasaan secara penuh.
e) Siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh
untuk terampil berbuat/ mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna
bagi kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi muda untuk
mendukung dan memasuki ekonomi industry (Soedijarto, 2010). Dalam masyarakat industri
tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan
kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring,
designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi
konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan
juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan
mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi
muda yang intelligent dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Sekolah juga berperan penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa berbuat
sesuatu begitu penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam
menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung
jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah
Ada 4 pilar-pilar pendidikan universal yang dirumuskan oleh UNESCO (Geremeck,
1986) yaitu, belajar untuk mengetahui ( learning to know) , belajar untuk melakukan
(learning to do) , belajar menjadi ( learning to be), belajar dengan berkerjasama ( learning to
live together) merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap peserta didik.
Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live together,
learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat
penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang
berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk
bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan
sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang lain.
Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know,
lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together, masalah
kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan
demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan
kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan bahasa daerah,
tumbuhnya sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah,
(pemerintahan daerah).
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi
desa global ternyata tidak menghapus konflik antar manusia yang selalu mewarnai sejarah
umat manusia. Di zaman yang semakin kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti
konflik nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu
didasari oleh ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima suatu
perbedaan. Pendidikan dituntut untuk tidak hanya membekali generasi muda untuk
menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan
kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi,
dan pengertian.
Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk memberikan pengetahuan dan
kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat
persamaan. Itulah sebabnya Learning to live together menjadi pilar belajar yang penting
untuk menanamkan jiwa perdamaian.
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi
dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan
masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila
ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada
masing-masing peserta didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar
memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa
untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian
dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan
sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai
dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil,
sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1) Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong
untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
2) Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan pada situasi
yang tepat.
3) Minat
4) Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif
dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh
melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan bersifat
otomatis.
5) Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut
perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan
pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan
mandiri (Aezacan, 2011).
a). Pilar Pertama Ketersediaan adalah terkait ketersediaan layanan pendidikan yang memadai
sesuai dengan standar, baik dalam kurikulum, sesumber, metode, strategi, dll.
b). Pilar Kedua adalah Keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip pemenuhan
hak untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Untuk men-
dukung keterjangkauan ini perlu didukung dengan pemanfaatan berbagai media dan
teknologi.
c). Pilar Ketiga adalah Mutu. Peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian
utama, bukan saja dari output dan outcome tetapi menyangkut input dan proses pendidikan.
d). Pilar Keempat Penjaminan Mutu Pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih
banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor mempengaruhi
peningkatan mutu pendidikan.
e). Pilar Kelima adalah kesetaraan. Pendidikan harus menjangkau semua level masyarakat
dengan tidak ada pembedaan. Indonesia adalah negara besar dengan berbagai keragaman,
pendidikan harus mempu melayani semua warganya dengan setara dan tidak membeda-
bedakan adanya keragaman tersebut.
Pilar-pilar pendidikan lainnya:
Learning How to Learn
Sekolah boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu masalah
terjawab, seribu masalah menunggu untuk dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang tidak
bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How to
Leam akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi
dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh percaya
diri, karena masyarakat baru adalah learning society atau knowledge society. Orang-orang
yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting ada¬lah mereka yang mampu
belajar lebih lanjut.
Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu pergeseran dari
model belajar “memilih” (menghafal) menjadi model belajar “menjadi” (mencari/meneliti).
Asumsi yang digunakan dalam model belajar “memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta
didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang
dipentingkan dalam model belajar “memiliki” ini adalah penerima pelajaran, yang akan
menerima sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai
dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses belajar
“menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut membimbing, memotivasi,
memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
Perubahan dan perkembangan kehidupan berjalan terus menerus yang semakin keras
dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali harus belajar terus menerus sepanjang
hayat. Learning Throughout Life ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik
bahwa ilmu bukanlah hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil
pencarian manusia. Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari,
maka upaya mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti.
Bertolak dari butir-butir tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam
abad mendatang adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi
paradigma baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini.
Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan ciptakan
pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman. Termasuk di sini
adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik dan segregatif, serta
mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju terwujudnya suatu masyarakat
dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian dunia hanya mungkin terwujud di dalam
sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam masyarakat lokal yang berbudaya.
Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita
gunakan selama ini rasanya terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk
menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang patuh dan
kurang memikirkan terbinanya manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang
eksklusif, dikotomis, dan parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik,
dan holistis.
Menurut menteri baru, M. Nuh, seperti dipaparkan oleh Prof. Dr. Fasli Jalal
mengungkapkan lima pilar pendidikan Indonesia dalam tingkat makro. Demikian kurang
lebih kutipannya.
Kalau kita lihat kebijakan makro dalam pendidikan seperti kata menteri yang baru prof
M. Nuh: menerjemahkan 5 pilar pembangunan pendidikan.
1. Bagaimana agar ada ketersediaan pelayanan pendidikan. Asal ada anak Indonesia
yang mau bersekolah, jangan sampai kapasitas yg ada tidak cukup mengakomodir
mereka. Jadi jalur pendidikan itu harus ada.
2. Itu saja tidak cukup, maka sesudah mengamati ketersediaan, harus ada kemampuan
murid atau orang tua untuk mendapat akses terhadap yang sudah tersedia tadi.
Affordability, keterjangkauan pada kapasitas yang tersedia.
3. Itu pun belum cukup, maka bermutunya pelayanan tadi, yg terjangkau dan tersedia,
harus bermutu karena kalau tidak mutu, mengurangi mapannya anak didik kita.
4. Harus ada kesetaraan: antara kesetaraan desa dan kota, yang memerlukan perhatian
khsusus dan yang normal, kesetaraan jender, kesetaraan dalam sosial-ekonomi.
5. Bagiamana menjamin atau keterjaminan bahwa 4 hal di atas itu terlaksana dalam
operasional.
Daftar pustaka
http://pendidikan.infogue.com/aliran_teori_dan_pilar_pilar_dalam_pendidikan
Http://Atikatikaaziz.Blogspot.com.2010/09/4-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html?m=1
(12 Maret 2012)
http://www.ilmupendidikan.net/2010/03/16/paradigma-pembelajaran-menjawab-tantangan-
jaman.php
http://alveean.wordpress.com/2008/10/24/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco/
http://dayanmaulana.blogspot.com/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html