Anda di halaman 1dari 4

Nama : Soesilo Eki Haryono

NPP : 30. 1226


Kelas : A.1

Bagaimana pandanganmu tentang daerah tertinggal?

Jawab :

Saat ini status daerah tertinggal menjadi momok, sekaligus sindiran tajam yang disandang
suatu daerah. Secara implisit, kepala daerah dianggap ‘tidak mampu’ mengurus daerahnya.
Kepala daerah dinilai ‘tidak cakap’ mengelola sumber daya dan potensi daerahnya. Status daerah
tertinggal menjadi ‘tamparan’ yang kasat mata di ranah publik. Singkatnya, daerah tertinggal
dituduh ‘tidak mapan’ mengelola rumah tangganya. Seluruh instrumen dan perangkat daerah
disinyalir tidak memiliki elan juang, tidak beranjak dari himpitan masalahnya. Prestasi gilang
gemilang dari indikator-indikator kemajuan ekonomi dan sosial lainnya, seperti terbenam dan tak
digubris. Stempel daerah tertinggal, sebagai akumulasi kegagalan daerah memperbaiki dirinya.
Tentu saja argumentasi, atau pendapat ini tak sepenuhnya solid. Pandangan seperti ini debatable.
Banyak daerah atau kabupaten yang sudah terentaskan, namun kondisi desa dan masyarakatnya
masih susah.

Namun terlepas dari semua silang sengkarut itu. Ironisnya, beberapa daerah justru tidak
sudi keluar dari status daerah tertinggal. Kepala daerah malah protes mengapa dikeluarkan dari
status daerah tertinggal. Alasan sederhananya, status daerah tertinggal mendapatkan perlakuan
khusus terkait anggaran dari  pusat. Langkah seperti ini tentu kurang elok, dengan status
tertinggal mendapatkan anggaran tambahan. Berbagai silang pendapat itu, tentu saja
menimbulkan pro kontra. Di satu sisi, ada pihak yang setuju, di sisi lain ada pihak yang tidak
setuju. Realitas ini semestinya ditanggapi dengan pikiran fajar nalar (right reason). Argumentasi
yang didukung alasan yang kuat, terlebih bersandar pada bening moral (moral purpose) akan
melahirkan solusi cerdas dan mencerahkan. Sebaliknya, adu pendapat yang dilandasi sesat nalar,
hanya bermuara pada debat kusir. Boleh jadi justru melahirkan masalah baru, tanpa pernah
menyentuh akar masalah secara substantif.

Untuk itu, dalam memperkuat narasi (literasi dan numerasi), beragam data dan informasi
disodorkan memperkuat alas pikir. Semestinya, diskusi tidak terjebak, atau malah menjebakan
diri pada pro kontra. Pro-kontra yang bersisa tidak memberi jalan keluar. Bersikukuh dengan
pendapat masing masing, justru tak bermanfaat apa-apa. Sikap asal menang tak perlu dilestarikan
untuk mencari solusi.  Sikap seperti itu tidak akan membereskan masalah yang dihadapi.
Fenomena itu tak menghasilkan ‘symbiosis mutualism’ bagi kemajuan daerah. Terlepas dari
kriteria standar dan metode penilaian daerah tertinggal itu. Semestinya, melahirkan diskursus
yang bernas, karena mengendepankan pikiran jernih. Sikap bijak dan rasional yang lebih utama
ditonjolkan. Sepatutnya belajar dari raihan prestasi negara-bangsa, atau prestasi daerah-daerah
yang berhasil membenahi masalahnya.

Geoffrey Gertz dan Homi Kharas (2018) dari Brookings  Institution, menyatakan kunci
sukses mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, akan sangat bergantung pada apa yang
diraih negara-bangsa yang miskin dan terbelakang. Komitmen kerjasama dipercaya menjadi
resep jitu menuntaskan masalah yang dihadapi. Titik penting keberhasilan negara-bangsa
mencapai welfare state, karena komitmen kuat yang digaungkan bersama. Temuan Gertz dan
Kharas, menyatakan masalah-masalah utama yang di negara-bangsa itu antara lain rendahnya
tata kelola pemerintah, terjadi konflik dan kekerasan, lemahnya peran sektor swasta, serta
terjadinya bencana alam dan lingkungan. Kondisi empiris dari negara-bangsa itu, tidak jauh beda
dengan masalah yang dihadapi daerah-daerah tertinggal di Indonesia. Saat ini sedikitnya 62
kabupaten masih berstatus daerah tertinggal yang dirilis dalam Perpres 63 Tahun 2020.
Pekerjaan rumah yang terbengkalai, membenahi atau mengentaskan daerah itu dari status
tertinggal. Setidaknya, enam kriteria utama yang dijadikan patokan untuk menilai daerah
tertinggal, atau daerah terentaskan. Yakni, kondisi perekonomian masyarakat, sumber daya
manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik
daerah. Semua kepala daerah tertinggal pasti hafal secara baik kriteria-kriteria ketertinggalan itu.
Mungkin yang sulit dijawab, apa penyebab daerah tetap berstatus tertinggal? Bagaimana kinerja
kepala daerah sehingga belum mampu membereskan masalahnya? Tentu saja kita semua
maklum, pihak mana pun tentu tidak bersedia disalahkan, atau diminta bertanggungjawab atas
‘prestasi buruk’ tersebut.

Dalam menjawab segala pertanyaan dan memberikan solusi dari ketertinggalan, maka
dibutuhkan tata kelola pemerintah yang baik. Pemerintahan atau governance diartikan sebagai
‘the way state power is used in managing economic and social resources for development
society’ (World Bank, 1997).  Pemerintahan dimaknai sebagai cara bagaimana kekuasaan
digunakan, untuk mengelola sumber daya ekonomi dan sosial membangun masyarakat.
Sewajarnya kekuasaan yang dijalankan pemerintah daerah dalam posisi membenahi masalah-
masalah daerah dan masyarakat. Dengan kekuasan ini, dalam menjalankan amanah tentunya
lebih mengedepankan masyarakat luas. Pemerintah daerah yang berkomitmen kuat, akan lebih
dominan mengurus masyarakat dibanding urusan lain. Secara konseptual, tata kelola
pemerintahan yang baik seharusnya mengemban misi-misi penting. Pertama, pemerintah daerah
harus mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Peningkatan kualitas hidup
ditentukan seberapa besar komitmen porsi anggaran daerah untuk kesehatan dan pendidikan.
Kesehatan dan pendidikan yang baik, akan menentukan kualitas hidup masyarakat. Selintas kita
dapat melihat kualitas hidup masyarakat dengan indeks pembangunan manusia yang dicapai
daerah setempat. Umumnya daerah tertinggal memiliki kualitas hidup yang lebih rendah
dibanding daerah maju. Kualitas hidup dapat diukur melalui indikator kesehatan seperti usia
harapan hidup, atau melalui indikator pendidikan seperti angka rata-rata sekolah dan angka
harapan lama sekolah. Selain itu, kualitas hidup juga harus ditunjukkan kemampuan ekonomi
dan pendapatan masyarakat. Daerah-daerah tertinggal umumnya memiliki rata-rata pendapatan
perkapita yang rendah. Masyarakat daerah tertinggal, tidak memiliki banyak pilihan untuk
memenuhi kebutuhannya.

Kedua, pemerintah daerah seharusnya sebagai garda terdepan menerapkan prinsip


transparan dan akuntabel. Sistem penggelolaan anggaran daerah yang buruk harus dibuang jauh
jauh. Penataan anggaran yang belum beres harus dibenahi  secepatnya. Prinsip transparan dan
akuntabel sudah diterapkan mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan  evaluasi.
Secara umum daerah-daerah tertinggal belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi-informasi
yang terbuka. Semestinya perencanaan dengan e-planning, penganggaran berbasis e-
budgeting, pemantauan dan pelaporan sudah e-monev. Puncaknya, seluruh sistem pengelolaan
anggaran daerah terintegrasi dan terbuka. Tidak ada satu pun tahapan pengelolaan anggaran
bersifat tertutup. Anggaran daerah yang tidak boleh dikelola secara kongkalikong, apalagi
sembunyi-sembunyi.
Ketiga, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, pemerintahan daerah menerapa system
yang efektif dan efisien. Biasanya daerah-daerah tertinggal, belum mampu bekerja dengan
system seperti ini. Umumnya terbaca, pemerintah daerah malah seringkali menerima kritik,
karena pelayanan yang belum memadai. Penyelenggaraan pemerintah daerah masih terkesan
boros. Implementasi tugas dan fungsi masih konvensional. Sepintas organisasi pemerintah
daerah belum dapat bergerak cepat dan gesit. Dengan melihat seluruh realitas ini, peta jalan
untuk membenahi daerah tertinggal masih ‘jauh panggang dari api’.

Anda mungkin juga menyukai