Aksiologi Ilmu Dalam Tradisi Islam Dan Barat
Aksiologi Ilmu Dalam Tradisi Islam Dan Barat
ABSTRACT
1
B.PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya. Jadi yang ingin dicapai oleh aksiologi adalah
hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu pengetahuan.
Aksiologi secara etimologis berasal dari kata axios dan logos. Axios berarti
nilai dan logos berarti ilmu atau teori. Aksiologi adalah suatu ilmu cabang filsafat
yang membahas tentang nilai secara teoretis sehingga Aksiologi juga disebut Theory
of Value (Teori Nilai). Aksiologi membahas tentang nilai secara teoretis yang
mendasar dan filsafati, yaitu membahas nilai sampai pada hakikatnya. Oleh karena
aksiologi membahas tentang nilai secara filsafati, maka juga disebut Philosophy of
Value (Filsafat Nilai). Aksiologi adalah cabang filsafat yang menganalisis tentang
hakikat nilai yang meliputi nilsi-nilai kebaikan, kebenaran, keindahan, dan religius.
Nilai-nilai kebaikan, kebenaran, keindahan, dan religius sebagai objek material
ditinjau dari sudut pandang hakikatnya (Frondizi, 1963: 5).
Bagus (2005: 33) menjelaskan pengertian aksiologi adalah sebagai berikut :
a. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai, analisis berarti membatasi
arti, ciri-ciri, tipe, kriteria. Dan status epistemologis nilai.
b. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai
atau segala yang bernilai
c. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai
1
Jirzanah, Aksiologi Sebagai Dasar Pembinaan Kepribadian Bangsa dan Negara Indonesia
(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2020) hlm, 05
2
tertentu akan mengandung bias dan bersifat tidak netral. Namun disisi lain,
sebagian mereka juga ikut merumuskan- terutama kaum pragmatism dan
penganut filsafat moral/etika. Bahwa setiap rumusan baru dalam dunia ilmu
pengetahuan akan diakui kebenarannya ketika ia bersifat pragmatis (bernilai
guna) bagi kehidupan sosial.
Ketika berpijak pada landasan aksiologis, maka sesungguhnya suatu
pernyataasn ilmiah atau proposisi dapat dianggap benar bila ia mengandung
unsur aksiologis di dalamnya,yaitu adanya nilai manfaat bagi kehidupan
manusia. Bila ruh ilmu pengetahuan itu sendiri menginginkan adanya nilai
manfaat dari ilmu, maka sesungguhnya pengamalan terhadap ilmu itu juga
harus berlandaskan pada tata nilai yang ada. Penghilangan terhadap unsur nilai
manfaat (aksiologis) dari ilmu pengetahuan dapat bermakna telah
memperlemah posisi ilmu itu sendiri dari sudut pandang filsafat ilmu
pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, dalam ajaran Islam disebutkan setiap upaya
membangun kerangka keilmuan, maka unsur kebermanfaatannya harus
menjadi prioritas utama. Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Abu
Hurairah disebutkan bahwa ketika seseorang telah meninggal dunia, maka
terputuslah segala amalnya, kecuali 3 (tiga) hal, yaitu sedekah yang pernah ia
dermakan, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang solih yang selalu
mendoakannya.2
Hadis diatas dapat dipahami bahwa tujuan utama mencari ilmu
pengetahuan dalam perspektif islam adalah untuk memberikan kemaslahatan
public seperti memberikan jaminan keselamatan, kemudahan dan
keharmonisan dalam kehidupan sosial. Meskipun kenyataannya dapat
disaksikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini
agaknya tidak lagi mempertimbangkan aspek keselamatan, akan tetapi telah
digunakan sebagai alat untuk menghancurkan, seperti peristiwa peledakan
bom atom di Hirosima dan Nagasaki, serangan terhadap gedung WTC di New
York, dll.
Kondisi ini paling tidak telah mengaburkan sisi sisi aksiologi dari suatu
ilmu pengetahuan sehingga dinilai sangat membahayakan kelangsungan hidup
manusia secara keseluruhan. Untuk itu beberapa standar/ukuran
kebermanfaatan dari ilmu pengetahuan itu dianggap penting untuk diangkat
dalam tulisan sederhana ini.3
2
Lihat Shahih Muslim, Juz.II halaman 70, Hadis Nomor: 1631.
3
Al-Idarah, Vol.3, No. 1, Januari-Juni 2019
3
terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Etika merupakan ilmu tentang apa
yang baik, apa yang buruk tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), nilai
mengenai benar dan salah yang dimuat suatu golongan atau masyarakat.4
Etika merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika
menurut filsafat adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang
buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat
diketahui oleh akal pikiran. Etika dengan demikian bertugas merefleksikan
bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia, yang benar-
benar msuoun mengemban tugas khalifah fi al-ardi.5 Sebagai cabang filsafat,
maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari agama, disinilah letak
perbedaan dengan etika Islam, yang bertitik tolak dari Qur’an dan Saunnah.6
Etika juga merupakan cabang aksiologi yang mempersoalkan predikat
baik buruk dalam arti susila, atau tidak susila. Sebagai masalah khusus, etika
juga mempersoalkan sifat-sifat yang menyebabkan seseorang berhak, untuk
disebut susila atau bijak. Sifat-sifat tersebut dinamakan ”kebajikan” lawannya
“keburukan”.7
Dalam buku Sejarah Filsafat Barat yang ditulis Bernard Delfgaan
menyatakan bahwa : etika merupkan seni untuk mencapai kebaikan. Kebaikan
merupakan tujuan yang hendak dicapai setiap benda, yang diupayakan dengan
perbuatan.8 Etika juga dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang
dalam mengadakan control social.
Dalam khazanah pemikiran Islam, etika diartikan sebagai al-akhlak.
Menurut pendekaatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa arab,
jama’ dari bentuk mufrodatnya khuluqun yang diartikan: budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat. Etika pada hakikatnya mengamati realitas
moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa
kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara
kritis. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan
menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertangggung
jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.9
Berdasarkan penjelasan diatas, etika dapat dikelompokan dalam tiga
prinsip etika dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut :
Pertama, Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang
kebajikan tentang penilaian dari pendapat seseorang. Definisi tersebut tidak
melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif
dan lebih bersifat sosiologis. Kedua, Etika dalam arti perbuatan, yaitu
perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang dikatakan etis apabila orang tersebut
4
Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993. h. 5
5
Suparman Sukur, Etika Religius, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. H. 1-2
6
Suparman Sukur, Etika Religius, op.cit., h. 5
7
Drs. Achmad Charris Zubair, Kuliyah Etika, CV. Rajawali, Jakarta, 1990. H. 91
8
Bernard Delfgaan, Sejarah Ringkas Filsafat Barat. PT Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, 1992. H. 34
9
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1987. h.18
4
telah berbuat kebajikan. Pada bagian ini, etika dimaknai sebagai etiket, kaidah,
atau akhlak. Ketiga, Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan,
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Etika pada
kajian filsafat ini sangat menarik perhatian para filosof dalam menanggapi
makna etika secara lebih serius dan mendalam, sebagaimana dikemukakan
oleh aristoteles.10
Tujuan etika keilmuan adalah seorang ilmuan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan yang buruk dalam
perilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mampu
mempertanggungjawabkan keilmuannya.
C.KESIMPULAN
Pengembangan ilmu pengetahuan sebagai perwujudan aksiologi ilmu
mengaruskan visi etik yang tepat untuk diaplikasikan. Manusia dengan ilmu
pengetahuan akan mampu berbuat apa saja yang diinginkan, namun
pertimbangannya tidak hanya pada apa yang dapat diperbuat oleh manusia.
Yang lebih penting pada konteks ini adalah perlunya pertimbangan etik apa
yang harus dilakukan dengan tujuan kebaikan manusia.
Sebenarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu idealnya
harus sampai pada rumusan normative yang berupa pedoman konkrit
bagaimana tindakan manusia dibidang ilmu harus dilakukan. Jika hanya
rumusan berada pada dataran etika yang abstrak, akan terdapat kesulitan
ketika diterapkan terhadap masalah yang bersifat konkrit.
DAFTAR PUSTAKA
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1987.
5
Suparman Sukur, Etika Religius, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.