Anda di halaman 1dari 91

SEMATIK BAHASA INDONESIA DAN PENGANTAR

SEMATIK
CRITIKAL BOOK

DI SUSUN OLEH:

Nama : Martalena Ziliwu


Kelas :B
M,P : SEMATIK BAHASA INDONESIA
Nim : (192124044)

Dosen Pengampu : Arozatulo Bawamenewi, S.Pd, M.Pd

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI (FPBS)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

T.A.2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah yang maha esa yang telah memberikan
kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan” Laporan Bacaan Buku” yang berjudul
“Sematik Bahasa Indonesia”  dan membandingkan buku tersebut dengan buku lain.

Dalam menyusun makalah ini tak lepas dari peran serta saran berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan dan masukan guna menyempurnakan makalah ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih atas pertisipasi dari semua pihak dan penulis akan
selalu menunggu kritik dan saran yang membangun dari orang-orang yang membaca
makalah ini.

Seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, untuk itu penulis mengucapkan
mohon maaf atas segala kesilapan dan kekurangan dalam makalah ini, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Gunungsitoli, Nov, 2020.

Martalena Ziliwu

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan...................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4
B. Tujuan .............................................................................................................................4
C. Manfaat............................................................................................................................4

Bab II Pembahasan...................................................................................................................6

Bab I : Sematik............................................................................................................7
Bab II : Kedudukan Sematik Dalam Semiotik ............................................................8
Bab III : Makna............................................................................................................10
Bab IV : Makna Dalam Kata.......................................................................................11
Bab V : Perubahan Makna..........................................................................................13
Bab VI : Sekitar Makna...............................................................................................15
Bab VII :Komponen Makna..........................................................................................17

Bab III Penilaian Terhadap Buku...........................................................................................19

Bab IV Penutup.......................................................................................................................21

A. Kesimpulan....................................................................................................................21
B. Saran..............................................................................................................................21
Daftar Pustaka

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sering kali kita bingung memilih jurnal referensi untuk kita baca dan
pahami.Terkadang kita memilih satu buku , namun kurang memuaskan hati kita, misalnya
dari segi analisis bahasa, pembahasan tentang sematik bahasa indonesia. Oleh karena itu,
penulis membuat Critical Book Review ini untuk mempermudah pembaca dalam
memilih buku referensi, terkhusus pada pokok bahasa tentang sematik bahasa indonesia.

B. TUJUAN
1. Mencari dan mengetahui informasi yang ada dalam buku.
2. Melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang ada disetiap buku.
3. Membandingkan isi buku pertama dengan isi buku kedua.

C. MAFAAT
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah sematik bahasa indonesia.
2. Untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana sematik dalam bahasa iindonesia itu
dan apa saja yang menjadi dasar-dasarnya.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan buku

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Identitas Buku

Buku kritik

Judul Buku : sematikik leksikal

Penulis : Prof. DR. Mansoer Patenda

Penerbit : PT. Rineka Cipta

Tahun Terbit : 2001

Kota Terbit : Jakarta.

Jumlah Halaman : 310

Bahasa Teks : Bahasa Indonesia.

Materi : sinonimi.

ISBD : 979-518-841-0

Buku Perbanding

Judul Buku : Pengantar Sematik

Penerbit : Stephen Ullman

Penerbit : Pustaka Pelajar

Tahun Terbit : 2012

Materi : Sinonimi

5
B. RINGKASAN ISI BUKU
1. BAB I

Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang


makna (arti, Inggris: meaning). Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris.
Mengenai sejarah istilah ini dapat dibaca karangan   A.W. Read yang berjudul, An Account
of the World Semantics yang dimuat dalam majalah World, No. 4, Tahun 1948, halaman 78-
97. Meskipun sudah ada istilah semantik, misalnya dalam kelompok kata semantic
philosophy pada abad ke-17, istilah semantik baru muncul dan diperkenalkan melalui
organisasi filologi Amerika (American Philological Association) tahun 1894 yang
judulnya Reflected Meanings a Point in Semantics.

Istilah semantik berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang


diserap dari bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal. Di dalam kedua istilah itu
(semantics, semantique), sebenarnya semantik belum tegas membicarakan makna atau
belum tegas membahas makna sebagai objeknya, sebab yang dibahas lebih banyak yang
berhubung dengan sejarahnya.

Coseriu dan Geckeler (1981:8) mengatakan bahwa istilah semantik yang mulai
populer tahun 50-an mula-mula diperkenalkan oleh sarjana Perancis yang bernama M. Breal
pada tahun 1883. Pada halaman yang sama Coseriu dan Geckeler mengatakan bahwa
sekurang-kurangnya ada tiga istilah yang berhubungan dengan semantik, yakni (i) linguistic
semantics; (ii) the semantic of logicians; (iii) general semantics.

Apa yang diingat oleh Samuel dan Kiefer adalah soal makna, makna yang tersirat
dalam kalimat, makna yang menjadi objek pembahasan dalam semantik. Soal makna muncul
pula dalam pembicaraan tentang kata yang disebut makna kata. Pembicaraan tentang makna
kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer mengatakan bahwa semantik adalah
studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas
karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat
dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi.

Pendapat yang berbunyi “semantik adalah studi tentang makna” dikemukakan pula
oleh Kambartel. Menurutnya, semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur

6
yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia
manusia. Definisi yang sama dikemukakan pula oleh George, sedangkan Verhaar
mengatakan bahwa semantik berarti teori tentang makna atau teori arti
(Inggris, semantics, kata sifatnya semantic yang dalam BI dipadankan dengan
kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai ajektiva).

2. BAB II KEDUDUKAN SEMATIK DALAM SEMIOTIK

Semiotik adalah teori tentang sistem tanda. Nama lain semiotik adalah semiologi
(semiology) dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda, mirip dengan istilah
semiotik. Semiologi dan semiotik kedua-duanya mempelajari tanda. Tanda bermacam-
macam asalnya. Ada tanda yang berasal dari manusia yang berwujud lambang dan isyarat
(orang yang mengacungkan jari telunjuk bermakna ingin bertanya), ada yang berasal dari
hewan (burung kuak menukik di depan rumah, tanda akan mendapat musibah), ada tanda
yang diciptakan oleh manusia, misalnya rambu-rambu lalu lintas, tanda-tanda pangkat,
konvensi yang berlaku dalam dunia Pramuka dan olahraga, ada tanda yang berasal dari alam
(langit mendung menandakan hujan tidak lama lagi akan turun), ada tanda yang berasal dari
dunia tumbuh-tumbuhan, misalnya tumbuhan yang diserang penyakit akan memberikan
tanda tertentu.
Berdasarkan asal tanda itu, jenis tanda dapat ditetapkan. Oleh karena lambang yang
dihasilkan oleh manusia menjadi bahan pembicaraan orang yang bergerak dalam bidang
semantik, yakni yang khusus menelaah makna lambang, sedangkan lambang itu sendiri
adalah tanda, dan tanda tersebut menjadi objek pembahasan orang yang bergerak dalam
bidang semiotik, maka kedudukan semantik dalam dalam semiotik dapat dijelaskan.
Masyarakat diatur oleh berbagai sistem, semantik membahas sistem makna,
sementara semiotik adalah teori tentang tanda, maka masyarakat dapat dikatakan berdimensi
semiotik. Masyarakat yang berwujud manusia dikelilingi oleh tanda, diatur oleh tanda,
ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda, sehingga dengan demikian terdapat
kelompok semiotik dalam masyarakat, misalnya kelompok pedagang yang diatur oleh tanda-
tanda tertentu yang berlaku dalam kelompok mereka sendiri dan secara bersama-sama
dengan kelompok lain membentuk sosiosemiotik.

7
Dalam perkembangannya, semiotik terpecah menjadi dua, yakni semiotik kubu
Charles S. Peirce yang terkenal dengan sebutan Semiotisian Anglo Saxon dan semiotik kubu
Ferdinand de Saussure yang terkenal dengan sebutan Semiotisian Kontinental. Pandangan
kedua kubu ini berbeda, karena Peirce ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure adalah
ahli linguistik.
Menurut Peirce, setiap hari manusia menggunakan tanda untuk berkomunikasi. Pada
waktu manusia menggunakan sistem, ia harus bernalar. Bagaimana orang bernalar dipelajari
dalam logika. Dengan mengembangkan teori semiotik, Peirce memusatkan perhatian pada
berfungsinya tanda pada umumnya.
Sebaliknya Saussure mengembangkan teorinya melalui telaah linguistik. Menurut
Saussure, bahasa adalah sistem tanda. Para ahli semiotik yang berkiblat pada kubu Saussure
menganggap bahwa tanda-tanda linguistik mempunyai kelebihan dari sistem semiotik
lainnya. Ahli semiotik yang berkiblat pada kubu Saussure menggunakan istilah berbeda
yang diserap dari istilah yang berlaku dalam linguisti.
Semiotik telah digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah sesuatu
yang berhubungan dengan tanda, misalnya karya sastra. Karya sastra yang ditelaah dari segi
semiotik, misalnya Ziarah karya Iwan Simatupang yang dikaji oleh Ziamar (1991). Ini
berarti bahwa teks dalam karya sastra dianggap sebagai tanda-tanda yang dibentuk oleh
relasi dengan tanda yang lain. Tanda ini menimbulkan reaksi pembaca untuk
menafsirkannya. Proses penafsiran terjadi karena tanda yang bersangkutan mengacu pada
suatu kenyataan.
Sampai di sini dapat dilihat hubungan antara semantik dengan semiotik, lebih-lebih
jika dipahami bahasa sebagai semiotik sosial (Halliday, 1978). Dalam buku itu Halliday
telah melaksanakan interpretasi sosial tentang bahasa dan makna. Selain itu jika bahasa
dianggap sebagai sistem tanda seperti yang dikemukakan oleh Saussure, malah hubungan
antara semantik dan semiotik dapat lebih dipahami.

8
3. BAB III ASPEK- ASPEK SEMATIK

Untuk membahas kata, ada baiknya diperhatikan kalimat: “Ali dan Bahtiar yang
keduanya adalah mahasiswa pergi ke toko buku di Manado.” Bentuk-bentuk seperti: dan,
yang, adalah, mahasiswa, pergi, ke, toko, semuanya disebut kata dalam BI. Bentuk-bentuk
seperti mahasiswa, pergi, toko, mempunyai makna leksikal, sebab maknanya dapat dilihat di
dalam kamus, tetapi bentuk seperti, dan, yang, ke, apakah makna leksikalnya? Bentuk-
bentuk ini tergolong bentuk bebas terikat konteks kalimat. Makna leksikalnya akan diketahui
setelah kata ini berada di dalam kalimat. Kata-kata ini berbeda, misalnya dengan kata pergi,
mahasiswa, toko, yang meskipun tanpa bantuan kata yang lain sudah memiliki makna
leksikal.

Pada kalimat “Saya pergi ke pasar” terdiri dari 4 unsur atau 4 kata. Perhatikan unsur
atau kata saya. Kalau ada seseorang berkata saya, apakah yang terbayang pada Anda?
Demikian pula dengan kata pergi dan pasar. Kalau orang berkata pergi, terbayang
adalah kegiatan pergi., kegiatan pergi yang dilakukan seseorang yang disebut saya. Kegiatan
tersebut diarahkan ke pasar, bukan ke sekolah atau ke terminal bus. Semuanya terbayang
pada kita. Hal itu terjadi karena ada orang yang mengujarkannya atau kata-kata tersebut
tertulis. Bunyi ujaran atau lambang yang tertulis dipahami karena makna tiap-tiap kata, ada
di dalam otak kita. Begitu ada rangsangan berupa kalimat yang terdiri dari kata-kata, maka
makna tiap satuan unsur bahasa yang disebut kata yang ada di dalam otak, secara otomatis
keluar dari persemayamannya.

Dalam proses bahasa, maksudnya jika terjadi komunikasi, pada pihak pendengar
terjadi proses pemecahan kode fonologis, pemecahan kode gramatikal, dan pemecahan kode
semantik. Dengan demikian, kata-kata saya, pergi, ke, dan pasar¸ semuanya mempunyai
konsep di dalam otak kita. Kata saya mempunyai konsep, demikian pula kata pergi,
ke, dan pasar. Apakah konsepnya? Konsep kata saya adalah orang pertama bentuk hormat
kalau orang sedang berkomunikasi dengan kawan bicara dalam BI. Konsep
kata saya  berbeda dengan konsep kata engkau, ia, kami, kamu. Demikian pula konsep
kata pergi berbeda dengan konsep kata berbaring, melihat, dan tidur.Papan yang berbentuk
bundar bercat merah dan melintang di tengahnya garis yang berwarna putih yang dipasang
pada sebuah patok di tengah jalan, merupakan tanda yang bermakna jalan tersebut terlarang

9
untuk dimasuki kendaraan. Tanda bundar bercat merah dan di tengahnya melintang garis
putih yang dipasang di pintu masuk kantor, bermakna dilarang masuk melalui pintu itu.
Orang yang melihat tanda itu meskipun tidak dilarang secara verbal, tidak akan berani
melewati jalan atau pintu yang memakai tanda tersebut. Sebaliknya, tanda dalam bentuk
huruf-huruf, misalnya Dilarang Masuk, adalah lambang-lambang yang bermakna seperti
yang dinyatakan oleh lambang itu sendiri. Perbedaan antara tanda dan lambang terletak pada
hubungannya dengan kenyataan.

Tanda, meskipun bersifat konvensional tidak dapat diorganisasi, tidak dapat direkam,
dan tidak dapat dikomunikasikan seperti lambang. Ingin diingatkan di dalam semiotik,
lambang juga adalah tanda. Itu sebabnya dikatakan, bahasa adalah sistem tanda. Dengan
kata lain, lambang sebagai tanda berhubungan dengan bahasa.

Simbol atau lambang adalah unsur linguistik berupa kata atau kalimat, acuan adalah
objek, peristiwa, fakta atau proses yang berkaitan dengan dunia pengalaman manusia,
sedangkan konsep adalah apa saja yang ada di dalam mind tentang objek yang ditunjukkan
oleh lambang. Menurut teori ini, tidak ada hubungan langsung antara lambang dengan
acuan, tidak ada hubungan antara bahasa dengan  dunia fisik, hubungannya selamanya
melalui pikiran dalam wujud konsep-konsep yang bersemayam dalam otak. Hubungan
antara lambang dan acuan bersifat arbitrer. Sebab itu, tidak ada alasan yang kuat mengapa
konsep tertentu harus dihubungkan dengan lambang yang berwujud deretan bunyi atau
deretan huruf yang bermakna, dan karena itu linguis tidak dapat menjelaskan secara tuntas
tentang tanda dalam sistem bahasa.

Karena kehidupan manusia beraneka ragam dan alam sekeliling manusia berjenis-
jenis, maka manusia sulit memberikan label-label terhadap benda yang ada disekelilingnya.
Dengan demikian, lahirlah nama kelompok, misalnya binatang, buah-buahan, ikan, burung,
rumput, tumbuh-tumbuhan. Tidak terhitung banyaknya jenis rumput dan tak terhitung pula
jenis binatang yang ada di dalam laut yang belum mempunyai label dalam BI. Kalau kita
mengambil sejenis rumput dan kemudian kita tanyakan kepada seseorang, apakah nama
rumput ini, maka orang itu pasti menjawab, rumput; tanpa merinci jenis rumput tersebut
secara tepat. Demikian pula untuk buah-buahan, burung-burungan, pohon-pohonan, dan
jenis insekta.

10
Socrates, mengatakan bahwa nama harus sesuai dengan sifat acuan yang diberi nama.
Sebaliknya, Aristoteles mengatakan bahwa pemberian nama adalah soal perjanjian,
konvensi. Yang dimaksud dengan soal perjanjian di sini bukan berarti bahwa dahulu ada
sidang masalah nama untuk sesuatu yang diberi nama. Nama tersebut biasanya berasal dari
seseorang yang namanya pakar, ahli, penulis, pengarang, wartawan, pemimpin negara, tokoh
masyarakat yang kemudian dipopulerkan oleh masyarakat, baik melalui media massa
elektronik maupun nonelektronik, atau boleh juga pembicaraan tatap muka.

4. BAB IV MAKNA

Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Bentuk
makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang
ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Istilah makna meskipun membingungkan,
sebenarnya lebih dekat dengan kata. Sering kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya
kalimat ini? Kalau seseorang berkata, “Saya akan berangkat,” itu berarti bahwa ia siap
berjalan, siap melaksanakan kegiatan atau aktivitas pindah, pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, dengan jalan melaksanakan kegiatan berjalan. Sering seseorang berkata,
“Kita harus membantu orang miskin,” yang kemudian diikuti dengan gerakan; gerakan
membantu orang miskin. Ini beratti wujud membantu orang miskin tampak dari gerakan
memberikan sesuatu kepada orang miskin.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1993:619)
kata makna diartikan: (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam
tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada
suatu bentuk kebahasaan.
Telah diketahui bahwa kalau seseorang memperkatakan sesuatu, terdapat tiga hal
yang oleh Ullmann diusulkan istilah: name, sense, dan thing. Soal makna terdapat
dalam sense, dan ada hubungan timbal balik antara nama dengan pengertian sense. Apabila
seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang
diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan
pengertiannya itu. Hubungan antara nama dengan pengertian, itulah yang disebut makna.
Orang dapat melihat kamus jika ia ingin mengetahui makna sesuatu kata; namun
dalam kehidupan sehari-hari orang tidak selamanya  membuka kamus kalau ada kata yang

11
tidak dimengerti maknanya, dan juga orang tidak harus membuka kamus kalau akan
berkomunikasi. Kata, urutan kata, makna kata, dan kaidah bahasa pendukungnya telah ada di
dalam otaknya yang sewaktu-waktu muncul kalau diperlukan. Pengetahuan tentang bahasa
sendiri seperti itu, disebut kompetensi. Kompetensi itu sendiri menurut Chomsky merupakan
suatu potensi yang tidak terbatas, sedang penampilan terbatas pada faktor-faktor fisik dan
temporal.

Memang sulit memberikan batasan tentang makna. Tiap linguis memberikan batasan
makna sesuai dengan bidang ilmu yang merupakan keahliannya. Itu tidak mengherankan
karena kata dan kalimat yang mengandung makna adalah milik pemakai bahasa. Karena
pemakai bahasa bersifat dinamis yang kadang kadang memperluas makna suatu kata ketika
ia berkomunikasi sehingga makna kata dapat saja berubah.
Makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekatan
analitik atau referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik ingin mencari
makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan
operasional ingin mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih
menekankan, bagaimana kata dioperasikan di dalam tindakan fonasi sehari-hari.
Selain dua pendekatan itu, pendekatan makna dapat dilihat pula dari hubungan-
hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa. Pada umumnya orang membedakan
pendekatan ekstensional dan pendekatan intensional. Pendekatan ekstensional ialah
pendekatan yang memusatkan perhatian pada penggunaan kata di dalam konteks, sedangkan
yang dimaksudkan dengan pendekatan intensional  ialah pendekatan yang memusatkan
perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit utama.
Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis makna. Palmer (1976) mengemukakan
jenis-jenis makna: (i) makna kognitif; (ii) makna ideasional, (iii) makna denotasi; (iv) makna
proposisi, sedangkan Shipley, Ed, berpendapat bahwa makna mempunyai jenis: (i) makna
emotif; (ii) makna kognitif atau makna deskriptif; (iii) makna referensial; (iv) makna
piktorial; (v) makna kamus; (vi) makna samping; dan (vii) makna inti.
Verhaar (1983) mengemukakan istilah makna gramatikal dan makna
leksikal, sedangkan Bloomfield (1933) mengemukakan istilah makna sempit dan makna

12
luas. Tentu masih ada pendapat lain yang dapat ditambahkan sehingga makin lengkaplah
jenis-jenis makna tersebut.

5. BAB V MAKNA DALAM KATA

Menurut Harimurti (1989:9), “Leksemlah yang merupakan bahan dasar yang setelah
mengalami pengolahan gramatikal menjadi kata dalam subsistem gramatika. Pengertian
leksem tersebut terbatas pada satuan yang diwujudkan dalam gramatika dalam bentuk
morfem dasar atau kata.”

Makna dalam leksem yang dimaksud di sini, yakni bentuk yang sudah dapat
diperhitungkan sebagai kata. Dalam BI terdapat bentuk seperti: kunci, lompat, makan, pagar,
tidur. Bentuk kunci dapat menghasilkan bentuk turunan dikunci, mengunci, dan
kata pagar dapat diberi imbuhan sehingga menjadi dipagari, memagari, terpagar. Kata kunci
dan pagar telah memiliki makna leksikal, dan demikian pula kata dikunci, mengunci,
dipagari, memagari, terpagar. Sementara itu, bentuk lompat, makan, tidur dapat muncul
dalam kalimat, misalnya “Ayo, lompat!” “Ayah, silakan makan!” “Sebaiknya
engkau tidur sebab sudah larut malam.” Timbul pertanyaan, apakah makna leksikal bentuk-
bentuk seperti itu? Bentuk-bentuk seperti ini menurut Verhaar (1983) maknanya dapat
dengan mudah dicari di dalam kamus, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Ada juga leksem yang belum dapat ditentukan makna leksikalnya. Misalnya, leksem
juang. Apakah makna leksem juang? Makna leksikalnya dapat ditentukan setelah leksem
tersebut diberikan imbuhan, misalnya menjadi: berjuang, diperjuangkan, memperjuangkan,
pejuang, perjuangan, seperjuangan. Kata-kata ini sudah memiliki makna leksikal yang
maknanya dapat dilihat di dalam kamus di bawah entri juang. Jadi, makna dalam leksem di
sini adalah makna leksikal yang terdapat dalam leksem yang berwujud kata, yang makna
leksikalnya dapat dicari di dalam kamus. 

Paduan leksem adalah gabungan dua leksem atau lebih yang diperhitungkan sebagai
kata. Menurut Harimurti (1989) paduan leksem menjadi calon kata majemuk, konsep paduan
leksem tidak sama benar dengan konsep kata majemuk. Makna paduan leksem dapat dirunut

13
dari unsur yang membentuknya. Dalam BI terdapat paduan leksem daya juang;
unsur daya bermakna akal, kemampuan, muslihat, tenaga; daya juang bermakna kemampuan
untuk berjuang; agar bagaimana caranya berjuang. Terlihat di sini, pada paduan leksem
terdapat unsur inti sedangkan unsur yang lain bersifat periperal.

Kata berimbuhan adalah bentuk kata yang mengakibatkan munculnya makna.


Imbuhan terdiri dari prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan gabungan. Jika imbuhan tersebut
dilekatkan, baik pada leksem maupun pada kata, umumnya menghasilkan kata berimbuhan.
Dalam BI terdapat kata berimbuhan berdatangan yang leksemnya datang, mendapat
imbuhan ber-/-an. Kata berdatangan bermakna banyak orang datang; orang yang datang
tersebut berasal dari berbagai tempat; orang yang datang tidak sekaligus tiba. Dengan kata
lain, kata berdatangan  bermakna proses datangnya banyak orang yang datang dari berbagai
tempat, dan datang tidak sekaligus. Terlihat di sini makna inti adalah datang.

Kata berulang atau reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya
maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disbeut
kata ulang atau reduplikasi, misalnya rumah-rumah, berjalan-jalan, lauk-pauk¸dan
sebagainya. Kata ulang tidak sama dengan ulangan kata. Ulangan kata adalah kata yang
diulang-ulang, misalnya mana: “Mana, mana yang kau maksud?:” Kata mana yang diulang
beberapa kali, disebut ulangan kata, sedangkan kata mana-mana dalam kalimat, “Mana-
mana yang kau sukai, ambil saja.” adalah kata ulang. Makna kata mana-mana, yakni benda
atau bahan apa saja.

Akronim adalah pemendekan dua kata atau lebih menjadi satu kata saja. Dengan kata
lain, akronim merupakan kata. Maknanya merupakan kepanjangan kata tersebut. Jadi, kalau
kita ingin mengetahui makna akronim adpel , maka harus diketahui lebih dahulu
kepanjangan akronim adpel. Kepanjangan akronim adpel adalah administrasi pelabuhan.
Maknanya, yakni di pelabuhan, terutama administrasinya. Kelihatannya dalam BI, proses
pembentukan akronim tidak didasarkan pada kaidah yang mengikat. Kelihatannya syarat
enak dengar yang sangat menentukan. Akronim adpel terjadi dengan cara memendekkan,
yakni mengambil suku pertama pada setiap kata.

14
Berbeda dengan akronim, singkatan atau abreviasi teratur cara memendekkan kata
yang menjadi unsurnya. Misalnya singkatan ABRI yang kepanjangannya adalah Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia. Pada singkatan ini diambil huruf pertama pada tiap unsur.
Kadang-kadang singkatan sudah dianggap seperti kata. Karena itu, dapat dipendekkan atau
disingkatkan lagi ketika singkatan tersebut ditambah dengan unsur lain.

6. BAB VI PERUBAHAN MAKNA

Perubahan makna menyangkut banyak hal. Perubahan makna tersebut bisa saja
terjadi karena perubahan kata dari bahasa lain, termasuk di sini dari bahasa daerah ke bahasa
Indonesia. Kita mengetahui bahwa kata butuh, dibutuhkan, kebutuhan, membutuhkan,
berpangkal dari leksem butuh. Bagi masyarakat Palembang, leksem butuh dihubungkan
dengan  alat kelamin laki-laki. Demikian pula leksem tele bagi masyarakat Gorontalo
dihubungkan dengan alat kelamin perempuan. Namun dalam pemakaian BI dewasa ini
leksem butuh yang muncul dalam kata dibutuhkan, kebutuhan, membutuhkan, maknanya
dihubungkan dengan makna diperlukan. Demikian pula leksem tele dalam BI dewasa ini
yang muncul dalam kata-kata bertele-tele, tidak dihubungkan dengan makna berpanjang-
panjangan atau berlama-lama. Maknanya telah berubah, makna dari bahasa daerah ke bahasa
Indonesia. Kebetulan perubahan makna yang kurang baik dalam bahasa daerah menjadi
makna yang baik dalam BI. Lingkungan masyarakat dapat mengakibatkan perubahan
makna. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan masyarakat tertentu belum tentu sama
maknanya dengan makna kata yang digunakan di lingkungan masyarakat yang lain.
Misalnya leksem salin yang menurunkan kata disalin, menyalin, salinan. Di lingkungan
sekolah kata menyalin biasanya dihubungkan dengan menyalin pelajaran. Di lingkungan
orang yang bergerak di bidang kesehatan, kata salin dihubungkan dengan proses melahirkan
anak, sehingga muncul urutan kata kamar persalinan, rumah bersalin, sehingga kita dapat
mengatakan, “Ia bersalin kemarin.” Bagi lingkungan masyarakat biasa, kata bersalin sering
dimaknakan mengganti, misalnya dalam kalimat “Tunggu sebentar, ia sedang bersalin baju!”
Berdasarkan contoh tersebut diperoleh gambaran mengenai perubahan makna karena
lingkungan yang berbeda.

15
Telah diketahui bahwa indra manusia meliputi indra penciuman, indra pendengaran,
indra penglihatan, indra peraba, dan indra perasa. Masing-masing indra menimbulkan
kelompok kata yang dapat dimanfaatkan oleh pemakai bahasa. Indra penciuman
menghasilkan kelompok kata busuk, harum; indra pendengaran menghasilkan kata keras,
lembut, merdu; indra penglihatan menimbulkan kata gelap, jelas, kabur, terang; indra peraba
menimbulkan kata halus, kasar; sedangkan indra perasa menghasilkan kata benci, iba,
jengkel, kasihan, rindu, sedih. Perubahan makna akibat pertukaran indra, disebut sinestesi.
Pertukaran indra dimaksud, misalnya indra pendengaran dengan indra penglihatan.
Misalnya, kata terang seperti telah dikatakan diatas, berhubungan dengan indra penglihatan,
tetapi kalau orang berkata “suaranya terang,” maka hal itu berhubungan dengan
pendengaran. Makna kata terang, yakni ada matahari atau cukup cahaya, berubah menjadi
jelas.

Dalam BI dikenal leksem daya, serah, unjuk yang kalau digabungkan dengan leksem


yang lain terjadi paduan leksem, sehingga muncul paduan leksem daya juang, unjuk
rasa, dan serah terima. Dengan kata lain terjadi perubahan makna, perubahan makna karena
paduan atau gabungan leksem. Leksem daya bermakna dorongan, kekuatan, dan karena telah
digabungkan dengan juang sehingga menjadi daya jjuang, maka maknanya menjadi
dorongan atau kekuatan untuk berjuang. Jadi, kalau kata atau leksem digabungkan, maka
maknanya berubah.

Makna kata kadang-kadang berubah akibat tanggapan pemakaian bahasa. Perubahan


makna ini menjurus kepada hal-hal yang menyenangkan (makna amelioratif) atau ke hal-hal
yang tidak menyenangkan (peioratif).  Kata gerombolan pada waktu dahulu bermakna orang
yang berkelompok, orang yang berkerumum, misalnya berkerumum di dekat penjual obat.
Maknanya bersifat baik (amelioratif). Dengan munculnya pemberontak di Indonesia, dan
akhir-akhir ini berkembang istilah GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), makna
kata gerombolan menjurus kepada hal yang tidak menyenangkan, bahkan menakutkan
karena dihubungkan dengan gerombolan pengacau, gerombolan perampok, pencuri,
penodong. Tanggapan pemakai bahasa terhadap kata gerombolan berubah, dari perasaan
senang  (amelioratif), menjadi tidak senang (peioratif). 

16
Makna leksikal kata asosiasi, yakni tautan dalam ingatan pada orang atau barang
lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan
pancaindra. Misalnya melihat bendera kuning di atas kapal laut maknanya bukan
berhubungan dengan bendera atau warna kuning, tetapi maknanya berubah menjadi; ada
orang sakit, orang sakit itu sudah gawat, harap disediakan ambulans dan dokter. Berdasarkan
contoh tersebut, tampak pada kita adanya perubahan makna akibat asosiasi.

Telah diketahui wujud kata memperlihatkan aneka bentuk. Contohnya


leksem lompat. Dari leksem lompat dapat diturunkan kata: berlompatan, berlompat-lompat,
dilompati, dilompatkan, melompat-lompat, pelompat, terlompat. Bentuk
kata berlompatan tidak sama dengan bentuk kata berlompat-lompatan. Kata berlompatan
bermakna banyak orang atau binatang melompat dari satu tempat ke tempat yang lain.
Kata berlompat-lompat melaksanakan pekerjaan melompat secara berulang-ulang, entah
seseorang atau lebih yang menandakan bahwa kegiatan itu dilakukan karena orang
bergembira. Akibat perubahan bentuk terjadi perubahan makna.

Kata kepala dahulu dihubungkan dengan bagian badan sebelah atas atau tempat otak.
Kini makna kata kepala telah meluas, sehingga lahirlah urutan kata kepala sekolah, kepala
rumah sakit, kepala kejaksaan, kepala pemerintahan. Makna kepala sekolah, yakni orang
yang mempunyai jabatan tertinggi pada sebuah sekolah. Di sini kita melihat hubungan
makna masih ada, yakni makna atas atau bagian atas. Itulah yang disebut perluasan makna.

Di dalam pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami pembatasan makna.


Kata sastra di dalam bahasa Sansekerta mempunyai makna yang luas, tetapi di dalam BI
dewasa ini kata tersebut lebih banyak dikaitkan dengan karangan yang bernilai keindahan
atau menggugah perasaan. Itu sebabnya muncul urutan kata karya sastra, nilai sastra, buku
sastra. Jadi, kata sastra dalam BI terbatas maknanya.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dapat kenyataan bahwa makna kata tetap
dipertahankan meskipun lambangnya diganti. Maksud penggantian lambang tersebut, yakni
ingin melemahkan agar orang yang dikenai kegiatan tidak tersinggung. Dengan jalan
melemahkan makna, kadang-kadang orang tidak merasa bahwa sesuatu tindakan terlalu
berat. Misalnya dalam BI terdapat kata dipecat. Kata dipecat rasanya terlalu dirasakan terlalu

17
memukul bagi orang yang dipecat. Makna kata itu kemudian dilemahkan dengan jalan
mengganti kata dipecat dengan urutan kata diberhentikan dengan hormat. Kadang-kadang
digunakan kata dipensiunkan.   

7. BAB VII SEKITAR MAKNA

Hal yang akan dibahas, antara lain mengenai keragu-raguan tentang makna kata atau
makna kalimat yang dalam linguistik disebut ambiguitas. Dihubungkan dengan makna,
ternyata ada kata yang bertentangan maknanya atau disebut antonimi. Selain itu, ada kata
yang berhierarki yang maknanya masih saling berhubungan atau diponimi. Dalam hubungan
makna, ada bentuk yang sama tetapi maknannya berbeda-beda; sementara ada kata yang
bentuknya berbeda-beda tetapi maknanya sama, dan ada juga kata yang maknanya lebih dari
satu. Hal-hal itu akan dibicarakan pada bagian yang disebut homonimi, sinonimi, dan
polisemi.

Ambiguitas timbul dalam berbagai variasi ujaran atau bahasa tertulis. Kalau kita
mendengarkan ujaran seseorang atau membaca sebuah tulisan, kadang-kadang kita sulit
memahami apa yang diujarkan atau yang kita baca. Misalnya kalau kita mendengar ujaran
“Anak istri kapten cantik.” Kita bingung, apakah yang dimaksud dengan ujaran ini?
Apakah anak dan istri kapten yang cantik? Apakah anak, istri, dan kapten semuanya cantik?
Semuanya masih merupakan tanda tanya pada kita. Keraguan, kebingungan mengambil
keputusan tentang makna, dan keanekaan tafsiran makna seperti ini, itulah yang disbeut
ambiguitas.

Verhaar (1983) mengatakan: antonim adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat
juga frasa atau kalimat) yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain. Secara
mudah dapat dikatakan, antonim adalah kata-kata yang maknanya berlawanan. Misalnya 
besar berlawanan dengan kecil, panjang berlawanan dengan pendek. Dan masih banyak lagi
kata-kata yang berantonim.

18
Hiponimi ialah ungkapan (kata, biasanya atau kiranya dapat juga frasa atau kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Misalnya
aster, bugenfil, ros, tulip, semuanya disebut bunga. Kata-kata ini dapat diganti dengan kata
umum, bunga. Hubungan seperti ini disebut hiponimi. Kata bunga yang berada pada tingkat
atas dalam sistem hierarkinya, disebut superordinat, dan anggota-anggotanya berupa aster,
bugenfil, yang berada pada tingkat bawah disebut hiponm.

Homonimi adalah nama sama untuk benda yang berlainan. Homograf berhubungan
dengan ejaan, maksudnya ejaan sama tetapi makna berbeda, dan homofon berhubungan
dengan bunyi bahasa, maksudnya lafalnya sama tetapi maknanya berbeda. Misalnya,
kata bisa yang bermakna dapat dan kata bisa yang bermakna racun. Dikatakan homofon,
sebab lafalnya sama tetapi maknanya berbeda. Dikatakan homograf sebab tulisannya sama
tetapi maknanya berbeda, dan dikatakan homonim sebab bentuknya sama tetapi maknanya
berbeda.

Polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda. Karena
kegandaan makna seperti itulah pendengar atau ragu-ragu menafsirkan makna kata yang
didengar atau dibaca. Kalau kita mendengar orang mengujarkan kata paku, kita ragu-ragu.
Apakah yang dimaksud adalah paku yang digunakan untuk memaku pagar, peti, atau
barangkali yang dimaksud adalah sayur paku.

Sinonimi adalah nama lain untuk benda yang sama. Misalnya, kata hamil dengan
kata bunting. Meskipun kedua kata ini mengandung makna yang sama, tetapi pemakaiannya
berbeda. Kata hamil lebih halus pemakaiannya jika dibandingkan dengan kata bunting. Kita
dapat mengatakan “Sapi saya sudah hamil.” Atau “Sapi saya sudah bunting.” Tetapi sangat
janggal jika orang mengatakan “Istri bupati telah bunting.”

Karena manusia tidak mau berterus terang, lahirlah apa yang disebut peribahasa dan
ungkapan. Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan
biasanya mengiaskan maksud tertentu, berisi perbandingan, perumpamaan, nasiha, prinsip
hidup atau aturan tingkah laku. Sedangkan ungkapan adalah kelompok kata atau gabungan
kata yang menyatakan makna khusus. Misalnya peribahasa yang berbunyi: seperti air jatuh
di daun talas; atau ungkapan yang berbunyi: Kami disambutnya dengan air muka berser-seri.

19
Mendengar atau membaca peribahasa dan ungkapan, sulit kita menerka maknanya karena
makna yang tersurat bersifat samar-samar. Kita harus menghubungkannya dengan makna
sebenarnya. Misalnya seperti air jatuh di daun talas, yakni menasihati seseorang yang tidak
acuh. Nasihat tidak dipedulikan. Demikian pula air muka berser-seri, orang segera
berasosiasi bahwa air muka berseri-seri menandakan kegembiraan.

8. BAB VIII KOMPONEN MAKNA

Seandainya kata melompat dibandingkan dengan kata melihat, terdapat kenyataan


bahwa kedua kata ini tidak memperlihatkan hubungan makna. Kalau begitu dapat dikatakan
bahwa pembeda makna akan terjadi karena perbedaan bentuk, dan perubahan bentuk.
Perbedaan bentuk mengakibatkan perbedaan makna, dan perubahan bentuk mengakibatkan
adanya hubungan makna.

Dalam BI terdapat kata ayah. Orang telah mengetahui makna inti kata ayah. Agar


dipahami makna ayah, orang dapat mengontraskannya dengan kata ibu. Dilihat dari segi
jenis kelaminnya, ayah adalah laki-laki, sedangkan ibu adalah perempuan. Dengan
demikian, untuk melihat perbedaan makna antara kata ayah dan kata ibu, orang harus
melihat acuannya. Sebab denga acuannya, orang dapat melihat perbedaan makna yang
terkandung pada setiap kata. Tetapi hal itu tidak selamanya dapat dilakukan, misalnya kalau
ayah sudah meninggal, atau acuannya abstrak.  Jadi, penggunaan kriteria acuan ada
kesulitannya juga karena kata-kata yang acuannya hanya dapat dibayangkan, diimajinasikan.
Hal itu terjadi karena wujud konkretnya tidak ada, misalnya kata kemakmuran, perasaan,
waktu. Kebetulan kata ayah dan kata ibu acuannya dapat diamati, dapat dilihat.  Dengan
sendirinya orang diperhadapkan dengan kenyataan yang ada pada kata ayah dan kenyataan-
kenyataan yang ada pada kata ibu. Orang dapat menderetkan kenyataan-kenyataan tersebut
dan membandingkannya sehingga jelas perbedaan-perbedaannya. Kenyataan itu tentu sejauh
yang diketahui atau sejauh yang dapat dilihat. Orang sulit mengklasifikasikan ciri pembaca
makna, apabila acuannya belum pernah dilihat meskipun telah pernah didengar.

20
Berdasarkan komponen diagnostik (dengan pengertian bahwa ciri diagnostik dapat
digunakan untuk menentukan perbedaan makna kata dengan kata yang lain dalam domain
yang sama), terlihat bahwa makna kata ayah sebagai leluhur tidak mempunyai hubungan
makna dengan bentuk lain, misalnya dengan kata ibu, kakek, kemenakan.

Dalam kaitan dengan hubungan antara komponen, ada baiknya disinggung pertautan
makna sehingga hubungan antara komponen bersifat logis. Hubungan antara komponen
memudahkan pemakai bahasa untuk menggunakannya. Contohnya, ambillah
kata dilompatkan. Komponen diagnostik kata ini, yakni ada objek yang dikenai kegiatan.
Dengan menyebut urutan kata ada objek yang dikenai kegiatan sudah tersirat di dalamnya
orang yang melaksanakan kegiatan.

Banyak kesulitan yang dihadapi apabila orang menganalisis komponen makna, yaitu:
(i) kata yang didengar atau dibaca tidak diikuti dengan unsur-unsur suprasegmental atau juga
unsur-unsur ekstra linguistik, (ii) tiap kata berbeda maknanya jika dilihat dari segi disiplin
ilmu, (iii) setiap kata memiliki pemakaian yang berbeda, terutama untuk kata-kata yang
mempunyai hubungan renggang, (iv) kata-kata yang acuannya abstrak, (v) kata-kata yang
tergolong deiksi, dan (vi) kata-kata yang bersifat umum.

Untuk menganalisis makna dapat digunakan berbagai prosedur. Yang pertama


adalah  penamaan. Proses penamaan tentu berhubungan dengan acuannya. Misalnya, kalau
seseorang melihat binatang yang berkaki empat dan baisa dipacu, suka makan rumput, kita
segera mengatakan bahwa binatang tersebut adalah kuda. Dengan kata lain, orang
mempunyai alasan kuat, mengapa kuda disebut kuda. Penamaan bersifat konvensional. 
Yang kedua adalah memarafrasa. Untuk menganalisis komponen makna sehingga menjadi
lebih rinci, digunakan parafrasa. Parafrasa bertitik tolak dari deskripsi secara pendek tentang
sesuatu. Misalnya, kalau orang berkata paman, dapat diparafrasakan menjadi saudara laki-
laki ayah atau saudara laki-laki ibu. Pada waktu proses memarafrasa berlangsung, orang
tidak boleh menyimpang dari makna inti dan medan makna kata tersebut.

Prosedur menganalisis makna yang ketiga adalah mendefinisi. Usaha mendefinisi


berpangkal dari analisis makna dan parafrasa. Misalnya, kita mendefinisikan kata kursi yang

21
komponen-komponennya adalah (i) berkaki empat, (ii) digunakan sebagai tempat duduk,
(iii) mempunyai sandaran, (iv) trbuat dari besi, buluh, kayu, plastik, atau rotan. Berdasarkan
analisis seperti itu, orang dapat mengatakan bahwa kursi adalah benda yang terbuat dari
besi, buluh, kayu, plastik, atau rotan, berkaki empat, mempunyai sandaran, dan digunakan
sebagai tempat duduk.

Dengan definisi seperti itu, orang dapat mengetahui secara teapt apa yang disebut
kursi, dan dapat membedakan kursi dengan bangku. Prosedur yang terakhir adalah
mengklasifikasi. Proses menghubungkan sebuah kata dengan genus atau kelas, disebut
mengklasifikasi. Kelas yang dimaksud dapat juga merupakan ciri benda yang diklasifikasi.
Misalnya, ayam adalah hewan yang bisa terbang.  Ayam adalah kata pokoknya,
sedangkan hewan yang bisa terbang adalah genus atau kelasnya.

TIMBANGAN BUKU KE I DAN BUKU KE II

22
A. KELEBIHAN BUKU KE I (satu)

Buku dengan judul “Semantik Leksikal” disusun dan didesain sedemikian rupa
sehingga menampakkan model yang menarik, terutama menarik perhatian untuk
membacanya. Tampilan sampul yang memikat disertai dengan campuran berbagai warna
memberikan nilai tersendiri bagi buku ini.
Buku ini merupakan buku yang amat penting untuk diketahui dan dimiliki oleh orang
yang berkecimpung dalam dunia bahasa, baik mahasiswa S1 dan S2 jurusan pendidikan
maupun para guru dan dosen. Buku ini di susun berdasarkan kebutuhan masyarakat akan
pentingnya memahami konsep tentang semantik atau pemaknaan sebuah kata.
Buku ini mengarahkan pembaca untuk memahami secara detail tentang semantik
secara umum dan cocok dijadikan referensi dalam pengajaran. Pada buku ini juga ditemukan
beberapa konsep yang memberikan acuan bagi pembaca dalam memberikan makna pada
sebuah kata.

 KELEBIHAN BUKU KE II (dua)

Buku dengan judul “Pengantar Semantik” ini sangatlah penting bagi kalangan
mahasiswa maupun guru S1 atau S2 karna kenapa buku ini mengajarkan bagaimana
mengenal bahasa ataupun makna bahasa yang baik dan juga membuat pembaca tertarik
Dalam segi kata, huruf dan bukan hanya itu juga buku ini punya ketetarikan khusus bagi yg
membaca khususnya bagi pembaca pemula agar pembaca dapat mengenal dan memahami
bagaimana bahasa itu yang sebenarnya..

B.     KELEMAHAN

23
Walaupun ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh buku ini namun bukan berarti
tidak terdapat kesalahan-kesalahan yang mencirikan kelemahan dari buku ini
sendiri. Kekurangan atau kelemahan yang paling menonjol pada buku ini adalah sistem
penulisannya yang kurang konsisten. Sistematika penulisan pada buku “Semantik Leksikal”
ini tidak tersusun secara hierarki berdasarkan sub pokok bahasan. Buku ini tidak cocok
untuk pembaca pemula karena bahasa yang digunakan tidak sederhana dan banyak mengutip
bahasa asing dalam menegaskan setiap topik pembahasannya.
Pada buku ini terdapat beberapa kesalahan, baik kesalahan struktur, penulisan kata
yang tidak baku, dan kesalahan penulisan EYD. Begitu pun dalam menguraikan sub pokok
bahasan yang satu dengan lainnya terkadang berulang dijelaskan. Banyak hal-hal yang
dibahas dalam buku ini memilki makna yang ambiguitas.

 KELEMAHAN BUKU (II)

Setelah saya membaca buku pengantar sematik ini juga ia mempunyai kelemahan
dalam penyusunan kata, huruf, dan juga pemakaian bahasa yang masih kurang, begitu juga
dalam menguraikan sub pokok dalam bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya
terkadang penjelasannya berulang pada teori yang telah di jelaskan dari atas.

PENUTUP

24
A. KESIMPULAN
 Semantik menelaah serta menggarap makna kata.
 Masyarakat diatur oleh berbagai sistem, semantik membahas sistem makna, sementara
semiotik adalah teori tentang tanda, maka masyarakat dapat dikatakan berdimensi
semiotik.
 Tanda, meskipun bersifat konvensional tidak dapat diorganisasi, tidak dapat direkam, dan
tidak dapat dikomunikasikan seperti lambang. Ingin diingatkan di dalam semiotik,
lambang juga adalah tanda. Itu sebabnya dikatakan, bahasa adalah sistem tanda. Dengan
kata lain, lambang sebagai tanda berhubungan dengan bahasa.
 Makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekatan
analitik atau referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik ingin mencari
makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan
operasional ingin mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih
menekankan, bagaimana kata dioperasikan di dalam tindakan fonasi sehari-hari.
 Perubahan makna dapat terjadi disebabkan oleh banyak factor, yaitu akibat perubahan
lingkungan, pertukaran tanggapan indra, dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia,
gabungan leksem atau kata, tanggapan pemakai bahasa, asosiasi, perubahan bentuk,
perluasan makna, pembatasan, melemahkan, dan kekaburan makna.
 Keragu-raguan tentang makna kata atau makna kalimat yang dalam linguistik disebut
ambigitas.

A. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan saran sehubungan dengan hasil resensi


buku ini, yaitu hendaknya mengembangkan penulisan tentang Semantik, mengingat masih
langkanya buku-buku yang membahas persoalan ini dan banyaknya persoalan yang belum
tuntas dan masih perlu dibahas. Selanjutnya, semoga resensi buku Semantik Leksikal ini
bisa memberikan tambahan wawasan bagi yang membacanya sekaligus memperkaya
khasanah kita sebagai kaum intelektual yang berlatarbelakang pendidikan bahasa.

25
DAFTAR PUSTAKA

26
Pateda, Mansoer. 2001. “Semantik Leksikal”. Jakarta: Rineka Cipta.

Alwi, Hasan,dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Depdikbud.

Harimurti Kridalaksana. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Depdikbud.

HAKIKAT MAKNA DAN HUBUNGAN ANTAR MAKNA DALAM KAJIAN


SEMATIK DALAM BAHASA ARAB
Reviuw Jurnal

27
DI SUSUN OLEH:
Nama : Martalena Ziliwu
Kelas :B
M,P : Sematik Bahasa Indonesia
Nim : (192124044)

Dosen Pengampu : Arozatulo Bawamenewi, S.Pd, M.Pd

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI (FPBS)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

T.A.2020/2021

BAB I

PENDAHULUAN

28
Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi sosial memiliki peranan yang
sangat besar. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa adanya kehadiran
bahasa. Bahasa itu sendiri tidak akan pernah terlepas dari maknanya pada setiap perkataan
yang diucapkan. Dalam bidang linguistik salah satu ilmu yang mempelajari tentang makna
adalah semantik. Sebagai objek dari kajian linguistik semantik, makna berada diseluruh atau
disemua tataran yang bangun membangun, makna berada di tataran fonologi, morfologi dan
sintaksis. (Kuntarto 2017). Adapun bahasa yang digunakan untuk berinteraksi sehari-hari
sangatlah bervariasi bentuknya, baik dilihat dari fungsi maupun bentuknya. Tataran
penggunaan bahasa yang dipergunakan saat berinteraksi pun tentunya tidak terlepas dari
penggunaan kata atau kalimat yang bermuara pada makna, yang merupakan ruang lingkup
dari kajian semantik. (Ulmann 2012). Sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit
dan istilah yang paling ambigu dan kontroversial dalam teori tentang bahasa. (Suwandi dan
Sarwiji 2008).

Walaupun makna adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan keterikatannya


dengan segi kehidupan manusia sangat erat. Padahal segi-segi kehidupan manusia itu
sangatlah kompleks dan luas. Oleh karena itu, untuk dapat memahami apa yang dimaksud
dengan makna itu sendiri, penggunaan makna dalam ruang lingkup semantik dan bagaimana
hubungan antar makna terjadi, maka hal ini membutuhkan pembahasan dan penjelasan
secara lebih mendalam.

BAB II

KAJIAN TEORI

29
Berdasarkan teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure yang dikenal sebagai
bapak linguistik modern, makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat
pada sebuah tanda-linguistik. (Suwandi dan Sarwiji 2008). Dimana setiap tanda linguistik
tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu: yang diartikan (Prancis: Signifie’, Inggris: signified)
dan yang mengartikan (Prancis: Signifiant, Inggris: Signifier). (Herniti, H, dan A 2005).
Yang diartikan (signifie’, signified) sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna dari
sesuatu tanda bunyi.

Sedangkan yang mengartikan (signifian atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang


terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Misalnya sebuah kata yaitu kursi,
terdiri dari unsur lambang bunyi atau yang mengartikan dalam wujud runtunan fonem (k, u,
r, s, i) dan unsur makna atau yang diartikan ‘kursi’.

Makna kata kursi adalah konsep kursi yang tersimpan dalam otak mausia yang
kemudian dilambangkan dengan kata k-u-r-s-i. Lalu tanda (kursi) yang terdiri dari unsur
makna dan unsur bunyinya ini mengacu kepada suatu referen yang berada di luar bahasa,
yaitu sebuah kursi sebagai sebuah perabotan yang digunakan untuk duduk. Jadi, kata (kursi)
adalah sebagai hal yang menandai (tandalinguistik), dan sebuah (kursi) sebagai perabotan ini
adalah hal yang ditandai. Abdul Chaer mengatakan makna terbagi menjadi beberapa jenis
makna berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, yaitu: (1) Makna Leksikal dan
Makna Gramatikal, (2) Makna Referensial dan Nonreferensial, (3) Makna Denotatif dan
Konotatif, (4) Makna Kata dan Makna Istilah, (5) Makna Konseptual dan Makna Asosiatif,
(6) Makna Idiom dan Peribahasa, dan (7) Makna Kias. (Chaer 2013).

Makna leksikal diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau
bersifat kata sehingga makna leksikal diartikan juga sebagai makna yang sesuai dengan
referennya. Misalnya “kepala” bermakna bagian tubuh yang terdapat di atas leher dan
merupakan tempat otak. Kata “kepala” dalam kalimat “kepalanya hancur terkena pecahan
granat” adalah makna leksikal.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah
gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan oleh kata tersebut.
Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya proses

30
gramatika seperti proses afiksasi, reduplikasi dan komposisi. Makna gramatikal bergantung
pada konteks yang membawanya. Contoh kata “terangkat” dalam kalimat “batu seberat itu
terangkat juga oleh adik” memiliki kemungkinan makna ‘’dapat”, sedangkan dalam kalimat
“ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas” melahirkan makna “tidak sengaja”.
Makna referensial dan makna nonreferensial dibedakan berdasarkan ada tidak adanya
referen dari kata-kata itu sendiri.

Apabila kata-kata itu memiliki referen maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Begitu pula sebaliknya, jika kata-kata tersebut tidak memiliki referen maka kata
tersebut disebut kata bermakna nonreferensial. (Chaer 2013). Makna referensial
mengisyaratkan tentang makna yang langsung menunju kepada sesuatu, baik benda, gejala,
kenyataan, peristiwa maupun proses dan dapat diartikan sebagai makna yang langsung
berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Contohnya kata “meja” dan
“kursi”termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya memiliki refreren, yaitu
sejenis perabotan rumah tangga yang disebut dengan “meja” dan “kursi” dan keduanya
benar-benar ada acuannya dalam dunia nyata. Sedangkan nonreferensial adalah kata-kata
yang tidak memiliki referen. Contohnya kata “karena” dan “tetapi”.

Adapun makna denotatif dan konotatif dibedakan dari ada atau tidak adanya “nilai
rasa” pada sebuah kata. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata
tersebut mempunyai ‘nilai rasa’ baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa
maka dikatakan tidak memiliki konotasi. (Chaer 2013). Makna denotatif (referensial)
merupakan makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya dan sesuai
dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Contohnya kata “istri” dan “bini” memiliki makna denotasi yang sama
yaitu ‘wanita yang mempunyai suami’. Adapun makna konotatif adalah makna tambahan
terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu. Contohnya kata
“merah” memiliki makna dasar yaitu warna, sedangkan kata “merah” memiliki makna
konotatif yaitu berani atau sesuatu yang dilarang. Sementara itu, penggunaan makna kata
baru menjadi jelas ketika kata tersebut sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya.

31
Misalnya makna dari kata “air” sesungguhnya belum diketahui sebelum kata tersebut
berada pada konteksnya. Apakah air yang berada di sumur, di gelas atau air hujan. Oleh
karena itu makna kata masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas. Sedangkan makna istilah
memiliki makna yang pasti, jelas dan tidak meragukan meskipun tanpa konteks kalimat dan
bersifat khusus. Contohnya kata “telinga” dan “kuping” adalah sinonim. Namun kedua kata
itu berbeda dibidang kedokteran, “telinga” adalah bagian dalam dari alat pendengaran
sedangkan “kuping” memiliki makna bagian luar dari alat pendengaran tersebut.
Selanjutnya, makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang
sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas asosiasi atau hubungan apa pun.
Contohnya “rumah” memiliki makna konseptual bangunan tempat manusia tinggal.
Sedangkan makna asosiatif disebut juga makna kiasan atau pemakaian kata yang tidak
sebenarnya dan makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata
dengan keadaan diluar bahasa. (Chaer 2013) Misalnya kata “bunglon” berasosiasi dengan
makna orang yang tidak berpendirian tetap.

Makna idiomatik adalah makna sebuah satuan bahasa yang menyimpang dari makna
leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Adapun yang dimaksud dengan
idiom adalah satuan-satuan bahasa yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna
leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Misalnya,
membanting tulang artinya bekerja keras dan koran kuning yang artinya koran yang memuat
berita sensasi. Sementara itu, peribahasa memiliki makna yang masih dapat diramalkan,
ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli
dengan makna peribahasa. Contohnya, “Bagai anjing dengan kucing” yang bermakna dua
orang yang tidak pernah akur. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang kucing dan
anjing dalam sejarah kehidupan merupakan dua ekor binatang yang jika bertemu selalu
berkelahi.

Adapun semua bentuk bahasa (baik kata, frase atau kalimat) yang tidak merujuk pada
arti sebenarnya (arti leksikal, konseptual atau denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi,
bentuk-bentuk seperti “putri malam” memiliki arti “bulan” dan “raja siang” berarti
“matahari” memiliki arti kiasan.

32
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian library research (studi
pustaka) yang mana dalam pengumpulan datanya mengandalkan berbagai buku ataupun
jurnal. Dalam hal ini, penulis mengumpulkan data dan informasi dengan mencari berbagai
literatur dari buku, jurnal, artikel dan tulisan-tulisan tertentu yang berkaitan dengan
pembahasan. Kemudian, setelah data terkumpul peneliti menganalisis data dengan
menggunakan metode content analysis (analisis isi).

Dalam penelitian yang penulis lakukan ini ada dua sumber data, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku
Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer karya Moh. Matsna. Adapun sumber data
sekundernya adalah berbagai buku dan artikel jurnal terkait hakikat makna dan hubungan
antar makna dalam kajian semantik Bahasa Arab.

Hasil Dan Pembahasan Hakikat Makna Makna bahasa memiliki keterkaitan dengan
lafaz (bentuk kata), struktur (tarkῑb), dan konteks (siyᾱq) situasi dan kondisi. Makna kata
suatu bahasa tidak dapat dipisahkan dari akar kata, penunjukan, dan konteks
penggunaannya. Oleh karena itu, terdapat delapan teori tentang makna dalam ‘ilm al-dilᾱlah,
yaitu: 1. Al-Nazhāriyyah al-Isyāriyyah Al-Nazhāriyyah al-isyāriyyah disebut juga dengan
“Al-Nazhāriyyah alismiyyah bi al-makna” (theory of meanings naming) atau teori
referensi/korespondensi adalah teori yang merujuk pada segitiga makna yang dikemukakan
oleh Odgen dan Richards. (Matsna 2016).

Makna adalah hubungan antara reference (pikiran, makna) dan referent (rujukan) di
alam nyata yang disimbolkan lewat bunyi bahasa (baik berupa kata, frasa atau kalimat).
Unsurunsur makna diilustrasikan sebagai berikut: konsep/isi pikiran/makna (reference)
simbol/kata Alam nyata/dunia luar rujukan (referent) Segitiga diatas menggambarkan bahwa
pikiran sebagai unsur yang mengadakan signifikansi sehingga dapat menghadirkan makna
tertentu memiliki hubungan langsung dengan acuan/rujukan. Adapun simbol merupakan
rujukan terhadap alam nyata. (Chaer 2013). Dalam ujaran bahasa Arab, misalnya: Masjid
Nabawi adalah masjid yang dibangun oleh Nabi SAW dan para sahabatnya di Madinah.
(Matsna 2016). Oleh karena itu, fungsi bahasa menurut teori ini adalah sebagai wakil realitas
yang menyertai proses berpikir manusia secara individual. 2. Al-Nazhāriyyah al-
Tashāwwuriyyah (Teori Konsepsional) Al-Nazhāriyyah al-Tashāwwuriyyah adalah teori

33
semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip konsepsi yang ada pada pikiran
manusia, disebut juga teori mentalisme dan teori pemikiran, karena kata itu menunjuk pada
ide yang ada dalam pemikiran.

Karena itu, penggunaan suatu kata hendaknya merupakan penunjukan yang


mengarah kepada pemikiran. (Matsna 2016). 3. Al-Nazhāriyyah al-Sulūkiyyah (Teori
Behaviorisme) Al-Nazhāriyyah al-Sulūkiyyah adalah teori semantik yang memfokuskan
kajian makna bahasa sebagai bagian dari perilaku manusia yang merupakan menifestasi dari
adanya stimulus dan respons. Teori ini mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech
event) yang berlangsung dalam speech situation disebut speech act. Penentuan makna dalam
speech act menurut John Searle harus bertolak dari kondisi dan situasi yang
melatarbelakangi munculnya respons.

Unit ujaran yang berbunyi: Masuk! misalnya, dapat berarti “di dalam garis” bila
dalam pertandingan bulu tangkis, “silahkan masuk ke dalam” bila tuan rumah
memperkenankan tamu untuk masuk ke dalam rumah, dan “berhasil” bagi yang main lotre.
Jadi, makna kata bisa beragam jika disesuaikan dengan latar situasi, kondisi, dan bentuk
interaksi sosial. 4. Al-Nazhāriyyah al-Siyāqiyyah (teori kontekstual) Al-Nazhāriyyah al-
Siyāqiyyah adalah teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa saling berkaitan satu
sama lain diantara unit-unitnya dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Teori
yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi
oleh empat konteks, yaitu konteks kebahasaan,

emosional, situasi dan kondisi, serta sosiokultural. (Matsna 2016). Konteks


kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna
yang bebeda, seperti taqdim (posisi didahulukan) dan ‫ ” قراءة الكتاب أمتها‬dengan berbeda” ‫أمحد‬
‫ "أمت ق__راءة الكت__اب‬:seperti), diakhirkan (khir’ta ‫ أمحد‬.“Konteks emosional dapat menentukan
makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti
dua kata yang berarti “membunuh”, yaitu: “‫“ اغتال‬dan “‫ قتل‬.“Konteks situasi adalah situasi
eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi.
Adapun konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang berbeda dari makna
leksikalnya. Dapat dilihat dari peribahasa "‫" الزاب السيل بلغ‬yang mempunyai makna “nasi telah
menjadi bubur” bukannya “air bah telah mencapai tempat yang tinggi”. 5. Al-Nazhāriyyah

34
al-Tahlīliyyah (Teori Analitik) Al-Nazhāriyyah al-Tahlīliyyah adalah teori yang
menitikberatkan pada analisis kata ke dalam komponen-komponen.

Analisis ini dimaksudkan untuk membedakan kata maupun maknanya. Tiga kata
kunci analisis yaitu batasan nahwu, batasan semantik, dan pembeda. 6. Al-Nazhāriyyah al-
Taulīdiyyah (Generative Theory) Teori yang dipelopori oleh Noam Chomsky ini adalah
teori yang didasarkan pada asumsi bahwa otomatisasi generasi/pelahiran kalimat-kalimat
yang benar itu dapat dilakukan berdasarkan kompetensi pembicara/penulis, dalam artian
bahwa kaidah bahasa yang benar yang ada dalam pikiran seseorang dapat memproduksi
berbagai kalimat yang tak terbatas. 7. Al-Nazhāriyyah al-Wadh’īyyah al-anthiqiyyah fi al-
Makna (Teori Situasional Logis) Menurut teori yang dikembangkan oleh Chilik, makna
suatu pernyataan adalah kesesuaiannya dengan fakta, sehingga menunjukkan kebenaran
pernyataan itu dalam situasi empiris. Karena itu, teori ini juga disebut alnazhariyyah al-
tajrībiyyah fi al-makna (teori empiris tentang makna) yaitu melalui isyarat (referensi)
terhadap benda atau yang dinamai yang ada di dunia eksternal (diluar pikiran), kesepadanan
atau sinonim, khususnya untuk kata-kata yang mengandung arti empiris, seperti: ،‫ كرة‬،‫شجرة‬
‫ ابب‬dan sebagainya, serta penggunaan konteks kebahasaan, khususnya untuk kata-kata yang
tidak mempunyai referensi situasionalnya, seperti: ‫ إذا‬،‫ اآلن‬،‫ من‬dan sebagainya. 8. Al-
Nazhāriyyah al-Brajmātiyyah (Teori Pragmatisme) Al-Nazhāriyyah al-Brajmātiyyah adalah
teori yang dirintis dan dikembangkan oleh Charles Pierce dari teori situasional logis atas
dasar pengamatan langsung dan kesesuaian makna dengan realitas empiris.

Aliran listrik tidak berarti mengalirnya gelombang yang tak terlihat pada materi
tertentu, melainkan bermakna sejumlah realitas, contohnya: kemampuan pembangkit listrik
dapat mengangkut sesuatu, membunyikan bel, menggerakkan alat dan sebagainya. Jadi,
makna dari “‫“ كه__رابء‬adalah fungsi pragmatisnya, bukan bendanya itu sendiri. Teori ini
didasari oleh teori semiotik. Makna dipahami sebagai sistem semiotik yang mengandung
tanda-tanda kebahasaan dan non-kebahasaan, seperti simbol, ikon dan indikasi. (Matsna
2016) Kata “Asap” )‫) الدخان‬merupakan tanda adanya api )‫) النار‬atau tanda adanya bahaya.
Penggunaan tanda dan makna yang terkandung dibaliknya adalah untuk komunikasi dan
penyampaian informasi (fungsi pragmatis bahasa) dikalangan anggota masyarakat.
Hubungan Antar Makna Pada setiap bahasa seringkali kita temui adanya hubungan

35
kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata
atau satuan bahasa yang lain.

Pada dasarnya prinsip relasi makna terdiri dari empat jenis, yaitu: (Tarigan 2009). 1.
Prinsip kontiguitas, yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa beberapa kata dapat memiliki
makna sama atau mirip. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut
sinonimi. 2. Prinsip komplementasi, yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa makna kata yang
satu berlawanan dengan makna kata yang lain. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi
makna yang disebut antonimi. 3. Prinsip overlaping, yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa
satu kata memiliki makna yang berbeda atau kata-kata yang sama bunyinya tetapi
mengandung makna berbeda. Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang
disebut homonimi dan polisemi. 4. Prinsip inklusi, yaitu prinsip yang menjelaskan bahwa
makna satu kata mencakup beberapa makna kata lain.

Prinsip ini dapat menimbulkan adanya relasi makna yang disebut hiponimi. Adapun
hubungan atau relasi kemaknaan ini menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan
makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas). Ketercakupan makna
(hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi) dan lain sebagainya.
(Chaer 2013). Berikut adalah penjelasannya: 1. Sinonimi/al-tarāduf Secara etimologi kata
sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu onoma yang berarti “nama”, dan syn yang
berarti “dengan”. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti “nama lain untuk benda atau hal
yang sama”. Secara semantik sinonimi didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata,
frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contohnya adalah kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim.

Bunga, kembang dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim. Mati, wafat,
meninggal dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim. Contoh dalam bahasa
Arab adalah pada kata ‫ اإلنسان‬dan ‫ البشر‬yang bermakna sama yaitu manusia. Hubungan makna
antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, apabila ujaran A bersinonim
dengan B maka B bersinonim dengan A. Contohnya kata bunga = kembang, sama dengan

36
kembang = bunga. Begitu juga kata buruk = jelek, sama dengan jelek = buruk. Akan tetapi
dua buah kata yang bersinonim itu kesamaannya tidak 100%, hanya kurang lebih saja.

Faktor-faktor penyebab ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya


tetapi tidak akan sama persis dan tidak dapat dipertukarkan adalah sebagai berikut: (Chaer
2011) a) Faktor waktu, contohnya: hulubalang dan komandan. b) Faktor tempat atau daerah,
contohnya: saya dan beta. c) Faktor keformalan, contohnya: uang dan duit. d) Faktor sosial,
contohnya: saya dan aku. e) Faktor bidang kegiatan, contohnya: tasawuf, kebatinan dan
mistik serta kata matahari dan surya. f) Faktor nuansa makna, contohnya: melihat, melirik,
melotot, meninjau dan mengintip.

Adapun sebuah kata dalam bahasa Arab juga memiliki sinonim yang banyak.
Banyaknya sinonim dalam bahasa Arab disebabkan oleh beragamnya suku-suku bangsa
Arab dan semangat para penyusun kamus. Beraneka ragamnya suku menyebabkan beraneka
ragamnya dialek dan kosakata. Beraneka ragamnya kosakata berarti beraneka ragamnya
sinonim. Adapun penyebab lainnya adalah karena berkembangnya bahasa dan karena tidak
adanya baris/syakl/harakat di dalam buku-buku orang Arab jaman dahulu. (Matsna 2016).
Moediono (Matsna 2016) menyebutkan bahwa gejala kemiripan makna (sinonim)
disebabkan oleh sekurang-kurangnya tiga hal, yaitu: a) Kemiripan makna yang disebabkan
oleh perbedaan dialek. Contohnya kata ‫ خلق‬yang bermakna menciptakan bersinonim dengan
‫ صنع‬yang maknanya membuat dan ‫ دكان‬yang bermakna kedai bersinonim dengan ‫ حانوت‬yang
berarti warung. b) Kemiripan makna muncul dengan bahasa yang berbeda.

Contohnya pada kata ‫ زوجة‬yang berarti istri bersinonim dengan ‫ ثوية‬yang berarti bini
dan kata ‫ م__ات‬yang berarti mati bersinonim makna dengan ‫ تويف‬yang berarti wafat. c)
Kemiripan makna yang berasal dari jangka dan masa yang berbeda. Contohnya pada kata
‫ مقهى‬yang berarti tempat minum kopi bersinonim dengan ‫ قهفى‬yang berarti kafe. 2.
Antonimi/al-tadhādd Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
“nama”, dan anti yang berarti “melawan”. Maka secara harfiah antonim berarti “nama lain
untuk benda lain pula”. (Matsna 2016). Antonim adalah hubungan semantik dua buah satuan
ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain.
Misalnya kata besar berantonimi dengan kata kecil dan kata membeli berantonimi dengan

37
kata menjual. Para linguis Arab klasik mendefinisikan al-tadhadd (antonim) sebagai satu
kata yang menunjukkan dua makna yang berlawanan.

Dalam bahasa Arab dapat kita jumpai kata ‫ طويل‬sebagai lawan dari kata ‫ قص__ري‬.
Adapun menurut Chaer antonim sering juga disebut dengan istilah oposisi makna, yang
berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan sebagai berikut: (Chaer 2013). a) Antonim
mutlak, contohnya: diam berlawanan dengan bergerak b) Antonim kutub (relatif/bergradasi),
contohnya: kaya berlawanan dengan miskin c) Antonim hubungan (relasional), contohnya:
suami berlawanan dengan istri d) Antonim hierarkial, contohnya: tamtama berlawanan
dengan bintara e) Antonim majemuk, contohnya: berdiri berlawanan dengan duduk,
berbaring, tiarap dan berjongkok. Selanjutnya, Verhaar membedakan antonim berdasarkan
sistemnya, yaitu: (Verhaar 1996). a) Antonim antarkalimat, contoh: Dia cantik dan dia tidak
cantik. b) Antonim antarfrase, contoh: Secara teratur dan secara tidak teratur. c) Antonim
antarkata, contoh: Kuat dan lemah, kencang dan lambat. d) Antonim antarmorfem, contoh:
Thankful dan thankless, yang berantonim adalah morfem ful dan les.

Sedangkan Fromkin dan Rodman mengemukakan bahwa antonimantonim yang


beraneka ragam itu dapat diklasifikasikan atas beberapa pasangan, yakni: (Matsna 2016). a.
Antonim binary (complementary) Komplementer yaitu pasangan yang saling melengkapi.
Yang satu tidaklah lengkap atau tidak sempurna bila tidak dibarengi oleh yang satu lagi.
Sebagai contoh, kata suami berantonim dengan kata istri. Dalam bahasa Arab contohnya
kata ‫ رجل‬yang berarti laki-laki berlawanan makna dengan kata ‫ مرءة‬yang berarti wanita. b.
Antonim bertingkat (gradable) Suatu antonim disebut pasangan bertingkat apabila
penegatifan suatu kata tidaklah bersinonim dengan kata yang lain. Biasanya dipakai dalam
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kadar atau tingkat. Sebagai contoh dalam
suasana pasar, rajin berlawanan dengan malas dan berat lawan dari kata ringan. Dalam
bahasa Arab contohnya kata ‫ كبري‬yang berarti besar berlawanan dengan ‫ متوسط‬dan ‫صغري‬
yang berarti kecil. c. Antonim timbal balik (relation opposites) Antonim timbal balik
merupakan antonim yang memperlihatkan kesimetrisan dalam makna anggota pasangannya,
karena tidak hanya bertentangan dalam makna tetapi juga secara fungsional berhubungan
erat, hubungan itu justru hubungan timbal balik. Sebagai contoh, kata guru dan murid.
Contoh dalam bahasa Arab adalah kata ‫ طبيب‬yang berarti dokter berlawanan makna dengan

38
‫ مريض‬yang berarti pasien. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua
tataran bahasa, yaitu tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

Dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, antonim biasa disebut lawan kata.
Tetapi sebagian besar tidak setuju dengan istilah ini sebab pada hakikatnya yang berlawanan
bukan kata-kata itu sendiri, melainkan makna dari kata-kata itu. Dari uraian di atas dapat
dilihat bahwa antonim pun, sama halnya dengan sinonim, yaitu tidak bersifat mutlak. Jadi,
hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan. 3. Homonimi/isytarᾱk al lafdzi Kata
hominimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan hono yang
artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda
atau hal lain’.

(Chaer 2013). Secara semantik, Verhaar memberi definisi homonimi sebagai


ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain
(juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Jadi, hominim adalah dua
kata kebetulan bentuk, ucapan dan tulisannya sama tetapi berbeda makna. (Verhaar 1996).
Contohnya antara kata pacar yang berarti inai dengan pacar yang memiliki arti kekasih.
Hubungan antara kata pacar dengan arti inai dan kata pacar dengan arti kekasih inilah yang
disebut homonim. Dalam bahasa Arab contohnya terdapat pada kata ‫ د اجل‬yang memiliki arti
kakek, bagian, nasib baik, rizki, kemuliaan dan permukaan tanah (tepi sungai). Pada kasus
homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf.

Homofon adalah dua kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan
ejaannya, dengan makna yang berbeda. Contohnya kata Bang yang berarti sebutan untuk
saudara laki-laki dan kata Bank yang berarti tempat penyimpanan dan pengkreditan uang.
Sedangkan homograf adalah dua kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan
maknanya berbeda. Contohnya kata Apel yang berarti buah dengan Apel yang berarti
upacara. 4. Hiponimi Hiponimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onoma berarti nama
dan hypo berarti dibawah. Secara harfiah hiponimi berarti nama yang termasuk dibawah
nama lain. Sedangkan secara semantik Verhaar menyatakan hiponimi adalah ungkapan yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.

39
(Chaer 2013). Misalnya kata bandeng adalah hiponim terhadap kata ikan sebab
makna bandeng berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Bandeng memang ikan tetapi
ikan bukan hanya bandeng, tetapi juga termasuk tenggiri, tongkol, teri dan lain sebagainya.
Relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini bersifat searah. Kata bandeng berhiponim
terhadap kata ikan, tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata bandeng, sebab makna
ikan meliputi seluruh jenis ikan. Contoh dalam bahasa Arab kata ‫ دراجة‬adalah hiponim
terhadap kata ‫مركبة‬. ‫ مركب__ة‬bukan hanya ‫ دراجة‬,tetapi juga termasuk ‫ سي‬, ‫ ارة ع__رابت‬dan lain
sebagainya. 5. Polisemi/musytaroku al lafdzi Adalah relasi makna satuan bahasa (kata/frase)
yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda
tetapi masih dalam satu aluran arti.

Makna pertama adalah makna leksikal, makna denotatif dan makna konseptualnya.
Sedangkan yang lainnya adalah makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu
komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran. (Chaer 2013). Jadi, makna pada
polisemi masih berkaitan satu sama lain. Contohnya rambut di kepala nenek sudah putih.
(Kepala yang berarti bagian tubuh yang paling atas) dan pak Harjo adalah seorang kepala
sekolah. (Kepala yang menyatakan pimpinan). Adapun contohnya dalam bahasa Arab adalah
‫ امالل رأس‬yang berarti modal dan ‫ األب رأس‬yang berarti kepala bapak. 6. Ambiguitas
Ambiguistas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti pada frase atau kalimat yang terjadi sebagai akibat kegandaan makna atau penafsiran
struktur gramatikal yang berbeda, tergantung jeda dalam kalimat.

(Sukamta 2012). Contohnya pada kalimat guru baru datang dapat diartikan guru baru
itu datang, dapat juga diartikan guru itu baru datang. Contoh dalam kalimat bahasa Arab
‫ القريب اخوه ايت‬dapat diartikan saudaranya yang dekat secara hubungan darah atau bisa jadi
saudara yang rumahnya dekat. 7. Redundasi Redundasi adalah penggunaan unsur segmental
dalam suatu bentuk ujaran secara berlebihan. (Chaer 2013). Contohnya: Bola itu ditendang
oleh Hamdan tidak akan berbeda maknanya dengan Bola itu ditendang Hamdan. Contoh
dalam bahasa Arab pada kalimat ‫ سورااباي مدينة إىل ذهبت‬tidak akan berbeda .‫ذهبت إىل سورااباي‬
dengan maknanya Memang dalam ragam bahasa baku dituntut untuk menggunakan katakata
secara efisien, sehingga kata yang berlebihan jika tidak menguragi atau mengganggu makna

40
(lebih tepat informasi) harus dibuang, tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan
unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.

BAB III

41
KESIMPULAN

A. Simpulan
Makna bahasa pada hakikatnya terkait dengan lafaz (bentuk kata), struktur kalimat
(tarkῑb), dan konteks (siyᾱq) situasi dan kondisi. Makna sebuah kata dapat ditentukan
apabila kata tersebut sudah berada dalam konteks kalimatnya.
Adapun hubungan antar makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara
satuan bahasa yang satu dengan yang lain, yang memperlihatkan adanya persamaan,
pertentangan, kegandaan makna dan lain sebagainya. Hubungan atau relasi makna ini
menyangkut hal-hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonim), kegandaan
makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna
(homonimi), dan kelebihan makna (redundansi).

DAFTAR PUSTAKA

42
Chaer, Abdul. 2011. Psikolonguistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Chaer,
Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Herniti, Eneng, Sri H, dan Navilah A. 2005. Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga.
Kuntarto, Eko. 2017. Telaah Linguistik untuk Guru Bahasa. Jambi: Universitas Jambi.
Matsna, Moh. 2016. Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia
Group. Sukamta. 2012. “Kompleksitas Hubungan antara Wazan dan Makna (Kajian terhadap
Variasi Wazan dan Ambiguitas Bentuk Kata dalam Bahasa Arab).” Adabiyyat XI. Suwandi, dan
Sarwiji. 2008. Serbalinguistik (Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa). Surakarta: LPP UNS dan
UNS Press. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. Ulmann,
Stephen. 2012. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Verhaar. 1996. Asas-Asas
Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

KONSEP MAKNA BERDASARKAN BEBERAPA PENDEKATAN DAN TEORI


LINGUISTIK
Mine Riset

43
DI SUSUN OLEH:

Nama : Martalena Ziliwu


Kelas :B
M,P : Sematik
Nim : (192124044)

Dosen Pengampu : Arozatulo Bawamenewi, S.Pd, M.Pd

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI (FPBS)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

T.A.2020/2021

KATA PENGANTAR

44
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa  atas berkat dan
rahmat-Nya yang dianugerahkan kepada penulis sehingga pada kesempatan ini penulis dapat
menyelesaikan tugas yang telah penulis diskusikan bersama dengan tepat pada waktunya.

Penulis juga berterima kasih pada dosen pengampu mata kuliah Semantik, yang telah
mengajarkan penulis hal-hal yang memperbaharui pengetahuan kami mengenai Semantik.
Dengan diberikannya tugas reviuw ini, kami dapat saling bertukar informasi maupun berbagi
informasi mengenai “Konsep Makna Berdasarkan Beberapa Pendekatan dan Teori
Linguistik.”

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca dan dari dosen pengampu mata kuliah Semantik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca “ Konsep Makna Berdasarkan
Beberapa Pendekatan dan Teori Linguistik”. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Gunungsitoli, Nov, 2020.

Martalena Ziliwu

DAFTAR  ISI

45
KataPengantar........................................................................................................1 

Daftar  Isi..............................................................................................................2  

Bab I Pendahuluan..................................................................................................3

A. Latar Belakang ..........................................................................................3

B. Rumusan Masalah.......................................................................................3

C. Tujuan.......................................................................................................6

Bab II Konsep Makna Melalui Beberapa Pendekatan Dan Teori

Linguistik................................................................................................................   

A. Pengertian Makna........................................................................................6

B. Pendekatan Makna.......................................................................................7

C. Pendekatan Makna.......................................................................................7

D. Pendekatan Makna.......................................................................................9

Bab III Penutup........................................................................................................11

A. Kesimpulan ................................................................................................11

B. Saran..........................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12

BAB I

46
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan makna merupakan persoalan yang menarik dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya saja reklame yang dipasang di tepi jalan yang bertuliskan /lezat/. Pada mulanya
orang tidak memahami apa yang dimaksud oleh pemasang iklan. Lama-lama orang mengerti
juga, yang dimaksud  enak dan sedap. Ketidakmengertian itu muncul karena penulisan yang
tampak. Seandainya ditulis enak tentu segera dipahami.

Di depan lampu pengatur lalu lintas sering tertera urutan kata: “Belok kiri jalan
terus.” Untuk pemakai jalan tidak menafsirkannya berjalan terus atau lurus yang akan
mengakibatkan tabrakan, tetapi menafsirkannya: “Jika ingin membelok ke kiri
diperbolehkan berjalan terus.”

Seorang yang berbudaya Jawa berkata kepada seseorang yang berbudaya Gorontalo,


“Mari, Pak!” Orang Gorontalo yang mendengar urutan kata itu langsung berdiri dan karena
orang yang berkata “Mari, Pak tadi mengendarai sepeda”, maka orang Gorontalo itu
langsung membonceng. Orang yang berbudaya Jawa terkejut dan bertanya, “Bapak mau ke
mana?” Dijawab oleh si Gorontalo, “Bapak kan mengatakan mari Pak”. Orang Gorontalo itu
mengira ia diajak; padahal urutan kata: “Mari Pak”, bagi yang berbudaya Jawa merupakan
ungkapan untuk meminta izin lewat jalan.

Kasus-kasus tersebut masih boleh diperpanjang. Kasus-kasus semacam itu


memperlihatkan adanya beban yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan, yakni makna.
Oleh karena itu, soal makna yang merupakan objek semantik akan dibahas dalam makalah
ini.

47
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini adalah:

1. Apa itu makna?


2. Apa saja pengertian makna menurut para ahli?
3. Bagaimana pendekatan dari pada makna?
4. Bagaimana pengertian makna melalui pendekatan linguistik?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui pengertian makna.
2. Untuk mengetahui pengertian makna menurut para ahli.
3. Untuk mengetahui pendekatan dari makna.
4. Untuk mengetahui pengertian makna melalui pendekatan linguistik.

BAB II

48
Konsep Makna Melalui Beberapa Pendekatan Dan Linguistik

A. Pengertian Makna
Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Bentuk
makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang
ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Istilah makna walaupun membingungkan,
sebenarnya lebih dekat dengan kata. Sering kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya
kalimat ini?

Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :

1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia
atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau
antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001:
132).

Di dalam buku The meaning (Ogden dan Richards, 1972: 186-187) telah


dikumpulkan ada 16 dari batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami
makna kata tertentu ia dapat mencari kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang
disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang
terdapat di dalam kamus sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan
kalimat. Dengan kata lain, setiap kata kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya
kadang-kadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal ini
muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, metafora,
peribahasa, dan ungkapan.

B. Pengertian Makna Menurut Para Ahli

49
Saussure (Chaer, 2007:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian
atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.

Saussure (1994:286) mengungkapkan bahwa makna adalah pengertian atau konsep


yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.

Shipley (1962: 261) berpendapat bahwa, jika seseorang menafsirkan makna sebuah


lambang, berarti ia memikirkan sebagaimana mestinya tentang lambang tersebut; yakni
suatu keinginan untuk menghasilkan jawaban tertentu dengan kondisi-kondisi tertentu pula.

Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki
kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.

C. Pendekatan Makna
Makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekatan analitik atau
referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik ingin mencari makna dengan
cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional ingin
mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih menekankan,
bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari.

Di depan telah dikatakan bahwa pendekatan analitik ingin menguraikan makna


dengan jalan segmentasi. Ambillah contoh kata istri.

Dilihat dari pendekatan analitik, kata istri dapat diuraikan menjadi:

1. Perempuan.
2. Telah bersuami.
3. Kemungkinan telah beranak.
4. Manusia.
5. Ramah-tamah.
6. Berambut panjang.
7. Berfungsi sebagai pendamping suami.
8. Hak dan kewajibannya tidak berbeda dengan hak dan kewajiban suami.

50
Jika kata “istri” dilihat dari segi pendekatan operasional, akan terlihat dari
kemungkinan-kemungkinan pemunculannya dalam kalimat-kalimat, misalnya sebagai
berikut:

 Si Dula mempunyai istri.


 Istri si Ali telah meninggal.
 Banyak istri yang telah bekerja di kantor.
 Apakah istrimu sudah naik haji?
Tetapi tidak mungkin orang mengatakan:
 Istri Ali berkaki tiga.
 Istri tidak pernah melahirkan.

 Pendekatan operasional menggunakan tes substitusi untuk menentukan tepat


tidaknya makna sebuah kata. Misalnya, apakah kata memberitakan sama dengan makna kata
memberitahukan, dan apakah kata sebab sama maknanya dengan kata “karena” Untuk itu
dicoba dengan tes (khusus kata sebab dan karena):

 Ia sakit karena mandi hujan.


 Ia sakit karena mandi hujan.

Terlihat bahwa kata “sebab” maupun kata “karena” dapat digunakan dalam kedua


kalimat ini.

Selain dua pendekatan ini, pendekatan makna dapat dilihat pula dari hubungan-
hubungan fungsi yang berbeda di dalam bahasa. Pada umumnya orang membedakan
pendekatan ekstensional (extensional) dan pendekatan intensional (intensional).

Yang dimaksud dengan pendekatan ekstensional ialah pendekatan yang memusatkan


perhatian pada struktur-struktur konseptual yang berhubungan dengan unit-unit utama
(bandingkan dengan pendekatan analitik).

Pendekatan ekstensional boleh saja menunjuk pada keseluruhan, kejadian, abstraksi


atau reaksi pembicara terhadap satuan-satuan. Misalnya kita melihat kendaraan bertabrakan,
maka dengan cepat kita berkata “Ada kecelakaan.” Analisis kita segera berhubungan dengan
(i) pola-pola yang hadir bersama-sama, (ii) substitusi, binatang – kucing; dan (iii) lawan

51
kata. Pada peristiwa tabrakan tadi, kita mengetahui bahwa kejadian seperti itu namanya
tabrakan. Dengan kata lain kita mengerti makna kata tabrakan, bertabrakan.

Sebaliknya, pendekatan intensional memusatkan perhatian pada struktur-struktur


konseptual yang berhubungan dengan unit linguistik tertentu dan meramalkan bagaimana
unit-unit tersebut dapat digunakan di dalam usaha memaknakan acuan tertentu. Pendekatan
intensional di dasarkan pada prosedur mengontraskan dan membandingkan.

D. Pengertian Makna Melalui Pendekatan Linguistik


a. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa (leksem) sebagai lambang benda,
peristiwa, obyek, dan lain-lain. Makna ini dimiliki unsur bahasa lepas dari penggunaan atau
konteksnya. Misalnya:

kata tikus bermakna "binatang pengerat yang bisa menyebabkan penyakit tifus".
Makna ini akan jelas dalam kalimat berikut.

 Kucing makan tikus mati.


 Tikus itu mati diterkam kucing.
 Panen kali ini gagal akibat serangan tikus.

Jika kata tikus pada ketiga kalimat di atas bermakna langsung (konseptual), maka
pada kalimat berikut bermakna kiasan (asosiatif ).

“Yang menjadi tikus di kantor kami ternyata orang dalam”.

b. Makna Langsung atau Konseptual atau Denotatif


makna kata atau leksem yang didasarkan atas penunjukkan yang langsung (lugas)
pada suatu hal atau obyek di luar bahasa. Makna langsung atau makna lugas bersifat
obyektif, karena langsung menunjuk obyeknya.

 Contoh berikut secara konseptual bermakna sama, tetapi secara asosiatif bernilai
rasa yang berbeda.

 wanita = perempuan
 gadis = perawan
 kumpulan = rombongan = gerombolan
 karyawan = pegawai = pekerja

52
Berdasarkan luas tidaknya cakupan makna yang dikandungnya, makna langsung
dapat dibedakan atas makna luas dan makna sempit.

c. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna struktural yang munculsebagai akibat hubungan
antara unsur-unsur gramatikal dalamsatuan gramatikal yang lebih besar. Misalnya,
hubungan morfemdan morfem dalam kata, kata dan kata lain dalam frasa atauklausa, frasa
dan frasa dalam klausa atau kalimat.

53
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas
unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Makna merupakan hubungan
antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga
dapat saling dimengerti. Batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena
setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam
memaknai sebuah ujaran atau kata.

Makna dapat dibicarakan dari dua pendekatan, yakni pendekatan analitik atau
referensial dan pendekatan operasional. Pendekatan analitik ingin mencari makna dengan
cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional ingin
mempelajari kata dalam penggunaannya. Pendekatan operasional lebih menekankan,
bagaimana kata dioperasikan di dalam tindak fonasi sehari-hari.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, wawasan pembaca mengenai konsep makna
melalui beberapa pendekatan dapat bertambah dan kemudian para pembaca dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 

54
DAFTAR  PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Nusa Indah.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: PT Angkasa.

55
PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR SEMANTIK
Proyek

DI SUSUN OLEH:

Nama : Martalena Ziliwu


Kelas :B
M,P : Sematik Bahasa Indonesia
Nim : (192124044)

Dosen Pengampu : Arozatulo Bawamenewi, S.Pd, M.Pd

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI (FPBS)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
T.A.2020/2021

56
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada tuhan yang maha esa atas berkat dan
anugrah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas proyek penulis dengan judul
Pengembangan Model Materi Ajar Semantik sesuai waktu yang telah di tentukan.
Adapun tujuan penulis dalam tugas proyek ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sematik Bahasa Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen mata kuliah Sematik Bahasa
Indonesia yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam proses pembuatan
tugas proyek ini sehingga dapat menambah pengetahuan penulis serta pembaca.
Penulis menyadari dalam penyusunan tugas proyek ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis
nantikan demi kesempurnaan tugas proyek ini.

Gunungsitoli, Nov, 2020.

Martalena Ziliwu

57
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk model materi ajar
semantik sebagai mata kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan
FKIP Universitas Jambi. Pendekatan penelitian ini adalah pengembangan R and D (Research
and Development). Urgensi penelitian ini, pembelajar kurang menguasai materi ajar
semantik yang telah di ajarkan ditandai dengan rendah nilai yang diperoleh.
Kekurangmampuan ini, mengakibatkan tidak tercapainya visi, misi, dan tujuan yang telah
ditetapkan, tidak terpenuhi. Dengan demikian sangat perlu dilakukan penelitian dan perlu
pengembangan materi ajar semantik.

Hasil penelitian diperoleh gambaran berupa:

1. Model teoretik.
2. Gambaran tentang kebutuhan mahasiswa dan dosen pengfajar terhadap materi
ajar diperoleh melalui
o hasil analisis kurikulum.
o hasil analisis silabus, dan
o hasil analisis materi ajar semantik bahasa Indonesia.
3. gambaran silabus dan materi ajar semantik bahasa Indonesia yang telah
dikembangkan layak digunakan di Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia, sastra Indonesia, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jambi. Abstract:

The purpose of this research was to create a semantik teaching material product as
the a course for the Program of Language Education, Indonesian literure, and FKIP Jambi
University. The research approach used was research and development. The urgency of this
research was the fact that students did not master the semantic teaching material that had
been thought and the low mark obtained by the them.

This low ability resulted in not achieving the vision, mission, and the goal that have
been stated. Therefore, it is very important to conduct a research and develop semantic
teaching material. The result of the research show the description of (1) theoretical mode;(2)
the need of the students and lecturer to the teaching material obtained from the result of (a)
cirriculum anlysis, (b)syllabus analysis,and (c) Indonesian semantic teaching material; (3)

58
the description of syllabus and Indonesia semantic teaching material that has been developed
and proved to be appropriate to be used in the Program of Language Education, Sastra
Indonesia, and FKIP Jambi University. Kata kunci: Pengembangan, model materi ajar,
semantik bahasa Indonesia

TUJUAN Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah adalah:
(a) menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing di bidang Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah; (b) minat, bakat, apresiasi, dan kreativitas mahasiswa di bi- 2
LENTERA PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1 JUNI 2014: 1-17 dang Bahasa, Sastra Indonesia
dan Daerah yang tumbuh dan berkembang; (c) iklim yang kondusif bagi dosen untuk
melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi; dan (d) tenaga dosen berdaya menurut
keahliannya dalam membina dan mengembangkan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.

Kurikulum semantik Bahasa Indonesia yang digunakan di Program Studi Pendidikan


Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah sebagai berikut: (a) pembahasan makna dalam Bahasa
Indonesia yang mencakup: makna leksikal dan gramatikal, denotatif dan konotatif, lugas dan
kias, serta makna dasar dan ubahan; (b) pembahasan kerelasian makna dalam Bahasa
Indonesia mencakup: sinonimi dan antonimi, relasi polisemi dan homonimi; (c) pembahasan
pengertian perubahan makna, sebab-sebab perubahan makna, dan arah perubahan; (d)
pembahasan pengertian ungkapan tabu, jenis-jenisnya, dan strategi penghindarannya.

Kedudukan mata kuliah semantik pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra,
dan Sastra Daerah sebagai mata kuliah prasarat yang wajib diambil, diajarkan pada semester
empat dengan bobot 2 (dua) sks. Tujuan mata kuliah semantik, Mahasiswa mampu
memahami Semantik yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lisan
maupun tulisan. Oleh karena itu tujuan yang diharapkan dengan sajian mata kuliah pada
perkuliahan tersebut adalah agar mahasiswa mampu memahami semantik. Untuk memenuhi
hal tersebut, pada penelitian dilakukan dengan tujuan mendisain pengembangan materi ajar
yang memenuhi tuntutan itu.

Oleh karenanya sangat perlu dikembangkan suatu model materi ajar yang
refresentatif untuk dijadikan pegangan bagi pengajar dan pemelajar selain kurikulum di
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah. Nasution mengemukakan

59
bahwa buku pelajaran (materi ajar) merupakan salah satu alat teknologi pendidikan yang
memberi keuntungan antara lain: (1) membantu pengajar melaksanakan kurikulum, (2)
pegangan dalam menentukan metode pengajaran, (3) memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk mengulangi pelajaran atau mempelajari pelajaran baru, (4) memberikan
kontinuitas pelajaran di kelas yang berurutan sekalipun pengajar berganti.1 Begitu pula
Tarigan mengemukakan bahwa buku materi ajar adalah sarana belajar yang bisa digunakan
di sekolah-sekolah dan di Perguruan tinggi untuk menunjang suatu program pengajaran.2
Dengan pengembangan materi ajar secara sistemik dan berkesinambungan akan dapat
menghasilkan buku materi ajar semantik yang sangat dibutuhkan khususnya oleh pengajar
dan pemelajar di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah sehingga
kesulitan-kesulitan yang dialami pengajar dan pemelajar dalam mempelajari dan memahami
materi ajar semantik dapat diatasi dengan baik dengan memiliki buku materi ajar semantik,
di samping motivasi belajar.

Materi ajar yang memenuhi tuntutan visi, misi dan tujuan tersebut, tentu harus
memenuhi tuntutan kebutuhan pengajar dan pemelajar yang diharapkan sebagaimana yang
telah dijelaskan terdahulu. PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR SEMANTIK
(ADE KUSMANA) 3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah
mendapatkan model materi ajar semantik yang memenuhi kebutuhan pengajar dan pemelajar
yang dapat digunakan di Program Studi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP
Universitas Jambi.

KAJIAN TEORI Teori Semantik Objek kajian semantik yakni makna, berada di
seluruh atau di semua tataran yang bangun-membangun ini. Makna berada di dalam tataran
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Penamaan tataran untuk semantik agak kurang tepat,
sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur membangun satuan lain yang lebih besar,
melainkan merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu, meskipun kehadirannya
pada tiap tataran itu tidak sama. Para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah
makna ini, karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang sederajat dengan
tataran yang bangun-membangun itu. Hockett, salah seorang tokoh strukturalis menyatakan
bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaankebiasaan. 3 Sistem bahasa

60
terdiri atas lima subsistem, yaitu: subsistem gramatika, subsistem fonologi, subsistem
morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem fonetik.

Makna Leech menyatakan bahwa pembahasan pengertian makna (meanings of


meaning) sebagai awal studi yang penting pada semantik dan banyak dipermasalahkan
mengenai kata ‘meaning’ di dalam bahasa Inggris dan para ahli semantik.4 Lyons
menyebutkan bahwa memberikan makna suatu kata ialah dengan memahami kajian kata
berbeda dengan kata-kata lain. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari katakata
itu sendiri, yang cenderung terdapat di dalam kamus, sebagai leksem. 5 Sebuah kata yang
digunakan dalam konteks kalimat akan menngandung makna yang berbeda juga mempunyai
makna yang tidak sama.

Misal makna kata mengambil pada kalimat–kalimat berikut: 1. Semester ini saya
belum mengambil mata kuliah sintaksis. 2. Tahun ini kami akan mengambil sepuluh orang
pegawai baru. 3. Dia bermaksud mengambil gadis itu menjadi istrinya. 4. Sedikitpun saya
tidak mengambil untung. 5. Kita bisa mengambil hikmah dari kejadian itu. 6. Saya akan
mengambil gambar peristiwa bersejarah itu. 7. Diam–diam dia mengambil buku itu dari
tasmu. Kita tentu memahami bahwa kata mengambil pada ketujuh kalimat itu memiliki
makna yang tidak sama. Pada kalimat (1) kata mengambil bermakna ‘mengikuti’, pada
kalimat (2) bermakna “menerima”, pada kalimat (3) bermakna “menjadikan”, pada kalimat
(4) bermakna “memperoleh”, pada kalimat (5) “memanfaatkan”, pada kalimat (6) bermakna
“membuat/memotret”, dan pada kalimat (7) bermakna “mencuri”. 4 LENTERA
PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1 JUNI 2014: 1-17 Jenis Makna Berbagai nama jenis makna
telah dikemukakan oleh para pakar bahasa dalam berbagai buku linguistik atau semantik.

Kiranya jenis-jenis makna yang dibicarakan pada pembahasan berikut ini dapat
mewakili jenis-jenis makna yang pernah dibicarakan para pakar yaitu: makna lesikal,
gramatikal, kontekstual; makna referensial dan non-referensial serta deiktik; makna
denotatif, makna konseptual, dan makna asosiasi; makna kata dan makna istilah; dan makna
idiom dan pribahasa. Relasi Makna Relasi makna yang dimaksud adalah relasi makna atau
hubungan semantik antarsatuan bahasa. Satuan bahasa yang terlibat bisa level kata, frase,
klausa, dan kalimat.6 Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa yang dimaksud relasi makna
adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan

61
bahasa lainnya. Satuan bahasa dapat berupa kata, frase, maupun kalimat; dan relasi
semantik.

Berdasarkan sifat relasinya, relasi makna meliputi: menyatakan kesamaan makna


(sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (polisemi), kegandaan
makna (ambigu/ketaksaan) atau kelebihan makna (homonim), majas metafor. Perubahan
Makna Tarigan menyakan bahwa terjadinya perubahan semantik atau makna sering
bersamaan dengan perubahan sosial yang disebabkan oleh peperangan, perpindahan
penduduk, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya, dan faktorfaktor
lainnya.7 Ullmann menjelaskan bahwa faktor-faktor perubahan makna adalah (1) bahasa
diwariskan dari generasi ke generasi, dimana setiap anak harus mempelajarinya dan sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa anak-anak akan selalu salah memahai makna kata-kata.
(2) kesamaran dalam makna, berhubungan dengan makna, berhubungan dengan sifat generik
kata-kata kurangnya pengetahuan ketiadaan batas-batas merupakan penyebab perubahan
makna. (3) hilangnya motivasi. (4) eksistensi dari polisemi. (5) muncul dalam konteks
abiguitas dimana kata tertentu memiliki makna yang berbeda, (6) Struktur kosa kata, terdiri
dari sejumlah unit-unit terbesar jauh lebih leluasa dan unsur-unsur baru kata-kata maupun
makna dapat ditambahkan lebih bebas, sementara unsur-unsur yang sudah ada mudah untuk
dihilangkan.8 Berdasarkan pernyataan di atas bahwa terjadinya perubahan makna seiring
dengan perubahan sosial.

Dalam masa yang relatif singkat makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah,
tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. 1.
Pertama, perkembangan atau kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Umpama, kata
sastra pada mulanya bermakna ’tulisan, huruf, lalu berubah menjadi ’ba-
PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR SEMANTIK (ADE KUSMANA) 5 caan’;
kemudian berubah lagi menjadi bermakna ’buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’.
2. Kedua, perkembangan sosial budaya. Kata saudara, misalnya, pada mulanya ’seperut’
atau ’orang yang lahir dari kandungan yang sama’, tapi kini kata saudara digunakan juga
untuk menyebut orang lain sebagai kata sapaan sederajat. 3. Ketiga, perkembangan
pemakaian kata. Misal, kata menggarap dari bidang pertanian digunakan juga dalam bidang
lain dengan makna, ‘mengerjakan, membuat’. 4. Keempat, pertukaran tanggapan indaria.

62
Misal, rasa pedas yang seharusnya ditangkap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditangkap
oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran ‘kata-katanya sangat pedas’. 5. Kelima,
adanya asosiasi. Misal, kata amplop sebenarnya adalah ’sampul surat’, tetapi amplop juga
bermakna ‘uang sogok’. Medan Makna dan Komponen Makna Kata-kata yang berada dalam
satu kelompok lazim dinamai kata yang berada dalam satu medan makna atau satu makna
leksikal. Sedangkan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur-unsur makna
yang dimilikinya disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna, atau juga
analisis ciri-ciri leksikal.

Pengajaran Semantik Pengajaran semantik merupakan salah satu mata kuliah yang
wajib diambil di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah. Mata
kuliah ini ditawarkan pada semester IV dengan bobot 2 dua SKS. Tujuan mata kuliah
semantik agar pemelajar mampu memahami materi ajar semantik yang ada hubungannya
dengan kehidupan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan. Oleh karena itu tujuan yang
diharapkan dengan sajian mata kuliah pada perkuliahan tersebut adalah agar maha pemelajar
mampu memahami materi ajar semantik.

Semantik termasuk ilmu bahasa. Ilmu bahasa terdiri atas empat tataran, yaitu
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut dapat
dibagi menjadi dua bagian besar,yaitu tata bahasa (gramatika) atau struktur bahasa dan di
luar gramatika atau di luar struktur bahasa. Pengajaran semantik Bahasa Indonesia adalah
salah satu mata kuliah yang harus mahapemelajar pelajari dalam kelompok mata kuliah
kebahasaan.

Mata kuliah ini mencakup pembahasan tentang teori semantik secara umum dan
sistem makna bahasa Indonesia.9 Pengajaran semantik yang harus dipelajari adalah: 1.
Makna dalam Bahasa Indonesia yang mencakup: makna leksikal dan gramatikal, denotatif
dan konotatif, lugas dan kias, dan makna dasar dan ubahan, 2. Kerelasian makna yang
mencakup: sinonim, antonim, polisemi, hiponimi, dan homonimi, 3. Pengertian perubahan
makna, sebab-sebab perubahan makna, dan arah perubahan, 4. Pengertian ungkapan tabu,
jenis-jenisnya, dan strategi penghidarannya. 6 LENTERA PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1
JUNI 2014: 1-17 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini
dilaksanakan di Program studi Bahasa, Satra Indonesia, dan Satra Daerah FKIP Universitas

63
Jambi. Penelitian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemelajar dan pengajar, juga untuk
meningkatkan kualitas materi ajar semantik Bahasa Indonesia. Penelitian dilaksanakan mulai
bulan Pebruari sampai dengan Mei 2011. Metode Penelitian Dalam penelitian ini
mempunyai tujuan yakni dihasilkannya suatu produk model materi ajar semantik.

Untuk memenuhi tujuan penelitian tersebut penelitian ini perlu mendisain dengan
model pendekatan penelitian dan pengembangan R and D (research and development).
Penelitian pengembangan materi ajar semantik adalah penelitian yang dapat menghasilkan
produk, sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan
pengembangan menurut Borg dan Gall. Menurut Borg dan Gall penelitian dan
pengembangan adalah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan
memvalidasi produk-produk pendidikan seperti silabus, materi ajar, buku teks, metode
pembelajaran, dan lain sebagainya yang dilakukan dalam suatu siklus penelitian dan
pengembangan.10 Rancangan dan pengembangan sebagai suatu ilmu harus terikat dengan
pengertian atau pemahaman yang dibangun atas penelitian empiris yang replikatif.

Model dan prosedurnya harus divalidasi dan solusi permasalahan harus didukung
oleh data. Menurut Richey dan Klein basis pengetahuan rancangan dan pengembangan
memiliki enam komponen utama, yaitu: 1. Para pemelajar bagaimana mereka belajar; 2.
Konteks di mana pembelajaran dan performa berlangsung; 3. Sifat dari isi dan bagaimana
urutannya; 4. Strategi pengajaran dan kegiatan yang dilaksanakan; 5. Media dan sistem
penyajian; 6. Para perancang sendiri dan proses yang mereka gunakan.11 Sasaran Penelitian
atau Target Penelitian Sasaran penelitian dalam penelitian ini adalah pengguna dari
pengembangan model materi ajar ini, yakni pengajar (dosen) dan pemelajar (mahasiswa)
yang mengontrak mata kuliah semantik yang diselenggarakan pada semester IV (empat) di
Program studi Pendidikan Bahasa, Satra Indonesia, dan Daerah FKIP Universitas Jambi.

Langkah-langkah Penelitian dan Pengembangan Semiawan mengemukakan bahwa


siklus dasar R & D selalu mencakup siklus kajian – evaluasi – pengembangan. Sementara itu
prosedur R & D langkah-langkahnya yaitu sepuluh langkah Penggunaan Metode Research &
Development (R &D) yaitu: (1) Potensi Masalah, (2) Mengumpulkan Data, (3) Desain
Produk, (4) Validasi De- PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR SEMANTIK (ADE
KUSMANA) 7 sain, (5) Revisi Disain, (6) Ujicoba Produk, (7) Revisi Produk, (8) Ujicoba

64
pemakaian, (9) Revisi Produk, dan (10) Produk Efektif & layak. 12 Perencanaan dan
Penyusunan Model Materi Ajar Borg dan Gall menyarankan untuk membatasi penelitian
dalam skala kecil, termasuk dimungkinkannya untuk membatasi langkah-langkah penelitian.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya sampai pada langkah mendapat produk
akhir berupa pengembangan model materi ajar semantik berdasarkan acuan teoretik materi
ajar yang ada sekarang dan identifikasi kebutuhan pengajar (dosen) dan pemelajar
(mahasiswa). Dengan demikian, langkah-langkah pengembangan model materi ajar
semantik ini dibagi menjadi tiga langkah, tanpa menghilangkan makna langkahan lainnya.
Tiga langkah Borg dan Gall tersebut yakni: 1) Tahap persiapan penyusunan model, (2)
Tahap pengembangan model, dan (3) Tahap evaluasi model. Agar lebih singkat menelaah
rancangan pengembangan model materi ajar dapat dilihat pada roadmap berikut ini: 2.
Tahap Pengembangan model Langkah Borg dan Gall Kegiatan yang Dilakukan 1. Tahap
Persiapan Penyusunan Model 3. Tahap Evaluasi/Uji keefektifan Model 1. Observasi;
mengamati suasana pembelajaran yang ada sekarang 2. Studi literatur; a) analisis kajian
teori, b) analisis materi ajar yang ada, c) analisis rambu-rambu kurikulum, d) analisis
kebutuhan pengajar dan pemelajar. 3. Dokumentasi; menelaah kurikulum, silabus, soal, hasil
belajar, dan dokumentasi yang dibutuhkan. 1. Uji lapangan pertama (penilaian pakar), 2. Uji
lapangan kedua (penilaian teman sejawat ), 3. Uji lapangan ketiga, (uji kelayakan model
dengan operasional di lapangan) 4. Revisi produk 5. Model materi ajar semantik 1.
Rancangan model materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan pengajar dan pemelajar, 2.
Pengembangan model materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan pengajar dan pemelajar,
Gambar 1. RancanganPengembangan Model Materi Ajar Menurut Langkah Borg dan Gall 8
LENTERA PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1 JUNI 2014: 1-17 HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN Hasil Pengembangan Model Pada hasil pengembangan model materi ajar
ini digambarkan beberapa hal berikut (1) model teoritik, (2) gambaran tentang kebutuhan
mahasiswa dan dosen pengajar terhadap materi ajar diperoleh melalui (a) hasil analisis
kurikulum (b) hasil analisis silabus, dan (c) hasil analisis materi ajar semantik bahasa
Indonesia, (3) gambaran rancangan silabus dan materi ajar semantik bahasa Indonesia.

Model Teoretik Konsep teoritik pada penelitian ini merupakan konsepsi yang
digunakan untuk merancang seperangkat materi ajar, dalam penelitian ini konsepsi materi

65
ajar semantik bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan dosen
pengajar. Rancangan teoritik ini bersifat konseptual yang diperoleh dari kajian teori-teori
yang dikemukakan para pakar pengembangan materi ajar dan pakar semantik bahasa. Ada
beberapa prinsip dasar teori yang dijadikan acuan untuk mengembangkan materi ajar
semantik bahasa Indonesia di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,dan
Daerah FKIP Universitas Jambi.

Gambaran Kebutuhan Mahasiswa dan Dosen Pengajar 1. Gambaran Hasil Analisis


Kurikulum Hasil analisis kurikulum Pertama, materi ajar semantik merupakan salah satu
mata kuliah yang wajib diambil di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan
Daerah, diajarkan pada semester IV dengan bobot 2 dua SKS. Kedua, Tujuan mata kuliah
semantik diajarkan agar mahasiswa mampu memahami materi ajar semantik yang ada
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan. Ketiga,
semantik termasuk ilmu bahasa. Ilmu bahasa terdiri atas empat tataran, yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis, dansemantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu tata bahasa (gramatika) atau struktur bahasa dan di luar gramatika
atau di luar struktur bahasa. Semantik merupakan ilmu bahasa yang membahas tentang
makna, baik makna kata, makna frasa, makna klausa, makna kalimat, maupun makna
wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap. Keempat, pengajaran semantik bahasa
Indonesia adalah salah satu mata kuliah yang harus mahasiswa pelajari dalam kelompok
mata kuliah kebahasaan.

Pengajaran semantik yang harus dipelajari adalah (1) makna dalam Bahasa Indonesia
yang mencakup: makna leksikal dan gramatikal, denotatif dan konotatif, lugas dan kias, dan
makna dasar dan ubahan, (2) kerelasian makna yang mencakup: sinonim, antonim, polisemi,
hiponimi, dan homonimi, (3) pengertian perubahan makna, sebab-sebab perubahan makna,
dan arah perubahan, dan (4) pengertian ungkapan tabu, jenis-jenisnya, dan strategi
penghindarannya.

Kelima, mempunyai beberapa manfaat yang dapat mahasiswa peroleh dengan


mempelajari dan menguasai mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia ini, (a) secara langsung
mahasiswa akan mempunyai pengetahuan tentang makna bahasa Indonesia. (b) penguasaan
semantik akan meningkatkan ke- PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR

66
SEMANTIK (ADE KUSMANA) 9 mampuan berbahasa mahasiswa. (c) penguasaan makna
meningkatkan kemampuan pembelajaran bahasa mahasiswa, karena penguasaan makna ini
berkaitan erat dengan sejumlah mata kuliah lain, yakni morfologi, sintaksis, pragmatik,
membaca dan menulis. 2. Gambaran Hasil Analisis Silabus Silabus yang dianalisis adalah
silabus mata kuliah semantik yang digunakan dari tahun 2005 sampai dengan 2012 di
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah /S-1 FKIP Universitas
Jambi.

Gambaran silabus yang sedang digunakan pada komponen tujuan tidak sesuai dengan
kurikulum yang telah ditetapakan di Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,
dan Daerah FKIP Universitas Jambi. Tujuan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia, dan Daerah FKIP Universitas Jambi adalah agar mahasiswa mampu
memahami semantik yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lisan maupun
tulisan. Oleh karena itu tujuan yang diharapkan dengan sajian mata kuliah pada perkuliahan
tersebut adalah mahasiswa mampu memahami semantik. Komponen lainnya pada prinsipnya
sudah sesuai.

Oleh karenanya komponen tujuan perlu disesuaikan dengan kurikulum yang telah
ditetapkan. Sesuai dengan perkembangan pendidikan komponen-komponen silabus selain
harus disesuaikan dengan kurikulum juga harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan
pendidikan. Komponen-komponen yang dikembangkan sebagai berikut; identitas, deskripsi,
kompetensi dasar, standar kompetensi, indikator, rincian materi ajar, dan materi pokok.
Hasil analisis silabus yang telah dikembangakan sebagai bagian dari analisis kebutuhan
pengembangan materi ajar.

Hasil analisis silabus diungkap dengan menggunakan enam belas item penilaian.
Masing-masing penilai menyatakan komponenkomponen silabus penting dihadirkan dalam
silabus. Seperti dilihat pada tabel berikut; Dari 16 item pertanyaan sembilan item pernyataan
menunjukkan penilaian penting (P). Hal itu menunjukkan bahwa komponen-komponen
tersebut penting (P) di dalam pengembangan silabus. Komponen-komponen tersebut sebagai
pedoman untuk pengembangan materi ajar dan pedoman untuk proses pembelajaran. Silabus
merupakan bagian dari perencanaan pembelajaran dan dapat dijadikan pedoman untuk
pengembangan materi ajar.

67
Berdasarkan hasil wawancara dengan mahasiswa, bahwa selama ini dosen pengajar
tidak pernah mengenalkan silabus semantik kepada mahasiswa. Padahal, mahasiswa sebagai
calon pengajar, silabus perlu diperkenalkan kepada mereka agar mengetahui apa saja dan
batas mana saja yang harus dipelajari. 3. Gambaran Hasil Analisis Materi Ajar Semantik
Hasil analisis materi ajar semantik ini diperoleh dengan dua cara yaitu Hasil analisis materi
ajar semantik dengan (1) instrumen dan (2) wawancara. Hal ini digunakan untuk melihat
gambaran kesesuaian pengembangan materi ajar dengan kriteria pengembangan materi ajar.
10 LENTERA PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1 JUNI 2014: 1-17 a. Hasil Analisis Materi
Ajar Semantik dari Instrumen Hasil analisis materi ajar semantik melalui instrumen ini
diperoleh dari tiga dosen pengajar untuk memperoleh gambaran model materi ajar yang
dibutuhkan. Gambaran tersebut dapat dilihat pada hasil analisis materi ajar semantik dengan
delapan belas item pertanyan menunjukkan penting (P) materi ajar semantik dikembangkan,
hanya item sembilan yang menunjukkan kurang penting (KP) yang tentunya akan diganti. b.
Hasil Analisis Materi Ajar Semantik dari Wawancara Gambaran hasil analisis wawancara
menunjukkan item 1 membuktikan bawa yang dijadikan responden penelitian adalah dosen
pengajar semantik. Item 2 memastikan apakah dosen pengajar membuat materi ajar, ternyata
satu dosen pengajar tidak membuat. Item 3 untuk mengetahui tujuan membuat materi ajar,
tujuannya adalah membantu mahasiswa dalam memperoleh alternatif materi ajar di samping
buku-buku teks yang terkadang sulit diperoleh. Memudahkan pengajar dalam melaksanakan
pembelajaran. Item 4 untuk mengatahui tujuan yang ingin dicapai membuat materi ajar
semantik, agar setiap kompetensi tercapai dan tuntas. Item 5 untuk mengetahui yang
dijadikan sumber materi ajar semantik.Ternyata yang dapat dijadikan sumber materi ajar
dapat berupa berupa bahan cetak, benda, alam, maupun orang ahli.Item 6 untuk mengetahui
cakupan materi ajar semantik yang mereka buat.Ternyata pengakuannya cakupan materi ajar
semantik yang mereka buat belum memenuhi kriteria materi ajar.

Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan. Item 7 untuk mengetahui apa yang
dijadikan pedoman penulisan materi ajar, dari jawaban yang dikemukakan mereka pedoman
penulisan materi ajar semantik adalah kurikulum dan silabus. Item 8 dan 9 untuk mengetahui
membuat dan perlu membuat silabus mata kuliah semantik, jawan yang mereka kemukakan
perlu. Item 10 untuk memastikan perlukah materi ajar dikembangkan oleh pengajar, mereka
menjawab perlu. Item 11 untuk mengetahui manfaat menyusun materi ajar semantik bagi

68
dosen pengajar dan mahasiswa. Manfaat yang diperoleh adalah sesuai tuntutan kurikulum,
sesuai dengan kebutuhan belajar mahasiswa, mahasiswa tidak lagi tergantung kepada buku
teks yang terkadang sulit untuk diperoleh, materi ajar menjadi labih kaya karena
dikembangkan dengan menggunakan berbagai referensi, mahasiswa akan lebih banyak
mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri dan mengurangi ketergantungan
terhadap kehadiran pengajar.

Item 12 untuk mengetahui idealnya materi ajar mulai dari yang mudah untuk
memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak. Berdasarkan data
di atas dapat disimpulkan, manfaat menyusun materi ajar dapat memenuhi kebutuhan
mahasiswa. Materi ajar yang mereka buat, menurut pernyataan dosen pengajar belum
memehui kriteia (item 6). 4. Gambaran Rancangan Model Silabus dan Materi Ajar yang
Dikembangkan Berdasarkan hasil analisis kurikulum, silabus, materi ajar, dan analisis
kebutuhan sebagai dasar untuk pengembanganmateri ajar. Gambaran rancangan pengem-
PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR SEMANTIK (ADE KUSMANA) 11
bangannya dapat dilihat pada BAB IV Taber 4.5 merupakan gambaran hasil pengembangan
silabus, sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan dosen pengajar. Silabus inilah akan
menjadi dasar untuk pengembangan materi ajar semantik bahasa Indonesia. 5. Gambaran
Materi Ajar Semantik Bahasa Indonesia yang Telah Dikembangakan Pengembangan materi
ajar semantik bahasa Indonesia ini, merupakan hasil analisis kebutuhan yang dikembangkan
dari kurikulum kepada silabus, kemudian dikembangkan menjadi materi ajar.

Peta pengembangan model materi ajar ini adalah sebagai berikut; Materi ajar yang
dikembangkan pada penelitian ini merupakan hasil dari tahapan pengembangan model
materi ajar. Hasil analisis model materi ajar yang utuh dapat dilihat pada lampiran.
Kelayakan Model Penelitian pada tahap ini adalah tahap evaluasi kelayakan. Tahap evaluasi
ini membahas tentang: (1) hasil penilaian pakar (Riview) terhadap materi ajar yang
dikembangakan, (2) revisi materi ajar semantik berdasarkan hasil penilaian dan komentar
pakar, (3) hasil uji coba terbatas (4) revisi materi ajar semantik berdasarkan hasil uji coba
terbatas, (5) Hasil uji coba keterbacaan materi ajar semantik yang digunakan, (6) hasil
pengujian lewat eksperimen, dan (7) revisi akhir materi ajar semantik. MODEL MATERI
AJAR SEMANTIK BI TUJUAN MATA KULIAH SEMANTIK SUMBER MATERI

69
MATERI AJAR SEMANTIK BI Materi Ajar I 1. Standar Kompetensi 2. Indikator 3. Uraian
Materi 4. Rangkumam 5. Latihan/Tugas Materi Ajar II 1. Standar Kompetensi 2. Indikator 3.
Uraian Materi 4. Rangkumam 5. Latihan/Tugas Materi Ajar III 1. Standar Kompetensi 2.
Indikator 3. Uraian Materi 4. Rangkumam Materi Ajar IV 1. Standar Kompetensi 2.
Indikator 3. Uraian Materi 4. Rangkumam Materi Ajar V 1. Standar Kompetensi 2. Indikator
3. Uraian Materi 4. Rangkumam 5. Latihan/Tugas 12 LENTERA PENDIDIKAN, VOL. 17
NO. 1 JUNI 2014: 1-17 1. Hasil Penilaian (Riview) Pakar Berdasarkan hasil penilaian para
pakar, rata-rata hasil uji kelayakan para pakar menunjukkan materi ajar semantik
memperoleh nilai rata-rata sebesar 3.76 atau dg kategori layak. Dengan demikian, secara
teoretis dan konseptual berdasarkan penilaian para pakar, materi ajar semantik layak
digunakan bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
FKIP Universitas Jambi. Dalam penilaian kualitatif, para pakar memberikan komentar,
saran, dan rekomendasi terhadap materi semantik yang dinilainya.

Komentar, saran, dan rekomendasi merupakan acuan, sumber data dan referensi
untuk memperbaiki dan merevisi materi ajar semantik tersebut. Secara rinci, tabel berikut
menggambarkan hasil koreksi, saran, komentar terhadap materi ajar semantik bahasa
Indonesia. 2. Hasil Uji Coba Terbatas - Persepsi Mahasiswa terhadap Materi Ajar Semantik
Setelah dilakukan revisi untuk penyempurnaan materi ajar semantik. Kemudian dilakukan
ujicoba terbatas pada kelompok kecil. Ujicoba dilakukan dengan metode eksperimen.
Mahasiswa yang menjadi sampel ujicoba sebanyak 10 orang. Uji coba digunakan untuk
mengetahui kelayakan dan efektivitas materi ajar di lapangan. Berdasarkan hasil uji coba
terbatas dan penilaian mahasiswa pada materi ajar semantik diperoleh nilai rata-rata 3,96
dengan kategori baik. Dengan demikian materi ajar semantik layak digunakan sebagai
pegangan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, dan Daerah
FKIP Universitas Jambi.

Penilaian, saran, komentar, dan rekomendasi mahasiswa merupakan acuan untuk


memperbaiki materi ajar. Mahasiswa memberi andil dalam penilaian kualitatif terhadap
materi ajar yang digunakannya. - Persepsi Dosen Pengajar terhadap Materi Ajar Semantik
Pada uji coba terbatas, peneliti menyebarkan angket untuk mengetahui persepsi dosen

70
pengajar, sebagai pengguna materi ajar yang diujicobakan. Hasil persepsi berupa penilaian
dosen pengajar sangat penting untuk revisi materi ajar yang dikembangkan ini. Dari angket
persepsi dosen diperoleh data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa komentar,
saran, dan rekomendasi. Berdasarkan hasil persepsi dosen pengajar secara kuantitatif,
diperoleh nilai rata-rata akhir 4.02 dengan kategori baik.

Dengan demikian, materi ajar semantik bahasa Indonesia layak dan relevan
digunakan di Program Studi Pendidikan Bahasa, Satra Indonesia, dan Daerah FKIP
Universitas Jambi. Data kualitatif, diperoleh dari angket hasil persepsi dosen pengajar
memberikan komentar, saran, dan rekomendasi terhadap materi ajar semantik bahasa
Indonesia. Data tersebut merupakan acuan untuk revisi materi ajar semantik bahasa
Indonesia. 3. Hasil Uji Coba Keterbacaan Materi Ajar Semantik yang Digunakan Setelah
melakukan uji coba terbatas dan revisi materi ajar semantik. Kemudian melakukan uji coba
keterbacaan materi ajar yang digunakan sebagai model materi PENGEMBANGAN MODEL
MATERI AJAR SEMANTIK (ADE KUSMANA) 13 ajar semantik yang diberikan dalam
proses pembelajaran. Uji coba keterbacaan dilakukan dengan cara mahasiswa memberikan
penilaian terhadap materi ajar I, II, III, IV, dan V. Tingkat keterbacaan materi ajar semantik
tergolong tinggi yaitu skor 3,91.

Hal itu menunjukkan bahwa materi ajar semantik yang dikembangkan mudah
dipahami. 4. Hasil Pengujian Lewat Eksperimen Validasi materi ajar dilakukan di kelas A
dan B dengan semester, Prodi, dan mata kuliah yang ditawarkan sama. Rancangan penelitian
kelas A sebagai eksperimen dan kelas B sebagai kelompok kontrol. Dua kelompok akan
dibandingkan dari hasil pretes dan posttes. Perbedaan kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol apakah ada perbedaan yang signifikan. Hasil perhitungan menunjukan apakah materi
ajar yang dikembangkan ada perbedaan antara materi ajar sebelum dikembangkan dan
sesudah dikembangkan.

Hal tersebut dapat diketahui melalui pretest dan posttest pada kelompok eksperimen
dan kontrol. Perbedaan kelompok ekperimen dan kelompok kontrol dapat diketahui melalui
perhitungan uji t dan chi kuadrat pada tabel berikut: Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Perbedan
No Komponen Kelompok Kontrol Kelompok Eksperimen 1 Rata-rata pretes 52.281 51.313
2 Rata-rata posttes 55.938 80.219 3 Jumlah responden 32 32 4 thitung 6.14 24.34 5 ttabel

71
1.99 1.99 Berdasarkan tabel di atas menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok eksperimen dan kontrol. Kelompok kontrol rata-rata pretesnya 52.281, kelompok
eksperimen rata-rata pretesnya 51.313.

Kelompok kontrol rata-rata posttesnya 55.938, kelompok eksperimen rata-rata


posttesnya 80.219. Kelompok ekperimen menunjukkan perbedaan yang sangat tinggi setelah
dilakukan posttest bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Melalui perhitungan uji t,
kelas eksperimen menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu thitung>ttabel, thitung =
24.34, ttabel = 1.99 sehingga Ho: ditolak Ha: diterima. Dengan demikian terdapat perbedaan
yang signifikan sebelum dan sesudah pengembangan materi ajar. Hal itu menunjukkan
bahwa pengembangan materi ajar telah berhasil, materi yang dikembangkan mudah
dipahami oleh mahasiswa. Melalui perhitungan uji t, kelas kontrol menunjukkan perbedaan
yang sinifikan yaitu thitung>ttabel, thitung = 6.14, ttabel = 1.99 sehingga Ho: ditolak Ha:
diterima. Dengan demikian terdapat perbedaan yang sinifikan sebelum dan sesudah
pengembangan materi ajar, namun tidak menunjukkan perbedaan yang berarti seperti kelas
eksperimen (perlakuan).

Dengan perhitungan chi kuadrat dua sampel untuk mengetahui tingkat perbedaan
pengaruh perlakuan dengan yang bukan perlakuan, apakah ada atau tidak ada 14 LENTERA
PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1 JUNI 2014: 1-17 pengaruh setelah dilakukan
pengembangan. Demikian juga untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif
pengembangan materi ajar semantik. Tingkat pengaruh perlakuan dapat diperoleh dengan
perhitungan chi kuadrat. Tabel 2. Hasil Perhitungan Perbedaan pengaruh Perlakuan dan
tidak Perlakuan Kelompok Tingkat Pengaruh Perlakuan Jumlah Berpengaruh Tak
Berpengaruh Eksperimen 32 0 32 Kontrol 21 11 32 53 11 64 hitung = 10.98 tabel = 3.841
hitung> tabel hitung = 10.98 tabel = 3.841), sehingga Ho: ditolak Ha: diterima. Dengan
demikian terdapat perbedaan yang sinifikan sebelum dan sesudah pengembangan materi
ajar, namun tidak menunjukekan perbedaan yang berarti pada kelompok kontrol. Setelah
dilakukan pengembangan materi ajar semantik mahasiswa lebih mudah memahami.

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Simpulan Hasil uji coba terbatas


setelah dilakukan revisi untuk penyempurnaan materi ajar semantik. Kemudian dilakukan uji
coba terbatas pada kelompok kecil. Uji coba dilakukan dengan metode eksperimen.

72
Mahasiswa yang menjadi sampel uji coba terbatas sebanyak 10 orang. Uji coba digunakan
untuk mengetahui kelayakan dan efektivitas materi ajar di lapangan. Berdasarkan hasil uji
coba terbatas dan penilaian mahasiswa pada materi ajar semantik diperoleh nilai dengan
kategori baik.

Dengan demikian, materi ajar semantik layak digunakan sebagai pegangan


mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas
Jambi. Persepsi dosen pengajar mata kuliah semantik pada uji coba terbatas, peneliti
menyebarkan angket untuk mengetahui persepsi dosen pengajar. Persepsi dosen diperoleh
data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa komentar, saran, dan rekomendasi.
Sedangkan data kuantitatif dengan memberikan penilai akhir 4.02 dengan kategori baik.
Dengan demikian, materi ajar semantik bahasa Indonesia layak dan relevan digunakan di
Program Studi Pendidikan Bahasa, Satra Indonesia, dan Daerah FKIP Universitas Jambi.
Hasil uji coba keterbacaan materi ajar semantik dilakukan dengan cara mahasiswa
memberikan penilaian terhadap materi ajar I, II, III, IV, dan V. Tingkat keterbacaan materi
ajar semantik tergolong tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa materi ajar semantik yang
dikembangkan mudah dipahami.

PENGEMBANGAN MODEL MATERI AJAR SEMANTIK (ADE KUSMANA) 15


Hasil pengujian lewat eksperimen yaitu melakukan uji validitas dan efektivitas. Validasi
materi ajar dilakukan di kelas A dan B dengan semester, Prodi, dan mata kuliah yang
ditawarkan sama. Hasil perhitungan perbedaan kelompok ekperimen dan kelompok kontrol
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kontrol.
Kelompok kontrol rata-rata pretesnya 52.281, kelompok eksperimen rata-rata pretesnya
51.313. Kelompok kontrol rata-rata posttestnya 55.938, kelompok eksperimen rata-rata
posttesnya 80.219.

Hasil perhitungan uji t menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara


kelompok kontrol dan eksperimen. Kelompok kontrol t hitungnya 6,14, sedangkan
kelompok eksperimen t hitungnya 24, t table 1,99. Berdasarkan hasil perhitungan chi
kuadrat 2 hitung = 10.98, 2 tabel = 3.841. 2 hitung > 2 tabel. Dapat disimpulkan setelah
dilakukan pengembangan mahasiswa lebih mudah memahami materi ajar. Implikasi

73
Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa implikasi. Pertama, perlu pengembangan
materi ajar oleh pengajar,

Karena, (1) Materi ajar adalah seperangakat materi yang disusun secara sistematis
baik tertulis atau pun tidak sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan
siswa untuk belajar. (2) Pengembangan materi ajar adalah apa yang dilakukan dosen
pengajar, guru, atau peserta didik untuk memberikan sumber masukan berbagai pengalaman
yang dirancang untuk meningkatkan belajar bahasa. (3) Prinsip pengembangannya; dapat
memberi dampak, memberi perasaan mudah bagi pembelajar, mengembangkan rasa percaya
diri pembelajar, relevan dan berguna bagi pembelajar, mengarahkan dan memfasilitasi
pembelajar untuk menemukan sendiri, membuat pembelajar siap belajar dengan topik-topik
yang sedang diajarkan, memperhatikan perbedaan gaya belajar, memperhatikan pengaruh
positif terhadap pelajaran, memperhatikan sikap pembelajar, menyediakan kesempatan
umpan balik kepada pembelajar. (4) Pengembangan materi ajar meliputi; identifikasi
kebutuhan pengajar dan pembelajar, penentuan kegiatan eksplorasi kebutuhan materi,
realisasi kontekstual dengan mengajukan gagasan yang sesuai, pemilihan teks, dan konteks
materi ajar, realisasi pedagogis melalui tugas dan latihan dalam materi ajar, produksi materi
ajar, penggunaan materi ajar oleh pembelajar, dan evaluasi materi ajar.

Kedua, penting melakukan penngembangan kurikulum, silabus, materi ajar, dan


evaluasi. Hal tersebut merupakan bagian dari perencanaan pembelajaran. Manfaat menyusun
materi ajar bagi dosen pengajar dan mahasiswa adalah sesuai tuntutan kurikulum dan sesuai
dengan kebutuhan belajar mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi tergantung kepada buku teks
yang terkadang sulit untuk diperoleh. Materi ajar menjadi lebih kaya karena dikembangkan
dengan menggunakan berbagai referensi. Mahasiswa akan lebih banyak mendapatkan
kesempatan untuk belajar secara mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap
kehadiran pengajar. Idealnya materi ajar mulai dari yang mudah untuk memahami yang
sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak.

16 LENTERA PENDIDIKAN, VOL. 17 NO. 1 JUNI 2014: 1-17 Rekomendasi


Berdasarkan kesimpulan dan implikasi yang telah dikemukakan, pengembangan materi ajar
semantik terdapat beberapa rekomendasi. Pertama, bagi pengajar perlu melakukan
pengembangan materi ajar agar pembelajar mendapat sumber masukan berbagai pengalaman

74
yang dirancang untuk meningkatkann hasil belajar, dapat memberi dampak, memberi
perasaan mudah bagi pembelajar, mengembangkan rasa percaya diri pembelajar, relevan dan
berguna bagi pembelajar, mengarahkan dan memfasilitasi pembelajar untuk menemukan
sendiri, membuat pembelajar siap belajar dengan topik-topik yang sedang diajarkan,
memperhatikan perbedaan gaya belajar, memperhatikan pengaruh positif terhadap pelajaran,
memperhatikan sikap pembelajar, menyediakan kesempatan umpan balik kepada
pembelajar.

Kedua, hasil pengembangan materi ajar dapat digunakan oleh pengajar dan
pembelajar dalam pembelajaran sebagai; penyajian materi ajar, sumber kegiatan bagi peserta
didik untuk berlatih komunikasi secara interaktif, rujukan informasi kebahasaan, sumber
stimulan dan gagasan suatu kegiatan kelas, dan bantuan bagi guru yang kurang
berpengalaman untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Ketiga, Sebaiknya dosen pengajar
memberikan pemahaman dengan baik mengenai materi ajar semantik, karena mahasiswa
akan menjadi guru di sekolah menengah pertama dan menengah atas.

Keempat, dosen pengajar dan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,
dan Daerah dapat menjadikan hasil pengembangan materi ajar sebagai acuan atau rujukan
untuk mengajar dan penelitian penngembangan materi ajar berikutnya. CATATAN AKHIR:
1. S. Nasution, Teknologi pendidikan, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1982. 2. Haryadi,
Hubungan intensitas mendengarkan ceramah, pemahaman buku teks dan partisipasi
berorganisasi dengan retorik, Jurnal Kependidikan Nomor 2 Tahun XXXIII, Yogyakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, 2003. 3. Ch. F. Hockett, A Course in
Modern Linguistics, New York: The Macmillan and Co, 1958, h. 33. 4. Geoffrey Leech,
Semantik (Terjemahan: Paina Partana), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 7- 9. 5. John
Lyons, Pengantar teori Linguistik (Introduction to Theoritical Linguistics), (terjemah),
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, h. 396. 6. Suyudi, Relasi Makna, 2009.
http://www.studycycle.net/2009/11/relasi-makna.html 7. Haryadi, op.cit. 8. Stephen
Ullmann, Smantics, An Introduction to the Science of Meaning, Basil Blachwell, Oxford,
1977, h. 156. 9. Tim Dosen, Kurikulum dan Deskripsi Mata Kuliah, Prodi Bahasa Indonesia
Jurusan PBS FKIP Unja, Jambi: FKIP Unja, 2005, h. 7. 10. Meredith D. Gall, Joyce Gall,
dan Walter R. Borg, Educational Research: An Introduction, Boston: Pearson: Education,

75
Inc., 2003. 11. R. C. Richey dan J. D. Klein, Design and Development Research Methods,
Strategies, and Issues, London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 2007. 12. Conny R.
Semiawan, Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
Kencana, 2007, h.)

76
DAFTAR PUSTAKA

Gall, Meredith D., Joyce Gall, dan Walter R. Borg. Educational Research: An
Introduction. Boston: Pearson: Education, Inc., 2003. Haryadi. “Hubungan Intensitas
Mendengarkan Ceramah, Pemahaman Buku Teks dan Partisipasi Berorganisasi dengan
Retorik.” Jurnal Kependidikan. Nomor 2 Tahun XXXIII. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Yogyakarta, 2003. Hockett, Ch. F. A Course in Modern Linguistics. New
York: The Macmillan and Co., 1958. Leech, Geoffrey. Semantik (Terjemahan: Paina
Partana). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Lyons, John. Senatics. New York: Cambridge
University Press, 1984. Lyons, John. Pengantar Teori Linguistik (Introduction to Theoritical
Linguistics). (terjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995. Nasution, S. Teknologi
pendidikan. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1982. Richey, R. C. dan J. D. Klein. Design and
Development Research Methods, Strategies, and Issues. London: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc., 2007. Semiawan, Conny R. Catatan Kecil tentang Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Kencana, 2007. Suyudi, Relasi Makna, 2009.
http://www.studycycle.net/2009/11/relasi-makna.html. Tim Dosen. Kurikulum dan
Deskripsi Mata Kuliah. Prodi Bahasa Indonesia Jurusan PBS FKIP Unja, Jambi: FKIP Unja,
2005. Ullmann, Stephen. Semantics, An Introduction to the Science of Meaning. Basil
Blachwell, Oxford.

77
PENAMAAN DAN PENDENIFISIEN
Rekayasa Ide

DI SUSUN OLEH:

Nama : Martalena Ziliwu


Kelas :B
M,P : Sematik Bahasa Indonesia
Nim : (192124044)

Dosen Pengampu : Arozatulo Bawamenewi, S.Pd, M.Pd

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI (FPBS)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
T.A.2020/2021

78
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah yang maha esa yang telah memberikan
kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan” Laporan Bacaan Buku” yang berjudul
“Sematik Bahasa Indonesia”  dan membandingkan buku tersebut dengan buku lain.

Dalam menyusun makalah ini tak lepas dari peran serta saran berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan dan masukan guna menyempurnakan makalah ini. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih atas pertisipasi dari semua pihak dan penulis akan
selalu menunggu kritik dan saran yang membangun dari orang-orang yang membaca
makalah ini.

Seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, untuk itu penulis mengucapkan
mohon maaf atas segala kesilapan dan kekurangan dalam makalah ini, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Gunungsitoli, Nov, 2020.

Martalena Ziliwu

79
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan...................................................................................................................4

D. Latar Belakang................................................................................................................4
E. Tujuan .............................................................................................................................4
F. Manfaat............................................................................................................................4

Bab II Pembahasan...................................................................................................................6

A : Penamaan......................................................................................................................6
B : Peniruan bunyi..............................................................................................................7
C : Penyebutan bunyi..........................................................................................................7
D : Penyebutan Sifat Khas..................................................................................................8
E : Penemu Dan Pembuat...................................................................................................8
F : Tempat Asal..................................................................................................................9
G : Bahan.............................................................................................................................9
H : Keserupuan...................................................................................................................10
I : Pemendakan..................................................................................................................10
J : Penamaan Baru.............................................................................................................11
K : Pendenefisian...............................................................................................................12

Bab IV Penutup.......................................................................................................................13

C. Kesimpulan....................................................................................................................13
D. Saran..............................................................................................................................13
Daftar Pustaka

80
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai alat komunikasi verbal bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang
bersifat arbitrer. Maksudnya, tidak ada hubungan wajib antara lambang sebagai hal yang
menandai yang berwujud kata atau leksem dengan benda atau konsep yang ditandai, yaitu
referen dari kata atau leksem tersebut. Oleh karena itu, misalnya, kita tidak dapat menjelaskan
mengapa unggas yang pada umumnya tidak dapat terbang, dapat dijinakkan dan dipelihara,
berjengger, yang jantan berkokok dan bertaji, sedangkan yang betina berkotek disebut dalam
bahasa Indonesia dengan nama (ayam) dan buka nama lain, misal (maya), atau (amya). Lagi
pula andaikata ada hubungannya antara lambang dengan yang dilamangkannya itu, tentu
orang Sunda tidak akan menyembutnya (hayam), orang Arab menyebutnya (Dajajah). Tentu
mereka semua akan menyebutnya juga (ayam), sama dengan orang Indonesia.

Plato menyatakan bahwa lambang itu adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan
makna adalah objek yang diahayati di dalam dunia nyata berupa rujukan, acuan, atau sesuatu
yang ditunjuk oleh lambang itu. Oleh karena itu, lambang-lambang atas kata-kata itu tidak
lain dari pada nama atau label yang dilapangkannya, mungkin berupa konsep, aktifitas, atau
peristiwa,

Penamaan dan pendefinisian adalah dua proses perlambangan suatu konsep untuk
mengacu kepada suatu referen yang berada yang di luar bahasa. Kedua proses itu walaupun
banyak kesamaannya tapi juga banyak perbedaannya. Pertanyaannya, apa sebenanya yang
dimaksud penamaan? Apa itu pendefinisian? Apa persamaan dan perbedaan di antara
keduanya?

Pada makalah ini kami akan coba menjawab pertanyaan-pertanyaannya itu lewat
pembahasan berikut. Semoga usaha ini beroleh kebermanfaatan, bagi pembaca umumnya dan
bagi penyusun pada khususnya.

81
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memahami apa yang dimaksud penamaan.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud pengistilahan.
3. Untuk memahami apa yang dimaksud pendefinisian.

C. Rumusan Masalah
1. Apa itu penamaan dan sebab apa saja yang melatarbelakangi terjadi penamaa tersebut?
2. Apa itu pendefinisian dan bagaiman cara membuat definisi itu.

82
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENAMAAN
Penamaan dan pendefinisian adalah dua buah proses pelambangan suatu konsep
untuk mengacu kepada sesuatu referen yang berada di luar bahasa. Penamaan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti proses, cara, perbuatan menamakan. Sementara oleh
Kridalaksana diartikan (1993), sebagai proses pencarian lambang bahasa untuk
menggambarkan objek konsep, proses, dan sebagainya; biasanya dengan memanfaatkan
perbendaharaan yang ada; antara lain dengan perubahan-perubahan makna yang mungkin atau
dengan penciptaan kata atau kelompok kata.
Nama merupakan kata-kata yang menjadi label setiap makhluk, benda, aktivitas, dan
peristiwa di dunia. Anak-anak mendapat kata-kata dengan cara belajar, dan menirukan bunyi-
bunyi yang mereka dengar untuk pertama kalinya. Nama-nama itu muncul akibat dari
kehidupan manusia yang kompleks dan beragam, alam sekitar manusia berjenis-jenis.
Dalam pembicaraan mengenai hakikat bahasa ada dikatakan bahwa bahasa adalah
sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer. Maksudnya, antara suatu satuan bahasa sebagai
lambang, misalnya kata dengan sesuatu benda atau hal yang dilambangkannya bersifat
sewenang-wenang tidak ada hubungan “wajib” di antara keduanya. Oleh karena itu, misalnya,
kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang berkaki dua, bersayap dan berbulu, dan
biasanya dapat terbang disebut dalam bahasa Indonesia dengan nama (burung) dan buka nama
lain, misal (ngurub), atau (bungur). Lagi pula andaikata ada hubungannya antara lambang
dengan yang dilamangkannya itu, tentu orang Inggris tidak akan menyembutnya (bird), orang
Arab menyebutnya (Thoir). Tentu mereka semua akan menyebutnya juga (burung), sama
dengan orang Indonesia.
Plato di dalam suatu percakapan yang berjudul “cratylos” menyatakan bahwa
lambang itu adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang dihayati
di dunia nyata berupa rujukan, acuan, atau sesuatu yang ditunjuk oleh lambang itu. Oleh
karena itu, lambang-lambang atau kata-kata itu tidak lain daripada nama atau label yang
dilambangkannya, mungkin berupa benda, konsep, aktivitas, atau peristiwa.

83
Aristoteles menyatakan bahwa pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian
belaka di antara sesama anggota suatu masyarakat bahasa.

B. PENIRUAN BUNYI

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang terbentuk sebagai hasil peniruan
bunyi. Maksudnya nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk berdasarkan bunyi dari benda
tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh benda tersebut. Misalnya, binatang sejenis reptil
kecil yang melata di dinding disebut cecak karena bunyinya “cak, cak, cak-,”. Begitu juga
dengan tokek diberi nama seperti itu karena bunyinya “tokek, tokek”. Contoh lain meong
nama untuk kucing, gukguk nama untuk anjing, menurut bahasa kanak-kanak adalah karena
bunyinya begitu. Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini disebut kata peniru
bunyi atau onomatope.
Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini sebenarnya juga tidak persis
sama, hanya mirip saja, karena benda atau binatang yang mengeluarken bunyi itu tidak
mempunyai alat fisiologis seperti manusia dan karena sister fonologi setiap bahasa tidak
sama. Itulah sebabnya barangkali mengapa orang sunda menirukan kokok ayam jantan
sebagai (kongkorongok), orang melayu Jakarta sebagai (kukuruyuk), sedangkan orang
Belanda sebagai (kukeleku).

C. PENYEBUTAN BAGIAN

Dalam bidang kesusastraan ada istilah pars prototo yaitu gaya bahasa yang
menyebutkan bagian dari suatu benda atau hal, padahal yang dimaksud adalah
keseluruhannya. Misalnya kata kepala pada kalimat ‘setiap kepala menerima bantuan seribu
rupiah’, bukanlah dalam arti “kepala” itu saja, melainkan seluruh orangnya sebagai satu
kesatuan.

Penamaan sesuatu benda atau konsep berdasarkan bagian dari benda itu biasanya
berdasarkan ciri yang khas atau yang menonjol dari benda itu dan yang sudah diketahui
umum. Misalnya pada tahun enam puluhan kalau ada orang yang mengatakan “ingin
membeli rumah tetapi tidak ada Sudirmannya” maka dengan kata Sudirman yang

84
dimaksudkan adalah uang karena pada waktu itu uang bergambar almarhum Jenderal
Sudirman. Sekarang mungkin dikatakan orang tidak ada Soekarno-Hatanya sebab uang
kertas sekarang bergambar Soekarno-Hata (lembar seratus ribu)..

Kebalikan dari pars prototo adalah gaya retorika yang disebut totem proparte yaitu
menyebut keseluruhan untuk sebagian. Misalnya kalau dikatakan “Indonesia memenangkan
medali perak di Olimpiade”, yang dimaksud hanyalah tiga orang atlet panahan putra. Begitu
juga kalau dikatakan semua perguruan tinggi ikut dalam lomba baca puisi, padahal yang
dimaksud hanyalah peserta-peserta lomba dari perguruan tinggi tersebut.

D. PENYEBUTAN SIFAT KHAS   

Hampir sama dengan pars prototo yang dibicarakan di atas adalah penanaman


sesuatu benda berdasarkan sifat khas yang ada pada benda itu. Di sini terjadi perkembangan
yaitu berupa cirri makna yang disebut dengan  kata sifat itu mendesak kata bendanya karena
sifatnya yang amat menonjol itu; sehingga akhirnya, kata sifat itulah yang menjadi nama
bendanya. Umpamanya, orang yang sangat kikir lazim disebut si kikir atau si bakhil.  Anak
yang tidak dapat tumbuh menjadi besar, tetap  saja kecil, disebut si kerdil; yang kulitnya
hitam disebut si hitam; dan yang kepalanya botak disebut si botak.

E. PENEMU DAN PEMBUAT

Banyak nama benda dalam kosakata bahasa Indonesia yang dibuat berdasarkan nama
penemunya, nama pabrik pembuatnya, atau nama dalam peristiwa sejarah. Nama-nama
benda yang demikian disebut dengan istilah appelativa.

Nama benda yang berasal dari nama orang, antara lain, mujahir atau mujair  yaitu
sejenis ikan laut tawar yang mula-mula ditemukan dan diternakan oleh seorang yang
bernama mujair di Kediri, Jawa Timur. Contoh lain nama, Volt nama satuan kekuatan aliran
listri yang diturukan dari nam penciptanya yaitu Volta (1745-1787) seorang sarjana fisika
dari Italia. Selanjutnya dalam dunia ilmu pengetahuan kita kenal juga nama dalil , kaidah,
atau aturan yang didasarkan pada nama ahli yang mmebuatnya. Misalnya, dalil arkhimides,
hukum kepler, hukum var der Tunk, dan sebagainya.

85
Nama orang atau nama pabrik dan merek dagang kemudian menjadi nama benda
hasil produksi seperti aspirin obat sakit kepala, ciba obat sakit perut, miwon bumbu masak
dan sebagainya.

Dari peristiwa sejarah banyak kita dapati nama orang atau nama kejadian menjadi
kata umum. Misalnya kata boikot, bayangkara, laksamana, dan sebagainya. Kata Lloyd 
seperti yang terdapat pada nama persahaan pelayaran seperti Djakarta Lloyd dan
Rotterdamse Lloyd di turunkan dari nama seorang pengusaha warung kopi di kota London
pada abad XVII, yaitu Edward Lloyd. Warung kopi itu banyak dikunjungi oleh para pelaut
dan makelar perkapalan. Maka itulah namanya dipakai sebagai atribut perusahaan pelayaran
yang searti dengan kata kompeni atau perserikatan, khususnya perserikatan pelayaran.

F. TEMPAT ASAL
Sejumlah nama benda dapat ditelusuri berasal dari nama tempat asal benda tersebut.
Misalnya kata magnet berasal dari nama tempat Magnesia; kata kenari, yaitu nama sejenis
burung, berasal dari nama Pulau Kenari di Afrika dan sebagainya.
Banyak juga nama piagam atau prasasti yang disebut berdasarkan nama tempat
penemunya seperti piagam kota kapur, prasasti. Kedudukan bukit, piagam telaga batu dan
piagam Jakarta.  Selain itu banyak juga kata kerja yang dbentuk dari nama tempat misalnya,
didigulkan yang berarti dibuang ke digul di irian jaya; dinusakambangankan yang berarti
dibawa atau dipenjarakn di pulau nusakambangan dan sebagainya.

G. BAHAN

Ada sejumlah benda yang namanya diambil dari nama pokok benda itu. Misalnya,
karung yang dibuat dari goni yaitu sejenis serta tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa
latinnya Corchorus capsularis, disebut jyga goni atau guni. Jadi, kalau dikatakan membeli
beras dua goni, maksudnya membeli beras dua karung.

Contoh lain, kaca adalah nama bahan. Lalu bahan-bahan lain yang dibuat dari kaca
disebut juga kaca seperti kaca mata, kaca jendela, kaca spion, dan kaca mobil. Begitu juga
bambu runcing adalah nama senjata yang digunakan rakyat indonesia dalam perang

86
kemerdekaan dulu. Bambu runcing dibuat dari bambu yang ujungnya diruncingi sampai
tajam. Maka disini nama bahan itu, yaitu bambu, menjadi nama alat senjata itu.

H. KESERUPUAN

Dalam praktik berbahasa  banyak kata yang digunakan secara metaforis. Artinya kata
itu digunakan dalam suatu ujaran yang maknanya dipersamakan atau diperbandingkan
dengan makna leksikal dari kata itu. Misalnya kata kaki ada frase kaki meja, kaki gunung,
dan kaki kursi. Disini kata kaki mempunyai kesamaan makna dengan salah satu ciri makna
dari kata kaki itu yaitu, “alat penopang berdirinya tubuh” pada frase kaki meja dan kaki
kursi, dan ciri “terletak pada bagian bawah” pada frase kaki gunung.

Dalam pemakaian bahasa sekarang banyak nama benda yang dibuat berdasarkan
kesamaan sifat atau ciri dari makna leksikal dari kata itu. Misalnya kata raja frase raja
kumis, raja minyak, raja kayu lapis, raja jalanan, raja dangdut dan raja bandel.raja adalah
orang yang paling berkuasa atau yang paling tingi kedudukannya di negaranya. Maka raja
kumis diartikan sebagai “orang yang memiliki kumis palig hebat”

Sifat metaforis dari kata-kata itu tampaknya sudah luntur karena kata-kata itu telah
menjadi istilah umum dalam pemakaian bahasa sehari-hari.

I. PEMENDAKAN

Dalam perkembangan bahasan terakhir ini banyak kata-kata dalam bahasa indonesia
yang terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur-unsur huruf awal atau suku kata dari
beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Kata-kata yang tebentuk sebagai hasil
penyingkatan ini lazim disebut akronim. Kata-kata yang berupa akronim ini dapati hampir
semua bidang kegiatan. Misalnya, abri yang berasal dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, KONI yang berasal dari Komite Olahraga Nasional Indonesia, rudal berasal dari
peluru kendali, lemhanas berasal dari lembaga pertahanan naisonal.

Suatu gejala yang bersifat humor dan tidak perlu ditanggapi secara serius dewasa ini
adalah adanya dikalangan remaja  di kota-kota besar (terutama Jakarta) untuk memberi
kepanjangan atau menafsirkan lain dari akronim atau singkatan itu. Misalnya, ASMI yang
ditafsirkan sebagai kependekan dari Akademi Santapan Manajer Indonesia (padahal

87
sebenarnya Akademi Sekertaris Manajemen Indonesia), Tekab ditafsirkan sebagai
kependekan dari tekanan bati (padahal sebenarnya team khusus anti banditisme). Malah
banyak pula kata biasa yang diperlukan sebagai akronim dan diberi tafsiran yang bukan-
bukan, seperti benci yang ditafsirkan sebagai benar-benar cinta; apik yang ditafsirkan
sebagai kependekan dari agak pikun; pilot yang ditafsirkan sebagai kpendekan dari papi
kolot, dan sebagainya.

J. PENAMAAN BARU

Penamaan baru ialah kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata
atau istilah yang sudah ada diganti dengan kata-kata baru atau sebutan baru, ini terjadi
karena kata-kata lama dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang ilmiah dan kurang
halus.

Contoh penamaan baru atau penggantian kata :

 Kata turisme menjadi pariwisata.


 Kata piknik menjadi darma wisata.
 Kata onderdil menjadi suku cadang.

Kata-kata turisme,piknik dan onderdil diganti karena dianggap tidak bersifat


nasional, karena itu diganti dengan yang bersifat nasional.

 Kata bui/penjara menjadi lembaga pemasyarakatan.


 Kata demonstrasi menjadi unjuk rasa.

Kata-kata bui dan demonstrasi diganti karena konsepnya memang dianggap berbeda.

 Kata gelandangan menjadi tuna wisma


 Kata pelacur menjadi tuna susila.
 Kata buta huruf menjadi tuna aksara

Kata-kata gelandangan, pelacur, buta huruf diganti karena kuarang halus dan sopan.

88
K. PENDEFINISIAN

Pengertian pendefinisian adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk


mengungkapkan dengan kata-kata akan suatu benda, konsep, proses, aktivitas, peristiwa dan
sebagainya.

Ada empat (4) macam pendefinisian:

 Definisi sinonimis (sinonim) ialah definisi yang paling rendah tingkat


kejelasannya karena hanya berputar balik, misalkan kata ayah didefinisikan 
dengan kata bapa, kata tinta dengan kata air.
 Definisi formal ialah konsep atau ide yang akan didefinisikan itu disebut dulu
ciri umumnya lalu ke cirri khususnya. 

Misalkan  konsep (bus)-ciri umum (kendaraan umum)-ciri khusus (dapat memuat


banyak penumpang). Dapat di definisikan menjadi : bus adalah kendaraan umum yang dapat
memuat penumpang.

 Definisi logis ialah mendefinisikan secara tegas objek, ide atau konsep


dengan sedemikian rupa, sehingga objek tersebut berbeda secara nyata
dengan objek-objek yang lain, dan lebih luas dari definisi formal.

Contoh : Air adalah zat cair yang jatuh dari awan sebagai hujan, mengaliri sungai,
menggenagi danau dan lautan, meliputi dua pertiga bagian dari permukaan bumi, merupakan
unsure pokok dari kehidupan, tidak berbau, tanpa rasa, tanpa warna namun tampak kebiru-
biruan pada lapisan yang tebal, membeku pada suhu nol drajat celcius dan mendidih pada
suhu 100 drajat celcius, mempunyai brat jenis maksimum 4 drajat celcius.

 Definisi ensiklopedis ialah definisi yang lebih luas lagi dari definisi logis
sebab definisi ensiklopedis menerangkan secara lengkap dan jelas serta
cermat akan segala sesuatu yang berkitan dengan konsep/ide.

89
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Penamaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti proses, cara,
perbuatan menamakan. Sementara oleh Kridalaksana diartikan (1993), sebagai proses
pencarian lambang bahasa untuk menggambarkan objek konsep, proses, dan sebagainya;
biasanya dengan memanfaatkan perbendaharaan yang ada; antara lain dengan perubahan-
perubahan makna yang mungkin atau dengan penciptaan kata atau kelompok kata.

Sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya penamaan


antara lain ; peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, penemu dan
pembuat, tempat asal, bahan, keserupaan, pemendekan, penamaan baru.

Istilah dalam KBBI berarti :  1 kata atau gabungan kata yang dengan cermat meng-
ungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yg khas dalam bidang
tertentu; 2 sebutan; nama: janda muda disebut dengsn – “janda kembang”; 3 kata atau
ungkapan khusus, Sedangkan pengistilahan berarti proses, cara, perbuatan mengistilahkan.

Definisi adalah kata, frasa, atau kalimat yang mengungkapkan makna, keterangan,
atau ciri utama dari orang, benda, proses, atau aktivitas; batasan (arti); 2 rumusan tentang
ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yg menjadi pokok pembicaraan atau studi;

Pengertian pendefinisian adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk


mengungkapkan dengan kata-kata akan suatu benda, konsep, proses, aktivitas, peristiwa dan
sebagainya.

Ada empat (4) macam pendefinisian, yakni :  definisi sinonimis, definisi formal,
definisi logis, definisi ensiklopedis.

90
DAFTAR PUSTAKA

CChaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

DDjajasudarma, Fatimah. 2008. Semantik 1, makna leksikal dan Gramatikal. Bandung : PT.


Refika Aditama  

RResmini, Novi.  2012. Unsur Semantik dan Jenis Makna. Buku Elektronik

91

Anda mungkin juga menyukai