Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah merupakan hak asasi manusia.
Pada pasal 28 H dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan bahwa negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan
berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap sehat. Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian
kesehatan selain sebagai hak asasi manusia, kesehatan juga merupakan suatu investasi.

Berbagai studi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga kesehatan memberikan kontribusi hingga 80%
dalam keberhasilan pembangunan kesehatan. Dalam laporan WHO tahun 2006, Indonesia termasuk
salah satu dari 57 negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan, baik jumlahnya yang kurang
maupun distribusinya.

Guna mengatasi krisis termaksud, pengembangan tenaga kesehatan perlu lebih ditingkatkan yang
melibatkan semua komponen bangsa. Oleh karena itu, untuk menjadi acuan bagi semua pemangku
kepentingan, termasuk tenaga kesahatan itu sendiri perlu mengetahaui PP nomor 32 tahun 1996
tentang tenaga kesehatan indonesia.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan utama dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
mata kuliah Keperawatan Profesional .Adapun tujuan lainnya yaitu:

1.2.1 Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tenaga kesehatan


1.2.2 Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami  Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan
1.2.3 Mahasiswa mengetahui  Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
1.2.4 Mahasiswa mengetahui  Distribusi Tenaga Kesehatan
1.2.5 Mahasiswa mengetahui dan memahami Kebijakan Tenaga Kesehatan

1|Tenaga kesehatan Indonesia


1.3  Metode Penulis
Dalam penulisan makalah ini menggunakan penulisan metode studi pustaka, diskusi kelompok dan
browsing internet.

2|Tenaga kesehatan Indonesia


BAB II
TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

2.1 Definisi Tenaga Kesehatan


 
           Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang
kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional
(SKN), tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang
menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan
secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya. Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan
pelatihan, dan pendayagunaa tenaga kesehatan.
 
2.2 Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan
 
           Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah
dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).
Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat.
Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang
dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional
tenaga  kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
 
           Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun 2000 (Depkes 2004)  antara lain
mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para
perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No.
81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang pedoman
penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah
sakit. Pada Kepmenkes tersebut disediakan pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan
untuk dipilih sesuai dengan kemauan dan kemampuan.
 
          
 

3|Tenaga kesehatan Indonesia


 
Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda
penyusunan yang dapat digunakan yaitu;
1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.
2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.
3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas,
dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan
pada standar/rasio terhadap nilai tertentu.

Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios


Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:
1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga
kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,
2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,
3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio.
Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000,
di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno, 2005)
Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga
kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan
penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih
diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong langka,
dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi
pendidikannya terbatas dan kurang diminati.

2.3 Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kesehatan


 
           Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga
kesehatan sesuai jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan
kemampuan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004).
Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004) terdapat
enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:
1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur Rawat
Gigi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Gigi

4|Tenaga kesehatan Indonesia


2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi
3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan)
4. Gizi
5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur
6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik
Prostetik, Teknik Elektro Medik, Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi
Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan Kardiovaksuler.
 
           Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199
Politeknik Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik
pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik
swasta. jumlah peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik
poltekes, dan 109.833 non Poltekes.
 
           Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain
2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik
3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan
4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan tiga strategi dasar yaitu:
1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan
2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan
3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.
 
           Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32 Tahun
1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di
bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga kesehatan
dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
 
           Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP
ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau
masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin
sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan pendidikan profesional
dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional.

5|Tenaga kesehatan Indonesia


Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan
Nasional.
 
           Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan
antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan belum serasi
2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah
belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta
6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras. Penetapan UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah berdampak terhadap penyelenggaraan
pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi diluar Depdiknas termasuk Departemen
Kesehatan. (Soeparan, 2005) 

2. 4 Pendayagunaan Tenaga Kesehatan 

           Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan


pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga
kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan
2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan
4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.
           Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode
perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan
kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau
dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI.
 
           Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode
ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi
Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.
 

6|Tenaga kesehatan Indonesia


           Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir
tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan
melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No.
1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode
ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air.
Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:
 1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.
           Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT
mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),
domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah
terpencil dan daerah pemekaran.

           Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup
menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar,Jateng,
Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada
umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.
 
           Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah dokter
spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah
sebanyak 420 RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461
orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang.
 
           Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu ditawarkan
melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan
7|Tenaga kesehatan Indonesia
kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis.
Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di
provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di daerah.
 
           Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan
berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan.
 
           Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT
dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:
1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat
kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.
 
           Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470
orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yangberkaitan dengan
Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan
status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan
sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik.
(Ruswendi, 2005)

Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana dengan baik.
Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi,
uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi
dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi
profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan
dukungan peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah
memiliki UU Praktik Kedokteran.

  Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari
masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas,
terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya.
Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan
bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang
diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan
dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

8|Tenaga kesehatan Indonesia


 2.5 Distribusi Tenaga Kesehatan

Keterbatasan jumalh tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi tenaga kesehatan yang
tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali, provinsi lain
yang memiliki banyak dokter spesialis dibanding daerah lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara
dan Sulawesi Selatan.

Penyebaran tanaga medis di Jawa Barat menjadi prioritas pada 2009 menyusul komposisi saat
ini sekitar 75 persen dari 25.000 tenaga medis di provinsi itu masih bertumpuk di perkotaan."Tidak
meratanya tenaga medis diduga menjadi faktor pemicu tingginya angka kematian ibu dan merebaknya
penyakit menular di kawasan pinggiran Jawa Barat," kata Gubernur Jawa Barat, H Ahmad Heryawan
di Bandung, Minggu.Pemprov Jabar, kata gubernur, melalui Dinas Kesehatan mulai 2009 melakukan
penyebaran tenaga medis dari perkotaan ke desa-desa sehingga akses kesehatan masyarakat di
pedesaan menjadi lebih dekat.

Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, terdapat sekitar 11.000 dokter di
Jawa Barat, sebanyak 70 persen diantaranya adalah dokter umum."Dengan kondisi itu seharusnya
tenaga medis di jabar sudah memdai, namun penyebarannya tidak merata. Sekitar 75 persen dari
mereka bertumpuk di kota," kata gubernur.Penumpukan tenaga medis khususnya dokter terjadi di
kota-kota besar seperti Kota Bandung, Bekasi dan Bogor. Akibatnya pelayanan kesehatan, khususnya
di kawasan Jawa Barat Selatan sedikit tertinggal.

           Upaya yang dilakukan saat ini, dilakukan dengan melakukan program pelatihan bidan desa
yang direkrut dari putra daerah. Untuk menutupi kekurangan SDM kesehatan, mulai 2008 lalu
digulirkan bea siswa pendidikan untuk 1.200 calon bidang desa."Setelah lulus mereka akan
ditempatkan di desa masing-masing yang membutuhkan tenaga medis. Mereka tak boleh lagi
bertumpuk di kota-kota," katanya.Selain menambah tenaga medis, Pemprov Jabar juga
mengoptimalkan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)."Sayangnya data penerima
program Jamkesmas minim dan tidak akurat, akibatnya terjadi salah sasaran. Yang seharusnya
menerima tetapi tidak menikmati fasilitas kesehatan secara memadai dari program itu," kata
Heryawan menambahkan.Untuk mengatasi hal itu, Pemprov Jabar menyalurkan bantuan program
peningkatan pelayanan kesehatan ke beberapa kabupaten dan kota di provinsi itu.

2.6 Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional

Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat
9|Tenaga kesehatan Indonesia
diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu maupun
penyebarannya.
 
1. Jumlah dan Kualitas
Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada sekitar 218 juta
penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih
optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relative masih kecil. Untuk itu dalam
Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun
2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio
jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin
dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan
rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010
  
       Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter
gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih rendah.
          
           Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health System
Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah
15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah
provinsi mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan
tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000  penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah
di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000
penduduk. Sebagian besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005)
 
           Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT) yang
dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter
gizi, dan bidan) secara merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 %
Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan bidan.
          
           Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan apalagi jika
dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya, menemukan sekitar 23,2%
masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap
pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan
sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum
berjalan dengan baik.

10 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
 
           Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam
meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik.Dalam sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujungtombak penyelenggara pelayanan
kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.
Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai:
(1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,
(2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan
(3) pusat pelayanan tingkat dasar.Susenas 2004,
 menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkanpenduduk untuk berobat jalan
adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas
kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan Puskesmas/Pustu (42,40%),
dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004).
          
           Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan
pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah tertinggal sering
mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat
yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena banyaknya
Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.
          
           Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004)
kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat
melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak
terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas
dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu:
1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas;
2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan
3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.
 

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari
masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas,
terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya.
Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian
masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan
bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang

11 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan
dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter. 

  Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa masih
belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak penduduk
dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan. Sebagai contoh
walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur,
tetapi karena penyebaran penduduk yang tidak merata, jarak, kendala geografis, dan sarana
transportasi, masih banyak penduduk yang tidak terjangkau oleh dokter umum dengan mudah.

 2. Jenis Tenaga 

Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif

cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis tenaga lain yang dapat
dikatakan sebagai tenaga “langka” karena berbagai faktor, yaitu:

1. Jumlah tenaga kurang, kebutuhannya besar;

2. Lulusannya sedikit, bidangnya tidak diminati;

3. Jumlah institusi pendidikannya kurang;

4. Kualifikasi pendidikannya terbatas (D3 atau kurang);

5. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditempatkan di wilayah tertentu

kurang/tidak tersedia akibat maldistribusi (misalnya dokter spesialis di daerah

terpencil).

Contoh beberapa tenaga “langka” adalah analis kesehatan, terapis wicara,

refraksionis optisien, fisioterapis, radiographer, epidemiolog, ahli human resource

management, dan lainnya. Beberapa penyebab kelangkaan tenaga ini adalah insentif

yang tidak menarik, jenjang karir tidak jelas, pasar tidak siap, non competence based, dan sistem
informasi yang terfragmentasi. 

12 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
Disamping tenaga langka tersebut, terdapat beberapa jenis tenaga baru yang belum ditentukan
kategorinya pada PP 32/1996, antara lain kesehatan dan keselamatan kerja,hukum kesehatan,
pengobat traditional, sarjana farmasi traditional, administrasi medik, dan audiologis.

 2.7 Ketersediaan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas

Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri dari 2.010
Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah seluruh tenaga
kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak 141.566 orang, dengan
demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh

18,75 tenaga kesehatan.

Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per puskesmas
yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat
mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.

 Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan
karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti ini
mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap derajat kesehatan
secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi amanat undangundang dasar, pemenuhan
hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk daerah terpencil seperti ini perlu
dilakukan dengan serius.

Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak,
terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara keseluruhan jumlah
bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3, 15.056 bidan di puskesmas, dan
30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4.
Jika dilihat per propinsi, maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan
Papua (5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga
bidan di desa per desa adalah 0,4. 

Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan untuk setiap
desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi. Jika dilihat per propinsi, hanya satu propinsi, yaitu
DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya
berkisar antara 0,2 – 0,8.
 

13 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
 Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam
pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten apoteker.
Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565 orang (1.599
Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan ahli gizi adalah 0,6.
Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak 4.468 orang, rasio sanitarian per puskesmas
adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per
puskesmas. 

2.8 Kebijakan Tenaga Kesehatan

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain
dinyatakan:

􀂃 Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang
dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);

􀂃 Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
(pasal 6 ayat 4).

 Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes


No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia
Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit.

Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan
dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan
pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi
bencana, dan pasca bencana).

Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:

1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;

2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh
Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;

3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan

Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;


14 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode
dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing. 

Dalam rangka pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, Dinas kesehatan menetapkan
beberapa kriteria yang digunakan. Berikut ini adalah kriteria yang sering digunakan untuk
menentukan penempatan tenaga dokter di puskesmas dan persentase kab/kota yang menggunakan
kriteria tersebut.

 Dokter PTT Puskesmas yang tidak ada dokter 84,2%, Rasio puskesmas terhadap Penduduk
57,9%, Cakupan pelayanan Puskesmas 44,7%, Puskesmas Daerah Terpencil 31,6%, Angka Kesakitan
10,5%, Lainnya 2,6%

  Bidan PTT

 Desa tidak ada bidan 84,2%, Desa terpencil 50,0%, Angka kesakitan 28,9%, Lainnya 7,9% .Dari data
di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan dokter dan bidan PTT adalah
puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan. Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan
bahwa masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai
bidan. 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak
menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga
kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah mengikuti pedoman, metode yang paling banyak
digunakan adalah Ratio Method. Bila dihubungkan dengan kriteria penempatan dokter, justru
sebagian besar kab/kota secara sederhana mengidentifikasi puskesmas yang tidak mempunyai dokter. 

Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih
sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun
perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya
pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan
tenaga per individu puskesmas. 

Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter perpuskesmas kurang
dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas tanpa tenaga dokter, maka bisa diduga bahwa
penggunaan kriteria puskesmas tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk penempatan
dokter dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang. Permasalahan bisa
muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter tidak sesuai dengan kondisi lapangan,
artinya tidak pada lokasi yang telah diusulkan oleh Dinas Kesehatan.

15 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
  Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD dan Dinas
Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden (47,4%) menyatakan bahwa
kewenangan penempatan ada pada Dinas Kesehatan atau Dinas Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota
menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada Dinas Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan bahwa
kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6% kab/kota menyatakan kewenangan pada badan lain
seperti Bupati.

 Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala Puskesmas dan
tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar separuh reponden menyatakan
ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi pendaftaran pegawai baru, proses administrasi, seleksi
penerimaan, penempatan, pengadaan penerimaan pegawai baru dan proses mutasi. 

2.9 Mutu Tenaga Kesehatan

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas
atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:

1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan

2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
tenaga kesehatan (Pasal 21) Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam
Sub Sistem Sumberdaya Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan
pengawasan praktek profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian
lisensi”. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan;

2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan;

3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing organisasi profesi; dan

4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. 

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan
masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga tersebut masih lemah.
Oleh sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu
tantangan yang penting untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan.

16 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
Hal tersebut diatur  melalui departemen Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010
Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas institusi
pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan
standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan. 

 Secara kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang
tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan, 2005). Data hasil akreditasi ini antara lan menunjukkan bahwa masih diperlukan
banyak upaya dan kegiatan untuk lebih meningkatkan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan.

 Hasil survei lapangan juga menunjukkan bahwa sekitar 70,6% responden menyatakan
kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua
lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya
di Puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adapatsi ataupun pelatihan di puskesmas. 

Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas di puskesmas sekitar 78,4%


responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Adapun jenis pelatihan yang diikuti adalah
sebagian besar merupakan pelatihan teknis fungsional (85,7%). Penyelenggara pelatihan tenaga
kesehatan di Puskesmas pada umumnya adalah Dinas Kesehatan Propinsi (36%), Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (25,5%), dan Departemen Kesehatan (5,1%). 

Dengan mempertimbangkan pentingnya arti pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, maka
sebagian besar Dinas Kesehatan (76,5%) memiliki rencana tahunan untuk jenis pelatihan yang
dibutuhkan. Jenis pelatihan tersebut antara lain meliputi Pelatihan Fungsional dan Manajerial (50%),
Fungsional (14,7%), dan Manajerial (5,9%). Untuk menunjang pelaksanaan pelatihan, sumber
pembiayaan untuk kegiatan pelatihan adalah APBD Kab/Kota (44,1%), APBD Propinsi (38,2%),
APBN (38,2%) dan sumber lainnya (11,8%).

Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap tenaga


kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan minimal
yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek profesinya. Sebagai
bagian dari tahapan registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan “uji kompetensi” yang yang
dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan. Dalam masa
transisi, “uji kompetensi” ini dapat diberlakukan dengan menggunakan metode yang disepakati
bersama antara Dinas Kesehatan dan organisasi profesi. Departemen Kesehatan menetapkan bahwa
bagi tenaga kesehatan yang lulus dari institusi pendidikan tenaga kesehatan dibawah pembinaan

17 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
Departemen Kesehatan dapat langsung diregistrasi. Dalam tabel berikut digambarkan kondisi
beberapa jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan.

2.9 Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal 

Definisi kabupaten tertinggal pada kajian ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2004-2009. Dengan mengacu pada ketentuan ini, dalam kajian dari 32 kab/kota
yang menjadi lokasi kajian ini, 8 diantaranya masuk kabupaten tertinggal dan 25 kab/kota masuk
kategori tidak tertinggal. 

Pada tabel 4.10 dibawah ini ditampilkan perbandingan distribusi tenaga kesehatan di
Puskesmas pada kabupaten tertinggal dan tidak tertinggal lokasi kajian. Data ini merupakan hasil
kuesioner yang diisi oleh 29 puskesmas yang pada kabupaten tertinggal dan 37 puskesmas pada
kabupaten tidak tertinggal. 

Jika dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga kesehatan
per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah dibandingkan 27,59 pada daerah tidak
tertingggal. Namun rasio PTT dan honor daerah per puskesmas lebih tinggi pada daerah tertinggal.
Hal ini mengindikasikan upaya untuk memenuhi kekurangan tenaga PNS dengan tenaga PTT dan
honor daerah.

Selain pengelompokan kabupaten dalam kategori tertinggal dan tidak tertinggal, pada kajian
ini digunakan pula kategorisasi kecamatan terpencil dan tidak terpencil. Kecamatan terpencil maupun
tidak terpencil dapat saja dapat terletak dalam wilayah administratif kab/kota tertinggal maupun tidak
tertinggal, walaupun pada kenyataannya, kecamatan terpencil lebih banyak terletak di kabupaten
tertinggal. Dalam kajian, kategorisasi terpencil dilakukan sendiri oleh responden, atau dengan kata
lain menggunakan persepsi responden. Dalam hal ini tenaga kesehatan dan kepala Puskesmas diminta
menggolongkan kecamatan asal mereka sebagai daerah terpencil atau tidak terpencil.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Secara nasional dilihat dari rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan di Indonesia
masih belum mencukupi. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, rasio ini juga masih jauh
tertinggal. Sebagian besar tenaga kesehatan berlokasi di Jawa dan Bali, namun jika dilihat dari rasio
per penduduk, khususnya untuk tenaga dokter umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih

18 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
menyebar. Tiga provinsi dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan
Bali. Sedangkan tiga provinsi dengan rasio terendah adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.

 Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah
juga telah melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh
(52,6%) Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman
perencanaan, dengan alasan utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan
terbatasnya kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang
paling banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.

            Terdapat kesenjangan antara jumlah (di 46% kab/kota) dan jenis (36% kab/kota) tenaga yang
diusulkan dengan formasi yang tersedia. Formasi yang tersedia, sebagian besar (52,6% kab/kota)
ditentukan bersama oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan sepertiga
(31,6% kab/kota) merupakan wenangan BKD.

3.2 Saran 

Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah


pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas
perencana dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian
tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.

Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai
keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan
menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan
terbatasnya dana.Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah
terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan polindes.

Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria
penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di
Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat
dijadikan suatu prioritas.Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan
terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di
kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.

           

19 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a
DAFTAR PUSTAKA

http://profesional-eagle.blogspot.com/2012/05/makalah-tenaga-kesehatan-di-indonesia_18.html

http://mamanroestaman.blogspot.com/2013/01/makalah-kebutuhan-ketenagaan-kesehatan.html

20 | T e n a g a k e s e h a t a n I n d o n e s i a

Anda mungkin juga menyukai